64-129-1-SM

9
Mekanisme Molekular Toleransi Obat Anti Nyeri Opioid (Junaidi Khotib) 1  MEKANISME MOLEKULAR TOLERANSI OBAT ANTI NYERI OPIOID Junaidi Khotib Bagian Ilmu Biomedik Farmasi, Fakultas Farmasi, Universitas Airlangga ABSTRACT One of the problem facing the use of analgesic medication is drug tolerance. The mechanism of the decrease of the potency is not clearly understood. This experiment aimed to study the mechanism which could explain the tolerance phenomenon in patient using high potency opioid analgesic, such as morphine, phentanyl, and oxycodon. Morphine 10 mg/kg, phentanyl 56 μgram/kg, oxycodon 3 mg/kg, and (-)U50,488H 10 mg/kg were administrated subcutaneously to ICR mice (8-10 mice each group) results in high potency analgesic according to hot plate test and tail flick test. Using hot plate test it was revealed that there is decreasing potency in repeated administration (7 days) of those opioid analgesics, from 87% to 35% for morphine, from 89% to 53% for phentanyl, from 91% to 41% for oxycodon, and 85& to 27% for (-)U50,488H. The decreasing potency was followed by the decreasing function of the opiod receptor determined base on the opioid receptor bound G protein activity using [ 35 S]GTPγS method. The receptor function decreased by almost 50% in the spinal cord, peri aqueductal grey  and thalamus. From those result it was concluded that the decrease in receptor function or number was the main mechanism that cause the opioid analgesics drug tolerance. Keywords: drug tolerance, opioid analgesic, opioid receptor ABSTRAK Salah satu masalah utama penggunaan obat-obat anti nyeri adalah timbulnya toleransi obat. Mekanisme yang mendasari terjadinya penurunan potensi anti nyeri masih belum  jelas. Penelitian ini dimaksudkan untuk mempelajari mekanisme yang mendasari terjadinya toleransi pada pemakaian obat-obat anti nyeri opioid yang mempunyai potensi tinggi seperti morfin, fentanil dan oksikodon. Pemberian sub-kutan morfin 10 mg/kg, fentanil 56 μgram/kg, oksikodon 3 mg/kg atau (-)U50,488H 10 mg/kg pada hewan coba mencit galur ICR (8-10 ekor tiap kelompok) menghasilkan potensi anti nyeri yang kuat berdasarkan metode hot plate test dan tail flick test . Dengan metode hot plate test menunjukkan adanya penurunan potensi setelah pemakaian berulang selama 7 hari dari 87% menjadi 35% untuk morfin, 89% menjadi 53% untuk fentanil, 91% menjadi 41% untuk oksikodon dan 85% menjadi 27% untuk (-)U50,488H. Penurunan ini disertai juga dengan berkurangnya fungsi reseptor yang ditentukan berdasarkan aktivasi protein G yang terikat opioid reseptor dengan metode [ 35 S]GTPγS. Penurunan fungsi reseptor hampir 50% terjadi pada spinal cord, peri aqueductal grey  dan thalamus . Sedangkan dengan RT-PCR diketahui bahwa ekspresi reseptor opioid tersebut tidak mengalami perubahan. Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa penurunan fungsi atau jumlah reseptor merupakan penyebab utama terjadinya toleransi obat-obat anti nyeri opioid. Kata kunci: toleransi obat, anti nyeri opioid, reseptor opioid

Transcript of 64-129-1-SM

8/18/2019 64-129-1-SM

http://slidepdf.com/reader/full/64-129-1-sm 1/8

8/18/2019 64-129-1-SM

http://slidepdf.com/reader/full/64-129-1-sm 2/8

Jurnal Farmasi Indonesia Vol. 3 No. 1 Januari 2006: 1 - 8

2

PENDAHULUAN

Lebih dari 90% penyakit selalu

diikuti oleh timbulnya rasa nyeri. Darikasus tersebut hampir 40%berkembang menjadi nyeri yangbersifat kronik. Di negara-negara majuseperti Amerika dan Inggris, inimenjadi salah satu masalah utama dibidang kesehatan karenamenimbulkan penurunan kualitashidup, biaya pengobatan yang sangatbesar dan menyebabkan penurunanproduktivitas bagi penderita [1].

