(Adolescent Attitudes toward Bullying in Urban High School)

16
Gambaran Sikap Remaja terhadap Perilaku Bullying Saat SMA di Kota Maju (Adolescent Attitudes toward Bullying in Urban High School) Dairisena Arsela Lifina Dewi Pohan Ratna Djuwita Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Abstract Bullying is a systematic abuse of power did by person or group of people to hurts someone or group of people deliberately, repetitively, and continually (Rigby, 2008). Earlier research showed that youth attitudes that agreed toward bullying behavior to be a predictor of bullying behavior. An attitude is influenced by the environment where someone lives. The present study investigated to assess 500 adolescent (aged 18-21) attitudes toward bullying behavior of urban high school. In this study used Bullying Survey questionnaire were adapted from Swearer and Cary (2003). Results from the study indicate that 86% of adolescent attitudes in the urban high school did not agreed toward bullying behavior at school, but inclined to neutral attitude. In contrast 65,3 % adolescent in the urban high school have an experienced of bullying. Most of the participants were bystander, because researcher did not divide specifically about role in bullying, so this research indicated that they were disagree with bullying. Keywords: bullying, attitude, adolescent, urban. Abstrak Bullying merupakan perilaku tidak menyenangkan yang dilakukan seseorang ataupun sekelompok orang secara sengaja, sistematis, berulang, dan terus menerus untuk menyakiti seseorang atau sekelompok orang (Rigby, 2008). Penelitian sebelumnya yang dilakukan di Barat menunjukkan bahwa sikap remaja yang setuju terhadap perilaku bullying menjadi prediktor penyebab terjadinya perilaku bullying. Sikap seseorang dipengaruhi oleh lingkungan dimana ia tinggal. Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran sikap remaja terhadap perilaku bullying saat SMA di kota maju. Partisipan dalam penelitian ini adalah 500 remaja yang berasal dari kota maju. Teknik pengambilan data dalam penelitian ini menggunakan kuesioner Bullying Survey yang dikembangkan dari alat ukur sikap terhadap bullying oleh Swearer dan Cary (2003). Hasil analisis pada penelitian ini menunjukkan bahwa sebanyak 86% partisipan memiliki sikap yang tidak setuju terhadap perilaku bullying di sekolah, dimana ketidaksetujuan tersebut cenderung pada sikap netral. Sementara itu, sebanyak 65,3 % remaja di kota maju mengaku pernah terlibat dalam perilaku bullying di sekolah, baik sebagai pelaku, korban, maupun saksi. Sebagian besar partisipan adalah saksi, karena peneliti tidak secara khusus memetakan peran dalam bullying sehingga hasil penelitian ini menunjukkan sikap yang tidak setuju terhadap perilaku bullying. Kata Kunci : bullying, sikap, remaja, kota maju. Latar Belakang Bullying merupakan salah satu bentuk perilaku agresi yang terjadi ketika seseorang atau sekelompok orang menggunakan ketidakseimbangan kekuasaan untuk menyakiti seseorang secara terus-menerus (Byers, Caltabiano, & Caltabiano, 2011). Penelitian di tahun Gambaran sikap …, Dairisena Arsela, Fpsi UI, 2013

Transcript of (Adolescent Attitudes toward Bullying in Urban High School)

Gambaran Sikap Remaja terhadap Perilaku Bullying Saat SMA di Kota Maju

(Adolescent Attitudes toward Bullying in Urban High School)

Dairisena Arsela Lifina Dewi Pohan

Ratna Djuwita Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

Abstract

Bullying is a systematic abuse of power did by person or group of people to hurts someone or group of people deliberately, repetitively, and continually (Rigby, 2008). Earlier research showed that youth attitudes that agreed toward bullying behavior to be a predictor of bullying behavior. An attitude is influenced by the environment where someone lives. The present study investigated to assess 500 adolescent (aged 18-21) attitudes toward bullying behavior of urban high school. In this study used Bullying Survey questionnaire were adapted from Swearer and Cary (2003). Results from the study indicate that 86% of adolescent attitudes in the urban high school did not agreed toward bullying behavior at school, but inclined to neutral attitude. In contrast 65,3 % adolescent in the urban high school have an experienced of bullying. Most of the participants were bystander, because researcher did not divide specifically about role in bullying, so this research indicated that they were disagree with bullying.

Keywords: bullying, attitude, adolescent, urban. Abstrak Bullying merupakan perilaku tidak menyenangkan yang dilakukan seseorang ataupun sekelompok orang secara sengaja, sistematis, berulang, dan terus menerus untuk menyakiti seseorang atau sekelompok orang (Rigby, 2008). Penelitian sebelumnya yang dilakukan di Barat menunjukkan bahwa sikap remaja yang setuju terhadap perilaku bullying menjadi prediktor penyebab terjadinya perilaku bullying. Sikap seseorang dipengaruhi oleh lingkungan dimana ia tinggal. Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran sikap remaja terhadap perilaku bullying saat SMA di kota maju. Partisipan dalam penelitian ini adalah 500 remaja yang berasal dari kota maju. Teknik pengambilan data dalam penelitian ini menggunakan kuesioner Bullying Survey yang dikembangkan dari alat ukur sikap terhadap bullying oleh Swearer dan Cary (2003). Hasil analisis pada penelitian ini menunjukkan bahwa sebanyak 86% partisipan memiliki sikap yang tidak setuju terhadap perilaku bullying di sekolah, dimana ketidaksetujuan tersebut cenderung pada sikap netral. Sementara itu, sebanyak 65,3 % remaja di kota maju mengaku pernah terlibat dalam perilaku bullying di sekolah, baik sebagai pelaku, korban, maupun saksi. Sebagian besar partisipan adalah saksi, karena peneliti tidak secara khusus memetakan peran dalam bullying sehingga hasil penelitian ini menunjukkan sikap yang tidak setuju terhadap perilaku bullying.

Kata Kunci : bullying, sikap, remaja, kota maju.

