repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 21920... · BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA...

34
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi 2.1.1 Nasofaring Nasofaring adalah ruang trapezoid di belakang koana yang berhubungan dengan orofaring dan terletak di superior palatum molle. Ukuran nasofaring pada orang dewasa yaitu 4 cm tinggi, 4 cm lebar dan 3 cm pada dimensi anteroposterior. Dinding posteriornya sekitar 8 cm dari aparatus piriformis sepanjang dasar hidung (Chew, 1997). Bagian atap dan dinding posterior dibentuk oleh permukaan yang melandai dibatasi oleh basis sfenoid, basis oksiput dan vertebra cervical I dan II. Dinding anterior nasofaring adalah daerah sempit jaringan lunak yang merupakan batas koana posterior. Batas inferior nasofaring adalah palatum molle. Batas dinding lateral merupakan fasia faringobasilar dan m. konstriktor faring superior (Witte and Neel, 1998; Lin, 2006) Tuba Eustachius membelah dinding lateral ini, masuk dari telinga tengah ke nasofaring melalui celah di fasia faringobasilar di daerah posterosuperior, tepat di atas batas superior muskulus konstriktor faring superior, disebut fossa russenmuller (resessus faringeal). Fossa russenmuller merupakan tepi dinding posterosuperior nasofaring, yang merupakan tempat asal munculnya sebagian besar KNF dan yang paling sensitif terhadap penyebaran keganasan pada nasofaring. Universitas Sumatera Utara

Transcript of repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 21920... · BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA...

Page 1: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 21920... · BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi 2.1.1 Nasofaring2011-09-14 · BAB 2 . TINJAUAN PUSTAKA . 2.1 Anatomi

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi

2.1.1 Nasofaring

Nasofaring adalah ruang trapezoid di belakang koana yang berhubungan

dengan orofaring dan terletak di superior palatum molle. Ukuran nasofaring pada

orang dewasa yaitu 4 cm tinggi, 4 cm lebar dan 3 cm pada dimensi anteroposterior.

Dinding posteriornya sekitar 8 cm dari aparatus piriformis sepanjang dasar hidung

(Chew, 1997). Bagian atap dan dinding posterior dibentuk oleh permukaan yang

melandai dibatasi oleh basis sfenoid, basis oksiput dan vertebra cervical I dan II.

Dinding anterior nasofaring adalah daerah sempit jaringan lunak yang merupakan

batas koana posterior. Batas inferior nasofaring adalah palatum molle. Batas dinding

lateral merupakan fasia faringobasilar dan m. konstriktor faring superior (Witte and

Neel, 1998; Lin, 2006)

Tuba Eustachius membelah dinding lateral ini, masuk dari telinga tengah ke

nasofaring melalui celah di fasia faringobasilar di daerah posterosuperior, tepat di

atas batas superior muskulus konstriktor faring superior, disebut fossa russenmuller

(resessus faringeal). Fossa russenmuller merupakan tepi dinding posterosuperior

nasofaring, yang merupakan tempat asal munculnya sebagian besar KNF dan yang

paling sensitif terhadap penyebaran keganasan pada nasofaring.

Universitas Sumatera Utara

Page 2: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 21920... · BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi 2.1.1 Nasofaring2011-09-14 · BAB 2 . TINJAUAN PUSTAKA . 2.1 Anatomi

Gambar 2.1.1. Anatomi Nasofaring (Witte and Neel, 1998)

Fossa russenmuller mempunyai hubungan anatomi dengan sekitarnya,

sehingga berperan dalam kejadian dan prognosis KNF. Tepat di atas apeks dari

fossa russenmuller terdapat foramen laserum, yang berisi arteri karotis interna

dengan sebuah lempeng tipis fibrokartilago. Lempeng ini mencegah penyebaran

KNF ke sinus kavernosus melalui karotis yang berjalan naik. Tepat di anterior fossa

russenmuller, terdapat nervus mandibula (V3) yang berjalan di dasar tengkorak

melalui foramen ovale. Kira-kira 1.5 cm posterior dari fossa russenmuller terdapat

foramen jugulare, yang dilewati oleh saraf kranial IX-XI, dengan kanalis hipoglosus

yang terletak paling medial (Witte and Neel, 1998).

Fossa russenmuller yang terletak di apeks dari ruang parafaring ini

merupakan tempat menyatunya beberapa fasia yang membagi ruang ini menjadi 3

kompartemen, yaitu : 1) kompartemen prestiloid, berisi a. maksilaris, n. lingualis dan

n. alveolaris inferior; 2) kompartemen poststiloid, yang berisi sarung karotis; dan 3)

kompartemen retrofaring, yang berisi kelenjar Rouviere. Kompartemen retrofaring ini

berhubungan dengan kompartemen retrofaring kontralateral, sehingga pada

Universitas Sumatera Utara

Page 3: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 21920... · BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi 2.1.1 Nasofaring2011-09-14 · BAB 2 . TINJAUAN PUSTAKA . 2.1 Anatomi

keganasan nasofaring mudah terjadi penyebaran menuju kelenjar limfa leher

kontralateral. Lokasi fossa russenmuller yang demikian itu dan dengan sifat KNF

yang invasif, menyebabkan mudahnya terjadi penyebaran KNF ke daerah sekitarnya

yang melibatkan banyak struktur penting sehingga timbul berbagai macam gambaran

klinis (Witte and Neel, 1998; Lin, 2006).

Dinding daerah nasofaring mengandung komponen lapisan otot, jaringan

fibrosa dan mukosa. Dinding lateral daerah nasofaring dibentuk oleh muskulus

konstriktor superior. Ruang antara tepi atas muskulus konstriktor superior dan dasar

tengkorak disebut sinus Morgagni. Daerah ini dilindungi oleh fasia faringobasilar

yang ditunjang oleh muskulus levator veli palatini. Ujung medial dari tuba Eustachius

membentuk sebuah penonjolan (torus tubarius) yang terletak di bagian atas dinding

lateral. Dari tepi posterior orifisium tuba Eustachius terdapat sebuah lipatan mukosa

yang dibentuk oleh muskulus salpingofaringeus, berjalan ke bawah dan turun secara

bertahap pada dinding faring bagian lateral. Lapisan fibrosa terdiri dari dua lapisan

yan berada di sebelah dalam dan di sebelah luar muskulus konstriktor. Kedua

lapisan ini bersambunng dengan fasia di leher. Lapisan luar atau fasia bukofaring

menutupi bagian superfisial muskulus konstriktor superior. Komponen dalam atau

aponeurosis faringeal yang berada di antara lapisan mukosa dan muskulus

konstriktor adalah bagian dari fasia faringobasilar. Kedua lapisan fasia pada tepi atas

muskulus konstriktor superior naik ke arah dasar tengkorak sebagai bagian

tersendiri.

Lapisan mukosa ialah daerah nasofaring yang dilapisi oleh mukosa dengan

epitel kubus berlapis semu bersilia pada daerah dekat koana dan daerah di sekitar

atap, sedangkan pada daerah posterior dan inferior nasofaring terdiri dari epitel

skuamosa berlapis. Daerah dengan epitel transisional terdapat pada daerah

pertemuan antara atap nasofaring dan dinding lateral. Lamina propria seringkali

Universitas Sumatera Utara

Page 4: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 21920... · BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi 2.1.1 Nasofaring2011-09-14 · BAB 2 . TINJAUAN PUSTAKA . 2.1 Anatomi

diinfiltrasi oleh jaringan limfoid, sedangkan lapisan submukosa mengandung kelenjar

serosa dan mukosa (Gibb, 1999).

2.1.2 Perdarahan dan persarafan

Pembuluh darah arteri utama yang memperdarahi daerah nasofaring adalah

arteri faringeal asendens, arteri palatina asendens, arteri palatina desendens, dan

cabang faringeal arteri sfenopalatina. Semua pembuluh darah tersebut berasal dari

arteri karotis eksterna dan cabang-cabangnya. Pembuluh darah vena berada di

bawah membran mukosa yang berhubungan dengan pleksus pterigoid di daerah

superior dan fasia posterior atau vena jugularis interna di bawahnya (Gibb, 1999).