Beberapa lembaga seperti CancerPain Relief Program  [2], JointCommission of Health CareOrganization  (2001) dan TherapeuticGuidelines Analgesics Groups [3] telah memberikan guideline pemakaian analgesik yang bertujuanuntuk menghilangkan nyeri,meningkatkan kualitas hidup penderitadan menurunkan biaya pengobatan.Penggunaan analgesik non opioidseperti non-steroid anti inflamasi drug 

(NSAID) atau parasetamol ditujukanuntuk mengatasi nyeri ringan sampaisedang. Bila tidak teratasi dapatditingkatkan dengan penggunaanopioid lemah seperti kodein dikombinasi dengan NSAID atau ajuvan.Sementara untuk mengatasi nyerihebat seperti paska bedah, luka bakar,nyeri diabetik neuropati, nyeri kankerataupun nyeri akibat herpes dapatdigunakan opioid kuat seperti morfin,fentanil dan oksikodon ataupun

dikombinasikan dengan ajuvanlainnya.

 Analgesik opioid bekerjadiperantarai oleh reseptor spesifikyang terdapat pada sistem syarafpusat dan beberapa jaringan lainnya. Awal tahun 1990 telah berhasildikloning 3 jenis reseptor opioid yaitureseptor opioid mu, delta dan kappa[4]. Aktivasi reseptor opioid mu olehagonisnya seperti morfin, fentanil,oksikodon atau beta endorfin

menghasilkan anti nyeri yang sangat

poten. Demikian juga stimulasireseptor opioid kappa oleh dynorfin,

(-)U-50,488H dan ketosiklasinmenghasilkan efek analgesik yangkuat. Sementara reseptor opioid deltaoleh deltorfin dan enkefalinmenghasilkan efek analgesik tidaksekuat pada mu atau kappa. Meskipundemikian penggunaan analgesikgolongan opioid masih sangat dibatasikarena dapat menimbulkanpenurunan potensi anti nyeri(toleransi) dan adiksi [5]. Sementarasampai saat ini mekanisme yang

mendasari terjadinya penurunanpotensi anti nyeri masih belum jelas.

Untuk itu pada penelitian inidimaksudkan mempelajari mekanismeyang mendasari terjadinya toleransipada pemakaian obat-obat anti nyeriopioid yang mempunyai potensi tinggiseperti morfin, fentanil, oksikodon dan(-)U50,488H pada hewan cobamencit.

METODOLOGI PENELITIANBahan dan Alat

Pada penelitian ini digunakanbahan trans-[1S,2S]-3,4-dichloro-N-methyl- N-[2-(1-pyrrolidinyl)cyclohexyl]benzeneacetamide ((-) U50,488H;Sigma Co., St. Louis, MO, USA),morfin (Sankyo Co., Tokyo, Japan),fentanil dan oksikodon (TocrisCookson Ltd., Ballwin, MO, USA).Semua obat dilarutkan dalam normalsalin untuk eksperimen in vivo  ataularutan bufer untuk in vitro.

 Alat yang dipakai dalam penelitianini adalah Tail Flick Analgesy Meter  (Analgesia Meter Model Tail-Flick MK300, Muromachi Kikai Co., Ltd., Tokyo,Japan) dan Hot Plate Analgesy Meter  (Muromachi Kikai Co., Ltd., Tokyo,Japan).  

8/18/2019 64-129-1-SM

http://slidepdf.com/reader/full/64-129-1-sm 3/8

Mekanisme Molekular Toleransi Obat Anti Nyeri Opioid(Junaidi Khotib)

3

Cara kerja

Pembuatan model toleransi obat anti

nyeri opioid: Mencit jantan galur ICR(Tokyo Animal Laboratories Co., Tokyo,Japan) berumur 10 mingguditempatkan secara berkelompok (8ekor tiap kelompok) dalam kandangdengan temperatur ruangan 22 ± 1ºC.Penerangan diatur dengan siklus 12 jam terang dan 12 jam gelap (siklusterang dimulai 6:00 am sampai 18:00pm). Selama penelitian kebutuhanmakanan dan minuman dijaga dalam jumlah yang cukup. Setelah 1 mingguadaptasi, mencit diinjeksi secarasubkutan dengan morfin 10 mg/kg,fentanil 56 mg/kg, oksikodon 3 mg/kg

atau (-)U50,488H 10 mg/kg setiap hariselama 7 hari untuk menginduksi

terjadinya toleransi obat-obat antinyeri. Untuk kontrol negatif, 1kelompok mencit diijeksi denganlarutan normal salin.

