ALSA Indonesia Law Journal
-
Upload
alsa-indonesia -
Category
Documents
-
view
268 -
download
11
description
Transcript of ALSA Indonesia Law Journal
0
ACADEMIC
COMPILATION
ALSA INDONESIA LAW JOURNAL & ALSA INDONESIA LEGAL REVIEW
COMPETITION: BEST LEGAL REVIEW
1
DAFTAR ISI ACADEMIC COMPILATION 2016 ALSA INDONESIA
Kata Pengantar 2
ALSA Indonesia Law Journal 4
“Ambivalensi Pengaturan Tenaga Kerja Indonesia” 5
“Penyelesaian Perselisihan Pengupahan Dalam Hubungan Industrial” 24
“Perlindungan Hukum Pekerja Perempuan di Indonesia Berdasarkan
Peraturan” 38
“Sistem Hukum Perburuhan di Indonesia” 55
ALSA LEGAL REVIEW COMPETITION: BEST LEGAL REVIEW 85
“Buramnya Garis Demarkasi Dimensi Hukum Pidana dan Hukum Administrasi
Dalam Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang Berorientasi
Pada Pembangunan Daerah” 86
2
KATA PENGANTAR
Dengan mengucap syukur Alhamdulillah, Academic Compilation National
Board ALSA Indonesia 2015-2016 telah rampung. Academic Compilation
diharapkan dapat menjadi bukti nyata dari perkembangan akademik ALSA
Indonesia dan juga menjadi sumber pembelajaran bagi siapapun yang
membutuhkannya. Academic Compilation juga merupakan perwujudan dari Tri
Darma Mahasiswa yang merupakan kewajiban moral dari seluruh mahasiswa
yang tergabung dalam ALSA Indonesia. Besar harapan saya Academic
Compilation ini dapat memberikan efek masif dan konkrit kepada Indonesia. ALSA
Always be One! -Bayu Sri Harudito, President of ALSA Indonesia 2015-2016
Di balik seorang siswa yang berhasil, tentu terdapat guru yang baik. Untuk itulah,
kami ingin mengapresiasi pemikiran bapak ibu guru yang telah mendidik anggota
ALSA Indonesia melalui ALSA Indonesia Law Journal (AILJ). Kami harap, AILJ dapat
menjadi wadah apresiasi bagi tenaga pengajar yang telah bekerja keras mendidik
kami, anggota ALSA Indonesia. Besar harapan kami agar pemikiran-pemikiran
yang tertuang di dalam journal ini dapat memberi manfaat positif kepada
masyarakat luas. ALSA, Always be One! –Marvin Octavdio, Vice President of
Academic Activities & Training I ALSA Indonesia 2015-2016
Merupakan suatu kebanggaan bagi saya untuk dapat menyelesaikan Academic
Compilation ini. Tujuan dari pembuatan Academic Compilation ini ialah tidak lain
yaitu untuk kembali menghidupkan produk kajian hukum ALSA Indonesia,
terlebih dengan adanya ALSA Indonesia Law Journal yang merupakan bagian dari
kompilasi ini. Semoga dengan adanya pembuatan kompilasi tulisan ini dapat
bermanfaat untuk orang banyak, dan tentunya semakin mendorong ALSA
Indonesia untuk lebih meningkatkan kualitas karya tulis hukum dengan
menyatukan pemikiran-pemikiran kritis tiap Universitas membernya. –Adistra
Kusuma Waligalit, Vice President of Academic Activities & Training II ALSA
Indonesia 2015-2016
3
4
ALSA INDONESIA
LAW JOURNAL
5
AMBIVALENSI PENGATURAN TENAGA KERJA INDONESIA - REFLEKSI
PENGOLAHAN DAN PENGATURAN TENAGA KERJA INDONESIA
Dr. Made Gde Subha Karma Resen, SH., M.Kn
Abstract
Lack of jobs in Indonesia led to a lot of
people working abroad. The existence
of migrant workers cannot be separated
from the problems, such as; Non
Procedural TKI departure, offenses
committed by PPTKIS, institutional tug.
Unconsciousness to reflect the
occurrence of contradiction towards the
same situation (ambivalence), the
issues surrounding migrant workers,
will only lead management systems and
the setting of TKI will fall on the same
issue in the future. In these cases be
understood that the protection of the
employment abroad is closely related to
the management and control system
carried out by various parties involved
in the sending of Indonesian workers
abroad.
Key Words: Indonesian Worker - Legal
Protection - Placement of Indonesian
Worker.
Inti Sari
Terbatasnya lapangan pekerjaan di
Indonesia menyebabkan banyak angka
kerja yang bekerja ke luar negeri.
Keberadaan TKI juga tidak terlepas dari
permasalahan-permasalahan, seperti;
pemberangkatan TKI Non Prosedural,
pelanggaran yang dilakukan oleh PPTKIS,
tarik menarik kelembagaan. Ketidak
sadaran untuk merefleksi terjadinya
pertentangan terhadap situasi yang sama
(ambivalensi), terhadap permasalahan-
permasalahan seputar TKI hanya akan
membawa sistem pengelolaan serta
pengaturan TKI akan jatuh pada persoalan
yang sama dikemudian hari. Pada kasus-
kasus tersebut dipahami bahwa aspek
perlindungan terhadap penempatan
tenaga kerja di luar negeri sangat terkait
pada sistem pengelolaan dan pengaturan
yang dilakukan berbagai pihak yang terlibat
pada pengiriman tenaga kerja Indonesia
keluar negeri.
Kata Kunci: Tenaga Kerja Indonesia -
Perlindungan Hukum - Penempatan
Tenaga Kerja Indonesia.
6
A. Latar Belakang
Tidak sedikit permasalahan seputar
penempatan dan perlindungan tenaga
kerja Indonesia (selanjutnya disingkat
TKI) yang bekerja di luar negeri. Setiap
tahun, lebih dari setengah juta orang
Indonesia yang berangkat ke luar
negeri.1 Permasalahan TKI juga
menjadi agenda besar pada
pemerintahan Jokowi. Sebagaimana
dilansir dalam Siaran Pers Nomor:
01/Humas PMK/I/2015 (Kementerian
Koordinator Bidang Pembangunan
Manusia Dan Kebudayaan Republik
Indonesia), menegaskan bahwa TKI-
TKI yang bermasalah harus
diselesaikan pada tahun 2015. Adapun
isi materi siaran pers tersebut
menerangkan bahwa, jumlah Warga
Negara Indonesia Overstay (WNIO)
atau Tenaga Kerja Indonesia
Bermasalah (TKIB), semakin tahun
terus meningkat perlu segera
diselesaikan oleh semua pihak, tidak
saja Pemerintah tetapi juga Instansi
terkait. Pemerintah hingga kini terus
mendata validasi jumlah tenaga kerja
yang bermasalah yang berada di luar
1 Sekitar separuh dari para pekerja tersebut berangkat ke negara-negara di Timur
Tengah. Pada umumnya mereka adalah kaum perempuan yang berasal dari kota-kota kecil atau
desa-desa dengan latar belakang pendidikan sekolah dasar dan pengalaman kerja yang terbatas,
dan sebagian besar mereka dipekerjakan untuk pekerjaan rumah tangga di rumah pribadi. Lihat
dalam: Bassina Farbenblum, Eleanor Taylor-Nicholson, dan Sarah Paoletti, Akses Buruh
Migran Terhadap Keadilan Di Negara Asal: Studi Kasus Indonesia, diterbitkan oleh Open
Society Foundations, New York, Amerika Serikat, Hlm. 16-17.
negeri sekaligus menyiapkan
anggaran. Sejauh ini jumlah
WNIO/TKIB yang berada di Malaysia
sebanyak 1.250.000 orang, di Arab
Saudi 588.075 orang dan negara lain
32.073 orang. Dari jumlah tersebut,
pemerintah telah memulangkan selama
tahun 2014 WNIO dari Arab Saudi
sebanyak 20.379 orang, sedangkan
dari Malaysia sebanyak 26.428 orang.
Permasalahan klasik yaitu, terkait
dengan kelengkapan administratif juga
masih menjadi coretan merah dalam
dunia tenaga kerja. Kontradiksi antara
memperlancar proses pemberangkatan
dengan perlindungan juga masih
menjadi momok sarat kepentingan.
Pihak-pihak dalam lingkaran sistem
pengelolaan juga masih indisipliner
terhadap aturan hukum yang berlaku.
Merujuk pada latar belakang di atas,
serta ketidak sadaran untuk merefleksi
terjadinya pertentangan terdapat
situasi yang sama (ambivalensi),
terhadap permasalahan-permasalahan
seputar TKI hanya akan membawa
sistem pengelolaan serta pengaturan
TKI akan jatuh pada persoalan yang
7
sama dikemudian hari. Tulisan ini akan
mencoba mengungkap serta merefleksi
secuil persoalan-persoalan di bidang
penempatan dan perlindungan tenaga
kerja Indonesia.
B. Kilas Singkat Seputar Tenaga Kerja
Indonesia (TKI)
Campur tangan pemerintah dalam
bidang ketenagakerjaan telah
menyebabkan sifat hukum
perburuhan/ketenagakerjaan menjadi
publik serta ruang lingkup yang diatur
menjadi lebih luas, tidak hanya pada
aspek hukum pada hubungan kerja
saja, tetapi meliputi aspek hukum
sebelum hubungan kerja (pra
employment), dan sesudah hubungan
kerja (post employment) karena itulah
sangat tepat jika istilahnya disebut
dengan hukum Ketenagakerjaan.2
Tenagakerja merupakan salah satu
instrument maupun modal dalam
pembangunan nasional.Tenaga kerja
mempunyai peranan dan kedudukan
yang sangat penting sebagai salah satu
komponen pelaku untuk mencapai
tujuan pembangunan. Pembangunan
nasional dilaksanakan dalam rangka
pembangunan manusia Indonesia
seutuhnya dan pembangunan
2 Lalu Husni, 2014, Pengantar Hukum Ketenaga Kerjaan Indonesia, Edisi Revisi, PT
Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.v
masyarakat Indonesia seluruhnya
untuk mewujudkan masyarakat yang
sejahtera, adil, makmur, yang merata,
secara materiil berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Menurut Pasal 1 bagian (1)
Undang-Undang Nomor 39 Tahun
2004 tentang Penempatan dan
Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia
di Luar Negeri, TKI adalah setiap warga
negara Indonesia yang memenuhi
syarat untuk bekerja di luar negeri
dalam hubungan kerja untuk jangka
waktu tertentu dengan menerima upah.
Sementara itu dalam Pasal 1 Kep.
Manakertrans RI No Kep
104A/Men/2002 tentang penempatan
TKI keluar negeri disebutkan bahwa
TKI adalah baik laki-laki maupun
perempuan yang bekerja di luar negeri
dalam jangka waktu tertentu
berdasarkan perjanjian kerja melalui
prosedur penempatan TKI. Prosedur
penempatan TKI ini harus benar-benar
diperhatikan oleh calon TKI yang ingin
bekerja ke luar negeri tetapi tidak
melalui prosedur yang benar dan sah
maka TKI tersebut nantinya akan
menghadapi masalah di negara tempat
ia bekerja karena CTKI tersebut
8
dikatakan TKI ilegal karena datang ke
negara tujuan tidak melalui prosedur
penempatan TKI yang benar.
Berdasarkan beberapa pengertian TKI
tersebut, maka dapat dikemukakan
bahwa TKI adalah setiap warga negara
Indonesia yang memenuhi syarat untuk
bekerja di luar negeri dalam jangka
waktu tertentu berdasarkan perjanjian
kerja melalui prosedur penempatan TKI
dengan menerima upah. Sedangkan
menurut Pasal 1 yang bagian (2)
Undang-Undang Nomor 39 Tahun
2004 tentang Penempatan dan
Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia
di Luar Negeri, Calon Tenaga Kerja
Indonesia adalah setiap warga Negara
Indonesia yang memenuhi syarat
sebagi pencari kerja yang akan bekerja
di luar negeri dan terdaftar di instansi
pemerintah kabupaten/kota yang
bertanggungjawab di bidang
ketenagakerjaan.
Terkait perlindungan terhadap
penempatan tenaga kerja di luar negeri
sangat terkorelasi pada sistem
pengelolaan dan pengaturan yang
3 Penempatan TKI ke luar negeri, merupakan program nasional dalam upaya
meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya serta pengembangan kualitas
sumber daya manusia.penempatan TKI dalam program antar kerja antar negara (AKAN),
dilakukan dengan memanfaatkan pasar kerja internasional melalui peningkatan kualitas
kompetensi tenaga kerja dengan perlindungan yang optimal sejak sebelum keberangkatan,
selama bekerja di luar negeri sampai tiba kembali di Indonesia. Lihat dalam: Mohd. Syaufii
Syamsuddin, 2004, Norma Perlindungan Dalam Hubungan Industrial, Penerbit Sarana Bhakti
Persada, Jakarta, hlm. 34.
dilakukan berbagai pihak yang terlibat
pada pengiriman tenaga kerja
Indonesia keluar negeri. Untuk langkah
penempatan tenaga kerja di luar
negeri, Indonesia telah menetapkan
mekanisme melalui tiga fase tanggung
jawab penempatan yakni fase pra
penempatan, selama penempatan dan
purna penempatan.3 Perlindungan TKI
adalah segala upaya untuk melindungi
kepentingan calon TKI/TKI dalam
mewujudkan terjaminnya pemenuhan
hak-haknya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan, baik sebelum,
selama dan sesudah bekerja.
Sebagaimana diatur di dalam Pasal
5, 6, 7 Undang-Undang No. 39 Tahun
2004, pemerintah bertugas mengatur,
membina, melaksanakan, dan
mengawasi penyelengaraan
penempatan dan perlindungan TKI di
luar negeri, pemerintah
bertanggungjawab untuk meningkatkan
upaya perlindungan TKI di luar negeri,
dan pemerintah berkewajiban,
antaralain:
9
a. Menjamin terpenuhinya hak-hak
calon TKI/TKI, baik yang
berangkat melalui pelaksana
penempatan TKI maupun yang
berangkat secara mandiri;
b. Mengawasi pelaksanaan
penempatan calon TKI;
c. Membentuk dan
mengembangkan sistem
informasi penempatan calon TKI
di luar negeri;
d. Melakukan upaya diplomatik
untuk menjamin pemenuhan hak
dan perlindungan TKI secara
optimal di negara tujuan; dan
e. Memberikan perlindungan
kepada TKI selama masa
sebelum pemberangkatan, masa
penempatan, dan masa purna
penempatan.
4 Ni Ketut Supasti Dharmawan, Made Gde Subha Karma Resen, Cokorda Dalem
Dahana, & Cok. Istri Diah Widyantari P. D., 2015, Implementasi Ketentuan Hukum Tentang
Penempatan Dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Asal Provinsi Bali Di Luar Negeri,
Hasil Penelitian Hibah Unggulan Program Studi, Fakultas Hukum Universitas Udayana, hlm.
2. 5 Lihat dalam: Lihat dalam: PT. Nahelindo Pratama Diduga Lakukan Penempatan Non
Prosedural ke Rusia, dapat diakses pada: http://www.bnp2tki.go.id/read/9498/TKI-Ditahan-
Petugas-Rusia-BP3TKI-Bali-Pelajari-Pelanggaran-PPTKIS-- Sebagai contoh Kasus
pelanggaran yang dilakukan oleh Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta
(PPTKIS) PT. Nahelindo Pratama, karena telah menempatkan empat Buruh Migran Indonesia
(BMI) secara non prosedural ke Rusia. Lihat juga pada: Tiga TKW asal Bali Di Penjara di
Rusia, dapat diakses pada: http://www.nusabali.com/opendoc.php?id=32190&page=&date=
Sebanyak tiga orang Tenaga Kerja Indonesia (TKI) asal Bali yang semuanya wanita/ tenaga
kerja wanita (TKW)5 saat ini dipenjara di Rusia. Mereka adalah Ketut Sukarni dengan nomor
paspor A0491163, Yanika Sriwedari dengan nomor paspor A0489558 dan Ni Kadek Yuli
Marisa Dewi dengan nomor paspor A1649489.
6Surat Edaran Kepala BNP2TKI Nomor SE.11/PEN/IV/2014 tanggal 17 April 2014
tentang Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN) yang diwajibkan bagi TKI yang bekerja di
C. Refleksi Pengelolaan dan
Pengaturan Tenaga Kerja Indonesia
Trend bekerja ke luar negeri tidak luput
dari masalah dan persoalan,4 seperti;
kasus pelanggaran hukum yang
dilakukan oleh Pelaksana Penempatan
Tenaga Kerja Indonesia Swasta
(PPTKIS);5 serta persoalan TKI pelaut
yang mengalami tarik menarik
kepentingan di antara Kepala BNP2TKI
dengan Kementerian Perhubungan
yang menyatakan TKI pelaut tidak
diwajibkan memiliki Kartu Tenaga Kerja
Luar Negeri (KTKLN), hal ini
mengancam perlindungan tenaga kerja
pelaut, sebab identitas mereka tidak
akan terdata di BP3TKI.6
Pada tulisan ini berikut disajikan
contoh kasus terkait dengan
10
penempatan TKI serta pentingnya
kelengkapan administrasi sebagai
salah satu bentuk perlindungan.
1. Kasus Pelaksanaan Penempatan
TKI Non Prosedural.
Penempatan TKI menurut Pasal 1
angka (3) UU No. 39 Tahun 2004
adalah kegiatan pelayanan untuk
mempertemukan TKI sesuai bakat,
minat, dan kemampuannya dengan
pemberi kerja di luar negeri yang
meliputi keseluruhan proses
perekrutan, pengurusan dokumen,
pendidikan dan pelatihan,
penampungan, persiapan
pemberangkatan, pemberangkatan
sampai negara tujuan, dan
pemulangan dari negara tujuan.
Penempatan TKI di luar negeri
merupakan suatu upaya untuk
mewujudkan hak dan kesempatan
yang sama bagi tenaga kerja untuk
memperoleh pekerjaan dan
penghasilan yang layak, yang
pelaksanaannya dilakukan dengan
tetap memperhatikan harkat, martabat,
hak asasi manusia, dan perlindungan
Atas Kapal Berbendera Asing. Surat Edaran tentang KTKLN itu dikeluarkan karena adanya
surat yang dikeluarkan oleh Dirjen Perhubungan Laut kepada Dirjen Imigrasi Kementerian
Hukum dan Ham No. PK 302/1/3/DJPL.13 tanggal 27 Desember 2013 perihal Tidak
Mempersyaratkan Kepemilikan KTKLN Bagi Pelaut/ Awak Kapal. Selengkapnya baca dalam:
http://www.bnp2tki.go.id/read/9810/BNP2TKI-Menangkan-Gugatan-Perkara-Hukum-atas-
KTKLN
7Laboratorium Pusat Data Hukum Fakultas Hukum UAJY, 2006, Himpunan
Lengkap Undang-Undang Bidang Perburuhan, C.V. Andi Offset, Yogyakarta, hlm. 261.
hukum serta pemerataan kesempatan
kerja dan penyediaan tenaga kerja
yang sesuai dengan hukum nasional.7
Menjadi persoalan ketika
terdapat pelanggaran penempatan
yang dilakukan oleh PPTKIS selaku
badan hukum yang memperoleh izin
tertulis dari pemerintah guna
menyelenggarakan pelayanan
penempatan TKI di luar negeri. Salah
satu PPTKIS yang melakukan
pelaksanaan penempatan TKI secara
non prosedural adalah PT. Nahelindo
Pratama. PT. Nahelindo Pratama
melakukan penempatan TKI secara
non prosedural dikarenakan
menggunakan visa kunjungan/visa
belajar. PT. Nahelindo Pratama
merupakan PPTKIS yang secara resmi
terdaftar sebagai perusahaan
pengerah tenaga kerja. PT.Nahelindo
Pratama telah melanggar asas terbuka,
yaitu pemberian informasi kepada
tenaga kerja secara jelas meliputi jenis
kerja, jam kerja, dan upah yang akan
diterima oleh TKI di Negara tujuan,
yang dimana dalam hal ini
11
PT.Nahelindo memberikan iming-iming
berupa gaji yang tinggi sebagai terapis
di Rusia dengan menggunakan visa
kunjungan/ visa belajar dan bukan
menggunakan visa kerja yang
mengakibatkan ditahannya 4 TKI di
Rusia. Ke 4 TKI tersebut dinyatakan
melanggar Bab 1 Pasal 18.10 KUHP
Federasi Rusia mengenai pelanggaran
adminisratif yaitu sebagai orang asing
yang telah bekerja di Federasi Rusia
tanpa memiliki izin bekerja. Mereka
semua tidak memiliki KTKLN
dikarenakan mereka diberangkatkan
dengan visa kunjungan/visa belajar.
Kronologis kasus Pelaksana
Penempatan Tenaga Kerja Indonesia
Swasta (PPTKIS) PT. Nahelindo
Pratama, karena telah menempatkan
empat Buruh Migran Indonesia (BMI)
secara non prosedural ke Rusia.8
8 Lihat dalam: PT. Nahelindo Pratama Diduga Lakukan Penempatan Non Prosedural
ke Rusia, dapat diakses pada:
http://www.bnp2tki.go.id/read/9498/TKI-Ditahan-Petugas-Rusia-BP3TKI-Bali-Pelajari-
Pelanggaran-PPTKIS--
9 Lihat dalam: Tiga TKW asal Bali Di Penjara di Rusia, dapat diakses pada:
http://www.nusabali.com/opendoc.php?id=32190&page=&date= 10 Lihat dalam: Tiga TKI asal Bali Dipenjara di Rusia, dapat diakses pada:
http://daerah.sindonews.com/read/922973/27/tiga-tki-asal-bali-dipenjara-di-rusia-
1415638800 11 Lihat dalam: PT. Nahelindo Pratama Lakukan Penempatan Non Prosedural Bp3tki
Bali Bnp2tki, dapat diakses pada:
http://pantaupjtki.buruhmigran.or.id/index.php/read/%E2%80%8Bpt.-nahelindo-pratama-
diduga-lakukan-penempatan-non-prosedural-ke-rusia-2 12 Berita Acara Kronologis Penanganan Kasus TKI Spa atas nama Ni Kadek Yuli Marisa
Dewi, Jessica Herlina Mila Agnesia, Yanika Sriwedari, Ni Ketut Sukerni, Nomor:
B2698/BP3TKI-DPS/PL/XI/2014 Tanggal 14 November 2014.
Sebanyak tiga orang Tenaga Kerja
Indonesia (TKI) asal Bali yang
semuanya wanita/ tenaga kerja wanita
(TKW)9 dipenjara di Rusia. Mereka
adalah Ketut Sukarni dengan nomor
paspor A0491163, Yanika Sriwedari
dengan nomor paspor A0489558 dan
Ni Kadek Yuli Marisa Dewi dengan
nomor paspor A1649489. Juga ikut
dipenjara di Rusia seorang TKI lainnya
yang diduga bukan berasal dari Bali
yakni atas nama Jesica Herlina Mila
Agnesia Tobo.10 Keempat TKI tersebut
sudah tiba ke Indonesia pada 6
November 2014 lalu, setelah sempat
dipenjara di Isuram 8 City of Kazan
Tatarstand, Rusia sejak 23 September
2014.11
Kronologis kasus dapat diuraikan
sebagai berikut:12
12
Pada tanggal 29 September 2014
KBRI Moscow menerima informasi
telepon dari Dinas Imigrasi Federal
Rusia mengenai penahanan 4 TKI
di rumah detensi Kazan, Republik
Tatarstan (Sekitar 800 km timur
Moscow). Dalam rangka
menindaklanjuti informasi tersebut
dan mengetahui duduk perkara
penahanan dan kondisi para WNI
dimaksud, pada tanggal 6 sampai
dengan 8 Oktober 2014 KBRI
Moscow menugaskan wakil dan
fungsi protokoler Konsuler
menjenguk 4 TKI tersebut.
Pada tanggal 23 September 2014
pukul 10.45 ditempat magang
(Tairai Spa Kazan) keempat TKI
ditangkap berdasarkan Berkas
Acara Penangkapan (BAP) yang
ditandatangani TKI, dilaksanakan
sidang hari itu juga dan keempatnya
dinyatakan melanggar Bab 1 Pasal
18.10 KUHP Federasi Rusia
mengenai pelanggaran administratif
yaitu sebagai orang asing telah
bekerja di Federasi Rusia tanpa
memiliki izin bekerja dan
menghukum mereka denda 2000
rubel dan dideportasi ke luar
wilayah Federasi.
Kondisi TKI selama ditahan sejak 23
September 2014 cukup baik karena
memperoleh fasilitas makan 3 kali,
kamar ukuran 4 x 6 dengan ranjang
tingkat, kamar mandi terpisah, dan
pemisahan ruang laki-laki dan
wanita.
Rumah detensi menahan uang dan
barang-barang pribadi keempat TKI
yang kesemuannya akan
dikembalikan ketika para TKI akan
dideportasi.
Mengingat para TKI mengajukan
banding (sidang banding telah
dilaksanakan 4 Oktober 2014
dengan hasil menguatkan
keputusan pengadilan tanggal 23
September 2014) maka masa
penahanan ditambah karena
menunggu waktu sidang dan
keputusan pengadilan. Jika TKI
tidak mengajukan banding kedua,
maka proses deportasi baru bisa
dibicarakan tanggal 14 Oktober
2014.
Pemerintah Rusia akan
menanggung biaya kepulangan TKI
ke Bali sesuai ketersediaan
anggaran yang bisa memakan
waktu 2-3 bulan.
Berdasarkan informasi yang
berkembang Kepala BP3TKI
Denpasar juga melakukan
pembicaraan via telepon dengan
Thai-Waay St. Petersbug (sdr.
13
Andre Konakh), Tairai – Moscow
(sdr. Elena) dan Direktur Akademi
Inovasi Teknologi (sdr. Arthur)
dengan hasil sebagai berikut:
a) Sdr. Andre Konakh menyatakan
bahwa pihak yang mengundang
para TKI ke Rusia adalah
akademisi Inovasi Teknologi
dipimpin sdr. Arthur Surin
menggunakan Visa Training.
Pihak Thai-Way Spa juga
menggunakan jasa Akademi,
namun belum pernah terdapat
kasus. Kasus penahanan TKI di
Kazan adalah semata karena
para TKI dijebak dan dipaksa
menandatangani BAP yang
tidak benar dan karenanya
kejadian di Kazan manjadi
tanggungjawab terapis itu
pribadi.
b) Sdr. Elena mengatakan
penahanan 4 TKI terapis di
Cabang Tairai di Kazan menjadi
tanggungjawab personal terapis
dan manager Kazan karena
Tairai sebagai lembaga tidak
mempekerjakan terapis
pemagang Visa Training.
c) Sdr. Arthur membenarkan
sebagai pihak yang
mengundang TKI ke Rusia untuk
belajar di akademi yang
dipimpinnya.
Adapun tindakan-tindakan yang telah
dilakukan oleh BP3TKI Denpasar di
antaranya:
Pada tanggal 12 November
2014 menghubungi saudari Ni
Ketut Sukerni melalui SMS dan
menanyakan kabar dari beliau
beserta teman-teman lainnya.
Pada tanggal 13 November
2014 BP3 TKI berkoordinasi
dengan Dinas Kesejahteraan
Sosial Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Kabupaten
Jembrana dan mendatangi
keluarga Ni Kadek Yuli Marisa
Dewi di kediamannya di
Jembrana dan juga menemui
keluarga Ni ketut Sukreni di
daerah Kuta Bali.
