Aktivitas Antioksidan dan Sifat Organoleptik Teh Daun
-
Upload
vuongkhuong -
Category
Documents
-
view
273 -
download
14
Transcript of Aktivitas Antioksidan dan Sifat Organoleptik Teh Daun
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
1
Aktivitas Antioksidan dan Sifat Organoleptik Teh Daun Sirsak (Annonamuricata Linn.) Berdasarkan Variasi Lama Pengeringan
Antioxidant Activity and Organoleptic Charecteristic of Soursop (Annonamuricata Linn.) Leaf Tea Based on Variants Time Drying
Delvi Adri dan Wikanastri Hersoelistyorini
Program Studi S-1 Teknologi Pangan Universitas Muhammadiyah SemarangKorespondensi, email: [email protected]
Abstract
Soursop leaf has been used traditionally to treat a variety of diseases, because soursop leafcontain antioxidant compound. The research objective to be achieved is to measure and analyze theactivity of antioxidant and organoleptic properties of Soursop Leaf Tea by variations in drying time 30,60, 90, 120, and 150 minutes. Measurement of antioxidant activity using UV-Vis spectrophotometrymethod (λ 517 nm), whereas the organoleptic parameters : taste, color, aroma, and appearance. Resultof studies that a treatment time of drying effect on antioxidant activity of Soursop Leaf Tea. Soursopleaf drying conditions at 50o C with a temperature of 150 minutes give the highest level of antioxidantactivity and the lowest EC50 value, but it has lowest a flavor organoleptic. Recommendations, dryingtemperature of 50o C tailings with drying 150 minutes, and to increase flavor can be done with theadded the essen.
Key words: soursop leaf tea, antioxidants, drying, and organoleptic charecteristic.
PENDAHULUAN
Tanaman sirsak (Annona muricata Linn.)
berasal dari bahasa Belanda, yakni zuurzak berarti
kantong asam. Daun sirsak banyak digunakan
sebagai obat herbal untuk mengobati berbagai
penyakit, antara lain : penyakit asma di Andes
Peru, diabetes dan kejang di Amozania Peru
(Zuhud, 2011). Kandungan senyawa dalam daun
sirsak antara lain steroid/terpenoid, flavonoid,
kumarin, alkaloid, dan tanin. Senyawa flavonoid
berfungsi sebagai antioksidan untuk penyakit
kanker, anti mikroba, anti virus, pengatur
fotosintetis, dan pengatur tumbuh (Robinson,
1995). Masyarakat Indonesia menggunakan daun
sirsak sebagai obat herbal untuk mengobati
penyakit kanker, yaitu dengan cara meminum air
rebusan daun sirsak segar. Air rebusan daun
sirsak segar dapat menimbulkan efek panas
seperti pada kemoterapi, namun air rebusan daun
sirsak ini hanya membunuh sel-sel yang abnormal
(kanker) dan membiarkan sel-sel normal tetap
tumbuh. Hal ini berbeda dengan efek yang
ditimbulkan pada pengobatan kemoterapi, dimana
pengobatan kemoterapi ini tidak saja membunuh
sel-sel abnormal (kanker) tetapi sel-sel yang
normalpun ikut mati (Leny, 2006).
Meskipun air rebusan daun sirsak segar
telah lama digunakan sebagai obat herbal untuk
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
2
penyakit kanker, namun bentuk teh daun sirsak
belum banyak digunakan oleh masyarakat.
Karena itu perlu dilakukan kajian tentang analisis
antioksidan dalam teh daun sirsak, untuk
menggali potensi daun sirsak sebagai minuman
fungsional yang dapat difungsikan antara lain
sebagai obat herbal untuk penyakit kanker.
METODOLOGI
Bahan
Daun sirsak yang diambil mulai dari daun
ke-5 sampai daun ke-3 dari pangkal batang,
serbuk Mg, HCl pekat, Amil alkohol, larutan
Diphenylpicryl-hydrazyl (DPPH) 0,07 mM, dan
Metanol P.A.
Alat
Loyang, oven, spektrofotometer UV-Vis,
mortir, stamper, kertas saring, corong, pemisah
drupple plate, gelas kecil, sendok kecil, dan
kertas quisioner.
Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian meliputi: penyiapan
sampel, pembuatan teh daun sirsak, pembuatan
larutan teh daun sirsak, uji kadar air (AOAC,
1995), uji kualitatif senyawa fenolik dan
flavanoid (Lia, 2011), uji kuantitatif aktivitas
antioksidan (metode DPPH dan EC50), dan uji
sifat organoleptik (metode scoring).
1. Penyiapan Sampel
Daun sirsak diperoleh dari wilayah
Semarang dan diambil pada jam 05.00 WIB.
Kemudian daun sirsak dipisahkan dari
rantingnya.
2. Proses Pembuatan Teh Daun SirsakDaun sirsak dicuci bersih dan disortasi.
Daun sirsak dilakukan proses pelayuan dengan
suhu 70oC selama 4 menit, didinginkan selama 5
menit, dan dilakukan penggulungan. Setelah
digulung dilakukan proses pengeringan dengan
suhu 50oC dengan variasi lama pengeringan 30,
60, 90, 120, dan 150 menit dan dilakukan uji
kadar air.
3. Proses Pembuatan Larutan Teh DaunSirsak
Menimbang 100 mg serbuk daun sirsak dan
ditambahkan 10 mL air panas, kemudian
dimasukkan ke dalam penangas air, dan
dididihkan.
4. Uji Aktivitas Antioksidan
a. Uji Kualitatif Senyawa Fenolik5 ml minuman teh daun sirsak dimasukkan
ke dalam tabung reaksi. Ditambahkan 5 tetes
larutan FeCl3 5% dan dikocok kuat. Terbentuknya
warna biru kehitaman setelah penambahan FeCl3
5% menunjukkan adanya senyawa fenolik.
b. Uji Kualitatif Senyawa Flavonoid5 ml minuman teh daun sirsak dimasukkan
dalam tabung reaksi. Ditambah serbuk Mg, HCl
pekat 1 ml, dan Amyl alkohol 5 ml dan dikocok
kuat. Terbentuknya warna jingga dalam larutan
menunjukkan adanya flavonoid.
c. Uji Kuantitatif Aktivitas Antioksidan- Uji Aktivitas Antioksidan Metode DPPH
(Pratiwi, 2009)Penentuan aktivitas antioksidan dilakukan
dengan cara 4,0 mL larutan DPPH 0,07 mM
dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan
ditambahkan 50 μL larutan uji teh daun sirsak dan
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
3
dihomogenkan dengan vortex, sebagai kontrol
digunakan larutan DPPH tanpa penambahan
larutan uji. Selanjutnya larutan diukur dengan
alat spektrofotometer UV-VIS pada panjang
gelombang 517 nm dan operating time 40 menit.
- Uji Aktivitas Antioksidan dengan EffectiveConcentration (EC50) (Pratiwi, 2009)
Parameter yang dipakai untuk menunjukkan
aktivitas antioksidan adalah harga konsentrasi
efisien atau efficient concentration (EC50) yaitu
konsentrasi suatu zat antioksidan dapat
menyebabkan 50% DPPH kehilangan karakter
radikal bebasnya atau konsentrasi suatu zat
antioksidan yang memberikan % penghambatan
radikal bebas sampai 50%. Zat yang mempunyai
aktivitas antioksidan tinggi, akan mempunyai
harga EC50 rendah (Molyneux, 2004).
5. Uji Sifat Organoleptik dengan MetodeSkoring (Rahayu, 2001)
Parameter pengujian organoleptik meliputi
rasa, warna, aroma, dan kenampakan. Panelis
memberikan penilaian berupa skor pada blangko
uji organoleptik teh daun sirsak dan minuman teh
daun sirsak.
Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian adalah RAL
(Rancangan Acak Lengkap) dengan faktor
tunggal, dimana digunakan 1 level perlakuan.
Variabel independen adalah lama pengeringan teh
daun sirsak dan variabel dependen adalah
aktivitas antioksidan dan sifat organoleptik teh
daun sirsak. Jumlah perlakuan ditentukan 5
perlakuan (P) dan masing-masing perlakuan
dilakukan 4 kali pengulangan (U). Penentuan
ulangan menggunakan rumus galat = (P-1) x (U-
1). Jika dalam penelitian ini menggunakan 5 kali
perlakuan dan 4 kali ulangan maka jumlah galat =
(5-1) x (4-1) = 12.
Data hasil pengukuran aktivitas
antioksidan yang diperoleh, dianalisis uji
pengaruh menggunakan Anova (Analysis Of
Varian), sedangkan data hasil pengujian
organoleptik, ditabulasi dan dianalisis dengan uji
Friedman.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pembuatan teh daun sirsak didasarkan pada
penelitian Tuminah (2004). Daun teh dilayukan
pada 70oC selama 4 menit. Kondisi operasi
pelayuan ini diacu sebagai kondisi optimum
pelayuan daun sirsak pada penelitian ini.
Sedangkan Proses pengeringan daun sirsak
dilakukan pada suhu 50oC, dengan variasi lama
pengeringan 30, 60, 90, 120, dan 150 menit. Uji
yang dilakukan pada produk teh daun sirsak yang
dihasilkan meliputi: uji kadar air, uji aktivitas
antioksidan, serta sifat organoleptik.
1. Kadar Air
Kadar air mempunyai peranan penting
dalam menentukan karakteristik serta lama
simpan bahan pangan. Hasil analisis kadar air
pada teh daun sirsak berdasarkan waktu
pengeringan ditampilkan pada Gambar 1.
Berdasarkan Gambar 1 diketahui bahwa kadar air
tertinggi diperoleh pada perlakuan lama
pengeringan 30 menit, sebesar 34,13 % dan kadar
air terendah terdapat pada perlakuan lama
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
4
pengeringan 150 menit, sebesar 8,13%. Hasil uji
statistik anova menggunakan α 0,05 diperoleh
data taraf signifikan p-value; 0,00 dimana p-value
< 0,01; sehingga dapat disimpulkan bahwa lama
pengeringan berpengaruh sangat nyata terhadap
kadar air.
Komposisi air pada bahan pangan seperti
air bebas dan air terikat, dapat berpengaruh pada
laju atau lama pengeringan bahan pangan. Air
terikat adalah air yang terdapat dalam bahan
pangan. Air bebas adalah air yang secara fisik
terikat dalam jaringan matriks bahan seperti
membran, kapiler, serat, dan lain lain (Winarno,
2002).
2. Uji Aktivitas Antioksidan
a. Uji Kualitatif Senyawa Fenolik
Menurut Sudjaji dan Rohman (2004), FeCl3
bereaksi dengan gugus fenolik membentuk
kompleks berwarna hijau, ungu sampai hitam.
Hasil uji sampel teh daun sirsak ditampilkan pada
Tabel 1.
Tabel 1. Hasil Uji Kualitatif Senyawa FenolikTeh Daun Sirsak
No Lamapengeringan
Senyawafenolik
1 30 menit +
2 60 menit +
3 90 menit +4 120 menit +5 150 menit +
Keterangan : tanda + menyatakan bahwa sampel tehdaun sirsak positif mengandung senyawa fenolik.
b. Uji Kualitatif Senyawa Flavonoid
Menurut Robinson (1995), senyawa
flavonoid bereaksi dengan serbuk magnesium dan
bantuan HCl pekat membentuk kompleks dengan
gugus flavonoid berwarna hijau sampai jingga.
Hasil uji dinyatakan positif, bila timbul warna
jingga dari kompleks Magnesium flavanoid
(Tabel 2).
Tabel 2. Hasil Uji Kualitatif SenyawaFlavanoid Teh Daun Sirsak
No Lamapengeringan
Senyawaflavonoid
1 30 menit +
2 60 menit +3 90 menit +
4 120 menit +
5 150 menit +
Keterangan : tanda + menyatakan bahwa sampel teh daunsirsak positif mengandung senyawa flavanoid.
c. Uji Kuantitatif Antioksidan
1) Uji Kuantitatif Antioksidan dengan MetodeDPPH
Hasil analisis antioksidan teh daun sirsak
dengan metode DPPH yang tersaji pada Gambar
2, diketahui bahwa semakin lama pengeringan
semakin tinggi aktivitas antioksidan. Aktivitas
antioksidan tertinggi terdapat pada sampel teh
daun sirsak dengan perlakuan lama pengeringan
150 menit, yaitu sebesar 76.06% dan terendah
53,17% pengeringan 30 menit . Hasil uji anova
menunjukkan p-value 0,00 dimana p-value < 0,01
sehingga dapat diketahui bahwa lama
pengeringan berpengaruh sangat nyata pada
aktivitas antioksidan. Kondisi tersebut disebabkan
pada proses pengeringan mengakibatkan
meningkatkan zat aktif yang terkandung dalam
daun teh (Winarno, 2004).
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
5
2) Uji Aktivitas Antioksidan dengan NilaiEffective Concentration 50 (EC50)
Hasil analisis antioksidan teh daun sirsak
dengan nilai Effective Concentration 50 (EC50)
yang tersaji pada Gambar 3, diketahui bahwa
semakin lama pengeringan semakin rendah nilai
EC50, sehingga nilai terendah pada pengeringan
150 menit sebesar 82,16 μg/mL dan tertinggi
117,86 μg/mL pada pengeringan 30 menit. Hasil
uji anova menghasilkan p-value 0,00 dimana p-
value < 0,01, sehingga dapat diketahui bahwa
lama pengeringan berpengaruh sangat nyata pada
nilai EC50.
Nilai EC50 umum digunakan untuk
menyatakan aktivitas antioksidan suatu bahan uji
dengan metode peredaman radikal bebas DPPH.
Harga EC50 berbanding terbalik dengan
kemampuan senyawa yang bersifat sebagai
antioksidan. Semakin kecil nilai EC50 berarti
semakin kuat daya antioksidannya (Molyneux,
2004).
3. Sifat Organoleptik
a. Organoleptik Teh Daun Sirsak
Tekstur
Tekstur teh yang baik adalah kasar (Dimas,
2008). Proses pengeringan pada daun teh dapat
menyebabkan perubahan asam pektat. Dimana
asam pektat akan mengering dan membentuk
semacam pernis sehingga permukaan teh
menjadi kering dan kasar. Hasil penelitian rata-
rata panelis terhadap tekstur teh daun sirsak
ditampilkan pada Gambar 4. Nilai organoleptik
tekstur teh tertinggi terdapat pada lama
pengeringan 30, 60, dan 120 menit, yaitu sebesar
2,9 ; sedangkan nilai terendah terdapat pada teh
dengan lama pengeringan 150 menit, yaitu
sebesar 2,6. Hasil uji Friedman menggunakan α
0,05 diperoleh data taraf signifikan p-value 0,46
dimana p-value > 0,05 sehingga dapat diketahui
tidak ada pengaruh lama pengeringan terhadap
tekstur teh daun sirsak.
Aroma
Menurut standar SNI 03-3836-2012 aroma
yang baik untuk teh daun sirsak adalah normal
yaitu harum khas teh. Menurut Ciptadi dan
Nasution, (1979); menyatakan bahwa senyawa
pembentuk aroma teh terutama terdiri dari
minyak atsiri yang bersifat mudah menguap dan
bersifat mudah direduksi sehingga dapat
menghasilkan aroma harum pada teh. Hasil
penelitian rata-rata panelis terhadap aroma teh
daun sirsak ditampilkan pada Gambar 5. Nilai
aroma tertinggi terdapat pada sampel teh dengan
lama pengeringan 30 menit, sebesar 3;
sedangkan nilai aroma terendah terdapat pada
sampel teh dengan lama pengeringan 150 menit,
sebesar 2,5. Hasil uji Friedman didapatkan p-
value 0,00 (p-value < 0,01) sehingga dapat
diketahui bahwa ada pengaruh sangat nyata lama
pengeringan terhadap aroma teh daun sirsak.
Warna
Menurut standar SNI 03-3836-2012 warna
teh yang baik adalah normal yaitu hijau
kecoklatan. Proses pengeringan menyebabkan
warna hijau khlorofil pada daun teroksidasi
menjadi coklat. Hal ini dikarenakan terjadi
peristiwa pencoklatan (Hernani, 2004). Hasil
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
6
penilaian rata-rata panelis terhadap warna teh
daun sirsak tersaji pada Gambar 6. Nilai warna
tertinggi terdapat pada sampel teh dengan lama,
pengeringan 30 menit, sebesar 3,2. Sedangkan
nilai terendah terdapat pada sampel teh dengan
lama pengeringan 150 menit, sebesar 1,6. Hasil
uji Friedman diperoleh p-value 0,00 dimana p-
value < 0,01 sehingga dapat diketahui ada
pengaruh sangat nyata lama pengeringan terhadap
warna teh daun sirsak.
b. Organoleptik Minuman Teh Daun Sirsak
Rasa
Menurut standar SNI 01-3143-1992 rasa
yang baik minuman teh daun sirsak adalah
normal yaitu rasa sepet. Katekin adalah tanin
yang tidak mempunyai sifat menyamak dan
menggumpalkan protein sehingga menghasilkan
rasa sepet. (Hafezi et al. 2006). Hasil rata-rata
penilaian panelis terhadap rasa teh daun sirsak
ditampilkan pada Gambar 7. Nilai rasa tertinggi
terdapat pada sampel dengan lama pengeringan
150 menit, sebesar 2,2. Sedangkan nilai terendah
terdapat pada sampel dengan lama pengeringan
30 menit, sebesar 2. Hasil uji Friedman
menggunakan α 0,05 diperoleh data taraf
signifikan p-value 0,46 dimana p-value > 0,05
sehingga dapat diketahui tidak ada pengaruh
lama pengeringan terhadap rasa minuman teh
daun sirsak.
Aroma
Menurut standar SNI 01-3143-1992 aroma
minuman teh daun sirsak yang baik adalah
normal yaitu harum. Pada proses pengeringan
asam galat akan teroksidasi menjadi senyawa
thearubigin (TR). Senyawa thearubigin bertagung
jawab pada aroma harum (Kim et al. 2011). Hasil
penilaian rata-rata panelis terhadap aroma
minuman teh daun sirsak ditampilkan pada
Gambar 8. Nilai aroma minuman teh tertinggi
pada sampel dengan lama pengeringan 60 menit,
sebesar 3,0. Sedangkan nilai terendah terdapat
pada sampel dengan lama pengeringan 120 menit,
sebesar 2,05. Hasil uji Friedman didapatkan p-
value 0,00 dimana p-value < 0,01 sehingga dapat
diketahui ada pengaruh sangat nyata lama
pengeringan terhadap aroma minuman teh daun
sirsak.
Warna
Menurut standar SNI 01-3143-1992 warna
minuman teh daun sirsak yang baik adalah
normal yaitu cerah. Menurut Arpah (1993),
senyawa teaflavin memberikan warna merah
kekuningan, terang dan berpengaruh terhadap
kejernihan seduhan. Hasil penilaian rata-rata
panelis terhadap warna minuman teh daun sirsak
ditampilkan pada Gambar 9. Nilai warna
minuman tertinggi terdapat pada sampel dengan
lama pengeringan 60 menit, sebesar 3,1.
Sedangkan nilai terendah terdapat pada sampel
dengan lama pengeringan 120 menit, sebesar 2.
Hasil uji Friedman diperoleh p-value 0,00 dimana
p-value < 0,01 yang berarti ada pengaruh sangat
nyata lama pengeringan terhadap warna minuman
teh daun sirsak.
Kekentalan
Menurut standar SNI 01-3143-1992
kekentalan minuman teh daun sirsak yang baik
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
7
adalah norrmal yaitu kental. Katekin teh
teroksidasi menjadi ortokuinon yang memadat
membentuk theaflavin (TF). Senyawa ini
bertanggung jawab terhadap kekentalan teh
(Hafezi et al. 2006). Hasil penelitian rata-rata
panelis terhadap kekentalan teh daun sirsak
ditampilkan pada Gambar 10. Nilai kekentalan
minuman teh tertinggi pada sampel dengan lama
pengeringan 30 dan 60 menit sebesar 2,05.
Sedangkan nilai terendah terdapat pada sampel
dengan lama pengeringan 120 menit, sebesar 1,6.
Hasil uji Friedman menggunakan α 0,05
diperoleh data taraf signifikan p-value 0,76
dimana p-value > 0,05 sehingga dapat diketahui
tidak ada pengaruh lama pengeringan terhadap
kekentalan minuman teh daun sirsak.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan
bahwa ada pengaruh lama pengeringan terhadap
aktivitas antioksidan teh daun sirsak. Kondisi
operasional pengeringan daun sirsak pada suhu
50o C dengan lama pengeringan 150 menit
menghasilkan teh daun sirsak dengan aktivitas
antioksidan tertinggi dan nilai EC50 terendah.
Namun pada kondisi operasional tersebut, teh
daun sirsak memiliki nilai organoleptik terendah,
khususnya rasa.
Untuk mendapatkan teh daun sirsak yang
baik dari segi aktivitas antioksidan maupun
organoleptiknya, perlu dilakukan penelitian
tentang pengaruh penambahan essen pada
pembuatan teh daun sirsak.
DAFTAR PUSTAKA
AOAC. 1995. Official Methods of Analysis of TheAssociation of Analytical Chemists,Washington D.C.
Arpah, M. 1993. Pengawasan Mutu Pangan.Tarsito. Bandung.
Ciptadi, W. dan M. Z. Nasution. 1979.Mempelajari Cara Pemanfaatan Teh HitamMutu Rendah untuk Pembuatan Teh Dadak.IPB, Bogor.
Durance, T. D., A. Yousif, K. Hyun-Ock, and C.Scaman. 1999. Process for drying medicinalplants.http://www.wipo.int/pctdb/en/wo.jsp/o=2000074694. Diakses tanggal : 1 Desember2012.
Dimas, T. P. 2008. Teh dan Pengolahanya.Universitas Brawijaya: Malang.
Hafezi M, Nasernejad B, Vahabzadeh F. 2006.Optimation of fermentation time for Iranianblack tea production. Iran J Chem ChemEng 25: 39-44.
Hernani. 2004. Gandapura : Pengolahan,fitokimia, minyak atsiri, dan daya herbisida.Buletin Penelitian Tanaman Rempah danObat Vol. XV (2) : 32-40.
Kim Y, Goodner KL, Park J, Choi J, Talcott ST.2011. Changes in antioxidantphytochemical and volatile composition ofCamellia sinensis by oxidation during teafermentation. Food Chem 129: 1331-1342.
Leny, S. 2006. Bahan Ajar Metode Fitokimia.Laboratorium Kimia Organik Jurusan KimiaFMIPA Universitas Airlangga : Surabaya
Lia, K., 2011. Modul Praktikum Isolasi danStandarisasi Bahan Alam. Jilid I. SekolahTinggi Ilmu Farmasi: Semarang.
Molyneux, P. 2004. The use of the stable radicaldiphenylpicrylhydrazyl (DPPH) forestimating antioxidant activity. J. Sci.Technol. 26(2) : 211-219.
Pratiwi, D. 2009. Perbedaan Metode EkstraksiTerhadap Aktivitas Antioksidan Teh Hitam(Camellia sinensis (L.) dengan MetodeDPPH (1,1-difenil-2-pikrilhidrazil ).Skripsi. Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi:Semarang.
Rahayu, W.P. 2001. Penuntun PraktikumPenilaian Organoleptik. Fakultas TeknologiPertanian IPB, Bogor.