Gambar 2.1.2 Perdarahan nasofaring, dikutip dari Atlas Netter

Daerah nasofaring dipersarafi oleh pleksus faringeal yang terdapat di atas

otot konstriktor faringeus media. Pleksus faringeus terdiri dari serabut sensoris saraf

glossofaringeus (IX), serabut motoris saraf vagus (X) dan serabut saraf ganglion

servikalis simpatikus. Sebagian besar saraf sensoris nasofaring berasal dari saraf

Universitas Sumatera Utara

Page 5: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 21920... · BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi 2.1.1 Nasofaring2011-09-14 · BAB 2 . TINJAUAN PUSTAKA . 2.1 Anatomi

glossofaringeus, hanya daerah superior nasofaring dan anterior orifisuim tuba yang

mendapat persarafan sensoris dari cabang faringeal ganglion sfenopalatina yang

berasal dari cabang maksila saraf trigeminus (V1) (Gibb, 1999).

Gambar 2.1.3. Persarafan nasofaring, dikutip dari Atlas Netter

2.1.3 Sistem limfatik

Nasofaring mempunyai pleksus submukosa limfatik yang luas. Kelompok

pertama adalah kelompok nodul pada daerah retrofaringeal yang terdapat pada

ruang retrofaring antara dinding posterior nasofaring, fasia faringobasilar dan fasia

prevertebra (Chew, 1997). Pada dinding lateral terutama di daerah tuba Eustachius

paling kaya akan pembuluh limfe. Aliran limfenya berjalan ke arah anterosuperior

dan bermuara di kelenjar retrofaringeal atau ke kelenjar yang paling proksimal dari

masing-masing sisi rantai kelenjar spinal dan jugularis interna, rantai kelenjar ini

terletak di bawah otot sternokleidomastoid pada tiap prosessus mastoid. Beberapa

kelenjar dari rantai jugular letaknya sangat dekat denan saraf-saraf kranial terakhir

yaitu saraf IX,X,XI,XII (Bourhis et al, 1999). Metastase ke kelenjar limfe ini dapat

Universitas Sumatera Utara

Page 6: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 21920... · BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi 2.1.1 Nasofaring2011-09-14 · BAB 2 . TINJAUAN PUSTAKA . 2.1 Anatomi

terjadi sampai dengan 75% penderita KNF, yang mana setengahnya datang dengan

kelenjar limfe bilateral (Dhingra, 2004).

2.2 Karsinoma Nasofaring

Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang berasal dari sel epitel

permukaan nasofaring (Brennan, 2006). Tumor ini bermula dari dinding lateral

nasofaring (fosa russenmuller) dan dapat menyebar ke dalam atau keluar nasofaring

menuju dinding lateral, posterosuperior, dasar tengkorak, palatum, kavum nasi, dan

orofaring serta metastase ke kelenjar limfe leher (Gustafson dan Neel, 1989).

2.2.1 Epidemiologi

Angka insiden karsinoma nasofaring cukup tinggi tergantung dari letak

geografinya (Khabir et al., 2005). Berdasarkan data IARC (International Agency for

Research on Cancer) pada tahun 2002 ditemukan sekitar 80.000 kasus baru KNF

di seluruh dunia dan sekitar 50.000 kasus meninggal diantaranya adalah berasal

dari Cina sekitar 40% (Ma and Cao, 2010). Umur rata-rata penderita KNF yaitu 45-55

tahun, dengan 23.3 kasus/100.000 laki-laki dan 8.9 kasus/100.000 perempuan.

Rasio laki-laki : perempuan yaitu 2-3 : 1 (Lo et al., 2004; Lo, 2007; Ma and Cao,

2010). Di Indonesia memberikan hasil yang beragam, dengan laki-laki lebih banyak

menderita KNF daripada perempuan seperti yang telah dilaporkan oleh Armiyanto

(2003) 2,2:1; Lutan (2003) 2,3:1; Henny (2004) 2,4:1; Masrin (2005) dan Harahap

(2009) dengan 2,5:1. Kelompok umur yang terbanyak terjadi adalah pada umur 41-

50 tahun. Insiden tertinggi dilaporkan berasal dari provinsi Guandong dan daerah

Guangxi Cina Selatan yaitu mencapai lebih dari 50 per 100.000 orang/tahun

(Ganguly, 2003; Ma and Cao, 2010). Etnis Cina yang bermigrasi ke luar negeri juga

mempunyai angka insiden yang tinggi, tetapi etnis Cina yang lahir di Amerika Utara,

mempunyai angka insiden yang rendah dibandingkan dengan yang lahir di Cina

(Chou et al., 2008). Temuan ini mengindikasikan bahwa faktor genetik, etnik, dan

Universitas Sumatera Utara

Page 7: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 21920... · BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi 2.1.1 Nasofaring2011-09-14 · BAB 2 . TINJAUAN PUSTAKA . 2.1 Anatomi

lingkungan memegang peranan penting terhadap meningkatnya KNF (Lo et al.,

2004). Insiden yang tinggi juga ditemukan pada penduduk Eskimo di Alaska,

Greenland dan Tunisia sebanyak 15-20 kasus per 100.000 orang per tahun. Angka

insiden sedang ditemukan pada daerah Afrika Utara dan Asia Tenggara (Vietnam,

Indonesia, Thailand, Filipina) yaitu antara 3-8 per 100.000/tahun. Dan jarang terjadi

pada negara Eropa dan Amerika Utara (Chew, 1997; Khabir et al., 2005; Lin, 2006).

Di RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun 1998-2002 ditemukan 130 penderita

KNF dari 1370 penderita baru onkologi kepala dan leher (Lutan, 2003).

2.2.2 Etiologi

Penyebab dari karsinoma nasofaring adalah multifaktor yaitu genetik, faktor

lingkungan/adat kebiasaan dan infeksi virus Epstein-Barr (VEB) (Ganguly, 2003;

Korcum et al., 2006)

2.2.2.1 Faktor Genetik

Tingginya angka insiden KNF di daerah Cina Selatan, baik yang tinggal di

Cina atau yang sudah bermigrasi, dan angka insiden sedang pada populasi

keturunan cina campuran, diduga mempunyai hubungan genetik dalam terjadinya

karsinoma nasofaring. Telah dilaporkan bahwa Histocompatibility Locus Antigen

(HLA) yaitu HLA-A2 (HLA-A*0207) dan HLA-Bsin2 berhubungan dengan KNF pada

orang Cina Selatan, tetapi jarang pada orang kulit putih. Dan telah diidentifikasi

bahwa terdapat kelainan pada beberapa kromosom, yaitu kromosom 1, 2, 3, 4, 5, 6,

8, 9, 11, 13, 14, 15, 16, 17, 22, dan kromosom X (Lo et al., 2004; Lin, 2006).

Penelitian di bagian THT FKUI/RSCM tahun 1997 didapatkan fenotip antigen HLA

kelas 1, HLA-A24 dan HLA-B63 untuk kemungkinan faktor penyebab bagi orang

Indonesia asli. (Chew, 1997; Ahmad, 2002; Cottrill and Nutting, 2003). Penelitian di

Medan menemukan alel gen paling tinggi pada penderita KNF suku Batak adalah

alel gen HLA-DRB1*12 dan HLA-DQB*0301 dimana alel gen yang potensial sebagai

Universitas Sumatera Utara

Page 8: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 21920... · BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi 2.1.1 Nasofaring2011-09-14 · BAB 2 . TINJAUAN PUSTAKA . 2.1 Anatomi

penyebab kerentanan timbulnya KNF pada suku Batak adalah alel gen HLA-

DRB1*08 (Delfitri M, 2007).

2.2.2.2 Lingkungan/adat kebiasaan

Beberapa kebiasaan/makanan telah dilaporkan berhubungan dengan

meningkatnya resiko dari KNF. Mengkomsumsi ikan asin dan makanan yang

diawetkan yang mengandung volatile nitrosamin, merupakan faktor karsinogenik

yang penting yang berhubungan dengan KNF. Dan telah terbukti bahwa

mengkonsumsi ikan asin sejak anak-anak meningkatkan resiko KNF di Cina Selatan

(Ganguly, 2003; Lo et al., 2004; Can et al., 2005; Lin, 2006).

Clifford dan Bulbrook dalam penelitiannya yaitu orang Afrika, Kenya yang

hidup dengan ventilasi rumah yang jelek dengan asap yang terperangkap di dalam

rumah, meningkatkan angka kejadian KNF. Mereka melaporkan asap yang berasal

dari kayu bakar mengandung zat karsinogen yang akan terakumulasi pada dinding

nasofaring posterior dan lateral, dengan waktu terpapar sampai beberapa jam sehari

selama bertahun-tahun (Ganguly, 2003).