Pada tanggal 14 November
2014 pihak BP3TKI Denpasar
bersama dengan Pihak Dinas
Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Kabupaten Buleleng bersama-
sama melakukan pengecekan
ke Kantor Desa Banyuasri
Kabupaten Buleleng dan
bertemu dengan Kepala Desa
setempat dan memberitahukan
bahwa ada salah satu warganya
yang bernama Jessica Herlina
14
Mila Agnesia Tobo telah di
deportasi, tetapi setelah
dilakukan pencocokan data,
ternyata data atas nama
tersebut tidak ada di dalam
berkas dokumen yang ada di
Kantor Desa tersebut.
Akhir penanganan kasus;
Pada hari Rabu 5 November
2014 keempat TKI telah
dibebaskan dan pada pukul
09.50 waktu setempat telah
diterbangkan dari Kazan menuju
Bali (via Moscow, Dubai dan
Jakarta) dengan penerbangan
S7 Emirates dan Garuda.
Seluruh biaya deportasi
(termasuk pendampingan Polisi
dari Kazan ke Moskow)
ditanggung pemerintah Federasi
Rusia.
Tanggal 6 November 2014,
keempat TKI tiba di Bandara
Ngurah Rai Bali Pukul
00.55/01.00 WITA di perkirakan
menggunakan pesawat GA
0424/652 dari Jakarta.
Ni Kadek Yuli Marisa Dewi
mengatakan bahwa kabarnya
beserta ketiga TKI yang lain
telah tiba di Bali dengan selamat
dan baik-baik. (Berdasarkan
keterangnnya yang
memberangkatkannya ke Rusia
adalah sdr. Vita Amelia). Ni
Ketut Sukerti- pun menerangkan
keadaanya baik-baik saja
(berdasarkan keterangannya,
yang memberangkatkannya ke
Negara Rusia dengan Visa
Sekolah adalah sdr. Rai Asri.
Pada kasus tersebut di atas dipahami
bahwa aspek perlindungan terhadap
penempatan tenaga kerja di luar negeri
sangat terkait pada sistem pengelolaan
dan pengaturan yang dilakukan
berbagai pihak yang terlibat pada
pengiriman tenaga kerja Indonesia
keluar negeri. Pelanggaran-
pelanggaran hukum juga dilakukan
oleh agen-agen tenaga kerja atau agen
keberangkatan yang dikenal dengan
“Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja
Indonesia Swasta” atau disingkat
PPTKIS atau mengacu pada
perusahaan perekrutan tenaga kerja
migran swasta, yang pada umumnya
antara lain dikenal sebagai agen
tenaga kerja. Selain itu kerapkali
pelanggaran-pelanggaran juga
dilakukan oleh calon TKI maupun TKI di
Negara dimana mereka bekerja.
Menurut catatan KBRI Moskow,
penahanan TKI di pusat detensi
imigrasi di Rusia adalah yang kedua
kalinya (yang pertama pada tahun
15
2010). Meski fasilitas di pusat detensi
Rusia relatif baik, namun dalam
beberapa kasus yang dihadapi TKI,
KBRI moskow senantiasa berupaya
mencegah TKI ditahan dan seandainya
pun ditahan KBRI Moskow senantiasa
memonitor dan mengupayakan
pembebasan mereka secepatnya.
Untuk mencegah hal serupa
terjadi lagi dikemudian hari, KBRI
Moskow kembali memohon kerjasama
pihak-pihak berwenang di Indonesia
untuk secara aktif memantau para agen
penyalur TKI perseorangan di
Indonesia yang mempunyai relasi
dengan Mr. Andrey Konakh serta
meghimbau para calon TKI agar tidak
cepat tergiur oleh iming-iming para
agen/calo TKI yang menjanjikan
pekerjaan sebagai terapis di Rusia
dengan gaji tinggi menggunakan Visa
Kunjungan/Bisnis dan bukan Visa
Kerja. Pastikan bahwa kontrak kerja
dipahami sepenuhnya dan jika
diperlukan agar dikomunikasikan
terlebih dahulu ke KBRI Moskow
sebelum ditandatangani. Pelanggaran
peruntukan visa masuk Rusia dapat
menyebabkan penahanan TKI di rumah
detensi, konfiskasi uang dan
pencekalan masuk Rusia selama 5
tahun atau lebih.
13 Ni Ketut Supasti Dharmawan, dkk, Op.cit., hlm. 43.
Penempatan tenaga kerja
Indonesia di luar negeri perlu dilakukan
secara terpadu antara instansi
Pemerintah baik Pusat maupun Daerah
dan peran serta masyarakat.
Terbukanya peran masyarakat dalam
melakukan Penempatan TKI melalui
Pelaksana Penempatan TKI swasta
tentunya menimbulkan kewajiban bagi
PPTKIS itu mulai dari pra penempatan,
penempatan, dan purna penempatan.
2. Kasus Kartu Tenaga Kerja Luar
Negeri (KTKLN)
Kasus yang terjadi terhadap I Nyoman
Bagiade13 yang merupakan Tenaga
Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja
sebagai chef di Kapal Pesiar
berbendera asing (Cruiser/Kapal
Niaga) sejak tahun 2000. Sekitar bulan
Februari 2014, keluarga Bagiade
mendapat kabar bahwa Bagiade yang
bekerja di Kapal Pesiar di Amerika
meninggal dunia dengan cara
melompat ke laut (Over jump).
Terhadap kejadian tersebut keluarga
mencari dokumen-dokumen yang
terkait dimana dan dengan siapa
Bagiade bekerja, hanya di temukan
fotocopy Kartu Tenaga Kerja Luar
Negeri (KTKLN). Selanjutnya keluarga
mencari agen yang memberangkatkan
16
korban bekerja di luar negeri. Akan
tetapi perusahaan tersebut (PT. Cipta
Wira Tirta) tidak merespon baik justru
melempar tanggungjawab dengan
menyatakan hanya berperan meng-
higher calon pelaut dan
meneruskannya ke agensi di negara
penerima (user) sedangkan kontrak
kerja pun dilaksanakan oleh Pelaut
dengan user di atas kapal (on board).
Akhirnya keluarga menemui
pihak BP3TKI Provinsi Bali dan
perwakilan pelaut untuk mendapatkan
informasi mengenai kematian Bagiade
pada saat bekerja di luar negeri.
BP3TKI Bali memperoleh informasi dari
Kementrian Luar Negeri, mengenai
keberadaan Bagiade yang secara
resmi dinyatakan meninggal dunia.
Selanjutnya atas bantuan BP3TKI
keluarga memperoleh hak-hak Bagiade
selaku TKI yang bekerja di kapal
berbendera asing.14
Dengan memanfaatkan data-data yang
terekam pada database pada saat
Bagiade melengkapi syarat-syarat
administratif ketika membuat KTKLN,
BP3TKI Bali dapat memberikan
proteksi kepada TKI dan keluarganya,
14 Lihat juga Putusan Perkara PTUN Nomor: 140/G/2014/PTUN-JKT, terkait dengan
gugatan terhadap Surat Edaran Kepala BNP2TKI Nomor SE.11/PEN/IV/2014 tanggal 17
April 2014 tentang Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN) yang diwajibkan bagi TKI
yang bekerja di Atas Kapal Berbendera Asing.
dalam hal ini diberikannya santunan
kepada keluarga I Nyoman Bagiade
sebesar 1, 2 Milyar Rupiah.
Gambar: Kartu Tenaga Kerja Luar
Negeri (KTKLN)
Keberadaan kelangkapan-
kelengkapan administratif maupun
dalam hal ini KTKLN menjadi sangat
penting, meskipun terjadi perbedaan
pendapat antara Dirjen Perhubungan
Laut (dengan surat yang dikirimkannya
kepada Dirjen Imigrasi Kementerian
Hukum dan Ham No. PK
302/1/3/DJPL.13 tanggal 27 Desember
2013 perihal Tidak Mempersyaratkan
Kepemilikan KTKLN Bagi Pelaut/ Awak
Kapal), dengan Badan Nasional
17
Penempatan dan Perlindungan Tenaga
Kerja Indonesia (BNP2TKI) yang
mengeluarkan surat edaran atas
respon surat dari Dirjen Perhubungan
Laut tersebut.
Keluarnya surat Dirjen Imigrasi
Kementerian Hukum dan Ham No. PK
302/1/3/DJPL.13 telah mendorong lima
Perwira Pelaut Niaga untuk menggugat
Surat Edaran Kepala BNP2TKI tentang
kewajiban KTKLN bagi TKI yang
bekerja di Atas Kapal Berbendera
Asing. Padahal kewajiban KTKLN ini
diamanatkan oleh UU No. 39 Tahun
2004 tentang Penempatan dan
Perlindungan TKI di Luar Negeri,
khususnya Pasal 62. TKI Pelaut,
disebutkan dalam UU No. 39 tahun
2014 sebagai jabatan khusus sesuai
bunyi pada pasal 28 dan akan diatur
dengan Peraturan Menteri. Namun
karena para stakeholder seperti
Kesatuan Pelaut Indonesia (KPI)
Jakarta dan Indonesian Fishery
Manning Agency (IFMA) di lapangan
menunggu terlalu lama keluarnya
peraturan tentang TKI Pelaut,
akhirnya pada 10 April 2013 Kepala
BNP2TKI, Moh Jumhur Hidayat
menerbitkan peraturan Nomor : PER-
12/KA/IV/2013 tentang Tata Cara
Perekrutan dan Perlindungan Pelaut Di
Kapal Berbendera Asing.
Kelima Perwira Niaga itu
beralasan, dengan adanya kewajiban
memiliki KTKLN bagi TKI Pelaut
Perikanan hal itu telah menghilangkan
kesempatan bekerja ke luar negeri
karena banyak TKI yang ditolak
berangkat karena ketika di airport tidak
membawa KTKLN. Karena dalam Surat
Edaran BNP2TKI dimaksud Para
Penggugat diwajibkan memiliki Kartu
Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN)
yang proses kepemilikannya dikenakan
biaya, menambah panjang birokrasi
dan mengeluarkan uang/biaya
tambahan untuk pembuatan KTKLN
yang sebenarnya tidak diperlukan
menurut Undang-Undang Nomor 1
tahun 2008 tentang Pengesahan ILO
Convention 185 Concerning Revising
The Seafarers Identity Documents
Convention. Namun alasan tersebut
tidak diterima oleh Majelis Hakim,
sehingga gugatan mereka di tolak.
Badan Nasional Penempatan
dan Perlindungan Tenaga Kerja
Indonesia (BNP2TKI) memenangkan
gugatan perkara yang diajukan oleh 5
orang Perwira Pelayaran Niaga
Indonesia atas Kartu Tenaga Kerja
Luar Negeri (KTKLN). Kelima Perwira
ini menggugat Surat Edaran Kepala
BNP2TKI Nomor SE.11/PEN/IV/2014
tanggal 17 April 2014 tentang Kartu
18
Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN)
yang diwajibkan bagi TKI yang bekerja
di Atas Kapal Berbendera Asing.
Berdasarkan Putusan Majelis
Hakim Nomor 140/G/2014/PTUN-JKT
menolak gugatan kelima orang Perwira
Pelayaran Niaga Indonesia atas Kartu
Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN).
Alasan hakim memenangkan BNP2TKI
juga didasarkan atas fakta-fakta yang
diungkapkan saksi-saksi tergugat,
seperti kesaksian yang disampaikan
oleh I Made Patera perwakilan dari
keluarga korban I Nyoman Bagiade.
Serta beberapa kesaksian yang
mengungkapkan pentingnya KTKLN
tersebut, di antaranya:
I Komang Swastana, yang memberikan
keterangan bahwa, Swastana adalah
TKI yang bekerja sebagai waiter
(pramusaji) di Kapal Pesiar Karnaval
(Cruiser/Kapal Niaga) yang merupakan
kapal berbendera asing. Sebagai
pelaut Swastana melengkapi dirinya
dengan dokumen-dokumen pelaut, di
antaranya Buku Pelaut dan Sertifikasi
keahlian yang diwajibkan bagi TKI
Pelaut. Swastana mengatakan bahwa
KTKLN-nya telah dimiliki sejak 2010
dan terus diperbaharui setiap berakhir
masa berlaku. Pengurusan KTKLN itu
mudah, setelah seluruh persyaratan
dipenuhi, pembuatan KTKLN memakan
waktu tidak lebih dari 3 (tiga) jam.
Pembuatan KTKLN di BP3 TKI Bali dan
pengurusan KTKLN sama sekali tidak
dipungut biaya.
Kesaksian juga datang dari
Sony Patiselano, merupakan
Sekretaris Pimpinan Pusat Kesatuan
Pelaut Indonesia (KPI), sebelum
bergabung dalam kepengurusan KPI,
Sony pernah bekerja sebagai Pegawai
Negeri Sipil (PNS) Kementrian
Perhubungan Ditjen Perhubungan
Laut. KPI merupakan Serikat Pekerja
Laut yang telah didirikan sejak tanggal
18 April 1976 dan KPI beranggotakan
Pekerja Pelaut dengan asas
keanggotaan sukarela. Sony
menegaskan bahwa, TKI Pelaut tunduk
pada peraturan perundang-undangan
ketenagakerjaan dan hukum positif di
Indonesia. Kewajiban KTKLN bagi TKI
telah diatur dalam Pasal 62 Undang-
Undang No. 39 Tahun 2004. Selain itu
kewajiban TKI Pelaut diatur dalam
Peraturan Kepala BNP2TKI Nomor 13
Tahun 2009 dikeluarkan dengan
memperhatikan surat dari CIMA. Yang
disebut pelaut adalah mereka yang
memiliki buku pelaut, dengan demikian
baik pelaut kapal ikan maupun pelaut
kapal niaga sepanjang mempunyai
buku maka dapat dinyatakan sebagai
19
pelaut. KTKLN merupakan kewajiban
negara sebagai pendataan TKI.
Kesaksian berikutnya dari Del
Agus, yang merupakan Ketua dari
Indonesia Fisherman Manning Agent
(IFMA), selain itu juga menjabat
sebagai Direktur Manning Agent PT.
Dwiyana Eka Lestari. Bahwa sebelum
diterbitkannya obyek sengketa a quo
pernah dilakukan sosialisasi di Hotel
Horrison Bekasi di awal tahun 2014,
pertemuan tersebut dihadiri oleh
berbagai asosiasi manning agent di
Indonesia yang diundang oleh
BNP2TKI. Pada pertemuan tersebut
diterangkan pentingnya KTKLN.
KTKLN merupakan kewajiban bagi TKI,
KTKLN berguna sebagai pendataan
TKI yang bekerja di luar negeri
termasuk di dalamnya TKI Pelaut,
pembuatan KTKLN tidak dipungut
biaya dan relatif cepat.
Berdasarkan pertimbangan
tersebutlah, Hakim memutuskan untuk
memenangkan tergugat dalam perkara
tersebut. KTKLN merupakan wujud
perlindungan, KTKLN merupakan
kelengkapan dokumen-dokumen bagi
TKI yang bekerja di luar negeri, baik
pelaut kapal ikan ataupun pelaut kapal
niaga.
D. Catatan Akhir
Sesuai dengan penjelasan yang tertera
pada Peraturan Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi Republik Indonesia
Nomor PER.14/MEN/X/2010 tentang
Pelaksanaan Penempatan dan
Perlindungan TKI di luar negeri, KTKLN
merupakan kartu identitas bagi TKI
yang memenuhi prosedur dan syarat
syarat untuk bekerja di luar negeri dan
wajib dimiliki oleh TKI yang bekerja di
luar negeri, karena melalui program
pembuatan KTKLN ini sekaligus
digunakan mendata TKI yang bekerja
di luar negeri oleh pemerintah.
Latar belakang terjadinya
penempatan TKI secara non
procedural adalah karena kurangnya
pemahaman masyarakat tentang
prosedur penempatan dan
perlindungan TKI. Biasanya pratik ini
dilakukan oleh pihak calo ataupun agen
TKI yang ingin mencari keuntungan.
Menjadi TKI non prosedural sangat
merugikan bagi TKI itu sendiri, resiko
yang akan dialami oleh TKI apabila
menjadi TKI yang non prosedural , di
antaranya :
- Sponsor / calo / orang yang
menjanjikan pekerjaan dapat
melarikan uang yang disetor
oleh calon TKI;
- Tidak aman, dikarenakan tidak
mendapat jaminan
20
perlindungan yang pasti di
Negara penempatan TKI
tersebut;
- Diperlakukan tidak manusiawi
mulai dari penampungan
sampai diberangkatkan ke luar
negeri;
- Gaji yang diterima oleh TKI
tersebut sangatlah rendah,
bahkan beberapa ada yang
tidak mendapatkan gaji.
- Dibatasi hak dan kewajibannya
oleh majikan tempat TKI
tersebut bekerja;
- Selalu khawatir dan was-was
ditangkap oleh aparat
keamanan Negara setempat,
karena apabila diketahui
merupakan TKI illegal akan
ditangkap (dipenjara) bahkan
kemudian dipulangkan secara
paksa (deportasi);
- Tidak mendapatkan jaminan
asuransi yang jelas jika
mengalami sakit, musibah,
kecelakaan kerja, maupun
kematian.
Kedepannya diharapkan para
CTKI maupun TKI yang sudah pernah
15BNP2TKI, 2015, Materi Sosialisasi Bidang Penempatan: Pencegahan TKI Non
Prosedural, URL : http://www.bnp2tki.go.id/read/10002/Materi-Sosialisasi-Bidang-
Penempatan-:-Pencegahan-TKI-Non-Prosedural.html, diakses pada tanggal 12 Agustus 2015.
bekerja ke luar negeri, diharapkan lebih
bisa berhati-hati dalam memilih dan
menggunakan agen-agen penyalur
TKI, para TKI diharapkan
menggunakan PPTKIS yang sudah
terdaftar secara resmi.
Langkah-langkah yang dapat di
tempuh TKI atau CTKI yang ingin
bekerja di luar negeri secara legal /
prosedural adalah sebagai berikut :15
- Carilah informasi PPTKIS yang
resmi dan terdaftar di kantor
dinas yang menangani
Ketenagakerjaan
Kabupaten/Kota, BP3TKI/UPT-
P3TKI, LP3TKI, dan P4TKI,
PPTKIS, Disnaker
Kabupaten/Kota setempat;
- Ikuti penyuluhan oleh petugas
BNP2TKI/BP3TKI/UPT-
P3TKI/LP3TKI, dan P4TKI,
PPTKIS, dan Disnaker
Kabupaten/Kota setempat;
- Mendaftar di Disnaker
Kota/Kabupaten;
- Ikuti proses seleksi yang
dilakukan oleh PPTKIS dan
Disnaker Kota/Kabupaten;
- Menandatangani perjanjian
penempatan dengan PPTKIS
21
yang disahkan oleh Disnaker
Kota/Kabupaten;
- Pastikan mendapatkan
asuransi, pendidikan dan
pelatihan, mendapatkan paspor
dan visa kerja;
- Memahami isi dan
menandatangani Perjanjian
Kerja (PK) yang tela disahkan
oleh perwakilan RI;
- Wajib mengikuti Pembekalan
Akhir Pemberangkatan (PAP)
dari BP3TKI/UPT-P3TKI;
- Wajib memiliki KTKLN yang
dapat diperoleh secara gratis di
BP3TKI/UPT-P3TKI, LP3TKI,
dan P4TKI;
- Melapor ke Perwakilan RI
setelah tiba di Negara
penempatan yang telah
ditentukan;
- Setelah kontrak kerja berakhir,
kembali ke tanah air dan bagi
yang bermasalah diharapkan
melapor ke petugas BNP2TKI
dan BP3TKI/UPT-P3TKI di
bandara maupun pelabuhan.
E. Kesimpulan
Refleksi terhadap permasalah-
permasalahan penempatan dan
perlindungan TKI menyiratkan bahwa,
masih banyak diperlukan pembenahan,
baik dari pengaturan, kelembagaan
yang terkait di dalamnya, serta
pengelolaan. Pada kasus tersebut di
atas dipahami bahwa aspek
perlindungan terhadap penempatan
tenaga kerja di luar negeri sangat
terkait pada sistem pengelolaan dan
pengaturan yang dilakukan berbagai
pihak yang terlibat pada pengiriman
tenaga kerja Indonesia keluar negeri.
22
F. Daftar Pustaka
Bassina Farbenblum, Eleanor Taylor-
Nicholson, dan Sarah Paoletti, Akses
Buruh Migran Terhadap Keadilan Di
Negara Asal: Studi Kasus Indonesia,
diterbitkan oleh Open Society
Foundations, New York, Amerika
Serikat.
Lalu Husni, 2014, Pengantar Hukum
Ketenaga Kerjaan Indonesia, Edisi
Revisi, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
Mohd. Syaufii Syamsuddin, 2004,
Norma Perlindungan Dalam Hubungan
Industrial, Penerbit Sarana Bhakti
Persada, Jakarta.
Ni Ketut Supasti Dharmawan, Made
Gde Subha Karma Resen, Cokorda
Dalem Dahana, & Cok. Istri Diah
Widyantari P. D., 2015, Implementasi
Ketentuan Hukum Tentang
Penempatan Dan Perlindungan
Tenaga Kerja Indonesia Asal Provinsi
Bali Di Luar Negeri, Hasil Penelitian
Hibah Unggulan Program Studi,
Fakultas Hukum Universitas Udayana.
Surat Edaran Kepala BNP2TKI Nomor
SE.11/PEN/IV/2014 tanggal 17 April
2014 tentang Kartu Tenaga Kerja Luar
Negeri (KTKLN)
http://www.bnp2tki.go.id/read/9810/BN
P2TKI-Menangkan-Gugatan-Perkara-
Hukum-atas-KTKLN
Laboratorium Pusat Data Hukum
Fakultas Hukum UAJY, 2006,
Himpunan Lengkap Undang-Undang
Bidang Perburuhan, C.V. Andi Offset,
Yogyakarta.
Berita Acara Kronologis Penanganan
Kasus TKI Spa atas nama Ni Kadek
Yuli Marisa Dewi, Jessica Herlina Mila
Agnesia, Yanika Sriwedari, Ni Ketut
Sukerni, Nomor: B2698/BP3TKI-
DPS/PL/XI/2014 Tanggal 14 November
2014.
Putusan Perkara PTUN Nomor:
140/G/2014/PTUN-JKT, terkait dengan
gugatan terhadap Surat Edaran Kepala
BNP2TKI Nomor SE.11/PEN/IV/2014
tanggal 17 April 2014 tentang Kartu
Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN)
yang diwajibkan bagi TKI yang bekerja
di Atas Kapal Berbendera Asing.
BNP2TKI, 2015, Materi Sosialisasi
Bidang Penempatan: Pencegahan TKI
Non Prosedural, URL :
http://www.bnp2tki.go.id/read/10002/M
23
ateri-Sosialisasi-Bidang-Penempatan-
:-Pencegahan-TKI-Non-
Prosedural.html, diakses pada tanggal
12 Agustus 2015.
PT. Nahelindo Pratama Diduga
Lakukan Penempatan Non Prosedural
ke Rusia, dapat diakses pada:
http://www.bnp2tki.go.id/read/9498/TKI
-Ditahan-Petugas-Rusia-BP3TKI-Bali-
Pelajari-Pelanggaran-PPTKIS--
PT. Nahelindo Pratama Diduga
Lakukan Penempatan Non Prosedural
ke Rusia, dapat diakses pada:
http://www.bnp2tki.go.id/read/9498/TKI
-Ditahan-Petugas-Rusia-BP3TKI-Bali-
Pelajari-Pelanggaran-PPTKIS--
Tiga TKW asal Bali Di Penjara di Rusia,
dapat diakses pada:
http://www.nusabali.com/opendoc.php
?id=32190&page=&date=
24
PENYELESAIAN PERSELISIHAN PENGUPAHAN DALAM HUBUNGAN
INDUSTRIAL
Dr.Lanny Ramli, S.H., M.Hum
Inti Sari
Dalam hubungan kerja antara pekerja dan pemberi kerja rentan terjadi perselisihan.
Perselisihan ini disebabkan sudut pandang yang berbeda. Pekerja menginginkan
mendapatkan hasil yang sebanyak-banyaknya (berupa upah) tetapi dengan
mengeluarkan tenaga sesedikit mungkin. Pihak pemberi kerja menginginkan
mendapatkan hasil sebesar-besarnya dari tenaga pekerja dengan mengeluarkan
uang sesedikit mungkin. Perselisihan yang menonjol adalah tentang pengupahan.
Perselisihan tentang upah yang menyangkut orang perorangan (individual)
dikategorikan sebagai perselisihan hak. Perselisihan tentang upah yang menyangkut
kepentingan orang banyak (kolektif) dan ada kaitannya dengan tidak adanya
kesesuaian pendapat mengenai pembuatan dan / atau perubahan syarat-syarat kerja
yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian
kerja bersama dikategorikan sebagai perselisihan kepentingan. Pihak yang berselisih
apabila tidak memilih penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase, wajib
diselesaikan melalui mediasi. Produk hukum dari mediator di Dinas Ketenagakerjaan
adalah anjuran. Jenis perselisihan pengupahan hanya perselisihan hak bukan
perselisihan kepentingan karena perselisihan kepentingan menyangkut perubahan
tentang syarat-syarat kerja. Pihak yang tidak setuju dengan anjuran mediator dapat
menggugat di Pengadilan Hubungan Industrial sebagai pengadilan tingkat
pertamanya dan ada upaya hukum kasasi di Mahkamah Agung.
Kata Kunci : Pemberi Kerja – Pekerja – Perselisihan Pengupahan - Mediator – Mediasi
– Perselisihan Hak – Perselisihan Kepentingan – Pengadilan Hubungan Industrial -
Kasasi
25
I. PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Hubungan industrial adalah suatu
system hubungan yang terbentuk
antara para pelaku dalam proses
produksi barang dan / atau jasa yang
terdiri dari unsur pengusaha, pekerja /
buruh dan pemerintah yang didasarkan
pada nilai-nilai Pancasila dan Undang
Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Hubungan kerja
adalah hubungan antara pengusaha
dengan pekerja / buruh berdasarkan
perjanjian kerja, yang mempunyai
unsur pekerjaan, upah dan perintah.
Perselisihan hubungan industrial
adalah perbedaan pendapat yang
mengakibatkan pertentangan antara
pengusaha atau gabungan pengusaha
dengan pekerja / buruh atau serikat
pekerja / serikat buruh karena adanya
perselisihan mengenai hak,
perselisihan kepentingan, perselisihan
pemutusan hubungan kerja dan
perselisihan antar serikat pekerja/
serikat buruh dalam satu perusahaan.
Dalam Undang Undang Nomor 2
Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial
terdapat 4 macam perselisihan yang
diatur yaitu perselisihan hak,
perselisihan kepentingan, perselisihan
PHK dan perselisihan antar serikat
pekerja dalam satu perusahaan.
Perselisihan hak adalah
perselisihan yang timbul karena tidak
dipenuhinya hak, akibat adanya
perbedaan pelaksanaan atau
penafsiran terhadap ketentuan
peraturan perundang-undangan,
perjanjian kerja, peraturan perusahaan
atau perjanjian kerja bersama.
Perselisihan kepentingan adalah
perselisihan yang timbul dalam
hubungan kerja karena tidak adanya
kesesuaian pendapat mengenai
pembuatan, dan/atau perubahan
syarat-syarat kerja yang ditetapkan
dalam perjanjian kerja, atau peraturan
perusahaan atau perjanjian kerja
bersama.
Perselisihan pemutusan hubungan
kerja adalah perselisihan yang timbul
karena tidak adanya kesesuaian
pendapat mengenai pengakhiran
hubungan kerja yang dilakukan oleh
salah satu pihak.
Perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh adalah
perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh dengan serikat
pekerja/serikat buruh lain hanya dalam
satu perusahaan, karena tidak adanya
kesesuaian paham mengenai
26
keanggotaan, pelaksanaan hak dan
kewajiban keserikat pekerjaan.