Pengujian toleransi anti nyeri padamencit: Tiga puluh menit setelahinjeksi morfin 10 mg/kg, fentanil 56mg/kg, oksikodon 3 mg/kg atau(-)U50,488H 10 mg/kg, potensi antinyeri morfin ditentukan denganmetode hot plate test dan tail flick test.

Pengujian dilakukan pada hari ke 1, 3,5 dan 7. Potensi anti nyeri dihitungdengan persamaan:

 Waktu penarikan test – Waktu penarikan pre-test

% anti nyeri = X 100Waktu cut-off - Waktu penarikan pada pre-test

Untuk mencegah kerusakan jaringan, ditetapkan cut-off time untukhot plate test  dan tail flick test 

masing-masing adalah 30 detik dan15 detik.

Immunohistochemistry: Pada hari ke 7setelah kronik injeksi morfin atau(-)U-50,488H, mencit dianestesidengan Na pentobarbital (70 mg/kg,i.p.) dan diperfusi secara intrakardiadengan paraformaldehida 4% dalamlarutan bufer fosfat 0.1M yangmengandung NaCl 0.9%(phosphate-buffered saline  / PBS, pH

7.4). Setelah perfusi, lumbar spinalcord dan otak diambil secara cepatdan di fiksasi dalam larutanparaformaldehida 4% selama 2 jam,selanjutnya dalam larutan sukrosa20% dalam PBS 0.1M untuk 1 haridan larutan sukrosa 30% dalam PBS0.1M untuk 2 hari dengan pengocokanyang baik. Sampel di bekukan dalamembedding compound  (SakuraFinetechnical, Tokyo, Japan) dankemudian di potong dengan criostat

(Leica CM 1510, Leica Microsystems

 AG, Wetzlar, Germany) denganketebalan 10 m. Irisan sample diblokdengan normal goat serum (NGS)

10% dalam PBS 0.01M selama 1 jampada temperatur kamar.Masing-masing antibodi diencerkandengan dalam 0.01 M PBS yangmengandung 10% NGS diinkubasiselama 2 hari pada 4ºC. Sampelkemudian dicuci dengan PBS dandiinkubasi dengan antibodi skunderyang berkonjugasi dengan  Alexa 488 dan  Alexa 546  selama 2 jam padatemperatur kamar. Slide  kemudianditutup dengan gelas penutup dengan

PermaFluor Aqueous mountingmedium  (ImmunonTM; ThermoShandon, Pittsburgh, PA, USA).Semua slide diamati dibawah konfokalmikroskop (Olympus BX-80; Olympus)dan difoto dengan digital kamera(CoolSNAP HQ; Olympus).

[35S]GTPγ  S Binding Assay:  Mencitdimatikan 2 jam setelah injeksiterakhir dari kronik morphine (10mg/kg), (-)U-50,488H (10 mg/kg) atau

larutan normal salin. Spinal cord, pons

8/18/2019 64-129-1-SM

http://slidepdf.com/reader/full/64-129-1-sm 4/8

Jurnal Farmasi Indonesia Vol. 3 No. 1 Januari 2006: 1 - 8

4

medula atau talamus dipisahkan dandihomogenkan dengan menggunakan

homogenizer Potter-Elvehjem  dalamlarutan bufer Tris-HCl yangmengandung Tris-HCl 50 mM (pH 7.4),MgCl2 5 mM dan EGTA 1 mM.Homogenat di sentrifuse 48,000 x gpada 4ºC  selama 10 menit. Fraksimembran di resuspensi pada larutanbufer [35S]GTP S binding assay yangmengandung Tris-HCl 50 mM (pH 7.4),MgCl2  5 mM, EGTA 1 mM dan NaCl100 mM, selanjutnya di resentrifuse48.000 x g pada suhu 4ºC selama 10

min. Fraksi membran diresuspensikanpada larutan bufer pada [35S]GTP Sbinding assay  dan disimpan pada-70ºC sampai digunakan.