Juga telah dilaporkan orang yang mengkonsumsi rokok selama 10 tahun atau

lebih mempunyai resiko yang tinggi terhadap KNF, tetapi paparan yang rendah

terhadap asap rokok sebagai perokok pasif dan mengkonsumsi alkohol bukan

merupakan faktor resiko KNF (Ganguly, 2003).

Penelitian yang dilakukan oleh Nolodewo, dkk di RS Dr. Kariadi Semarang

menyatakan bahwa paparan formaldehid bentuk uap dan asap yang terhirup

berpengaruh paling besar terhadap kejadian KNF, keduanya terbukti secara

bersama-sama berpengaruh secara signifikan terhadap kejadian KNF (Nolodewo,

Yuslam, Muyassaroh, 2007).

Universitas Sumatera Utara

Page 9: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 21920... · BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi 2.1.1 Nasofaring2011-09-14 · BAB 2 . TINJAUAN PUSTAKA . 2.1 Anatomi

2.2.2.3 Virus Epstein-Barr (VEB)

Virus Epstein-Barr merupakan karsinogen yang menjadi penyebab beberapa

keganasan pada manusia, termasuk KNF. Hubungan antara KNF dan VEB telah

diteliti pada beberapa studi seroepidemik dari berbagai negara. Mereka meneliti

adanya DNA VEB persisten dan/atau virus determined nuclear antigen (EBNA) pada

sel-sel KNF. Henle dan Henle, pertama sekali menerangkan bahwa serum antibodi

IgA yaitu virus capsid antigen (VCA) dan early antigen (EA) berhubungan signifikan

dengan KNF (Ganguly, 2003; Lo et al., 2004). Infeksi laten VEB telah diidentifikasi

pada sel-sel kanker pada semua kasus KNF pada daerah endemik. VEB genome

juga telah dideteksi pada karsinoma yang invasif dan pada lesi displasia (Lo et al.,

2004). Protein virus laten (latent membrane protein 1 dan 2) memiliki efek yang

substansial pada ekspresi gen selular, menghasilkan pertumbuhan yang sangat

invasif serta pertumbuhan ganas dari karsinoma (Wei and Sham, 2005; Lutzky et al.,

2008).

2.2.3 Gejala Klinis

Keluhan penderita KNF berhubungan dengan lokasi tumor primer, derajat

dan arah penyebarannya (Soetjipto, 1989).

2.2.3.1 Gejala Dini

Menegakkan diagnosis KNF secara dini merupakan hal yang paling penting

dalam menurunkan angka kematian akibat penyakit ini. Gejala dini berupa :

Gejala Telinga

a. Oklusi tuba Eustachius/kataralis

Umumnya keluhan berupa rasa penuh di telinga, telinga berdengung

(tinitus), atau dengan gangguan pendengaran yang biasanya tuli konduktif dan

Universitas Sumatera Utara

Page 10: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 21920... · BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi 2.1.1 Nasofaring2011-09-14 · BAB 2 . TINJAUAN PUSTAKA . 2.1 Anatomi

bersifat unilateral. Gejala ini disebabkan karena pertumbuhan atau infiltrasi

tumor primer pada otot tuba dan mengganggu mekanisme pembukaan ostia

tuba. Tuba oklusi dapat menjadi permanen, jika tumor menyebar dan

menyumbat muara tuba.

b. Gangguan pendengaran

Sering bersifat tuli konduktif dan unilateral. Gejala ini disebabkan karena

otitis media serosa akibat gangguan fungsi tuba. Tuli saraf mungkin terjadi pada

penderita KNF tetapi sebagai efek radioterapi dan jarang akibat penyebaran

langsung tumor ke saraf VIII.

c. Otitis media serosa sampai perforasi membran timpani

Penyebabnya adalah sumbatan muara tuba Eustachius oleh massa

tumor.

d. Tinitus

Sering dijumpai pada penderita KNF, dapat sangat mengganggu dan sulit

diobati. Gejala ini juga disebabkan akibat gangguan fungsi tuba.

e. Otalgia

Gejala ini jarang ditemukan dan bila ada menunjukkan bahwa tumor telah

menginfiltrasi daerah parafaring dan mengerosi dasar tengkorak. Rasa sakit di

telinga akibat infiltrasi pada saraf glossofaringeus yang mempunyai cabang saraf

sensoris ke telinga tengah.

Gejala Hidung

a. Epistaksis

Umumnya berupa ingus bercampur darah yang dapat terjadi berulang-

ulang dan biasanya dalam jumlah sedikit. Gejala ini timbul akibat permukaan

tumor rapuh sehingga pada iritasi ringan dapat terjadi perdarahan.

Universitas Sumatera Utara

Page 11: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 21920... · BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi 2.1.1 Nasofaring2011-09-14 · BAB 2 . TINJAUAN PUSTAKA . 2.1 Anatomi

b. Obstruksi hidung

Gejala ini biasanya menetap dan bertambah berat. Gejala ini akibat

pertumbuhan massa tumor menutupi koana. Gejala menyerupai pilek kronis,

kadang-kadang disertai dengan gangguan penciuman. Bila terjadi obstruksi

hidung total menunjukkan stadium yang lanjut dari KNF.

2.2.3.2 Gejala Lanjut

1. Limfadenopati Servikal

Ditandai dengan pembesaran kelenjar limfe regional yang merupakan

penyebaran terdekat secara limfogen dari KNF. Dapat terjadi unilateral atau

bilateral. Kelenjar limfe retrofaringeal (Rouviere) merupakan tempat pertama

penyebaran sel tumor ke kelenjar, tetapi pembesaran kelenjar limfe ini tidak

teraba dari luar. Ciri yang khas penyebaran KNF ke kelenjar limfe leher yaitu

terletak di bawah prosesus mastoid (kelenjar limfe jugulodigastrik), di bawah

angulus mandibula, di dalam otot sternokleidomastoid, konsistensi keras, tidak

terasa sakit, tidak mudah digerakkan terutama bila sel tumor telah menembus

kelenjar dan mengenai jaringan otot di bawahnya.

Lebih dari 40% dari seluruh kasus KNF, keluhan adanya tumor di leher ini

yang paling sering dijumpai dan yang mendorong penderita untuk datang berobat

(Soetjipto, 1989; Ahmad,2002).

2. Gejala Neurologis

Sindroma petrosfenoidal, akibat penjalaran tumor primer ke atas melalui

foramen laserum dan ovale sepanjang fosa kranii medial sehingga mengenai

saraf kranial anterior berturut-turut yaitu saraf VI, saraf III, saraf IV, sedangkan

saraf II paling akhir mengalami gangguan. Dapat pula menyebabkan parese

saraf V. Parese saraf II menyebabkan gangguan visus, parese saraf III

menyebabkan kelumpuhan otot levator palpebra dan otot tarsalis superior

Universitas Sumatera Utara

Page 12: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 21920... · BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi 2.1.1 Nasofaring2011-09-14 · BAB 2 . TINJAUAN PUSTAKA . 2.1 Anatomi

sehingga menimbulkan ptosis, dan parese saraf III, IV dan VI menyebabkan

keluhan diplopia karena saraf-saraf tersebut berperan dalam pergerakan bola

mata, dan saraf V (trigeminus) dengan keluhan rasa kebas di pipi dan wajah

yang biasanya unilateral.

Sindroma parafaring/penjalaran secara retroparotidian, akibat tumor

menjalar ke belakang secara ekstrakranial dan mengenai saraf kranial posterior

yaitu saraf VII sampai XII dan cabang saraf simpatikus servikalis yang

menimbulkan sindroma Horner. Parese saraf IX menyebabkan keluhan sulit

menelan karena hemiparese otot konstriktor faringeus superior. Parese saraf X

menyebabkan gangguan motorik berupa afoni, disfoni, disfagia, spasme

esofagus, gangguan sensorik berupa nyeri daerah laring dan faring, dispnu, dan

hipersalivasi, parese saraf XI menyebabkan atrofi otot trapezius,

sternokleidomastoideus serta hemiparese palatum molle, parese saraf XII

menyebabkan hemiparese dan atrofi sebelah lidah, sedangkan saraf VII dan VIII

jarang terkena karena letaknya agak tinggi.

KNF juga kadang-kadang menimbulkan gejala yang tidak khas berupa

trismus. Gejala ini timbul bila tumor primer telah menginfiltrasi otot pterigoid

sehingga menyebabkan terbatasnya pembukaan mulut. Gejala trismus sangat

jarang dijumpai tetapi lebih sering terdapat sebagai efek samping radioterapi

yang diberikan, sehingga menyebabkan degenerasi serat otot pterigoid dan

masseter.