Berbagai macam cara digunakan
untuk menyelesaikan sengketa yang
mereka hadapi, mulai dari
penyelesaian oleh para pihak secara
kooperatif, dengan bantuan orang lain
atau pihak ketiga yang bersifat netral
dan sebagainya. Penyelesaian
semacam ini lazim disebut
penyelesaian sengketa di luar
pengadilan atau alternative dispute
resolution (ADR) yang dalam
masyarakat Indonesia penyelesaian
sengketa semacam ini sudah lama
dikenal, yakni melalui musyawarah
mufakat baik dengan melibatkan pihak
lain maupun tidak. Jika tidak mencapai
titik temu, para pihak akan menempuh
jalur pengadilan.
Penyelesaian perselisihan
hubungan industrial dapat ditempuh
melalui bipartit, mediasi, konsiliasi,
arbitrase dan sistem pengadilan ad
hoc. Dalam perundingan bipartit,
apabila telah mencapai kesepakatan
perlu dibuatkan Perjanjian Bersama
yang ditandatangani para pihak.
Perjanjian Bersama itu wajib
didaftarkan para pihak pada
Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri (PN) di wilayah para
pihak mengadakan Perjanjian
Bersama. Perjanjian Bersama itu wajib
dilaksanakan oleh para pihak, apabila
ada pihak yang dirugikan dapat
mengajukan permohonan eksekusi
pada Pengadilan Hubungan Industrial
pada PN di wilayah Perjanjian Bersama
itu didaftar untuk mendapat penetapan
eksekusi (Pasal 7 ayat (5) UUPPHI).
Adapun tatacaranya sebagai berikut :
1. Setelah tercapai kesepakatan
maka dibuat perjanjian bersama
yang ditandatangani para pihak
dan disaksikan mediator
2. Perjanjian Bersama tersebut
didaftar di Pengadilan
Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri di wilayah
hukum pihak-pihak yang
mengadakan Perjanjian
Bersama untuk mendapatkan
akta bukti pendaftaran dan
merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Perjanjian
Bersama.
3. Apabila Perjanjian Bersama
tidak dilaksanakan oleh salah
satu pihak, maka pihak yang
dirugikan dapat mengajukan
permohonan eksekusi kepada
Pengadilan Hubungan Industrial
pada Pengadilan Negeri di
wilayah Perjanjian Bersama
didaftar.
27
4. Dalam hal pemohon eksekusi
berdomisili di luar wilayah
hukum Pengadilan Hubungan
Industrial tempat pendaftaran
Perjanjian Bersama, maka
pemohon eksekusi dapat
mengajukan permohonan
eksekusi melalui Pengadilan
Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri di wilayah
domisili pemohon eksekusi
untuk diteruskan ke Pengadilan
Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri yang
berkompeten melaksanakan
eksekusi.
Demikian pula yang diamanatkan
oleh Undang Undang Nomor 2 Tahun
2004, ada sarana yang disebut dengan
mediasi, konsiliasi dan arbitrase.
Instansi yang bersangkutan wajib
menawarkan kepada para pihak untuk
menyepakati memilih penyelesaian
melalui konsiliasi atau melalui
arbitrase. Dalam hal para pihak tidak
menetapkan pilihan penyelesaian
melalui konsiliasi atau arbitrase maka
wajib diselesaikan melalui mediasi. Hal
ini diatur dalam Pasal 4 ayat (4)
Undang Undang Nomor 2 Tahun 2004
tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial (selanjutnya
disebut UU PPHI) :
Dalam hal para pihak tidak menetapkan
pilihan penyelesaian melalui konsiliasi
atau arbitrase dalam waktu 7 (tujuh)
hari kerja, maka instansi yang
bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan melimpahkan
penyelesaian perselisihan kepada
mediator.
Pasal 8 UU PPHI menyatakan
bahwa penyelesaian perselisihan
melalui mediasi dilakukan oleh
mediator yang berada di setiap kantor
instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan Kabupaten /
Kota, sedangkan mengenai status
mediator secara jelas dapat diketahui
dari penjelasan Pasal 9 UU PPHI yaitu
:
Oleh karena mediator adalah seorang
pegawai negeri sipil, maka selain
syarat-syarat yang ada dalam pasal ini
harus dipertimbangkan pula ketentuan
yang mengatur tentang pegawai negeri
sipil pada umumnya.
Hal ini dipertegas oleh
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Republik Indonesia
Nomor : KEP-92/MEN/VI/2004 tentang
Pengangkatan Dan Pemberhentian
Mediator Serta Tata Kerja Mediasi dan
Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja
28
dan Transmigrasi R.I Nomor : SE-
01/PHIJSK/I/2006 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Penanganan Perselisihan
Hubungan Industrial Di Luar
Pengadilan Sebagai Pelaksanaan
Undang Undang Nomor 2 Tahun 2004.
Undang Undang Nomor 2 Tahun 2004
merupakan penyempurnaan dari
Undang Undang Nomor 22 Tahun 1957
tentang Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan. Penyelesaian sengketa
perburuhan pada awalnya diatur dalam
Undang Undang Nomor 22 Tahun 1957
tentang Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan. Perselisihan perburuhan
menurut Pasal 1 ayat 1 huruf c adalah
pertentangan antara majikan atau
perkumpulan majikan dengan serikat
buruh atau gabungan serikat buruh
berhubung dengan tidak adanya
persesuaian paham mengenai
hubungan kerja, syarat-syarat kerja
dan / atau keadaan perburuhan.
Pada UU No 22 Tahun 1957
terdapat 2 macam perselisihan
perburuhan yakni perselisihan hak
(rechtsgeschil, conflict of right ) dan
perselisihan kepentingan
(belangengeschillen, conflict of
interest). Hal ini membedakan kasus
perselisihan perburuhan dengan kasus
perkara perdata pada umumnya.
Perselisihan hak semula diperiksa dan
diputus oleh pengadilan (116 g
Reglement op de rechterlijke
organitatie S 1847 Nomor 23), namun
Panitia Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan (P4) berdasarkan UU
Nomor 22 Tahun 1957 juga berwenang
menyelesaikan perselisihan hak
dengan ketentuan yang diperkenankan
beracara di muka P4 hanyalah serikat
buruh atau gabungan serikat buruh
dengan majikan atau perkumpulan
majikan. Dalam hal ini buruh
perorangan atau sekumpulan buruh
yang tidak tergabung dalam serikat
buruh tidak diperkenankan beracara di
P4.
Perumusan Masalah
Yang menjadi masalah dalam tulisan ini
adalah pergeseran jenis perselisihan
dalam perselisihan tentang
pengupahan.
II. PEMBAHASAN
Penyelesaian Non Litigasi dan
Litigasi
Segala warga Negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya. Setiap orang berhak
29
atas pengakuan, jaminan,
perlindungan dan kepastian hukum
yang adil serta perlakuan yang
sama di hadapan hukum. Pokok-
pokok pikiran dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 itu tadi
dijabarkan dalam Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia di dalam Pasal 3
ayat (2) yaitu :
“Setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan
dan perlakuan yang sama di depan
hukum”
Hak-hak asasi ini dituangkan
dalam Pernyataan Sedunia Tentang
Hak Hak Asasi Manusia atau
disebut juga Deklarasi Sedunia
Tentang Hak Hak Asasi Manusia.
Ketentuan-ketentuan dalam
International Covenant Economy
Social and Culture 1966 ini
dituangkan lebih rinci dalam
Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Penuangannya ada dalam Pasal 3
dan Pasal 5. Berdasar ketentuan-
ketentuan ini maka pihak pekerja
yang biasanya mendapat
kedudukan secara sosiologis dan
ekonomis lebih rendah daripada
pemberi kerja, berhak
memperjuangkan keadilan dan
mendapatkan keadilan terutama
dalam hal pengupahan.
Ada tiga hal pokok yang
diharapkan oleh setiap pencari
keadilan. Menurut A. Mukti Arto tiga
hal pokok itu adalah:
1.Mendapat perlakuan yang adil
dan manusiawi;
2.Mendapat pelayanan yang
simpati dan bantuan yang
diperlukan;
3.Mendapat penyelesaian atas
perkaranya itu secara efektif,
efisien, tuntas dan final sehingga
memuaskan.
Pekerja sangat memerlukan
perlakuan yang adil dan manusiawi,
sangat memerlukan pelayanan
yang simpati dan bantuan yang
diperlukan dan patut mendapat
penyelesaian secara efektif, efisien,
tuntas, final. Peraturan perundang-
undangan memberikan sarana ini
dengan adanya mediator dari Dinas
Ketenagakerjaan setempat.
Hadirnya pihak ketiga dalam
mekanisme penyelesaian sengketa
apapun, pada dasarnya
menghadirkan kelompok
kepentingan baru, menggeser
konflik kepentingan ke arah konflik
nilai. Setelah berlakunya Undang
30
Undang Nomor 2 Tahun 2004
tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial (selanjutnya
disingkat UUPHI) perselisihan
perburuhan disebut sebagai
perselisihan hubungan industrial.
Perselisihan hubungan industrial
adalah perselisihan yang
disebabkan :
1. Perbedaan
pendapat/kepentingan mengenai
keadaan ketenagakerjaan yang
belum diatur dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, perjanjian
kerja bersama atau peraturan
perundang-undangan.
2. Kelalaian/ketidakpatuhan salah
satu/para pihak dalam
melaksanakan ketentuan normatif
yang telah diatur dalam perjanjian
kerja, peraturan perusahaan,
perjanjian kerja bersama atau
peraturan perundang-undangan
3. Pengakhiran hubungan kerja
4. Perbedaan pendapat antar
serikat pekerja/serikat buruh dalam
satu perusahaan mengenai
pelaksanaan hak dan kewajiban
keserikatpekerjaan. 1
1 Penjelasan Undang Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial 2 Aloysius Uwiyono, Hak Mogok di Indonesia, Universitas Indonesia Fakultas Hukum
Program Pascasarjana, Jakarta, 2001 , h.216.
Adapun jenis perselisihan
hubungan industrial menurut
UUPHI meliputi :
1. Perselisihan Hak
2. Perselisihan Kepentingan
3. Perselisihan Pemutusan
Hubungan Kerja
4. Perselisihan Antar Serikat
Pekerja/serikat buruh haya dalam
satu perusahaan
Obyek sengketa dalam
perselisihan hak adalah tidak
terpenuhinya hak yang telah
ditetapkan karena adanya
perbedaan
implementasi/penafsiran ketentuan
peraturan perundang-undangan,
perjanjian kerja, peraturan
perusahaan atau perjanjian kerja
bersama yang melandasi hak yang
disengketakan.2
Dalam perselisihan
kepentingan, obyek sengketanya
karena tidak adanya kesesuaian
paham/pendapat mengenai
pembuatan dan atau perubahan
syarat-syarat kerja yang ditetapkan
dalam perjanjian kerja, atau
31
peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja bersama.3
Penyelesaian perselisihan
menurut Undang Undang Nomor 22
Tahun 1957 tentang Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan dilakukan
juga oleh pegawai perantara.
Keberadaan pegawai perantara
dilegalkan oleh Undang Undang
Nomor 22 Tahun 1957 tentang
Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan. Dalam hal perusahaan
telah melaksanakan perundingan
tidak membawa hasil maka para
pihak atau salah satu pihak yang
berselisih dapat menyerahkan
perselisihannya ke kantor
Departemen Tenaga Kerja
setempat di mana para pihak yang
berselisih atau secara bersama-
sama dapat menunjuk juru/dewan
pemisah untuk menyelesaikan
perselisihan mereka dengan syarat
bahwa keputusan dari juru/dewan
pemisah akan disetujui oleh kedua
belah pihak. Keputusan juru/dewan
pemisah sesudah disahkan oleh
Panitia Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan Pusat (P4P)
mempunyai kekuatan hukum
3 Lalu Husni, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Pengadilan dan Di
Luar Pengadilan, Raja Grafindo, Jakarta, 2004, h.45 4 Lanny Ramli, Hukum Ketenagakerjaan, Airlangga University Press, Surabaya, h.47
sebagai putusan P4P. Panitia
Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan Daerah (P4D) dan
Panitia Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan Pusat (P4P) termasuk
peradilan semu pada masa
berlakunya Undang Undang Nomor
22 Tahun 1957 tentang
Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan.
Di dalam Undang Undang
Nomor 22 Tahun 1957 tentang
Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan dikenal adanya dua
macam perselisihan perburuhan 4
yaitu : Perselisihan hak dan
Perselisihan kepentingan.
Perselisihan hak adalah tidak
adanya persesuaian paham
mengenai hubungan kerja.
Penyelesaian perselisihan hak
dapat ditempuh di Pengadilan
Negeri dan dapat pula ditempuh
melalui Panitia Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan. Ada dua
perbedaan pokok dalam
menyelesaiakan perselisihan ini
yaitu :
1.Yang dapat menuntut di Panitia
Penyelesaian Perselisihan
32
Perburuhan Daerah (P4D)
hanyalah najikan dan
organisasipekerja, tidak
perseorangan, sedangkan di
Pengadilan Negeri pekerja
perorangan dapat mengajukan
tuntutannya.
2.Sanksi putusan Pengadilan
Negeri adalah sanksi perdata,
sedangkan pihak yang tidak tunduk
pada putusan Panitia Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan Daerah
(P4D) dikenakan pidana kurungan
atau denda. Perselisihan
kepentingan adalah mengenai
usaha mengadakan perubahan
dalam syarat-syarat perburuhan
yang oleh organisasi dituntutkan
pada pihak majikan atau
pertentangan berhubungan dengan
tidak adanya persesuaian paham
mengenai syarat-syarat perburuhan
yang oleh organisasi dituntutkan
pada pihak majikan. Berdasar
undang-undang ini perselisihan
pengupahan , terutama yang
menyangkut kepentingan orang
banyak, dikategorikan sebagai
perselisihan kepentingan.
Keberadaan pegawai perantara
dalam Undang Undang Nomor 22
Tahun 1957 tentang Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan
nampaknya dioperalih oleh
mediator dalam Undang Undang
Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial.Pengertian
mediator menurut Undang Undang
Nomor 2 Tahun 2004 adalah
pegawai instansi pemerintah yang
bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan yang memenuhi
syarat-syarat sebagai mediator
yang ditetapkan oleh Menteri untuk
bertugas melakukan mediasi dan
mempunyai kewajiban memberikan
anjuran tertulis kepada para pihak
yang berselisih untuk
menyelesaikan perselisihan hak,
perselisihan kepentingan,
perselisihan pemutusan hubungan
kerja, dan perselisihan antarserikat
pekerja/serikat buruh hanya dalam
satu perusahaan.
Dalam hal para pihak tidak
menetapkan pilihan penyelesaian
melalui konsiliasi atau arbitrase
dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja,
maka instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan
melimpahkan penyelesaian
perselisihan kepada mediator.
Keberadaan mediator dalam
Undang Undang Nomor 2 Tahun
2004 tentang Penyelesaian
33
Perselisihan Hubungan Industrial
setara dengan pegawai perantara
dalam Undang Undang Nomor 22
Tahun 1957 tentang Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan.
Penyelesaian perselisihan
hubungan industrial ditempuh
melalui beberapa langkah.
Perselisihan hubungan industrial
wajib diupayakan penyelesaiannya
terlebih dahulu melalui perundingan
bipartit secara musyawarah untuk
mencapai mufakat. Perselisihan
hubungan industrial bisa
dikategorikan sebagai konflik atau
sengketa yaitu situasi (keadaan) di
mana dua atau lebih pihak-pihak
memperjuangkan tujuan masing-
masing yang tidak dapat
dipersatukan dan di mana tiap-tiap
pihak mencoba meyakinkan pihak
lain mengenai kebenaran tujuan
masing-masing.
Dalam Pasal 56 Undang
Undang Nomor 2 Tahun 2004
tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial dijelaskan
bahwa pengadilan hubungan
industrial mengadili di tingkat
pertama untuk perselisihan hak.
Dilanjutkan dalam Pasal 108 dan
Pasal 110 dijelaskan bahwa untuk
perselisihan hak masih ada upaya
kasasi. Salah satu pihak yang
hendak mengajukan permohonan
kasasi harus menyampaikan secara
tertulis melalui Sub Kepaniteraan
Pengadilan Hubungan Industrial
pada Pengadilan Negeri setempat.
Hal itu diatur dalam Pasal 11
Undang Undang Nomor 2 Tahun
2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan
Industrial.Tata cara permohonan
kasasi perselisihan hak diatur
dalam Pasal 114 dan
penyelesaiannya selambat-
lambatnya 30 (tiga puluh) hari
terhitung sejak tanggal penerimaan
permohonan kasasi (diatur dalam
Pasal 115 Undang Undang Nomor 2
Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial).
2.Perselisihan Pengupahan
Pengertian upah berdasar
Undang Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan
adalah hak pekerja / buruh yang
diterima dan dinyatakan dalam
bentuk uang sebagai imbalan dari
pengusaha atau pemberi kerja
kepada pekerja / buruh yang
ditetapkan dan dibayarkan menurut
suatu perjanjian kerja, kesepakatan
atau peraturan perundang-
undangan, termasuk tunjangan bagi
34
pekerja / buruh dan keluarganya
atas suatu pekerjaan dan / atau jasa
yang telah atau akan dilakukan.
Secara umum : upah adalah
pembayaran yang diterima pekerja
selama ia melakukan pekerjaan
atau dipandang melakukan
pekerjaan.
Beberapa pendapat tentang
pengupahan 5:
1.Nurimansyah Haribuan : upah
adalah segala bentuk penghasilan
(caring) yang diterima buruh /
pegawai baik berupah uang
ataupun barang dalam jangka
waktu tertentu pada suatu kegiatan
ekonomi
2.G.Reynold mengkategorikan
upah menurut pandangan buruh ,
majikan dan serikat buruh.
Bagi majikan : upah itu adalah biaya
produksi yang harus ditekan
serendah-rendahnya agar harga
barangnya nanti tidak terlalu tinggi
atau keuntungannya menjadi lebih
tinggi .
Bagi organisasi buruh adalah obyek
yang menjadi perhatiannya untuk
dirundingkan dengan majikan agar
dinaikkan
Bagi buruh adalah jumlah uang
yang diterimanya pada waktu
5 Lalu Husni, Dasar Dasar Hukum Perburuhan, Rajawali Pers, Jakarta, 2014, h. 86-87
tertentu atau lebig penting lagi :
jumlah barang kebutuhan hidup
yang ia dapat beli dari upah itu.
Ada 3 (tiga) jenis teori upah yang
dikemukakan dalam tulisan ini yaitu
:
1.David Ricardo : Upah ditetapkan
dengan berpedoman kepada biaya-
biaya yang diperlukan untuk
mengongkosi segala keperluan
hidup buruh / tenaga kerja.
2.Lassale , Teori Undang Undang
Upah Besi :
Menurut teori ini, upah normal di
atas hanya memenangkan majikan
saja karena menurut teori upah
normal ya cuma itu saja
kemampuan perusahaan.
Menurut teori ini, buruh harus
berusaha menentangnya agar ia
dapat mencapai kesejahteraan
hidup.
3.John Stuart Mill Senior , Teori
Dana Upah :
Buruh tidak perlu menentang
seperti yang disarankan oleh teori
Undang Undang Upah Besi , karena
upah yang diterimanya sebetulnya
adalah berdasarkan kepada besar
kecilnya jumlah dana yang ada
pada masyarakat.
35
Jenis-jenis upah adalah sebagai
berikut6 :
1.Upah Nominal : sejumlah uang
yang dibayarkan kepada buruh
yang berhak secara tunai sebagai
imbalan pengerahan jasa-jasa atau
pelayanannya sesuai ketentuan
yang terdapat dalam perjanjian
kerja
2.Upah Nyata : uang yang nyata
yang benar-benar harus diterima
oleh seseorang buruh yang berhak.
3.Upah Hidup : upah yang diterima
buruh relatif cukup untuk membiayai
keperluan hidupnya secara luas
yang tidak hanya kebutuhan
pokoknya melainkan kebutuhan
sosial dan keluarganya.
4.Upah Minimum : upah terendah
yang akan dijadikan standar oleh
majikan untuk menentukan upah
yang sebenarnya dari buruh yang
bekerja di perusahaannya
5.Upah Wajar : upah yang secara
relatif dinilai cukup wajar oleh
pengusaha dan buruh sebagai
imbalan atas jasa-jasanya pada
perusahaan
Perselisihan mengenai upah
pada waktu lalu sesuai dengan
6 Ibid.,h.88
Undang Undang Nomor 22 Tahun
1957 tentang Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan adalah
perselisihan kepentingan tetapi
sesuai dengan Undang Undang
Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial perselisihan
kepentingan menyangkut
pembuatan dan atau perubahan
syarat-syarat kerja yang ditetapkan
dalam perjanjian kerja, atau
peraturan perusahaan, atau
perjanjian kerja bersama.
Perselisihan tentang upah baik
yang menyangkut perorangan
maupun orang banyak (kolektif)
termasuk perselisihan hak apabila
tidak menyangkut perubahan syarat
kerja yang ditetapkan dalam
perjanjian kerja, atau peraturan
perusahaan atau perjanjian kerja
bersama.
Dalam menyelesaikan
perselisihan pengupahan melalui
mediasi, mediator akan
mengeluarkan anjuran tertulis
sebagai tindak lanjut atas tidak
tercapainya kesepakatan selambat-
lambatnya 10 hari kerja sejak
sidang kepada para pihak. Mediator
menyelesaikan tugasnya dalam
36
waktu selambat-lambatnya 30 hari
terhitung sejak menerima
pelimpahan penyelesaian
perselisihan.
Produk hukum mediator adalah
anjuran. Anjuran tertulis dalam
waktu selambat-lambatnya 10
(sepuluh) hari kerja sejak sidang
mediasi pertama harus sudah
disampaikan kepada para pihak.
Para pihak harus sudah
memberikan jawaban tertulis
kepada mediator yang isinya
menyetujui atau menolak anjuran
tertulis dalam waktu selambat-
lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja
setelah menerima anjuran tertulis.
Pihak yang tidak memberikan
pendapatnya dianggap menolak
anjuran tertulis dari mediator
tersebut.
Dalam kaitan apabila ada pihak
yang tidak menyetujui isi anjuran
dari mediator, pihak tersebut
mengajukan gugatan ke Pengadilan
Hubungan Industrial. Pengadilan
Hubungan Industrial merupakan
pengadilan khusus yang berada
pada lingkungan peradilan umum.
Pengadilan hubungan industrial
bertugas dan berwenang
memeriksa dan berwenang
memeriksa dan memutus di tingkat
pertama mengenai perselisihan
hak. Gugatan perselisihan
hubungan industrial diajukan
kepada pengadilan hubungan
industrial pada Pengadilan Negeri
yang daerah hukumnya meliputi
tempat pekerja / buruh bekerja.
Dalam hal tertentu, yaitu apabila
perselisihan hak dan / atau
perselisihan kepentingan diikuti
dengan perselisihan hubungan
kerja , maka pengadilan hubungan
industrial wajib memutus terlebih
dahulu perkara perselisihan hak
dan / atau perselisihan kepentingan.
Kesimpulan
Pergeseran pengertian dan jenis
perselisihan untuk perselisihan
upah yang diusung oleh Undang
Undang Nomor 2 Tahun 2004
tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial yang
menggantikan Undang Undang
Nomor 22 Tahun 1957 tentang
Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan lebih menguntungkan
bagi pekerja yang menuntut
keadilan.
Rekomendasi
Perlu diberikan pemahaman
mendalam bagi setiap pihak yang
terlibat dalam perselisihan
37
pengupahan karena pada Undang
Undang Nomor 22 Tahun 1957
tentang Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan perselisihan tentang
upah dapat dikategorikan sebagai :
1.Perselisihan Hak untuk masalah
perselisihan pengupahan secara
perorangan (individual).
2.Perselisihan Kepentingan untuk
masalah perselisihan pengupahan
secara kolektif ;
sedangkan dalam Undang Undang
Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial , perselisihan
pengupahan itu termasuk
perselisihan hak.
Hal ini penting difahami karena ada
perbedaan upaya hukum antara
perselisihan hak dan perselisihan
kepentingan.
Pihak yang tidak menyetujui isi
anjuran dari mediator , menggugat
di Pengadilan Hubungan Industrial
dan dimungkinkan adanya upaya
hukum kasasi di Mahkamah Agung.
38
PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA PEREMPUAN DI INDONESIA
BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG
BERLAKU
Rosita Indrayati. S.H., M.H.
Inti Sari
Perlindungan terhadap pekerja perempuan secara keseluruhan terkait dengan
perlindungan ekonomis, perlindungan sosialdan perlindungan teknis. Dalam lingkup
perlindungan ekonomis di antaranya menyangkut upah dan tunjangan lainnya, tidak
boleh dibedakan dengan pekerja laki-laki untuk jenis pekerjaan dan jabatan yang
sama. Tenaga kerja perempuan merupakan bagian dari tenaga kerja yang telah
melakukan kerja baik untuk diri sendiri maupun bekerja dalam hubungan kerja atau
dibawah perintah pemberi kerja (pengusaha, badan hukum atau badan-badan hukum
lainnya). Pengawasan ketenagakerjaan dituntut untuk mampu mengambil langkah-
langkah antisipatif serta mampu menampung segala perkembangan yang terjadi.
Oleh karena itu penyempurnaan terhadap sistem pengawasan ketenagakerjaan harus
terus dilakukan agar peraturan perundang-undangan dapat dilaksanakan secara
efektif oleh para pelaku industri dan perdagangan. Mengingat tenaga kerja wanita
sebagai pihak yang lemah dari majikannya, atasannya yang kedudukannya lebih kuat,
maka perlu mendapatkan perlindungan atas hak-haknya. Kebutuhan yang semakin
meningkat dan keinginan untuk mengkualifikasi diri merupakan sebagai alasan
mengapa wanita itu ingin bekerja. Kenyataan ini memberikan gambaran bahwa
apapun alasannya wanita itu ingin bekerja tetap saja tidak dapat dipungkiri karena
pekerjaan akan memberikan kontribusi yang tidak sedikit kepada semua pihak secara
langsung maupun tidak langsung. Konvensi tentang penghapusan segala bentuk
diskriminasi terhadap permpuan, memberikan pengertian diskriminasi sebagai
berikut. Diskriminasi adalah setiap pembedaan, pengesampingan atau pembatasan
apa pun yang dibuat atas dasar jenis kelamin yang mempunyai pengaruh atau tujuan
untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan
hak-hak asasi manusia dan kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial,
39
budaya, sipil atau bidang apapun lainnya, oleh kaum perempuan, terlepas dari status
perkawinan mereka atas dasar persamaan antara, lelaki dan perempuan”.
Kata Kunci: Perempuan, Perlindungan, Pekerja, Pengusaha
Latar Belakang
Pembangunan Nasional bertujuan
untuk mewujudkan suatu masyarakat
adil dan makmur yang merata materiil
dan spiritual berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945.
Tujuan dari pembangunan nasional
tersebut merupakan pengamalan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945. Hal ini sesuai dengan
Pembukaan UndangUndang Dasar
1945 alinea ke-empat yaitu melindungi
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan
sosial.1 Dalam Undang-Undang Dasar
1945 pasal 1 ayat(3) secara tegas
dinyatakan bahwa “Negara Indonesia
adalah Negara Hukum”. Ini berarti
setiap pemegang kekuasaan dalam
Negara menjalankan tugas dan
wewenangnya berdasarkan atas
norma-norma dalam bentuk hukum
tertulis maupun yang tidak tertulis,
dengan demikian maka setiap warga
Negara memiliki hak-hak konstitusional
yang dijamin oleh hukum. Hal ini sesuai
dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945
yang menyatakan bahwa “tiap-tiap
warga Negara berhak atas pekerjaan
dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan”. Lebih lanjut tentang hak
konstitusional ini, disebutkan bahwa
dalam Pasal 28 D ayat (2) UUD 1945
yang mengamanatkan bahwa “Setiap
orang berhak untuk bekerja serta
mendapat imbalan dan perlakuan yang
adil dan layak dalam hubungan kerja.
