(Adolescent Attitudes toward Bullying in Urban High School)
Transcript of (Adolescent Attitudes toward Bullying in Urban High School)
Gambaran Sikap Remaja terhadap Perilaku Bullying Saat SMA di Kota Maju
(Adolescent Attitudes toward Bullying in Urban High School)
Dairisena Arsela Lifina Dewi Pohan
Ratna Djuwita Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
Abstract
Bullying is a systematic abuse of power did by person or group of people to hurts someone or group of people deliberately, repetitively, and continually (Rigby, 2008). Earlier research showed that youth attitudes that agreed toward bullying behavior to be a predictor of bullying behavior. An attitude is influenced by the environment where someone lives. The present study investigated to assess 500 adolescent (aged 18-21) attitudes toward bullying behavior of urban high school. In this study used Bullying Survey questionnaire were adapted from Swearer and Cary (2003). Results from the study indicate that 86% of adolescent attitudes in the urban high school did not agreed toward bullying behavior at school, but inclined to neutral attitude. In contrast 65,3 % adolescent in the urban high school have an experienced of bullying. Most of the participants were bystander, because researcher did not divide specifically about role in bullying, so this research indicated that they were disagree with bullying.
Keywords: bullying, attitude, adolescent, urban. Abstrak Bullying merupakan perilaku tidak menyenangkan yang dilakukan seseorang ataupun sekelompok orang secara sengaja, sistematis, berulang, dan terus menerus untuk menyakiti seseorang atau sekelompok orang (Rigby, 2008). Penelitian sebelumnya yang dilakukan di Barat menunjukkan bahwa sikap remaja yang setuju terhadap perilaku bullying menjadi prediktor penyebab terjadinya perilaku bullying. Sikap seseorang dipengaruhi oleh lingkungan dimana ia tinggal. Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran sikap remaja terhadap perilaku bullying saat SMA di kota maju. Partisipan dalam penelitian ini adalah 500 remaja yang berasal dari kota maju. Teknik pengambilan data dalam penelitian ini menggunakan kuesioner Bullying Survey yang dikembangkan dari alat ukur sikap terhadap bullying oleh Swearer dan Cary (2003). Hasil analisis pada penelitian ini menunjukkan bahwa sebanyak 86% partisipan memiliki sikap yang tidak setuju terhadap perilaku bullying di sekolah, dimana ketidaksetujuan tersebut cenderung pada sikap netral. Sementara itu, sebanyak 65,3 % remaja di kota maju mengaku pernah terlibat dalam perilaku bullying di sekolah, baik sebagai pelaku, korban, maupun saksi. Sebagian besar partisipan adalah saksi, karena peneliti tidak secara khusus memetakan peran dalam bullying sehingga hasil penelitian ini menunjukkan sikap yang tidak setuju terhadap perilaku bullying.
Kata Kunci : bullying, sikap, remaja, kota maju.
Latar Belakang
Bullying merupakan salah satu bentuk perilaku agresi yang terjadi ketika seseorang
atau sekelompok orang menggunakan ketidakseimbangan kekuasaan untuk menyakiti
seseorang secara terus-menerus (Byers, Caltabiano, & Caltabiano, 2011). Penelitian di tahun
Gambaran sikap …, Dairisena Arsela, Fpsi UI, 2013
2008 yang dilakukan oleh World Vision Indonesia, sebuah organisasi kemanusiaan di
Indonesia, menunjukkan bahwa ada 1626 kasus bullying di Indonesia dan mengalami
peningkatan pada tahun 2009 menjadi 1891 kasus dimana 891 kasusnya terjadi di lingkungan
sekolah seperti pemukulan, penganiayaan, dan penindasan (Napitupulu, 2012). Data tersebut
menunjukkan bahwa bullying yang terjadi di sekolah-sekolah Indonesia mengalami
peningkatan sebanyak 16,3% setiap tahunnya.
Oleh karena itu, tim payung penelitian fakultas Psikologi mengenai perilaku bullying
di Sekolah Menengah Atas melakukan Focus Group Discussion (FGD) pada 7 mahasiswa
angkatan 2012 Universitas Indonesia. Hasil diskusi secara keseluruhan menunjukkan bahwa
mayoritas partisipan pernah terlibat dalam perilaku bullying di sekolah. Ada fenomena yang
menarik dalam diskusi tersebut, dimana tiga partisipan menganggap perilaku bullying di
sekolah merupakan perilaku yang positif atau dapat dikatakan bahwa mereka memiliki sikap
yang mendukung perilaku bullying di sekolah. Alasan mereka mendukung perilaku bullying
karena untuk membentuk mental korban agar lebih tangguh, membuat korban mengikuti
norma yang ada di lingkungan tersebut, dan agar korban lebih menghormati kakak kelas.
Keputusan pelaku untuk melakukan bullying pada korban dikarenakan pelaku memiliki sikap
yang mendukung adanya perilaku bullying.
Sikap seseorang terhadap perilaku bullying menjadi prediktor seseorang untuk
melakukan atau tidak melakukan bullying. Sikap adalah reaksi evaluatif berupa penilaian
terhadap objek baik situasi atau manusia dengan menunjukkan kesukaan atau ketidaksukaan
yang melibatkan kepercayaan, perasaan, dan kecenderungan terhadap perilaku seseorang
(Vaughan & Hogg, 2002). McConville dan Cornell (2003), dalam penelitiannya yang
dilakukan pada 403 siswa menengah pertama untuk menguji sikap siswa terhadap kekerasan
membuktikan bahwa sikap yang setuju terhadap kekerasan menjadi prediktor perilaku
bullying. Perilaku bullying muncul ketika seseorang memiliki sikap yang setuju terhadap
perilaku bullying karena individu akan berperilaku sesuai dengan apa yang ia yakini.