Sakit kepala yang hebat merupakan gejala yang paling berat bagi

penderita KNF, biasanya merupakan stadium terminal dari KNF. Hal ini

disebabkan tumor mengerosi dasar tengkorak dan menekan struktur di

sekitarnya (Witte dan Neel, 1998; Ahmad, 2002).

Universitas Sumatera Utara

Page 13: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 21920... · BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi 2.1.1 Nasofaring2011-09-14 · BAB 2 . TINJAUAN PUSTAKA . 2.1 Anatomi

2.2.3.3 Gejala Metastasis jauh

Metastasis jauh dari KNF dapat secara limfogen atau hematogen, yang

dapat mengenai spina vertebra torakolumbar, femur, hati, paru, ginjal, dan limpa.

Metastasis jauh dari KNF terutama ditemukan di tulang (48%), paru-paru (27%),

hepar (11%) dan kelenjar getah bening supraklavikula (10%). Metastasis sejauh ini

menunjukkan prognosis yang sangat buruk, biasanya 90% meninggal dalam waktu 1

tahun setelah diagnosis ditegakkan (Chiesa and De Paoli, 2001).

2.2.4 Histopatologi

Pada 1978 WHO menetapkan KNF sebagai kanker yang berasal dari sel

skuamousa dan dibedakan berdasarkan mikroskop cahaya menjadi 3 tipe yaitu:

1. WHO Tipe 1 : karsinoma sel skuamosa berkeratin

2. WHO Tipe 2 : karsinoma sel skuamosa tidak berkeratin

3. WHO Tipe 3 : karsinoma tidak berdiferensiasi

Gambaran histopatologi WHO tipe 1, khas tampak gambaran sekat

intraselular dan gambaran pembentukan keratin yang menonjol. Gambaran tersebut

menyerupai karsinoma sel skuamosa di daerah lainnya, seperti pada traktus

aerodigestivus. WHO tipe 1 ini terdapat pada 75% populasi kulit putih di Amerika

Serikat, non-Hispanic kulit putih tetapi jumlah tersebut hanya sebesar 1-2% pada

populasi endemik (Witte and Neel, 1998).

WHO tipe 2 memperlihatkan kematangan dari epitel skuamosa, tetapi

tidak ada gambaran pembentukan keratin (Witte dan Neel, 1998; Chou et al.,

2008).

Pada WHO tipe 3, terdapat sel-sel dengan morfologi yang bervariasi terdiri

dari nukleus vesikuler, gambaran nukleus yang menonjol dan sinsitia (sel raksasa

Universitas Sumatera Utara

Page 14: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 21920... · BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi 2.1.1 Nasofaring2011-09-14 · BAB 2 . TINJAUAN PUSTAKA . 2.1 Anatomi

berinti banyak). Ditemukan sebanyak 95% pada semua kasus di daerah endemik,

namun di populasi resiko rendah seperti populasi pada populasi kulit putih Amerika

Utara hanya ditemukan sebanyak 60% (Witte and Neel, 1998).

Kebanyakan kasus KNF yang terjadi pada anak-anak dan remaja adalah

tipe 3, sedikit kasus pada tipe 2. Secara histologik, KNF WHO tipe 2 dan 3

berhubungan dengan infeksi laten VEB sekitar 65-100% kasus dan pada WHO tipe 1

pada daerah endemis, tetapi tidak terdapat pada WHO tipe 1 terutama pada daerah

nonendemis (Lo et al., 2004; Brennan, 2006; Chou et al., 2008).

2.2.5 Diagnosis

Diagnosa KNF ditegakkan dengan pemeriksaan klinis dan histopatologi.

Pemeriksaan histopatologi yaitu dengan melakukan biopsi massa pada nasofaring,

yang lebih baik dilakukan dengan bantuan nasofaringoskopi optik. Jika terdapat

pembesaran kelenjar getah bening leher, maka dilakukan aspirasi jarum halus. Untuk

mengetahui letak tumor dan penyebarannya secara akurat, direkomendasikan untuk

melakukan CT-Scan dan MRI nasofaring, dasar tengkorak dan leher. Foto rongten

toraks (anteroposterior dan lateral) untuk melihat penyebaran karsinoma nasofaring

ke daerah paru. Skrining tulang, abdomen biasanya juga dilakukan jika hasil klinis

dan laboratorium menunjukkan adanya suatu metastase (Brennan, 2006).

2.2.6 Stadium tumor

Terdapat beberapa cara untuk menentukan stadium KNF. Di beberapa

negara Asia digunakan penentuan stadium yang dikemukakan oleh Ho pada tahun

1978 (Ho’s system), sementara di Amerika dan Eropa lebih disukai penentuan

stadium sesuai dengan kriteria yang ditetapkan AJCC/UICC (American Joint

Committee on Cancer / International Union Against Cancer). Cara penentuan

stadium KNF yang terbaru adalah menurut AJCC/UICC edisi ke-6 tahun 2002, yaitu

(Brennan, 2006) :

Universitas Sumatera Utara

Page 15: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 21920... · BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi 2.1.1 Nasofaring2011-09-14 · BAB 2 . TINJAUAN PUSTAKA . 2.1 Anatomi

Tumor di nasofaring (T)

Tx : Tumor primer tidak dapat ditemukan

T0 : Tidak ditemukan adanya tumor primer

Tis : Carcinoma in situ

T1 : Tumor terbatas di nasofaring

T2 : Tumor meluas ke jaringan lunak

T2a : Tumor meluas sampai daerah orofaring dan/atau fossa nasalis tanpa

perluasan ke depan parafaring

T2b : Dengan perluasan ke parafaring

T3 : Tumor menginvasi struktur tulang dan/atau sinus paranasal

T4 : Tumor meluas ke intrakranial dan/atau mengenai saraf kranial, fossa

infratemporal, hipofaring, orbita atau ruang mastikator

Kelenjar limfe regional (N)

Nx : Pembesaran KGB regional tidak dapat ditentukan

N0 : Tidak ada pembesaran KGB regional

N1 : Metastasis ke KGB unilateral, ukuran ≤ 6 cm, terletak di atas fossa

supraklavikula

N2 : Metastasis ke KGB bilateral, ukuran ≤ 6 cm, terletak di atas fossa

supraklavikula

N3 : Metastasis ke KGB:

N3a : Ukuran KGB > 6 cm, di atas fossa supraklavikula

Universitas Sumatera Utara

Page 16: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 21920... · BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi 2.1.1 Nasofaring2011-09-14 · BAB 2 . TINJAUAN PUSTAKA . 2.1 Anatomi

N3b : Terletak pada fossa supraklavikula

Metastasis jauh (M)

Mx : Adanya metastasis jauh tidak dapat ditentukan

M0 : Tidak ada metastasis jauh

M1 : Ada metastasis jauh

Stadium KNF

0 : Tis N0 M0

I : T1 N0 M0

IIa : T2a N0 M0

IIb : T1-2a N1 M0, T2b N0-1 M0

III : T1-2b N2 M0, T3 N0-2 M0

IVa : T4 N0-2 M0

IVb : Semua T N3 M0

IVc : Semua T N0-3 M1

2.3 Virus Epstein-Barr (VEB)

Virus Epstein-Barr merupakan suatu virus gamma herpes yang

mengandung DNA yang termasuk dalam keluarga herpes viridae yang

ditemukan oleh oleh Ied Tony Epstein dan Yvone Barr pada tahun 1964

(Korcum et al., 2006). Virus ini dapat menginfeksi lebih dari 90% populasi dunia

Universitas Sumatera Utara

Page 17: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 21920... · BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi 2.1.1 Nasofaring2011-09-14 · BAB 2 . TINJAUAN PUSTAKA . 2.1 Anatomi

dan mempunyai hubungan dengan sejumlah keganasan termasuk karsinoma

nasofaring, penyakit Hodgkin, limfoma Burkitt, kanker lambung, leiomyosarcoma

dan kemungkinan kanker payudara (Feng et al., 2002; Straathof et al., 2003). Di

Hongkong, 80% anak umur 6 tahun telah terinfeksi oleh VEB dan hampir 100%

telah terdeteksi pada anak umur 10 tahun (Chang and Adami, 2006).