Pembangunan ketenagakerjaan
sebagai bagian integral dari
pembangunan nasional berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945, dilaksanakan untuk dan dalam
rangka pembangunan manusia
Indonesia seutuhnya dan
pembangunan masyarakat Indonesia
seluruhnya. Dalam arti yang lebih
khusus adalah guna meningkatkan
harkat, martabat, dan harga diri
pekerja serta mewujudkan
kesejahteraan, keadilan, kemakmuran
yang merata, baik materiil maupun
40
spiritual bagi seluruh rakyat Indonesia.
Menurut Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 pada
pasal 1 angka 1 yang dimaksud dengan
Ketenagakerjaan adalah segala hal
yang berhubungan dengan tenaga
kerja pada waktu sebelum, selama, dan
sesudah masa kerja. Pembangunan
ketenagakerjaan harus diatur
sedemikian rupa sehingga terpenuhi
hak-hak dan perlindungan yang
mendasar bagi tenaga kerja dan
pekerja atau buruh serta pada saat
yang bersamaan dapat mewujudkan
kondisi yang kondusif bagi
pengembangan dunia usaha.
Pertumbuhan ekonomi yang sangat
cepat ditandai dengan tumbuhnya
industri-industri baru yang
menimbulkan banyak peluang bagi
angkatan kerja pria maupun
perempuan. Sebagian besar lapangan
kerja di perusahaan pada tingkat
organisasi yang rendah yang tidak
membutuhkan keterampilan yang
khusus lebih banyak memberi peluang
bagi tenaga kerja perempuan.
Tenaga kerja perempuan
merupakan bagian dari tenaga kerja
yang telah melakukan kerja baik untuk
diri sendiri maupun bekerja dalam
hubungan kerja atau dibawah perintah
pemberi kerja (pengusaha, badan
hukum atau badan-badan hukum
lainnya). Masalah tenaga kerja saat ini
terus berkembang semakin kompleks
sehingga memerlukan penanganan
yang lebih serius. Pada masa
perkembangan tersebut pergeseran
nilai dan tata kehidupan akan banyak
terjadi. Pergeseran dimaksud tidak
jarang melanggar peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Menghadapi pergeseran nilai dan tata
kehidupan para pelaku industri dan
perdagangan, pengawasan
ketenagakerjaan dituntut untuk mampu
mengambil langkah-langkah antisipatif
serta mampu menampung segala
perkembangan yang terjadi. Oleh
karena itu penyempurnaan terhadap
sistem pengawasan ketenagakerjaan
harus terus dilakukan agar peraturan
perundang-undangan dapat
dilaksanakan secara efektif oleh para
pelaku industri dan perdagangan.
Dengan demikian pengawasan
ketenagakerjaan sebagai suatu sistem
mengemban misi dan fungsi agar
peraturan perundang-undangan di
bidang ketenagakerjaan dapat
ditegakkan. Penerapan peraturan
perundang-undangan ketenagakerjaan
juga dimaksudkan untuk menjaga
keseimbangan/ keserasian hubungan
antara hak dan kewajiban bagi
41
pengusaha dan pekerja/buruh
sehingga kelangsungan usaha dan
ktenagakerjaan dalam rangka
meningkatkan produktivitas kerja dan
kesejahteraan kerja dapat terjamin.
Pengawasan ketenagakerjaan dapat
dipahami dalam dua pengertian, yaitu
secara luas dan sempit. Secara luas,
pengawasan ketenagakerjaan adalah
segala tindakan dan perbuatan yang
tujuannya untuk mengawasi
pelaksanaan kesehatan kerja,
keamanan kerja, pelaksanaan
peraturan perlindungan kerja seperti
waktu kerja, waktu istirahat, K3 dan
sebagainya. Pengawasan ini dapat
dilakukan oleh siapa saja, baik oleh
pemerintah, asosiasi pengusaha,
serikat pekerja/buruh, dan sebagainya.
1
Pada kenyataan sekarang ini
banyak tenaga-tenaga kerja
perempuan yang dipekerjakan malam
hari, seperti halnya pada perusahaan-
perusahaan produksi, perkebunan,
pertenunan dan perusahaan elektronik,
dan lain-lain. Peranan hukum di dalam
pergaulan hidup adalah sebagai
sesuatu yang melindungi, memberi
rasa aman, tentram dan tertib untuk
mencapai perdamaian dan keadilan
setiap orang. Maka dari itu
1 Agusmidah, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. (Bogor:Ghalia Indonesia, 2010), hal.79
ketenagakerjaan juga membutuhkan
suatu pengawasan. Keberadaan
perusahaan sudah pasti
mengakibatkan dibutuhkannya tenaga
kerja dimana selama dibutuhkan
tenaganya perlu pula diperhatikan hak-
hak pekerja, karena pekerja itu adalah
manusia bukan mesin. Dengan
memperhatikan kehidupan tenaga
kerja akan memberikan keuntungan
bagi pengusaha sebagai pemimpin
perusahaan. Tenaga kerja merupakan
motor penggerak dari faktor-faktor
lainnya serta merupakan faktor
penentu berhasil atau tidaknya
perusahaan dalam mencapai tujuan,
tanpa adanya pekerja perusahaan tidak
mungkin berjalan dan berpartisipasi
dalam pembangunan. Oleh karena itu
wajar apabila pekerja ditempatkan
diurutan teratas dari faktor-faktor
produksi lainnya.
Tenaga kerja wanita merupakan
bagian dari tenaga kerja yang telah
melakukan kerja baik untuk diri sendiri
maupun bekerja dalam hubungan kerja
atau dibawah perintah pemberi kerja
(pengusaha, badan huium atau badan-
badan hukum lainnya). Mengingat
tenaga kerja wanita sebagai pihak yang
lemah dari majikannya, atasannya
yang kedudukannya lebih kuat, maka
42
perlu mendapatkan perlindungan atas
hak-haknya. Kebutuhan yang semakin
meningkat dan keinginan untuk
mengkualifikasi diri merupakan sebagai
alasan mengapa wanita itu ingin
bekerja. Kenyataan ini memberikan
gambaran bahwa apapun alasannya
wanita itu ingin bekerja tetap saja tidak
dapat dipungkiri karena pekerjaan akan
memberikan kontribusi yang tidak
sedikit kepada semua pihak secara
langsung maupun tidak langsung.
Rumusan Masalah
Permasalahan yang muncul dari latar
belakang di atas adalah sebagai berikut
:
1. Bagaimanakah perlindungan
hukum terhadap pekerja
perempuan di Indonesia yang
bekerja pada sebuah
perusahaan?
2. Bagaimanakah kendala-kendala
pelaksanaan perlindungan
hukum yang sering dihadapi
oleh para pekerja perempuan
tersebut?
Perlindungan Hukum Terhadap
Pekerja Perempuan di Indonesia
2 Lalu Husni. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. (Jakarta: Rajawali Pers, 2003),
hal. 3
Istilah buruh sangat populer dalam
dunia perburuhan/ketenagakerjaan,
selain istilah ini sudah dipergunakan
sejak lama bahkan mulai zaman
pejajahan Belanda juga karena
peraturan perundang-undangan yang
lama (sebelum Undang Undang Nomor
13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan) menggunakan istilah
buruh. Pada zama penjajahan Belanda
yang dimaksudkan dengan buruh
adalah pekerja kasar seperti kuli,
tukang, mandor yang melakukan
pekerjaan kasar,
orang-orang ini disebutnya sebagai
Blue Collar. Sedangkan yang
melakukan pekerjaan di kantor
pemerintahan maupun swasta disebut
sebagai Karyawan/Pegawai (White
Collar). Pembedaan yang membawa
konsekuensi pada perbedaan
perlakuan dan hak-hak tersebut oleh
pemerintah Belanda tidak terlepas dari
upaya untuk memecah belah orang-
orang pribumi.2
Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Pasal 1 angka 3 memberikan
pengertian pekerja/buruh adalah setiap
orang yang bekerja dengan menerima
upah atau imbalan dalam bentuk
43
apapun. Pengertian ini agak umum
namun maknanya lebih luas karena
dapat mencakup semua orang yang
bekerja pada siapa saja baik
perorangan, persekutuan, badan
hukum atau badan lainnya dengan
menerima upah atau imbalan dalam
bentuk apapun. Penegasan
imbalan dalam bentuk apapun ini perlu
karena upah selama ini diidentikan
dengan uang, padahal ada pula
buruh/pekerja yang menerima imbalan
dalam bentuk barang.3 Pengertian
tenaga kerja adalah setiap orang yang
mampu melakukan pekerjaan guna
menghasilkan barang dan atau jasa,
baik untuk memenuhi kebutuhan
sendiri maupun untuk
masyarakat.Tenaga kerja (man power)
adalah penduduk yang sudah atau
sedang bekerja, sedang mencari
pekerjaan, dan yang melaksanakan
kegiatan lain, seperti bersekolah dan
mengurus rumah tangga. Pengertian
tenaga kerja dan bukan tenaga kerja
menurutnya ditentukan oleh
umur/usia.4
Pengertian pengusaha, yaitu
sebagai berikut:
3 Ibid. hal. 35 4Payaman Simanjuntak dalam bukuAgusmidah, Hukum ketenagakerjaan Indonesia,
(Bogor:Ghalia Indonesia, 2010), hal.6
1. orang perseorangan,
persekutuan, atau badan
hukum yangmenjalankan suatu
perusahaan milik sendiri;
2. orang perseorangan,
persekutuan, atau badan
hukum yang secaraberdiri
sendiri menjalankan perusahaan
hukum miliknya;
3. orang perseorangan,
persekutuan atau badan
hukum yang berada di
Indonesia mewakili perusahaan
sebagaimana dimaksud dalam
huruf adan b yang
berkedudukan di luar wilayah
Indonesia.
Maksud dari pengertian di atas adalah:
a. orang perseorangan adalah
orang pribadi yang menjalankan
atau mengawasi operasional
perusahaan.
b. persekutuan adalah suatu
bentuk usaha yang tidak
berbadan hukum seperti CV,
Firma, Maatschap, dan lain-lain,
baik yang bertujuan untuk
mencari keuntungan maupun
tidak.
44
c. badan Hukum (recht person)
adalah suatu badan yang oleh
hukum dianggap sebagai orang,
dapat mempunyai harta
kekayaan secara terpisah,
mempunyai hak dan kewajiban
hukum dan berhubungan hukum
dengan pihak lain.5
BerdasarkanPasal 1 angka 15 Undang-
Undang No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan dijelaskan bahwa:
Hubungan kerja adalah hubungan
antara pengusaha dengan
pekerja/buruh berdasarkan perjanjian
kerja yang mempunyai unsur
pekerjaan, upah, dan perintah. Dengan
demikian jelaslah bahwa hubungan
kerja terjadi karena adanya perjanjian
kerja antara pengusaha dan
pekerja/buruh.
Setiap pekerja mempunyai hak dan
kewajiban sebagaimana di atur dalam
Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 13 Tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan dan beberapa
undang-undang serta peraturan
pemerintah yang berkaitan dengan
ketenagakerjaan, di mana hak
merupakan suatu hal yang selayaknya
5 Danang Sunyoto, Hak dan Kewajiban Bagi Pekerja dan Pengusaha. (Yogyakarta: Pustaka
Yustisia, 2013), hal. 28 6 Imam Soepomo dalam buku Agusmidah, Hukum ketenagakerjaan Indonesia, (Bogor:Ghalia
Indonesia, 2010), hal.61
di terima oleh pekerja sesuai
kesepakatan atau perjanjian dengan
pihak pemberi kerja,dalam hal
inimenerima upah atau penghasilan
lainnya. Sedangkan kewajiban
merupakan sesuatu yang wajib
dijalankan atau wajib di laksanakan
oleh pekerja sesuai dengan
kesepakatan atau perjanjian dengan
pihak pemberi kerja. Dengan
melaksanakan hak dan kewajiban,
antara pekerja dengan pemberi Kerja
berarti telah memenuhi apa yang sudah
di sepakati bersama atau sudah
diperjanjikan,masing-masing pihak
telah memenuhi prestasinya.
Kedudukan pekerja pada hakikatnya
dapat ditinjau dari dua segi, yaitu dari
segi yuridis dan dari segi sosial
ekonomis. Dari segi sosial ekonomis,
pekerja membutuhkan perlindungan
hukum dari negara atas kemungkinan
adanya tindakan sewenang-wenang
dari pengusaha. Perlindungan pekerja
dibagi ini menjadi 3 (tiga) macam, yaitu
sebagai berikut.6
a. Perlindungan ekonomis, yaitu
suatu jenis perlindungan yang
berkaitan dengan usaha-usaha
untuk memberikan kepada
45
pekerja suatu penghasilan yang
cukup memenuhi keperluan
sehari-hari baginya beserta
keluarganya, termasuk dalam
hal pekerja tersebut tidak
mampu bekerja karena sesuatu
di luar kehendaknya.
Perlindungan ini disebut dengan
jaminan sosial.
b. Perlindungan sosial, yaitu suatu
perlindungan yang berkaitan
dengan usaha kemasyarakatan,
yang tujuannya memungkinkan
pekerja itu mengenyam dan
mengembangkan
prikehidupannya sebagai
manusia pada umumnya, dan
sebagai anggota masyarakat
dan anggota keluarga; atau
yang biasa disebut kesehatan
kerja.
c. Perlindungan teknis, yaitu suatu
jenis perlindungan yang
berkaitan dengan usaha-usaha
untuk menjaga pekerja dari
bahaya kecelakaan yang dapat
ditimbulkan oleh pesawat-
pesawat atau alat kerja lainnya
atau oleh bahan yang diolah
atau dikerkana perusahaan.
Perlindungan jenis ini disebut
dengan keselamatan kerja.
Dalam UU No.13 Tahun 2003
dinyatakan bahwa perlindungan
terhadap tenaga kerja, dimaksudkan
untuk menjamin hak-hak dasar
pekerja/buruh dan menjamin
kesamaan kesempatan serta perlakuan
tanpa diskriminasi atas dasar apapun,
untuk mewujudkan kesejahteraan
pekerja/buruh dan keluarganya.
Diskriminasi dalam segala bentuknya
dilarang, karena bertentangan dengan
prinsip masyarakat umum. Pengertian
diskriminasi dapat dilihat dalam kamus
besar bahasa Indonesia yang disusun
oleh Poerwadarminta. Istilah
diskriminasi diartikan sebagai
Perbedaan perlakuan terhadap
sesama warga negara (seperti dengan
memandang asli/tidak asli, perbedaan
warna kulit dan sebagainya.
Konvensi tentang penghapusan segala
bentuk diskriminasi terhadap
permpuan, memberikan pengertian
diskriminasi sebagai berikut.
”Diskriminasi adalah setiap
pembedaan, pengesampingan atau
pembatasan apa pun yang dibuat atas
dasar jenis kelamin yang mempunyai
pengaruh atau tujuan untuk
mengurangi atau menghapuskan
pengakuan, penikmatan atau
penggunaan hak-hak asasi manusia
dan kebebasan pokok di bidang politik,
46
ekonomi, sosial, budaya, sipil atau
bidang apapun lainnya, oleh kaum
perempuan, terlepas dari status
perkawinan mereka atas dasar
persamaan antara, lelaki dan
perempuan”.
Konvensi ILO No. 111 tahun 1958
tentang diskriminasi (kesempatan kerja
dan jabatan) yang telah diratifikasi
melalui UU No. 21 Tahun 1999 tentang
Pengesahan ILO No. 111 mengenai
diskriminasi dalam pekerjaan dan
jabatan pada tanggal 7 Mei 1999. Pada
Pasal 1 (a) menetapkan bahwa istilah
diskriminasi meliputi:
a. setiap bembedaan,
pengecualian atau
pengutamaan atas dasar ras,
warna kulit, agama, keyakinan
politik, kebangsaan atau asal
usul sosial yang berakibat
meniadakan atau mengurangi
persamaan kesempatan atau
perlakuan dalam pekerjaan atau
jabatan;
b. pembedaan,pengecualian atau
pengutamaan lainnya yg
berakibat meniadakan atau
mengurangi persamaan
kesempatan atau perlakuan
dalampekerjaan atau jabatan,
sebagaimana ditentukan
olehanggota yang bersangkutan
setelah berkonsultasi dengan
wakil organisasi pengusaha,dan
pekerja,jika ada dan dengan
badan lain yang sesuai.
Adanya peraturan ketenagakerjaan
yang substansi dan materinya khusus
di tujukan bagi perempuan,
dimaksudkan untuk:
a. Mencegah timbulnya perlakuan
diskriminasi (pembedaan,
pengecualian dan
pengutamaan) yang berakibat
mengurangi persamaan
kesempatan atau perlakuan
dalam pekerjaan atau jabatan;
b. Melindungi pekerja perempuan
untuk melangsungkan dan
melaksanakan tugas
reproduksinya sesuai kodrat,
tanpa harus kehilangan
kesempatan hak atas pekerjaan.
Perlindungan terhadap pekerja
perempuan secara keseluruhan terkait
dengan perlindungan ekonomis,
perlindungan sosialdan perlindungan
teknis. Dalam lingkup perlindungan
ekonomis di antaranya menyangkut
upah dan tunjangan lainnya, tidak
boleh dibedakan dengan pekerja laki-
laki untuk jenis pekerjaan dan jabatan
yang sama. Selain itu,terhadap
perempuan yang menjalankan masa
istirahat dikarenakan haid,melahirkan
47
atau keguguran kandungan tetap
mendapat upah penuh.Perlindungan
sosial dan teknis menyangkut
perlindungan di tempat kerja,antara lain
di muat dalam Pasal 76 UU 13 Tahun
2003.7
Perlindungan hukum merupakan
hal yang mutlak dan harus
dilaksanakan secara maksimal. Tujuan
pembangunan ketenagakerjaan
menurut Pasal 4 Undang Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan yaitu.8
a. Memberdayakan dan
mendayagunakan tenaga kerja
secara optimal dan manusiawi;
b. Mewujudkan pemerataan
kesempatan kerja dan
penyediaan tenaga kerja sesuai
dengan kebutuhan
pembangunan nasional daerah;
c. Memberikan perlindungan
kepada tenaga kerja dalam
mewujudkan kesejahteraan;
d. Meningkatkan kesejahteraan
tenaga kerja dan keluarganya.
Tujuan dari perlindungan pekerja/buruh
adalah untuk menjamin
berlangsungnya hubungan kerja yang
harmonis tanpa adanya tekanan dari
7 Agusmidah, Op.Cit. hal.70 8 Danang Sunyoto, Hak dan Kewajiban Bagi Pekerja dan Pengusaha. (Yogyakarta: Pustaka
Yustisia, 2013), hal. 73
pihak yang kuat kepada pihak yang
lemah. Perlindungan pekerja/buruh
dapat dilakukan, baik dengan jalan
memberikan santunan maupun dengan
jalan meningkatkan pengakuan hak-
hak asasi manusia, perlindungan fisik
dan teknis serta sosial ekonomi melalui
norma yang berlaku dalam lingkungan
kerja tersebut.
Dalam Pasal 88 ayat 1 Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003
menyatakan “Bahwa setiap pekerja
atau buruh berhak memperoleh
penghasilan yang memenuhi
penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan”. Maksud dari
penghidupan yang layak, dimana
jumlah pendapat pekerja/buruh dari
hasil pekerjaannya mampu untuk
memenuhi kebutuhan hidup
pekerja/buruh dan keluarganya secara
wajar, yang meliputi makanan dan
minuman, sandang, perumahan,
pendidikan, kesehatan dan jaminan
hari tua.
Dalam rangka memberikan
perlindungan upah maka pemerintah
menetapkan upah minimum di setiap
propinsi/kabupaten/kota. Upah
minimum diarahkan pada pencapaian
48
kebutuhan hidup layak yang
besarannya ditetapkan oleh menteri
tenaga kerja. Pencapaian kebutuhan
hidup layak perlu dilakukan secara
bertahap karena kebutuhan hidup
minimum yang sangat ditentukan oleh
tingkat kemampuan dunia usaha.
Motivasi utama seorang pekerja/buruh
di perusahaan adalah mendapatkan
upah, upah merupakan hak bagi
pekerja/buruh yang bersifat sensitif.
Karenanya tidak jarang pengupahan
menimbulkan perselisihan. Untuk
menghindari timbulnya perselisihan
antara pengusaha dan pekerja
khususnya tenaga kerja perempuan
maka pengusaha tidak boleh
mengadakan diskriminasi upah bagi
pekerja/buruh laki-laki dan perempuan
untuk jenis pekerjaan yang sama.
Berdasarkan peraturan perundang-
undangan pada prinsipnya tenaga kerja
perempuan dilarang untuk bekerja
pada malam hari, akan tetapi
mengingat berbagai alasan, maka
pekerja/buruh perempuan diizinkan
untuk bekerja pada malam hari antara
lain karena adanya alasan sosial,
alasan teknis, dan alasan ekonomis.
Tata cara mempekerjakan
pekerja/buruh perempuan pada malam
hari telah dikeluarkan dengan
Peraturan Mentri Tenaga Kerja R.I.
Nomor Per-04/MEN/1989 tentang tata
cara mempekerjakan pekerja/buruh
wanita pada malam hari yaitu:
1. Harus ada izin dari Depnaker
setempat dengan syarat
yang harus dipenuhi,
misalnya, mutu produksi
harus lebih baik bila
memepekerjakan wanita.
2. Pengusaha harus menjaga
keselamatan.
3. Kesehatan dan kesusilaan
(tidak boleh mempekerjakan
wanita dalam keadaan hamil
ada angkutan antar jemput
dan sebagainya).
4. Penyediaan makanan
ringan, ada izin dari orang
tua atau suami dan lain-lain.
Pekerja/buruh perempuan merupakan
kelompok yang karena kudratnya
mempunyai karakteristik tertentu yang
mendapat perhatian, oleh karena itu
dalam beberapa hal terhadap
pekerja/buruh perempuan ini
deberlakukan peraturan khusus karena
terutama yang menyangkut
perlindungan pekerja/buruh
perempuan, mencakup larangan kerja
pada malam hari, larangan melakukan
pekerjaan yang membahayakan
kesehatan, kesusilaan perempuan.
49
Bentuk-bentuk perlindungan tersebut
berupa:
a. Peraturan cuti haid
Bagi wanita yang normal dan sehat,
pada usia tertentu akan mengalami
haid, dalam prakteknya banyak wanita
yang sedang dalam masa haid tetap
bekerja tanpa gangguan apapun.
Tetapi kalau keadaan fisiknya tidak
memungkinkan sehingga yang
bersangkutan tidak dapat melakukan
pekerjaan tersebut. Hal ini diatur dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1951
tentang Pernyataan Berlakunya
Undang-Undang Kerja Tahun 1948
Nomor 12 Terkait Cuti.
Pasal 13 ayat (1) dinyatakan : “Buruh
wanita tidak boleh diwajibkan bekerja
pada hari pertama dan hari kedua
waktu haid. Pelaksanaan dari
ketentuan tersebut diatur. Pelaksaan
dari ketentuan tersebut diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun
1951, Pasal 1 Sub Pasal 1 ayat (2)
dalam menjalankan aturan tersebut
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1951 Pasal 13 ayat (1), maka majikan
dianggap tidak mengetahui tentang
keadaan haid dari buruhnya, bila yang
bersangkutan tidak memberitahukan
hal itu kepadanya”.
b. Peraturan cuti hamil,
melahirkan dan gugur
kandungan.
Bagi tenaga kerja wanita yang hamil,
dilindungi oleh undang- undang dalam
Pasal 13 ayat (2) dan ayat (3) yang
menyatakan:
“Buruh wanita harus diberi istirahat
selama satu setengah bulan sebelum
saatnya ia melahirkan menurut
perhitungan dan satu setengah bulan
setelah melahirkan anak atau gugur
kandungan”.
Ketentuan tersebut dinyatakan berlaku
dengan Peraturan Pemerintahan
Nomor 4 Tahun 1951 Pasal 1 Sub
Pasal 1 yang berbunyi Bagi tenaga
kerja yang akan menggunakan hak
cutinya diwajibkan : a.
a. Mengajukan permohonan yang
dilampiri surat keterangan dokter,
bidan atau keduanya tidak ada,
dapat dari pegawai pamong praja
atau sederajatnya camat.
b. Permohonan diajukan selambatnya
10 hari sebelum waktu cuti mulai.
c. Kesempatan menyusui anak pada
waktu jam kerja
Di dalam penjelaskan Pasal 13 ayat (4)
ditentukan bahwa dipikirkan oleh
pemerintah kemungkinan mengadakan
tempat penitipan anak. Kesempatan
sepatutnya adalah lamanya waktu yang
50
diberikan kepada pekerja/buruh
perempuan untuk menyusui bayinya
dengan memperhatikan tersedianya
tempat yang sesuai dengan kondisi dan
kemampuan perusahaan yang diatur
dalam peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja bersama.
d. Pengapusan perbedaan perlakuan
terhadap pekerja/buruh perempuan
Peningkatan perlindungan bagi
pekerja/buruh perempuan dapat dilihat
pula dengan adanya beberapa
ketentuan yang menghapuskan adanya
pebedaan perlakuan terhadap
pekerja/buruh perempuan.
Kendala-kendala Pelaksanaan
Perlindungan Hukum Bagi Pekerja
Perempuan
Hambatan-hambatan yang dihadapi
dalam pelaksanaan perlindungan
hukum terhadap pekerja wanita adalah
adanya kesepakatan antara pekerja
dengan pengusaha yang kadang
menyimpang dari aturan yang berlaku,
tidak adanya sanksi dari peraturan
perundangan terhadap pelanggaran
yang terjadi, faktor pekerja sendiri yang
tidak menggunakan haknya dengan
alasan ekonomi. Agar langkah ini dapat
efektif maka negara harus
9 Sugiyono, Konvensi-Konvensi tentang Perlindungan Tenaga Kerja, alumni, Bandung, 1997,
hal. 118
menjabarkannya dan mengusahakan
untuk memasukkan jabaran konvensi
tersebut ke dalam rumusan undang-
undang negara dan menegakkannya
dengan cara mengajukan para
pelanggarnya ke muka sidang
pengadilan. Namun demikian,
perempuan sendiri masih belum
banyak yang sadar bahwa hak-haknya
dilindungi dan bahwa hal tersebut
mempunyai pengaruh terhadap
kehidupan perempuan. Adalah sangat
prematur untuk mengadakan bahwa
CEDAW sudah dihormati dan
dilaksanakan secara universal.
CEDAW memerintahkan kepada
seluruh negara di dunia untuk tidak
melakukan diskriminasi terhadap
perempuan. Di dalam CEDAW
ditentukan bahwa diskriminasi
terhadap perempuan adalah perlakuan
yang berbeda berdasarkan gender
yang:9
a. Secara sengaja atau tidak
sengaja merugikan
perempuan;
b. Mencegah masyarakat
secara keseluruhan memberi
pengakuan terhadap hak
perempuan baik di dalam
maupun di luar negeri; atau
51
c. Mencegah kaum perempuan
menggunakan hak asasi
manusia dan kebebasan
dasar yang dimilikinya.
Perempuan mempunyai atas
perlindungan yang khusus sesuai
dengan fungsi reproduksinya
sebagaimana diatur pada pasal 11 ayat
(1) CEDAW huruf f bahwa hak atas
perlindungan kesehatan dan
keselamatan kerja termasuk usaha
perlindungan terhadap fungsi
reproduksi. Selain itu seringkali adanya
pemalsuan dokumen seperti nama,
usia, alamat dan nama majikan sering
berbeda dengan yang tercantum di
dalam paspor. Tenaga kerja yang tidak
berdokumen tidak diberikan dokumen
perjanjian kerja. Hal ini juga sering
terjadi pada pekerja perempuan yang
bekerja di luar negeri. Maka untuk itu
CEDAW pada pasal 15 ayat (3)
mengatur yaitu negara-negara peserta
bersepakat bahwa semua kontrak dan
semua dokumen yang mempunyai
kekuatan hukum, yang ditujukan
kepada pembatasan kecakapan hukum
para wanita, wajib dianggap batal dan
tidak berlaku.