Hanif, Nadeem, dan Tariq (2011) melakukan penelitian mengenai gambaran sikap
terhadap perilaku bullying pada 100 siswa berusia 13-16 tahun di sekolah-sekolah di
Islamabad, Pakistan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar siswa tidak
mendukung perilaku bullying. Penelitian eksperimental juga dilakukan oleh Baldry (2004)
pada 117 siswa menengah pertama untuk menguji pengaruh sikap terhadap perilaku bullying.
Pengukuran dilakukan dengan menonton video yang dimanipulasi menjadi empat kelompok,
kemudian diberikan kuesioner yang mengukur sikap siswa terhadap perilaku bullying. Hasil
penelitian tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar siswa memiliki sikap yang tidak
Gambaran sikap …, Dairisena Arsela, Fpsi UI, 2013
setuju terhadap perilaku bullying. Sementara itu, responden yang setuju terhadap perilaku
bullying menyebutkan alasan mereka setuju terhadap perilaku bullying agar seseorang
menjadi lebih kuat, berani, tangguh, lebih berkuasa, dan memiliki karakter yang dikagumi
oleh teman-temannya.
Sikap seseorang pada dasarnya dipengaruhi oleh lingkungan dimana ia tinggal seperti
karakteristik lingkungan baik secara fisik seperti infrastruktur yang tersedia, kepadatan
penduduk, maupun konteks sosial seperti norma masyarakat yang berlaku (Esposito, 2007).
Menurut Esposito, lingkungan perkotaan lebih rentan bagi remaja untuk terlibat dalam
perilaku bullying karena remaja perkotaan lebih banyak terpapar kekerasan yang membentuk
sikap mereka menjadi positif terhadap kekerasan. Penelitian yang dilakukan Djuwita dan
Royanto (2008) mengenai perilaku bullying di tiga kota maju yaitu Jakarta, Yogyakarta, dan
Surabaya, juga menunjukkan bahwa 67,9 % responden dari tingkat SD, SMP, dan SMA
mengakui bullying terjadi di sekolah mereka.
Akan tetapi, penelitian-penelitian bullying selama ini masih dilakukan dalam lingkup
yang kecil seperti di sebuah sekolah, satu kota, atau tiga kota saja. Oleh karena itu, penelitian
ini mencoba untuk melihat gambaran sikap remaja terhadap perilaku bullying saat SMA di
beberapa kota yang memiliki karakteristik yang sama dan tergolong dalam kategori kota
maju. Batasan kota maju dalam penelitian ini mengacu pada pembagian kategori kota menurut
BPS dan KPDT yang menyebutkan bahwa kota maju merupakan kota dengan karakteristik
yang memiliki fasilitas perkotaan lengkap, sumber daya manusia yang berkualitas, dan
perekonomian daerah yang baik (Badan Pusat Statistik, 2010). Partisipan dalam penelitian ini
sekitar 500 mahasiswa baru angkatan 2012 yang berada pada tahap perkembangan remaja
akhir dan berasal dari kota maju. Peneliti memilih mahasiswa dalam penelitian ini karena
partisipan yang sudah terlepas dari institusi SMA diharapkan akan lebih terbuka dalam
menjawab pertanyaan. Selain itu, menurut Swearer dan Cary (2003), pengukuran sikap yang
berkaitan dengan pengaruh lingkungan atau norma sosial, sebaiknya dilakukan pada remaja
yang lebih tua atau menjelang dewasa karena nilai-nilai dan identitas dalam konteks sosial
pada remaja akhir lebih stabil. Partisipan diminta untuk mengisikan kuesioner Bullying Survey
yang peneliti kembangkan dari alat ukur Swearer dan Cary.
Tinjauan Teoritis
Rigby (2011) menyebutkan bahwa bullying adalah penyalahgunaan kekuasaan yang
dilakukan secara sistematis, berulang-ulang dan terus menerus. Batasan perilaku berulang-
ulang tidak harus berlangsung beberapa kali, tetapi mungkin saja berlangsung satu kali, tetapi
Gambaran sikap …, Dairisena Arsela, Fpsi UI, 2013
dampaknya masih dirasakan korban secara terus-menerus. Misalkan korban mendapatkan
perilaku bullying satu kali di bus sekolah, tetapi korban merasakan dampaknya sampai
berhari-hari dan takut untuk kembali naik bus sekolah. Penelitian terbaru terkait literatur
bullying dari tahun ke juga dilakukan oleh Brank, Hoetger, dan Hazen (2012) yang
menunjukkan bahwa sebagian besar peneliti bullying menggunakan definisi dari Olweus yaitu
adanya ketidakseimbangan kekuatan yang dilihat dari sisi ukuran tubuh atau fisik, kekuatan
(strength), usia, dan status sosial. Disimpulkan juga dalam literatur review tersebut, bahwa
bullying adalah perilaku yang disengaja, dilakukan berulang kali dengan tujuan untuk
menyakiti seseorang dan biasanya korban tidak berdaya untuk melawan atau menghentikan
perilaku bullying tersebut.
Peneliti mengacu pada definisi bullying yang digunakan oleh Rigby yaitu perilaku
yang tidak menyenangkan di sekolah, dilakukan secara sengaja dan sistematis oleh siswa atau
sekelompok siswa yang lebih kuat untuk menyakiti fisik, verbal, maupun psikologis siswa
atau sekelompok siswa yang lebih lemah. Rigby menyatakan meskipun perilaku bullying
hanya terjadi satu kali, tetapi dapat diingat terus oleh korban sebagai batasan perilaku yang
berulang. Selain itu, Rigby juga membagi peran dalam bullying ke dalam bullies/bully
(pelaku), yaitu seseorang yang melakukan perilaku bullying dan victim (korban), yaitu
seseorang yang tersakiti, dan bystander (saksi) yang melihat berlangsungnya perilaku
bullying.