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
8
Robinson T. 1995. Kandungan OrganikTumbuhan Tinggi (Penerjemah KosasihPadmawinata), penerbit ITB: Bandung.
SNI 03-3836-2012.Sudjadi dan Rohman, A. 2004. Analisa Obat dan
Makanan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.Tuminah, S. 2004. Teh [Camellia sinensis O.K.
var. Assamica (Mast)] sebagai Salah SatuSumber Antioksidan. Cermin DuniaKedokteran No. 144.
Winarno, F.G., 2002. Kimia Pangan dan Gizi.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.Zuhud, E. 2011. Bukti Kedahsyatan Sirsak
Menumpas Kanker. Yunita Indah. Cet-1.Agromedia Pustaka: Jakarta.
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
9
Gambar 1. Kadar Air Teh Daun Sirsak dengan Variasi Lama Pengeringan
Gambar 2. Aktivitas Atioksidan Teh Daun Sirsak dengan Lama Pengeringan
Gambar 3. Nilai EC50 Teh Daun Sirsak terhadap Lama Pengeringan
y = -0.198x + 34.89R² = 0.831
05
10152025303540
0 50 100 150 200
rata
-rat
a ka
dar a
ir(%
)
waktu pengeringan (menit)
y = 0.168x + 54.44R² = 0.763
0102030405060708090
0 50 100 150 200
nila
i akt
ivita
s an
tioks
idan
(%)
waktu pengeringan ( menit)
y = -0.263x + 115.4R² = 0.694
020406080
100120140
0 50 100 150 200
EC50
(μg
/mL)
waktu pengeringan (menit)
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
10
Gambar 4. Hasil Penilaian Panelis terhadap Tekstur Teh Daun Sirsak
Gambar 5. Hasil Penilaian Panelis terhadap Aroma Teh Daun Sirsak
Gambar 6. Hasil Penilaian Panelis terhadap Warna Teh Daun Sirsak
2.9 2.9
2.452.5
2.552.6
2.652.7
2.752.8
2.852.9
2.95
30 60
nila
u ra
ta-r
ata
teks
tur t
eh
waktu pengeringan (menit)
2.2
2.4
2.6
2.8
3
30 60
3 2.95
nila
i rat
a-ra
taro
ma
teh
waktu pengeringan (menit)
0
1
2
3
4
30 60
3.2 3
nila
i rat
a-ra
taw
arna
teh
waktu pengeringan (menit)
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
10
Gambar 4. Hasil Penilaian Panelis terhadap Tekstur Teh Daun Sirsak
Gambar 5. Hasil Penilaian Panelis terhadap Aroma Teh Daun Sirsak
Gambar 6. Hasil Penilaian Panelis terhadap Warna Teh Daun Sirsak
2.8
2.9
2.6
90 120 150waktu pengeringan (menit)
90 120 150
2.95
2.8
2.5 2.5
waktu pengeringan (menit)
60 90 120 150
3 2.8
1.851.6
waktu pengeringan (menit)
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
10
Gambar 4. Hasil Penilaian Panelis terhadap Tekstur Teh Daun Sirsak
Gambar 5. Hasil Penilaian Panelis terhadap Aroma Teh Daun Sirsak
Gambar 6. Hasil Penilaian Panelis terhadap Warna Teh Daun Sirsak
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
11
Gambar 7. Hasil Penilaian Panelis terhadap Rasa Minuman Teh Daun Sirsak
Gambar 8. Tingkat Penilaian Panelis terhadap Aroma Minuman Teh Daun Sirsak
Gambar 9. Hasil Penilaian Panelis terhadap Warna Minuman Teh Daun Sirsak
2
2.1
1.6
1.7
1.8
1.9
2
2.1
2.2
2.3
30
nila
i rat
a-ra
tara
sa m
inum
an te
hda
un si
rsat
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
30 60
2.753
nila
i rat
a-ra
taar
oma
min
uman
teh
daun
sirs
at
waktu pengeringan (menit)
0
1
2
3
4
30 60
2.9 3.1
nila
i rat
a-ra
taw
arna
min
uman
teh
daun
sirs
at
waktu pengeringan (menit)
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
11
Gambar 7. Hasil Penilaian Panelis terhadap Rasa Minuman Teh Daun Sirsak
Gambar 8. Tingkat Penilaian Panelis terhadap Aroma Minuman Teh Daun Sirsak
Gambar 9. Hasil Penilaian Panelis terhadap Warna Minuman Teh Daun Sirsak
2.1 2.1
1.85
2.2
60 90 120 150waktu pengeringan (menit)
90 120 150
2.2 2.05 2.2
waktu pengeringan (menit)
90 120 150
2.262.85
2
waktu pengeringan (menit)
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
11
Gambar 7. Hasil Penilaian Panelis terhadap Rasa Minuman Teh Daun Sirsak
Gambar 8. Tingkat Penilaian Panelis terhadap Aroma Minuman Teh Daun Sirsak
Gambar 9. Hasil Penilaian Panelis terhadap Warna Minuman Teh Daun Sirsak
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
12
Gambar 10. Tingkat Penilaian Panelis terhadap Kekentalan Minuman Teh Daun Sirsak
0
0.5
1
1.5
2
2.5
30 60 90
2.05 2.051.85
nila
i rat
a-ra
take
kent
alan
teh
waktu pengeringan (menit)
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
12
Gambar 10. Tingkat Penilaian Panelis terhadap Kekentalan Minuman Teh Daun Sirsak
90 120 150
1.851.6
1.9
waktu pengeringan (menit)
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
12
Gambar 10. Tingkat Penilaian Panelis terhadap Kekentalan Minuman Teh Daun Sirsak
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
13
Chemical and the Acceptability of Chicken Nuggets as Functional Food withUtilization Rice Bran to Substitute Wheat Flour
C. Maliluan, Y. B. Pramono and B. Dwiloka
The Master of Animal Husbandry Science, Graduate ProgramFaculty of Animal Husbandry of Diponegoro University
Abstract
The purpose of this research was produce a product with the chemical properties andacceptability as well as having health benefits. The research was conducted from July to September 2012. The variables in this research were insoluble dietary fiber, antioxidant activity, and sensory test.Dietary fiber was measured using the total multienzyme method, antioxidant activity was measuredusing DPPH method and the acceptability for the sensory test. Completely Randomized Design (CRD)with 4 treatments and 5 replications were used in this research. Treatment in this research was the totalsubstitution of rice bran (w / w), consisting of : T0 = 0%, T1 = 25%, T 2 = 50%, T 3 = 75%, T4 =100. The data obtained were further processed by analysis of variance to determine the effect oftreatment. If there was any significant effect of treatment then it was followed by Duncan’s MultipleRange Test to determine the differences among the treatments. Based on the results of the study showedthat the use of rice bran increase insoluble dietary fiber.Similarly, the antioxidant activity, the higherutilization of rice bran, significantly (P <0.05) increased the antioxidant activity of rice branchicken nuggets. Overall, the use of rice bran as a substitute for wheat flour can improve the chemicalproperties but lower the acceptability of chicken nuggets as functional food.
Keywords: nuggets, rice bran, dietary fiber, antioxidants
INTRODUCTION
Chicken nuggets are products of processed
meat whom quite popular lately. Besides of the
delicious taste, chicken nugget is easy to serve
as a side dish. However, meat and processed
meat products like chicken nuggets, have a low
sources of dietary fiber and compounds that are
beneficial to health such as vitamins. Their
regular consumption is being associated with
various health disorders such as colon cancer,
obesity and cardiovascular diseases. Therefore,
additional sources of dietary fiber in meat
products need to be done to improve the
nutritional value (NCI, 1984; Eastwood, 1992;
Johnson and Southgate,
1994; Voskuil et al., 1997; Tarrant, 1998;
Larsson and Wolk, 2006). Dietary fiber is added
to meat products, in addition have a
physiological function / health for consumers, it
also provides functional benefits of the final
product that can be used as an auxiliary material
in the production process. Nugget has the
potential to be enriched with dietary fiber
(Darojat, 2010).
Ingredient of dietary fiber can be
produced from various types of plants, such as
rice bran from rice. Rice bran is the outside of
the rice that escapes into a fine powder in a rice
milling process. The outer layer is composed of
the aleurone layer of rice (rice
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
14
kernel), endosperm, and germ. Although bran is
available in a large amount in Indonesia, but the
utilisation for human consumption as a source
of food and nutrition were limited. The
utilisation of rice bran limited as fodder
(Michwan, 2010).
Not many people know that rice bran has
a high nutrient content. Rice bran is rich in
vitamin B, vitamin E, essential fatty acids,
dietary fiber, protein, and ferulic acid
orizanol. Rice bran can be consumed as
functional food, when it prepared properly. Rice
bran, rich in phytokimia and c-
oryzanol, tocopherols and tocotrienols. C-
oryzanol mixture of esters derived from the
reaction of trans-ferulic acid with phytosterol
and triterpene alcohol (Lerma-
Garcia et al., 2009). C-oryzanol has natural
antioxidant properties and has also been shown
to have properties to reduce cholesterol (Sugano
and Tsuji, , 1997; Xu et al., 2001).
Rice bran chicken nuggets is expected to
become alternative of food functional in the
presence of dietary fiber, unsaturated fatty
acids, antioxidants and vitamins. Brice bran will
be used as a substitute for wheat flour in the
formulation of chicken nuggets. Beside of being
cheaper, rice bran is easier to obtain compared
with wheat flour and has a high nutritional
content. Rice bran chicken Nugget, will be
analyzed the chemical and Sensory
Characteristics (acceptability).
In this reserch, rice bran would be a
source of dietary fiber whom added to the
chicken nuggets with the aim to produce food
with the high content of dietary fiber, and has
the ability of antioxidant activity whom good
for our health.
METODOLOGY
Materials
Materials used in the manufacture of
Nugget is chicken meat without bones and skin,
rice bran, bread crumbs, wheat flour, skim milk,
vegetable oil, salt, garlic,onion, pepper, sugar
and water.
Stabilization Of Rice Bran
Rice bran processing is as follows: fresh
rice bran sifted 2-3 times. The size of sieve is
approximately 49 mesh, then heated
(sterilization) it by autoclave for 15-20 minutes,
121 ˚ C. After the sterilization, the rice bran
had to sifted before use.
Making chicken nuggets
Method of making chicken nuggets
include: chicken meat is cleaned from the skin
(chicken) and bone, then cut into pieces
approximately 2 cm3, and milled it. Chicken
meat plus flour, rice bran, water, and
seasonings, then stirred, so that it becomes
dough. The dough is formed with a mold, and
covered with aluminum foil, then steamed until
cooked. Dough that has been steamed and then
cooled. The dough is then cut approximately 2
cm3. Sliced nuggets at this stage, then smeared
with egg white and rolled in bread crumbs, then
fried for 2-3 minutes, until the colour is light
yellow (Bintoro, 2008).
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
15
Chemical characteristics of chicken nuggets
Levels of insoluble dietary fiber
were analyzed using multienzyme method
(Asp et al., 1983). Antioxidant activity of
the chicken nuggets was measured by DPPH
method (1,1-difenil-2-pikrilhidrazil)
(Carrapeiro et al., 2007).
Test of sensory characteristics of ChickenNugget (Acceptability)
Sensory test is using scoring method
with 15 untrained panelists. Panelists provide
assessments according the instructions (Kartika
et al., 1998).
Analysis of data
Data obtained from the test results of
chemical and physical characteristics were then
analyzed using various analysis (ANOVA),
with a significance level of 5%. If there was any
significant effect of treatment then it was
followed by Duncan’s Multiple Range Test to
determine the differences among the treatments.
(Dwiloka and Srigandono, 2006) to determine
differences between treatments. Sensory test
data were analyzed by non-parametric
analysis through hedonic Kruskal-Wallis test
(Saleh, 1996).
RESULTS AND DISCUSSION
Chemical characteristics of chicken nuggets
Chemical characteristics of rice bran
chicken nuggets whom have a functional
properties were dietary fiber and antioxidant
activity. Dietary fiber and antioxidants play an
important role in maintaining a healthy body.
Insoluble dietary fiber
Based on the data shown in Table 4, it
can be seen that the replacement of wheat flour
with rice bran increase the levels of insoluble
dietary fiber on chicken nugget products. The
results of this research, in accordance with the
results of Damayanthi et al., (2001), soluble
fiber of whole rice bran is 1.89% (dry matter)
and insoluble dietary fiber 15.55% (dry matter),
while the “kunci biru wheat respectively 2.44%
(dry matter) and 2.97% (dry matter). Thus, the
higher the addition of rice bran, the higher level
of insoluble dietary fiber. In the test of raw
material (rice bran), insoluble dietary fiber level
is 41.29% (bk). These results are higher than the
standard, due to the rest of bran and husk in the
rice bran. According to Damayanthi et
al., (2010) the commercial rice milling in
Indonesia will produce a mixture of bran (outer
brown rice - the rough) and rice bran (the inside
of the brown rice – the refined).
The antioxidant activity
Based on the data shown in Table 4, it
can be seen that the replacement of wheat flour
with rice bran affects to the antioxidant activity
of the chicken nugget products. The higher the
addition of bran, antioxidant activity increased
in the nugget, in addition, T0 has the lowest
antioxidant activity, as there is no addition of
rice bran. Crude rice bran (CRB), a by-product
of rice milling, is rich in phytochemicals of high
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
16
nutritional value, such as c-oryzanol,
tocopherols and tocotrienols. c-Oryzanol
consists of a mixture of ester compounds
derived from the reaction of trans-ferulic acids
with phytosterols and triterpene alcohols
(Lerma-Garcia et al., 2009). c-Oryzanol has
natural antioxidant properties and has also been
shown to have remarkable cholesterol reducing
properties (Sugano and Tsuji, 1997; Xu et al.,
2001).
The higest antioxidant activity of the
chicken nugget at T3 treatment, whereas the T4
treatment decreased. It is alleged, the
antioxidants is a result of mailard reaction in the
frying process. Maillard reaction is a reaction
between the carbonyl group especially reducing
sugars with amino groups mainly of amino
acids, peptides and proteins (Whistler and
Daniel, 1985). One of the antioxidants produced
from processing can be produced from the
Maillard reaction (Bailey and Won Um, 1992).
Sensory characteristics of chicken nuggets
Organoleptic tests carried out to determine
the level of acceptance and assessment sample
by panelists, ie chicken nuggets with utilization
rice bran to substitute wheat flour. Based on the
statistic analysis using the non-parametric
Kruskal-Wallis test, the p-value of acceptability
test 0.007 <0.05 value of criticism, so the null
hypothesis is rejected, that shown there is a
difference in five groups of scores with the
acceptability chicken nuggets in each treatment.
A test score results showed chicken nuggets, the
highest ranking values is T0 (1.42- Extremely
acceptable) and the lowest T4 (2.10-
acceptable). According Damayanthi (2001), the
substitution rate of 40% bran flour on the pastry
snacks such as cucur, bolu kukus, nagasari and
risoles gives the best acceptance rate of
substitution among others. Higher utilisation pf
rice bran lower the level of preference on the
snacks. Garcia et al., (2002) mentions, the
addition of fiber cereals (wheat and oats) 1.5
and 3% and fruit (peaches, apples and oranges)
in dry fermented sausages significantly affect
the sensory properties of the product. Best
results obtained on the sausage with pork fat
content of 10% and 1.5% fiber fruit.
CONCLUTION
Based on these results, can be concluded
that the higher the use of rice bran as a
substitute for wheat flour increased insoluble
dietary fiber on chicken nuggets. Similarly, the
antioxidant activity, the higher the use of rice
bran, increase the antioxidant activity in rice
bran chicken nuggets. Overall, the use of rice
bran as a substitute for wheat flour can increase
the chemical characteristics (dietary fiber and
antioxidant activity) of chicken nuggets. Based
on the physicochemical and organoleptic
tes/sensory characterictic, the best treatment
with the use of 75% rice bran as a wheat flour
substitute.
REFERENCES
Asp, N-G., C-G. Johanson, H. Halmer, dan M.Siljestrom. 1983. Rapid enzymatic assay
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
17
of insoluble and soluble dietary fiber. J.Agric. Food. Chem. (31): 476-482.
Bailey ME, dan Won Um K. 1992. Maillardreaction and lipid oxidation. Di dalam:Angelo AJS. Lipid Oxidation in Food.ACS symposium series. .New York:August 25-30.
Bintoro, V. P. 2008. Teknologi PengolahanDaging dan Analisis Produk. BadanPenerbit Universitas Diponegoro,Semarang.
Carrapeiro et al. 2007. Effect of lycopene onbiomarkers of oxidative stress in ratssupplemented with R-3 polyunsaturatedfatty acid. Food Research International,40, 939-946.
Damayanthi E., I. R. Sofia, dan S. Madanijah.2001. Sifat Fisikokimia dan daya TerimaTepung Bekatul Padi Awet sebagaiSumber Serat Makanan. Dalam L. Nuraida& R. Dewanti-Riyadi(Eds). PanganTradisional Basis Bagi industri PanganFungsional dan Suplemen. IPB, Bogor.(hal 245-261).
Darojat, D. 2010. Manfaat penambahan seratpangan pada produk daging olahan. FoodReview, 5(7) : 52-53.
Dwiloka, B. dan B. Srigandono. 2006.Metodologi Penelitian; Aplikasinya dalamIlmu Pertanian dan Pangan. UniversitasDiponegoro, Semarang.
Eastwood, M. A. 1992. The physiological effectof dietary fibre: an update. An. Rev. ofNutr. 12, 19–35.
Johnson, I.T and D.A.T. Southgate. 1994.Dietary Fibre and related substance. In J.Edelman and S. Miller (Eds.) Food SafetySeries (pp. 39–65). London: Chopman &Hall.
Kartika, B., P. Hastuti dan W. Supartono. 1988.Pedoman Uji Inderawi Bahan Pangan.Pusat Antar Universitas Pangan dan GiziUniversitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Larsson, S. C and A.Wolk. 2006. Meatconsumption and risk of colorectal cancer:A meta-analysis of prospective studies. IntJournal of Cancer, 119(11), 2657–2664.
Lerma-Garcia, M.J., J.M. Herrero-Martinez,E.F. Simo-Alfonso, C.R.B. Mendonca,and R. Ramis-Ramos. 2009. Composition,industrial processing and applications ofrice bran c-oryzanol. Food Chem. 115,389–404.
Michwan A. 2010. Potensi dan karakter ricebran oils. Food 5(7): 40-42.
NCI. 1984. Diet, Nutrition and CancerPrevention: A Guide to Food Calories.(NIG Pub. 85-2711). National CancerInstitute, US. Dept. of Health and HumanServices.
Saleh, S. 1996. Statistik Non Parametrik. BPFE,Yogyakarta.
Sugano, M., and E. Tsuji. 1997. Rice bran oiland cholesterol metabolism. Journal ofNutr. 127: 521S–524S.
Tarrant, P. V. 1998. Some recent advances andfuture priorities in research for the meatindustry. Meat Sci. 49, S1–S16.
Voskuil, D. W., E. Kampman, M. J. A. L.Grubben, R. A. Goldbohm, H. A. M.Brants, and H. F. A.Vasen. (1997). Meatconsumption, preparation and geneticsusceptibility in relation to colorectaladenomas. Cancer Letters, 114, 309–311.
Winarti, S. 2010. Makanan Fungsional. GrahaIlmu, Yogyakarta.
Whistler, R. dan Daniel JR. 1985.Carbohydrate. Di dalam: Fennema OR(eds). Food Chemistry. Marcel Dekker.Inc, New York.
Xu, Z., N. Ua, and J.S. Godber. 2001.Antioxidant activity of tocopherols,tocotrienols, and c-oryzanol componentsfrom rice bran against cholesteroloxidation accelerated by 2,20-azobis (2-
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
18
methylpropionamidine) dihydrochloride.J. of Agric. and Food Chem. 49: 2077–2081.
Tabel 1. Composition of nugget ingridients (gr)
Materials TreatmentsTo T1 T2 T3 T4
Chicken Meat 400,00 400,00 400,00 400,00 400,00Filler- Wheat flour 40,00 30,00 20,00 10,00 0,00- Rice Bran 0,00 10,00 20,00 30,00 40,00Binder- Skim milk 40,00 40,00 40,00 40,00 40,00Seasoning- Garlic 8,00 8,00 8,00 8,00 8,00- Onion 4,00 4,00 4,00 4,00 4,00- Pepper powder 4,00 4,00 4,00 4,00 4,00- Msg 2,00 2,00 2,00 2,00 2,00- Salt 6,00 6,00 6,00 6,00 6,00- Sugar 3,00 3,00 3,00 3,00 3,00
T0 = Rice bran 0% (control) from filler total
T1 = Rice bran 25% from filler total
T2 = Rice bran 50% (from filler total
T3 = Rice bran 75% from filler total
T4 = Rice bran 100% from filler total
Tabel 2. Scores of acceptability
Score Acceptability1 Extremely acceptable2 acceptable3 Rather acceptable4 Not acceptable5 Extremely not acceptable
Tabel 3. Average of Insoluble dietary fiber and antioksidant activity of chicken nugget
VariableThe filler substitutions level of rice bran (%)
0 25 50 75 100Insoluble dietary fiber (%) 11.58 10.35 11.98 12.64 12.96Antioksidant activity(%) 0.72 2.29 3.01 5.35 2.48
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
19
SIFAT- SIFAT GEL GELATIN TULANG CAKAR AYAM
Geling Properties of Chicken Shank Bone Gelatin
D. A. P. Puspitasari, V. P. Bintoro dan B. E. Setiani
Mahasiswa Magister Ilmu Ternak Program PascasarjanaUniversitas Diponegoro Semarang
Email Korespondensi: [email protected]
Abstract
The purpose of the study was to investigate the soaking effect of different HCl concentration,soaking time and the interaction on geling properties (pH values, yield, viscocity, gel strength, melt timeand gel of temperature and time) of chicken shank bone gelatin. The materials used were chicken shankbones, HCl, NaOH and liquid soda. The research design used was completely randomized design(CRD) factorial, in which factor A was the concentration of HCl (a1 = HCl 2%, a2 = HCl 3,5% and a3
= HCl 5%) and factor B was soaking time (b1 = 24 hours, b2 = 36 hours and b3 = 48 hours). The resultshowed that the use of different HCl concentration, soaking time and the interaction affected gelingproperties (pH values, yield, viscocity, gel strength, melt time and gel of temperature and time) ofchicken shank bone gelatin. The best result came from the interaction of soaking chicken shank bone in5% concentration of HCl for 48 hours at 4 pH value, yield 1,31%, viscocity (40 – 60 OC) 1,62 – 3,03cP, gel strength 228,81 bloom, melt in 40 – 60 OC for 0,58 – 3,29 minutes, gel in 10,7 OC for 7,5minutes. In conclusion, according to GMIA (2012), gel properties of chicken shank bones gelatin bysoaking in 5% concentration of HCl for 48 hours recommended to become alternative food additive infood industry.
Key words: chicken shank bone, gelatin, gel properties.
PENDAHULUAN
Gelatin merupakan suatu produk hasil dari
proses hidrolisis parsial kolagen. Kolagen
merupakan protein fibrosa yang terdapat pada
tulang, kartilago dan kulit dan ketiga sumber
tersebut sulit untuk dicerna (Barbooti et al.,
2008; Guillen et al., 2011 dan Jayathikalan et
al., 2011). Penggunaan kulit babi dalam
manufaktur gelatin mencapai 46%, sedangkan
penggunaann kulit dan tulang sapi berturut-turut
adalah 29,4% dan 23,1% (Guillen et al., 2011).