Latar Belakang

Bullying merupakan salah satu bentuk perilaku agresi yang terjadi ketika seseorang

atau sekelompok orang menggunakan ketidakseimbangan kekuasaan untuk menyakiti

seseorang secara terus-menerus (Byers, Caltabiano, & Caltabiano, 2011). Penelitian di tahun

Gambaran sikap …, Dairisena Arsela, Fpsi UI, 2013

2008 yang dilakukan oleh World Vision Indonesia, sebuah organisasi kemanusiaan di

Indonesia, menunjukkan bahwa ada 1626 kasus bullying di Indonesia dan mengalami

peningkatan pada tahun 2009 menjadi 1891 kasus dimana 891 kasusnya terjadi di lingkungan

sekolah seperti pemukulan, penganiayaan, dan penindasan (Napitupulu, 2012). Data tersebut

menunjukkan bahwa bullying yang terjadi di sekolah-sekolah Indonesia mengalami

peningkatan sebanyak 16,3% setiap tahunnya.

Oleh karena itu, tim payung penelitian fakultas Psikologi mengenai perilaku bullying

di Sekolah Menengah Atas melakukan Focus Group Discussion (FGD) pada 7 mahasiswa

angkatan 2012 Universitas Indonesia. Hasil diskusi secara keseluruhan menunjukkan bahwa

mayoritas partisipan pernah terlibat dalam perilaku bullying di sekolah. Ada fenomena yang

menarik dalam diskusi tersebut, dimana tiga partisipan menganggap perilaku bullying di

sekolah merupakan perilaku yang positif atau dapat dikatakan bahwa mereka memiliki sikap

yang mendukung perilaku bullying di sekolah. Alasan mereka mendukung perilaku bullying

karena untuk membentuk mental korban agar lebih tangguh, membuat korban mengikuti

norma yang ada di lingkungan tersebut, dan agar korban lebih menghormati kakak kelas.

Keputusan pelaku untuk melakukan bullying pada korban dikarenakan pelaku memiliki sikap

yang mendukung adanya perilaku bullying.

Sikap seseorang terhadap perilaku bullying menjadi prediktor seseorang untuk

melakukan atau tidak melakukan bullying. Sikap adalah reaksi evaluatif berupa penilaian

terhadap objek baik situasi atau manusia dengan menunjukkan kesukaan atau ketidaksukaan

yang melibatkan kepercayaan, perasaan, dan kecenderungan terhadap perilaku seseorang

(Vaughan & Hogg, 2002). McConville dan Cornell (2003), dalam penelitiannya yang

dilakukan pada 403 siswa menengah pertama untuk menguji sikap siswa terhadap kekerasan

membuktikan bahwa sikap yang setuju terhadap kekerasan menjadi prediktor perilaku

bullying. Perilaku bullying muncul ketika seseorang memiliki sikap yang setuju terhadap

perilaku bullying karena individu akan berperilaku sesuai dengan apa yang ia yakini.

Hanif, Nadeem, dan Tariq (2011) melakukan penelitian mengenai gambaran sikap

terhadap perilaku bullying pada 100 siswa berusia 13-16 tahun di sekolah-sekolah di

Islamabad, Pakistan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar siswa tidak

mendukung perilaku bullying. Penelitian eksperimental juga dilakukan oleh Baldry (2004)

pada 117 siswa menengah pertama untuk menguji pengaruh sikap terhadap perilaku bullying.

Pengukuran dilakukan dengan menonton video yang dimanipulasi menjadi empat kelompok,

kemudian diberikan kuesioner yang mengukur sikap siswa terhadap perilaku bullying. Hasil

penelitian tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar siswa memiliki sikap yang tidak

Gambaran sikap …, Dairisena Arsela, Fpsi UI, 2013

setuju terhadap perilaku bullying. Sementara itu, responden yang setuju terhadap perilaku

bullying menyebutkan alasan mereka setuju terhadap perilaku bullying agar seseorang

menjadi lebih kuat, berani, tangguh, lebih berkuasa, dan memiliki karakter yang dikagumi

oleh teman-temannya.

Sikap seseorang pada dasarnya dipengaruhi oleh lingkungan dimana ia tinggal seperti

karakteristik lingkungan baik secara fisik seperti infrastruktur yang tersedia, kepadatan

penduduk, maupun konteks sosial seperti norma masyarakat yang berlaku (Esposito, 2007).

Menurut Esposito, lingkungan perkotaan lebih rentan bagi remaja untuk terlibat dalam

perilaku bullying karena remaja perkotaan lebih banyak terpapar kekerasan yang membentuk

sikap mereka menjadi positif terhadap kekerasan. Penelitian yang dilakukan Djuwita dan

Royanto (2008) mengenai perilaku bullying di tiga kota maju yaitu Jakarta, Yogyakarta, dan

Surabaya, juga menunjukkan bahwa 67,9 % responden dari tingkat SD, SMP, dan SMA

mengakui bullying terjadi di sekolah mereka.

Akan tetapi, penelitian-penelitian bullying selama ini masih dilakukan dalam lingkup

yang kecil seperti di sebuah sekolah, satu kota, atau tiga kota saja. Oleh karena itu, penelitian

ini mencoba untuk melihat gambaran sikap remaja terhadap perilaku bullying saat SMA di

beberapa kota yang memiliki karakteristik yang sama dan tergolong dalam kategori kota

maju. Batasan kota maju dalam penelitian ini mengacu pada pembagian kategori kota menurut

BPS dan KPDT yang menyebutkan bahwa kota maju merupakan kota dengan karakteristik

yang memiliki fasilitas perkotaan lengkap, sumber daya manusia yang berkualitas, dan

perekonomian daerah yang baik (Badan Pusat Statistik, 2010). Partisipan dalam penelitian ini

sekitar 500 mahasiswa baru angkatan 2012 yang berada pada tahap perkembangan remaja

akhir dan berasal dari kota maju. Peneliti memilih mahasiswa dalam penelitian ini karena

partisipan yang sudah terlepas dari institusi SMA diharapkan akan lebih terbuka dalam

menjawab pertanyaan. Selain itu, menurut Swearer dan Cary (2003), pengukuran sikap yang

berkaitan dengan pengaruh lingkungan atau norma sosial, sebaiknya dilakukan pada remaja

yang lebih tua atau menjelang dewasa karena nilai-nilai dan identitas dalam konteks sosial

pada remaja akhir lebih stabil. Partisipan diminta untuk mengisikan kuesioner Bullying Survey

yang peneliti kembangkan dari alat ukur Swearer dan Cary.