Konvensi ILO Nomor 45 tentang Kerja
wanita dalam semua macam tambang
di bawah tanah. Isi Pasal 2
menyebutkan bahwa setiap wanita
tanpa memandang umurnya tidak
boleh melakukan pekerjaan tambah di
bawah tanah. Pengecualiannya
terdapat pada pasal 3.
Dalam konvensi ILO Nomor 100
mengenai Pengupahan Bagi Laki-Laki
dan Wanita untuk Pekerjaan yang
Sama nilainya menyebutkan,
“Pengupahan meliputi upah atau gaji
biasa, pokok atau minimum dan
pendapatan-pendapatan tambahan
apapun juga, yang harus dibayar
secara langsung atau tidak, maupun
secara tunai atau dengan barang oleh
pengusaha dengan buruh berhubung
dengan pekerjaan buruh”.
Hak untuk menerima upah timbul pada
saat adanya hubungan kerja dan
berakhir pada saat hubungan kerja
putus. Pengusaha dalam menetapkan
upah tidak boleh diskriminasi antara
buruh laki-laki dan buruh wanita untuk
pekerjaan yang sama nilainya.
Kendala yang ditemukan dalam
pelaksanaan peraturan perundangan
dalam pelaksanaan perlindungan
hukum pekerja/buruh perempuan,
adalah kendala yang bersifat eksternal
dan kendala internal. Namun demikian
peraturan perundangan tersebut dapat
dilaksanakan secara efektif untuk
memberikan perlindungan terhadap
pekerja/buruh perempuan, khususnya
52
pekerja/buruh perempuan yang bekerja
pada malam hari. Kendala internal
yang timbul dari perlindungan hukum
pekerja/buruh perempuan yang bekerja
pada malam hari yaitu merupakan
kendala yang timbul dari diri
pekerja/buruh itu sendiri. Kendala-
kendala tersebut adalah kendala factor
pendidikan, kendala factor kesehatan.
Kendala eksternal merupakan kendala
perlindungan hukum bagi
pekerja/buruh perempuan yang bekerja
pada malam hari yang berasal dari luar
lingkungannya (bukan dari diri sendiri).
Adapun kendala eksternal yang terjadi
menurut informasi yang didapat penulis
yakni kendala yang berkaitan dengan
aturan yang berlaku dan kendala yang
biasanya berasal dari pengusaha itu
sendiri.
Kesimpulan
Tujuan dari perlindungan
pekerja/buruh adalah untuk menjamin
berlangsungnya hubungan kerja yang
harmonis tanpa adanya tekanan dari
pihak yang kuat kepada pihak yang
lemah. Perlindungan pekerja/buruh
dapat dilakukan, baik dengan jalan
memberikan santunan maupun dengan
jalan meningkatkan pengakuan hak-
hak asasi manusia, perlindungan fisik
dan teknis serta sosial ekonomi melalui
norma yang berlaku dalam lingkungan
kerja tersebut.
Hambatan-hambatan yang
dihadapi dalam pelaksanaan
perlindungan hukum terhadap pekerja
wanita adalah adanya kesepakatan
antara pekerja dengan pengusaha
yang kadang menyimpang dari aturan
yang berlaku, tidak adanya sanksi dari
peraturan perundangan terhadap
pelanggaran yang terjadi, faktor
pekerja sendiri yang tidak
menggunakan haknya dengan alasan
ekonomi.
Saran
1. Perlindungan hukum terhadap
tenaga kerja perempuan
hendaknya dilakukan perusahaan
dengan sepenuh hati, sehingga
dapat mengangkat harkat dan
martabat perempuan yang juga
merupakan manusia yang memiliki
hak dan kewajiban yang sama
dengan laki-laki. Kepada
perusahaan dan pihak pemerintah
hendaknya melakukan sosialisasi
yang cukup terhadap perlindungan
hukum tenaga kerja perempuan.
2. Pemerintah dalam hal ini harus
memberikan penyuluhan kepada
pekerja/buruh perempuan
mengenai Undang-Undang Nomor
53
13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan agar setiap
pekerja/buruh perempuan
mengetahui perlindungan
hukumnya sebagimana mestinya
yang diberikan oleh perusahaan.
3. Pengusaha seharusnya
memberikan tanggung jawab
perusahaan kepada pekerja/buruh
perempuan harus selalu
memberikan perlindungan bagi
pekerja/buruh perempuan yang
bekerja pada malam hari yang
dimana telah diatur dalam Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan.
54
DAFTAR PUSTAKA
Agusmidah, 2010. Hukum
Ketenagakerjaan Indonesia, Ghalia
Indonesia, Bogor.
Danang Sunyoto, 2013. Hak dan
Kewajiban Bagi Pekerja dan
Pengusaha, Pustaka Yustisia,
Yogyakarta.
Imam Soepomo, 1983. Pengantar
Hukum Perburuhan. Djambatan,
Jakarta.
Lalu Husni, 2003. Pengantar Hukum
Ketenagakerjaan Indonesia, Rajawali
Pers, Jakarta.
Sugiyono, 1997. Konvensi-Konvensi
tentang Perlindungan Tenaga Kerja,
Alumni, Bandung.
Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan.
55
SISTEM HUKUM PERBURUHAN DI INDONESIA
Dr. H. Zulkarnain Ibrahim, S.H., M. Hum
56
Pendahuluan
Ditinjau dari aspek historis, hukum
perburuhan atau hukum
ketenagakerjaan Indonesia tidak lepas
dari aspek politik hukum pemerintah
pada waktu itu, yaitu: 1 pertama,
sebelum masa Kemerdekaan R.I. 17
Agustus 1945, meliputi: a. Masa
Perbudakan; b. Masa penjajahan
Hindia Belanda, terdiri dari Rodi yang
dibagi tiga, yaitu rodi gubernemen
(untuk kepentingan gubernemen dan
pegawai), rodi perorangan (untuk
kepentingan kepala atau pembesar
Indonesia), dan rodi desa (untuk
kepentingan desa). Selanjutnya
menurut Jan Breman, poenale sanctie
diterapkan dalam kaitannya dengan
penerapan Koeli ordonantie serta
agrarisch wet dalam melakukan
hubungan kerja antara buruh yang
bekerja di tanah pertanian dan
pekerbunan. Poenalie sanctie itu
bertujuan untuk mengikat buruh supaya
tidak melarikan diri setelah melakukan
kontrak kerja; dan c. Masa
Pendudukan Jepang. Pada masa
pendudukan Jepang mulai tanggal 12
Maret 1942. Pemerintah militer Jepang
membagi menjadi tiga daerah
pendudukan, yaitu Jawa, Madura, dan
1 Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pascareformasi, Refika Aditama,
Bandung, 2009, hlm. 12-15.
Sumatera yang dikontrol dari
Singapura dan Indonesia Timur. Pada
masa ini diterapkan romusnya dan
kinrohosyi.
Kedua, masa Pasca Proklamasi 17
Agustus 1945, meliputi: a. Masa
Pemerintahan Soekarno; b. Masa
Pemerintahan Soeharto; c. Masa
pemerintahan B.J. Habibie; d. Masa
Pemerintahan Abdurahman Wahid; d.
Masa Pemerintahan Megawati
Soekarno Putri. dan e. Masa
Pemerintahan Susilo Bambang
Yudhoyono.
Masa Pemerintahan Abdurahman
Wahid, diberlakukan UU No. 21 Tahun
2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat
Buruh. Masa Pemerintahan Megawati
Soekarno Putri, dengan disahkannya
UU No.13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan tanggal 25 Maret
2003. Undang-undang No. 13 Tahun
2003, telah menghapuskan banyak
peraturan Perundang-undangan
Ketenagakerjaaan sebelumnya,
termasuk KUHPerdata Bab 7 A menjadi
tidak berlaku lagi.
Sistem Civil Law
Hukum Romawi, merupakan cikal
bakal dari sistem hukum Eropah
57
Kontinental. Perkembangan sistem
hukum Eropah Kontinental terjadi
dalam beberapa fase sebagai berikut:2
pertama, 1. fase formasi hukum
Romawi dimulai sejak lahirnya sistem
hukum Eropa Kontinental, yakni ketika
mulai berlakunya undang-undang dua
belas pasal (The Twelve Tables) di
romawi. Hal tersebut terjadi di sekitar
tahun 400 SM; 2. fase kematangan
hukum Romawi; terjadi pada saat mulai
berlakunya kumpulan undang-undang
yang sangat spektakuler di Romawi,
yakni saat mulai berlakunya Corpus
juris civilis, yang di buat atas supervisi
dari raja Justinian,di abad VI Masehi; 3.
fase kebangkitan kembali dari hukum
Romawi ini terjadi takkala timbulnya
semangat di eropah untuk memahami
dan menerapkan kembali hukum
Romawi, yang terjadi pada abad XI
Masehi. Hal ini dimulai dengan mereka
beramai-ramai mempelajari hukum
Romawi di Univerity of Bologna (Italia),
yang dilakukan dalam tahun 11 Masehi;
2 Meskipun hukum Romawi merupakan roh dari sistem hukum Eropah Kontinental,
tetapi pengaruh hukum Romawi tersebut juga kuat terasa dalam perkembangan sistem
hukum Anglo Saxon. karena, banyak pencipta kaidah dalam sistem hukum Anglo Saxon,
sudah terlebih dahuku mempelajari sistem hukum Romawi, atau sistem hukum Eropa
Kontinental. misalnya hukum Amerika serikat dalam perkembangannya, dalam beberapa
bidang justru lebih banyak dipengaruhi oleh ajaran dari hukum Romawi ketimbang dari
ajaran sistem hukum Anglo Saxon sendiri. misalnya pengaruh hukum Romawi sangat jelas
kelihatan dalam Uniform Comercial Code (UCC) di USA, kerena para perancang UCC
banyak yang telah mendapat pendidikan hukum Romawi. Lihat: Munir Fuady,
Perbandingan Ilmu Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2007, hlm. 57-58
4. fase resep hukum romawi ini terjadi
tatkala sistem hukum romawi,
khususnya yang disebut dengan jus
commune, diberlakukan diberbagai
negara eropa, yang terjadi sejak awal
abad XVII Masehi; 5. fase kodifikasin
hukum; fase kodifikai ini terjadi tatkala
dibuat beberapa kodifikasi diberbagai
negara, yang paling spektakuler tentu
saja Code Napoleon di Perancis, yang
terdiri dari Code Civil, Code Panel,
Code Du Commerce, dan Code tentang
Hukum Acara Perdata dan Pidana. Hal
ini terjadi sejak awal abad XIX; dan 6.
fase resepsi kodifikasi. Fase resepsi
kodifikasi ini terjadi tidak lama setelah
terciptanya kodifikasi di Perancis
(dengan Code Napoleon), di tandai
dengan banyaknya negara bi benua
Eropa dan juga negara-negara di
benua lain yang memberlakukan Code
Napoleon, dengan disana-sini
dilakukan perubahan. Belanda
misalnya mulai antara lain
memberlakukan Burgelijeke Wetboek
58
dalam tahun 1838, yang kemudian di
bawa ke Indonesia dan berlaku dalam
tahun 1848.
Kedua, Di samping itu menurut
John Merryman,3 ada juga para ahli
perbandingan hukum yang membagi
tahap-tahap perkembangan sistem
hukum Eropa Kontinental sebagai
berikit: a) tahap pra-klasik; b) tahap
klasik; c) tahap Corpus juris Civilis; d)
tahap komentar dari para Glassators
dan Commentator; e) tahap penulisan
oleh the humanist; f) tahap kodifikasi di
Perancis; g) tahap aliran sejarah hukum
dari von Savigny; dan h) tahap BGB
(Kodifikasi di Jerman).
Ketiga, sejarah hukum
menunjukkan bahwa pembentukan dan
perkembangan hukum Romawi terjadi
sekitar 1000 tahun. Dimulai dari awal
berlakunya undang-undang Dua Belas
Pasal (The Twelve Tables) di tahun 450
SM, sampai dengan terbentuknya
komplisasi hukum justinian, sekitar
tahun 543 Masehi, dengan para ahli
hukum Romawi seperti Ulpianus,
3 John Henry Merryman, The Civil Law Tradition, University Press, Stanford,
California, USA, 1969, hlm. 15; Dalam: Munir Fuady, Perbandingan Ilmu Hukum, Refika
Aditama, Bandung, 2007, hlm. 57-58.
4 The institute hanya berisikan teks yang merupakan pengantar saja, sedangkan the code
merupakan kumpulan aturan legislasi bangsa romawi yang disusun secara sistematis, dan the
novels merupakan aturan legislasi yang di buat setelah selesainya pembuatan The digest dan
the code. Tetapi yang terpenting dari semuanya adalah The digest, yang merupakan kumpulan
aturan hukum yang paling lengkap, dan yang sangat mempengaruhi perkembangan hukum
Papianianus, dan Gaius. Namun
demikian, setelah lebih kurang 1000
tahun perkembangan ilmu, teori,
doktrin, dan kaidah ilmu hukum romawi,
hukum romawi masih mengepak
sayapnya, dan berlakunya semakin
meluas ke berbagai negara, terutama
hukum romawi versi Justinian yang
terdapat dalam Corpus Juris Civilis,
yang berisikan banyak perbedaan
dengan aturan hukum klasik yang
sebelumnya telah berlaku di romawi.
Corpus juris civilis itu sendiri
merupakan komplisasi aturan hukum
yang di buat atas arahan dari raja
Byzantine yaitu justinian di abad VI
Maehi tersebut, yakni dimasa setelah
jatuhnya kekuasaan dari barat
(Western Empirime). dan, karena
dibuat di zaman pertengahan, maka
sedikit banyaknya Corpus juris civilis
juga dipengaruhi oleh ide-ide
gereja/kristen.
Pembahasan dari Corpus Juris
Civilis itu, 4 pertama, terdiri dari empat
bagian: 1. the institute; 2. the Digest; 3.
59
the code; 4. the novels. Kedua, hukum
Romawi sebagaimana terdapat dalam
Corpus juris civilis terus saja berlaku
dan berkembang, kecuali beberapa
abad di masa invasi dari bangsa Arab,
Slavia, dan Lombardia. Bahkan setelah
jatuhnya kerajaan Romawi, di dunia
barat terdapat kerajaan-kerajaan kecil
yang saling terpecah-pecah, hukum
Romawi tetap diberlakukan oleh para
penahluk dari bangsa Germania, di
samping berlakunya hukum kanonik
(gerejawi). Memang, dengan jatuhnya
kerajaan Romawi, penggunaan corpus
juris civilis juga semakin meredup. para
penakluk, disamping membawa
hukumnya yang merupakan hukum
Germania disamping juga
memberlakukan hukum Romawi tetapi
dalam versi yang kurang jelimet dan
lebih kasar pengaturannya, kususnya
yang diberlakukan di semenanjung
italia. Sehingga hukum romawi yang
asli (bukan dari corpus juris civilis) yang
bercampur dengan hukum germania
kemudian berlaku diitalia, perancis
selatan dan semenanjung lberia.
Namun demikian, sejarah
menunjukkan bahwa hukum romawi
selanjutnya dalam sistem hukum eropah kontinental, khususnya dalam bidang-bidang seprtti
status personal, perbuatan melawan hukum, kepemilikan barang tanpa hak, kontrak, masalah
ganti rugi, dan lain-lain. Bahkan dapat dikatakan bahwa the digest bersama dengan the code
inilah yang merupakan daar hukum Romawi yang berkembang melalui sistem hukum eropa
kontinental sampai saat ini. Ibid. hlm. 58-59.
campuran germania, yang dianggap
hukum romawi yang vulgar dan barbar,
dikemudian hari tidak diikuti lagi, dan
hanya tinggal dalam sejarah saja.
Ketiga, dalam abad
pertengahan, hukum kebiasaan
bangsa Germania yang mulai di tulis
pada abad V Masehi itu juga sedikit
banyaknya mempengaruhi
perkembangan sistem hukum Eropa
Kontinental, seperti dalam bidang
hukum harta perkawinan dan hukum
waris.
Keempat, masa kebangkitan
kembali hukum Romawi terjadi diabad
XI Masehi, dengan munculnya kembali
keinginan dari para ahli hukum, setelah
bersusah payah memberlakukan
instrument-instrumen hukum
peninggalan zaman Romawi klasik dan
karya cipta ahli hukum zaman Byzantie,
untuk kembali memberlakukan hukum
Romawi, dan kemudian
memberlakukan kembali corpus juris
civilis. Selanjutnya, muncul berbagai
universitas untuk mempelajari hukum
Romawi di Italia, dimana
mahasiswanya datang dari berbagai
Negara Eropa. Di unuversitas-
60
universitas tersebut kemudian
terbentuk kelompok-kelompok ahli
hukum yang disebut dengan Glassator
dan commentator. Mereka banyak
mengarang buku-buku hukum.
Glasator adalah generasi utama dari
universitas Bologna yang mencoba
menafsirkan kembali hukum Romawi
yang sudah banyak tidak dimengerti
lagi oleh orang-orang saat itu.
Sedangkan commentator datang lebih
kemudian (abad XIII Masehi), yang
juga menafsirkan hukum Romawi.
Bortolus dikenal sebagai commentator
terhebat saat itu.
Sistem Anglo Saxon
Sistem hukum Anglo Saxon atau
disebut juga dengan sistem hukum
Common Law, merupakan suatu
sistem hukum yang berlaku di Inggris
dan di negara-negara bekas jajahan
sampai saat ini. Karena itu, sistem
hukum Anglo Saxon ini berlaku sampai
saat ini misalnya di Inggris, Amerika
Serikat, Kanada, Australia, India,
Malaysia, Singapura, dan lain-lain.
Karena merupakan hukum kebiasaan
(common law) dari sinilah muncul istilah
sistem hukum “common law” yang
merupakan istilah lain dari sistem
5 Munir Fuady, Perbandingan Ilmu Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2007, hlm.
68-69.
hukum “Anglo Saxon. Berbeda dengan
hukum Romawi yang dibuat oleh
bangsa Romawi sendiri, dalam sejarah
terbukti bahwa hukum Inggris
umumnya berasal dari hukum para
penjajahnya, meskipun kemudian
menjadi hukum kebiasaan. Tahun 1066
Masehi dianggap tahun lahirnya sistem
hukum Anglo Saxon (common law),
saat bangsa Norman tersebut
menaklukan Inggris.5
Sejarah perkembangan hukum
Anglo Saxon selanjutnya, ternyata
dalam banyak kesempatan, hukum
Romawi menginfiltrasi sistem hukum
Anglo Saxon, meskipun pengaruh dari
hukum Romawi tersebut sampai
sekarang masih tidak begitu dominan.
Infiltrasi hukum Romawi ke dalam
hukum Anglo Saxon tersebut seperti
terlihat dalam peristiwa-peristiwa
sejarah sebagai berikut:
1. Di Inggris, awal mulanya berlaku
Celtics Laws. Bangsa Celt (Ras
Aria dari bangsa Eropa Tengah)
adalah penjajah daratan Eropa
pertama yang dikenal dalam
sejarah, yang telah menguasai
Eropa sejak tahun 900 SM, dan
menguasai Inggris sejak tahun
390 SM.
61
2. Bangsa Romawi pernah
menjajahInggris (abad I sampai
V M) dan memberlakukan
hukum romawi, dan
menggantikan Celtics Laws.
Julius Caesar (dari Romawi)
menaklukan Inggris dalam tahun
55 dan 54 SM.
3. St. Agustine menerapkan hukum
di Inggris, yang berdasarkan
pada agama, tetapi juga
memiliki elemen dari hukum
Romawi. Paham kristiani mulai
menguasai Inggris pada
permulaan abad IV M.
4. Awal abad V M adalah masa
kejatuhan Imperium Romawi
atas Inggris. Garrisons yang
merupakan gubernur Romawi
terakhir di Inggris ditarik kembali
dalam tahun 407 M.
5. Orang-orang Angels dan
Saxons, (yaitu dua suku bangsa
Germanik dari pantai Laut Baltik)
ditambah dengan suku bangsa
Jutes, dapat menaklukkan
Inggris yang ditinggalkan pergi
oleh Bangsa Romawi, dalam
serangkaian perang berdarah
dari tahun 477 sampai 577 M.
6. Jadi, sebelum bangsa Norman
membawa hukumnya, hukum
yang dipraktikan di Inggris
adalah hukum Germanik (hukum
bangsa Angels dan Saxons).
7. Penaklukan oleh Bangsa
Norman (tahun 1066) yang juga
membawa hukum yang
mempunyai unsur hukum
Romawi, meskipun yang
terutama dilakukan oleh bangsa
Romawi adalah mangumpulkan
dan menerapkan hukum
kebiasaan (Common Law)
Inggris sendiri, yang telah di
kuasai hukum Jerman.
8. Kemudian, muncul kembali
pembelajaran terhadap hukum
Romawi dan hukum Kanonik
yang dimulai dari Italia dan
menyebar ke seluruh Eropa
Barat termasuk Inggris.
9. Pembuatan sistem hukum
Equity di Inggris dalam abad XV
juga banyak dipengaruhi oleh
hukum Romawi.
10. Namun demikian, unsur hukum
Romawi dalam sistem hukum
Inggris saat ini tidak signifikan.
Jadi yang menjadi dasar utama
hukum Inggris adalah Hukum
Inggris Kuno dan Hukum
Kebiasaan Germanik (dari
bangsa Angels dan Saxons) dan
pengembangannya oleh raja,
62
parlemen dan pengadilan di
Inggris.
Sebagai dua sistem hukum dari dua
tradisi hukum yang berbeda, antara
sistem hukum Eropa Kontinental (civil
law) dengan sistem hukum Anglo
Saxon (Common Law), banyak
terdapat perbedaan, meskipun ada
juga pergerakan diantara keduanya
menuju suatu konvergensi hukum.
Perbedaan yang paling utama diantara
kedua sistem hukum tersebut adalah
sebagai berikut:
1. Berbeda dengan sistem hukum
Eropa Kontinental yang sangat
berorientasi pada undang-
undang tertulis, sistem hukum
Common Law adalah sebuah
“judge Made Law” (hukum
buatan pengadilan), sedangkan
Peradilan tidak begitu berperan
dalam pembentukan dan
perkembangan Hukum Romawi.
2. Meskipun Common Law pernah
mengalami proses Romanisasi,
tetapi tidak banyak
6 Keduabelas, Konsep aturan hukum (concept of the legal rule). Di Negara-negara yang
memberlakukan Romano-Germanic Family, di mana doktrin yang tertulis dipresentasikan
dengan kewibawaan, aturan hokum dianggap lebih sebagai sesuatu yang tepat untuk
memecahkan kasus konkret. Melalui upaya sistemasi karya-karya pengarang, aturan hukum
telah muncul dengan level abstraksi yang tinggi. Dalam pandangan ahli-ahli hukum Inggris,
konsep-konsep abstrak dengan tingkat generalitas yang tinggi dengan contoh, regle de droit
sebagai legal principle dianggapnya lebih sebagai persepsi moral daripada sebagai aturan
hukum yang sebenar-benarnya. Sebaliknya system hukum Inggris yang mengondisikan
penyelesaian kasus-demi kasus secara konkret dianggapnya oleh ahli hukum Prancis sebagai
judicial application yang sangat mudah untuk dipahami, tapi tidak well organized dan tidak
meninggalkan bekas
dibandingkan dengan hukum
Eropa Kontinental.
3. Kebiasaan-kebiasaan lokal tidak
memainkan peranan di dalam
evolusi Common Law,
sedangkan di Eropa Kontinental
pengaruh-pengaruh kebiasaan
lokal sampai abad XVII masih
tetap penting.
4. Undang-undang sampai dengan
abad XIX tidak penting dalam
Common law, sedangkan di
eropa Kontinental sejak abad
XIII sampai abad XIX, undang-
undang secara gradual menjadi
sumber hukum terpenting.
Negara-negara yang menganut sistem
hukum Anglo Saxon tidak mengenal
kitab undang-undang.
Perbedaan antara Civil Law dengan
Common Law
Perbedaan antara system Civil Law
dengan Common Law, sebagai
berikut:6 pertama, Order and priority:
63
jurisprudence and doctrine. Perbedaan
mendasar antara system civil law dan
common law dalam civil law prioritas
diberikan pada doktrin (termasuk
codified reports) bukan jurisprudence
yang sebaiknya menjadi prioritas dalam
system common law. Selain itu,
perbedaan lainnya adalah peranan
legislator dalam kedua tradisi hukum
tersebut. Kode sipil Prancis (French
civil Law) mengadopsi teori
Montesquieu tentang pemisahan
kekuasaan dimana fungsi legislator
adalah melakukan legislasi, sedangkan
pengadilan berfungsi untuk
menerapkan hokum. Di lain pihak
system common law menganut prinsip
judge made precedent sebagai hal
memuaskan karakter tersebut. Sebagai konsekuensinya, system civil law merupakan system
hukum tertutup dalam arti setiap keadaan yang mungkin hanya diatur oleh aturan dan prinsip-
prinsip umum yang sangat terbatas, sementara system common law merupakan system hukum
yang terbuka dengan pengertian bahwa setiap aturan baru dapat diciptakan atau dimaksudkan
ke dalam fakta-fakta baru (new rules may be created or imported for new facts)
Ketigabelas, Pengkategorian hukum (categories of laws). System civil law menentukan
kategori hukum berdasarka aturan itu sendiri, misalnya public law dan private law. Sementara
common law dapt dijumpainya berbagai yurisdiksi pengadilan yang menangani perkara
berbeda oleh pengadilan berbeda, yang dalam common law dikenal adanya common law court
dan court of equity. Tidak mengherankan apabila dalam system civil law, hukum adjektif atau
hukum yang mengatur tentang prosedur dan pembuktian lebih mendapat perhatian dalam
yurisdiksi common law, sedangkan hukum substantive biasanya memperoleh penekanan atau
perhatian lebih.
Keempat belas, Hak versus remedi (right versus remedies). System civil law
memfokuskan pada hak dan kewajiban, sementara dalam common law yurisdiksi pengadilan
tertentu untuk memberikan hak dan kewajiban setelah melalui remedi (remedies precede
rights). Dalam civil law tidak memiliki definisi yang jelas tentang system remedi yang tepat.
Sebaliknya common law tidak memiliki system yang unitair mengenai hak dan kewajiab.
Pengadilan mempunyai yurisdiksi untuk mendengarkan persoalan atau perkara yang diajukan
dengan meneliti cause of action yang melahirkan hak dan kewajiban. Lihat: Ade Maman
Suherman, Pengantar Sistem Hukum, Civil Law, Common Law dan Hukum Islam, PT.
RajaGrafinda Persada, Jakarta, 2004, hlm. 116-123
yang utama dari hokum (judge made
precedent the core of it’s law).
Kedua, Fungsi doktrin. Fungsi doktrin
hukum dalam kode sipil adalah untuk
menggambarkan atau menjelaskan
terhadap tidak terorganisasinya kasus-
kasus, buku dan kamus hukum, aturan-
aturan dan prinsip-prinsip yang akan
menjelaskan suatu subjek yang
elemennya tidak murni. Ketiga,
Doctrine style. Dalam system Common
Law, pengarang memfokuskan pada
patern kenyataan (facts patern), ia
(common law) akan menganalisis
kasus yang muncul secara mirip, tetapi
tidak identik secara factual,
mengekstrak dari aturan yang spesifik,
kemudian melalui metode deduksi,
64
menentukan frekuensi variasi dalam
skop yang sempit setiap aturan, dan
terkadang mengusulkan aturan baru
untuk mengcover fakta yang belum
muncul.