Adanya isu dunia mengenai penyakit bovine
spongiform encephalopathy serta larangan dari
agama Islam
dan Yahudi mengenai bahan makanan dan
tambahan pangan yang berasal dari babi (Choi
and Regenstein, 2000; Oh, 2012) menjadikan
potensi tulang cakar ayam (TCA) sebagai salah
satu alternatif lain dalam pemilihan bahan baku
gelatin (Guillen et al., 2011). Potensi cakar
ayam dapat dilihat dari kandungan kolagen
didalamnya yaitu 5,64 – 31,39% dari total
protein (Liu et al., 2001) atau 28,73 - 36,83%
dari total protein (Prayitno, 2007).
Gelatin memiliki fisikokimia yang unik,
yaitu dapat larut dalam air, transparan, tidak
berbau, tidak memiliki rasa (Guillen et al.,
2011) serta memiliki sifat reversible dari bentuk
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
20
sol ke gel, membengkak atau mengembang
dalam air dingin, membentuk film,
mempengaruhi viskositas suatu bahan dan dapat
melindungi sistem koloid (Junianto et al.,
2006). Kualitas gelatin ditentukan dengan gel
strength dan stabilitas termal (pembentukan gel
dan suhu leleh). Asam amino prolin dan
hidroksiprolin memberi peran penting terhadap
efek gel pada gelatin. Kemampuan membentuk
gel, viskositas dan sifat melt in the mouth
gelatin merupakan kunci dari luasnya aplikasi
gelatin di industri farmasi, kedokteran, fotografi
hingga pangan. (Guillen et al., 2011).
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui sifat-sifat gel gelatin TCA (pH,
rendemen, viskositas, gel strength, waktu leleh,
suhu dan waktu jendal) yang dihasilkan dari
interaksi antara konsentrasi HCl dan lama
perendaman yang berbeda. Manfaat yang dapat
diperoleh dari penelitian ini adalah dapat
mengurangi limbah TCA, meningkatkan daya
jual TCA serta dapat mengurangi tingkat
kekhawatiran masyarakat akan ketidak halalan
gelatin sebagai bahan tambahan pangan.
METODOLOGI
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan
September sampai bulan November 2012.
Proses pembuatan gelatin serta pengujian
karakteristiknya dilaksanakan di Laboratorium
Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan
dan Pertanian, Universitas Diponegoro.
Rancangan Penelitian
Penelitian dilakukan dengan
menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL)
pola Faktorial 3 x 3 dengan 3 ulangan. Faktor
pertama adalah konsentrasi asam pengekstraksi
(A) (a1 = HCl 2%, a2 = HCl 3,5% dan a3 = HCl
5%) dan faktor kedua adalah lama perendaman
(B) (b1 = 24 jam, b2 = 36 jam dan b3 = 48 jam).
Prosedur Pembuatan Gelatin Tulang CakarAyam
Bahan baku yang digunakan adalah tulang
cakar ayam (TCA) bagian femur sebanyak 27
sampel percobaan. Masing – masing sampel
telah mengalami pengacakan sebelum diberi
perlakuan sehingga semua sampel memiliki
kesempatan yang sama dalam memperoleh
salah satu kombinasi perlakuan konsentrasi HCl
dan lama perendaman. TCA yang telah diacak
kemudian dilanjutkan proses degreasing yaitu
proses penghilangan lemak dari jaringan tulang
yang masih tersisa, dilakukan pada suhu 60 OC
selama 2 jam, kemudian dilanjutkan proses
demineralisasi dengan menggunakan HCl 2%
dan direndam selama 24 jam.
Proses berikutnya demineralisasi,
dilakukan penetralan dengan menggunakan air
mengalir dan merendamnya selama 15 menit
dengan soda cair 0,01%. Penggunaan soda cair
ditujukan untuk mempercepat penetralan dan
menyempurnakan penghilangan sumsum tulang.
Proses selanjutnya dilanjutkan dengan proses
asam, yaitu merendam TCA dengan
menggunakan HCl dengan konsentrasi 2%,
3,5% dan 5% selama 24, 36 dan 48 jam, setelah
itu, ossein dinetralkan dengan air mengalir dan
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
21
NaOH 0,1 N selama 15 menit. Ossein
diekstraksi secara bertahap dengan
menggunakan waterbath. Suhu yang digunakan
dalam proses ekstraksi berawal dari 65, 75 dan
85 OC, masing-masing selama 4 jam, kemudian
dipekatkan pada suhu 75 OC selama 2 jam,
supaya air yang masih terkandung di dalamnya
dapat menguap.
Gelatin yang sudah dikentalkan kemudian
dicetak. Pencetakan dilakukan dengan
menuangkan 15 ml (5 ml dalam sekali tuang).
Penuangan berikutnya dilakukan jika gelatin
sebelumnya sudah kering. Pengeringan
dilakukan dengan inkubator (kardus dengan
lampu bohlam 10 watt). (Modifikasi Hajrawati
(2006), Junianto et al. (2006), Yuniarifin et al.
(2006); Jayathikalan et al., 2011 dan Puspawati
et al., 2012).
Analisis terhadap gelatin tulang cakar
ayam meliputi pH (British Standard 757 1975),
Rendemen (AOAC, 1995), Viskositas
(menggunakan viscometer Ostwald 350
dihitung menggunakan rumus British Standard
757 197), Gel Strength (menggunakan Volland-
Stevens LFRA Texture Analizer), waktu leleh
gelatin (Suryaningrum dan Utomo, 2002), dan
suhu dan waktu jendal gelatin (Modifikasi
Schrieber dan Gareis, 2007).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Perlakuan terhadap pH GelatinTulang Cakar Ayam
Nilai pH gelatin TCA yang dihasilkan dari
2-5% HCl dengan 24-48 jam perendaman dapat
dilihat secara ringkas pada Tabel 1.
Berdasarkan perhitungan statistik, penggunaan
berbagai konsentrasi HCl, lama perendaman,
dan interaksi antara keduanya berpengaruh
nyata (p<0,05) terhadap pH gelatin. Hal ini
menunjukkan bahwa perendaman dengan
menggunakan 2-5% HCl selama 24-48 jam
mempengaruhi pH gelatin TCA dengan nilai
berkisar antara 3,5-4,14. Mengacu pada GMIA
(2012), pH gelatin TCA yang sesuai dengan
standar dihasilkan dari perendaman TCA
dengan menggunakan 2% HCl selama 24 jam
serta 2-5% HCl selama 48 jam dengan pH
berkisar 3,94-4,14. Seiring dengan
meningkatnya konsentrasi dan lama
perendaman pH gelatin akan menurun.
Naiknya pH pada perendaman dengan
HCl 2 – 5% selama 48 jam, diduga karena
sumsum TCA mengalami koagulasi pada pH 4
dan sumsum tulang tersebut dapat terangkat
secara sempurna sehingga gelatin yang
dihasilkan memiliki pH lebih tinggi dibanding
dengan perendaman dengan HCl 2 – 5% selama
24 – 36 jam. Kolagen kulit atau tulang akan
mengalami peregangan pada pH di bawah 4 dan
di atas 10. Pada pH tersebut, struktur tripel
heliks kolagen menjadi single heliks terjadi
secara maksimal (Li, 1993 dan Prayitno, 2007).
Pengaruh Perlakuan terhadap RendemenGelatin Tulang Cakar Ayam
Rendemen gelatin TCA yang dihasilkan
dari 2-5% HCl dengan 24-48 jam perendaman
dapat dilihat secara ringkas pada Tabel 1.
Berdasarkan perhitungan statistik, penggunaan
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
22
berbagai konsentrasi HCl, lama perendaman,
dan interaksi antara keduanya berpengaruh
nyata (p<0,05) terhadap rendemen. Hal ini
menunjukan bahwa perendaman dengan
menggunakan 2-5% HCl selama 24-48 jam
mempengaruhi rendemen gelatin TCA sebanyak
0,38-3,25%. Tingginya rendemen gelatin
mengindikasikan bahwa perlakuan yang
diterapkan itu bekerja secara optimal dan efektif
(Miwada dan Simpen, 2007).
Tinggi rendahnya rendemen gelatin
diduga dipengaruhi oleh pH hasil dari interaksi
antara konsentrasi HCl dan lama perendaman.
Rendahnya rendemen pada pH 3,5 (perendaman
TCA dengan HCl 2% selama 36 jam) yaitu 0,88
% dan pH 4,14 (perendaman TCA dengan HCl
2% selama 24 jam) yaitu 0,38% menunjukkan
bahwa struktur kolagen mengembang dan
terbuka secara minimal pada pH 3,5 dan pH
4,14, sedangkan struktur kolagen akan
mengembang dan terbuka secara optimal pada
pH 3,76 (perendaman dengan HCl 5% selama
36 jam). Pengembangan dan terbukanya
struktur kolagen secara optimal ditandai dengan
rendemen yang dihasilkan tinggi yaitu 3,25%.
Pengaruh Perlakuan terhadap ViskositasGelatin Tulang Cakar Ayam
Viskositas gelatin TCA yang dihasilkan
dari 2-5% HCl dengan 24-48 jam perendaman
dapat dilihat secara ringkas pada Tabel 1.
Berdasarkan perhitungan statistik, penggunaan
berbagai konsentrasi HCl, lama perendaman,
dan interaksi keduanya berpengaruh nyata
(p<0,05) terhadap viskositas. Hal ini
menunjukan bahwa perendaman dengan
menggunakan 2-5% HCl selama 24-48 jam
mempengaruhi viskositas gelatin TCA berkisar
antara 1,12-4,69 cP. Dengan
mempertimbangkan standar pH (3,8-5,5) dan
viskositas (1,5-7,5 cP) dari GMIA (2012),
viskositas gelatin TCA terbaik dihasilkan dari
perendaman 2-5% HCl selama 48 jam dengan
viskositas sebesar 2-3,03 cP.
Tinggi rendahnya viskositas diduga
dipengaruhi oleh pH hasil dari interaksi antara
konsentrasi HCl dan lama perendaman.
Rendahnya viskositas gelatin TCA pada pH 3,5
(perendaman TCA dengan HCl 2% selama 36
jam) yaitu 1,51 cP dan pH 4,14 (perendaman
TCA dengan HCl 2% selama 24 jam) yaitu 1,32
cP menunjukan bahwa pada kisaran pH ini
memiliki nilai geser tinggi karena sedikit
mengandung gelatin sehingga viskositas yang
dihasilkan minimum. Viskositas optimum
diduga terjadi pada kisaran pH 3,62-3,68
(perendaman dengan HCl 3,5-5% selama 24
jam).
Menurut See et al. (2010) viskositas
maksimum dihasilkan pada pH 3 dan 10,5.
Tingginya viskositas menunjukkan bahwa
gelatin memiliki nilai geser yang rendah serta
rantai asam amino yang panjang. Meskipun
gelatin yang dihasilkan dari perendaman dengan
HCl 3,5-5% selama 24 jam memiliki viskositas
optimum, akan tetapi memiliki pH yang tidak
sesuai standar GMIA (2012) yaitu 3,5 – 5,5.
Gelatin dengan viskositas terbaik dihasilkan
dari perendaman HCl 5% selama 48 jam dengan
pH 4 dan viskositas 3,03 cP.
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
23
Pengaruh Perlakuan terhadap Gel strengthGelatin Tulang Cakar Ayam
Gel Strength gelatin TCA yang dihasilkan
dari 2-5% HCl dengan 24-48 jam perendaman
dapat dilihat secara ringkas pada Tabel 1.
Berdasarkan perhitungan statistik, penggunaan
berbagai konsentrasi HCl, lama perendaman,
dan interaksi keduanya berpengaruh nyata
(p<0,05) terhadap gel strength. Hal ini
menunjukkan bahwa perendaman dengan
menggunakan 2-5% HCl selama 24-48 jam
mempengaruhi gel strength gelatin TCA dengan
nilai berkisar antara 0-1150,67 bloom. Dengan
mempertimbangkan standar pH (3,8-5,5),
viskositas (1,5-7,5 cP) dan gel strength (50-300
bloom) dari GMIA (2012), gel strength gelatin
TCA terbaik dihasilkan dari perendaman 3,5-
5% HCl selama 48 jam dengan gel strength
sebesar 263,07-228,81 bloom. Berdasarkan nilai
bloom-nya, gel strength gelatin TCA termasuk
dalam jenis medium-high bloom (Schrieber dan
Gareis, 2007). Berdasarkan standar GMIA
(2012), yaitu 50-300 bloom cocok untuk edible
film, food ingredient, soft and hard capsule.
Tinggi rendahnya gel strength yang
dihasilkan diduga dipengaruhi oleh pH dan
viskositas yang dihasilkan dari interaksi antara
konsentrasi HCl dan lama perendaman. Gel
strength gelatin TCA pada pH 3,5 dengan
viskositas 1,51 cP (perendaman TCA dengan
HCl 2% selama 36 jam) sebesar 63,87 bloom
dan pH 4,14 dengan viskositas 1,32 cP
(perendaman TCA dengan HCl 2% selama 24
jam) sebesar 0 bloom menunjukan bahwa
dengan kisaran pH ini menghasilkan viskositas
minimum disertai dengan gel strength yang
rendah. Viskositas optimum pada kisaran pH
3,62-3,68 (perendaman dengan HCl 3,5-5%
selama 24 jam) juga disertai dengan gel
strength yang besar yaitu 1.150,67 bloom. Oleh
karena itu, gelatin yang dihasilkan dari
perendaman HCl 5% selama 48 jam merupakan
gelatin terbaik dan sesuai dengan standar GMIA
(2012) dengan pH 4, viskositas 3,03 cP dan gel
strength sebesar 422,2 bloom.
Pengaruh Perlakuan terhadap Waktu LelehGelatin Tulang Cakar Ayam
Waktu leleh gelatin TCA yang dihasilkan
dari 2-5% HCl dengan 24-48 jam perendaman
dapat dilihat secara ringkas pada Tabel 1.
Berdasarkan perhitungan statistik, penggunaan
berbagai konsentrasi HCl, lama perendaman
dan interaksi keduanya berpengaruh nyata
(p<0,05) terhadap waktu leleh. Hal ini
menunjukan bahwa perendaman dengan
menggunakan 2-5% HCl selama 24-48 jam
mempengaruhi waktu leleh gelatin TCA yaitu
berkisar antara 0-3,29 menit. Dengan
mempertimbangkan standar pH (3,8-5,5),
viskositas (1,5-7,5 cP) dan gel strength (50-300
bloom) dari GMIA (2012), waktu leleh gelatin
TCA terbaik (Tabel 1.) dihasilkan dari
perendaman 5% HCl selama 48 jam dengan
waktu leleh sebesar 3,29 menit.
Tinggi rendahnya waktu leleh gelatin
TCA yang dihasilkan diduga dipengaruhi oleh
pH, viskositas dan gel strength yang dihasilkan
dari interaksi antara konsentrasi HCl dan lama
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
24
perendaman. Gelatin TCA yang dihasilkan dari
perendaman TCA dengan HCl 2% selama 36
jam (pH 3,5 dengan viskositas 1,51 cP dan gel
strength 63,87 bloom) memiliki waktu leleh
selama 1,4 menit dan gelatin TCA yang
dihasilkan dari perendaman TCA dengan HCl
2% selama 24 jam (pH 4,14 dengan viskositas
1,32 cP dan gel strength 0 bloom) memiliki
waktu leleh selama 0 menit. Hal ini menunjukan
bahwa dengan kisaran pH 3,5 dan 4,14
menghasilkan viskositas minimum yang disertai
dengan gel strength dan waktu leleh yang
rendah sedangkan pada viskositas optimum
yang terjadi pada kisaran pH 3,62-3,68
(perendaman dengan HCl 3,5-5% selama 24
jam) yang disertai dengan gel strength yang
besar yaitu 1.150,67 bloom juga memiliki
waktu leleh yang rendah.
Rendahnya nilai pH, menyebabkan gelatin
yang terekstrak lebih banyak sehingga nilai
viskositas meningkat. Meningkatnya nilai
viskositas menunjukkan bahwa gelatin yang
dihasilkan memiliki rantai asam amino lebih
panjang, yang ditandai dengan nilai gel strength
yang besar (Ward dan Courts, 1977; Astawan
dan Aviana, 2003; Hafidz et al., 2011) dan
kandungan asam imino yang banyak (prolin dan
hidroksiprolin) yang merupakan penstabil
jaringan gel (Bustillos et al., 2006; Hafidz et al.,
2011; Tavakolipour, 2011).
Pengaruh Perlakuan terhadap Suhu danWaktu Jendal Gelatin Tulang Cakar Ayam
Suhu dan waktu jendal gelatin TCA yang
dihasilkan dari 2-5% HCl dengan 24-48 jam
perendaman dapat dilihat secara ringkas pada
Tabel 1. Berdasarkan perhitungan statistik,
penggunaan berbagai konsentrasi HCl, lama
perendaman, dan interaksi keduanya
berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap suhu dan
waktu jendal. Hal ini menunjukan bahwa
perendaman dengan menggunakan 2-5% HCl
selama 24-48 jam mempengaruhi suhu jendal
gelatin TCA yaitu 0-13,7 OC dengan waktu 0-
14,7 menit. Dengan mempertimbangkan standar
pH (3,8-5,5), viskositas (1,5-7,5 cP) dan gel
strength (50-300 bloom) dari GMIA (2012) dan
waktu leleh gelatin TCA terbaik (Tabel 1.)
dihasilkan dari perendaman 5% HCl selama 48
jam dengan waktu leleh sebesar 3,29 menit,
maka suhu jendal terbaik dihasilkan dari
perendaman 5% HCl selama 48 jam dengan
suhu jendal 10,7 OC selama 7,5 menit.
Meningkatnya suhu dan waktu leleh dan
jendal seiring dengan meningkatnya nilai
bloom, viskositas gelatin, berat molekul gelatin,
panjangnya rantai asam amino dan konsentrasi
gelatin yang digunakan (Choi dan Regenstein,
2000; Astawan et al., 2002; Schrieber dan
Gareis, 2007; Abustam et al., 2008).
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian penggunaan
perbedaan konsentrasi, lama perendaman, dan
interaksinya mempengaruhi sifat-sifat gel
gelatin TCA. Interaksi yang dihasilkan dari
konsentrasi HCl dan lama perendaman yang
berbeda menghasilkan gelatin dengan
karakteristik pH yang berbeda. Perbedaan pH
ini diduga secara langsung mempengaruhi
rendemen dan sifat gel (rendemen, viskositas
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
25
optimal, gel strength, waktu leleh serta suhu dan
waktu jendal) gelatin TCA dengan pH terendah
sebesar 3,5 dan tertinggi sebesar 4,14.
Rendemen tertinggi dihasilkan dari pH 3,76,
viskositas optimal dan gel strength besar terjadi
pada pH 3,62-3,68, waktu leleh serta suhu dan
waktu jendal tertinggi dihasilkan dari pH 4.
Berdasarkan sifat-sifat gel yang dihasilkan dan
mengacu pada standar GMIA (2012),
perendaman dengan interaksi antara HCl 5%
selama 48 jam menghasilkan gelatin TCA
terbaik dan dapat direkomendasikan sebagai
alternatif bahan tambahan pangan pada industri
pangan.
DAFTAR PUSTAKA
Abustam, E., H.M. Ali., M.I. Said dan J.CH.Likadja. 2008. Sifat fisik gelatin kulitkaki ayam melalui proses denaturasiasam, alkali dan enzim. SeminarNasional Teknologi Peternakan danVeteriner. 724 – 729.
Astawan M dan T. Aviana. 2003. Pengaruhjenis larutan perendaman serta metodepengeringan terhadap sifat fisik, kimiadan fungsional gelatin dari kulit cucut.Jurnal. Teknol. dan Industri Pangan.XIV (1):7-13.
Astawan, M., P. Hariyadi dan A. Mulyani.2002. Analisis sifat reologi gelatin darikulit ikan cucut. Jurnal. Teknol. danIndustri Pangan. VIII (1): 38-46.
AOAC. 1995. Official Method of Analysis ofAssociation. Official AgriculturalChemist, Washington, DC.
Baker, R.C., P.W. Hahn, and Robbins, K.R.1994. Fundamentals of New FoodProduct Development. Elsevier ScienceB.V., New York.
Barbooti, M.M., S.R. Raouf and F.H.K. Al-Hamdani. 2008. Optimization ofproduction of food grade gelatin frombovine hide wastes. Eng and Tech.26(2): 240-253.
British Standard 757. 1975. Sampling andtesting of gelatin. Di dalam : Imeson,editor. Thickening and Gelling Agentsfor Food. New York :Academic Press.
Bustillos, R.J.A., C.W. Olsen., D.A. Olson, B.Chiou, E. Yee, P.J. Bechtel and T.H.McHugh. 2006. Water vaporpermeability of mammalian and fishgelatin films. Journal Of Food Science.71 (4): E202-E207.
Choi, S. and J.M. Regenstein. 2000.Physicochemical and sensorycharacteristics of fish gelatin. Journal ofFood Science. 65(2): 194-199
Gelatin Manufacturer Institute of America(GMIA). 2012. Gelatin Hand Book.America.
Guillen, M. C. G., B. Gimenez., M. E. L.Caballero and M. P. Montero. 2011.Functional and bioactive properties ofcollagen and gelatin from alternativesources. Food Hydrocolloids. 25: 1813-1827.
Hafidz, R.M.R.N., C.M. Yaakob, I. Amin, andA. Noorfaizan. 2011. Chemical andfunctional properties of bovine andporcine skin gelatin. International FoodResearch Journal. 18: 813–817.
Hajrawati. 2006. Sifat Fisik dan Kimia GelatinTulang Sapi dengan Perendaman AsamKlorida pada Konsentrasi dan LamaPerendaman yang Berbeda. TesisMagister Sains, Institut Pertanian Bogor,Bogor ().
Jayathikalan, K., K. Sultana, K. Radhakrishnaand A.S. Bawa. 2011. Utilization ofbyproducts and waste materials frommeat, poultry and fish processingindustries: a review. J Food Sci Technol: DOI 10.1007/s13197-011-0290-7.
Jellouli, K., R. Balti, A. Bougatef, N. Hmider,A. Barkia and M. Nasri. 2011. Chemicalcomposition and characteristic of skingelatin from grey triggerfish (Balistescapriscus). LWT-Food Science andTechnology. 44: 1965 – 1970.
Junianto, K. Haetami dan I. Maulina. 2006.Produksi Gelatin Dari Tulang Ikan danPemanfaatannya Sebagai Bahan DasarPembuatan Cangkang Kapsul. HibahPenelitian Dirjen Dikti. Fakultas
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
26
Perikanan dan Imu Kelautan,Universitas Padjajaran.
Kolodziejska. I., E. Skierka, M. Sadowska. W.Kolodziejska and C. Niecikowska. 2008.Effect of extracting time andtemperature on yield of gelatin fromdifferent fish offal. Food Chem. 107:700-706.
Li, Shu-Tung. 1993. Collagen biotechnologyand its medical application. Biomed.Eng. ppl.Baia Comm. 5: 646-657.