Tinjauan Teoritis

Rigby (2011) menyebutkan bahwa bullying adalah penyalahgunaan kekuasaan yang

dilakukan secara sistematis, berulang-ulang dan terus menerus. Batasan perilaku berulang-

ulang tidak harus berlangsung beberapa kali, tetapi mungkin saja berlangsung satu kali, tetapi

Gambaran sikap …, Dairisena Arsela, Fpsi UI, 2013

dampaknya masih dirasakan korban secara terus-menerus. Misalkan korban mendapatkan

perilaku bullying satu kali di bus sekolah, tetapi korban merasakan dampaknya sampai

berhari-hari dan takut untuk kembali naik bus sekolah. Penelitian terbaru terkait literatur

bullying dari tahun ke juga dilakukan oleh Brank, Hoetger, dan Hazen (2012) yang

menunjukkan bahwa sebagian besar peneliti bullying menggunakan definisi dari Olweus yaitu

adanya ketidakseimbangan kekuatan yang dilihat dari sisi ukuran tubuh atau fisik, kekuatan

(strength), usia, dan status sosial. Disimpulkan juga dalam literatur review tersebut, bahwa

bullying adalah perilaku yang disengaja, dilakukan berulang kali dengan tujuan untuk

menyakiti seseorang dan biasanya korban tidak berdaya untuk melawan atau menghentikan

perilaku bullying tersebut.

Peneliti mengacu pada definisi bullying yang digunakan oleh Rigby yaitu perilaku

yang tidak menyenangkan di sekolah, dilakukan secara sengaja dan sistematis oleh siswa atau

sekelompok siswa yang lebih kuat untuk menyakiti fisik, verbal, maupun psikologis siswa

atau sekelompok siswa yang lebih lemah. Rigby menyatakan meskipun perilaku bullying

hanya terjadi satu kali, tetapi dapat diingat terus oleh korban sebagai batasan perilaku yang

berulang. Selain itu, Rigby juga membagi peran dalam bullying ke dalam bullies/bully

(pelaku), yaitu seseorang yang melakukan perilaku bullying dan victim (korban), yaitu

seseorang yang tersakiti, dan bystander (saksi) yang melihat berlangsungnya perilaku

bullying.

Penyebab terjadinya perilaku bullying terbagi ke dalam faktor internal dan faktor

eksternal (Esposito, 2007). Faktor internal misalkan pelaku bullying juga merupakan

seseorang yang impulsif, ingin lebih dominan, dan memiliki empati yang rendah (Olweus,

1993). Olweus juga menjelaskan seseorang bisa memiliki karakteristik yang agresif

disebabkan oleh pola asuh orang tua yang menerapkan kekerasan dalam mendidik anaknya.

Sementara faktor eksternal misalnya suasana dan lingkungan dimana seseorang tinggal.

Olweus menyebutkan bahwa remaja yang sering menonton tayangan televisi, video game, dan

film yang mengandung kekerasan, akan lebih agresif dibandingkan yang tidak menonton.

Pelaku bullying biasanya adalah siswa yang memiliki sikap positif terhadap kekerasan dan

sering menggunakan kekerasan untuk berinteraksi dengan orang lain (Esposito, 2007).

Esposito menyatakan bahwa sikap yang setuju terhadap perilaku bullying memengaruhi

seseorang untuk melakukan perilaku bullying.

Sikap memiliki pengaruh terhadap keputusan seseorang untuk melakukan atau tidak

melakukan perilaku bullying. Sikap menurut Baron, Byrne, dan Branscombe (2008) adalah

evaluasi terhadap beberapa aspek perkataan sosial. Proses evaluasi tersebut bersifat subjektif

Gambaran sikap …, Dairisena Arsela, Fpsi UI, 2013

dan berlangsung secara implisit dan eksplisit. Implisit maksudnya berlangsung secara internal

di dalam diri seseorang sehingga tidak dapat diamati secara langsung. Eksplisit artinya sikap

seseorang dapat diketahui melalui pengetahuan, keyakinan, perasaan, dan kecenderungan

tingkah laku seseorang terhadap objek atau situasi tertentu. Penelitian ini menggunakan

batasan sikap menurut Ajzen (2005) sebagai suatu kecenderungan untuk merespon secara

positif atau negatif terhadap suatu objek, manusia, institusi, atau peristiwa. Sikap tidak dapat

terlihat secara langsung, tetapi sikap dapat disimpulkan melalui pengukuran respon seseorang

terhadap objek sikap. Respon yang dimaksudkan harus mencerminkan evaluasi negatif atau

positif dengan objek sikap yaitu perilaku bullying.

Sikap seseorang bukan trait yang diperoleh sejak lahir, tetapi proses yang terus

berkembang melalui interaksi seseorang dengan lingkungan dan orang-orang di sekitarnya

(Ajzen, 2005). Sikap juga diperoleh melalui proses belajar sosial, yaitu sikap yang baru

diperoleh dari informasi, tingkah laku, atau sikap orang lain. Menurut Baron, Byrne, dan

Branscombe (2008), sikap seeorang dipelajari melalui pengamatan (observational learning)

yaitu proses pembelajaran dengan mengamati perilaku orang lain untuk dijadikan contoh.

Sarwono dan Meinarno (2009) juga menjelaskan faktor-faktor yang memengaruhi

pembentukan sikap yaitu pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap penting

(significant other), media massa, institusi atau lembaga pendidikan, dan faktor emosi dalam

diri individu.

Perbedaan sikap siswa dalam memberikan penilaian terhadap objek atau situasi tertentu

juga dipengaruhi oleh karakteristik dimana mereka tinggal (Park & Peterson, 2010).

Perbedaan lingkungan tempat tinggal yang didiami seseorang akan membentuk tipe penilaian

seseorang terhadap suatu hal menjadi berbeda pula. Ada kemungkinan lingkungan dimana

seseorang tinggal memiliki peran yang signifikan dalam terjadinya bullying. Bullying terjadi

di lingkungan yang memang memandang bahwa bullying dapat diterima dan memiliki sikap

yang mendukung terjadinya bullying, begitu pula sebaliknya bullying tidak terjadi di

lingkungan yang memandang bahwa bullying merupakan perilaku yang salah (Miller, 2006).