Keempat, Fungsi yurisprudensi.
Yurispudensi dalam system common
law men set out sebuah aturan baru
yang spesifik serta menyediakan
(provide) sumber prinsipil utama
sumber hukum, sementara
yurisprudensi dalam hokum kode sipil
menerapkan prinsip-prinsip umum, dan
penjelasannya melalui sumber-sumber
hukum yang sekunder.
Kelima, Stare decisis. Dalam doktrin
system hukum Inggris, pengadilan
yang tingkatnya lebih rendah harus
mengikuti keputusanyang lebih tinggi.
Namun demikian, menentukan suatu
sumber-sumber order of priority
berdasarkan suatu reason authority.
Stare decisis sebagai salah satu
metode untuk mengadili suatu perkara
yang mirip atau sama, similar case
should be tried similarly. Sebaliknya,
stare decisis tidak dikenal dalam
system kode sipil.
Keenam, Yurisprudensi: style. Dalam
bentuk putusan pengadilan, system
kode sipil merumuskannya dalam
bentuk tertulis, lebih formalistic style-
nya daripada putusan dalam system
common law. Keputusan dalam system
civil law memeng lebih pendek
daripada common law dan terpisah ke
dalam dua bagian: pertama, adalah
motif atau reason dan dispositif atau
order. Hal ini disebabkan bahwa hakim
dalam suatu system hukum sipil secara
khusus dilatih pada sekolah atau
lembaga tertentu dan di-create sesuai
dengan tujuan-tujuan tertentu,
sementara para hakim common law
ditunjuk antara para pengacara praktik
(practicing lawyears) tanpa
memperoleh pelatihan khusus.
Ketujuh, Fungsi undang-undang
(Statutes: fnction). Walaupun statute
(peraturan yang diundangkan)
merupakan suatu produk hukum yang
ada di kedua system hukum, baik sipil
maupun common law, tetapi terdapat
perbedaan dalam fungsinya. Kitab
undang-undang dalam hukum kode
sipil mengupas core of the Law dan
prinsip-prinsip umum secara sistematik
dam menyeluruh dan diekspose dalam
suatu kode (Kitab) dan statute-statuta
tertentu melengkapi kode tersebut.
Kedelapan, Gaya perumusan hukum
(style of drafting laws). Perbedaan yang
menyolok antara kedua system hukum
tercermin dari ungkapan berikut ini:
Civil law codes and statutes are concise
( le style francais), while common law
65
statutes are precise (le style anglais).
Memang dalam statute hukum sipil
tidak menyajikan definisi dan prinsip-
prinsip secara luas dan frase umum. Di
lain pihak Statute common law
menyajikan definisi secara detail,
setiap aturan secara spesifik dijabarkan
dengan enumerasi yang panjang
dikaitkan dengan aplikasi spesifik, serta
eksepsi atau pengecualiannya.
Kesembilan, Penafsiran hokum
(interpretation of law). Dalam yurisdiksi
hukum sipil, langkah pertama dalam
menafsirkan hukum menurut Mazaud
adalah untuk menemukan maksud atau
intention dari legislator dengan
memeriksa semua legislasi termasuk
travaux preparatories juga termasuk
teks yang berkaitan dengan itu dan
mengandung teks yang obscure.
Kesepuluh, Pengangkatan hakim
(appointment of judges). Hakim
common law memegang peran penting
dalam memutuskan apa dan
bagaimana suatu hukum dibuat,
ditunjuk dari sekian praktisi lawyer.
Hakim civil law yang memegang fungsi
utama dalam adjudkasi diangkat dan
dipilih dari sekolah hukum yang fresh
graduate dengan spesialisasi tertentu.
7 A. Wiyono, Hak Mogok Di Indonesia, Program Pascasarjana Fakultas Hukum U.I.,
Jakarta, 2001, hlm. 22
Kesebelas, Konsekuesi evolusi hukum
(consequences – evolution of the law).
Semntara itu, prinsip-prinsip civil law
dibakukan dan mengkristal ke dalam
suatu kode dan sering diwarnai dengan
doktrin yang rigid dan ditetapkan oleh
pengadilan, sedangkan kebanyakan
common law dapat berubah dari waktu
ke waktu dengan mendasarkan pada
doktrin stare decisis.
Sistem Hukum Perburuhan di
Indonesia
Suatu pembangunan tidak serta-merta
dapat berlangsung singkat, namun
berlangsung secara bertahan. Menurut
Profesor Organski, Negara – negara
modern sekarang ini seperti Amerika
Serikat, Inggris, dan Jepang telah
melaksanakan pembangunan secara
bertahap.7
Pertama, tahap unifikasi,
dimana negara baru pada tahap
mengupayakan proses penciptaan
persatuan bangsa dan kesatuan suatu
negara. Stabilitas politik merupakan
persyaratan untuk masuk ke tahap
industrialisasi.
Kedua, tahap industrialissai,
dimana negara memfokuskan
usahanya pada pertumbuhan ekonomi
66
melalui peningkatan akumulasi modal.
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi
merupakan persyaratan untuk
mencapai negara kesejahteraan.
Ketiga, tahap negara
kesejahteraan, dimana negara
menyadari industrialisasi tidak selalu
positif. Pada negara kesejahteraan,
Pemerintah mencoba memperbaiki
implikasi negatif dari industrialisasi
dengan melindungi pihak yang lemah.
Jika dikaitkan dengan teori
politik mengenai tahap pembangunan
negara modern yang dikemukakan oleh
Organski, pada masa Industrialisasi,
umumnya buruh di tekan atau
dikorbankan untuk suksesnya
pertumbuhan ekonomi, yang
merupakan persyaratan untuk masuk
ke tahap negara kesejahteraan. Hal ini
disebabkan dalam tahap industrialisasi
fungsi utama pemerintah adalah
mendorong terciptanya elit baru yaitu
para manager industri, dan mendorong
peningkatan akumulasi modal.8
Indonesia juga melalui tiga
tahap juga, yaitu tahap unifikasi,
industrialisasi dan tahap negara
kesejahteraan. Pertama, tahap
unifikasi telah dilalui melalui masa yang
8 Ibid. hlm. 22-23 9 Edi Suharto, Kemiskinan dan Perlindungamn Sosial di Indonesia, Alfabeta,
Bandung, 2009, hlm. 15
panjang semenjak Sriwijaya,
Mojopahit, kerajaan Islam, penjajahan,
dan kebangkitan nasional, dan
Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus
1945. Kedua, tahap Industrialisasi
yang sangat menonjol dengan
mengundang investor asing dan dalam
negeri untuk berivestasi di Indonesia.
Perangkat hukumnya dengan
diundangkannya UU. PMA dan UU.
PMDN tahun 1967. Ketiga, tahap
negara kesejahteraan, dimana negara
menyadari industrialisasi tidak selalu
positif. Pada negara kesejahteraan,
Pemerintah mencoba memperbaiki
implikasi negatif dari industrialisasi
dengan melindungi pihak yang lemah.
Pihak yang lemah adalah
bahasa lain dari mereka yang hidup
miskin. Piven dan Cloward ( 1993 ) dan
Swanson ( 2003 ) menunjukkan
kemiskinan berhubungan dengan
kekurangan materi, rendahnya
penghasilan, dan adanya kebutuhan
sosial, sebagi berikut:9
1. Kekuranganh materi.
Kemiskinan menggambarkan
adanya kelangkaan materi atau
barang-barang yang diperlukan
dalam kehidupan sehari-hari,
67
seperti makanan, pakaian dan
perumahan;
2. Kekurangan penmghasilan dan
kekayaanmemadai. Makna ”
memadai” di sini sering dikaitkan
dengan standar atau garis
kemiskinan ( poverty line ) yang
berbeda-beda dari satu negara
ke negara lainnya. Bank Dunia
menetapkan seseorang itu
miskin jika ia pendapatannya
kurang dari $ 2 per hari. PBS
Indonesia diukur dengan asupan
kalori 2.200 calori. Penghasilan
per kapita pada Maret 2007
sebesar Rp. 166. 697,-;
3. Kesulitan memenuhi kebutuhan
sosial, termasuk keterkucilan
sosial, ketergantungan, dan
ketidakmampuan berpartisipasi
dalam masyarakat.
Pihak-pihak yang masuk kreteria
miskin ini di Indonesia, secara umum
sebagian besar adalah petani, nelayan,
pedagang asongan, dan buruh. Maka
pemahaman teks ( undang-undang )
saja tidak cukup untuk membela hak-
hak kaum miskin tetapi bagaimana teks
tersebut dimaknai dengan realitasnya.
Namun kendalanya ada pada sistem
10 FX Adji Samaekto, Sistem Hukum Modern, Rule of Law dan Kemiskinan Di
Indonesia, hlm. 69-70; Dalam: Satya Arinanto dan Ninuk Triyanti, Memahami Hukum,
Dari Konstruksi sampai Implementasi, Rajawali Pers, Jakarta, 2009.
hukum modern yang dipelopori oleh
kapitalisme.
Sebab menurut FX Adji Samaekto10,
pertama, terdapat hubungan antara
sistem hukum modern, prinsip rule of
law dan timbulnya kemiskinan di
Indonesia yang merupakan hubungan
sebab akibat. Sistem hukum modern
adalah sistem hukum yang berasal dari
Eropah barat yang tumbuh pada abad
ke-19 bersamaan dengan tumbuhnya
kapitalisme. Karakteristik sistem hukum
modern dengan mengutip Satjipto
Rahardjo, dapat diidentifikasikan
sebagai berikut: a. merupakan sistem
hukum yang berasal dari tatanan sosial
Eropah Barat pada abad ke-19; b.
Sangat dipengaruhi oleh paradigma
positivisme dalam dalam ilmu
pengetahuan alam; c. rasional, lepas
dari pengaruh ketuhanan, d. Meyakini
bahwa hukum dapat dokonstruksi dan
dikelola secara netral tidak berpihak,
impersial, dan objektif; e. Mendukung
terciptanya kepastian dan
prediktabilitas; f. Melindungi HAM dan
kebebasan.
Kedua, rule of law ( rol ) tidak pro
kemiskinan, dikarenakan : a. rol bukan
sebagai sarana untuk mencapai tujuan
68
masyarakat atau memecahkan
masalah kemiskinan; b. rol, cocok
dalam konteks kekinian ekonomi
Indonesia yang mempasilitasi dan
memberi ruang bagi perkembangan
kapitalisme dan pasar bebas dengan
privatisasinya; c. aturan hukum yang
berpihak pada kapitalisme telah
mendorong pemerintah Indonesia
untuk mendapatkan bantuan dari
lembaga atau negara donor dengan
imbalan antara lain berupa:
swastanisasi sektor publik, penegakan
perlindungan HAKI dan aturan
perburuhan yang tidak memihak kaum
buruh. Sebagai akibatnya antara lain
kebijakan negara yang berpihak pada
pengentasan kemiskinan, pemenuhan
kebutuhan dasar, dan perwujudan
keadilan sosial menjadi terpinggirkan.
Negara Civil law dan Anglo Saxon
merupakan motor dari modernisme dan
kapitalisme. Menurut H.R. Otje Salman
dan Anthon F. Susanto bahwa: 11
pertama, harus diakui bahwa,
pergeseran dari era modern kepada
post-modern, merupakan sebuah
proses pengikisan. Pandangan
demikian itu paling tidak didukung dua
hal dengan alasan sebagai berikut.
Pertama terjadi proses "pergantian"
11 H.R. Otje Salman dan Anthon F. Susanto, Teori Hukum, Refika Aditama,
Bandung, 2009, hlm. 117-118
sejauh bahwa modernisme telah
memenuhi sebagian janji-janjinya; dan
kedua sebagian lagi sebagai suatu
proses "keusangan" sejauh,
modernisme tidak lagi mampu
memenuhi sebagian janji-janji yang
lainnya. tulisan ini, seperti tulisan
lainnya tidak bertujuan untuk
mempertentangkan dua hal di atas,
karena dalam perkembangan ilmu
keduanya memberikan kontribusi yang
luar biasa dan memiliki posisi penting.
Kedua, apabila kita bermaksud
membandingkan persoalan di atas
dapat dijelaskan sebagai berikut: 1.
modernisme selalu bersanding dengan
kapitalisme, dan selalu dianggap selalu
saling bertautan, serta tidak dapat
dilepaskan, meski pada kenyataannya
berbeda secara otonom dari sudut
pandang historis. 2. proses historis
tersebut (modernisme dan kapitalisme)
saling mengkonvergensi dan
menginterpenetrasi satu sama lain,
meski kondisi-kondisi dan dinamika
perkembangannya tetap terpisah dan
relatif otonom. Modernisme tidak
mensyaratkan kapitalisme sebagai
mode produksinya, bahkan dipahami
sebagai sesuatu mode produksi
tersendiri.
69
Para sarjana yang membahas tentang
kapitalisme dan modernisme, pertama,
Bryan Turner, menjelaskan keterkaitan
di antara dua hal tersebut di atas
"modernitas secara umum dapat
dipandang sebagai suatu perubahan
sosial budaya yang bersifat massif
yang telah berlangsung dari
pertengahan abad keenam belas, yang
pada gilirannya, dan tentu saja
sebagaimana diurai di atas berkaitan
dengan suatu analisis terhadap
masyarakat kapitalis industrial sebagai
suatu perubahan yang revolusioner
stabilitas tradisi dan sosial di bangun
dalam peradaban agraris yang agak
stagnan.12
Kedua, oleh Bell, modernisme
digambarkan secara lebih kritis yaitu
sebagai sifat budaya yang mencakup
semua seni; buram, sangat
mengganggu, eksperimetal dalam
bentuknya yang tiruan. Lebih jauh
dikatakan bahwa modernisme
merupakan respon terhadap
perubahan sosial akhir abad ke19
dalam persepsi makna dan kesadaran
diri yang timbul dari disorientasi ruang
12 Bryan Turner, Teori-Teori Sosiologi, Modernisme dan Postmodernisme, Pustaka
Pelajar, Yokyakarta, 2000, hlm. 8-10; dalam : H.R. Otje Salman dan Anthon F. Susanto,
Teori Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2009, hlm. 118 13 . Daniel Bell, The Cultural Contradiction of Capitalism, Heinemann, London,
1973, hlm., 50; Dalam: H.R. Otje salman dan Anthon F. Susanto, Teori Hukum, Refika
Aditama, Bandung, 2009, hlm. 118
waktu yang berkaitan dengan
transformasi penting dalam komunikasi
dan transportasi, dan suatu krisis
kesadaran diri yang mengikuti erosi
kepercayaan dan nilai-nilai secara
berturut-turut. Bell berpandangan
bahwa modernisme hanyalah sebagai
jalan lintas dari aturan kehidupan
borjuisme tradisional dengan bentuk-
bentuk yang berkaitan dengan
rasionalitas dan ketenangannya yang
menjadi Sasaran kekecewaan. Dalam
membahas persoalan-persoalan
tersebut, pendirian yang teguh
terhadap penolakan watak moral dan
budaya modernisme diungkapkan oleh
Bell, terutama melalui rujukan pada
sifat anti-rasional.13
Sedangkan Post-Modernisme lebih
mengedepankan pandangan bahwa
berbagai lapangan dan spesialisasi
ilmu merupakan strategi utama atau
kesepakatan di mana realitas dapat
dibagi, terutama sebagai upaya serius
untuk mencapai kebenaran yang
dilakukan oleh kelompok-kelompok
sosial dalam mencari kekuasaan."
pandangan ini sckaligus menjelaskan
70
sentralitas tesis Nietzsche kehendak
untuk kuasa dalam epistimologis
kontemporer di mana pencarian
kebenaran selalu berarti membangun
kekuasaan. Penekanannya terhadap
sifat arbiter dari struktur argumen dan
retorika bahasa tetap merupakan
bagian yang penting sebagai senjata
kritik dekonstruksi postmodernisme."14
Hukum Perburuhan Indonesia
Termasuk Hukum Modern
(bersubstansi Civil Law dan Anglo
Saxon)
Kenapa hukum perburuhan Indonesia
termasuk hukum modern ? ciri-cirinya:
15
1. Mempunyai bentuk tertulis
2. Hukum itu berlaku untuk seluruh
wilayah negara. Apabila kita
memperhatikan sejarah, maka
keadaanya tidak selalu
demikian. Pada masa-masa
yang lalu, dalam suatu wilayah
negara bisa berlaku berbagai
macam hukum dengan otoritas
yang bersaing. Seperti
dikatakan oleh Marc Galanter,
14 Ibid., hlm. 119. 15 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlml. 213-
214. 16 Marc Galanter, The Modernization of Law, dalam Modernization, The dynamics
of growth, Voice of America Forum Lectures, t.t., hlm. 167-179; Dalam: Satjipto rahardjo,
Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm. 213-214
maka hukum modern sekarang
ini terdiri dari peraturan-
peraturan yang bersifat uniform
serta diterapkan tanpa
mengenal variasi. Peraturan-
peraturan tersebut lebih bersifat
teritorialo daripada “pribadi”,
artinya peraturan yang sama itu
diterapkan terhadap anggota-
anggota masyarakat dari semua
suku, agama, kelas, daerah dan
kelamin. Apabila disitu diakui
adanya perbedaan-perbedaan,
maka ia bukan sesuatu yang
disebabkan oleh kualitas yang
intrinsik, seperti antara
bangsawan dan budak atau
antara kaum Brahmana dan
kelas-kelas yang lebih rendah di
India, melainkan yang
disebabkan oleh fungsi, kondisi
dan hasil-hasil karya yang
didapat oleh seseorang dalam
kehidupan keduniaan ini. 16
3. Hukum merupakan instrumen
yang dipakai secara sadar untuk
mewujudkan keputusan-
keputusan politik
71
masyarakatnya. Hal ini telah kita
bicarakan pada bab terdahulu.
Berbicara mengenai sumber hukum
ketenagakerjaan, berarti membahas
mengenai sumber-sumber-sumber
hukum dibidang
Ketenagakerjaan.sumber hukum pada
umumnya dibedakan menjadi dua,yaitu
sumber hukum dalam arti materil dan
sumber hukum arti formil. Sumber
hukum dalam arti formil,artinya sumber
hukum yang dikenal dari
bentuknya.(Tempat dimana dapat
ditemukan dan dikenal hukum).Adapun
macam dari sumber hukum formil
adalah : a. Peraturan perundang-
undangan; b. Hukum kebiasaan; c.
Yurisprudensi; d. Traktat/perjanjian;
dan e. Doktrin
Khusus UU. No. 3 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan ( UUK ),
pada konsiderannya secara filosofis
adalah Pancasila dan konsideran
mengingatnya UUD 1945. Namun
substansial pasal-pasalnya ada
muatan civil law dan kapitalisme.
Sebagai contoh, antara lain:
1. Syarat Sahnya Perjanjian Kerja dan
Perjanjian Kerja Bersama17
17 Zaeni Asyhadie, Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 46
Setiap perjanjian kerja dapat dibuat
secara tertulis atau lisan. Dalam hal
perjanjian kerja ini dibuat secara
tertulis, harus dilaksanakan sesuai
dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Syarat-
syaratnya adalah: a) kesepakatan
kedua belah pihak; b) kemampuan atau
kecakapan melakukan perbuatan
hukum; c) adanya pekerjaan yang
diperjanjikan; dan d) pekerjaan yang
diperjanjikan tidak bertentangan
dengan ketertiban umum, kesusilaan,
dan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. (Pasal 52 UU No.13
Tahun 2003).
2. Asas kebebasan berkontrak dalam
pasal 1338 KUHPerdata, juga masuk
dalam UUK.
3. Outsourcing, asas-asasnya telah
masuk ke dalam UU. No. 13 tahun 2003
dalam pasal 64, 65, dan 66.
Dari contoh tersebut untuk
menyatakan bahwa asas-asas hukum
ketenagakerjaan adalah produk Barat
atau kapitalisme dengan sistem civil
law dan anglo saxon. Prilaku
kapitalisme nampak dalam proses
perjanjian kerja atau tawar-menawar
72
pada kenyataannya tidak ada tawar-
menawar. Sebagai akibatnya buruh
selalu dalam posisi di pihak yang
lemah. Oleh karena itu keadialn bagi
buruh jauh dari kenyataan untuk
mencapai buruh yang sejahtera
menurut keinginan negara
kesejahteraan ( welfare state ).
Dalam kajian teoritis seperti dalam
pandangan Organski, menuurt penulis
bahwa Hukum Romawi merupakan
cikal bakal dari sistem hukum Eropah
Kontinental. Meskipun hukum Romawi
merupakan roh dari sistem hukum
Eropah Kontinental, tetapi pengaruh
hukum romawi tersebut juga kuat
terasa dalam perkembangan sistem
hukum Anglo Saxon. karena, banyak
pencipta kaidah dalam sistem hukum
18di Negara asal istilah welfare –state, ‘kebijakan’ dan ‘kegiatan negara’ sudah
mengalami banyak perkembangan, sejak setidaknya secara formal ditetapkan pasca Perang
Dunia II. Seiring dengan itu, perdebatan yang mewarnai itu juga terus berjalan. Dalam dekade
terakhir, wealfare –state juga mempunyai ciri khusus, yang jelas berbeda dengan apa yang ada
di tahun 40 an, bahkan 80 an. Welfare-state saat ini menjadi sasaran kritik tak kunjung habis
dan dijadikan kambing hitam atas mandengnya pertumbuhan ekonomi dan inovasi. Untuk
sebagian masalah, alasan ini cukup tepat, namun dilain pihak, welfare-state justru menjadi
salah satu senjata pokok pemerintah dalam mensukseskan transisi ekonomi, sebagaimana hal
itu terjadi dinegara-negara Eropah.
Landasan utama pengembangan kebijakan walfare-state. Saat ini, semua kelompok
politik, semua pemerintah negara-negara, semua pengambil kebijakan telah menyudahi
perdebatan mengenai apakah welfare-state diperlukan atau tidak. Artinya, semuanya sudah
mengakui bahwa welfare-state diperlukan iti mutlak perlu. Yang menjadi persoalan adalah
sekarang soal apakah welfare-state itu sudah tetapi sasaran, tepat guna dan apakah welfare-
state itu sudah dapat menghasilkan siklus menuju kemakmuran. Selain itu, kita juga
melihat tantangan yang amat besar dimasa sekarang dan dimasa mendatang. Problem terbesar
kemanusiaan sekarang adalah bagaimana mengembangkan keadilan dan kemakmuran. Salah
satu persoalan besar adalah apakan keadilan itu dapat diibaratkan ide. Amartya Sen, untuk
menyebut salah satu contoh penggambaran persoalan, menggambarkan bagaimana
sekarang ini keadilan itu dibagi. Persoalan yang ditegaskan oleh Sen, adalah bukan pertama-
Anglo Saxon, sudah terlebih dahuku
mempelajari sistem hukum Romawi,
atau sistem hukum eropa kontinental.
misalnya hukum amerika serikat dalam
perkembangannya, dalam beberapa
bidang justru lebih banyak dipengaruhi
oleh ajaran dari hukum romawi
ketimbang dari ajaran sistem hukum
Anglo Saxon sendiri. misalnya
pengaruh hukum Romawi sangat jelas
kelihatan dalam Uniform Comercial
Code (UCC) di USA, kerena para
perancang UCC banyak yang telah
mendapat pendidikan hukum Romawi.
Inti dari Pasal 33 dan 34 UUD 1945
adalah kesejahteraan warganegara.
Untuk memahami persoalan negara
kesejahteraan, menurut Tim Peneliti
PSIK diketuai Yudi Latif, bahwa: 18 di
73
Indonesia, sedikit saja istilah yang kita
gunakan untuk menerjemahkan
welfare-state secara pas. Secara
singkat, welfare –state dijabarkan
secara singkat sebagai serangkaian
kebijakan publik dan kegiatan negara
dalam mengintegrasikan kebijakan
ekonomi dan kebijakan sosial demi
sebuah pencapaian kemakmuran.
Globlaisasi memberi
banyak manusiawi, tetapi juga
mengambil amat banyak dari manusia
lain. Kenyataan ini menjadi
pertimbangan yang amat mendalam
dalam pemerintahan negara-negara,
baik negara maju maupun negara
berkembang. Tahun-tahun 2005-2006,
misalnya, kita melihat gelombnag balik
dari negara maju dimana mereka justru
melakukan proteksi terbuka ( overt
protection). Kritik dari negara
berkembang amat terbuka dan pedas
atas tindakan negara maju ini. Namun,
pemerintah negara maju juga berada
pada bahaya bahwa warga negara
mereka akan melakukan perlawanan
terbuka. Dalam siklus demokrasi yang
tama persoalan bahwa tidak ada keadilan, tetapi bagaimana membagi keadilan disaat keadilan
itu merupakan entitas yang terbatas. Bagaimana membagi keadilan untuk mereka yang berhak,
sedang yang berhak tidak terbatas, sedang keadilan itu terbatas. Sumber inspirasi mengenai
bagaimana memperjuangkan keadilan tidak ada habisnya. Kita dapat menemukan dalan
banyak nilai dan pemikiran. Menjadi tantangan bagaimana mewujudkannya dengan
manusiawi, ditengah situasi yang semakin sulit untuk dikatakan manusiawi. Liohat: Yudi Latif
dkk., ( Tim Peneliti PSIK ), Negara Kesejahteraan dan Glonbalisasi, Pengembangan
Kebijakan dan Perbandingan Pengalaman, Univ. Paramadina, Jakarta, 2008, hlm. xxx1-xxxii
amat cepat, misalnya di Maerika
Serikat, perlawanan terbuka ini jelas
tidak membutuhkan waktu lama untuk
dapat terwujud. Pemeilihan sela
kongres Amerika Serikat November
2006, misalnya mengisyaratkan bukan
hanya perlawanan terhadap perang
Irak, melainkan juga perlawanan atas
kebijakan Pemerintah Amerika Serikat
yang melakukan pemotongan pajak
untuk top eranes dan membuat banyak
pengeluaran yang tak terkontrol.
Tujuan negara Republik
Indonesia, telah dtuangkan dalam
Pembukaan UUD 1945 oleh para
Pendiri Negara ( The Founding Father
), sebagai berikut: ”Kemudian daripada
itu untuk membentuk suatu Pemerintah
Negara Indonesia yang melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan
ikut melaksanakan ketertiban dunia
berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial,
maka disusunlah Kemerdekaan
74
Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu
Undang-Undang Dasar Negara
Indonesia…".
Tujuan Negara Indonesia
tersebut, pertama, terdiri atas tiga
pokok, yaitu :19 (1) melindungi seluruh
bangsa dan tumpah darah Indonesia;
(2) memajukan kesejahteraan umum
dan mencerdaskan kehidupan bangsa ;
dan (3) ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan social.
Pada bagian pertama dan kedua
merupakan tujuan interen ketiga, tujuan
ekstern. Disadari bahwa Indonesia
tidak dapat hidup sendirian dan tidak
dapat berkembang sewajarnya sesuai
dengan perkembangan umat manusia
dan kemajuan dalam segala bidang,
lepas dari negara-negara lain. Lagi pula
sesuai dengan sila kemanusiaan yang
adil dan beradab dan keadilan sosial,
Indonesia merasa wajib ikut
memperhatikan kesejahteraan seluruh
umat manusia.