Penyebab terjadinya perilaku bullying terbagi ke dalam faktor internal dan faktor
eksternal (Esposito, 2007). Faktor internal misalkan pelaku bullying juga merupakan
seseorang yang impulsif, ingin lebih dominan, dan memiliki empati yang rendah (Olweus,
1993). Olweus juga menjelaskan seseorang bisa memiliki karakteristik yang agresif
disebabkan oleh pola asuh orang tua yang menerapkan kekerasan dalam mendidik anaknya.
Sementara faktor eksternal misalnya suasana dan lingkungan dimana seseorang tinggal.
Olweus menyebutkan bahwa remaja yang sering menonton tayangan televisi, video game, dan
film yang mengandung kekerasan, akan lebih agresif dibandingkan yang tidak menonton.
Pelaku bullying biasanya adalah siswa yang memiliki sikap positif terhadap kekerasan dan
sering menggunakan kekerasan untuk berinteraksi dengan orang lain (Esposito, 2007).
Esposito menyatakan bahwa sikap yang setuju terhadap perilaku bullying memengaruhi
seseorang untuk melakukan perilaku bullying.
Sikap memiliki pengaruh terhadap keputusan seseorang untuk melakukan atau tidak
melakukan perilaku bullying. Sikap menurut Baron, Byrne, dan Branscombe (2008) adalah
evaluasi terhadap beberapa aspek perkataan sosial. Proses evaluasi tersebut bersifat subjektif
Gambaran sikap …, Dairisena Arsela, Fpsi UI, 2013
dan berlangsung secara implisit dan eksplisit. Implisit maksudnya berlangsung secara internal
di dalam diri seseorang sehingga tidak dapat diamati secara langsung. Eksplisit artinya sikap
seseorang dapat diketahui melalui pengetahuan, keyakinan, perasaan, dan kecenderungan
tingkah laku seseorang terhadap objek atau situasi tertentu. Penelitian ini menggunakan
batasan sikap menurut Ajzen (2005) sebagai suatu kecenderungan untuk merespon secara
positif atau negatif terhadap suatu objek, manusia, institusi, atau peristiwa. Sikap tidak dapat
terlihat secara langsung, tetapi sikap dapat disimpulkan melalui pengukuran respon seseorang
terhadap objek sikap. Respon yang dimaksudkan harus mencerminkan evaluasi negatif atau
positif dengan objek sikap yaitu perilaku bullying.
Sikap seseorang bukan trait yang diperoleh sejak lahir, tetapi proses yang terus
berkembang melalui interaksi seseorang dengan lingkungan dan orang-orang di sekitarnya
(Ajzen, 2005). Sikap juga diperoleh melalui proses belajar sosial, yaitu sikap yang baru
diperoleh dari informasi, tingkah laku, atau sikap orang lain. Menurut Baron, Byrne, dan
Branscombe (2008), sikap seeorang dipelajari melalui pengamatan (observational learning)
yaitu proses pembelajaran dengan mengamati perilaku orang lain untuk dijadikan contoh.
Sarwono dan Meinarno (2009) juga menjelaskan faktor-faktor yang memengaruhi
pembentukan sikap yaitu pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap penting
(significant other), media massa, institusi atau lembaga pendidikan, dan faktor emosi dalam
diri individu.
Perbedaan sikap siswa dalam memberikan penilaian terhadap objek atau situasi tertentu
juga dipengaruhi oleh karakteristik dimana mereka tinggal (Park & Peterson, 2010).
Perbedaan lingkungan tempat tinggal yang didiami seseorang akan membentuk tipe penilaian
seseorang terhadap suatu hal menjadi berbeda pula. Ada kemungkinan lingkungan dimana
seseorang tinggal memiliki peran yang signifikan dalam terjadinya bullying. Bullying terjadi
di lingkungan yang memang memandang bahwa bullying dapat diterima dan memiliki sikap
yang mendukung terjadinya bullying, begitu pula sebaliknya bullying tidak terjadi di
lingkungan yang memandang bahwa bullying merupakan perilaku yang salah (Miller, 2006).
Miller menyebutkan norma sosial di lingkungan tempat tinggal seseorang memiliki peran
penting dalam memengaruhi sikap seseorang terhadap bullying.
Peran norma sosial dimana seseorang tinggal akan memengaruhi pembentukan sikap
seseorang karena sikap terbentuk oleh proses pembelajaran yang diperoleh dari lingkungan.
Oleh karena itu, dalam penelitian ini mencoba melakukan kontrol terhadap lingkungan yang
homogen, yaitu di kota-kota maju agar dapat terlihat kecenderungan remaja dalam bersikap
terhadap perilaku bullying. Kota maju menurut Badan Pusat Statistik (2010) adalah wilayah
Gambaran sikap …, Dairisena Arsela, Fpsi UI, 2013
administrasi yang memenuhi kriteria klasifikasi wilayah perkotaan, seperti kepadatan
penduduk, presentase rumah tangga pertanian, dan keberadaan akses pada fasilitas perkotaan.
Fasilitas perkotaan yang dimaksud beradasarkan Peraturan Klasifikasi Perkotaan-Perdesaan,
Pasal 2 tahun 2010 adalah adanya Sekolah Taman Kanak-Kanak, Sekolah Menengah Pertama,
Sekolah Menengah Umum, pasar, pertokoan, bioskop, rumah sakit, hotel/ bilyar/ diskotek/
panti pijat/ salon, persentase rumah tangga yang menggunakan telepon, dan persentase rumah
tangga yang menggunakan listrik.
Metode Penelitian
Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif, yaitu berdasarkan tujuannya
untuk melihat gambaran dan menganalisa faktor-faktor penyebab munculnya fenomena
bullying pada siswa Sekolah Menengah Atas secara sistematis. Penelitian ini digolongkan
juga ke dalam penelitian kuantitatif (quantitative research) jika didasarkan pada proses yang
digunakan untuk memperoleh jawaban dengan mengkuantifikasi variasi dalam variabel
bullying menggunakan perhitungan statistik.