Liu, D.C, Y.K. Lin, and M.T. Chen, 2001.Optimum Condition of extrctingcollagen from Chicken feet and itscaracetristics. Asian-AustralasianJournal of Animal Science 14 : 1638-1644.
Miwada, I. N. S dan I. N. Simpen. 2007.Optimalisasi potensi ceker ayam (Shank)hasil limbah rpa melalui metodeekstraksi termodifikasi untukmenghasilkan gelatin. Majalah IlmiahPeternakan. 10 (1): 5-8.
Oh, J.H. 2012. Characteristic of edible filmfabricated with channel catfish(Istalurus punctatus) gelatin by cross-linking with transglutaminase. FishAquat. Sci. 15 (1): 9-14.
Prayitno. 2007. Ekstraksi kolagen cakar ayamdengan berbagai jenis larutan asam danlama perendaman. Animal Production. 9(2) : 99 – 104.
Puspawati, N.M., I.N. Simpen dan S. Miwada.2012. Isolasi gelatin dari kulit kaki ayam
broiler dan karakterisasi gugusfungsinya dengan spektrofotometeriFTIR. Jurnal Kimia. 6 (1) : 87 – 79.
Schrieber, R and H. Gareis. 2007. GelatinHandbook. Wiley-VCH Verlag GmbH& Co. KGaA, Germany.
See, S.F. Hong, P.K., Ng., K.L Wan Aida,W.M. and A.S Babdji. 2010.Physiscochemical properties of gelatinsextracted from skins of differentfreshwater fish species. InternationalFood Research Journal. 17 : 809 – 816.
Suryaningrum, T. D dan B.S.B. Utomo. 2002.Petunjuk Analisa Rumput Laut danHasil Olahannya. Pusat Risetpengolahan Produk dan Sosial EkonomiPerikanan dan Kelautan. Jakarta.
Tavakolipur, H. 2011. Extraction and evaluationof gelatin from silver carp waste. WorldJ. of Fish and Mar. Sci. 3 (1): 10-15.
Ward, A.G. and Courts, A. 1977. The Scienceand Technology of Gelatin. AcademicPress, New York.
Yuniarifin, H., V.P. Bintoro, dan A.Suwarastuti. 2006. Pengaruh berbagaikonsentrasi asam fosfat pada prosesperendaman tulang sapi terhadaprendemen, kadar abu dan viskositasgelatin. J. Indonesia Trop. Anim. Agric.31 (1) : 55 – 61.
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
27
Tabel 1. Pengaruh Interaksi Konsentrasi HCl dan Lama Perendaman terhadap pH, Rendemen,Gel Strength, Waktu Leleh serta Suhu dan Waktu Jendal Gelatin Tulang Cakar Ayam
KonsentrasiHCl (%)
ParameterLama Perendaman (jam)
24 36 48
2
pH 4,14a 3,50d 4,08a
Rendemen (%) 0,38f 0,88ef 1,60cde
Viskositas (cP) 1,32d 1,51d 2,00bcd
Gel Strength (bloom) 0e 63,87e 422,20c
Waktu Leleh (menit) 0d 1,40c 1,92bc
Suhu Jendal (◦C) 0e 9cd 14,7a
Waktu jendal (menit) 0c 11,3ab 8,3b
3,5
pH 3,68cd 3,66cd 3,94ab
Rendemen (%) 2,55b 1,92bc 1,16de
Viskositas (cP) 3,30ab 1,82cd 2,11bcd
Gel Strength (bloom) 941,56b 142,79de 263,07d
Waktu Leleh (menit) 2,00bc 1,71bc 2,37b
Suhu Jendal (◦C) 12,3ab 8d 11,3ab
Waktu jendal (menit) 13,6a 8,6b 8,4b
5
pH 3,62cd 3,76bc 4,00a
Rendemen (%) 2,45b 3,25a 1,31cd
Viskositas (cP) 4,69a 1,88cd 3,03abc
Gel Strength (bloom) 1150,67a 118,20de 228,81d
Waktu Leleh (menit) 1,73bc 3,21a 3,29a
Suhu Jendal (◦C) 13,7a 11bc 10,7bc
Waktu jendal (menit) 8,0b 6,4b 7,5b
Keterangan : Superskrip yang berbeda menunjukkan perbedaan yangnyata (p<0,05)
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
28
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
29
Mutu Fisik, Kadar Serat dan Sifat Organoleptik Nata de CassavaBerdasarkan Lama Fermentasi
Physical quality, Dietary Fiber and Organoleptic Characteristicfrom Nata de Cassava Based time of Fermentation
Indah Putriana dan Siti Aminah
Program Studi S-1 Teknologi Pangan Universitas Muhammadiyah SemarangKorespondensi, email: [email protected]
Abstract
Nata de cassava are product from cassava extract with fermentation bacteria speciesAcetobacter xylinum. Nata constitutes one of components in nutrients as a source of dietary fiber.Period of fermentation is one of essential factor in makings nata de cassava. The aim this research is toknow physical quality, and organoleptic characteristic from nata de cassava with period time offermentation. Thickness and yield best exists on 13th days fermentation 1,37 cm and 59,09 %respectively, meanwhile best brightness on 5th days fermentation around 64,70. Concentration of fiberis biggest in 7th days fermentation approximately 94,31 mg. Organoleptic quality perceives nata decassava delicate on 13th day fermentation.
Key Words: Nata de cassava, physical quality, dietary fiber, organoleptic characteritic
PENDAHULUAN
Singkong atau cassava berasal dari
benua Amerika. Tanaman singkong masuk ke
wilayah Indonesia tahun 1852. Saat ini di
Indonesia singkong menjadi makanan pokok
nomor tiga setelah padi dan jagung (Rukmana,
1997) dan produksi singkong Indonesia telah
mencapai 19.988.056 ton pada tahun 2007
(BPS, 2008).
Hasil olahan singkong yang sudah
dikembangkan di masyarakat diantaranya
adalah singkong rebus, singkong goreng, getuk,
tiwul, gatot, dan kripik. Tape singkong adalah
produk olahan singkong dalam bentuk
fermentasi, selain itu singkong dapat
difermentasi menjadi nata. Produk nata dari
singkong belum banyak dikenal oleh
masyarakat di Indonesia, karena umumnya
bahan baku nata adalah air kelapa yang dikenal
dengan sebutan nata de coco.
Menurut SNI (Standar Nasional
Indonesia) tahun 1996 karakteristik nata yang
harus diperhatikan adalah aroma, rasa, warna,
dan tekstur yang normal serta kandungan
seratnya. Salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi karakteristik nata adalah lama
fermentasi.
METODOLOGI
Penelitian ini adalah penelitan
eksperimental. Tempat penelitian adalah
Laboratorium Kimia Universitas Katolik
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
30
Soegijapranoto Semarang dan Laboratorium
Teknologi Pangan Fakultas Ilmu Keperawatan
dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah
Semarang. Bahan utama dalam pembuatan nata
de cassava adalah singkong segar varietas kaliki
berumur ± 9-11 bulan yang diperoleh dari
petani di lapangan Graha Candi Golf Semarang
sedangkan starter nata diperoleh dari Balai
Besar Teknologi Pencegahan Pencemaran
Industri Jl. Ki Mangunsarkoro 6 Semarang.
Bahan kimia yang digunakan adalah gula pasir,
asam asetat, amnium sulfat, H2SO4, NaOH,
H2SO4, aquades, dan air mineral yang dibeli di
toko bahan kimia Indra Sari Jl. Stadion Selatan
15 Semarang.
Peralatan dalam pembuatan nata de
cassava meliputi baki fermentasi, kertas lakmus
untuk mengukur pH, timbangan, pisau, gelas
ukur, blender, panci, kompor, pengaduk,
saringan, kertas koran, karet gelang. Alat untuk
analisa kadar serat adalah neraca analitik, gelas
ukur, pengaduk, pipet volum, erlenmeyer,
pendingin balik, kertas saring, kertas lakmus,
spatula, desikator, kurs porselin. Alat untuk uji
organoleptik terdiri dari formulir uji
organoleptik, bolpoin, piring kecil, dan gelas.
Alat untuk menguji mutu fisik yaitu warna
adalah chromameter, alat menghitung rendemen
adalah timbangan sedangkan mengukur
ketebalan menggunakan jangka sorong.
Penelitian ini menggunakan Rancangan
Acak Lengkap monofaktor (RAL monofaktor),
dengan perlakuan sebanyak 5 (lima) perlakuan.
Variabel dependen adalah mutu fisik, kadar
serat, sifat organoleptik dan variabel
independen adalah lama fermentasi. Masing-
masing percobaan dilakukan ulangan sebanyak
4 kali. Diagram alir proses pembuatan produk
nata de cassava tersaji pada Gambar 1.
HASIL DAN PEMBAHASAN
a. Sifat Fisik
Ketebalan
Selama proses fermentasi berlangsung
ketebalan nata de cassava mengalami
peningkatan. Rata-rata hasil pengukuran
ketebalan nata de cassava tersaji pada Gambar
2. Gambar tersebut menjelaskan bahwa semakin
lama waktu fermentasi semakin tebal nata yang
dihasilkan. Ketebalan tertinggi terdapat pada
lama fermentasi hari ke 13 yaitu sebesar 1,37
cm.
Hasil analisis statistik menunjukkan
bahwa di peroleh p-value 0,001 < 0,05
sehingga dapat disimpulkan bahwa lama
fermentasi nata de cassava berpengaruh
terhadap ketebalan nata yang terbentuk. Hasil
uji lanjut menunjukkan bahwa lama fermentasi
hari ke-7 dan 9 tidak berbeda nyata sedangkan
perlakuan yang berbeda nyata adalah antara
lama fermentasi hari ke 5 dan ke-7, 5 dan 9, 5
dan 11, 5 dan 13, 7 dan 11, 7 dan 13, 9 dan 11,
9 dan 13, 11 dan 13.
Hal ini dikarenakan aktivitas bakteri
Acetobacter xylinum dalam mengasilkan
selulosa dipengaruhi lama fermentasi. Bakteri
Acetobacter xylinum membentuk lapisan nata
yang semakin tebal sampai pada hari ke-13 dan
bakteri Acetobacter xylinum masih mampu
beraktivitas untuk tumbuh dan membentuk
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
31
selulosa. Nata yang dipanen setelah hari ke-13
tidak akan terbentuk lapisan nata baru karena
aktivitas bakteri Acetobacter xylinum berhenti
akibat nutrisi yang habis di dalam media
fermentasi dan hasil metabolit berupa asam
asetat yang dapat mengganggu pertumbuhan
mikroba. Saccharomyces menguraikan gula
menjadi etanol lalu oleh Accetobacter xylinum
di rubah menjadi asam asetat, sehingga pH
medium menjadi lebih asam yaitu 3 dan aroma
juga menjadi asam.
Ashari (2007) menyatakan bahwa
bakteri Acetobacter xylinum dalam membentuk
nata di dalam media yang diperkaya karbon dan
nitrogen, penambahan asam asetat, sehingga
menstimulasi khamir S.Cerreviceae untuk
merombak sukrosa menjadi glukosa dan
kemudian difermentasi menjadi alkohol,
selanjutnya Accetobacter xylinum dan
Gluconobacter mengoksidasi alkohol menjadi
asam asetat sebagai metabolit utama.
Bakteri Accetobacter xylinum
menghasilkan enzim ekstraseluler yang dapat
menyusun (mempolimerisasi) zat gula (glukosa)
menjadi ribuan rantai (homopolimer) serat atau
selulosa. Dari jutaan jasad renik yang tumbuh
dalam media, akan dihasilkan jutaan lembar
benang-benang selulosa yang akhirnya nampak
padat berwarna putih hingga transparan, yang
disebut sebagai nata yang termasuk metabolit
sekunder (Nainggolan, 2009).
Pada fermentasi nata terjadi hubungan
saling membutuhkan antara khamir
S.Cerreviceae, Gluconobacer, dan Accetobacter
xylinum. Saccharomyces menguraikan gula
menjadi etanol lalu oleh Accetobacter xylinum
dan Gluconobacter di oksidasi menjadi asam
asetat dan air. Accetobacter xylinum
memerlukan waktu untuk fase adaptasi selama 1
hari , kemudian pertumbuhan meningkat (fase
logaritmik) sampai pada hari ke-5 dan ke-7
ditunjukkan dengan semakin tebal nata yang
terbentuk.
Nainggolan (2009) menyatakan bahwa
seiring dengan lama fermentasi pertumbuhan akan
menurun secara perlahan, karena berkurangnya
kadar gula dan timbulnya asam sebagai hasil
metabolit dari fermentasi tersebut. Ketebalan
paling baik terjadi pada lama fermentasi hari ke-
13, hal ini menggambarkan bahwa lama
fermentasi mempengaruhi aktivitas bakteri
Accetobacter xylinum dalam menghasilkan nata
de cassava.
Ketebalan nata de coco pada umumnya
adalah antara 1-1,5 cm sedangkan pada nata de
cassava 1,37 cm pada lama fermentasi hari ke-13
menunjukkan bahwa ketebalan nata de coco
dengan nata de cassava sama. Pada lama
fermentasi hari ke-5 sampai ke-11 ketebalan nata
de cassava belum mencapai 1 cm, hal ini
dipengaruhi oleh variasi substrat, komposisi
bahan, kondisi lingkungan, dan kemampuan
Accetobacter xylinum dalam menghasilkan
selulosa.
Rendemen
Rendemen nata de cassava ditentukan
berdasarkan perbandingan antara bobot nata
dengan bobot medium. Rata-rata rendemen nata
cassava tersaji pada Gambar 3. Gambar 3
menjelaskan bahwa rendemen nata de cassava
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
32
pada lama fermentasi hari ke-5 sampai dengan
hari ke-13 mengalami peningkatan. Rendemen
nata de cassava tertinggi adalah 59,09% pada
lama fermentasi hari ke-13.
Hasil analisis statistik menunjukkan
bahwa diperoleh p-value 0,002 < 0,05 sehingga
dapat disimpulkan bahwa lama fermentasi nata
de cassava berpengaruh terhadap rendemen
nata yang terbentuk. Hasil uji lanjut
menunjukkan bahwa lama fermentasi hari ke-5
dan ke-7, ke-7 dan ke-9 tidak berbeda nyata
sedangkan perlakuan yang berbeda nyata adalah
lama fermentasi ke-5 dan 9, 5 dan 11, 5 dan 13,
7 dan 11, 7 dan 13, 9 dan 11, 9 dan 13, 11 dan
13.
Semakin lama waktu fermentasi maka
nata yang terbentuk semakin berat, sehingga
rendemen nata juga meningkat. Lama
fermentasi yang berbeda dihasilkan kadar
selulosa yang berbeda, lama fermentasi hari ke-
13 semakin tinggi kadar selulosa nata, sehingga
nata de cassava semakin berat dan rendemen
meningkat. Rendemen dipengaruhi oleh variasi
substrat, komposisi bahan, kondisi lingkungan,
dan kemampuan Accetobacter xylinum dalam
menghasilkan selulosa.
Warna
Warna nata de cassava diukur
menggunakan chromameter dengan satuan
L*a*b. L merupakan tingkat kecerahan,
semakin tinggi nilai L maka warna semakin
cerah dan semakin rendah nilai L warna
semakin gelap. Gambar 4 menunjukkan selama
proses fermentasi nilai kecerahan (L) nata de
cassava semakin menurun.
Pada Gambar 4 dapat diketahui bahwa
hasil pengukuran warna nata de cassava pada
lama fermentasi hari ke 5 sampai dengan hari ke
13 mengalami penurunan. Kecerahan nata de
cassava tertinggi adalah 64,70 pada lama
fermentasi hari ke 5, sedangkan kecerahan
terendah nata de cassava adalah 56,13 pada
lama fementasi hari ke 13.
Hasil uji statistik anova dengan
menggunakan α 0,05 diperoleh data taraf
signifikan p-value 0,002 < 0,01 sehingga dapat
disimpulkan bahwa lama fermentasi nata de
cassava berpengaruh sangat nyata terhadap
warna nata yang terbentuk. Hasil uji lanjut
menunjukkan bahwa lama fermentasi hari ke-5
dan ke-13 berbeda nyata sedangkan perlakuan
yang berbeda nyata adalah lama fermentasi ke-5
dan 7, 5 dan 9, 5 dan 11, 7 dan 9, 7 dan 11, 7
dan 13, 9 dan 11, 9 dan 13, 11 dan 13. Hal ini
dikarenakan warna dipengaruhi oleh tebal nata,
semakin tebal nata maka warna yang dihasilkan
semakin gelap (keruh), sebaliknya semakin tipis
nata, warna yang dihasilkan semakin terang
(putih).
Menurut Susanti (2006) ketebalan nata
dipengaruhi oleh jumlah intensitas cahaya. Nata
yang tebal, intensitas cahaya yang masuk dan
diserap semakin banyak sehingga semakin
gelap (keruh), sebaliknya pada nata yang tipis,
intensitas cahaya yang masuk dan diserap
semakin sedikit sehingga warna semakin terang
(putih). Pada nata yang tebal pembentukan
jaringan selulosa semakin banyak dan rapat.
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
33
Warna nata de coco adalah putih susu
tetapi pada nata de cassava putih agak keruh.
Warna nata de cassava dapat diperbaiki dengan
mempercepat lama fermentasi, karena lama
fermentasi yang semakin lama warna nata akan
menjadi lebih gelap yaitu dengan memodifikasi
bahan yang digunakan dalam pembuatan nata
de cassava.
b. Kadar Serat
Jenis serat pada nata de cassava adalah
serat kasar. Serat kasar merupakan hasil
perombakan gula pada medium fermentasi oleh
aktivitas A. xylinum (Anastasia, 2008).
Lama fermentasi nata menyebabkan
bakteri Acetobacter xylinum bekerja pada
perlakuan perbedaan jumlah nutrisi yang
mencukupi kebutuhannya. Pada kondisi yang
jumlah mutrisi mencukupi kebutuhannya
selulosa yang terbentuk dalam jumlah besar dan
pada kondisi yang jumlah nutrisi tidak
mencukupi kebutuhannya pertumbuhan bakteri
Acetobacter xylinum terhambat akibatnya
dihasilkan selulosa dalam jumlah kecil. Karena
selulosa yang terbentuk berbeda sehingga
menyebabkan perbedaan pada berat nata yang
dihasilkan. Hasil rata-rata kadar serat per 100 g
nata tersaji pada Gambar 5.
Gambar 5 dapat diketahui bahwa nilai
rata-rata kadar serat tertinggi terdapat pada
produk nata de cassava dengan lama fermentasi
hari ke-7 yaitu sebesar 94,31 mg. Hasil uji
statistik anova dengan menggunakan α 0,05
diperoleh data taraf signifikan p-value 0,543 >
0,05 sehingga dapat lama fermentasi nata de
cassava tidak berpengaruh terhadap kadar serat
nata yang terbentuk. Hal ini disebabkan karena
pada lama fermentasi hari ke 7 bakteri
Acetobacter xylinum dalam fase eksponensial
karena bakteri Accetobacter xylinum
mengeluarkan enzim ekstraseluler polimerase
sebanyak banyaknya untuk menyusun polimer
glukosa menjadi selulosa sehingga matrik nata
lebih banyak diproduksi pada fase ini.
Pada lama fermentasi ke-9 dan 11
mengalami penurunan karena bakteri
Accetobacter xylinum dalam fase pertumbuhan
lambat karena ketersediaan nutrisi telah
berkurang dan terdapat terdapatnya metabolik
yang bersifat toksit yang dapat menghambat
pertumbuhan bakteri dan umur sel telah tua. Lama
fermentasi ke-13 meningkat karena matrik nata
lebih banyak diproduksi pada fase ini.
c. Sifat Organoleptik
Uji organoleptik dilakukan dengan
menggunakan uji skoring dengan kriteria
semakin tinggi angka maka mutunya semakin
baik. Aspek yang dinilai meliputi tingkat
kesukaan terhadap tekstur, rasa dan aroma,
dimana panelis dimintai tanggapan pribadinya
tentang kesukaan atas suatu produk menurut
tingkatan-tingkatan tertentu. Panelis yang
digunakan adalah panelis semi terlatih sebanyak
15 orang dari mahasiswa Teknologi Pangan.
Tesktur
Tekstur yang baik untuk nata de cassava
adalah kenyal dan tidak keras. Hasil rata-rata
penilaian panelis tersaji pada Gambar 6. Pada
gambar tersebut dapat diketahui bahwa nilai
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
34
rata-rata tekstur tertinggi terdapat pada produk
nata de cassava dengan lama fermentasi hari
ke-5 yaitu sebesar 3,23 dengan kriteri nilai yaitu
kenyal.
Hasil uji statistik Friedman dengan
menggunakan α 0,05 diperoleh data taraf
signifikan p-value 0,926 > 0,05 sehingga dapat
disimpulkan lama fermentasi nata de cassava
tidak berpengaruh terhadap tekstur nata de
cassava. Panelis lebih menyukai nata de
cassava dengan tekstur kenyal yang diperoleh
dari nata de cassava sampai hari ke-5, hal ini
disebabkan selulosa yang terbentuk oleh bakteri
Acetobacter xylinum belum terlalu keras
sehingga tekstur menjadi kenyal. Semakin lama
fermentasi tekstur nata semakin lembek karena
lapisan nata yang terbentuk semakin tebal.
Rasa
Rasa yang baik untuk nata de cassava
adalah enak dengan ditambahkan larutan gula
10%. Hasil rata-rata penilaian panelis terhadap
rasa tersaji pada Gambar 7. Berdasarkan
gambar tersebut dapat diketahui bahwa nilai
rata-rata rasa tertinggi terdapat pada lama
fermentasi hari ke-13 sebesar 3,23 yaitu enak,
sedangkan nilai terendah terdapat pada lama
fermentasi hari ke-7 sebesar 2,47.
Hasil uji statistik Friedman dengan
menggunakan α 0,05 diperoleh data taraf
signifikan p-value 0,016 < 0,05 sehingga dapat
disimpulkan bahwa perbedaan lama fermentasi
nata de cassava berpengaruh terhadap rasa nata
de cassava. Uji lanjut wilcoxon menunjukkan
bahwa lama fermentasi hari ke-7 berbeda nyata
dengan lama fermentasi hari ke-5 dan lama
fermentasi hari ke-13 berbeda nyata dengan
lama fermentasi hari ke-7.
Hasil penelitian dapat disimpulkan
bahwa panelis lebih menyukai nata de cassava
dengan rasa enak karena perbedaan lama
fermentasi menghasilkan citarasa nata enak
yang relatif sama, selain itu pada saat pengujian
organoleptik nata de cassava disajikan
menggunakan larutan gula sebesar 10%,
sehingga nata berasa manis dan enak.
Aroma
Aroma yang baik untuk nata de cassava
adalah tidak asam. Hasil rata-rata penilaian
panelis terhadap aroma tersaji pada Gambar 8.
Berdasarkan Gambar 8 dapat diketahui bahwa
nilai rata-rata aroma tertinggi terdapat pada
lama fermentasi hari ke-11 sebesar 3,13,
sedangkan nilai terendah terdapat pada lama
fermentasi hari ke-9 sebesar 2,67.