Kedua, memajukan
kesejahteraan umum adalah sama
dengan mewujudkan masyarakat yang
adil dan makmur. Itulah tujuan jangka
panjang Negara kita yang hanya dapat
19 Yudi Latif dkk., (Tim Peneliti PSIK ), Negara Kesejahteraan dan Glonbalisasi,
Pengembangan Kebijakan dan Perbandingan Pengalaman, Univ. Paramadina, Jakarta,
2008, hlm. 4
dicapai secara bertahap. Bersama-
sama dengan rakyat pemerintah harus
menciptakan kemakmuran dan pada
waktu yang sama mengusahakan agar
setiap warga Negara memperoleh
bagian yang wajar sesuai dengan jasa
dan kebutuhannya. Kemakmuran
(prosperity) ialah suatu keadaan di
mana kebutuhan manusia dapat
dipenuhi dengan wajar secara mantap
atau terus-menerus. Secara konkrit itu
berarti tersedianya barang dan jasa
kebutuhan hidup, tidak hanya untuk
memungkinkan hidup tetapi juga untuk
mempermudah, menyenangkan dan
meningkatkannya, sehingga orang-
orang dapat hidup layak sebagai
manusia, mengembangkan diri dan
mencapai kesejahteraan lahir batin15.
Ketiga, tanggungan Negara ialah
kemakmuran umum (public prosperity).
Kemakmuran perorangan atau pribadi
adalah urusan orang masing-masing,
dan mencakup barang dan jasa-jasa
yang tersedia bagi orang-orang,
keluarga dan kelompok-kelompok
untuk kesejahteraannya: sandang
pangan, perawatan kesehatan,
perumahan, pendidikan, kemerdekaan,
kebudayaan, ilmu pengetahuan, moral,
75
agama dan lain sebagainya. Orang-
orang dapat mencapainya sendiri,
bairpun biasanya memerlukan bantuan
masyarakat. Makin makmur dan adil
masyarakat makin mudah pula orang-
orang mendapatkan kemakmuran
pribadi mereka. 20.
Keempat, kemakmuran umum
ialah tersedianya barang dan jasa bagi
rakyat, sehingga orang-orang dapat
mencapai kemakmuran pribadinya.
Kemakmuran umum merupakan
pelengkapan bagi orang-orang. Negara
dimaksud untuk menjaga dan mengatur
agar barang dan jasa itu tersedia dan
terjangkau oleh daya beli rakyat
banyak. Bukanlah tugasnya
menghadiahkan semuanya itu kepada
orang-orang secara mudah. Orang-
orang harus berusaha sendiri sebaik
mungkin, tetapi untuk kekurangannya
mereka dapat mengharapkan bantuan
Negara. Dalam hal ini, bantuan yang
paling baik dan paling selaras dengan
martabat manusia berupa pertolongan
yang memungkinkan orang bekerja
secara produktif dan lambat laun berdiri
di atas kaki sendiri. Dengan demikian
dapat dikatakan, hakikat kesejahteraan
umum ialah melengkapi usaha orang-
orang: (1) dengan menyediakan apa
20 Kirdi Dipoyudo, Keadilan Sosial, Erlangga, Jakarta, 1993, hlm. 12.
yang perlu bagi kemakmuran pribadi
mereka tetapi tidak dapat mereka capai
dengan kekuatan mereka sendiri; (2)
bagi semua warga masyarakat, tetapi
secara proporsional menurut prestasi
dan kebutuhan masing-masing yang
wajar; dan (3) dengan memperhatikan
anggota masyarakat yang lemah dan
memerlukan bantuan istimewa seperti
fakir miskin, yaitm piatu, kaum
pengangguran, kaum cacat, kaum
jompo, gelandangan, dan lain
sebagainya.
Kelima, masyarakat adil makmur
berdasarkan Pancasila kiranya dapat
dibatasi sebagai masyarakat di mana
(1) kepastian hukum dijamin dan
keadilan ditegakkan, dan (2) tersedia
bagi setiap warganya hal-hal sebagai
berikut:
a. Cukup sandang pangan dan
perumahan yang layak,
sehingga dia dapat hidup
aman, tidak perlu selalu hidup
dalam kecemasan
menghadapi hari depan.
b. Fasilitas kesehatan termasuk
tenaga medis, obat-obatan,
rumah sakit dan pusat
kesehatan dengan
perlengkapan dan tenaga
76
seperlunya, sedangkan biaya
terjangkau oleh daya beli
rakyat banyak.
c. Kesempatan pendidikan pada
segala tingkat, baik umum
maupun
kejuruan/professional,
sehingga barang siapa mau
dan berbakat dapat menjadi
orang yang cerdas dan cakap
untuk menunaikan tugasnya
terhadap Negara dan
masyarakat sambil
mewujudkan kesejahteraan
lahir batinnya.
d. Jaminan bagi hari tua,
sehingga orang tidak hidup
dalam ketakutan bahwa dia
akan terlantar jika sudah tidak
berdaya untuk mencari
nafkahnya.
e. Sarana perhubungan
secukupnya, sehingga dia
dapat dengan mudah, cepat
dan murah bergerak atau
berpergian, baik untuk urusan
usaha dan dinas maupun
keperluan lain.
f. Sarana komunikasi
seperlunya, sehingga dapat
mengadakan hubungan
dengan orang lain lewat pos,
telepon, telegram dan radio
dengan cepat, mudah dan
murah
g. Kesempatan kerja yang
selaras dengan keingingan
dan kecakapannya di mana
dia dapat bekerja dengan
syarat-syarat baik dan balas
karya yang wajar sehingga
mencukupi kebutuhan diri dan
keluarganya.
h. Kesempatan untuk menikmati
dan mengembangkan
kebudayaan dan
menyempurnakan hidup moral
keagamaannya serta hidup
intelektualnya sehingga di
samping kehidupan materiil
juga kehidupan batinnya
terpelihara dengan baik.
i. Kemungkinan untuk
beristirahat pada waktunya
dan menikmati hiburan-
hiburan seperti pertunjukkan,
pagelaran dan lain
sebagainya.
j. Suasana di mana hidup moral
keagamaan yang baik tidak
hanya menjadi mungkin, tetapi
juga menjadi mudah dan
menarik. Negara tidak hanya
bertugas untuk memajukan
kesejahteraan materiil, tetapi
juga ikut serta membina
77
mental dan moral rakyat yang
luhur. Negara dapat
memainkan perannya yang
penting itu dengan berbagai
cara, khususnya lewat
undang-undang, pendidikan
dan kerja sama dengan
lembaga-lembaga yang
bergerak di bidang itu. Tetapi
dalam semuanya itu Negara
harus menghormati otonomi
orang dan lembaga dalam
bidang-bidang itu.
Salah satu upaya untuk mencapai
kesejahteraan tersebut, adalah
insttrumen hukum ekonomi
mendapatkan dasar dan Pasal 33 UUD
1945 ,21 dengan ciri-cirinya:
1. Perekonomian disusun sebagai
usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan [Pasal 33 (1)];
2. Cabang-cabang produksi yang
penting bagi negara dan menguasai
hajat hidup orang banyak dikuasai oleh
negara [Pasal 33 (2)];
3. Bumi dan air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat
[Pasal 33 (3)];
21 Sumantoro, Hukum Ekonomi, UI Press, Jakarta, 1986, hlm. 23.
Kemudian setelah diamandemen,
ditambah dengan ayat 4 dan ayat 5
sebagai berikut:
4. Perekonomian nasional
diselenggarakan berdasar atas
demokrasi ekonomi dengan prinsip
kebersamaan, efisiensi-berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan
lingkungan, kemandirian, serta dengan
menjaga keseimbangan kemajuan dan
kesatuan ekonomi nasional [Pasal 33
(4)****];
5. Ketentuan lebih lanjut menegnai
pelaksanaan pasal ini diatur dalam
undang-undang ( pasal 33 ( 5 ) **** ).
Hukum Perburuhan Islam
Sistem Hukum Perburuhan Indonesia
secara filosofis berdasarkan Pancaila.
Sila I. Ketuhanan Yang Maha Esa, bagi
sebagian besar bangsa Indonesia
adalah pemeluk agama islam, nilai-nilai
Pancasila tersebut koheren dengan
ajaran agama ilam. Maka wajar kalau
masyarakat perburuhannya, khusunya
pengusaha dengan nilai-nilai keislaman
di dalam dirinya mempunyai prilaku
yang islami terhadap terhadap buruh-
buruhnya.
Islam sangat memperhatikan nasib
buruh, dengan menganugerahkannnya
78
gambaran-gambaran paling utama dan
sifat-sifat paling mulia. Perhatikanlah
bagaimana islam menjadikannya
sebagai kekasih Allah; Namun, apakah
seorang buruh merasa puas dengan
penghargaan yang sangat tinggi ini?
sebenarnya cukup baginya untuk
merasa terhormat dan bangga pada
penghormatan yang diberikan oleh
Rasulullah SAW kepadanya.
Rasulullah berkata : Bahwa tangan
para pekerja atau buruh yang kasar dan
penuh luka karena bekerja untuk
menghidupi keluarga mereka, adalah
tangan yang sangat dicintai oleh Allah
dan tangan itu tidak akan disentuh oleh
api neraka. 22
Islam sangat memperhatikan
keselamatan kaum Buruh, oleh karena
itu islam mengeluarkan aturan-aturan
yaitu:Islam mengharamkan segala
jenis kezaliman dan mengajak
dihilangkannya berbagai bencana dan
keburukan terhadap kaum buruh dan
pekerja. Di antara bentuk-bentuk
kezaliman yang paling jelas adalah
memeras kaum buruh dan menahan
upah kerja mereka. Sesungguhnya hal
semacam itu sangat diharamkan dan
sangat jelas pelanggarannya karena
22. Ibid 23 Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Baihaqi, Dalam: Baqir Sharief Qorashi,
Keringat Buruh , Al-Huda, Jakarta:2007, hlm 2.
dapat dikategorikan sebagai memakan
harta secara batil. Rasullulah saw
bersabda: Tiga jenis orang yang
menjadi musuhku pada hari kiamat
diantaranya adalah orang yang
mempekerjakan seorang buruh namun
tidak memenuhi upahnya ( Ibnu Majah
dan baihaqi ). Selanjutnya sebagai
berikut: 23
a. Pemberian Upah
Di antara hak-hak buruh yang
paling penting adalah yang
berhubungan dengan masalah
penentuan upah kerjanya. Karenanya,
seorang buruh jangan sampai tidak
mengetahui upahnya karena hal itu
dapat membuka peluang terjadinya
proses penipuan. Diriwayatkan dari
Imam Shadiq yang berkata:
”Barangsiapa beriman kepada Allah
dan hari kiamat, janganlah
memperkerjakan seorang buruh
sampai ia mengetahui berapa
upahnya.”
Islam sangat menginginkan
upah buruh itu diberikan secara adil.
Karena itulah Islam menetapkan pilihan
untuk membatalkan akad apabila jelas
bahwa seorang pekerja ditipu dalam
hal upahnya; sebagaimana Islam
79
dalam banyak kesempatan
menetapkan tentang tidak sahnya
sistem pengupahan dengan
memberikan kepada seluru buruh upah
yang sama. Demikianlah hal-hal yang
dihargai tradisi agar buruh tidak sampai
mengalami perlakuan zalim atau
tindakan sewenang-wenang dalam
bentuk apapun. Sementara itu, pihak-
pihak yang dapat menentukan upah
adalah sebagai berikut :
1. Buruh dan pemilik usaha; keduanya
bersepakat dalam menentukannya.
Serikat buruh. Ini dikarenakan
mereka berkompeten dalam
menentukan upah buruh bersama
pemilik usaha, dengan syarat kaum
buruh memberikan kewenangan
kepada mereka untuk
melakukannya.
2. Negara, namun disyaratkan bahwa
dalam intervensinya negara tidak
menghilangkan hak-hak buruh
maupun hak-hak pemilik usaha.
Apabila upah telah ditentukan, maka
buruh memiliki kemerdekaan penuh
untuk menerima atau menolaknya
tanpa adanya unur paksaan. 24
b. Melindungi Keselamatan &
Kesehatan Buruh
24 Ibid, hlm. 250 – 251.
Pemilik usaha berkewajiban
menyiapkan sarana-sarana pengaman
di tempat kerja untuk melindungi para
buruh dari kemungkinan mendapat
bahaya dan terjangkit penyakit-
penyakit yang terkait dengan resiko
pekerjaannya. Itu bisa dihindarkan jika
telah diperoleh kepastian tentang
keselamatan atau kelaikan alat-alat
dan perkakas-perkakas yang
ditempatkan yang ditempatkan di
bawah pengaturan mereka. Pemilik
usaha juga berkewajiban untuk selalu
melakukan pengawasan teknis demi
keselamatan para buruh, khusus
pertambangan, perusahaan air raksa,
minyak dan sebagainya. Sebab, dalam
pekerjaan-pekerjaan seperti ini, tempat
kerja harus terlindung dan aman dari
perembesan gas yang berbahaya bila
dihirup para buruh.
Para pengamat pekerjaan telah
melakukan pembahasan- tentang
sarana-sarana tersebut, yang
diharuskan tersedia di tempat-tempat
kerja demi melindungi para buruh dari
berbagai marabahaya dan bencana.
Islam juga telah mengukuhkannya
seraya mengharuskan para pemilik
usaha untuk menyediakannya demi
80
melindungi dan memelihara kesehatan
para buruh25.
c. Diakuinya Hak Mogok bagi Buruh
atau pekerja Dalam Islam
Pemogokan bermakna menolak
bekerja. Dan penolakannya dilakukan
kaum buruh untuk memaksa majikan
agar menerima sudut pandang mereka
tentang perselisihan yang terjadi
diantara kedua belah pihak. Konsep
pemogokan sendiri telah meluas
hingga meliputi hal-hal lain yang terkait
dengan penghentian kerja, meskipun
tidak terdapat perselisihan di antara
orang-orang yang berhenti kerja dan
pihak majikan. Pemogokan tidak
memiliki penyebab khusus, melainkan
dipicu banyak faktor. Kebanyakannya
yang paling menonjol adalah tuntutan
kenaikan upah dan pengurangan jam
kerja, atau adanya unsur pelanggaran
dalam konteks kemerdekaan
berserikat, atau menuntut kembalinya
para pekerja yangg dibebas tugaskan.
Adapun sikap hukum Islam
terhadap perbagai penyebab ini adalah
bahwa Islam mengakui pemogokan
kerja untuk menuntut kenaikan upah
atau pengurangn jam kerja, serta
berbagai persoalan lainnya yang
mengusung kepentingan buruh dan
25 Ibid., hlm. 251 - 252
meninggikan derajat hidupnya. Karena
sesungguhnya buruhat atau pekerja
memiliki kemerdekaan penuh dalam
hal ini. Sehingga, seandainya
pemogokan itu sejalan dengan
kepentingan buruh atau pekerja, maka
tak seorang pun yang berhak
menghentikannya. Pemerintah juga
tidak boleh berdiri menentangnya,
melainkan sebaliknya harus ikut
berperan aktif melindungi mereka dan
memperhatikan betul tuntutan-
tuntutannya.
Apabila buruh atau pekerja
diberikan upah bekerja dalam waktu
tertentu, maka ia tidak boleh
melakukan pemogokan, kecuali bila
terjadi penipuan dalam hal pembayaran
upahnya. Nah, pada saat itulah ia
berhak melakukan pemogokan dan
berhenti bekerja sampai majikannya
berlaku adil terhadapnya dan tidak lagi
menipunya. Sedangkan pemogokan
dalam bentuk solidaritas terhadap
buruh lainnya, dapat diterima selama
itu legal. Sementara menunjukan
solidaritas demi membantu para buruh
atau pekerja lain melakukan dosa dan
permusuhan, terlarang dalam Islam.
Berhentinya pemogokan terjadi
karena tiga faktor: pemogokan berakhir
dengan kesuksesan. Maksudnya,
81
seluruh tuntutan yang diajukan oleh
para pelaku pemogokan dikabulkan.
Pemogokan berakhir dengan
kegagalan yang mengandaskan
tuntutan-tuntutan para pelaku
pemogokan. pemogokan berakhir
dengan terkabulnya sebagian tuntutan
dan kandasnya sebagian tuntutan lain.
Perselisihan Perburuhan dalam
Islam, umumnya hampir sama dengan
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan
yang diatur dalam Undang-Undang No.
2 tahun 2004 tentang Perselisihan
Hubungan Industrial. Hukum islam
untuk menyelesaikan Perselisihan
Perburuhan Hukum Isla, menyebutkan
dapat diselesaikan dalam Rekonsiliasi
dimana kedua belah pihak harus
bertemu untuk berunding tentang
bagaimana menyelesaikan
perselisihan dan mencari solusinya.
Mediasi tampilnya orang ketiga yang
bersikap netral dan tidak memiliki
kepentingan dalam konteks
perselisihan kedua belah pihak. Ia
harus berdiri di antara kedua pihak
yang berselisih dan bertindak sebagai
penengah agar tercipta ishlah dengan
cara damai. Metode ini tidak diwajibkan
bagi kedua belah pihak, melainkan
membiarkan keduanya bebas
menerima atau menolaknya.26
26 Ibid, hlm. 246-247.
Penutup
1. Hukum Indonesia, juga hukum
perburuhan telah menerima Sistem
Civil Law dengan asas concordansi.
Sistem hukum ini berasal dari hukum
Romawi. Meskipun hukum Romawi
merupakan roh dari sistem hukum
Eropah Kontinental, tetapi pengaruh
hukum Romawi tersebut juga kuat
terasa dalam perkembangan sistem
hukum Anglo Saxon. karena, banyak
pencipta kaidah dalam sistem hukum
Anglo Saxon, sudah terlebih dahuku
mempelajari sistem hukum Romawi,
atau sistem hukum eropah kontinental.
misalnya hukum Amerika Serikat dalam
perkembangannya, dalam beberapa
bidang justru lebih banyak dipengaruhi
oleh ajaran dari hukum Romawi
ketimbang dari ajaran sistem hukum
Anglo Saxon sendiri. Misalnya
pengaruh hukum Romawi sangat jelas
kelihatan dalam Uniform Comercial
Code (UCC) di USA, kerena para
perancang UCC banyak yang telah
mendapat pendidikan hukum Romawi.
2. Buruh ( juga Indonesia )
sebagai pihak yang lemah adalah
bahasa lain dari mereka yang hidup
miskin. Kemiskinan berhubungan
dengan kekurangan materi, rendahnya
penghasilan, dan adanya kebutuhan
82
sosial, sebagi berikut: a. kekuranganh
materi. Kemiskinan menggambarkan
adanya kelangkaan materi atau
barang-barang yang diperlukan dalam
kehidupan sehari-hari, seperti
makanan, pakaian dan perumahan; b.
kekurangan penghasilan dan kekayaan
memadai. Makna ” memadai” di sini
sering dikaitkan dengan standar atau
garis kemiskinan yang berbeda-beda
dari satu negara ke negara lainnya.
Bank Dunia menetapkan seseorang itu
miskin jika ia pendapatannya kurang
dari $ 2 per hari. PBS Indonesia diukur
dengan asupan kalori 2.200 calori.
Penghasilan per kapita pada Maret
2007 sebesar Rp. 166. 697,-; c.
kesulitan memenuhi kebutuhan sosial,
termasuk keterkucilan sosial,
ketergantungan, dan ketidakmampuan
berpartisipasi dalam masyarakat.
3. Tujuan Negara Indonesia
tersebut, pertama, terdiri atas tiga
pokok, yaitu : (1) melindungi seluruh
bangsa dan tumpah darah Indonesia;
(2) memajukan kesejahteraan umum
dan mencerdaskan kehidupan bangsa ;
dan (3) ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan social.
Pada bagian pertama dan kedua
merupakan tujuan interen ketiga, tujuan
ekstern. Disadari bahwa Indonesia
tidak dapat hidup sendirian dan tidak
dapat berkembang sewajarnya sesuai
dengan perkembangan umat manusia
dan kemajuan dalam segala bidang,
lepas dari negara-negara lain. Lagi pula
sesuai dengan sila kemanusiaan yang
adil dan beradab dan keadilan sosial,
Indonesia merasa wajib ikut
memperhatikan kesejahteraan seluruh
umat manusia.
83
Daftar Pustaka
A. Wiyono, Hak Mogok Di Indonesia,
Program Pascasarjana Fakultas
Hukum U.I., Jakarta, 2001
Asri Wijayanti, Hukum
Ketenagakerjaan Pascareformasi,
Refika Aditama, Bandung, 2009
Baqir Sharief Qorashi, Keringat Buruh,
Al-Huda, Jakarta, 2007
Bell, Daniel, The Cultural Contradiction
of Capitalism, Heinemann, London,
1973;
Dalam: H.R. Otje salman dan Anthon
F. Susanto, Teori Hukum, Refika
Aditama, Bandung, 2009
Edi Suharto, Kemiskinan dan
Perlindungan Sosial di Indonesia,
Alfabeta, Bandung, 2009
FX Adji Samaekto, Sistem Hukum
Modern, Rule of Law dan Kemiskinan
Di Indonesia;
Dalam: Satya Arinanto dan Ninuk
Triyanti, Memahami Hukum, Dari
Konstruksi sampai Implementasi,
Rajawali Pers, Jakarta, 2009.
Galanter, Marc, The Modernization of
Law, dalam Modernization, The
dynamics of growth, Voice of America
Forum Lectures, t.t., hal. 167-179;
Dalam: Satjipto
Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2006
H.R. Otje Salman dan Anthon F.
Susanto, Teori Hukum, Refika
Aditama, Bandung, 2009
Henry Merryman, John, The Civil Law
Tradition, University Press, Stanford,
California, USA, 1969; Dalam: Munir
Fuady, Perbandingan Ilmu Hukum,
Refika Aditama, Bandung, 2007
Kirdi Dipoyudo, Keadilan Sosial,
Erlangga, Jakarta, 1993
Munir Fuady, Perbandingan Ilmu
Hukum, Refika Aditama, Bandung,
2007
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2006
Turner, Bryan, Teori-Teori Sosiologi,
Modernisme dan Postmodernisme,
Pustaka Pelajar, Yokyakarta, 2000,
dalam : H.R. Otje Salman dan Anthon
F. Susanto, Teori Hukum, Refika
Aditama, Bandung, 2009
84
Yudi Latif dkk., ( Tim Peneliti PSIK ),
Negara Kesejahteraan dan
Glonbalisasi, Pengembangan
Kebijakan dan Perbandingan
Pengalaman, Univ. Paramadina,
Jakarta, 2008
Zaeni Asyhadie, Hukum
Ketenagakerjaan Bidang Hubungan
Kerja, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2004
85
ALSA LEGAL REVIEW
COMPETITION:
BEST LEGAL REVIEW
86
BURAMNYA GARIS DEMARKASI DIMENSI HUKUM PIDANA DAN HUKUM
ADMINISTRASI DALAM UPAYA PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA
KORUPSI YANG BERORIENTASI PADA PEMBANGUNAN DAERAH1
oleh Adhimas P. Hutomo, Adya Sepasthika, Elizabeth B. V. Simanjuntak, Josua Collins dan
Guspita Arfina.2
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hakikat Indonesia sebagai welfare state atau Negara kesejahteraan dinyatakan secara
tegas dalam alinea keempat pembukaan UUD RI 1945 yang menyatakan bahwa tujuan
Negara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan seluruh
tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Dalam konsep Negara kesejahteraan, Pemerintah
ditempatkan sebagai pihak yang bertanggungjawab atas kesejahteraan rakyatnya, sehingga
Negara dan pemerintah harus terlibat aktif dalam kehidupan ekonomi dan sosial
masyarakat, sebagai langkah untuk mewujudkan kesejahteraan umum.3
Adapun jalan untuk mencapai hal tersebut adalah dengan menyelenggarakan
pemerintahan yang berorientasi pembangunan. Dalam rangka tersebut, daerah diberikan
otonomi seluas-luasnya dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana
diakomodir dalam Pasal 18 UUD 1945 yang diatur lebih lanjut dalam UU 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah. Otonomi tersebut juga meliputi perimbangan keuangan
antara pemerintah pusat dengan daerah yang merupakan subsistem keuangan Negara.
Berbicara mengenai keuangan Negara, Muchsan berpendapat bahwa anggaran Negara
merupakan inti dari keuangan Negara, sebab anggaran Negara merupakan alat penggerak
untuk melaksanakan penggunaan keuangan Negara.4 Sedangkan, salah satu konsekuensi
hukum dari otonomi tersebut adalah adanya pembagian antara anggaran pemerintah pusat
1 Tulisan ini ditujukan untuk ALSA Legal Review Competition 2016. 2 Penulis adalah mahasiswa/i dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 3 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hlm. 14. 4 W. Riawan Tjandra, Hukum Keuangan Negara (Yogyakarta: Grasindo, 2013), hlm. 2.
87
dengan daerah, yang diwujudkan dalam APBN dan APBD. Adapun pengelolaan APBD
sendiri diatur dalam PP Pengelolaan Keuangan Daerah Nomor 58 Tahun 2005.
Pengeluaran Pemerintah Daerah, baik pengeluaran rutin maupun pengeluaran
pembangunan harus direncanakan secara cermat mengingat terbatasnya sumber pendanaan
daerah, sebab efisiensi pengeluaran daerah merupakan salah satu indikator dalam
menentukan kualitas belanja daerah untuk mencapai tujuan pembangunan. Namun, pada
praktiknya, Pemerintah Daerah yang dalam hal ini adalah kepala daerah sebagai pemimpin
pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom dihadapkan
dilema karena takut bersinggungan dengan ketentuan pidana korupsi yang disebabkan
tumpang tindihnya konsep kerugian keuangan Negara bila ditinjau dari dimensi hukum
pidana korupsi dan administrasi Negara, dalam hal menafsirkan kerugian keuangan Negara
dari dua perspektif hukum tersebut. Menurut hukum administrasi Negara, kerugian
keuangan Negara harus ditentukan secara tepat jumlahnya, namun menurut hukum pidana
korupsi, kerugian keuangan Negara tersebut bahkan dapat hanya dilihat potential loss-nya
saja.
Dampak dari hal tersebut secara nyata dapat dilihat dari fakta tidak terserapnya APBD
secara maksimal. Bahkan, pada semester I tahun anggaran 2015, Kementerian Dalam
Negeri mencatat rata-rata realisasi belanja APBD di tingkat provinsi hanya 25,9%,
sedangkan di tingkat kabupaten sebesar 24,6%.5 Hal ini membuat sisa anggaran daerah
yang seharusnya dapat digunakan untuk pembangunan justru mengendap di Bank.
Tersendatnya pencairan anggaran daerah oleh sejumlah daerah telah menyebabkan banyak
daerah tak mampu mengeksekusi program dan kegiatan yang telah direncanakan melalui
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), Rencana Kerja Pembangunan
Daerah (RKPD), dan Rencana Strategis Satuan Kerja Pemerintah Daerah (Renstra SKPD).6
Terkait hal ini, Reydonnyzar Moenek mengatakan bahwa satu hal mencolok yang
menyebabkan hal tersebut adalah kekhawatiran pada Pejabat Daerah untuk diseret ke
wilayah pidana korupsi saat melaksanakan suatu kebijakan7 karena terindikasi
menyebabkan kerugian Negara dan kelalaian administrasi. Padahal, apabila tidak ada
5 Chandra G. Asmara Rochimawati, “Ini Penyebab Serapan Anggaran Pemda Rendah”, dalam
http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/662482-ini-penyebab-serapan-anggaran-pemda-rendah, diakses
pada 20 Januari 2016 6 W. Riawan Tjandra, “Inovasi, Diskresi, dan Korupsi”, dalam
http://nasional.kompas.com/read/2015/09/22/16000041/Inovasi.Diskresi.dan.Korupsi?page=all, diakses
pada 20 Januari 2016. 7 Sabrina Asril, “Ini 5 Provinsi yang Penyerapan Anggarannya Sangat Rendah”, dalam
http://nasional.kompas.com/read/2015/08/24/16095331/Ini.5.Provinsi.yang.Penyerapan.Anggarannya.Sanga
t.Rendah, diakses pada 18 Januari 2016.