Partisipan
Partisipan dalam penelitian ini adalah 500 mahasiswa angkatan 2012 dari lima
Universitas yaitu Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Universitas Negeri
Sebelas Maret, Universitas Padjajaran, dan Univesitas Diponegoro. Sampel dalam penelitian
ini adalah mahasiswa baru angkatan 2012 yang baru lulus dari SMA dan berasal dari kota
maju. Penelitian ini melibatkan mahasiswa dari beberapa universitas karena diharapkan
mahasiswa di universitas tersebut berasal dari kota domisili yang cukup heterogen, sehingga
lebih merepresentasikan populasi kota maju dalam penelitian ini.
Instrumen Penelitian
Pengukuran sikap terhadap perilaku bullying pada remaja menggunakan alat ukur
kuesioner Bullying Survey yang peneliti adaptasi dan modifikasi dari alat ukur Swearer dan
Cary pada tahun 2003. Alat ukur tersebut merupakan tipe alat ukur self report dan memiliki
reliabilitas setelah dilakukan uji coba dengan koefisien Cronbach’s Alpha sebesar 0,786.
Kemudian, berdasarkan uji validitas, ada 2 item yang memiliki skor corrected item-total
correlation di bawah 0,2. Kedua item tersebut berdasarkan uji analisis berarti kurang
homogen dalam mengukur konstruk sikap terhadap bullying. Menurut Crocker dan Algina
(1986) item yang memiliki skor corrected item-total correlation negatif sebaiknya dihapus
Gambaran sikap …, Dairisena Arsela, Fpsi UI, 2013
untuk meningkatkan validitas. Peneliti kemudian menghapus item e karena sudah terwakili
oleh 5 item lainnya dalam dimensi afektif. Peneliti tetap mempertahankan item c yang
memiliki skor corrected item-total correlation dibawah 0,2 karena mewakili dimensi kognitif
yang sedikit. Setelah melakukan revisi, alat ukur dalam penelitian ini memiliki 13 item yang
terdiri dari tiga dimensi kognitif, afektif, dan konatif.
Berdasarkan hasil revisi alat ukur Bullying Survey yang digunakan dalam penelitian ini
terdiri dari 13 item untuk mengukur sikap remaja terhadap perilaku bullying dari item a
hingga item m. Item- item unfavorable yang di awal adalah item b, item d, item g, item j, item
l, dan item m. Item unfavorable pada alat ukur penelitian ini setelah dilakukan revisi menjadi
item b, item d, item f, item i, item k, dan item l. Alat ukur terdiri dari 3 dimensi sikap yaitu
kognitif, afektif, dan konatif. Dimensi kognitif terdiri atas 4 item pernyataan, contohnya
“Pelaku bullying adalah orang yang populer”. Dimensi afektif terdiri atas 5 pernyataan,
misalnya “Saya dapat mengerti mengapa seseorang melakukan bullying pada orang lain”.
Dimensi konatif terwakili oleh 4 pernyataan, contohnya “Bullying baik dilakukan kepada
seorang siswa yang bermental lemah”.
Prosedur Penelitian
Peneliti mengawali penelitian dengan melakukan Focus Group Discussion pada 7
mahasiswa angkatan 2012 untuk menggali fenomena bullying yang terjadi di SMA. Setelah
memeroleh topik penelitian dan mengembangkan alat ukur, peneliti melakukan uji coba alat
ukur. Uji coba alat ukur peneliti lakukan kepada 75 mahasiswa angkatan 2012. Berdasarkan
uji coba tersebut, alat ukur kuesioner Survey Bullying layak untuk digunakan dalam mengukur
sikap remaja terhadap perilaku bullying karena memiliki nilai reliabilitas dan validitas yang
baik. Pelaksanaan penelitian peneliti lakukan dengan menyebarkan kuesioner melalui
beberapa ketua angkatan di masing-masing universitas yang menjadi sampel penelitian ini.
Peneliti menjelaskan melalui pesan elektronik terkait tujuan penelitian, teknis penyebaran
kuesioner, dan menanyakan kesediaan setiap ketua angkatan maupun perwakilannya untuk
membantu mengkoordinasikan penyebaran kuesioner. Peneliti membagikan kuesioner pada
ketua angkatan 2012 atau perwakilannya dari beberapa jurusan di beberapa universitas.
Peneliti memberikan penjelasan terkait jumlah item dalam kuesioner, instruksi dalam
kuesioner, cara pengerjaan kuesioner, dan item-item yang wajib diisi atau boleh tidak diisi.
Kuesioner yang peneliti bagikan di setiap universitasnya berjumlah 120 paket kuesioner.
Setelah kuesioner terisi seluruhnya, setiap perwakilan di masing-masing universitas yang
berada di luar kota, akan mengirimkan kuesioner melalui jasa pengiriman.
Gambaran sikap …, Dairisena Arsela, Fpsi UI, 2013
Skoring
Sikap terhadap perilaku bullying dalam penelitian ini diukur menggunakan tigabelas
item pertanyaan tertutup dengan lima respon jawaban dari sangat tidak setuju (1) sampai
sangat setuju (5). Skor sikap setiap partisipan diperoleh dengan membagi total skor partisipan
dengan jumlah item. Skor yang rendah menunjukkan sikap yang tidak setuju dengan perilaku
bullying, sedangkan skor yang tinggi menunjukkan sikap setuju terhadap perilaku bullying.
Batasan norma dalam penelitian ini adalah skor yang lebih kecil dari 3,00 merupakan sikap
yang tidak setuju dengan perilaku bullying dan skor yang berada di atas 3,00 merupakan sikap
yang setuju terhadap perilaku bullying.