Homogenat membran (3-8 gprotein/assay) diinkubasi pada 25ºCselama 2 jam dalam 1 ml larutan buferdengan berbagai konsentrasi agonis,guanosine-5’-diphosphate   (GDP) 30

M dan 50 pM [35S]GTP S (specificactivity, 1000 Ci/mmol; AmershamBiosciences Corp., Piscatanay, NY,

USA). Reaksi diakhiri dengan filtrasimelalui Brandel Cell Harvester  (ModelM-24, Brandel, MD) dan WhatmanGF/B glass filters yang telah direndamdalam Tris-HCl 50 mM (pH 7.4) danMgCl2 5 mM pada 4˚C selama 2 jam.Filter dicuci 3 kali dengan 5 ml larutanbufer Tris-HCl (pH 7.4), kemudiandipindahkan pada vialscintillation-counting  yangmengandung 0,5 ml penghancur filter(Soluene-350, Packard Instrument Co.,Meriden, CT, USA) dan 4 mlscintillation cocktail  (Hionic Fluor,Packard Instrument Co.). Setelahinkubasi selama 12 jam, radioaktivitaspada sampel ditentukan dengan liquidscintillation analyser . Ikatannon-specific diukur dengan

keberadaan GTP S 10 μM yang tidakberlabel. Ikatan [35S]GTP S padamembran dihitung sebagai prosentasebasal ikatan [35S]GTP S dengan

adanya atau tanpa adanya agonis (%

stimulasi).

Reverse Transcription-PolymeraseChain Reaction (RT-PCR) : Spinalcord dan otak diambil pada hari ke 7setelah kronik injeksi. Total RNA darisample diekstraksi denganmenggunakan SV Total RNA Isolationsystem (Promega, Madison, WI, USA)sesuai petunjuk yang diberikan olehpabrik. Hasil ekstraksi dikuantifikasidengan spektrofotometer padapanjang gelombang 260 nm. Untukmenyiapkan first-strand  cDNA, 1 g

RNA diinkubasi dengan 100 l larutanbufer yang mengandung ditiotreitol 10mM, MgCl2  2.5 mM, dNTP mixture,200 unit reverse transcriptase  II danoligo (dT)12-18 0.1 mM (LifeTechnologies, Inc., USA). Genpenyusun reseptor opioid diamplifikasidalam 50 l larutan PCR yangmengandung MgCl2  0.8 mM, dNTPmixture dan DNA polymerase dengansense dan antisense untukmasing-masing reseptor opioid mu

dan kappa. Sampel dipanaskansampai 95ºC selama 1 menit, 55ºCuntuk 2 menit and 72ºC selama 3menit. Inkubasi diakhiri denganpemanasan pada 72ºC selama 7menit. Proses ini diulangi sebanyak 35siklus. Campuran kemudiandielektroforesis pada gel agarose 2%dan sebagai internal standardigunakan gliceraldehida-3-fosfatdehidrogenase  (GAPDH). Noda padagel di ditampakkan denganpenambahan larutan etidium bromidaand diamati pada UV trans-illumination. Intensitas noda dianalisissecara semikuantitatif dengancomputer-assisted densitometry dengan NIH image software. Datayang dinyatakan sebagai rata-rata ±SEM dari 3 eksperimen yang berbeda.

 Analisis statistik: Data penelitiandinyatakan sebagai rata-rata ± S.E.M.

Perbedaan antar perlakuan di analisis

8/18/2019 64-129-1-SM

http://slidepdf.com/reader/full/64-129-1-sm 5/8

Mekanisme Molekular Toleransi Obat Anti Nyeri Opioid(Junaidi Khotib)

5

dengan uji two-way ANOVA diikutidengan Bonferroni/Dunn.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pemberian subkutan agonisreseptor opioid mu seperti morfin 10mg/kg, fentanil 56 g/kg danoksikodon 3 mg/kg atau agonisreseptor opioid kappa seperti(-)U-50,488H 10 mg/kg pada hewancoba mencit galur ICR menghasilkanpotensi anti nyeri yang kuat yangdiukur dengan metode tail flik test dan

hot plate test. Pemberian berulangsekali sehari selama 7 hari akanmenimbulkan penurunan secarabermakna potensi anti nyeri obat-obat

tersebut seperti yang terlihat padagambar 1.