88
kekhawatiran tersebut, para Pejabat Daerah dapat saja menciptakan inovasi-inovasi
berorientasi pembangunan dengan diskresinya.
Diskresi sendiri merupakan sarana hukum yang diberikan oleh hukum administrasi
Negara kepada Pejabat pemerintahan untuk bertindak atas inisiatif sendiri menyelesaikan
berbagai permasalahan pelik yang membutuhkan penanganan secara cepat, sementara
terhadap permasalahan itu tidak ada atau masih belum dibentuk suatu dasar hukum
penyelesaiannya oleh lembaga legislatif.8 Secara teoritis, diskresi merupakan jalan keluar
yang diberikan atas berbagai kelemahan aliran legisme yang melahirkan asas legalitas,
dimana asas legalitas sebenarnya hanya dianut oleh rezim hukum pidana, sedangkan hukum
administrasi tidak mengikuti asas ini.9 Lebih lanjut, S.F. Marbun10 mengatakan bahwa
kebebasan bertindak (freies ermessen) ini diberikan kepada pejabat Negara dalam
kepentingannya untuk melaksanakan tugas mewujudkan kesejahteraan.
1.2 Rumusan Masalah
Bila dicermati, kekhawatiran para pejabat daerah itu berawal dari ketidakpastian hukum
antara lain disebabkan biasnya persepsi kerugian keuangan Negara dan kaburnya batas
demarkasi antara hukum administrasi Negara dan hukum pidana yang dalam hal ini adalah
tindak pidana korupsi. Hal tersebut yang pada akhirnya mempengaruhi langkah kebijakan
pemerintah daerah dalam hal pengelolaan keuangan daerah, yang pada akhirnya
menghambat pembangunan. Oleh sebab itu, dalam tulisan ini, akan dikaji mengenai:
1) Bagaimana Hukum Pidana dan Hukum Administrasi Negara di Indonesia memandang
konsep kerugian keuangan Negara dan penerapannya oleh Para Penegak Hukum?
2) Bagaimana seharusnya hukum di Indonesia mengakomodir kepentingan
pemberantasan korupsi dan penyelenggaraan pembangunan sehingga dapat berjalan
beriringan?
II. PEMBAHASAN
2.1 Konsep Kerugian Keuangan Negara dalam Perspektif Hukum Pidana Korupsi dan
Administrasi Negara
8 Patuan Sinaga, Hubungan Antara Kekuasaan dengan Pouvoir Discretionnaire dalam
Penyelengaraan Pemerintahan, dalam S.F. Marbun et.al., Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum
Administrasi Negara (Yogyakarta: UII Press, 2001), hlm. 73. 9 Arfan Fair Muhlizi, “Reformulasi Diskresi dalam Penataan Hukum Administrasi”, dalam Jurnal
Rechtsvinding Vol. 1 No. 1 April 2012, hlm 101. 10 S.F. Marbun, Menggali dan Menemukan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik di
Indonesia (Yogyakarta: UII Press, 2001), hlm. 73.
89
2.1.1.1 Konsep Kerugian Keuangan Negara dalam Perspektif Hukum Pidana
Korupsi
Perlu dipahami, dalam melakukan penilaian terhadap dugaan korupsi, UU 31 Tahun
1999 jo. UU 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK)
mengetengahkan tiga unsur, yakni ‘melawan hukum’, ‘menyalahgunakan wewenang’,
yang diikuti ‘merugikan keuangan negara’. Adapun, terkait konsep kerugian keuangan
Negara dalam dimensi hukum pidana, yang dalam hal ini adalah tindak pidana korupsi
sangatlah luas. UU PTPK tidak memberikan definisi maupun penjelasan yang rigid terkait
pengertian kerugian keuangan Negara, karena yang diatur di dalamnya hanyalah penjelasan
mengenai keuangan Negara saja. Artidjo Alkostar mengatakan keuangan Negara
mencakup seluruh kekayaan Negara termasuk uang dan sesuatu yang berharga. Dalam
hubungannya dengan tindak pidana korupsi, yang harus dibuktikan adalah adanya kerugian
keuangan Negara yang mempunyai hubungan kausal dengan perbuatan terdakwa.11
Namun, konsep kerugian keuangan Negara tidak ditentukan secara tegas dalam kerangka
hukum pidana, menyebabkan kerugian keuangan Negara telah secara tegas dinyatakan
sebagai delik formil yang menekankan pada perbuatan terlepas dari akibat yang
ditimbulkan. Hal ini disebabkan dengan perumusan frasa ‘dapat’ sebelum frasa ‘merugikan
keuangan atau perekonomian Negara’ dan juga sehubungan dengan keberadaan norma
Pasal 4 UU PTKP yang mengatur bahwa pengembalian kerugian keuangan Negara tidak
menghapuskan dipidananya pelaku korupsi.
Lebih lanjut, dijelaskan bahwa penggunaan frasa ‘dapat’ dalam UU PTPK dapat
dimaknai bahwa perbuatan-perbuatan yang berpotensi merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara merupakan perbuatan pidana meski kerugian Negara tersebut belum
terjadi. Pada praktiknya, terdapat perdebatan akan pemahaman dan penerapan kata “dapat
merugikan”. Kata “dapat merugikan” bertentangan dengan konsep actual loss di mana
kerugian negara harus benar-benar sudah terjadi.12 Pendapat ini didukung oleh Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006 yang menyatakan bahwa akan sangat
sulit bila harus membuktikan jumlah tepat kerugian keuangan Negara dalam skema perkara
korupsi yang besar. Jadi, dapat dikatakan, tindakan merugikan keuangan Negara dalam
konstruksi hukum pidana tipikor hanya menekankan pada unsur melawan hukum,
11 H. Abdul Latif, Hukum Administrasi: Dalam Praktik Tindak Pidana Korupsi (Jakarta: Prenada
Media Group, 2014), hlm. 255. 12 Emerson Yuntho, et.al., Penerapan Unsur Merugikan Keuangan Negara dlam Delik Tindak
Pidana Korupsi (Jakarta: Indonesia Corruption Watch, 2014), hlm. 28.
90
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan
atau kedudukannya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa definisi kerugian
keuangan Negara dalam dimensi hukum pidana sangatlah luas. Hal ini berarti penafsiran
kerugian keuangan Negara hanyalah secara argumentum a contrario dari definisi keuangan
Negara menurut Penjelasan dalam UU PTKP.
Junifer Girsang13 menyatakan bahwa terdapat ketidakpastian hukum dalam
penanganan perkara tindak pidana korupsi akibat tidak jelasnya definisi kerugian keuangan
Negara yang berimplikasi pada tidak jelasnya lembaga mana yang secara hukum
berwenang dan berhak untuk menyatakan bahwa telah terjadi kerugian keuangan Negara
tersebut. Pada prakteknya, Kejaksaan dan Polisi bergantung pada hasil audit institusi di luar
penegak hukum, yaitu BPK dan BPKP. Namun di sisi lain, Polisi Penyidik dan Jaksa
Penyidik terkadang memiliki perhitungan sendiri terhadap jumlah kerugian keuangan
Negara yang dituduhkannya. Dengan demikian, diperlukan adanya kejelasan definisi
secara hukum mengenai pengetian kerugian keuangan Negara, sebab dengan tidak jelas dan
tidak sinkronnya peraturan perundang-undangan di Indonesia mengenai pengertian
(kerugian) keuangan Negara telah menyebabkan multitafsir terhadap suatu perbuatan yang
dianggap melawan hukum, yang pada akhirnya menyebabkan ketidakpastian hukum.
2.1.2 Konsep Kerugian Keuangan Negara dalam Perspektif Hukum Administrasi Negara
Berbeda dengan konsep kerugian keuangan Negara dalam dimensi hukum pidana
korupsi, konsep kerugian keuangan Negara dalam dimensi hukum administrasi Negara
memiliki pengertian yang jelas sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka UU
Perbendaharaan Negara Nomor 1 Tahun 2004 (UU Perbendaharaan Negara) juncto Pasal
1 angka 15 UU Badan Pemeriksa Keuangan Nomor 15 Tahun 2006 (UU BPK). Kedua UU
tersebut secara hukum mengartikan kerugian keuangan Negara/Daerah sebagai suatu
kondisi kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya
sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai. Hal ini berarti
kerugian keuangan Negara dapat berbentuk kerugian uang, surat berharga, dan barang
dalam ruang lingkup definisi keuangan Negara yang diatur oleh UU Keuangan Negara
Nomor 17 Tahun 2003, UU BPK, dan UU PTPK, namun diperjelas dengan spesifikasi
berupa ‘yang nyata dan pasti jumlahnya, akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja
13 Junifer Girsang, Abuse of Power: Penyalahgunaan Kekuasaan Aparat Penegak Hukum dalam
Penanganan Tindak Pidana Korupsi (Jakarta: JG Publishing, 2012), hlm. 181.
91
maupun lalai’. Jadi, kerugian keuangan Negara harus nyata dan pasti jumlahnya dan
sebanding dengan pengertian keuangan Negara itu sendiri.
Berbicara tentang hukum administrasi Negara, tentu tidak dapat terlepas dari aspek
kewenangan, sehingga akan selalu mengacu pada legalitas yang berintikan pada wewenang
dan legitimasi. Adapun lembaga yang secara implementatif dan atributif berwenang untuk
menilai dan/atau menetapkan kerugian keuangan Negara adalah Badan Pemeriksa
Keuangan sebagaimana diatur dalam Pasal 10 UU BPK. Hal ini juga merupakan
konsekuensi hukum dari ketentuan Pasal 23E ayat (1) UUD 1945 yang mengatur bahwa
untuk memeriksa pengelolaan dan tanggungjawab tentang keuangan Negara diadakan satu
badan pemeriksa keuangan yang bebas dan mandiri, walaupun secara operasional BPK
dapat saja mendelegasikan weenang itu kepada delegataris (e.g. Akuntan Publik)
sebagaimana diakomodir dalam Pasal 9 ayat (3) UU Pemeriksaan Pengelolaan dan
Tanggung Jawab Keuangan Negara Nomor 15 Tahun 2004 (UU PPTJKN).
Dalam melakukan pemeriksaan, BPK akan membuat Laporan Hasil Pemeriksaan
(LHP) sebagai output dari pemeriksaannya, jadi dapat dikatakan BPK menuangkan hasil
kerjanya dalam LHP BPK.14 Sedangkan, dalam melakukan pemeriksaan ini, BPK wajib
memenuhi seluruh standar pemeriksaan yang ditetapkan oleh UU PPTJKN dan UU BPK,
yaitu meliputi standar umum, standar pelaksanaan pemeriksaan, dan standar pelaporan
yang selanjutnya dituangkan dalam Peraturan BPK tentang Standar Pemeriksaan Keuangan
Negara (SPKN) Nomor 1 Tahun 2007 yang merupakan pedoman dalam pemeriksaan
keuangan Negara dan ukuran pelaksanaan kerja BPK. Adanya SPKN tersebut tentunya
membuat pemeriksa tidak akan bekerja secara sembarangan tanpa panduan dan standar
baku yang jelas. Bahkan, semua kondisi yang terungkap oleh pemeriksa tersebut
merupakan fakta yang dialami secara langsung oleh pihak terperiksa sebagai pihak yang
mengalami langsung kejadian, sehingga pihak terperiksa mengetahui semua fakta yang
terjadi.15
Adapun, jenis LHP BPK terhadap pemeriksaan pengelolaan keuangan oleh Pemerintah
Daerah adalah LHP atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD). LKPD ini akan
disampaikan kepada BPK dan Kepala Daerah yang bersangkutan setelah sebelumnya
14 Ade Armando, Mengenal Lebih Dekat BPK: Sebuah Panduan Populer (Biro Humas dan LN
BPK RI, Tanpa Tahun), hlm. 82. 15 M. Yusuf Jhon dan Dwi Setiawan, Kiat Memahami Pemeriksaan Laporan Keuangan
Pemerintah Daerah di Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009), hlm. 141.
92
menerima laporan keuangan dari Kepala Daerah tersebut setelah tahun anggaran berakhir.16
Sedangkan fungsi dari LHP BPK sendiri salah satunya adalah mengomunikasikan hasil
pemeriksaan kepada Pihak yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan.17
Dengan demikian, dapat dikatakan LHP BPK ini memiliki kedudukan penting sehubungan
dengan kepastian hukum terkait tidak jelasnya lembaga yang berwenang melakukan
penghitungan kerugian keuangan Negara dalam UU PTPK serta menciptakan
keharmonisan antara dimensi hukum pidana dengan administrasi Negara sebagai suatu
kesatuan yang integral untuk memberantas korupsi tanpa menghambat pembangunan.
2.2 Buramnya Batas Demarkasi Antara Dimensi Hukum Pidana Korupsi dan
Administrasi Negara dalam Penegakan Hukum
Undang-Undang Administrasi Pemerintahan Nomor 30 Tahun 2014 (UU AP) dan
Undang-Undang Pemerintahan Daerah Nomor 23 Tahun 2014 juncto Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2015 (UU Pemda) secara hukum sebenarnya sudah cukup melindungi
pelaksanaan program dan kegiatan di daerah dari potensi kriminalisasi. Hal ini dapat dilihat
dalam pengaturannya mengenai Inovasi Daerah dan Diskresi. Di dalamnya diatur bahwa
dalam rangka peningkatan kinerja penyelenggaraanya pemerintahan, Pemda dapat
melakukan inovasi, dan dalam hal pelaksanaan inovasi yang telah menjadi kebijakan
Pemda tidak mencapai sasaran yang ditetapkan, maka aparatur sipil Negara tidak dapat
dipidana.18 Adapun mengenai diskresi, diatur secara tegas bahwa diskresi harus sesuai
dengan tujuan filosofis dari diskresi itu sendiri, tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan, sesuai dengan AAUPB, berdasarkan alasan yang subjektif, tidak
menimbulkan konflik kepentingan, dan dilakukan dengan iktikad baik.19 Penggunaan
diskresi tersebut diatur secara limitatif dengan mengacu pada Pasal 22 UU AP, yaitu untuk
melancarkan penyelenggaraan pemerintahan, mengisi kekosongan hukum, dan mengatasi
stagnansi pemerintahan. Selain itu, diskresi dengan akibat hukum yang berpotensi
16 Suhendar, Konsep Kerugian Keuangan Negara: Pendekatan Hukum Pidana, Hukum
Administrasi Negara, dan Pidana Khusus Korupsi (Malang: Setara Press, 2015), hlm. 169. 17 Badan Pemeriksa Keuangan, Peraturan BPK tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara
Nomor 1 Tahun 2007, TLN…., Lampiran VI butir 3. 18 Indonesia, Undang-Undang Pemerintahan Daerah Nomor 23 Tahun 2014, LN…, TLN..., Pasal
386 jo. Pasal 389. 19 Indonesia, Undang-Undang Administrasi Pemerintahan Nomor 30 Tahun 2014, LN…, TLN…,
Pasal 24.
93
membebani keuangan Negara harus mendapat persetujuan dari atasan pejabat sesuai
Undang-Undang.20
Jika dicermati ketentuan-ketentuan tersebut, sejatinya ingin mengonstruksikan suatu
penegasan garis demarkasi antara dimensi administrasi Negara dengan dimensi pidana
korupsi. Selanjutnya, untuk memperkuat garis demarkasi tersebut dalam tujuannya untuk
mengakomodir kepentingan pemberantasan korupsi dan pembangunan dalam kerangka
Negara hukum, Penulis berpendapat perlu diterapkan doktrin high degree of differentiation
yang berpandangan bahwa keberadaan sanksi administrative harus dipisahkan secara tegas
dari sanksi pidana. Jadi, masing-masing stelsel hukum berjalan sesuai koridornya masing-
masing dalam satu konstruksi Negara hukum. Hal ini sehubungan dengan asas hukum ne
bis in idem dan demi menjamin hak asasi manusia. Dengan diterapkannya hal ini,
seharusnya Pemda tidak perlu lagi khawatir kebijakan-kebijakannya dikriminalisasi dengan
alasan-alasan subyektif dari penegak hukum.
2.3 Analisis
Berdasarkan uraian di atas, Penulis berpandangan bahwa terdapat ketidakpastian
hukum yang disebabkan oleh multitafsir konsep Kerugian Keuangan Negara dan tidak
jelasnya garis batas antara dimensi hukum pidana korupsi dengan administrasi Negara
dalam upaya penegakan hukum.
Terkait kerugian keuangan Negara, sebagai salah satu unsur pokok dari tindak pidana
korupsi, ternyata masih terdapat ketidakpastian hukum terkait kompetensi kewenangan
lembaga dalam menilai adanya kerugian keuangan Negara. Hal ini dikarenakan, dalam
dimensi hukum pidana, UU PTPK tidak secara jelas mengatur mengenai kompetensi
lembaga yang berwenang untuk menilai kerugian tersebut. Hal ini yang kemudian membuat
Polisi Penyidik maupun Jaksa Penyidik seringkali memiliki penghitungan sendiri dan tidak
berdasarkan LHP yang dibuat BPK atau BPKP dalam menilai jumlah kerugian keuangan
Negara yang dituduhkan. Bahkan, Dian Puji Simatupang21 berpendapat bahwa Indonesia
merupakan salah satu Negara dengan cara menilai dan menghitung kerugian Negara yang
paling mudah, kurang rasional, dan tidak standar, sehingga sulit menjadikannya sebagai
hasil pemeriksaan yang meyakinkan dan memadai (reasonable assurance), sebab pada
prakteknya terlampau mudah untuk menilai dan menghitung kerugian Negara sehingga
20 Ibid., Pasal 25 ayat (1) dan (2) 21 Dian Puji N Simatupang, BUMN, Efisiensi, dan Kerugian Negara, dalam Harian Media
Indonesia tanggal 16 Januari 2016.
94
tidak ada standar, syarat, dan prosedur yang baku, pasti, dan memenuhi keadilan. Hal ini
yang kemudian menyebabkan diskriminasi, karena indikator penilaian terhadap dugaan
korupsi yang dilakukan Pejabat Daerah mutlak dipegang instansi tertentu atas nama
kewenangan yang hanya didasari pada subjektivitas penilainya dalam koridor hukum
pidana korupsi (i.e. UU PTPK).
Terkait hal ini, dengan mengacu pada asas kesesuaian (congruency) yang terdapat
dalam teori perundang-undangan, yang berpandangan bahwa UU harus diterapkan sesuai
dengan tujuan pembentukannya sehingga harus dicegah perbedaan antara bunyi UU dan
penegakannya, maka, Penulis berpandangan bahwa seharusnya penegak hukum melihat
konsep kerugian keuangan Negara melalui koridor hukum administrasi Negara,
dikarenakan:
1) Istilah kerugian keuangan Negara justru didefinisikan dan diatur secara rinci dalam
Undang-Undang Perbendaharan Negara dan UU BPK, di mana kedua Undang-
Undang tersebut berada dalam ruang lingkup hukum administrasi Negara dalam
konteks menjalankan fungsi pemerintahan.
2) Kerugian keuangan Negara merupakan akibat dari pelaksanaan kewenangan di
bidang keuangan Negara melalui pemberian delegasi atau mandat. Hal ini
memperjelas kedudukan kerugian keuangan Negara dalam dimensi hukum
administrasi Negara.
3) Istilah kekuasaan, jabatan dan discretion by officials (wewenang pejabat)
merupakan istilah yang selalu berhubungan dengan penyelenggaraan Negara yang
lazim disebut pemerintahan, sehingga pada hakekatnya berada dalam ruang lingkup
hukum administrasi Negara.
4) Pejabat daerah dalam menjalankan fungsi pemerintahannya menggunakan
instrumen hukum administrasi Negara.
Selain itu perlu dipahami bahwa keputusan pemerintahan lebih mengutamakan pada
pencapaian tujuan (doelmatigheid) daripada kesesuaiannya dengan hukum yang berlaku
(rechtmatigheid). Namun, penegak hukum seringkali serta-merta hanya menempatkan
unsur ‘kerugian keuangan negara’ pada kerangka hukum pidana, tanpa mempertimbangkan
ketika Pejabat Daerah melakukan tindakan pemerintahannya tersebut berada pada dimensi
hukum administrasi Negara. Padahal seharusnya penilaian terhadap tindakan pejabat
tersebut ditinjau dalam koridor hukumnya, yaitu dimensi hukum administrasi Negara
dengan menggunakan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB), terkhusus
Asas Kecermatan, Asas Penyalahgunan Wewenang, dan Asas Motivasi. Dengan demikian,
95
jelas bahwa secara konseptual tindak pidana korupsi dan kerugian keuangan Negara berada
dalam dimensi ilmu hukum yang berbeda, di mana korupsi berada dalam dimensi ilmu
hukum pidana, sedangkan keuangan Negara terkait dengan pengelolaan dan tanggung
jawabnya berada dalam dimensi ilmu hukum administrasi Negara, sehingga pasti terdapat
prinsip-prinsip hukum yang berbeda. Jangan sampai tuduhan korupsi hanya didasari
dengan kesalahtindakan dan selisih biaya yang kemudian menimbulkan kerugian keuangan
Negara.
Selanjutnya, ketidakpastian hukum disebabkan oleh buramnya garis batas dimensi
hukum pidana korupsi dan administrasi Negara. Sebenarnya diterbitkannya UUAP dan UU
Pemda baru, telah memberikan penegasan batas antara kedua dimensi hukum tersebut.
Terkait hal ini, Penulis berpendapat bahwa penerapan doktrin high degree of differentiation
di Indonesia akan mempertegas batas antara dua disiplin ilmu hukum tersebut. Doktrin
tersebut sesuai bila diterapkan di Indonesia, mengingat kedudukan Indonesia sebagai
Negara hukum yang selain berkepentingan dalam penegakan hukum juga wajib
menjunjung tinggi hak asasi manusia. Selain itu, penegasan tersebut juga dapat
menghindari dari kekacauan politik hukum akibat seolah menghalalkan segala cara untuk
kepentingan pemberantasan korupsi tanpa mempertimbangkan kepentingan awal dari
welfare state yaitu pembangunan dan juga hak asasi manusia.
III. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa:
1) Terdapat ketidakjelasan penafsiran mengenai konsep kerugian keuangan Negara
akibat tidak adanya standar, syarat, dan prosedur yang baku, pasti, dan memenuhi
keadilan.
2) Para Penegak Hukum seharusnya bukan menggunakan parameter hukum pidana dalam
menilai adanya kerugian keuangan Negara, melainkan menggunakan parameter hukum
administrasi Negara, mengingat kerugian tersebut disebabkan oleh tindakan pejabat
daerah dalam konteks menjalankan administrasi pemerintahan.
3) Hukum pidana dan hukum administrasi Negara sejatinya dapat diposisikan pada
kedudukan yang tidak saling bersinggungan dalam kepentingannya memberantas
korupsi dan memacu pembangunan. Salah satunya adalah dengan penerapan doktrin
high degree of differentiation diperlukan untuk menegaskan garis demarkasi terkait
ruang lingkup administrasi Negara dan tindak pidana korupsi, sehingga proporsi hak,
kewajiban, dan tanggung jawab Pemerintah Daerah akan sejalan dengan tujuan awal
96
Indonesia sebagai welfare state, yaitu mewujudkan kesejahteraan. Sebab, apabila
pemisahan antara keduanya tidak jelas atau kabur, maka secara tidak langsung akan
memperjelas etatisme perekonomian dan menghambat laju pembangunan yang pada
akhirnya seolah memperlemah tanggung jawab publik Negara untuk mewujudkan
kesejahteraan.
3.2 Saran
Diperlukan suatu kesepakatan mengenai standar penilaian kerugian keuangan Negara
yang jelas yang sebaiknya dirumuskan secara bersama-sama oleh pihak-pihak
berkepentingan (i.e. Penyidik Korupsi, Pemerintah Daerah) sehingga penegakan hukum
mempunyai penilaian yang rasional, tidak hanya didasari penilaian subyektif atas nama
kewenangan. Selain itu diperlukan penegasan garis batas antara konsep hukum pidana
korupsi dan administrasi Negara dengan menerapkan doktrin high degree of differentiation,
sehingga penegak hukum dalam melakukan penilaian tidak lagi mendasarinya dengan
penilaian subyektif hanya atas dasar kewenangan. Hal ini agar tidak terjadi tumpang tindih
yang menyebabkan ketidakpastian hukum, dimana trickle down effect dari ketidakpastian
hukum tersebut membuat para Pejabat Daerah khawatir apabila ingin melakukan tindakan
pemerintahan seperti misalnya diskresi inovatif yang bersentuhan langsung dengan
keuangan Negara, walaupun sesungguhnya memiliki motivasi baik yaitu mencapai tujuan
pembangunan.
97
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Armando, Ade. Mengenal Lebih Dekat BPK: Sebuah Panduan Populer (Biro Humas dan LN
BPK RI, Tanpa Tahun).
Girsang, Junifer. Abuse of Power: Penyalahgunaan Kekuasaan Aparat Penegak Hukum dalam
Penanganan Tindak Pidana Korupsi (Jakarta: JG Publishing, 2012)
HR, Ridwan. Hukum Administrasi Negara. (Jakarta: Rajawali Pers, 2013)
Jhon, M. Yusuf dan Dwi Setiawan, Kiat Memahami Pemeriksaan Laporan Keuangan
Pemerintah Daerah di Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009).
Latif, H. Abdul. Hukum Administrasi: Dalam Praktik Tindak Pidana Korupsi (Jakarta: Prenada
Media Group, 2014)
Marbun, S.F. et.al.. Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara (Yogyakarta:
UII Press, 2001).
Marbun, S.F. Menggali dan Menemukan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik di
Indonesia (Yogyakarta: UII Press, 2001)
Sinaga, Patuan. Hubungan Antara Kekuasaan dengan Pouvoir Discretionnaire dalam
Penyelengaraan Pemerintahan.
Suhendar, Konsep Kerugian Keuangan Negara: Pendekatan Hukum Pidana, Hukum
Administrasi Negara, dan Pidana Khusus Korupsi (Malang: Setara Press, 2015).
Tjandra, W Riawan. Hukum Keuangan Negara. (Yogyakarta: Grasindo, 2013)
Yuntho, Emerson. et.al.. Penerapan Unsur Merugikan Keuangan Negara dalam Delik Tindak
Pidana Korupsi (Jakarta: Indonesia Corruption Watch, 2014)
JURNAL
Muhlizi, Arfan Fair. “Reformulasi Diskresi dalam Penataan Hukum Administrasi”. Jurnal
Rechtsvinding Vol. 1 No. 1 April 2012
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Badan Pemeriksa Keuangan, Peraturan BPK tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara
Nomor 1 Tahun 2007, TLN….
Indonesia, Undang-Undang Pemerintahan Daerah Nomor 23 Tahun 2014, LN…, TLN...
98
Indonesia, Undang-Undang Administrasi Pemerintahan Nomor 30 Tahun 2014, LN…, TLN…
MEDIA
Asril, Sabrina. “Ini 5 Provinsi yang Penyerapan Anggarannya Sangat Rendah”, dalam
http://nasional.kompas.com/read/2015/08/24/16095331/Ini.5.Provinsi.yang.Penyerapa
n.Anggarannya.Sangat.Rendah
Rochimawati, Chandra G. Asmara. “Ini Penyebab Serapan Anggaran Pemda Rendah”, dalam
http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/662482-ini-penyebab-serapan-anggaran-
pemda-rendah.
Simatupang, Dian Pudji N. “BUMN, Efisiensi, dan Kerugian Negara”, dalam Harian Media
Indonesia tanggal 16 Januari 2016.
Tjandra, W. Riawan. “Inovasi, Diskresi, dan Korupsi”, dalam
http://nasional.kompas.com/read/2015/09/22/16000041/Inovasi.Diskresi.dan.Korupsi?
page=all, diakses pada 20 Januari 2016.
99