Hasil Penelitian
Partisipan dalam penelitian ini adalah remaja dengan rentang usia 18 - 21 tahun
(M=18,61, SD = 0,621). Partisipan laki-laki sebanyak 132 (26,4%) dan perempuan sejumlah
368 (73,6%). Berdasarkan tipe sekolahnya, mayoritas partisipan berasal dari SMA Negeri
sebanyak 446 (89%) partisipan. Sampel kota maju dalam penelitian ini sejumlah 89 kota yang
berasal dari Pulau Jawa sebanyak 67 kota (92 %), Pulau Sumatra sebanyak 13 kota (5,6 %),
Pulau Sulawesi sebanyak 4 kota (0,8 %), Pulau Kalimantan sebanyak 3 kota (1 %), dan Pulau
Bali sebanyak 2 kota (0,6 %).
Berdasarkan hasil analisis data, rentang skor partisipan dalam penelitian ini adalah
1,08 – 4,31 (SD= 0, 52). Mean skor sikap remaja terhadap perilaku bullying oleh siswa SMA
di kota maju adalah 2,39. Artinya, remaja di kota maju cenderung memiliki sikap yang tidak
setuju terhadap perilaku bullying di sekolah. Berikut penjelasan mengenai persebaran skor
sikap terhadap perilaku bullying pada remaja di kota maju.
Tabel 1.1
Gambaran Sikap Remaja terhadap Perilaku Bullying di Kota Maju (N=500)
Sikap
Partisipan
Range Skor Respon
Jawaban
N Persentase
( % )
Tidak Setuju 1,00 – 1,99 Sangat Tidak Setuju 101 20,2
2,00 – 2,99 Tidak Setuju 329 65,8
Total 420 86,0
Setuju 3,00 – 3,99 Setuju 67 13,4
4,00 – 4,99 Sangat Setuju 3 0,6
Total 70 14,0
Gambaran sikap …, Dairisena Arsela, Fpsi UI, 2013
Berdasarkan tabel 1.1 dapat diketahui bahwa sebagian besar remaja di kota maju
memiliki sikap yang tidak setuju terhadap perilaku bullying dengan persentase 86 %. Akan
tetapi, dapat terlihat berdasarkan tabel 1.1 bahwa sebagian besar partisipan, yaitu 65,8%
berada pada respon jawaban tidak setuju yang mendekati range skor 3,00. Artinya, partisipan
memiliki sikap ragu-ragu dalam mendukung atau tidak mendukung perilaku bullying di
sekolah mereka.
Selain itu, peneliti juga melakukan analisis sikap remaja berdasarkan data demografis.
Tabel 1.2
Perbedaan Mean Skor Sikap terhadap Bullying berdasarkan Data Demografis (N=500)
Karakteristik N Mean F p Jenis Kelamin
Laki-laki 132 2,56 0,198 0,656 Perempuan 368 2,32
Tipe Sekolah SMA Negeri 446 2,39 1,173 0,319 SMA Swasta 45 2,32 SMK Negeri 5 2,09 SMK Swasta 4 2,12
Peran dalam Perilaku Bullying Pelaku 59 2,61 9,522 0,00* Korban 57 2,24 Saksi 214 2,30 Bully-victim 130 2,54 Outsider 40 2,21
*Signifikan p < 0,05
Berdasarkan tabel 1.2, dapat dilihat bahwa :
a. Perhitungan perbedaan mean skor sikap remaja terhadap bullying pada data demografi
jenis kelamin menunjukkan nilai F sebesar 0,198 dan tidak signifikan pada los 0,05
(p =0,656). Berdasarkan hasil tersebut diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan mean
skor sikap remaja terhadap perilaku bullying pada partisipan laki-laki dan partisipan
perempuan.
b. Perhitungan perbedaan mean skor sikap remaja terhadap bullying pada data demografi
tipe sekolah menunjukkan nilai F sebesar 1,173 dan tidak signifikan pada los 0,05
(p=0,319). Berdasarkan hasil tersebut diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan mean
skor sikap remaja terhadap perilaku bullying yang signifikan pada partisipan yang berasal
dari SMA Negeri, SMA Swasta, SMK Negeri, dan SMK Swasta.
c. Perhitungan perbedaan mean skor sikap remaja terhadap perilaku bullying pada data
demografi peran dalam perilaku bullying menunjukkan F sebesar 9,522 dan signifikan
Gambaran sikap …, Dairisena Arsela, Fpsi UI, 2013
pada los 0,05 (p = 0,00). Artinya, terdapat perbedaan sikap yang signifikan antara peran-
peran dalam perilaku bullying. Selain itu, agar perbedaan antar peran terlihat lebih jelas,
dilakukan uji Post Hoc dan diperoleh hasil sebagai berikut :
Tabel 1.3 Hasil Uji Post Hoc Perbedaan Sikap Berdasarkan Peran
Peran P Pelaku – Korban 0,011* Pelaku – Saksi 0,002* Pelaku - Bully-Victim 0,985 Pelaku – Outsider 0,008*
*Signifikan p < 0,05
Tabel 1.3 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan sikap terhadap perilaku bullying
pada pelaku dan saksi yang signifikan pada los 0,05 (0,002). Artinya, perbedaan sikap yang
paling besar berada pada kelompok pelaku dan saksi dalam perilaku bullying. Akan tetapi,
tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara pelaku dan bully-victim.
Pembahasan
Berdasarkan hasil analisis data diperoleh bahwa mayoritas remaja di kota maju tidak
setuju dengan perilaku bullying. Sementara hasil analisis dari gambaran perilakubullyingyang
terjadi pada remaja dalam penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar partisipan pernah
terlibat dalam perilaku bullying baik sebagai korban, pelaku, pelaku sekaligus korban (bully-
victim), dan saksi (bystander). Hasil penelitian ini, sejalan dengan penelitian yang dilakukan
Salmivalli, Kaukiainen, dan Voeten (2005) pada remaja di Amerika yang menemukan adanya
kesenjangan antara sikap siswa terhadap perilaku bullying dengan perilaku bullying yang
sebenarnya terjadi.