Untuk mengetahui mekanismeyang mendasari terjadinya penurunanpotensi anti nyeri obat-obat opioid,maka dilakukan penelitian padatingkat molekuler. Denganmenggunakan antibody primerreseptor opioid mu dan antibodyprimer reseptor opioid kappa yangdapat mendeteksi keberadaanreseptor opioid mu dan reseptor opioidkappa di spinal cord, otak danbeberapa jaringan lainnya (Mansour et

al, 1988; von Zastrow, 2001; Narita etal, 2004).

(A) Tail Flick Test (B) Hot Plate Test

% Anti

Nyeri

Hari  Hari

Gambar 1. Efek pemberian berulang morfin 10 mg (■), fentanil 56 ug (●),oksikodon 3 mg (♦), (-)U-50,488H 10 mg (◊) atau normal salin (□) padapotensi anti nyeri yang ditentukan dengan metode tail flik test (A) dan hotplate test (B). ** p<0.01; *** p<0.001 vs hari 1.

Pada penelitian ini didapatkanbahwa pada pemberian morfin secaraberulang selama 7 hari menghasilkanpenurunan secara bermakna jumlahreseptor mu yang terdapat pada PAG

(periaqueductal grey). Intensitas

imunostaining reseptor opioid mumenurun 30% jika dibandingkandengan sampel yang diperoleh darihewan yang diberikan perlakuandengan normal salin secara kronik.

Penurunan yang sama juga terjadi

1 3 5 7

 2

2

4

6

8

1

1 3 5 7

 2

2

4

6

8

1

**

**

***

**

**

***

8/18/2019 64-129-1-SM

http://slidepdf.com/reader/full/64-129-1-sm 6/8

Jurnal Farmasi Indonesia Vol. 3 No. 1 Januari 2006: 1 - 8

6

di talamus pada kelompok mencityang mendapat perlakuan

(-)U-50,488H secara kronik. Data inimenunjukkan bahwa stimulasireseptor opioid dengan agonisnyasecara kronik mengakibatkandesensitisasi reseptor tersebut.Selanjutnya reseptor tersebutmengalami internalisasi dimanareseptor yang berada pada membransel akan dibawa masuk ke dalamsitoplasma dan akhirnya akandihancurkan. Dengan demikian akanterjadi down-regulation dari reseptor

opioid tersebut (Lefkowitz, 1998; Li etal, 2000; Tanowitz dan von Zastrow2002).Untuk menentukan fungsionalreseptor opioid mu dan kappa, kamimenggunakan metode [35S]GTP Sbinding assay  yang dapat mengukur

aktivitas reseptor melalui aktivasi Gprotein yang terikat pada reseptor

tersebut (Lefkowitz, 1998; Sovago etal, 2001; Narita et al, 2003; Khotib etal, 2004). Penelitian pendahuluanmenunjukkan aktivasi reseptor opioidmu oleh morfin dan reseptor opioidkappa oleh (-)U-50,488Hmenghasilkan peningkatan stimulasiyang tergantung pada konsentrasimasing-masing agonis (Narita et al, 2003; Khotib et al, 2004). Pemberianmorfin secara kronik pada mencitmenghasilkan penurunan yang

bermakna % stimulasi protein G padapons medulla dan thalamusdibandingkan dengan kelompok yangmendapatkan injeksi larutan normalsalin secara kronik seperti terlihatpada gambar 2.