Miller menyebutkan norma sosial di lingkungan tempat tinggal seseorang memiliki peran

penting dalam memengaruhi sikap seseorang terhadap bullying.

Peran norma sosial dimana seseorang tinggal akan memengaruhi pembentukan sikap

seseorang karena sikap terbentuk oleh proses pembelajaran yang diperoleh dari lingkungan.

Oleh karena itu, dalam penelitian ini mencoba melakukan kontrol terhadap lingkungan yang

homogen, yaitu di kota-kota maju agar dapat terlihat kecenderungan remaja dalam bersikap

terhadap perilaku bullying. Kota maju menurut Badan Pusat Statistik (2010) adalah wilayah

Gambaran sikap …, Dairisena Arsela, Fpsi UI, 2013

administrasi yang memenuhi kriteria klasifikasi wilayah perkotaan, seperti kepadatan

penduduk, presentase rumah tangga pertanian, dan keberadaan akses pada fasilitas perkotaan.

Fasilitas perkotaan yang dimaksud beradasarkan Peraturan Klasifikasi Perkotaan-Perdesaan,

Pasal 2 tahun 2010 adalah adanya Sekolah Taman Kanak-Kanak, Sekolah Menengah Pertama,

Sekolah Menengah Umum, pasar, pertokoan, bioskop, rumah sakit, hotel/ bilyar/ diskotek/

panti pijat/ salon, persentase rumah tangga yang menggunakan telepon, dan persentase rumah

tangga yang menggunakan listrik.

Metode Penelitian

Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif, yaitu berdasarkan tujuannya

untuk melihat gambaran dan menganalisa faktor-faktor penyebab munculnya fenomena

bullying pada siswa Sekolah Menengah Atas secara sistematis. Penelitian ini digolongkan

juga ke dalam penelitian kuantitatif (quantitative research) jika didasarkan pada proses yang

digunakan untuk memperoleh jawaban dengan mengkuantifikasi variasi dalam variabel

bullying menggunakan perhitungan statistik.

Partisipan

Partisipan dalam penelitian ini adalah 500 mahasiswa angkatan 2012 dari lima

Universitas yaitu Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Universitas Negeri

Sebelas Maret, Universitas Padjajaran, dan Univesitas Diponegoro. Sampel dalam penelitian

ini adalah mahasiswa baru angkatan 2012 yang baru lulus dari SMA dan berasal dari kota

maju. Penelitian ini melibatkan mahasiswa dari beberapa universitas karena diharapkan

mahasiswa di universitas tersebut berasal dari kota domisili yang cukup heterogen, sehingga

lebih merepresentasikan populasi kota maju dalam penelitian ini.

Instrumen Penelitian

Pengukuran sikap terhadap perilaku bullying pada remaja menggunakan alat ukur

kuesioner Bullying Survey yang peneliti adaptasi dan modifikasi dari alat ukur Swearer dan

Cary pada tahun 2003. Alat ukur tersebut merupakan tipe alat ukur self report dan memiliki

reliabilitas setelah dilakukan uji coba dengan koefisien Cronbach’s Alpha sebesar 0,786.

Kemudian, berdasarkan uji validitas, ada 2 item yang memiliki skor corrected item-total

correlation di bawah 0,2. Kedua item tersebut berdasarkan uji analisis berarti kurang

homogen dalam mengukur konstruk sikap terhadap bullying. Menurut Crocker dan Algina

(1986) item yang memiliki skor corrected item-total correlation negatif sebaiknya dihapus

Gambaran sikap …, Dairisena Arsela, Fpsi UI, 2013

untuk meningkatkan validitas. Peneliti kemudian menghapus item e karena sudah terwakili

oleh 5 item lainnya dalam dimensi afektif. Peneliti tetap mempertahankan item c yang

memiliki skor corrected item-total correlation dibawah 0,2 karena mewakili dimensi kognitif

yang sedikit. Setelah melakukan revisi, alat ukur dalam penelitian ini memiliki 13 item yang

terdiri dari tiga dimensi kognitif, afektif, dan konatif.

Berdasarkan hasil revisi alat ukur Bullying Survey yang digunakan dalam penelitian ini

terdiri dari 13 item untuk mengukur sikap remaja terhadap perilaku bullying dari item a

hingga item m. Item- item unfavorable yang di awal adalah item b, item d, item g, item j, item

l, dan item m. Item unfavorable pada alat ukur penelitian ini setelah dilakukan revisi menjadi

item b, item d, item f, item i, item k, dan item l. Alat ukur terdiri dari 3 dimensi sikap yaitu

kognitif, afektif, dan konatif. Dimensi kognitif terdiri atas 4 item pernyataan, contohnya

“Pelaku bullying adalah orang yang populer”. Dimensi afektif terdiri atas 5 pernyataan,

misalnya “Saya dapat mengerti mengapa seseorang melakukan bullying pada orang lain”.

Dimensi konatif terwakili oleh 4 pernyataan, contohnya “Bullying baik dilakukan kepada

seorang siswa yang bermental lemah”.

Prosedur Penelitian

Peneliti mengawali penelitian dengan melakukan Focus Group Discussion pada 7

mahasiswa angkatan 2012 untuk menggali fenomena bullying yang terjadi di SMA. Setelah

memeroleh topik penelitian dan mengembangkan alat ukur, peneliti melakukan uji coba alat

ukur. Uji coba alat ukur peneliti lakukan kepada 75 mahasiswa angkatan 2012. Berdasarkan

uji coba tersebut, alat ukur kuesioner Survey Bullying layak untuk digunakan dalam mengukur

sikap remaja terhadap perilaku bullying karena memiliki nilai reliabilitas dan validitas yang

baik. Pelaksanaan penelitian peneliti lakukan dengan menyebarkan kuesioner melalui

beberapa ketua angkatan di masing-masing universitas yang menjadi sampel penelitian ini.

Peneliti menjelaskan melalui pesan elektronik terkait tujuan penelitian, teknis penyebaran

kuesioner, dan menanyakan kesediaan setiap ketua angkatan maupun perwakilannya untuk

membantu mengkoordinasikan penyebaran kuesioner. Peneliti membagikan kuesioner pada

ketua angkatan 2012 atau perwakilannya dari beberapa jurusan di beberapa universitas.