Gambar 2.3. Genom Virus Epstein-Barr (Sun, 2006)

VEB dapat berada pada inti maupun sitoplasma sel dengan ukuran

diameter 75-200 nm. Struktur virus ini sama dengan struktur virus herpes

lainnya. Secara garis besar terdiri dari protein nukleoid yang terbungkus

bersama-sama dengan DNA (genom) virus dan disebut nukleokapsid, memiliki

162 kapsomer dan berbentuk ikosahedral. Selain itu terdapat pula subunit

protein lainnya yang terletak antara nukleokapsid dan envelop. Envelop virus

tersusun dari bagian membran inti maupun membran-membran sel yang berasal

dari sel host. Pada lapisan luar envelop terdapat beberapa tonjolan glikoprotein.

Protein kapsid yang utama adalah p160,47 dan 28 kDa, sedangkan tonjolan

Universitas Sumatera Utara

Page 18: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 21920... · BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi 2.1.1 Nasofaring2011-09-14 · BAB 2 . TINJAUAN PUSTAKA . 2.1 Anatomi

envelop terbanyak adalah gp350/220 dan 152 kDa (Mongan dan Harahap,2000;

Ibrahim et al., 2001).

2.3.1. Patogenesis Infeksi Virus Epstein-Barr

Virus Epstein-Barr menginfeksi populasi dunia terutama dewasa yang

didahului dengan infeksi primer, yang mana Individu yang terinfeksi dengan

virus Epstein-Barr dapat dipertahankan selama hidupnya. Pada negara yang

belum berkembang, infeksi primer VEB biasanya terjadi selama beberapa bulan

pertama sampai beberapa tahun kehidupan dan sering tanpa gejala. Sedangkan

pada negara berkembang, infeksi primer lebih sering terjadi pada waktu remaja

atau dewasa, dan pada beberapa kasus memberikan gejala yang khas atau

infeksi mononukleosis (Tao et al., 2006).

Pada awal proses infeksi, bagian envelop virus akan berfusi dulu dengan

membran sel host sehingga nukleokapsid virus dapat masuk ke dalam sel dan

dalam keadaan inaktif atau sebaliknya mulai aktif membentuk enzim-enzim yang

diperlukan untuk pembentukan partikel virus baru. Hal tersebut menentukan

apakah terjadi infeksi laten atau litik. Infeksi litik lebih sering berlangsung pada

epitel mukosa sedangkan infeksi laten pada limfosit B dan beberapa jenis epitel

tertentu (Kieff et al., 1995; Mongan dan Harahap, 2000).

Infeksi VEB terjadi melalui kontak saliva yang infeksius dan permulaan

infeksi terjadi di orofaring, kemudian akan bereplikasi di sel epitel faring dan

kelenjar ludah. Tahap awal infeksi virus akan terikat pada reseptor C3d yang

merupakan komponen komplemen (CR2 atau CD21). Ketika virus menempel

pada permukaan sel maka sel akan teraktivasi dan masuk ke dalam siklus sel

dimana beberapa gen VEB terekspresi dan menyebabkan proliferasi tanpa

batas. Selanjutnya VEB masuk melalui rute orofaring dan menginfeksi resting B

Universitas Sumatera Utara

Page 19: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 21920... · BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi 2.1.1 Nasofaring2011-09-14 · BAB 2 . TINJAUAN PUSTAKA . 2.1 Anatomi

cells dan atau sel-sel epitel. Virus dilepaskan selama fase produktif yang

selanjutnya akan menginfeksi sel-sel B di sirkulasi yang melalui orofaring,

menghasilkan infeksi laten. VEB akan memicu limfosit B untuk berproliferasi,

yang mana hal ini akan diekspresikan oleh spesific growth-promoting genes,

yang mempunyai kemampuan untuk menjadi tumor (Murray et al., 2001; Korcum

et al., 2006).

Infeksi VEB yang utama adalah infeksi laten, tetapi VEB pada waktu

tertentu dapat teraktivasi kembali dan tereplikasi menjadi infeksi litik. Perubahan

infeksi laten menjadi litik dipicu oleh VEB immediate-early transcription factor

ZEBRA (BZLF1, Zta, Z, EB1). ZEBRA mengaktifkan promotor gen infeksi litik

VEB berikatan dengan ZREs (ZEBRA Response Elements), yang menginduksi

kaskade ekspresi dari lebih 50 gen virus. ZEBRA juga menurunkan regulasi

latency-associated promotor, yang merupakan bagian dari faktor replikasi,

menginduksi tertahannya siklus sel host, mengubah respon imun seluler dan

aktivitas faktor transkripsi. Hasil dari perubahan ini adalah transkripsi yang luas

pada gen virus dan terbentuknya EA dan antigen lanjut VCA (Petosa et al.,

2006).

.

Gambar 2.3.1. Siklus hidup Virus Epstein-Barr (Thompson et al.,2004)

Universitas Sumatera Utara

Page 20: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 21920... · BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi 2.1.1 Nasofaring2011-09-14 · BAB 2 . TINJAUAN PUSTAKA . 2.1 Anatomi

Pada infeksi primer VEB, diproduksi tiga antibodi yaitu IgG, IgM, IgA

untuk melawan VCA dari VEB, dua antibodi IgG dan IgA diproduksi untuk

melawan EA D, serta satu antibodi IgG untuk merespon EA R (Thompson and

Kurzrock, 2004).

Pada masa laten, VEB menghasilkan enam VEB nuklear antigen (EBNA

1, 2, 3A, 3B, 3C, dan LP), dan tiga Latent membrane Protein (LMP1, 2A, 2B),

serta dua VEB Non-Polyadenylated RNAs (EBERs) (Zheng et al., 2007)

2.3.2 Hubungan Karsinoma Nasofaring dan Virus Epstein Barr

Pada tahun 1966, Old et al. pertama sekali menemukan hubungan

antara VEB dan KNF dengan menggunakan hibridisasi in situ dan pemeriksaan

anticomplement and immunoflorecent (ACIF). Old et al melaporkan adanya

peningkatan titer antibodi terhadap antigen VEB pasien KNF, khususnya IgA

anti VCA dan EA, yang ditemukan pada serum pasien. Konsentrasi titer IgA-

VCA ≥ 1/10 menandakan adanya infeksi VEB. (Okano, 2000; Leung et al.,

2004). Pada penelitian lain disebutkan bahwa ekspresi dari gen laten VEB pada

sel-sel KNF menguatkan bukti adanya VEB (Gullo et al., 2008).

Ekspresi dari Early Antigen VEB pada pertumbuhan KNF dengan VEB

positif, dihubungkan dengan mengkonsumsi ikan asin dan makanan yang

diawetkan diduga berhubungan dengan faktor kebiasaan atau pola makan

(Gullo et al., 2008).

EBNA1 dan LMP1 yang merupakan produk onkogen VEB terbukti

menyebabkan transformasi sel epitel faring dan imortalisasi limfosit B. Adanya

partikel VEB pada jaringan tumor spesimen biopsi penderita KNF secara

konsisten, mendukung hipotesis VEB sebagai faktor etiologi utama pada KNF

(Niedobitek, 2000).

Universitas Sumatera Utara

Page 21: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 21920... · BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi 2.1.1 Nasofaring2011-09-14 · BAB 2 . TINJAUAN PUSTAKA . 2.1 Anatomi

Tingginya kadar antibodi terhadap protein VEB pada orang sehat yyang

kemudian menderita KNF, dan pada penderita dengan tumor primer ataupun

yang mengalami kekambuhan menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara

VEB dengan KNF. Adanya infeksi VEB yang laten pada sel-sel KNF dan tidak

didapatkan pada epitel yang normal, memperkuat dugaan adanya hubungan

yang kuat antara VEB dan KNF (Liebowitz et al., 1994; Pathmanathan et al.,

1995; Murray et al., 2001).

2.4 Latent Membrane Protein 1 (LMP1)

Latent membrane protein 1 (LMP1) salah satu antigen dari VEB yang

diekspresikan pada fase laten dari VEB. Infeksi VEB telah diduga sebagai

penyebab dari KNF dan LMP1 memegang peranan penting dalam aktifitas

transformasi VEB pada KNF. (Sheen et al., 1999; Lo et al., 2003).

LMP1 merupakan protein membran dengan berat molekul ± 60-66

kDa, berasal dari transkripsi BNLF1. Protein ini terdiri dari 25 amino acid

intracytoplasmis N-terminus yang mengandung sedikit peptida berfungsi untuk

sebagai sinyal dan merupakan tempat ikatan dengan vimentin (protein dari

matriks seluler) (Hu, 1996).