Penelitian ini juga menunjukkan bahwa mayoritas partisipan memiliki sikap yang tidak
setuju terhadap perilakubullying, namun perilaku bullying yang sebenarnya terjadi di kota
maju cukup tinggi. Hal tersebut disebabkan oleh partisipan dalam penelitian ini mayoritas
adalah saksi (bystander) dan korban, hanya sedikit partisipan yang teridentifikasi sebagai
pelaku bullying, sehingga hasil penelitian ini cenderung menunjukkan sikap yang tidak setuju
dengan perilaku bullying, tetapi ketidaksetujuan partisipan mendekati sikap netral. Jumlah
yang tidak seimbang antara pelaku, korban, dan saksi dikarenakan dari awal peneliti tidak
memfokuskan pada pembagian peran sehingga peran dalam perilaku bullying diperoleh
berdasarkan perolehan partisipan. Selain itu, peneliti juga memodifikasi alat ukur dengan
menggabungkan pertanyaan untuk pelaku, korban, maupun saksi.Penelitian selanjutnya perlu
Gambaran sikap …, Dairisena Arsela, Fpsi UI, 2013
membedakan peran dalam perilaku bullying sebab berdasarkan uji ANOVAdiketahui terdapat
perbedaan sikap antara peran-peran dalam perilaku bullying.
Selain itu, peneliti menduga pemilihan partisipan yang berasal dari beberapa universitas
negeri memengaruhi hasil sikap yang tidak setuju terhadap perilaku bullying dalam penelitian
ini. Partisipan yang diterima di universitas negeri sebagian besar adalah siswa yang memiliki
karakter dan latar belakang yang baik dari sekolah asalnya, sehingga partisipan akan
cenderung memilih respon jawaban yang tidak setuju terhadap perilaku bullying. Pemilihan
respon jawaban partisipan juga ditentukan oleh strategi dalam pembuatan kuesioner untuk
menghindari faking good¸yaitu kecenderungan partisipan untuk menjawab dengan
menunjukkan kesan yang baik (Baron, Byrne, & Branscombe, 2008). Strategi alat ukur untuk
menghindari partisipan memberikan respon faking good adalah menggunakan item
unfavorable dengan pernyataan yang sebaliknya. Pada penelitian ini, sudah ada beberapa item
yang menggunakan pernyataan yang sebaliknya, tetapi kuesioner tidak sepenuhnya
menggunakan item unfavorable, sehingga masih ada kemungkinan partisipan untuk faking
good.
Hasil dalam penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang
menunjukkan sikap setuju terhadap perilaku bullying, karena setiap kota dalam batasan kota
maju memiliki level yang berbeda-beda (Park & Peterson, 2010). Tingkat urbanisasi yang
tinggi memberikan peranan yang penting dalam pembentukan karakteristik masyarakat yang
mendiami kota tersebut karena beragamnya budaya yang datang dan bercampur. Selain itu,
disebutkan juga kota yang lebih besar dan kesesakkan yang tinggi akan menyebabkan
seseorang lebih individualistik dan tidak saling mengenal satu sama lain secara lebih dekat.
Kemungkinan tersebut yang menyebabkan prevalensi bullying di kota maju masih tinggi,
walaupun sebagian besar remaja memiliki sikap yang tidak setuju terhadap perilaku bullying.
Sebagian besar partisipan mengidentifikasikan dirinya sebagai saksi, karena karakteristik
individualistik yang tinggi, mereka mungkin beranggapan bahwa guru dan teman lainnya
yang akan memberikan penanganan jika terjadi perilaku bullying.
Pembentukan sikap terhadap perilaku bullying dipengaruhi oleh pengalaman seseorang
dalam perilaku bullying baik sebagai pelaku, korban, maupun saksi. Pelaku bullying
cenderung memiliki sikap yang lebih setuju terhadap perilaku bullying dan sebaliknya, korban
bullying memiliki sikap yang paling tidak setuju terhadap perilaku bullying (Rigby, 2005).
Sebagian besar partisipan dalam penelitian ini adalah saksi (bystander) dan sebagian lainnya
merupakan pelaku yang sekaligus menjadi korban bullying. Oleh karena itu, sebagian besar
partisipan dalam penelitian ini memiliki sikap yang tidak setuju terhadap perilaku bullying.
Gambaran sikap …, Dairisena Arsela, Fpsi UI, 2013
Sikap seseorang, dipengaruhi oleh faktor budaya. Menurut Matsumoto dan Juang
(2008), budaya adalah sistem dinamis dengan aturanyang dimiliki oleh kelompok untuk
menjamin keberlangsungan hidup mereka, melibatkan sikap (attitudes), nilai-nilai (values),
keyakinan (beliefs) norma, dan perilaku. Dalam penelitian ini, partisipan berasal dari berbagai
kota dengan budaya yang berbeda-beda. Hal tersebut juga memengaruhi keyakinan partisipan
yang berbeda-beda di setiap wilayah di Indonesia, sehingga sikap remaja juga akan berbeda-
beda. Misalnya saja wilayah Surabaya dan sekitarnya, penggunaan bahasa yang kasar
merupakan hal yang wajar dilakukan untuk berinteraksi satu sama lain. Jadi, meskipun
mereka tidak setuju dengan perilaku bullying, tetapi mereka melakukan bullying verbal karena
memang sudah menjadi cara komunikasi sehari-hari.