Peneliti memberikan penjelasan terkait jumlah item dalam kuesioner, instruksi dalam

kuesioner, cara pengerjaan kuesioner, dan item-item yang wajib diisi atau boleh tidak diisi.

Kuesioner yang peneliti bagikan di setiap universitasnya berjumlah 120 paket kuesioner.

Setelah kuesioner terisi seluruhnya, setiap perwakilan di masing-masing universitas yang

berada di luar kota, akan mengirimkan kuesioner melalui jasa pengiriman.

Gambaran sikap …, Dairisena Arsela, Fpsi UI, 2013

Skoring

Sikap terhadap perilaku bullying dalam penelitian ini diukur menggunakan tigabelas

item pertanyaan tertutup dengan lima respon jawaban dari sangat tidak setuju (1) sampai

sangat setuju (5). Skor sikap setiap partisipan diperoleh dengan membagi total skor partisipan

dengan jumlah item. Skor yang rendah menunjukkan sikap yang tidak setuju dengan perilaku

bullying, sedangkan skor yang tinggi menunjukkan sikap setuju terhadap perilaku bullying.

Batasan norma dalam penelitian ini adalah skor yang lebih kecil dari 3,00 merupakan sikap

yang tidak setuju dengan perilaku bullying dan skor yang berada di atas 3,00 merupakan sikap

yang setuju terhadap perilaku bullying.

Hasil Penelitian

Partisipan dalam penelitian ini adalah remaja dengan rentang usia 18 - 21 tahun

(M=18,61, SD = 0,621). Partisipan laki-laki sebanyak 132 (26,4%) dan perempuan sejumlah

368 (73,6%). Berdasarkan tipe sekolahnya, mayoritas partisipan berasal dari SMA Negeri

sebanyak 446 (89%) partisipan. Sampel kota maju dalam penelitian ini sejumlah 89 kota yang

berasal dari Pulau Jawa sebanyak 67 kota (92 %), Pulau Sumatra sebanyak 13 kota (5,6 %),

Pulau Sulawesi sebanyak 4 kota (0,8 %), Pulau Kalimantan sebanyak 3 kota (1 %), dan Pulau

Bali sebanyak 2 kota (0,6 %).

Berdasarkan hasil analisis data, rentang skor partisipan dalam penelitian ini adalah

1,08 – 4,31 (SD= 0, 52). Mean skor sikap remaja terhadap perilaku bullying oleh siswa SMA

di kota maju adalah 2,39. Artinya, remaja di kota maju cenderung memiliki sikap yang tidak

setuju terhadap perilaku bullying di sekolah. Berikut penjelasan mengenai persebaran skor

sikap terhadap perilaku bullying pada remaja di kota maju.

Tabel 1.1

Gambaran Sikap Remaja terhadap Perilaku Bullying di Kota Maju (N=500)

Sikap

Partisipan

Range Skor Respon

Jawaban

N Persentase

( % )

Tidak Setuju 1,00 – 1,99 Sangat Tidak Setuju 101 20,2

2,00 – 2,99 Tidak Setuju 329 65,8

Total 420 86,0

Setuju 3,00 – 3,99 Setuju 67 13,4

4,00 – 4,99 Sangat Setuju 3 0,6

Total 70 14,0

Gambaran sikap …, Dairisena Arsela, Fpsi UI, 2013

Berdasarkan tabel 1.1 dapat diketahui bahwa sebagian besar remaja di kota maju

memiliki sikap yang tidak setuju terhadap perilaku bullying dengan persentase 86 %. Akan

tetapi, dapat terlihat berdasarkan tabel 1.1 bahwa sebagian besar partisipan, yaitu 65,8%

berada pada respon jawaban tidak setuju yang mendekati range skor 3,00. Artinya, partisipan

memiliki sikap ragu-ragu dalam mendukung atau tidak mendukung perilaku bullying di

sekolah mereka.

Selain itu, peneliti juga melakukan analisis sikap remaja berdasarkan data demografis.

Tabel 1.2

Perbedaan Mean Skor Sikap terhadap Bullying berdasarkan Data Demografis (N=500)

Karakteristik N Mean F p Jenis Kelamin

Laki-laki 132 2,56 0,198 0,656 Perempuan 368 2,32

Tipe Sekolah SMA Negeri 446 2,39 1,173 0,319 SMA Swasta 45 2,32 SMK Negeri 5 2,09 SMK Swasta 4 2,12

Peran dalam Perilaku Bullying Pelaku 59 2,61 9,522 0,00* Korban 57 2,24 Saksi 214 2,30 Bully-victim 130 2,54 Outsider 40 2,21

*Signifikan p < 0,05

Berdasarkan tabel 1.2, dapat dilihat bahwa :

a. Perhitungan perbedaan mean skor sikap remaja terhadap bullying pada data demografi

jenis kelamin menunjukkan nilai F sebesar 0,198 dan tidak signifikan pada los 0,05

(p =0,656). Berdasarkan hasil tersebut diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan mean

skor sikap remaja terhadap perilaku bullying pada partisipan laki-laki dan partisipan

perempuan.

b. Perhitungan perbedaan mean skor sikap remaja terhadap bullying pada data demografi

tipe sekolah menunjukkan nilai F sebesar 1,173 dan tidak signifikan pada los 0,05

(p=0,319). Berdasarkan hasil tersebut diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan mean

skor sikap remaja terhadap perilaku bullying yang signifikan pada partisipan yang berasal

dari SMA Negeri, SMA Swasta, SMK Negeri, dan SMK Swasta.

c. Perhitungan perbedaan mean skor sikap remaja terhadap perilaku bullying pada data

demografi peran dalam perilaku bullying menunjukkan F sebesar 9,522 dan signifikan

Gambaran sikap …, Dairisena Arsela, Fpsi UI, 2013

pada los 0,05 (p = 0,00). Artinya, terdapat perbedaan sikap yang signifikan antara peran-

peran dalam perilaku bullying. Selain itu, agar perbedaan antar peran terlihat lebih jelas,

dilakukan uji Post Hoc dan diperoleh hasil sebagai berikut :

Tabel 1.3 Hasil Uji Post Hoc Perbedaan Sikap Berdasarkan Peran

Peran P Pelaku – Korban 0,011* Pelaku – Saksi 0,002* Pelaku - Bully-Victim 0,985 Pelaku – Outsider 0,008*

*Signifikan p < 0,05

Tabel 1.3 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan sikap terhadap perilaku bullying

pada pelaku dan saksi yang signifikan pada los 0,05 (0,002). Artinya, perbedaan sikap yang

paling besar berada pada kelompok pelaku dan saksi dalam perilaku bullying. Akan tetapi,

tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara pelaku dan bully-victim.