(A) Spinal cord (B) Talamus (C) Pons Medula

%

S

timulasi

Konsentrasi morfin (log M)

Gambar 2. Stimulasi protein G yang terikat reseptor opioid mu pada spinalcord (A), talamus (B) dan pons medulla (C) dengan berbagai konsentrasimorfin. Kolom terbuka menunjukkan pemberian normal salin secara kronikdan kolom tertutup menunjukkan kelompok yang mendapat perlakuandengan morfin 10 mg/kg secara kronik

Demikian juga dengan pemberian(-)U-50,488H secara kronikmenunjukkan penurunan secarasignifikan aktivitas protein G yang

terikat pada reseptor kappa di spinal

cord dan thalamus dibandingkandengan kelompok yang mendapatkaninjeksi normal salin secara kronik,seperti pada gambar 3. Berdasarkan

data ini menunjukkan bahwa

7 6 5

 

2

4

6

8

7 6 5

 

2

4

6

8

1

7 6 5

 

2

4

6

8

***

***

**

**

**

8/18/2019 64-129-1-SM

http://slidepdf.com/reader/full/64-129-1-sm 7/8

Mekanisme Molekular Toleransi Obat Anti Nyeri Opioid(Junaidi Khotib)

7

pemberian agonis secara kronik akanmenghasilkan penurunan kemampuan

fosforilasi protein G oleh G proteinreceptor kinase  yang berakibatpenurunan fungsionalitas reseptoropioid.

Penurunan jumlah dan fungsireseptor opioid mu dan kappa ternyata

tidak diikuti oleh perubahan ekspresireseptor tersebut setelah pemaparankronik dari masing-masing agonisnyabaik pada spinal maupun otak, sepertipada gambar 4.

(A) Spinal cord (B) Talamus (C) Pons Medula

%

S

timulasi

Konsentrasi (-)U-50,488H (log M)

Gambar 3. Stimulasi protein G yang terikat pada reseptor opioid kappa padaspinal cord (A), talamus (B) dan pons medula (C) dengan beberapakonsentrasi (-)U-50,488H. Kolom terbuka menunjukkan pemberian normalsalin kronik dan kolom tertutup menunjukkan kelompok yang mendapatperlakuan dengan (-)U-50,488H 10 mg/kg secara kronik. ** p<0.01; ***p<0.001 vs pemberian normal salin secara kronik.

7 6 5

1

1

2

3

4

5

6

7 6 5

1

1

2

3

4

5

6

7 6 5

1

1

2

3

4

5

6

**

**

***

***

***

8/18/2019 64-129-1-SM

http://slidepdf.com/reader/full/64-129-1-sm 8/8

Jurnal Farmasi Indonesia Vol. 3 No. 1 Januari 2006: 1 - 8

8

 

(A) Spinal cord (B) Talamus C) Pons Medula

%

Ekspre

si

Expresi reseptor opioid mu (MOR) dan kappa (KOR)

Gambar 4. Ekspresi reseptor opioid mu dan kappa yang tentukan denganmetode RT-PCR pada spinal cord (A), talamus (B) dan pons medula (C)setelah pemberian morfin dan (-)U-50,488H secara kronik. Kolom putihmenunjukkan pemberian normal salin secara kronik, kolom hitammenunjukkan kelompok yang mendapat perlakuan dengan morfin 10 mg/kgsecara kronik dan kolom abu-abu menunjukkan kelompok yang mendapatperlakuan dengan (-)U-50,488H 10 mg/kg secara kronik

KESIMPULAN

Berdasarkan data farmakologi danmolecular menunjukkan bahwapenurunan potensi anti nyeri opioiddisebabkan oleh adanya penurunan jumlah dan fungsi reseptor opioid,tanpa adanya perubahan ekspresireseptor opioid tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

1. Harden, 2005; Mashford et al, 20022. WHO (1986) Cancer Pain Relief,

Geneva.3. Mashford, M.L., Cohen, M.L., Collin,

H., Cooper, M.G., Fallon, K., Fleming,J., Garret, K. (2002) TherapeuticGuidelines Analgesic, Version 4,International Society of Drug Bulletins:New South Wales.

4. Evans, C.J., Keith Jr, D.E., Morrison,

H., Magendzo, K., Edward, R.H.(1992) Cloning of a delta opioidreceptor by functional expression,Science 258: 1952-1955.

5. Dirksen, R. (1990) Opioid receptorsand pain. Pharm. Weekbl Sci.  12:41-45

MOR KOR

 

2

4

6

8

1

12

MOR KOR

 

2

4

6

8

1

12

MOR KOR

 

2

4

6

8

1

12