Universitas Sumatera Utara

Page 22: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 21920... · BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi 2.1.1 Nasofaring2011-09-14 · BAB 2 . TINJAUAN PUSTAKA . 2.1 Anatomi

Gambar 2.4 Struktur Onkoprotein LMP1 (Zhang et al., 2005)

LMP 1 merupakan protein membran integral dengan struktur molekul

yang kompleks yang terdiri dari enam segmen membran hidrofobik yang

terbentuk dari 3 (tiga) lengkung eksternal dan 2 (dua) lengkung internal serta

200 amino acid intracytoplasmic C terminus yang kaya residu asam (Hu, 1995;

Korcum et al., 2006).

Ada empat jalur sinyal yang diindikasikan sebagai fungsi dari LMP 1 yaitu

Nuclear Factor - NF-ĸB, JNK (c-Jun N Terminal Kinase)/AP-1 (Activator Protein-

1), p38/MAPK (Mitogen-activated Protein Kinase) dan JAK(Janus Kinase)/STAT

(Signal Transducer and Activator of Transcription) (Xu et al., 2000).

Di dalam gugus C terminal dari LMP 1 mempunyai dua daerah yang aktif

yaitu disebut dengan CTAR-1 dan CTAR-2 (C-terminal activating region 1 dan

2). CTAR-1 berlokasi di daerah proksimal dari membran (asam amino 186-231)

dan penting sebagai mediator VEB untuk transformasi primer di dalam sel B.

Universitas Sumatera Utara

Page 23: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 21920... · BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi 2.1.1 Nasofaring2011-09-14 · BAB 2 . TINJAUAN PUSTAKA . 2.1 Anatomi

CTAR-2 (asam amino 351-386) berlokasi di daerah ekstrim C terminal dari LMP

1 dan dibutuhkan untuk pertumbuhan VEB di dalam sel dalam waktu yang lama

(Xu et al., 2000).

Aktivasi dari transkripsi faktor NF-ĸB merupakan indikasi pertama yang

penting bagi penyimpangan sinyal sel dari LMP 1. CTAR-1 dan CTAR-2 dapat

mengaktifkan NF-ĸB secara independen. Sekitar 70-80% dari CTAR-2 dari LMP

1 merupakan mediator yang mengaktifkan NF-ĸB melalui interaksinya dengan

Tumor Nekrosis Factor Receptor (TRAFs) - associated death domain protein

(TRADD). Sedangkan sisanya 20-30% dari LMP 1 sebagai mediator aktivasi

NF-ĸB dicapai melalui CTAR-1 yang berinteraksi dengan beberapa TNFR

associated factor (TRAFs) (Damania, 2004).

LMP1 oleh 3 C-terminal activation region 1,2,3 (CTAR1, CTAR2,CTAR3).

LMP1 CTAR1 menginduksi NIK/IKKs dan fosforilase IКBα, yang akan

mengekspresikan p65 dan p50 kemudian mengaktivasi NF-КB melalui TRAF1,

TRAF2 dan TRAF3, yang juga menginduksi jaras PI3K yang akan mengaktivasi

Akt (protein kinase B, PKB) sementara CTAR2 mengaktivasi NF-КB melalui

TRADD, dan TRAF2. NF-КB aktif menginduksi immortalisasi sel melalui

peningkatan regulasi aktivitas telomerase melalui translokasi ikatan protein

hTERT ke NF-КB, menghambat apoptosis sel melaui peningkatan regulasi

aktivitas survivin, dan merangsang proliferasi sel melalui regulasi survivin,

Cycline D1 dan EGFR dan lain-lain. Juga, LMP1 dapat meningkatkan tingkat

fosforilasi serine dari Annexin A2 oleh aktivasi jaras penandaan PKC yang dapat

merangsang proliferasi sel. LMP1 CTAR2 memicu AP-1 dengan mengaktifkan

ERK, P38 dan c-Jun N-Terminal kinase (JNKs), anggota stress activated group

dari MAP kinase, melalui pengikatan dengan kompleks TRADD/TRAF2. AP-1

aktif meningkatkan regulasi ekspresi MMP9 dan memediasi invasi dan

metastasis sel KNF. LMP1 CTAR3 antara CTAR1 dan CTAR2 memicu jaras

Universitas Sumatera Utara

Page 24: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 21920... · BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi 2.1.1 Nasofaring2011-09-14 · BAB 2 . TINJAUAN PUSTAKA . 2.1 Anatomi

JAK3/STAT yang akan meningkatkan transkripsi dan ekspresi VEGF, dengan

demikian meningkatkan invasi dan metastasis sel KNF (Zheng et al., 2007).

LMP1 dapat menginduksi antigen CD70 (TNF family) pada sel epitel (in

vitro). Observasi ini relevan oleh karena banyak dari WHO tipe 2 KNF terdapat

CD70 positif walaupun ekspresi CD70 tidak berhubungan dengan KNF LMP1

positif. Sebagai tambahan, CD 80/86 telah dideteksi pada sel-sel epitel dari

WHO tipe 2 KNF, tetapi hanya muncul terbatas pada kasus-kasus KNF dengan

LMP1 positif (Niedobitek, 2000).

Gambar 2.5 Jaras LMP1 pada karsinogenesis KNF (Zheng et al, 2007)

LMP1 mendapat perhatian yang besar dari para peneliti oleh karena

LMP1 menghambat differensiasi keratin (in vivo) dengan adanya perubahan

morfologi sel dan mengubah fibroblas dan sel-sel epitel pada penelitian in vitro

(Dawson et al., 1990; Hu et al.,1995). LMP1 mengubah sel-sel limfoid yang

diekspresikan oleh aktivasi antigen sel B, molekul adhesi, reseptor transferrin,

dan sensitifitas terhadap TGF-beta, yang mana hal ini akan menghambat

apoptosis dengan meningkatnya level Bcl-2 (Lo et al., 2003).

Universitas Sumatera Utara

Page 25: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 21920... · BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi 2.1.1 Nasofaring2011-09-14 · BAB 2 . TINJAUAN PUSTAKA . 2.1 Anatomi

LMP1 mempunyai kemampuan dalam menginduksi EGFR (epidermal

growth factor receptor) yang merupakan suatu reseptor tyrosine kinase yang

dijumpai di permukaan sel, yang mengaktifkan CTAR-1 berinteraksi dengan

TRAFs pada sel-sel epitel. Aktivasi ini akan mengakibatkan terbentuknya sel

kanker atau adanya suatu proses malignansi dari epitel (Sheen et al., 1999).

LMP1 dapat mengakibatkan terjadinya angiogenesis melalui induksi

COX-2 yang di mediasi oleh NF-ĸB melalui CTAR-1 dan CTAR-2 pada sel epitel

nasofaring. Yang mana induksi dari COX-2 ini akan meningkatkan produksi dari

VEGF (Vascular Endhotelial Growth Factor) pada LMP1 (Murono et al., 2001)

dan juga akan menyebabkan akumulasi p53 dan menginduksi tertahannya fase

G2/M pada KNF (Chou et al., 2008).

Pada sel epitel, LMP1 akan menghambat p53-mediated apoptosis

melalui induksi dari ekspresi A20. LMP1 akan menginduksi ekspresi dari CD40

dan IL6 (Interleukin 6) serta menurunkan ekspresi citokeratin dan E-chaderin

(Tsao et al., 2002). LMP1 juga menginduksi matrix metalloproteinase-9 (MMP-9)

dan meningkatkan ekspresi ITGα6 dan LAMC2 yang akan mengakibatkan

metastase dari sel-sel tumor (Lo et al., 2003).

Beberapa penelitian terhadap LMP1 telah dilaporkan di Indonesia dan

juga luar negeri dengan hasil yang bervariasi.

Tabel 1.1 Prevalensi ekspresi LMP1 pada karsinoma nasofaring

NAMA TAHUN LMP1 (+) KETERANGAN

Sempere et al.

Spanyol 1996

78,4% (40 dari 50

kasus)

Sheen et al.

Taiwan 1999

68,3% (41 dari 60

kasus)

LMP1 berhubungan signifikan

dengan EGFR

Universitas Sumatera Utara

Page 26: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 21920... · BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi 2.1.1 Nasofaring2011-09-14 · BAB 2 . TINJAUAN PUSTAKA . 2.1 Anatomi

NAMA TAHUN LMP1 (+) KETERANGAN

Gondhowiarjo

Indonesia 2000 50% (86 dari 172 kasus)

Berhubungan signifikan dengan

derajat tumor dan kelenjar getah

bening leher

Murono et al.

Jepang 2001

71,41% (10 dari 14

kasus)

Horikawa et al.