Pembahasan

Berdasarkan hasil analisis data diperoleh bahwa mayoritas remaja di kota maju tidak

setuju dengan perilaku bullying. Sementara hasil analisis dari gambaran perilakubullyingyang

terjadi pada remaja dalam penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar partisipan pernah

terlibat dalam perilaku bullying baik sebagai korban, pelaku, pelaku sekaligus korban (bully-

victim), dan saksi (bystander). Hasil penelitian ini, sejalan dengan penelitian yang dilakukan

Salmivalli, Kaukiainen, dan Voeten (2005) pada remaja di Amerika yang menemukan adanya

kesenjangan antara sikap siswa terhadap perilaku bullying dengan perilaku bullying yang

sebenarnya terjadi.

Penelitian ini juga menunjukkan bahwa mayoritas partisipan memiliki sikap yang tidak

setuju terhadap perilakubullying, namun perilaku bullying yang sebenarnya terjadi di kota

maju cukup tinggi. Hal tersebut disebabkan oleh partisipan dalam penelitian ini mayoritas

adalah saksi (bystander) dan korban, hanya sedikit partisipan yang teridentifikasi sebagai

pelaku bullying, sehingga hasil penelitian ini cenderung menunjukkan sikap yang tidak setuju

dengan perilaku bullying, tetapi ketidaksetujuan partisipan mendekati sikap netral. Jumlah

yang tidak seimbang antara pelaku, korban, dan saksi dikarenakan dari awal peneliti tidak

memfokuskan pada pembagian peran sehingga peran dalam perilaku bullying diperoleh

berdasarkan perolehan partisipan. Selain itu, peneliti juga memodifikasi alat ukur dengan

menggabungkan pertanyaan untuk pelaku, korban, maupun saksi.Penelitian selanjutnya perlu

Gambaran sikap …, Dairisena Arsela, Fpsi UI, 2013

membedakan peran dalam perilaku bullying sebab berdasarkan uji ANOVAdiketahui terdapat

perbedaan sikap antara peran-peran dalam perilaku bullying.

Selain itu, peneliti menduga pemilihan partisipan yang berasal dari beberapa universitas

negeri memengaruhi hasil sikap yang tidak setuju terhadap perilaku bullying dalam penelitian

ini. Partisipan yang diterima di universitas negeri sebagian besar adalah siswa yang memiliki

karakter dan latar belakang yang baik dari sekolah asalnya, sehingga partisipan akan

cenderung memilih respon jawaban yang tidak setuju terhadap perilaku bullying. Pemilihan

respon jawaban partisipan juga ditentukan oleh strategi dalam pembuatan kuesioner untuk

menghindari faking good¸yaitu kecenderungan partisipan untuk menjawab dengan

menunjukkan kesan yang baik (Baron, Byrne, & Branscombe, 2008). Strategi alat ukur untuk

menghindari partisipan memberikan respon faking good adalah menggunakan item

unfavorable dengan pernyataan yang sebaliknya. Pada penelitian ini, sudah ada beberapa item

yang menggunakan pernyataan yang sebaliknya, tetapi kuesioner tidak sepenuhnya

menggunakan item unfavorable, sehingga masih ada kemungkinan partisipan untuk faking

good.

Hasil dalam penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang

menunjukkan sikap setuju terhadap perilaku bullying, karena setiap kota dalam batasan kota

maju memiliki level yang berbeda-beda (Park & Peterson, 2010). Tingkat urbanisasi yang

tinggi memberikan peranan yang penting dalam pembentukan karakteristik masyarakat yang

mendiami kota tersebut karena beragamnya budaya yang datang dan bercampur. Selain itu,

disebutkan juga kota yang lebih besar dan kesesakkan yang tinggi akan menyebabkan

seseorang lebih individualistik dan tidak saling mengenal satu sama lain secara lebih dekat.

Kemungkinan tersebut yang menyebabkan prevalensi bullying di kota maju masih tinggi,

walaupun sebagian besar remaja memiliki sikap yang tidak setuju terhadap perilaku bullying.

Sebagian besar partisipan mengidentifikasikan dirinya sebagai saksi, karena karakteristik

individualistik yang tinggi, mereka mungkin beranggapan bahwa guru dan teman lainnya

yang akan memberikan penanganan jika terjadi perilaku bullying.

Pembentukan sikap terhadap perilaku bullying dipengaruhi oleh pengalaman seseorang

dalam perilaku bullying baik sebagai pelaku, korban, maupun saksi. Pelaku bullying

cenderung memiliki sikap yang lebih setuju terhadap perilaku bullying dan sebaliknya, korban

bullying memiliki sikap yang paling tidak setuju terhadap perilaku bullying (Rigby, 2005).

Sebagian besar partisipan dalam penelitian ini adalah saksi (bystander) dan sebagian lainnya

merupakan pelaku yang sekaligus menjadi korban bullying. Oleh karena itu, sebagian besar

partisipan dalam penelitian ini memiliki sikap yang tidak setuju terhadap perilaku bullying.

Gambaran sikap …, Dairisena Arsela, Fpsi UI, 2013

Sikap seseorang, dipengaruhi oleh faktor budaya. Menurut Matsumoto dan Juang

(2008), budaya adalah sistem dinamis dengan aturanyang dimiliki oleh kelompok untuk

menjamin keberlangsungan hidup mereka, melibatkan sikap (attitudes), nilai-nilai (values),

keyakinan (beliefs) norma, dan perilaku. Dalam penelitian ini, partisipan berasal dari berbagai

kota dengan budaya yang berbeda-beda. Hal tersebut juga memengaruhi keyakinan partisipan

yang berbeda-beda di setiap wilayah di Indonesia, sehingga sikap remaja juga akan berbeda-

beda. Misalnya saja wilayah Surabaya dan sekitarnya, penggunaan bahasa yang kasar

merupakan hal yang wajar dilakukan untuk berinteraksi satu sama lain. Jadi, meskipun

mereka tidak setuju dengan perilaku bullying, tetapi mereka melakukan bullying verbal karena

memang sudah menjadi cara komunikasi sehari-hari.