Hal lain yang menarik dalam penelitian ini terkait dengan faktor budaya adalah banyak
partisipan yang menyatakan bahwa mereka pernah mengalami perilaku bullying di
sekolah,tetapi mereka menganggap bahwa bullying bukan suatu masalah bagi mereka dan
sebagian besar partisipan merasa bahwa pihak sekolah perlu mengkhawatirkan perilaku
bullying yang terjadi antar siswa. Hal tersebut sesuai dengan hasil focus group discussion
yang peneliti lakukan sebelum penelitian ini. Berdasarkan hasil diskusi diperoleh bahwa
masih banyak siswa yang beranggapan bahwa bullying adalah hal yang wajar untuk
dilakukan. Cara pandang yang wajar terhadap perilaku bullying disebabkan oleh komunitas
masyarakat dimana seseorang tinggal juga menganggap bahwa kekerasan adalah hal yang
wajar. Penelitian yang dilakukan Boswell (2009) dengan mengkondisikan norma dalam
sebuah kelompok untuk menerima kekerasan, menunjukkan sikap yang lebih mendukung
terhadap perilaku bullying.
Hasil lain dalam analisis penelitian ini adalah tidak terdapat perbedaan yang signifikan
antara sikap remaja laki-laki dan remaja perempuan terhadap perilaku bullying. Hal tersebut
sesuai dengan penelitian Healey, Dowson, dan Nelson (2010) yang membuktikan bahwa laki-
laki dan perempuan memiliki persepsi dan sikap yang sama terhadap perilaku bullying
meskipun memiliki pengalaman yang berbeda tentang bullying.Penelitian yang dilakukan
Reid, Monsen, dan River (2004) menunjukkan bahwa pada dasarnya laki-laki dan perempuan
memiliki prevalensi yang sama dalam melakukan bullying, tetapi mereka hanya berbeda
dalam bentuk bullying yang dilakukan. Laki-laki cenderung melakukan bullying fisik dan
secara langsung, sedangkan perempuan lebih pada bullying gestural maupun psikologis
seperti menjauhi seeorang, menyebarkan fitnah atau bullying secara tidak langsung. Akan
tetapi, untuk bullying verbal, hampir sama antara laki-laki dan perempuan.
Gambaran sikap …, Dairisena Arsela, Fpsi UI, 2013
Jika dilihat dari tipe sekolah pada remaja kota maju, juga tidak terdapat perbedaan yang
signifikan baik di SMA Negeri, SMA Swasta, maupun di SMK. Sejalan dengan hasil
penelitian ini, perbedaan tipe sekolah menurut penelitian Rigby (2005) juga tidak signifikan
terhadap tingkat terjadinya perilaku bullying. Perbedaan tipe sekolah tersebut ditentukan oleh
banyaknya siswa, sekolah khusus laki-laki atau perempuan saja, dan sekolah negeri maupun
swasta. Akan tetapi, tipe sekolah juga menjadi keterbatasan dalam penelitian ini, karena
peneliti tidak mengkontrol tipe sekolah sehingga tidak diperoleh jumlah yang seimbang di
setiap kategori tipe sekolah.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data yang sudah dilakukan dapat ditarik kesimpulan bahwa
sebagian besar remaja di kota maju yang berada pada rentang usia 18-21 tahun memiliki
sikap yang tidak setuju terhadap perilaku bullying, tetapi ketidaksetujuan tersebut cenderung
ke sikap netral.
Jika dilihat berdasarkan perbedaan jenis kelamin, tidak terdapat pebedaan sikap yang
signifikan antara remaja laki-laki dan remaja perempuan di kota maju. Artinya, remaja laki-
laki dan perempuan memiliki sikap yang sama terhadap perilaku bullying. Berdasarkan peran
dalam perilaku bullying, terdapat perbedaan sikap terhadap perilaku bullying yang signifikan
antara pelaku bullying dengan saksi bullying, pelaku dengan korban, dan pelaku dengan
outsider.
Saran
Berdasarkan hasil penelitan yang telah dilakukan, saran teoritis yang dapat diajukan
peneliti antara lain :
Saran Metodologis
a. Penelitian mengenai sikap terhadap perilaku bullying sebaiknya terus dikembangkan,
dengan melihat perbandingan sikap terhadap perilaku bullying berdasarkan kategori
lingkungan dimana seseorang tinggal.
b. Penelitian selanjutnya, perlu menggali faktor-faktor yang paling berpengaruh terhadap
pembentukan sikap remaja terhadap perilaku bullying. Penelitian tersebut sebaiknya
dilakukan dengan penggabungan dua metode penelitian yaitu metode kuantitatif dan
kualitatif. Melalui metode kualitatif dengan wawancara, diharapkan dapat lebih
menggali faktor-faktor yang memengaruhi sikap seseorang.
Gambaran sikap …, Dairisena Arsela, Fpsi UI, 2013
c. Penelitian selanjutnya sebaiknya melihat hubungan sikap terhadap perilaku bullying
dengan faktor-faktor lainnya yang dapat memengaruhi, seperti kepribadian, norma
sosial, dan nilai-nilai budaya yang masih kental dengan masyarakat Indonesia.
d. Untuk penelitian selanjutnya, perlu menambahkan data demografi yang mungkin akan
memengaruhi sikap remaja. Data demografi yang perlu ditambahkan adalah apakah
partisipan tinggal bersama orang tua, lingkungan kost, atau tinggal di lingkungan
asrama bersama teman-teman yang berasal dari berbagai daerah. Faktor tersebut
diperkirakan memengaruhi perubahan tingkah laku remaja yang cenderung untuk
menyesuaikan terhadap lingkungan baru.