Jepang 2001

61,5% (24 dari 39

kasus)

Berhubungan signifikan dengan

metastase kelenjar getah bening

leher (p=0,0172)

Xia et al., Cina 2002 86,36% (19 dari 22

kasus)

LMP1 positif pada penderita KNF

dengan metastase

Xia et al., Cina 2003 61,29% (16 dari 31

kasus)

Dietz et al.

Jerman 2004 75% (33 dari 44 kasus)

Jeon et al.

Korea 2004 61% (36 dari 50 kasus)

Insiden tertinggi pada umur 50

tahun dan usia muda.

Berhubungan dengan status N

dan MMP9

Kadkhoda

Swedia 2007 33%

Tinggi ditemukan pada penderita

KNF ≤50 tahun, berhubungan

signifikan dengan status N

Muhtadi AI

Indonesia 2007 75% (36 dari 48 kasus)

Ekspresi LMP1 ditemukan lebih

tinggi pada usia <30 tahun dan

berhubungan dengan status N

dan WHO tipe 3 KNF

Punagi

Indonesia 2007 42,1%

LMP1 berhubungan dengan

WHO tipe 2 dan VEGFR

Murtono et al.

Indonesia 2009 66,7%

Universitas Sumatera Utara

Page 27: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 21920... · BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi 2.1.1 Nasofaring2011-09-14 · BAB 2 . TINJAUAN PUSTAKA . 2.1 Anatomi

Khabir et al. dari penelitiannya mendapatkan bahwa ekspresi LMP1

ditemukan lebih tinggi pada usia muda.

Pathmanathan et al. melaporkan ditemukannya ekspresi LMP1 pada lesi

preinvasif nasofaring, seperti pada displasia dan karsinoma insitu nasofaring,

yang menandakan bahwa VEB menginfeksi sel nasofaring sejak dari tahap

inisial terjadinya KNF.

Horikawa et al. melaporkan hasil penelitiannya di Taiwan, bahwa LMP1

VEB pada KNF menginduksi protoonkogen c-Met, sebuah reseptor faktor

pertumbuhan hepatosit berafinitas tinggi, yang berperan dalam motilitas dan

invasi sel, serta berhubungan dalam proses metastasis atau progresifitas

berbagai karsinoma. Dan ekspresi c-Met yang diinduksi oleh LMP1 mempunyai

hubungan korelasi positif dengan metastasis KGB pada KNF.

Hu et al. melaporkan dari penelitiannya tahun 1995 dan 2000 bahwa

tingkat ekspresi LMP1 pada KNF berkisar 65%, disimpulkan bahwa KNF dengan

LMP1 positif mempunyai imunogenesitas yang buruk, sedangkgan LMP1 negatif

KNF mempunyai imunogenesitas yang lebih baik.

Pada penelitian kilnis KNF menunjukkan bahwa tumor dengan LMP1

positif lebih progresif perkembangannya menginvasi kelenjar limfe daripada

tumor dengan LMP1 negatif (Lo et al., 2003). Tumor dengan LMP1 positif

dilaporkan lebih sering mengalami perluasan ke luar nasofaring dibandingkan

dengan LMP1 negatif (Korcum et al., 2006).

Penelitian di Jerman melaporkan pasien dengan LMP1 yang negatif pada

pulasan imunohistokimia konvensional menunjukkan angka ketahanan hidup 5

tahun yang lebih baik dibandingkan dengan pasien yang mempunyai LMP1

positif (Dietz et al., 2004)

Universitas Sumatera Utara

Page 28: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 21920... · BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi 2.1.1 Nasofaring2011-09-14 · BAB 2 . TINJAUAN PUSTAKA . 2.1 Anatomi

Wakisaka et al. dan Kondo et al. menemukan bahwa LMP1 VEB dapat

mengaktivasi Hypoxia-inducible factor 1α (HIF 1α) mengalami up-regulasi pada

sebagian besar malignansi. Up-regulasi HIF 1α oleh LMP1 VEB ditemukan pada

KNF dengan jenis histopatologi WHO tipe II dan III, sehingga HIF 1α juga

berperan dalam tumorigenesis pada keganasan yang disebabkan oleh VEB.

Horikawa et al. menemukan bahwa LMP1 VEB pada KNF dapat

menginduksi transisi epitel mesenkim (epithelial-mesenchymal transition/EMT)

melalui Twist (sebuah regulator utama transkripsi pada embriogenesis) dan

memberikan kontribusi kepada karakter KNF yang mempunyai sifat metastasis

yang tinggi.

2.5. Penatalaksanaan

2.5.1 Radioterapi

Radioterapi merupakan pengobatan utama pada KNF. Tumor ini sangat

radiosensitif dengan 5-year survival rate 84% pada stadium I dan 68% pada

stadium II. Angka kesembuhan akan berkurang pada stadium lanjut (stadium III

dan IV). Pada pasien yang mengalami rekuren lokal, radiasi ulang dapat

menyelamatkan 30% penderita. Radioterapi juga efektif terhadap terapi paliatif

pada kasus yang sudah metastasis jauh (Wee et al., 1999; Tan and Soh, 1999).

Radioterapi pada penderita KNF tanpa metastasis merupakan terapi

kuratif utama, yang dapat diberikan dalam dua tipe yaitu radioterapi eksternal

dan brakhiterapi. Radioterapi eksternal diberikan pada tumor primer dan nodul

servikal yang terlibat metastasis. Disamping itu radioterapi eksternal ulang dapat

juga diberikan pada tumor yang rekuren (Teo, 1999).

Universitas Sumatera Utara

Page 29: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 21920... · BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi 2.1.1 Nasofaring2011-09-14 · BAB 2 . TINJAUAN PUSTAKA . 2.1 Anatomi

Walaupun demikian, hasil pengobatan radiasi ini pada stadium lanjut tidak

memberikan hasil yang memuaskan oleh karena tingginya angka kekambuhan

dan metastasis jauh (Korcum et al., 2006).

Biasanya, dosis radioterapi diberikan pada tumor primer dengan dosis

antara 65 – 75 Gy dan jika ada keterlibatan nodul leher dosisnya 65 – 70 Gy.

Radiasi elektif dengan tidak adanya nodul, dosis diberikan 50 – 60 Gy. Terapi

dengan dosis tersebut pada derajat tumor T1 dan T2 berhasil pada 75% - 90%

kasus, pada derajat tumor T3 dan T4 sebesar 50% - 75% kasus. Kasus dengan

keterlibatan nodul pada N0 dan N1 memberikan keberhasilan dengan 90%,

tetapi pada N2 dan N3 hanya 70% (Wei, 2006)

Setelah diberikan radiasi, maka dilakukan evaluasi berupa respon

terhadap radiasi. Respon dinilai dari pengecilan kelenjar getah bening leher dan

pengecilan tumor primer di nasofaring. Penilaian respon radiasi berdasarkan

kriteria WHO :

- Complete Response: menghilangkan seluruh kelenjar getah bening yang

besar.

- Partial Response : pengecilan kelenjar getah bening sampai 50% atau lebih.

- No Change : ukuran kelenjar getah bening yang menetap.

- Progressive Disease : ukuran kelenjar getah bening membesar 25% atau lebih.

Efek samping radioterapi adalah mukositis, merupakan komplikasi akut

dari radioterapi yang paling sering, sekitar 18% - 84%, stomatitis, ngilu pada

gigi, dan juga hilangnya indra pengecapan (Ondrey and Wright, 2002).

Disamping itu juga dapat menyebabkan xerostomia, trismus, otitis media,

pendengaran menurun, hipotiroidisme, pigmentasi kulit, fibrois subkutan atau

Universitas Sumatera Utara

Page 30: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 21920... · BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi 2.1.1 Nasofaring2011-09-14 · BAB 2 . TINJAUAN PUSTAKA . 2.1 Anatomi

osteoradionekrosis. Radioterapi dapat juga menyebabkan sindroma Lhermitte

karena radiasi myelitis. Gejalanya seperti syok listrik yang menyebar turun ke

seluruh tubuh waktu pasien memfleksikan kepala ke depan. Radioterapi juga

menyebabkan komplikasi berupa nekrosis lobus temporal, ensefalomiopati,

ankilosis temporomandibular joint, gangguan nervus perifer, atrofi tulang dan

gangguan sistem hipotalamus. Terapi dengan kombinasi dengan sitostatika

dapat timbul depresi sumsum tulang dan gangguan gastrointestinal (Suzanne,

2001).