Hal lain yang menarik dalam penelitian ini terkait dengan faktor budaya adalah banyak

partisipan yang menyatakan bahwa mereka pernah mengalami perilaku bullying di

sekolah,tetapi mereka menganggap bahwa bullying bukan suatu masalah bagi mereka dan

sebagian besar partisipan merasa bahwa pihak sekolah perlu mengkhawatirkan perilaku

bullying yang terjadi antar siswa. Hal tersebut sesuai dengan hasil focus group discussion

yang peneliti lakukan sebelum penelitian ini. Berdasarkan hasil diskusi diperoleh bahwa

masih banyak siswa yang beranggapan bahwa bullying adalah hal yang wajar untuk

dilakukan. Cara pandang yang wajar terhadap perilaku bullying disebabkan oleh komunitas

masyarakat dimana seseorang tinggal juga menganggap bahwa kekerasan adalah hal yang

wajar. Penelitian yang dilakukan Boswell (2009) dengan mengkondisikan norma dalam

sebuah kelompok untuk menerima kekerasan, menunjukkan sikap yang lebih mendukung

terhadap perilaku bullying.

Hasil lain dalam analisis penelitian ini adalah tidak terdapat perbedaan yang signifikan

antara sikap remaja laki-laki dan remaja perempuan terhadap perilaku bullying. Hal tersebut

sesuai dengan penelitian Healey, Dowson, dan Nelson (2010) yang membuktikan bahwa laki-

laki dan perempuan memiliki persepsi dan sikap yang sama terhadap perilaku bullying

meskipun memiliki pengalaman yang berbeda tentang bullying.Penelitian yang dilakukan

Reid, Monsen, dan River (2004) menunjukkan bahwa pada dasarnya laki-laki dan perempuan

memiliki prevalensi yang sama dalam melakukan bullying, tetapi mereka hanya berbeda

dalam bentuk bullying yang dilakukan. Laki-laki cenderung melakukan bullying fisik dan

secara langsung, sedangkan perempuan lebih pada bullying gestural maupun psikologis

seperti menjauhi seeorang, menyebarkan fitnah atau bullying secara tidak langsung. Akan

tetapi, untuk bullying verbal, hampir sama antara laki-laki dan perempuan.

Gambaran sikap …, Dairisena Arsela, Fpsi UI, 2013

Jika dilihat dari tipe sekolah pada remaja kota maju, juga tidak terdapat perbedaan yang

signifikan baik di SMA Negeri, SMA Swasta, maupun di SMK. Sejalan dengan hasil

penelitian ini, perbedaan tipe sekolah menurut penelitian Rigby (2005) juga tidak signifikan

terhadap tingkat terjadinya perilaku bullying. Perbedaan tipe sekolah tersebut ditentukan oleh

banyaknya siswa, sekolah khusus laki-laki atau perempuan saja, dan sekolah negeri maupun

swasta. Akan tetapi, tipe sekolah juga menjadi keterbatasan dalam penelitian ini, karena

peneliti tidak mengkontrol tipe sekolah sehingga tidak diperoleh jumlah yang seimbang di

setiap kategori tipe sekolah.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis data yang sudah dilakukan dapat ditarik kesimpulan bahwa

sebagian besar remaja di kota maju yang berada pada rentang usia 18-21 tahun memiliki

sikap yang tidak setuju terhadap perilaku bullying, tetapi ketidaksetujuan tersebut cenderung

ke sikap netral.

Jika dilihat berdasarkan perbedaan jenis kelamin, tidak terdapat pebedaan sikap yang

signifikan antara remaja laki-laki dan remaja perempuan di kota maju. Artinya, remaja laki-

laki dan perempuan memiliki sikap yang sama terhadap perilaku bullying. Berdasarkan peran

dalam perilaku bullying, terdapat perbedaan sikap terhadap perilaku bullying yang signifikan

antara pelaku bullying dengan saksi bullying, pelaku dengan korban, dan pelaku dengan

outsider.

Saran

Berdasarkan hasil penelitan yang telah dilakukan, saran teoritis yang dapat diajukan

peneliti antara lain :

Saran Metodologis

a. Penelitian mengenai sikap terhadap perilaku bullying sebaiknya terus dikembangkan,

dengan melihat perbandingan sikap terhadap perilaku bullying berdasarkan kategori

lingkungan dimana seseorang tinggal.

b. Penelitian selanjutnya, perlu menggali faktor-faktor yang paling berpengaruh terhadap

pembentukan sikap remaja terhadap perilaku bullying. Penelitian tersebut sebaiknya

dilakukan dengan penggabungan dua metode penelitian yaitu metode kuantitatif dan

kualitatif. Melalui metode kualitatif dengan wawancara, diharapkan dapat lebih

menggali faktor-faktor yang memengaruhi sikap seseorang.

Gambaran sikap …, Dairisena Arsela, Fpsi UI, 2013

c. Penelitian selanjutnya sebaiknya melihat hubungan sikap terhadap perilaku bullying

dengan faktor-faktor lainnya yang dapat memengaruhi, seperti kepribadian, norma

sosial, dan nilai-nilai budaya yang masih kental dengan masyarakat Indonesia.

d. Untuk penelitian selanjutnya, perlu menambahkan data demografi yang mungkin akan

memengaruhi sikap remaja. Data demografi yang perlu ditambahkan adalah apakah

partisipan tinggal bersama orang tua, lingkungan kost, atau tinggal di lingkungan

asrama bersama teman-teman yang berasal dari berbagai daerah. Faktor tersebut

diperkirakan memengaruhi perubahan tingkah laku remaja yang cenderung untuk

menyesuaikan terhadap lingkungan baru.