Hasil uji statistik Friedman dengan
menggunakan α 0,05 diperoleh data taraf
signifikan p-value 0,901 > 0,05 sehingga dapat
disimpulkan bahwa perbedaan lama fermentasi
nata de cassava tidak berpengaruh terhadap
aroma nata de cassava. Panelis lebih menyukai
nata de cassava dengan aroma tidak asam
karena pada saat dipanen, nata de cassava
dicuci lalu direbus selama 10 menit pada suhu
100°C sehingga aroma asam pada nata de
cassava hilang pada saat pencucian dan
perebusan.
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
35
KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang dilakukan
dapat disimpulkan bahwa singkong dapat
digunakan sebagai bahan baku pembuatan nata.
Produk nata de cassava terbaik dihasilkan pada
konsentrasi sari singkong sebesar 25% dengan
optimum lama fermentasi hari ke-13, dengan
ketebalan tertinggi yaitu sebesar 1,37 cm,
rendemen 59,09%, tingkat kecerahan yang
keruh (gelap) sebesar 56, 13 kadar serat 93,4
mg dan tingkat kesukaan panelis terhadap
tekstur, rasa, aroma dan warna adalah masih
dalam batas diterima secara organoleptik oleh
panelis. Untuk mempersingkat waktu
fermentasi dapat dimodifikasi lagi jumlah
komposisi bahan seperti sari singkong, urea,
gula dan asam asetat sehingga dapat dihasilkan
nata de cassava yang baik sebagai penelitian
lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA
Anastasia, N., dan Eddy A. 2008. Mutu Nata DeSeaweed Dalam Berbagai KonsentrasiSari Jeruk Nipis. Prosiding SeminarNasional Sains dan Teknologi-II 2008Universitas Lampung, 17-18 November2008.
BPS. 2008. Produksi Umbi Ubi Kayu.
Lazuardi. 1994. Studi Pembuatan Nata De CocoDari Tiga Jenis Air Kelapa Dengan TigaJenis Gula Terhadap Produksi Nata DeCoco. Tesisi Sarjana Biologi, UniversitasAndalas Padang.
Luwiyanti, H. 2001. Pengaruh PenggunaanSumber Nitrogen Pada Medium FiltratKulit Buah Pisang Kepok Terhadap Berat,Tebal, dan Sifat Organoleptik Nata.
(Skripsi) Semarang : Program S1Teknologi Hasil Pertanian FakultasTeknologi Pertanian UniversitasSemarang.
Mahmud, dkk., 2009. Tabel Komposisi PanganIndonesia. Jakarta : PT Elex MediaKomputindo.
Nadiyah, Krisdianto, dan Aulia. 2005.Kemampuan Bakteri Acetobacter xylinumMengubah Karbohidrat Pada LimbahPadi (Bekatul) Menjadi Selulosa.Bioscientiae,Vol. 2, No. 2, Hal. 37 - 47.Diakses darihttp://bioscientiae.tripod.com.
Nainggolan, J. 2009. Kajian pertumbuhanBakteri Accetobacter sp. DalamKombucha-Rosela Merah (Hibiscussabdariffa) pada Kadar Gula dan LamaFermentasi yang Berbeda. (Tesis). Medan: Universitas Sumatera Utara.
Setyawati, R. 2009. Kualitas Nata De CassavaLimbah Cair Tapioka DenganPenambahan Gula Aren Dan LamaFermentasi Yang Berbeda. (Skripsi).Surakarta. Universitas MuhammadiyahSurakarta.
SNI 01- 4317- 1996. Nata dalam Kemasan.Jakarta : Departemen Perindustrian.
Soekarto. 1990. Penilaian Organoleptik UntukIndustri Pangan dan HasilPertanian.Jakarta: Bhatara Aksara.
Sumiyati. 2009. Kualitas nata de cassavalimbah cair tapioka Dengan penambahangula pasir dan lama Fermentasi yangberbeda. (Skripsi). Surakarta. UniversitasMuhammadiyah Surakarta.
Susanti, L. 2006. Perbedaan Penggunaan JenisKulit Pisang Terhadap Kualitas Nata.(Skripsi). Semarang. Universitas NegeriSemarang.
Warisno. 2004. Mudah dan Praktis MembuatNata de Coco. Jakarta : ArgomediaPustaka.
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
36
Winarno. F. G, dkk. 1992. Pengantar TeknologiPangan. Jakarta : PT. Gramedia
Gula 3% dan amonium sulfat 6%dari volume total media
dari bahan yang digunakan
Gambar 1 Diagram alir proses pembuatan nata de cassava
Pemarutan
Penyaringan(sari singkong)
Perebusan70-80°C,10 menit
PendinginanSuhu ruang
Pemeraman
Pencucian
Starter 10%Dari total volume bahan
Asam asetatsampai pH 4
ampas singkong
Nata de cassava siap uji
Pengendapan Pati
Singkong 250 g
Pengenceran
Perendaman 2 hari
Perebusan
Air 1 l
Pemanenan
Sisa media fermentasi
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
37
0
0.5
1
1.5
5 7
0.28 0.35
Kete
bala
n ( c
m )
Lama Fermentasi (hari)
Gambar 2. Ketebalan nata de cassava berdasarkan lama fermentasi
Gambar 3. Rendemen nata de cassava berdasarkan lama fermentasi
Gambar 4. Kecerahan nata de cassava berdasarkan lama fermentasi
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
37
7 9 11 13
0.350.41
0.57
1.37
Lama Fermentasi (hari)
Gambar 2. Ketebalan nata de cassava berdasarkan lama fermentasi
Gambar 3. Rendemen nata de cassava berdasarkan lama fermentasi
Gambar 4. Kecerahan nata de cassava berdasarkan lama fermentasi
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
37
Gambar 2. Ketebalan nata de cassava berdasarkan lama fermentasi
Gambar 3. Rendemen nata de cassava berdasarkan lama fermentasi
Gambar 4. Kecerahan nata de cassava berdasarkan lama fermentasi
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
38
2.6
2.8
3
3.2
3.4
5 7
3.23
Peni
laia
n pa
nelis
terh
adap
teks
tur
Lama Fermentasi (hari)
0
2
4
5
3.2
Peni
laia
n pa
nelis
terh
adap
rasa
2.42.62.8
33.2
5
2.93
Peni
laia
n pa
nelis
terh
adap
aro
ma
Lama Fermentasi (hari)
Gambar 5. Kadar Serat nata de cassava berdasarkan lama fermentasi
Gambar 6 Rata-rata penilaian panelis terhadap tekstur nata de cassava
Gambar 7. Rata-rata penilaian panelis terhadap rasa nata de cassava
Gambar 8. Rata-rata penilaian panelis terhadap aroma nata de cassava
909192939495
5 7
93.03
94.31
Kada
r ser
at (m
g/10
0gna
ta)
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
38
7 9 11 13
3 3.07 3
2.87
Lama Fermentasi (hari)
5 7 9 11 13
3.2 2.47 2.8 3 3.23
Lama Fermentasi (hari)
7 9 11 13
3
2.67
3.13 3.07
Lama Fermentasi (hari)
Gambar 5. Kadar Serat nata de cassava berdasarkan lama fermentasi
Gambar 6 Rata-rata penilaian panelis terhadap tekstur nata de cassava
Gambar 7. Rata-rata penilaian panelis terhadap rasa nata de cassava
Gambar 8. Rata-rata penilaian panelis terhadap aroma nata de cassava
7 9 11 13
94.31
92.2691.76
93.4
Lama Fermentasi (Hari)
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
38
Gambar 5. Kadar Serat nata de cassava berdasarkan lama fermentasi
Gambar 6 Rata-rata penilaian panelis terhadap tekstur nata de cassava
Gambar 7. Rata-rata penilaian panelis terhadap rasa nata de cassava
Gambar 8. Rata-rata penilaian panelis terhadap aroma nata de cassava
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
39
TOTAL ASAM, TOTAL YEAST, DAN PROFIL PROTEIN KEFIR SUSUKAMBING DENGAN PENAMBAHAN JENIS DAN KONSENTRASI GULA
YANG BERBEDA
Total Acid, Total Yeast, Protein and Profile Kefir Goat Milk, With Addition Type andConcentration of Sugar in Different Level
Amanda Liana Aristya, Anang. M. Legowo, dan Ahmad N. Al-Baarri
Magister Ilmu Ternak Program PascasarjanaUniversitas Diponegoro Semarang
Email Korespondensi: [email protected]
Abstract
Research goat milk kefir with the addition of the type and concentration of sugar in differentlevel have been conducted in order to analyze the effect and interaction of the two treatments on totalacid, total yeast and protein profile of goat milk kefir. The experimental design was used the completelyrandomized design (CRD) factorial pattern consisting of 2 (two) factors, the first factor (A) is a type ofsugar consists of 3 (three) types of treatment (white sugar, brown sugar and D-Psicose) and The secondfactor (B) is the concentration of sugar consists of 3 (three) standard treatment (4%, 6%, and 8%), eachtreatment performed repetitions for 3 (three) times. Data results of total acid and total yeast wereanalyzed using analysis of variance to determine the effect and treatment interaction, while data fromthe protein profiles was used descriptive analysis. If there is a significant effect of treatment, therefore,continued by Duncan's test Dual region to determine differences among treatments. The results showedthat the treatment of sugar (granulated sugar, brown sugar, and D-Psicose), concentration (4%, 6%,and 8%) and the interaction between the two treatments has the affect significantly (p <0.05) to totalacid and total goat milk kefir yeast. Types of proteins and the molecular weight of goat milk kefir withthe addition of different types and concentrations of the lactoferrin (80kDa), Laktoferoksidase (70kDa),α-Casein (65kDa), and β-casein (45kDa).
Key words: Kefir, Goat Milk, Sugar
PENDAHULUAN
Susu kambing memiliki prospek yang
sangat baik untuk dikembangkan sebagai
minuman kesehatan. Susu kambing memiliki
karakteristik warna lebih putih, globula lemak
susunya relatif kecil sehingga lebih mudah
dicerna, dan mengandung mineral seperti
kalsium, fosfor, vitamin A, E, dan B kompleks
yang tinggi. Komposisi rata-rata susu kambing
adalah air 87,0%, lemak 4,25%, laktosa 4,27%,
protein 3,52%, abu 0,86% dan total bahan padat
13,0% (Blakely dan Bade, 1991).
Pengembangan produk susu kambing salah
satunya dengan mengolahnya menjadi kefir
susu kambing.
Kefir adalah susu yang difermentasi
oleh sejumlah mikroba, yaitu bakteri penghasil
asam laktat (BAL), bakteri penghasil asam
asetat, dan khamir. Kefir dibuat melalui proses
fermentasi menggunakan mikroba bakteria dan
yeast (Winarno dan Ivone, 2007). Kefir
mempunyai efek yang baik untuk kesehatan,
seperti mengontrol metabolisme kolesterol,
sebagai probiotik, antitumor bagi hewan,
antibakteri, antijamur, dan lain-lain (Farnworth,
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
40
2003). Kefir mengandung 0,65-1,33 g/l CO2,
3,16-3,18% protein, 3,07-3,17% lemak, 1,8-
3,8% laktosa 0,5 - 1,5% etanol dan 0,7-1,0%
asam laktat (Ide, 2008).
Pada saat ini di Jepang telah banyak
dilakukan beberapa penelitian tentang rare
sugar, dimana rare sugar diartikan sebagai gula
langka jenis monosakarida dan derivatnya yang
jarang ada di alam seperti D-Psicose, D-Allose
dan D-Tagatose. Rare sugar mempunyai sifat
fungsional untuk diaplikasikan pada dunia
kesehatan dan industri pangan karena
mengandung zero kalori. Salah satu jenis rare
sugar yang digunakan dalam penelitian ini
adalah D-Psicose. D-Psicose merupakan
monosakarida yang digunakan sebagai pemanis
non-kalori yang telah terbukti menurunkan
kadar glukosa dalam darah (Matsuo et al.
2002). Penambahan rare sugar maupun gula
konvensional dalam proses pengolahan kefir
susu kambing dapat dapat akan menyebabkan
terjadinya reaksi maillard yang diawali dengan
proses glikasi. Menurut Sun et al. (2006a)
glikasi merupakan reaksi yang terjadi antara
gugus amino dari protein susu dengan gugus
karbonil dari gula pereduksi yang terbentuk
selama pemanasan. Reaksi glikasi
menghasilkan suatu senyawa antioksidan dan
berperan dalam pembentukan warna serta
flavor.
Penelitian mengenai rare sugar dalam
susu fermentasi belum pernah dilakukan,
sehingga perlu dilakukan uji karakteristik fisik
(total asam), mikrobiologis (total yeast) dan
kimia (profil protein) pada susu fermentasi yang
dihasilkan. Sebagai perbandingannya digunakan
gula pasir dan gula aren yang biasa digunakan
dalam kehidupan sehari-hari. Penelitian ini
diharapkan dengan adanya penambahan jenis
dan konsentrasi gula yang berbeda dapat
meningkatkan kualitas kefir susu kambing.
Tujuan penelitian ini untuk menganalisis
pengaruh dan interaksi antara penambahan jenis
dan konsentrasi pemberian gula terhadap total
asam, total yeast, dan profil protein kefir susu
kambing.
METODOLOGI
Materi Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian
ini terdiri dari susu kambing yang diperoleh dari
daerah Ungaran, susu Ultra High Temperature
(UHT) Ultra Milk, medium de Man Ragosa and
Shape (MRS) Broth yang diperoleh dari
Laboratorium Fisiologi dan Biokimia Fakultas
Peternakan, kultur starter Lactobacillus
acidophilus FNCC 0051 diperoleh dari Pusat
Antar Universitas (PAU) UGM, Saccharomyces
cerevisiae yang diperoleh dari UNIKA
Soegijapranata, Semarang, gula pasir, gula aren,
rare sugar D-Psicose, alkohol 95%, spirtus,
NaOH 0,1 N, larutan standar Asam Oksalat,
indikator PP 1%, HCl, Ammonium persulfat,
temed, SDS, glicine, bhromophenol blau,
glycerol, Acrylamide-Bis Acrylamide,
Comassie blue, SDS 10%, SDS 1%,
mercapthoetanol, larutan phosphat buffer pH
7.0, agar, MEA, antibiotik, CaCO3, alumunium
foil, kapas, kasa,dan aquades.
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
41
Prosedur pembuatan kultur starter
Tahap pembuatan starter kultur
dilakukan dalam 2 tahap, yaitu pembuatan
starter induk (mother starter) dan dilanjutkan
dengan pembuatan starter kerja (bulk starter).
Selanjutnya akan dilakukan pembuatan kefir
susu kambing dengan menggunakan L.
acidophilus dan S. cerevisiae pada saat
populasinya + 106-108 cfu/ml (Renoaji, 2007).
Pembuatan starter induk (mother starter)
L. acidophilus dimulai dengan pengenceran
MRS Broth sebanyak 5,2 g dengan 100 ml
aquades, kemudian dimasukkan ke dalam
tabung reaksi sebanyak 10 ml. Setelah itu
disterilkan dengan suhu 121°C selama 15 menit.
Kemudian dilakukan inokulasi dari isolat
bakteri sebanyak 2-3 ose dimasukkan ke dalam
tabung reaksi berisi MRS. Setelah itu dilakukan
inkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam.
Setelah selesai tabung reaksi berisi bakteri
dimasukkan dalam lemari pendingin bersuhu 8-
10°C.
Pembuatan starter induk (mother starter)
S. cerevisiae dimulai dengan pembuatan
medium Pepton Glucose Yeast Extract (PGY).
Dengan komposisi : pepton 7,5 gram, glukosa
20 gram, ekstrak yeast 4,5 gram, dan aquadest 1
liter. Kemudian medium dimasukkan ke dalam
tabung reaksi sebanyak 10 ml. Setelah itu
disterilkan dengan suhu 121°C selama 15 menit.
Kemudian dilakukan inokulasi dari isolat
bakteri sebanyak 2-3 ose dimasukkan ke dalam
tabung reaksi berisi medium PGY. Setelah itu
dilakukan inkubasi pada suhu 35°C selama 24
jam. Setelah selesai tabung reaksi berisi bakteri
dimasukkan dalam lemari pendingin bersuhu 8-
10°C. P
pembuatan bulk starter L. acidophilus
dan S. cerevisiae dimulai dengan menyiapkan
susu UHT kemasan. Kemudian dilakukan
sterilisasi susu UHT cair dengan autoklaf pada
suhu 121°C selama 15 menit. Setelah itu susu
skim cair didinginkan dengan cepat sampai
suhu 45°C. Selanjutnya diinokulasikan mother
starter sebanyak 10% dari volume susu. Susu
yang telah diinokulasikan kemudian diinkubasi
pada suhu 38°C untuk L. acidophilus dan S.
cerevisiae selama 9 jam. Setelah selesai, bulk
starter dimasukkan dalam lemari pendingin
bersuhu 8-10°C dan siap dijadikan starter kerja
saat populasinya + 106-108 cfu/ml untuk L.
acidophilus maupun S. cerevisiae. Tujuan
pembuatan bulk starter adalah sebagai
persediaan starter, untuk membuat volume
starter yang lebih banyak dan agar lebih efisien.
Prosedur pembuatan kefir
Proses pembuatan kefir susu kambing
diawali dengan mengukur susu kambing
menjadi 3 bagian sebanyak 200 ml ditambahkan
masing-masing jenis gula yang berbeda yaitu
gula pasir, gula aren, dan D-Psicose sebanyak
4% dan 6% kemudian dipasteurisasi. Setelah itu
susu kambing tersebut ditambahkan kultur
starter sebanyak 5% (3,5% BAL dan 1,5%
yeast), kemudian difermentasi selama 24 jam
pada suhu 39 0C hingga terbentuk kefir bening
dan terpisah dari padatannya (granula). Setiap 4
jam selama 24 jam diakukan analisis total asam
dan pH sehingga diperoleh waktu inkubasi
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
42
selama 24 jam dimana proses fermentasi
dihentikan karena salah satu sampel telah
mencapai total asam 0,8%.
Pengujian total asam
Pengujian total asam dinyatakan
sebagai total asam. Keasaman diukur dengan
metode titrasi yang dinyatakan sebagai
persentase asam laktat (Devide,1977). Sampel
sebanyak 10 ml ditambahkan dengan 2-3 tetes
indikator fenolftalein, kemudian dititrasi dengan
larutan NaOH 0,1 N sampai berwarna merah
muda dan stabil, sesuai dengan larutan standar.
Keasaman titrasi dihitung dengan rumus :
Total Asam (%) = (ax0,009x100/b) ........................................................... (1)
Keterangan :
a = ml NaOH 0,1 N x N NaOH 0,1 N
b = berat sampel(g)
Profil protein
Menyiapkan seperangkat alat
elektroforesis protein kemudian membersihkan
plate kaca dengan methanol, lalu pasang klem
pada stand. Menyiapkan gradien gel 10% (10
ml gradien gel 10% + 6 µl temed + 50 µl APS),
di masukkan ke dalam plate yang telah
dipersiapkan, bagian atas ditutup dengan
butanol lalu dibiarkan + 30 menit hingga terjadi
polimerisasi gel. Butanol dibuang dan
dibersihkan dengan aquades hingga bersih lalu
pasang sisir untuk membuat sumuran.
Masukkan stacking gel yang telah disiapkan ( 5
ml stacking gel 3% + 3 µl temed + 25 µl APS)
di atas gel 10% kemudian biarkan + 30 menit.
Sisir yang terpasang lalu diangkat, kemudian
gel tersebut dimasukkan ke dalam tangki
elektroforesis yang telah berisi buffer elektroda.
Masukkan sample yang telah dipersiapkan (
Sampel : sampel buffer = 1 : 4) ke dalam
sumuran + 25 µl. Hubungkan elektroforesis
dengan power suplay pada 125 Volt/jam.
Setelah elektroforesis selesai gel diambil dan
ditempatkan dalam cawan yang telah berisi
larutan pewarna Coomassie Blue 0,1%. Gel
dicuci atau di destaining dengan larutan yang
terdiri dari Metanol : Asam asetat : H2O = 50 :
10 : 40 (Laemmli, 1970).
Pengujian total Yeast
Pencawanan dilakukan dengan
menggunakan media biakan MEA sebanyak 48
g ke dalam 1000 ml aquades, kemudian larutan
MEA tersebut dipanaskan hingga mendidih
dilanjutkan sterilisasai. Pencawanan dilakukan
dengan memipet 1 ml sampel hasil pengenceran
ke dalam cawan petri, pencawanan dilakukan
secara duplo dari pengenceran 10-4-10-6.
Kemudian dilakukan penghitungan yeast
menggunakan colony counter (Fardiaz, 1993)
setelah inkubasi 48 jam.
Analisis data
Data yang diperoleh dari hasil pengujian
total asam dan total yeast dianalisis
menggunakan analisis ragam (ANOVA)
menggunakan program SAS 6.12 for Windows,
dengan taraf signifikansi 5%. Apabila ada
pengaruh nyata dari perlakuan maka dilanjutkan
dengan uji Wilayah Ganda Duncan untuk
mengetahui perbedaan antar perlakuan. Data
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
43
hasil pengujian profil protein dianalisis secara
deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Total Asam
Uji keasaman dilakukan untuk
mengetahui tingkat keasaman pada kefir susu
kambing karena adanya aktivitas mikroba
penghasil asam yang mengubah karbohidrat
(laktosa) menjadi asam laktat. Hasil penelitian
penambahan jenis dan konsentrasi gula yang
berbeda terhadap total asam (%) kefir susu
kambing disajikan dalam Tabel 1. Rerata
kandungan total asam yang dihasilkan dari
berbagai perlakuan jenis dan konsentrasi gula
yang berbeda berkisar antara 0,38 sampai 0,91
%. Berdasarkan hasil analisis ragam
menunjukkan bahwa masing-masing perlakuan
jenis dan konsentrasi penambahan gula serta
interaksi antara kedua perlakuan berpengaruh
nyata (p<0,05) terhadap total asam kefir susu
kambing.
Tabel 1 menunjukkan bahwa
penambahan jenis gula dan konsentrasi yang
berbeda secara bersama-sama dapat
meningkatkan total asam kefir susu kambing.
Kefir susu kambing dengan penambahan gula
aren dengan konsentrasi 8% dapat
menghasilkan kandungan total asam yang ideal
yaitu sebesar 0,89%. Menurut Ide (2008), kefir
memiliki nilai keasaman berkisar 0,85% hingga
1%. Peningkatan total asam kefir susu kambing
disebabkan adanya aktivitas BAL (L.
acidophilus) dan yeast (S. cerevisiae) yang
saling menguntungkan. Selama proses
fermentasi berlangsung L. acidophilus
memanfaatkan laktosa menjadi asam laktat,
yang kemudian dimanfaatkan S. cerevisiae
untuk menghasilkan etanol, gas CO2 dan
senyawa yang dapat menstimulir pertumbuhan
bakteri asam laktat.
Surono (2004) mengemukakan bahwa
bakteri asam laktat dan khamir bekerja secara
mutualisme yaitu saling menguntungkan,
dimana asam laktat yang dihasilkan bakteri
asam laktat yang dapat menghambat
pertumbuhan bakteri asam laktat lebih lanjut,
yang akan dimanfaatkan oleh khamir, dan H2O2
yang dihasilkan bakteri asam laktat akan
disingkirkan oleh katalase yang dihasilkan oleh
khamir. Selanjutnya khamir akan menghasilkan
senyawa yang menstimulir pertumbuhan bakteri
asam laktat.