Saran Praktis
a. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa sikap remaja di kota maju cenderung
tidak setuju terhadap perilaku bullying, Dengan demikian, dapat menjadi referensi
bagi pihak-pihak yang berkepentingan untuk memberikan penanganan yang tepat
terkait perilaku bullying di sekolah karena dapat diketahui sebenarnya sebagian besar
siswa di kota maju, tidak mendukung perilaku bullying.
b. Perlu dilakukan penyuluhan, seminar, psikoedukasi terhadap pihak sekolah dan
orang tua terkait banyaknya perilaku bullying yang terjadi pada siswa SMA di kota
maju.
c. Banyaknya perilaku bullying masih terjadi, tidak hanya disebabkan oleh sikap
seseorang yang setuju terhadap perilaku bullying, tapi mungkin karena kurangnya
empati seseorang dan rendahnya kemampuan seseorang untuk asertif. Oleh karena
itu, perlu bagi pihak sekolah, orang tua, dan siswa untuk meningkatkan empati
mereka terhadap korban bullying dan meningkatkan kemampuan asertif siswa
dengan pelatihan-pelatihan yang meningkatkan kemampuan sosial.
d. Komunitas di mana seseorang tinggal diharapkan masyarakat memberikan dukungan
sosial dan kontrol yang baik pada remaja dengan menciptakan suasana di pusat
rekreasi serta tempat hiburan bagi remaja menjadi lebih nyaman, sehingga menjadi
tempat pengalihan bagi remaja dari perilaku bullying.
Gambaran sikap …, Dairisena Arsela, Fpsi UI, 2013
Daftar Pustaka
Ajzen, I. (2005) Attitudes, personality, and behavior : Second edition. New York : McGraw Hill Education.
Badan Pusat Statistik. (2010). Klasifikasi perkotaan dan pedesaan di indonesia. Electronic Book. Diunduh dari www.bps.go.id.
Baldry,A.C. (2004). What about bullying? An experimental field study to understand student’s attitudes towards bullying and victimization in Italian middle school. Journal of Educational Psychology, 74, 583-598.
Barboza, G. E., Schiamberg, L. B., Oehmke, J., Korzeniewski, S. J., Post, L. A., dan Heraux, C. G. (2009). Inividual characteristics and the multiple contexts of adolescent bullying : An ecological perpective. Journal Youth Adolescene, 38, 101-121. doi : 10.1007/s10964-008-9271-1
Baron,R.A., Byrne,D., & Branscombe. (2008). Social Psychology : 13th edition. Boston : Pearson.
Boswell, M.K. (2009). Social norms, empathy, and attitudes toward aggression as predictors of bullying in school children. (Dissertation). Northen Illinois University : USA.
Brank, E.M., Hoetger, Lori.A., & Hazen, K.P. (2012). Bullying. Annual Review of Law Social Science, 8, 213-230.
Byers, D.L., Caltabiano, N. J., & Caltabiano, M. L. (2011). Teacher’s attitudes towards overt and covert bullying and perceived efficacy to intervene. Journal of Teacher Education. 36, 11. 105-119.
Crocker, L., & Algina, J. (1986).Introduction to classical and modern test theory.United States: Holt, Rinehart and Winston, Inc.
Djuwita, R., dan Royanto, R.M. (2008). Peranan faktor personal dan situasional terhadap perilaku bullying di tiga kota besar. (Laporan Penelitian DIPA). Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Tidak Dipublikasikan.
Esposito, L. E. (2002). The role of empathy, anger management anda normative beliefs about aggression in bullying among urban, African-american middle school children. (Dissertation). University of Hartford : Virginia.
Hanif, R. Nadeem, M., & Tariq, S. (2011). Bullying in school : attitudes of children, teachers, and parents. Journal of Contemporary Research in Business, 11, 1-9.
Healey, J., Dowson, M., & Nelson, G. F. (2010). Adolescents experiences, perceptions and attitudes towards bullying. (National Research). University of Western Sydney : Australia.
Matsumoto, D., & Juang, L. (2008). Culture and Psychology : 4rd edition. USA : Wadsworth. McConville, D., & Cornell, D. (2003). Aggressive attitudes predict aggressive behavior in
middle school students. Journal of Emotional and Behavioral Disorder, 11, 179-189. Miller, C. K. (2006). Student and teacher perceptions of school social climate and attitudes
toward bullying : Implication for intervention. (Dissertation). University of Nebraska- Lincoln : Nebraska.
Napitupulu, E. L., (27 September 2012). Mengampanyekan antibullying. Kompas.com. Diunduh dari
Gambaran sikap …, Dairisena Arsela, Fpsi UI, 2013
http://edukasi.kompas.com/read/2012/09/27/03305468/Mengampanyekan.Antibullying pada 10 Maret 2013.
Olweus, D. (1993). Bullying at school : Understanding children’s worlds. USA : Blackwell Publishing.
Park, N., & Peterson, C. (2010). Does it matter where we live? : The urban psychology of character strengths. American Psychologist Association, 65, 6, 535–547. doi : 10.1037/a0019621
Reid, P., Monsen, J., & River, I. (2004). Psychology's contribution to understanding and managing bullying within schools. Educational Psychology in Practice, 20, 3, 241-258. doi10.1080/0266736042000251817
Rigby, K. (2005). Why do some children bully at school? : The contributions of negative attitudes towards victims and the perceived expectations of friends, parents and teachers. School Psychology International, 26, 147-168, doi : 10.1177/0143034305052910
Rigby, K. (2008). Children and bullying : how parents and educators can reduce bullying at school. USA : Backwell Publishing.
Rigby, K. (2011). The methode of share concern : A positive approach to bullying in school. Australia : Acer Press.
Salmivalli, C., Kaukiainen, A., & Voeten, M. (2005). Anti-bullying intervention: implementation and outcome. British Journal of Educational Psychology, 75, 465–487.
Sarwono, S.W., & Meinarno,E. (2009). Psikologi sosial. Salemba Humanika : Jakarta. Swearer, S. M., & Cary, P. T. (2003). Perceptions and attitudes toward bullying in middle
school youth: A developmental examination across the bully/victim continuum. Journal of Applied School Psychology, 19, 63–79.
Vaughan, G.M., & Hogg, M.A. (2002). Introduction to social psychology : Third edition. Australia : Pearson Education.
Gambaran sikap …, Dairisena Arsela, Fpsi UI, 2013