Saran Praktis

a. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa sikap remaja di kota maju cenderung

tidak setuju terhadap perilaku bullying, Dengan demikian, dapat menjadi referensi

bagi pihak-pihak yang berkepentingan untuk memberikan penanganan yang tepat

terkait perilaku bullying di sekolah karena dapat diketahui sebenarnya sebagian besar

siswa di kota maju, tidak mendukung perilaku bullying.  

b. Perlu dilakukan penyuluhan, seminar, psikoedukasi terhadap pihak sekolah dan

orang tua terkait banyaknya perilaku bullying yang terjadi pada siswa SMA di kota

maju.  

c. Banyaknya perilaku bullying masih terjadi, tidak hanya disebabkan oleh sikap

seseorang yang setuju terhadap perilaku bullying, tapi mungkin karena kurangnya

empati seseorang dan rendahnya kemampuan seseorang untuk asertif. Oleh karena

itu, perlu bagi pihak sekolah, orang tua, dan siswa untuk meningkatkan empati

mereka terhadap korban bullying dan meningkatkan kemampuan asertif siswa

dengan pelatihan-pelatihan yang meningkatkan kemampuan sosial.  

d. Komunitas di mana seseorang tinggal diharapkan masyarakat memberikan dukungan

sosial dan kontrol yang baik pada remaja dengan menciptakan suasana di pusat

rekreasi serta tempat hiburan bagi remaja menjadi lebih nyaman, sehingga menjadi

tempat pengalihan bagi remaja dari perilaku bullying.

Gambaran sikap …, Dairisena Arsela, Fpsi UI, 2013

Daftar Pustaka

Ajzen, I. (2005) Attitudes, personality, and behavior : Second edition. New York : McGraw Hill Education.

Badan Pusat Statistik. (2010). Klasifikasi perkotaan dan pedesaan di indonesia. Electronic Book. Diunduh dari www.bps.go.id.

Baldry,A.C. (2004). What about bullying? An experimental field study to understand student’s attitudes towards bullying and victimization in Italian middle school. Journal of Educational Psychology, 74, 583-598.

Barboza, G. E., Schiamberg, L. B., Oehmke, J., Korzeniewski, S. J., Post, L. A., dan Heraux, C. G. (2009). Inividual characteristics and the multiple contexts of adolescent bullying : An ecological perpective. Journal Youth Adolescene, 38, 101-121. doi : 10.1007/s10964-008-9271-1

Baron,R.A., Byrne,D., & Branscombe. (2008). Social Psychology : 13th edition. Boston : Pearson.

Boswell, M.K. (2009). Social norms, empathy, and attitudes toward aggression as predictors of bullying in school children. (Dissertation). Northen Illinois University : USA.

Brank, E.M., Hoetger, Lori.A., & Hazen, K.P. (2012). Bullying. Annual Review of Law Social Science, 8, 213-230.

Byers, D.L., Caltabiano, N. J., & Caltabiano, M. L. (2011). Teacher’s attitudes towards overt and covert bullying and perceived efficacy to intervene. Journal of Teacher Education. 36, 11. 105-119.

Crocker, L., & Algina, J. (1986).Introduction to classical and modern test theory.United States: Holt, Rinehart and Winston, Inc.

Djuwita, R., dan Royanto, R.M. (2008). Peranan faktor personal dan situasional terhadap perilaku bullying di tiga kota besar. (Laporan Penelitian DIPA). Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Tidak Dipublikasikan.

Esposito, L. E. (2002). The role of empathy, anger management anda normative beliefs about aggression in bullying among urban, African-american middle school children. (Dissertation). University of Hartford : Virginia.

Hanif, R. Nadeem, M., & Tariq, S. (2011). Bullying in school : attitudes of children, teachers, and parents. Journal of Contemporary Research in Business, 11, 1-9.

Healey, J., Dowson, M., & Nelson, G. F. (2010). Adolescents experiences, perceptions and attitudes towards bullying. (National Research). University of Western Sydney : Australia.

Matsumoto, D., & Juang, L. (2008). Culture and Psychology : 4rd edition. USA : Wadsworth. McConville, D., & Cornell, D. (2003). Aggressive attitudes predict aggressive behavior in

middle school students. Journal of Emotional and Behavioral Disorder, 11, 179-189. Miller, C. K. (2006). Student and teacher perceptions of school social climate and attitudes

toward bullying : Implication for intervention. (Dissertation). University of Nebraska- Lincoln : Nebraska.

Napitupulu, E. L., (27 September 2012). Mengampanyekan antibullying. Kompas.com. Diunduh dari

Gambaran sikap …, Dairisena Arsela, Fpsi UI, 2013

http://edukasi.kompas.com/read/2012/09/27/03305468/Mengampanyekan.Antibullying pada 10 Maret 2013.

Olweus, D. (1993). Bullying at school : Understanding children’s worlds. USA : Blackwell Publishing.

Park, N., & Peterson, C. (2010). Does it matter where we live? : The urban psychology of character strengths. American Psychologist Association, 65, 6, 535–547. doi : 10.1037/a0019621

Reid, P., Monsen, J., & River, I. (2004). Psychology's contribution to understanding and managing bullying within schools. Educational Psychology in Practice, 20, 3, 241-258. doi10.1080/0266736042000251817

Rigby, K. (2005). Why do some children bully at school? : The contributions of negative attitudes towards victims and the perceived expectations of friends, parents and teachers. School Psychology International, 26, 147-168, doi : 10.1177/0143034305052910

Rigby, K. (2008). Children and bullying : how parents and educators can reduce bullying at school. USA : Backwell Publishing.

Rigby, K. (2011). The methode of share concern : A positive approach to bullying in school. Australia : Acer Press.

Salmivalli, C., Kaukiainen, A., & Voeten, M. (2005). Anti-bullying intervention: implementation and outcome. British Journal of Educational Psychology, 75, 465–487.

Sarwono, S.W., & Meinarno,E. (2009). Psikologi sosial. Salemba Humanika : Jakarta. Swearer, S. M., & Cary, P. T. (2003). Perceptions and attitudes toward bullying in middle

school youth: A developmental examination across the bully/victim continuum. Journal of Applied School Psychology, 19, 63–79.

Vaughan, G.M., & Hogg, M.A. (2002). Introduction to social psychology : Third edition. Australia : Pearson Education.

Gambaran sikap …, Dairisena Arsela, Fpsi UI, 2013