Total Yeast
Hasil pengamatan total yeast pada kefir
susu kambing dengan jenis dan konsentrasi gula
yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 2.
Berdasarkan analisis ragam menunjukkan
bahwa perlakuan jenis dan konsentrasi
penambahan gula serta interaksi antara kedua
perlakuan berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap
total yeast kefir susu kambing. Rata-rata total
yeast berkisar antara 3,742 log CFU/ml sampai
7,816 log CFU/m
Hasil Tabel 2. menunjukkan jenis gula
aren dengan bertambahnya konsentrasi 4%
hingga 8% secara bersamaan dapat
meningkatkan jumlah total yeast, sedangkan
jumlah total yeast semakin menurun pada jenis
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
44
gula D-Psicose seiring dengan bertambahnya
konsentrasi 4% hingga 8%. Hal ini disebabkan
karena yeast S. cerevisiae memiliki karakteristik
lebih mudah mencerna sukrosa. Jenis gula pasir
dan gula aren yang sebagian besar mengandung
sukrosa menyebabkan pertumbuhan S.
cerevisiae lebih cepat meningkat dibandingkan
dengan gula D-Psicose. S. cereviseae juga
pengguna gula sederhana dan bukan pengguna
laktosa, sehingga S. cereviseae akan
menggunakan glukosa hasil pemecahan laktosa
oleh L. acidophilus. Hal ini sesuai dengan
pendapat Kwak (1996) bahwa contoh yeast
bukan pemfermentasi laktosa adalah S.
cereviseae.
Profil Protein
Metode analisis elektroforesis protein
merupakan metode analisis yang memisahkan
molekul protein berdasarkan berat molekulnya
(Bolag dan Edelstein, 1991). Hasil penelitian
terhadap profil protein kefir susu kambing
dengan perlakuan jenis gula (gula pasir, gula
aren, D-Psicose) dan konsentrasi penambahan
gula (4%, 6%, 8%) dengan metode SDS-PAGE
dapat dilihat pada Ilustrasi 1.
Protein dengan berat molekul yang lebih
besar akan tertahan diatas, sedangkan protein
dengan berat molekul yang lebih kecil akan
berada dibawah. Kandungan jenis dan berat
molekul protein yang dihasilkan setiap sampel
berbeda-beda dengan ditandai perbedaan warna
ketebalan pita atau band profil protein yang
terbentuk. Konsentrasi berat molekul protein
yang rendah akan menyebabkan pita atau band
profil protein yang terbentuk tidak terlalu tebal,
sebaliknya konsentrasi berat molekul protein
yang tinggi menyebabkan pita atau band profil
protein yang terbentuk tebal.
Albert et al., (2002) menjelaskan bahwa
ketebalan pita atau band protein menunjukkan
konsentrasi protein tersebut, dimana protein
dengan intensitas yang lebih tebal memiliki
konsentrasi yang lebih tinggi. Hal ini dapat
dilihat dari ilustrasi 1. , dimana jenis gula pasir
dengan bertambahnya konsentrasi 4% hingga
8% secara bersamaan meningkatkan ketebalan
pita atau band profil protein, begitupula pada
jenis gula aren dan gula D-Psicose.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
berat molekul protein pada kefir susu kambing
berkisar 80 kDa hingga 25 kDa. Jenis protein
yang terkandung di dalam kefir susu kambing
yaitu Laktoferin (80kDa), Laktoferoksidase
(70kDa), - Kasein (65kDa), dan β-Kasein
(45kDa). Rasio berbandingan protein susu
kambing antara kasein dan whey sebesar 80%
dan 20% (Miranda et al.,2004). Protein yang
terkandung dalam susu kambing adalah -
Kasein, β-Kasein, - Kasein, β-Laktoglobulin,
- Laktalbumin, dan laktoferin (Tay and Gam,
2011).
Sampel kefir susu kambing tanpa
penambahan gula menghasilkan band profil
protein yang lebih sedikit dibandingkan dengan
band profil protein whey dan kefir susu
kambing dengan penambahan gula pasir, gula
aren dan gula D-Psicose. Jenis protein
Laktoferin (80kDa) dan Laktoferoksidase
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
45
(70kDa) tidak terlihat pada kefir susu kambing
dengan penambahan gula aren pada konsentrasi
4%, 6% dan 8%, dan konsentrasi berat molekul
protein α-Kasein (65kDa) lebih sedikit
dibandingkan dengan kefir susu kambing
dengan penambahan gula pasir maupun gula D-
Psicose. Kefir susu kambing dengan
penambahan gula D-Psicose dapat
menghasilkan konsentrasi berat molekul protein
Laktoferin (80kDa) dan Laktoferoksidase
(70kDa) lebih tinggi ditunjukkan dengan warna
pita profil protein yang lebih tebal.
Perbedaan jenis dan berat molekul
protein pada kefir susu kambing disebabkan
adanya proses glikasi antara gugus karbon gula
reduksi dengan gugus asam amino bebas protein
susu dalam reaksi maillard sehingga dapat
membentuk berat molekul protein yang lebih
berat. Hal ini sesuai dengan pendapat Diftis and
Kiosseoglou (2006) yang menjelaskan bahwa
reaksi maillard antara protein dengan
polisakarida dapat menghasilkan berat molekul
protein yang lebih tinggi. Menurut Van Boekel
(2001), faktor yang mempengaruhi hasil reaksi
maillard adalah waktu pemanasan, pH,
aktivitas air, sifat intrinsik protein dan gula, dan
rasio perbandingan gugus asam amino dengan
gula reduksi.
KESIMPULAN
Hasil penelitian dapat disimpulkan
bahwa jenis gula aren dengan konsentrasi 8%
menghasilkan total asam dan total yeast yang
optimum pada kefir susu kambing. Kefir susu
kambing dengan penambahan gula D-Psicose
dengan konsentrasi 8% dapat menghasilkan
konsentrasi berat molekul protein Laktoferin
(80kDa) dan Laktoferoksidase (70kDa) lebih
tinggi yang ditunjukkan dengan warna pita
profil protein yang lebih tebal.
DAFTAR PUSTAKA
Alberto M.R., M. A. R. Canavosio, and M.C.MNadra. 2006. Antimikrobial Effect ofPolifenol from Apple Skins on HumanBacterial Pathogen. Electronic journal ofBiotechnology. Pontificia UniversidadCatolica de Valparaiso, ConcepciónChile.
Blakely, J. and D. H. Bade. 1991. IlmuPeternakan. Gadjah Mada UniversityPress edisi ke-4, Yogyakarta.(Diterjemahkan oleh B. Srigandono danSoedarsono)
Devide, C.I. 1977. Laboratory Guide in DairyChemistry Practical. FAO Dairy,Training and Research InsituteUniversity of the Philipines at LosBranos College. Laguna
Diftis, N., and Kiosseoglou, V. (2006). Stabilityagainst heat-induced aggregation ofemulsions prepared with a dry-heatedsoy protein isolate–dextran mixture.Food Hydrocolloids, 20(6), 787–792.
Fardiaz, S. 1993. Analisis Mikrobiologi Pangan.Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Farnworth, E.R. (2003). Handbook ofFermented Functional Foods. CRCPress. USA.
Ide, P.2008. Health Secret of Kefir, MenguakKeajaiban Susu Asam untukPenyembuhan Berbagai Penyakit. PT.Elex Media Kompotindo, Jakarta.
Kwak, H.S., S.K. Park, and D.S. Kim. 1996.Biostabilization of Kefyr with aNonlactose Fermenting Yeast. J. DairyScience 79: 937-942.
Laemmli UK. 1970. Cleavage of StructuralProtein During The Assembly of Head
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
46
of Bacteriophage T-4, J. Nature. 227:680-685.
Matsuo, T., H. Suzuki, M. Hashiguchi, and K.Izumori. 2002. D-Psicose is a rare sugarthat provides no energy to growing rats.J. Nutr. Sci. Vitaminol. 48, 77 – 80.
Renoaji, C. S. 2007. Uji Hedonik, Uji Kesukaandan Daya Leleh Es Krim ProbiotikMenggunakan Kombinasi Lactobacilluscasei dan Bifidobacterium bifidumdengan Penyimpanan Beku Selama 30hari. Program Sarjana UniversitasDiponegoro, Semarang. (Skripsi SarjanaPeternakan).
Sun, Y., S. Hayakawa, M. Chuamanochan, M.Fujimoto, A. Innun, and K. Izumori.(2006a). Anitioxidant effects of Maillardreaction products obtained fromovalbumin and different d-aldohexosesBiosci. Biotechnol. Biochem., 70, 598-605.
Surono, I. S. 2004. Probiotik Susu Fermentasidan Kesehatan. YAPMMI, Jakarta.
Tay, Eek-Poei and L. H. Gam. 2011.Proteomics of human and the domesticbovine and caprine milk. J. Mol. Biol.Biotechnol., 19, 45-53.
Van Boekel, M. A. J. S. 2001. Kinetic aspectsof the Maillardreaction : A criticalreview. J. Nahrung. 45 : 150-159
Winarno, F.G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi.PT. Gramedia Pustaka, Jakarta.
Winarno, F.G. dan I. E. Fernandez. 2007. Susudan Produk Fermentasinya. M-BRIOPRESS, Bogor.
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
47
Gambar 1. Profil Protein Kefir Susu Kambing dengan Perlakuan Jenis dan Konsentrasi Gula yangBerberda, M (marker), W (whey), TG (tanpa gula), 4GP (gula pasir 4%), 6GP (gula pasir6%), 8GP (gula pasir 8%), 4GA (gula aren 4%), 6GA (gula aren 6%), 8GA (gula aren 8%),4PS (gula D-Psicose 4%), 6PS (gula D-Psicose 6%), dan 8PS (gula D-Psicose 8%).
Tabel 1.Rerata Total Asam Kefir Susu Kambing dengan Jenis dan Konsentrasi Gula yangBerbeda
Konsentrasi(B)
Jenis Gula (A)
Gula Pasir (A1) Gula Aren (A2) D-Psicose (A3).................................................(%)..…….....................................
4% (B1)6% (B2)8% (B3)
0,66e±0,012 0,69f±0,005 0,38a±0,010,81h±0,005 0,78g±0,005 0,41b±0,0050,91j±0,005 0,89i±0,005 0,52d±0,005
Keterangan : Superskrip yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05)
Tabel 2.Rerata Total Yeast Kefir Susu Kambing dengan Jenis dan Konsentrasi Gula yangBerbeda
Konsentrasi(B)
Jenis Gula (A)Gula Pasir (A1) Gula Aren (A2) D-Psicose (A3)
...........................................(log CFU/ml)..…….....................................4% (B1)6% (B2)8% (B3)
7,285e±0,214 6,594d±0,310 5,421c±0,3457,615ef±0,109 6,618d±0,110 4,361b±0,1357,566ef±0,136 7,816f±0,046 3,742a±0,106
Keterangan : Superskrip yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05)
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
48
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
49
TOTAL BAKTERI, PH, DAN KADAR AIR DAGING AYAM BROILERSETELAH DIRENDAM DENGAN EKSTRAK DAUN SENDUDUK
(Melastoma malabathricum L.) SELAMA MASA SIMPAN
An Effect of Soaking Senduduk (Melastoma malabathricum L.) leaf extract for BacteriaTotal, pH, and Water Content in Broiler Meat with During Storage
Melda Afrianti, Bambang Dwiloka, dan Bhakti Etza Setiani
Fakultas Pertanian dan Peternakan, Universitas Diponegoro SemarangEmail Korespondensi: [email protected]
Abstract
The purpose of this study was to determine the number of bacteria, pH, and water content inbroiler carcass with soaking senduduk leaf extract at 12 hours of storage at room temperature. Theexperimental design used was a completely randomized design (CRD) factorial with factor A as theconcentration of senduduk leaf extract (a1 = 0%, a2 = 10%, a3 = 15%, and a4 = 20%) and factor B asshelf life (b1 = 6 hours and b2 = 12 hours). The results showed that broiler carcass soaked withsenduduk leaf extract that gives real total bacteria effects. However, were not significantly affect the pHand water content. In broiler carsass is 3,21 x 103 total bacterial cfu / g after storage for 12 hours atroom temperature. However, this number is still below the limit of microbial contamination (No. SNI.01-6366-2000).
Key words: broiler carcass, senduduk leaf extract, storage
PENDAHULUAN
Daging memiliki kandungan gizi yang
tinggi, lengkap, dan seimbang. Namun,
kandungan gizi yang tinggi pada daging
merupakan media yang baik bagi pertumbuhan
mikroba, sehingga daging merupakan salah satu
bahan pangan yang mudah rusak atau
perishable. Kerusakan pada daging dapat
disebabkan karena adanya benturan fisik,
perubahan kimia, dan aktivitas mikroba
(Soeparno, 2005). Akibat dari kerusakan
tersebut seperti pembentukan lendir, perubahan
warna, perubahan bau, perubahan rasa dan
terjadi ketengikan yang disebabkan pemecahan
atau oksidasi lemak daging. Salah satu proses
pengawetan dengan pemakaian antibakteri
dengan tujuan mempertahankan kualitas
maupun kuantitas daging ayam broiler adalah
dengan memanfaatkan bahan herbal.
Salah satu tanaman yang berkhasiat dan
dikenal masyarakat adalah senduduk
(Melastoma malabathricum) yang banyak
ditemukan di Riau. Namun, tanaman senduduk
tersebar luas dibeberapa pulau di Indonesia
yaitu di Sumatra, Jawa, Irian Jaya dan
Kalimantan (Gholib, 2009). Hasil skrining
fitokimia menunjukkan bahwa daun senduduk
(Melastoma malabathricum) mengandung
senyawa tanin, flavonoid, steroid, saponin, dan
glikosida yang berfungsi membunuh atau
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
50
menghambat pertumbuhan mikroorganisme
(Robinson, 1995).
Hasil pengamatan terhadap masyarakat di
Riau menunjukkan bahwa daun senduduk telah
digunakan sebagai obat penyembuh luka dan
pengempuk dalam perebusan kulit kerbau.
Namun, belum adanya data yang spesifik
berkaitan dengan penggunaan daun senduduk
untuk pengawetan bahan pangan asal hewan.
Hasil penelitian pendahuluan yang
dilakukan menunjukkan bahwa karkas ayam
broiler dapat bertahan selama 18 jam pada suhu
ruang setelah dilakukan perendaman pada
esktrak daun senduduk. Tanda-tanda kebusukan
seperti bau, tekstur, warna, dan lendir baru
muncul pada jam ke-20. Nilai keasaman (pH)
yang secara alami terdapat dalam daun
senduduk sebesar 4,80 dan bersifat asam,
diduga berpotensi dalam menekan laju
pertumbuhan mikroba sehingga masa simpan
dapat lebih panjang. Tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui total bakteri pH, dan
kadar air daging ayam broiler dengan
perendaman ekstrak daun senduduk pada 12
jam penyimpanan di suhu ruang.
METODOLOGI
Materi yang digunakan untuk penelitian
ini adalah daging ayam broiler bagian dada
yang diperoleh dari Peternakan Boja,
Kabupaten Semarang dan daun senduduk yang
diperoleh dari Riau, Pekanbaru. Peralatan yang
digunakan untuk analisa adalah pH meter, oven,
desikator, timbangan analitik, cawan petri, pipet
tetes, pipet makro dan mikro, gelas ukur, dan
lampu Bunsen.
Rancangan percobaan yang digunakan
adalah rancangan acak lengkap (RAL) pola
faktorial dengan faktor A sebagai konsentrasi
ekstrak daun senduduk (a1= 0%, a2=10%, a3=
15% dan a4= 20%) dan faktor B sebagai masa
simpan (b1= 6 jam dan b2= 12 jam). Data yang
diperoleh kemudian dianalisa menggunakan
anova (Analysiss of variance). Bila ada
pengaruh perlakuan yang nyata dilanjutkan
dengan Uji Wilayah Ganda Duncan untuk
mengetahui perbedaan antar perlakuan (Steel
dan Torrie, 1991).
Penilitian diawali dengan pembuatan
esktrak daun senduduk dengan konsentrasi 0%,
10%, 15%, dan 20%. Kemudian dilanjutkan
dengan pemotongan daging ayam bagian dada.
Selanjutnya dilakukan perendaman selama 30
menit, ditiriskan selama 15 menit, dan
kemudian disimpan di suhu ruang
menggunakan plastik PE (Polyethylen).
Selanjutnya, dilakukan pengamatan sesuai
dengan parameter yang diamati. ). Perhitungan
total bakteri dilakukan menurut (Fardiaz, 1993).
Pengukuran nilai pH menurut Apriyantono
(1989). Pengujian kadar air menurut (AOAC,
1995).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Total Bakteri
Rerata total bakteri daging ayam yang
direndam dengan daun senduduk dan disimpan
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
51
pada suhu ruang secara ringkas disajikan pada
Tabel 1.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
total bakteri daging ayam dengan konsentrasi
yang berbeda memberikan pengaruh yang
nyata. Total bakteri daging ayam broiler secara
berturut-turut 0%, 10%, 15% dan 20% adalah
2,54 x 102, 3,05 x 103, 2,67 x 102 dan 3,21 x
102. Standar Nasional Indonesia (SNI) No. 01-
6366-2000 merekomendasikan batas maksimal
cemaran bakteri pada daging segar yaitu 1 x
104 CFU/g.
Total bakteri pada daging ayam masih di
bawah batasan cemaran bakteri pada daging
segar. Namun, tingginya konsentrasi tidak
menurunkan jumlah total bakteri pada daging.
Hal ini diduga bahwa penggunaan air sebagai
pelarut ekstraksi daun senduduk diduga belum
optimal dalam mengesktraksi senyawa aktif
seperti saponin, tannin, flavonoid, alkaloid, dan
glikosida yang berfungsi sebagai antibakteri.
Hasil penelitian Suliantri et al., (2008)
menyatakan bahwa esktraksi senyawa aktif
pada tumbuhan dengan menggunakan air
mempunyai kemampuan bakteri uji paling
rendah dibandingkan etanol dan etil asetat. Hal
ini sesuai dengan penelitian Chou dan Yu
(1985), dimana pelarut etanol memberikan
aktivitas antimikotik ekstrak sirih yang baik dan
pelarut air mempunyai aktivitas paling rendah
terhadap beberapa jenis bakteri.
Hal ini juga disebabkan karena senyawa
yang aktif berupa saponin, tanin, flavonoid,
alkaloid hanya berperan menghambat bakteri
yang ada pada daging. Peran masing-masing
senyawa aktif yaitu senyawa saponin akan
merusak membran sitoplasma dan membunuh
sel (Assani, 1994). Tanin adalah polimer fenolik
yang biasanya digunakan sebagai bahan
penyegar, mempunyai sifat antimikroba dan
bersifat racun terhadap khamir, bakteri, dan
kapang. Kemampuan tanin sebagai antimikroba
diduga karena tanin akan berikatan dengan
dinding sel bakteri sehingga akan
menginaktifkan kemampuan menempel bakteri,
menghambat pertumbuhan, aktivitas enzim
protease dan dapat membentuk ikatan komplek
dengan polisakarida (Cowan, 1999).
Flavonoid dapat berperan secara
langsung sebagai antibiotik dengan menggangu
fungsi dari metabolissme mikroorganisme
seperti bakteri atau virus. Mekanisme antibiotik
flavonoid ialah dengan cara mengganggu
aktivitas transpeptidase peptidoglikan sehingga
pembentukan dinding sel bakteri atau virus
terganggu dan sel mengalami lisis. Alkaloid
mempunyai pengaruh sebagai bahan
antimikroba dengan mekanisme
penghambatannya adalah dengan cara
mengkelat DNA (Suliantri, et al., 2008).
Selain itu, juga disebabkan semakin
meningkatnya konsentrasi ekstrak daun
senduduk maka larutan semakin pekat dan
larutan ekstrak daun senduduk sulit berpenetrasi
pada otot daging. Perkembangbiakan
mikroorganisme juga dipengaruhi oleh faktor
kelembaban, temperatur, dan ketersediaan
oksigen (Lawrie, 2003). Ketersedian oksigen
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
52
dipengaruhi oleh pengemas plastik pada saat
penyimpanan di suhu ruang. Buckle et al.,
(1987) menjelaskan bahwa daya tembus plastik
PE dengan ketebalan 2,1 (mm x 102) adalah
10,5 (cm3/cm2/mm/det/cmHg) x 1010. Menurut
Yanti et al., (2008), mengatakan bahwa
penggunaan plastik PP lebih efektif
dibandingkan PE, karena dapat menurunkan
total bakteri pada daging di pasar Arengka
Pekanbaru sebesar 5,5 x 105 dibandingkan
penggunaan plastik PE 6,5 x 105. Tidak ada
interaksi antara konsentrasi dan lama simpan
terhadap total bakteri daging ayam.
Nilai PH
Rerata pH daging ayam broiler yang
direndam dengan daun senduduk dan disimpan
pada suhu ruang secara ringkas disajikan pada
Tabel 2.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
nilai pH daging ayam tidak berpengaruh nyata
terhadap konsentrasi daun senduduk namun
berpengaruh terhadap lama simpan daging
ayam (Tabel 2). Nilai pH yang didapat dari
perlakuan yaitu secara berturut-turut 6,79, 6,84,
6,84 dan 6,72. Nilai pH pada daging ayam
cukup tinggi namun masih dibawah nilai pH
produk pangan yang dianjurkan Standar
Nasional Indonesia yaitu 6-7. Hal ini diduga
bahwa nilai pH pada penelitian dipengaruhi
oleh nilai pH pada kedua bahan dasar yaitu,
daging ayam dan esktrak daun senduduk
masing-masing sebesar 6,50 dan 4,80. Nilai pH
yang hampir sama dari kedua bahan
menyebabkan pH pada perlakuan perendaman
daging ayam broiler menjadi tidak berbeda
terhadap pH daging ayam.
Perendaman dengan waktu 30 menit dan
lama penyimpanan belum mencukupi untuk
menurunkan pH daging. Selain itu juga
disebabkan karena struktur otot dari daging
yang terlalu rapat, menyulitkan penetrasi hingga
ke dalam jaringan (Buckle et al., 1987),
sehingga walau terbentuk asam di dalam daging
selama perendaman ataupun penyimpanan
tetapi karena waktunya belum tercukupi maka
asam yang terbentuk tidak dapat menembus
sampai ke dalam jaringan. Akibatnya pH daging
yang direndam larutan daun senduduk selama
30 menit dan lama penyimpanan tidak
mempengaruhi pH daging ayam broiler.
Lama penyimpanan berpengaruh nyata
terhadap penurunan pH. Penelitian ini sejalan
dengan hasil penelitian Surajadi (2004), yang
menunjukan bahwa penyimpanan pada
temperatur ruang selama 12 jam setelah
pemotongan ayam broiler, terjadi penurunan
keasaman (pH) daging ayam. Semakin lama
penyimpanan yang dilakukan maka pH akan
semakin menurun.
Penurunan pH akan mempengaruhi sifat
fisik daging, laju penurunan pH otot yang cepat
akan mengakibatkan rendahnya kapasitas
mengikat air, karena meningkatnya kontraksi
aktomiosin yang terbentuk, dengan demikian
akan memeras cairan keluar dari dalam daging
dan menyebabkan penurunan nilai pH pada
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
53
daging. Tidak ada interaksi antara konsentrasi
dan lama simpan pH daging ayam.