2.5.2 Brakhiterapi

Brakhiterapi adalah pemberian ion radiasi dosis tinggi terhadap jaringan

dengan volume kecil. Brakhiterapi dapat diberikan secara interstitial implans dan

intracavitary insertion. Metode yang terakhir merupakan cara yang paling sering

digunakan untuk pengobatan KNF (Wee et al., 1999; Teo, 1999). Pemberian

brakhiterapi terhadap tumor primer KNF dapat di bagi berdasarkan beberapa

indikasi. Yaitu Tumor persisten lokal setelah 4 bulan pemberian radioterapi

primer, sebagai adjuvant setelah radioterapi eksternal dan tumor persisten

regional dimana brakhiterapi diberikan pada penderita yang akan menjalani

diseksi leher (Teo, 1999).

Brakhiterapi hanya diberikan pada tumor primer T1 atau T2 yang rekuren

setelah pemberian radioterapi eksternal. Biasanya diberikan pada tumor yang

hanya melibatkan nasofaring, parafaring atau fosa posterior nasal. Diberikan

dosis 45 – 50 Gy, kemudian diikuti dengan tambahan dosis 20 Gy. Brakhiterapi

menunjukkan hasil terapi yang memuaskan terhadap KNF dan akan menjadi

terapi pilihan di masa akan datang (Wee et al., 1999).

Universitas Sumatera Utara

Page 31: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 21920... · BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi 2.1.1 Nasofaring2011-09-14 · BAB 2 . TINJAUAN PUSTAKA . 2.1 Anatomi

2.5.3. Kemoterapi

Penatalaksanaan KNF pada stadium lanjut, kemoterapi dikombinasikan

dengan radioterapi. Kemoterapi biasanya digunakan pada kasus KNF yang

rekuren atau yang telah bermetastasis (Wei and Sham, 2005).

Mekanisme kerja kemoterapi adalah sebagai antimetabolit, mengganggu

struktur dan fungsi DNA serta inhibitor mitosis. Antimetabolit bekerja dengan

menghambat biosintesis purin atau piramidin, sehingga dapat mengubah

struktur DNA dan menahan replikasi sel (Lika, 1999).

Kemoterapi yang paling sering digunakan adalah kombinasi antara

Cisplatin dan 5-fluoruracil (5-FU). Cisplatin bekerja sebagai sitotoksik juga

radiosensitisizer.

Cara pemberian kemoterapi terbagi 3 cara, yaitu:

1. Kemoterapi neoadjuvant

yaitu pemberian kemoterapi mendahului pembedahan dan radiasi.

Kemoterapi neoajuvan dimaksudkan untuk mengurangi besarnya tumor

sebelum radioterapi. Pemberian kemoterapi neoadjuvant didasari atas

pertimbangan vascular bed tumor masih intak sehingga pencapaian obat

menuju massa tumor masih baik. Disamping itu, kemoterapi yang diberikan

sejak dini dapat memberantas mikrometastasis sistemik seawal mungkin.

Kemoterapi neoadjuvan pada keganasan kepala leher stadium II – IV

dilaporkan overall response rate sebesar 80 %- 90 % dan CR (Complete

Response) sekitar 50%. Kemoterapi neoadjuvan yang diberikan sebelum terapi

definitif berupa radiasi dapat mempertahankan fungsi organ pada tempat

tumbuhnya tumor (organ preservation) (Sukardja, 2000 ; Airoldi et al., 2009).

Universitas Sumatera Utara

Page 32: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 21920... · BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi 2.1.1 Nasofaring2011-09-14 · BAB 2 . TINJAUAN PUSTAKA . 2.1 Anatomi

2. Kemoterapi konkomitan

Yaitu kemoterapi yang diberikan secara bersamaan dengan

radioterapi. dimaksud untuk mempertinggi manfaat radioterapi. Dengan

cara ini diharapkan dapat membunuh sel kanker yang sensitif terhadap

kemoterapi dan mengubah sel kanker yang radioresisten menjadi lebih

sensitif terhadap radiasi. Keuntungan kemoradioterapi adalah

keduanya bekerja sinergistik yaitu mencegah resistensi, membunuh

subpopulasi sel kanker yang hipoksik dan menghambat recovery DNA

pada sel kanker yang sublethal.

3. Kemoterapi adjuvant

Tujuan pemberian kemoterapi adjuvant adalah pemberian

kemoterapi yang dilakukan setelah radioterapi defenitif. Regimen

kemoterapi yang dipakai biasanya mengandung Cisplatin. Pemberian

kemoterapi ini menunjukkan hasil yang lebih baik untuk harapan hidup

bebas penyakit dan pencegahan metastase jauh.

2.5.4 Pembedahan

Pembedahan hanya sedikit berperan dalam penatalaksanaan KNF.

Terbatas pada diseksi leher radikal untuk mengontrol kelenjar yang

radioresisten dan metastase leher sesudah radioterapi, pada pasien tertentu

pembedahan penyelamatan (salvage treatment) dilakukan pada kasus

rekurensi di nasofaring atau kelenjar leher tanpa metastase jauh (Chew,

1997; Wei, 2003; Wei, 2006; Lutzky et al., 2008).

Universitas Sumatera Utara

Page 33: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 21920... · BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi 2.1.1 Nasofaring2011-09-14 · BAB 2 . TINJAUAN PUSTAKA . 2.1 Anatomi

2.5.5 Terapi target molekuler

Dengan tujuan untuk meningkatkan proporsi survival jangka panjang

pada pasien KNF yang rekuren atau dengan metastase jauh, bahan sistemik

yang lebih baik diperlukan untuk meningkatkan respon komplet. Dengan

potensi indeks terapeutik yang lebih tinggi, bahan-bahan target molekuler

menampilkan senyawa-senyawa yang dapat melengkapi penggunaan

kemoterapi konvensional (Agulnik and Siu, 2005).

Adanya VEB pada sel-sel tumor KNF merupakan target terapi spesifik

yang potensial pada KNF. Strategi terapi target VEB telah dikembangkan

untuk mengontrol stadium lanjut dari KNF. Protein VEB yang muncul pada

KNF merupakan target terapi tingkat sel, termasuk LMP1 dan 2. LMP1 dan 2

merupakan target antigen yang dapat diterapkan untuk terapi dengan limfosit

T sitotoksik spesifik (cytotoxic T lymphocytes/CTLs) pada pasien KNF

(Bharadwaj et al., 2003; Mertens et al., 2005).

Duraiswamy et al. menggunakan vaksin poxvirus rekombinan yang

menyandi protein poliepitop 6 HLA A2 dari LMP1 pada tikus, yang berhasil

menekan pertumbuhan tumor yang mengekspresikan LMP1. Sel manusia

yang terinfeksi oleh poliepitop rekombinan ini akan dikenali oleh spesifik

LMP1 CTL dari HLA A2 individual yang sehat. Penelitian ini menjadi batu

loncatan untuk perkembangan vaksin poliepitop berbasis LMP sebagai

imunoterapi pada KNF yang berhubungan dengan VEB.

Teh hijau mengandung catechins yaitu epigallocatechin-3-gallate

(EGCG), epicatechin-3-gallate (ECG) dan epicatechin (EC). EGCG memiliki

aktivitas biokimia dan farmakologi yang besar termasuk aktivitas antioksidan,

modulasi metabolisme karsinogen, menghambat proliferasi sel dan

menginduksi apoptosis pada penelitian in vitro dan hewan coba. Pada

Universitas Sumatera Utara

Page 34: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 21920... · BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi 2.1.1 Nasofaring2011-09-14 · BAB 2 . TINJAUAN PUSTAKA . 2.1 Anatomi

penelitian dilaporkan bahwa EGCG tidak hanya menghambat peningkatan

ekspresi LMP1 dan sel-sel KNF yaitu mengganggu AP-1 dan jaras transduksi

sinyal NF-κB yang dimediasi oleh VEB-LMP1, tetapi juga memblok aktifitas

NF-κB yang dipicu oleh LMP1 (Zheng et al., 2007).

Li et al. menyimpulkan bahwa supresi LMP1 VEB jangka panjang in

vivo merupakan cara yang efektif untuk mencegah metastasis KNF ke hepar,

paru-paru, karena secara bermakna menurunkan mobilitas sel dan

kemampuan invasi transmembran VEB. Metastasis pada KNF dapat secara

bermakna dihambat bila ekspresi LMP1 ditekan. Penelitian ini memberikan

jalan untuk penelitian-penelitian selanjutnya yang menjadikan LMP1 sebagai

target terapi sel pada KNF.

Universitas Sumatera Utara