Kadar Air
Rerata kadar air daging ayam yang
direndam dengan daun senduduk dan disimpan
pada suhu ruang secara ringkas disajikan pada
Tabel 3. Berdasarkan hasil analisis
menunjukkan bahwa pemberian ekstrak daun
senduduk tidak berpengaruh nyata terhadap
kadar air daging ayam. Kadar air yang didapat
dari perlakuan yaitu secara berturut-turut
73,69%, 74,47%, 74,31% dan 73,95%.
Tingginya kadar air pada penelitian ini
karena kadar air daging ayam sudah tinggi pada
saat pemotongan. Kadar air daging ayam broiler
yaitu sebesar 65-80% (Forest et al., 1975). Hal
ini bahwa kadar air pada penelitian dipengaruhi
oleh kadar air pada kedua bahan dasar yaitu,
daging ayam dan esktrak daun senduduk
masing-masing sebesar 65-80% dan 71,7%.
Kadar air yang hampir sama dari kedua
bahan menyebabkan kadar air pada perlakuan
perendaman daging ayam broiler menjadi tidak
berbeda terhadap kadar air daging ayam. Oleh
karena itu, dengan penambahan ekstrak daun
senduduk dengan konsentrasi 10%, 15%, dan
20% tidak dapat menurunkan kadar air pada
daging. Hal ini juga disebabkan penggunaan
plastik pada penyimpanan di suhu ruang.
Menurut Soeparno (2005) permukaan
plastik PP lebih licin dan permeabilitasnya
terhadap oksigen lebih rendah dibandingkan
dengan plastik PE. Indonesia adalah negara
yang beriklim tropis dengan kelembaban udara
yang cukup tinggi, sehingga bila kemasan yang
digunakan tidak cukup kedap air maka produk
akan terkontaminasi oleh air yang diikuti oleh
berbagai jenis kerusakan lainnya (Syarief et
al.,1989).
Penelitian ini merupakan perendaman
tipe asam karena berdasarkan hasil pengujian
ekstrak daun senduduk mempunyai pH 4,80.
Namun rendahnya pH pada daun senduduk
belum dapat menurunkan kerusakan yang
disebabkan oleh mikroba pada daging. Tidak
ada interaksi antara konsentrasi daun senduduk
dan lama simpan terhadap kadar air daging.
KESIMPULAN
Total bakteri daging ayam setelah
perendaman dengan ekstrak daun senduduk
meningkat seiring dengan penambahan
konsentrasi ekstrak daun senduduk. Namun
jumlah total bakteri pada daging tidak melebihi
batas maksimal cemaran bakteri pada daging
segar yaitu 1 x 104 CFU/g. Sedangkan pH pada
daging ayam akan semakin menurun dengan
lama penyimpanan pada suhu ruang.
Penggunaan ekstrak daun senduduk untuk
penyimpanan daging ayam broiler pada suhu
ruang direkomendasikan pada konsentrasi 10-
15% berdasarkan data perhitungan total bakteri,
pH, dan kadar air.
DAFTAR PUSTAKA
AOAC., 1995. Official Methods of Analysis 9th
edition. Association of OfficialAnalytical Chemist. Washinghton D.C.
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
54
Assani, S. 1994. Mikrobiologi Kedokteran.Fakultas Kedokteran UniversitasIndonesia. Jakarta.
Apriyantono, A. 1989. Petunjuk LaboratoriumAnalisis Pangan. IPB Press, Bogor.
Badan Standardisasi Nasional. 2000. BatasMaksimal Cemaran Mikroba dan BatasResidu dalam Bahan Makanan AsalHewan. Standar Nasional IndonesiaNo. 01-6366-2000, Jakarta.
Buckle R.A., Edward G.H. Fleet and M.Wooton M. 1987. Ilmu Pangan.(Penerjemah H. Purnomo Adiono). UIPress. Jakarta.
Chou, C.C and Yu R.C. 1985. Efect Piper betleL and its extracts on the growth andaflatoxin productions by Aspergillusparaciticus. Pro Natl.Sci. CouneRepub.China. 8( 1): 30-35.
Cowan, M.M. 1999. Plant products asantimicrobial agents. ClinicalMicrobiology Reviews 12: 564–82.
Fardiaz, S 1989. Mikrobiologi Pangan. PusatAntar Universitas Pangan dan GiziIPB, Bogor.
Forrest, J. C., E. D. Aberle, H. B. Hedrick, M.D. Judge and R. A. Markell. 1975.Principle of Meat Sience. W. H.Freman and Co. San Fransisco.
Gholib, D. 2009. Uji Daya Hambat DaunSenggani (Melastoma malabathricumL.) terhadap Trichophytonmentagrophytees dan Candidaalbicans. Balai Besar PenelitianVeteriner. Bogor.
Lawrie, 2003. Ilmu Daging. (Penerjemah A.Parakkasi dan Yudha A). UniversitasIndonesia Press, Jakarta.
Syarief R, Sassya S, St Isyana B.1989.Teknologi Pengemasan Daging. Bogor:IPB.
Robinson, T. 1995. Kandungan OrganikTumbuhan Tinggi. (Terjemahan K.Padmawinata). Penerbit, ITB Bandung.
Soeparno, 2005. Ilmu dan Teknologi Daging.Edisi keempat. Gadjah MadaUniversity Press. Yogyakarta.
Steel, R.G.D. dan J.H. Torrie. 1991. Prinsip danProsedur Statistika Suatu PendekatanBiometrik. Penerbit PT. GramediaPustaka Utama, Jakarta. (PenerjemahB. Sumantri).
Suliantri, B.S.L. Jenie., M.T. Suhartono, dan A.Apriyantono. 2008. Aktivitasantibakteri esktrak sirih hijau (Piperbetle L) terhadap bakteri patogen.Jurnal dan Teknologi Industri Pangan.19 (1): 1-7.
Surajadi, K. 2004. Perubahan Sifat Fisik DagingAyam Broiler Post Mortem SelamaPenyimpanan Temperatur Ruang.Fakultas Peternakan UniversitasPadjadjaran. Bandung.
Yanti H, Hidayati, dan Elfawati. 2008. Kualitasdaging sapi dengan kemasan plastik PE(Polyethylen) dan plastik PP(Polypropylen) di pasar Arengka KotaPekanbaru. Jurnal Peternakan 5 (1). 22-27.
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
55
Tabel 1. Nilai Total Bakteri Daging Ayam yang Direndam dengan Daun Senduduk dan Disimpanpada Suhu Ruang
LamaSimpan
Total Bakteri Daging Ayam Setelah diberi PerlakuanRerata
a1 a2 a3 a4
b1 2,56 x102CFU/g3,15 x 103 2,48 x 102 3,08 x 103 2,82 x 102
b2 2,52x 102 2,96 x 102 2,85 x 102 3,32 x 103 2,92 x 102
Rerata 2,54x 102 b 3,05 x 103 a 2,67x 102 b 3,21 x 103 a
Ket: Superskrip berbeda pada baris rerata menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05).
Tabel 2. Nilai pH Daging Ayam yang Direndam dengan Daun Senduduk dan Disimpan padaSuhu Ruang
PerlakuanLama Simpan
pH Daging Ayam setelah Diberi PerlakuanRerata
a1 a2 a3 a4b1 6,87 6,85 6,91 6,78 6,85a
b2 6,72 6,83 6,76 6,66 6,74b
Rerata 6,79 6,84 6,84 6,72Ket: Superskrip berbeda pada kolom rerata menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05).
Tabel 3. Nilai Kadar Air Daging Ayam yang Direndam dengan Daun Senduduk dan Disimpanpada Suhu Ruang
Perlakuan LamaSimpan
Kadar Air Daging Ayam Setelah diberi PerlakuanRerata
a1 a2 a3 a4
b1 73,97(%)
74,32 74,26 74,22 74,19b2 73,42 74,63 74,34 73,67 74,07Rerata 73,69 74,47 74,31 73,95
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
56
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
57
Pengaruh Pengolahan terhadap Kandungan Poliphenol dan Antosianin BerasWulung yang Berpotensi sebagai Makanan Diet Penderita Diabetes Mellitus
Effect of Cooking on Polyphenols and Anthocyanins of Wulung rice Potentialy asFunctional Food for Patients with Diabetes Mellitus
Sri Hartati
Fakultas Pertanian, Universitas Veteran Bangun Nusantara SukoharjoE-mail : [email protected]
AbstractWulung rice called black rice in Java, it was believed the functional food for Diabetes Mellitus. Thepurpose studies was to determine the chemical content of rice like the moisture content, carbohydrate,protein, fat, ash and to know the changes in polyphenolic and anthocyanin levels after cooking and aflour product. The Results showed that is a carbohydrate (64.98% wb), protein 15.41% wb, fat 4.23%wb, minerals (ash) 2.04% wb, crude fiber 3.52% wb and moisture 13.34%. There were no differencesbetween the levels of phenols for whole grain that has been processed into rice, but there weresignificant differences with flour. Total phenol of whole grain, flour, and rice respectively are 0.76,0.55 and 0.84 mg. There were significant decreasing of anthocyanin in processing to the flour andrice. The decrease in anthocyanin 83.60% occur in the processing of rice. Anthocyanin of whole grain,flour and rice respectively: 2.8918, 2.4091 and 0.4741 mg/100g (% db).Keyword : wulung rice, poliphenol, antosianin, diabetes mellitus
PENDAHULUAN
Diabetes Mellitus (DM) tergolong
penyakit degeneratif yang prevalensinya cukup
tinggi. Angka insiden dan prevalensi DM
cenderung meningkat dari berbagai penelitian
epidemiology. Prevalensi DM di dunia menurut
International Diabetes Federation (IDF)
mencapai 246 juta tahun 2007 dan
diproyeksikan menjadi 380 juta pada tahun
2025. (Perkem Ind, 2006; Pimentel,P, 2007).
WHO memprediksi di Indonesia terdapat
kenaikan jumlah pasien dari 8,4 juta pada tahun
2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030.
Prevalensi Diabetes type 2 meningkat secara
eksponensial, dan diperkirakan mencapai lebih
300 juta kasus pada tahun 2030 (Wild et al,
2004).
Berbagai penelitian telah dilakukan di
beberapa negara berkembang dan data WHO
menunjukkan bahwa peningkatan tertinggi
jumlah pasien diabetes terjadi di Asia Tenggara
termasuk Indonesia yang menempati peringkat
ke-5 di dunia (Suyono, 2006). Kecenderungan
meningkatnya penyakit degeneratif diperlukan
suatu preventif melalui pengembangan
makanan/minuman yang menyehatkan.
Makanan (pangan) fungsional adalah
pangan yang selain bergizi juga mempunyai
pengaruh positif terhadap kesehatan seseorang
(Muchtadi dan Hanny, 1996). Meskipun
diharapkan memberikan manfaat bagi
kesehatan, makanan fungsional tidak dianggap
sebagai obat, melainkan dikategorikan tetap
sebagai makanan. Oleh karena itu makanan
fungsional seharusnya dikonsumsi sebagai
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
58
layaknya makanan sehari-hari, bentuknya dapat
berupa makanan atau minuman (Fardiaz, 1997;
Hilliam, 2000).
Beras merupakan salah satu padi-padian
paling penting di dunia untuk dikonsumsi
manusia. Diantara varian beras dijumpai beras
hitam (Oryza sativa L. indica). Beras hitam ini,
memiliki nama yang berbeda-beda tergantung
di mana beras hitam tersebut berada. Beras
hitam yang ada di Solo dikenal dengan nama
"beras wulung". Menurut sejarahnya, dulunya
beras Wulung merupakan beras pilihan yang
hanya ditanam dan dipergunakan dalam
Keraton Kasunanan Surakarta, khusus
dikonsumsi di lingkungan para Raja dan
digunakan untuk jenis ritual tertentu,
(Kristamtini, 2009; Tri Dewanti, 2009).
Dilaporkan bahwa dalam dedak beras
hitam terdapat kandungan antosianin (salah satu
kelompok antioksidan) sebanyak 5,55 mg/g
bahan (Ono, et al., 2003). Pada lapisan kulit
terluar (outer layer), beras hitam memiliki
kandungan flavonoid yang di dalamnya
termasuk antosianin sebanyak 6,4 g/100 gr kulit
terluar. Pengaruh positif dari poliphenol
(termasuk di dalamnya flavonoid) pada
homeostatistik glukosa ditunjukkan dalam
sejumlah besar penilitian in vitro pada beberapa
hewan coba yang didukung dengan bukti-bukti
epidemiologi pada diet kaya poliphenol
(Hanhineva et al, 2010). Oleh karena itu beras
wulung diketahui mempunyai potensi dalam
penurunan gula darah sehingga sangat cocok
dikonsumsi sebagai makanan diet para
penderita Diabetes Mellitus (DM).
Belum diperoleh informasi seberapa
besar perubahan kandungan total poliphenol
dan kadar antosianin beras wulung setelah
dilakukan penanakan sehingga potensi sebagai
makanan diet terapi masih dipertahankan
setelah pemasakan. Selain dimasak menjadi
nasi, beras seringkali juga diproses menjadi
tepung untuk dipergunakan sebagai bahan
pembuatan makanan dalam bentuk selain nasi.
Belum diketahui, apakah pembuatan tepung
beras hitam juga akan mengubah komponen
poliphenol dan kadar antosianinya. Untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut
penelitian ini dilakukan.
Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui kandungan kimia beras wulung
meliputi kadar air, karbohidrat, protein, lemak,
dan abu serta mengetahui perubahan komponen
poliphenol (total phenol) dan kadar anthosianin
setelah dilakukan pemasakan menjadi nasi dan
menjadi tepung (powder) yang dibandingkan
tanpa pengolahan (kontrol). Pengamatan
meliputi analisa proksimat bahan baku (beras
wulung pecah kulit) dan pengamatan perubahan
kadar poliphenol dan kadar antosianin sebelum
pengolahan dan sesudah pengolahan.
METODOLOGI
Penelitian ini merupakan penelitian
eksperimen yang dilaksanakan di Laboratorium
MIPA Universitas Veteran Bangun Nusantara
Sukoharjo. Bahan penelitian terutama beras
wulung varietas asal Boyolali diambil dari
Gabungan Kelompok Tani (GAPOKTAN)
MARSUDI MULYO Dukuh Surodhuwur, Desa
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
59
Tawangsari, Kecamatan Teras, Kabupaten
Boyolali.
Dari Gambar 1 terlihat bahwa penelitian
diawali dengan analisa proksimat untuk
mengetahui komponen kimia yang dikandung
dalam beras wulung meliputi : kadar air
(metode analisa Thermogravimetri), karbohidrat
(by different), protein (metode Kjeldahl), lemak
(metode Soxhlet), mineral total (cara kering)
serta serat kasar (hidrolisa asam kuat). Sebagai
pembanding dilakukan pula analisa proksimat
beras merah.
Beras wulung dimasak/diolah dengan dua cara
pengolahan yaitu diolah menjadi tepung beras
hitam dengan cara sangrai menggunakan media
pasir, dan diolah menjadi nasi hitam dengan alat
Rice Cooker. Analisa kandungan poliphenol
(total phenol) menggunakan metode yang
dikembangkan oleh Taga et al (1984) sedang
analisa kandungan total antosianin
menggunakan metode yang dikembangkan oleh
Markakis (1982). Analisa dilakukan baik pada
beras wulung sebelum dimasak (beras pecah
kulit), tepung beras wulung dan nasi beras
wulung untuk mengetahui pengaruh
perubahannya. Proses penanakan nasi dilakukan
seperti terlihat pada Gambar 2, sedang proses
pembuatan powder/tepung seperti tampak pada
Gambar 3. Analisa Kandungan Total Antosianin
(Markakis, 1982). Analisa Kandungan Total
Phenol (Taga et al, 1984)
Rancangan Percobaan dan Analisis Data
Rancangan percobaan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak
Lengkap (RAL) Pola Searah. Perlakuan
(variabel tetap) adalah Metode/cara pengolahan
beras wulung (yaitu beras wulung pecah kulit
(tanpa pengolahan, pengolahan menjadi nasi
dan pengolahan menjadi tepung melalui proses
penyangraian). sedang variabel tergantung
adalah zat-zat potensi yaitu total phenol dan
total antosianin. Masing-masing perlakuan
diulang 2 kali, dengan analisa sampel adalah
triple. Data yang diperoleh dianalisis dengan
One Way Anova. Bila terdapat perbedaan antar
perlakuan dilanjutkan dengan Uji Duncan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Analisa Proksimat Beras Wulung
Sebelum beras wulung diolah, terlebih
dahulu dianalisis proksimat untuk mengetahui
komponen-komponen di dalamnya meliputi
analisis kadar air, mineral, lemak, protein,
karbohidrat dan serat kasar. Hasil analisa
proksimat komponen beras wulung dan beras
merah sebagaimana tampak pada Tabel 1.
Tabel 1 tampak bahwa pada semua
komponen yang diuji antara beras wulung
(beras hitam) dan beras merah tidak banyak
perbedaan. Tampak pula bahwa baik beras
wulung maupun beras merah komponen
terbesar adalah karbohidrat yaitu 64,98 % pada
beras wulung sedang beras merah adalah
65,59%.
Kadar protein baik pada beras wulung
maupun beras merah juga relatif tinggi yakni
15,41%. Hasil ini memperlihatkan jauh lebih
tinggi dibanding penelitian Sompong et al
(2011) yang menunjukkan dari 9 varietas beras
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
60
merah yang diuji kadar maksimum kadar
protein adalah 10.36 ± 0.04 %. Pada 3 varietas
beras hitam yang diuji berkisar 8.17 ± 0.41 %
(minimum) dan 10.85 ± 0.09 % (maksimum).
Kadar lemak (4,23% pada beras wulung
dan 4,15% pada beras merah) serta kadar
mineral total (beras wulung 2,04% dan beras
merah 1,57%) pada sampel yang diuji diperoleh
hasil yang mirip dengan yang dilakukan
Sompong et al (2011) yang mempelihatkan
diantara sampel yang diuji bervariasi 2.85 ±
0.09 - 3.72 ± 0.06 % kadar lemak beras hitam
dan 1.74 sampai 1,48 g/100 g db) kadar
mineral. Sedang Deepa et al. (2008) dalam
penelitiannya terhadap beras Njavara, yaitu
beras berwarna merah yang dipercaya berkasiat
obat (a medicinal rice) di India mempunyai
komponen 73% Karbohidrat, 9.5% protein,
2.5% lemak, 1.4% abu.
Pengaruh Pengolahan Beras Wulungterhadap Kandungan Total Phenol
Pemasakan (pengolahan) beras menjadi
produk siap konsumsi dimaksudkan untuk
memudahkan proses pencernaan. Dalam
penelitian ini dilakukan 2 (dua) pengolahan
yaitu pengolahan beras wulung menjadi tepung
beras wulung dengan cara penyangraian
(penggorengan tanpa menggunakan minyak),
dalam hal ini menggunakan media pasir.
Pengolahan yang kedua adalah pengolahan
beras wulung menjadi nasi wulung dengan
menggunakan alat penanak nasi Rice cooker
selama 50 menit. Produk hasil penelitian
tampak sebagaimana pada Gambar 4.
Gambar 4 tampak bahwa terdapat
perubahan fisik yang sangat berbeda dari bahan
awal yaitu beras wulung pecah kulit baik
setelah diolah menjadi tepung beras wulung
maupun menjadi nasi wulung. Perbedaan terjadi
karena beras telah mengalami penambahan air
dan perlakuan panas. Selain perubahan fisik
tersebut beras wulung juga diuji perubahan
kimianya khususnya terhadap komponen
poliphenolnya (total phenol) dan kadar
antosianin.
Hasil penelitian terhadap kandungan
total phenol baik pada saat masih dalam bentuk
beras, setelah diolah menjadi tepung beras
wulung dengan cara sangrai serta diolah
menjadi nasi beras wulung dengan Rice cooker
tampak sebagaimana pada Gambar 5.
Gambar 5 menunjukkan bahwa tidak
terdapat perbedaan kadar total phenol antara
beras wulung (pecah kulit) dengan yang telah
diolah menjadi nasi wulung, namun terdapat
perbedaan yang signifikan (P<0,05) dengan
tepung beras wulung. Hal ini diduga
dikarenakan pada pengolahan tepung beras
wulung ini melalui suatu proses pengayakan (60
mesh) setelah diblender. Produk tepung beras
wulung yang diuji adalah tepung yang lolos
pengayakan. Kemungkinan bahan-bahan yang
tidak lolos pengayakan adalah bahan-bahan
yang sulit hancur dengan blender padahal
diduga masih mengandung bekatul yang cukup
tinggi. Bekatul adalah bagian beras yang
mengandung senyawa phenol tinggi.
Dibandingkan tepung beras pecah kulit (PK),
bekatul mengandung lebih banyak antioksidan
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
61
dan berhubungan dengan nilai kapasitas
antioksidan yang tinggi pula (Aguilar-Garcia, et
al (2007). Sementara Randhir et al (2008)
menyatakan penurunan kandungan total phenol
yang diobservasi dalam soba (buckwheat)
kemungkinan dikarenakan degradasi dari
beberapa komponen phenol oleh proses
pemanasan.
Dari hasil penelitian terhadap kadar total
phenol dengan perhitungan basis basah (wet
basic) diperoleh kadar total phenol beras
wulung, tepung beras wulung, dan nasi beras
wulung berturut-turut adalah 0,656, 0,484 dan
0,27 mg ekuivalen asam gallat /100 g (%wb).
Namun setelah dilakukan perhitungan secara
basis kering (dry basic) diperoleh hasil
sebagaimana tampak pada Gambar 5. Kadar
total phenol beras wulung adalah 0,76 ±0,04
mg ekuivalen asam gallat /100 g (% db), setelah
diolah menjadi tepung beras wulung kadar total
phenol adalah 0,55±0,02 mg ekuivalen asam
gallat /100 g (% db) dan setelah menjadi nasi
beras wulung total phenol sebesar 0,84 ±0,06
mg ekuivalen asam gallat /100 g (% db). Kadar
air bahan berpengaruh terhadap kadar suatu
komponen per satuan bahan oleh karena untuk
melihat perubahan kandungan komponen
tersebut lazimnya dilakukan dalam dry basic
(db).
Pengaruh Pengolahan Beras Wulungterhadap Kandungan Antosianin
Pengaruh pemasakan beras wulung
menjadi nasi wulung dan tepung beras wulung
terhadap kadar antosianin yang dikandung
dalam masing-masing produk tampak
sebagaimana dalam Gambar 6. Dari Gambar 6
tersebut terlihat bahwa terdapat perubahan
kadar antosianin yang signifikan (P<0,05)
antara beras wulung (berupa beras pecah
kulit/PK) dengan tepung beras wulung maupun
nasi beras wulung.
Kadar antosianin beras wulung pecah
kulit sebesar 2,506±0,02 mg/100g sampel
(%wb), sedang tepung beras dan nasi berturut-
turut 2,133±0,06 dan 0,153±0,01 mg/100g
sampel (%wb). Dalam basis perhitungan dry
basis kadar antosianin beras wulung pecah kulit
adalah 2,8918 mg/100g, tepung beras wulung
2,4091 dan nasi beras wulung adalah 0.4741
mg/100g. Kadar antosianin tersebut berbeda
dengan kandungan antosianin beras hitam
setengah sosoh (SSH) dan pecah kulit (PK)
yang diteliti oleh Swasti dan Astuti (2007) yang
mempunyai kandungan antosianin 149 ± 11
mg/100g (db) dan 152 ± 16 mg/100g (db).
Beras wulung yang masih berupa beras
pecah kulit (Brs W.PK) memiliki kadar
antosianin yang paling tinggi, diikuti tepung
beras (Tep Brs W) dan nasi beras wulung (Nasi
Brs W). Hal ini dikarenakan produk berupa
beras pecah kulit belum mengalami perlakuan
panas dibanding dengan kedua produk yang
lain. Nasi beras wulung mengalami penurunan
kadar antosianin yang paling tinggi dikarenakan
proses pengolahan beras menjadi nasi
memerlukan perlakuan panas yang lebih tinggi
dan lebih lama dibanding dengan proses
pembuatan tepung beras wulung, disamping itu
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
62
pada proses pembuatan tepung beras wulung
juga beras tidak mengalami proses pencucian
sehingga kemungkinan besar kandungan
antosianin tidak terikut terbuang bersama air
bekas pencucian.
Hasil penelitian ini dapat dikatakan
bahwa untuk mengambil manfaat dari beras
wulung khususnya terhadap kandungan
antosianin, sebaiknya pemasakan beras wulung
dilakukan dengan dibuat menjadi tepung
(powder). Pengolahan beras wulung menjadi
tepung hanya mengalami sedikit pemanasan
yaitu dengan penyangraian.
KESIMPULAN
Dari penelitian ini dapat disimpulkan
bahwa :
1. Komponen dominan dari beras wulung
(beras hitam) adalah karbohidrat (64,98
%wb). Kadar protein total 15,41%wb,
kadar lemak 4,23%wb, mineral (abu) 2,04
%wb, serat kasar 3,52 %wb serta kadar air
13,34%.
2. Tidak terdapat perbedaan kadar total
phenol antara beras wulung (pecah kulit)
dengan yang telah diolah menjadi nasi
wulung, namun terdapat perbedaan yang
signifikan dengan tepung beras wulung.
3. Terjadi perubahan penurunan kandungan
antosianin yang signifikan dalam
pengolahan beras wulung (beras hitam)
menjadi tepung beras wulung dan nasi
wulung. Penurunan kandungan antosianin
mencapai 83,60% terjadi pada pengolahan
dengan pemasakan menjadi nasi wulung.
Penelitian lanjut masih perlu terus
dilakukan untuk mengetahui cara pengolahan
yang tepat dari beras wulung untuk memperoleh
bukti bahwa beras wulung mempunyai potensi
sebagai diet penderita diabetes mellitus.
DAFTAR PUSTAKA
Aguilar-Garcia, C.; Gavino, G.; Baragano-Mosqueda, M.; Hevia, P.; Gavino, V.C. Correlation of tocopherol,tocotrienol, γ-oryzanol and totalpolyphenol content in rice bran withdifferent antioxidant capacity assays.Food Chem. 2007, 102, 1228-1232.
Anonim, 2010. Boyolali dalam Angka 2009.BPS Kab. Boyolali.
Deepa,G, Vasudeva Singh, K. AkhilenderNaidu., 2008. Nutrient Compositionand Physicochemical Properties ofIndian Medicinal Rice – Njavara. FoodChemistry 106 : 165–171
Fardiaz, Dedi, 1997. Makanan Fungsional danPengembangannya melalui MakananTradisional. Prosiding Seminar Tekn.Pangan, 5-8 Juli, Yogyakarta.
Hanhineva, Kati, Riitta Törrönen, IsabelBondia-Pons, Jenna Pekkinen,Marjukka Kolehmainen, HannuMykkänen and Kaisa Poutanen, 2010.Impact of Dietary Polyphenols onCarbohydrate Metabolism. Review. Int.J. Mol. Sci. 2010, 11, 1365-1402
Hiemori,Miki, Eunmi Koh and Alyson E.Mitchell, 2009. Influence of Cookingon Anthocyanins in Black Rice (Oryzasativa L. japonica var. SBR). J. Agric.Food Chem., (5): 1908-1914.
Hilliam, M. 2000. Functional Food : How big isthe Market? World of Food Ingredients12 : 50-53.
Kristamtini, 2009. Mengenal Beras Hitam dariBantul.http://www.litbang.deptan.go.id/artikel/
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
63
Lai,Phoency, Ken Yuon Li, Shin Lu, Hua HanChen, 2009. Phytochemicals andAntioxidant Properties of SolventExtracts from Japonica Rice Bran.Food Chem. 117:538-544
Markakis,Perieles, 1982. Anthocyanins as FoodColors. Academic Press, Inc, London.
Muchtadi, D, dan C. Hanny Wijaya, 1996.Pangan Fungsional : Pengenalan danPerancangan. Kursus singkat “Makanan Fungsional dan KeamananPangan” PAU PAngan dan Gizo,UGM, Yogyakarta.
Ono, K., Sugihara, N., Hirose, Y. dan Katagiri,K., 2003. An Examination of OptimalSolvents for Anthocyainin Pigmentsfrom Black Rice Produced in Gifu. J.Agric. Food Chem., 2003, 51 (18), pp5274–5279.
Perkem Ind (Perkumpulan EndokrinologiIndonesia), 2006. KonsensusPengelolaan dan Pencegahan DiabetesMellitus Tipe 2 di Indonesia 2006.Fakultas Kedokteran UI. Jakarta
Pimentel, P, 2007. Diabetes Prevalence Surgesto 246 milion. 19th World DiabetesCongress, 3-7 Desember 2006. CapeTown South Africa. Medical Tribune.February. pp 6.
Randhir,R., Young-In Kwon, Kalidas Shetty.,2008. Effect of Thermal Processing onPhenolics, Antioxidant Activity andHealth-Relevant Functionality ofSelect Grain Sprouts and SeedlingsInnovative Food Science and EmergingTechnologies 9 :355–364
Scalbert, A., Johnson, I.T., Saltmarsh, M., 2005.Polyphenols: antioxidants and beyond.American Journal of Clinical Nutrition81: 215S–217S.
Solopos, 2 April 2011. Boyolali KembangkanBeras Wulung.
Sompong,R, Siebenhandl-Ehn,S, G.Linsberger-Martin, E. Berghofer, (2011).Physicochemical and Antioxidativeproperties of Red and Black RiceVarieties from Thailand, China and SriLanka. Food Chemistry 124: 132–140
Suyono, S., 2006, Buku Ajar Ilmu PenyakitDalam jilid III edisi 4, PusatPenerbitan Departemen Ilmu PenyakitDalam FK UI, Jakarta, hal. 1874-1878.
Swasti, Yuliana Reni dan Mary Astuti, 2007.Aktivitas Antioksidan AntosianinBeras Hitam Dalam Low-DensityLipoprotein (LDL) Plasma DarahManusia Secara In Vitro. Thesis.Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Taga, M.S., Miller, E.E. dan Pratt, D.E.,1984.Chia Sheeds as source of naturallipid antioxidants. Journal ofAmerican Oil Chemical Society 61:928-931)
Tri Dewanti W Mubandrio, 2009. Beras Hitam.http://terminalcurhat.blogspot.com/2009/10/beras-hitamberas-yang-menyehatkan.html
Wild, S.; Roglic, G.; Green, A; Sicree, R.; King,H., 2004. Global prevalence ofdiabetes: Estimates for the year 2000and projection for 2030. Diabetes Care27: 1047-1053.
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
64
Beras wulung sosoh
Pencucian
Penanakan dalam RiceCooker, 50 menit
Air 1:4
Nasi beras wulung
Gambar .2. Diagram alir pengolahan beras wulung menjadi nasi hitam
Beras wulung pecah kulit
Pengolahan menjadi nasi Pengolahan menjadi tepung
Evaluasi kadar zat potensi
Analisis Data
Pelaporan
Gambar 1. Jalan penelitian secara keseluruhan
Analisis kadar total phenoldan Antosianin
Analisis kadar air,karbohidrat, protein, lemak,abu, total phenol dan kadarantosianin
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
65
Beras wulung
Pencucian
Penyangraian dalam wajan stainlesssteel, 15 menit disertai pengadukan
Penggilingan dengan blender
Bubuk (powder) beras wulung
Gambar 3. Diagram alir pengolahan beras wulung menjadi tepung (powder)
Pengayakan
Pasir
Pengeringan(Penjemuran)
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
66
Beras Wulung
Tepung Beras Wulung
Gambar 4. Beras wulung dan hasil olahannya
Nasi Beras Wulung
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
67
Gambar 5. Kandungan Total phenol mg ekuivalen asam gallat /100 g (% db) pada beras wulung (BrsW.PK= 0,76±0,04), tepung beras wulung (Tep Brs W=0,55±0,02) dan nasi beras wulung(Nasi Brs W=0,84±06). Diagram yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata.
Gambar 6. Perubahan kadar antosianin (mg/100g, %db) beras Wulung (Brs W.PK=2,89±0,02) menjaditepung beras Wulung (Tep Brs W=2,41±0,06) dan Nasi beras Wulung (Nasi BrsW=0,47±0,01). Diagram yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata.
Tabel 1. Hasil Analisa Proksimat Beras Wulung (Hitam) dan Beras Merah
Komponen Beras Wulung (%,wb) Beras Merah (%,wb)Air 13,34 13,28Mineral Total 2,04 1,57Lemak 4,23 4,15Protein Total 15,41 15,41Karbohidrat 64,98 65,59Serat Kasar 3,52 2,33
00.10.20.30.40.50.60.70.80.9
Brs W. PK Tep Brs W
0.76totalphenol
Macam pengolahan
Perubahan kandungan total phenol selama pengolahan beras wulung
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
Brs W. PK
2.8918
kadar
antosianin
a
b
a
a
b
c
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
67
Gambar 5. Kandungan Total phenol mg ekuivalen asam gallat /100 g (% db) pada beras wulung (BrsW.PK= 0,76±0,04), tepung beras wulung (Tep Brs W=0,55±0,02) dan nasi beras wulung(Nasi Brs W=0,84±06). Diagram yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata.
Gambar 6. Perubahan kadar antosianin (mg/100g, %db) beras Wulung (Brs W.PK=2,89±0,02) menjaditepung beras Wulung (Tep Brs W=2,41±0,06) dan Nasi beras Wulung (Nasi BrsW=0,47±0,01). Diagram yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata.
Tabel 1. Hasil Analisa Proksimat Beras Wulung (Hitam) dan Beras Merah
Komponen Beras Wulung (%,wb) Beras Merah (%,wb)Air 13,34 13,28Mineral Total 2,04 1,57Lemak 4,23 4,15Protein Total 15,41 15,41Karbohidrat 64,98 65,59Serat Kasar 3,52 2,33
Tep Brs W Nasi Brs W
0.55
0.84
Macam pengolahan
Perubahan kandungan total phenol selama pengolahan beras wulung
Brs W. PK Tep Brs W Nasi Brs W
2.8918
2.4091
0.4741
macam pengolahan
a
b
a
a
b
c
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
67
Gambar 5. Kandungan Total phenol mg ekuivalen asam gallat /100 g (% db) pada beras wulung (BrsW.PK= 0,76±0,04), tepung beras wulung (Tep Brs W=0,55±0,02) dan nasi beras wulung(Nasi Brs W=0,84±06). Diagram yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata.
Gambar 6. Perubahan kadar antosianin (mg/100g, %db) beras Wulung (Brs W.PK=2,89±0,02) menjaditepung beras Wulung (Tep Brs W=2,41±0,06) dan Nasi beras Wulung (Nasi BrsW=0,47±0,01). Diagram yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata.
Tabel 1. Hasil Analisa Proksimat Beras Wulung (Hitam) dan Beras Merah
Komponen Beras Wulung (%,wb) Beras Merah (%,wb)Air 13,34 13,28Mineral Total 2,04 1,57Lemak 4,23 4,15Protein Total 15,41 15,41Karbohidrat 64,98 65,59Serat Kasar 3,52 2,33
a
b
a
a
b
c
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
68
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
69
PEDOMAN PENULISAN NASKAH
A. FormatSeluruh bagian dari naskah narasi diketik dua spasi pada kertas HVS ukuran kuarto, batas atas-
bawah dan samping masing-masing 2,5 cm. Pengetikan dilakukan dengan menggunakan huruf bertipeTimes New Roman berukuran 12, dengan spasi ganda dan tidak bolak-balik. Gambar dan tabel daripublikasi sebelumnya dapat dicantumkan apabila mendapat persetujuan dari penulisnya. Setiap halamandiberi nomor secara berurutan termasuk halaman tabel/bagan/grafik/gambar/foto pada akhir naskah.Publikasi ilmiah ditulis 15-17 halaman (sekitar 3000 karakter), termasuk gambar dan tabel. Susunannaskah hasil penelitian dibuat sebagai berikut:1. Judul
Ada dua bahasa dalam penulisan judul, yaitu yang pertama menggunakan Bahasa Indonesia dankedua Bahasa Inggris. Judul menggunakan Bahasa Indonesia dicetak dengan huruf besar pada awal kata(kecuali kata sambung) bertipe Times New Roman berukuran 14 dan spasi satu, sedangkan yangberbahasa Inggris dengan huruf miring. Judul artikel ditulis singkat dan informatif dan mampumenerangkan isi tulisan dengan jumlah maksimal 15 kata. Hindari penggunaan kata yang mempunyaikesan umum seperti penelahaan, studi, pengaruh dan lain-lain. Tidak diperkenankan menggunakansingkatan dan penambahan nama latin.2. Nama dan Alamat Penulis
Penulisan nama ditulis semua nama yang terlibat dan lengkap tidak ada singkatan. Penulisannama tidak dilengkapi pangkat, kedudukan dan gelar akademik, dan diberi kode (1, 2, 3,...) pada bagianatas nama belakang dari masing-masing nama penulis. Bagian bawah nama diberi alamat korespodensi(alamat institusi) masing-masing nama, dengan mengikuti kode di atas, dan alamat e-mail lembaga yangmemungkinkan terjadi korespodensi dengan ilmuwan lain.3. Abstrak
Abstrak merupakan ringkasan yang lengkap dan menjelaskan keseluruhan isi artikel ilmiah.Abstrak ditulis sebaik mungkin agar pembaca dapat menangkap isi artikel tanpa harus mengacu keartikel lengkapnya. Abstrak ditulis dalam satu bahasa yaitu bahasa Inggris dengan judul“ABSTRACT”, paling banyak terdiri atas 200 kata dalam satu paragrap, diketik huruf miring denganspasi tunggal. Abstrak berisi ringkasan pokok bahasan lengkap dari keseluruhan naskah (Pendahuluan,Metode Penelitian, Hasil, dan Kesimpulan) tanpa harus memberikan keterangan terperinci dari setiapbab. Abstrak tidak mencantumkan tabel, ilustrasi, rujukan dan singkatan. Untuk menghemat kata,jangan mengulang judul dalam abstrak.4. Kata Kunci
Kata kunci adalah kata-kata yang mengandung konsep pokok yang dibahas dalam artikel. Katakunci dengan judul “Key words” sebanyak 3 sampai 6 kata ditulis dalam bahasa Inggris diletakkan dibawah abstract dalam satu baris dan cara pengurutannya dari yang spesifik ke yang umum. Kata kunciyang baik dapat mewakili topik yang dibahas dan digunakan untuk mengakses lewat komputer olehpembaca.5. Pendahuluan
Pendahuluan merupakan pengantar tentang substansi artikel sesuai dengan topik danmasalahnya, terutama alasan-alasan baik teoritis maupun empiris yang melatar belakangi kegiatanpenulisan artikel. Memuat secara ekplisit dengan singkat dan jelas tentang arah, maksud, tujuan sertakegunaan artikel agar substansi artikel tidak menimbulkan kerancuan pengertian, pemahaman dan
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
70
penafsiran makna bagi pembacanya. Berisi penjelasan latar belakang atau problematika yang dikaji dantujuan penelitian dilakukan.
Kalimat-kalimat awal seharusnya merupakan hasil pemikiran sendiri, bukan kutipan. Penyajianharus runut secara kronologis, ada kaitan logika antara alinea pertama dengan berikutnya dengan jelas.Kerangka berpikir disajikan secara singkat dan jelas berdasarkan konsep-konsep teoritis yang digunakanuntuk membahas, menganalisis dan menafsirkan data, informasi serta temuan-temuan yang diperoleh.Penting dikemukakan pula konsep-konsep pemikiran yang berasal dari temuan-temuan peneliti sejenis,jika mungkin yang terbaru, yang telah dilakukan oleh peneliti atau penulis yang sebelumnya.
Pustaka yang digunakan benar-benar mendukung latar belakang yang diungkapkan. Sebaiknyatidak mengutip hasil-hasil penelitian terdahulu yang tidak dipublikasikan. Nama organisme(Indonesia/daerah) yang tidak umum harus diikuti dengan nama ilmiahnya pada pengungkapan pertamakali.6. Metodologi
Metode adalah cara-cara yang digunakan dalam penulisan artikel ilmiah. Metode tersebut harussesuai dengan metodologi yang digunakan pada saat melakukan penelitian. Berisi informasi teknis(deskripsi bahan, penarikan contoh, prosedur dan pengolahan data) dan diuraikan secara lengkap jikametode yang digunakan merupakan metode baru. Untuk metode yang sudah umum digunakan, cukupdengan menyebutkan pustaka yang diacu. Dalam menulis pelaksanaan teknis penelitian (prosedur) tidakmenggunakan kalimat perintah. Bahan kimia yang sangat penting dan khusus untuk analisis disebutkanprodusennya. Alat seperti gunting, gelas ukur, gelas kimia, pensil dan lain-lain tidak perlu ditulis, tetapiperalatan khusus untuk analisa (AAS, spektrofotometer, HPLC, GC, dan lain-lain) ditulis secara rincibahkan sampai ke tipenya.7. Hasil dan Pembahasan
Berisi pengungkapan hasil-hasil penelitian saja, yang dapat disajikan dalam bentuk tubuhtulisan, tabel/bagan/grafik/gambar/foto disertai keterangan yang jelas dan informatif. Penyajian dataharus sitematik, perlu dilihat tujuan dan langkah-langkah dalam metode. Narasi data berupa sarinyabukan menarasikan data seperti apa adanya. Penyajian data juga didukung oleh olahan data (bukan datamentah) dan ilustrasi yang baik. Pemberian nomor dibuat secara berurutan sesuai dalam naskah dandilampirkan secara terpisah dari naskah. Keterangan gambar ditulis di bawah gambar, sedangkanketerangan tabel ditulis di atas tabel dan harus dibatasi dalam tubuh tulisan. Gambar dan bentuk grafikdapat dibuat pada halaman terpisah.
Pembahasan bukan sekedar menarasikan data, tetapi berisi interprestasi hasil-hasil penelitianyang diperoleh dan pembahasan yang dikaitkan dengan hasil-hasil penelitian yang pernahdipublikasikan. Dalam menarasikan disesuaikan dengan tujuan dan hipotesa penelitian. Dalampembahasan juga dilakukan analisa atau tafsiran dan pengembangan gagasan atau argumentasi denganmengaitkan hasil, teori atau temuan sebelumnya.
Ada dua pendekatan dalam melakukan pembahasan dan analisis terhadap data, yaitu pendekatankuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif bersifat obyektif, positifistik dan bebas nilai,subyektifitas sedapat mungkin dihindari. Pendekatan kualitatif bersifat subyektif, relatifisme dan tidakbebas nilai. Hasil pembahasan dan analisis tidak berpretensi menghasilkan generalisasi, kalaupun adageneralisasi terbatas pada lingkup obyek penelitian.8. Kesimpulan
Simpulan ditulis secara kritis dan cermat dan dilakukan generalisasi (induktif) dibuat denganhati-hati. Nyatakan simpulan atas hasil dan pembahasan secara singkat, padat, serta tanpa nomor urut.simpulan tidak mencantumkan kutipan dan analisa statistik.
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
71
9. Ucapan Terima KasihPenulis dapat memberikan ucapan terima kasih kepada penyandang dana penelitian, maupun
kepada institusi serta orang yang membantu dalam pelaksanaan penelitian. Nama institusi penyandangdana supaya dituliskan secara lengkap.10. Daftar Pustaka
Daftar pustaka ditulis memakai system nama dan disusun secara abjad. Beberapa contoh:a. Jurnal :Rueppel ML, Brightwell BB, Schaefer J, and Marvel JT. 1997. Metabolism and degradation of
glyphosate in soil and water. J Argric Food Chem 25:517-528.b. Buku :Moore-Landecker E. 1990. Fundamental of the fungi. Ed Ke-3. New Jersey:Prenice Hall.d. Abstrak :Kooswardhono, M, Sehabudin. 2001. Analisis ekonomi usaha ternak sapi perah di wilayah Propinsi
Jawa Barat. Abstrak Seminar Pengembangan Peternakan Berbasis Sumberdaya Lokal. Bogor, 8-9 Agustus 2001. Bidang Sosial dan Ekonomi-15. hlm 189.
e. Prosiding :Lukiwati D.R. dan Hardjosoewignjo S. 1998. Mineral content improvement of Some tropical legumes
with Glamous fungi inoculation and rock phosphate fertilization. Di dalam: Proccedings of theInternal Workshop on Mycorrhiza. Guangzhou, PR China, 6 September – 31 August 1998. hlm77-79.
f. Skripsi/Tesis/Disertasi :Ismunadji M. 1982. Pengaruh pemupukan belerang terhadap susunan kimia dan produksi padi sawah.
(Tesis). Bogor.Institut Pertanian Bogor.g. Informasi dari Internet :Hansel L. 1999. Non-target effect of Bt corn Pollen on the Monarch butterfly
(Lepidoptera:Danaidae).http://www.ent.iastate. edu/ensoc/ncb99/prog/abs/D81.html. (21Agustus 1999)
Acuan pustaka dalam teks ditulis dengan model nama dan tahun yang diletakkan dibelakangkata-kata, ungkapan atau kalimat yang diacu. Acuan yang ditulis dalam teks harus ada dalam daftarpustaka yang diacu dan sebaliknya bila ada dalam daftar pustaka juga harus ada dalam teks. Kata-kata,ungkapan atau kalimat yang ada alam teks tanpa sumber acuan dapat dianggap sebagai pendapat penulisdan bila ternyata sebenarnya mengacu dari pustaka lain, dapat dianggap plagiat.
B. Ketentuan Umum1. Naskah yang dikirim belum pernah diterbitkan, berupa hasil penelitian atau kajian pustaka yang
ditambah pemikiran penerapannya pada kasus tertentu dengan topik yang aktual dalam lingkuppangan dan gizi.
2. Penulis mengirimkan naskah dalam bentuk hard copy rangkap 2 dan soft copy dalam CD ataumelalui e-mail.
3. Jadual penerbitan adalah bulan Juli dan Desember.4. Naskah jurnal untuk edisi yang akan terbit, paling lambat diterima oleh redaksi tiga (3) bulan
sebelum jadwal penerbitan. Naskah akan dikoreksi oleh Mitra Bestari yang akan dijadikan dewanredaksi sebagai dasar dalam memutuskan diterima atau tidaknya naskah.
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
72