327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

306
POTENSI KOLAGEN IKAN GABUS (Channa striata) SEBAGAI GELATIN ALTERNATIF DAN APLIKASINYA DALAM PENGOLAHAN SOSIS BERBASIS MEAT BY-PRODUCT SAPI POTENCY OF SNAKEHEAD FISH (Channa striata) COLLAGEN AS ALTERNATIVE GELATIN AND ITS APPLICATION IN PROCESSING SAUSAGE-BASED MEAT BY-PRODUCT OF CATTLE ROSMAWATI SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2018

Transcript of 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

Page 1: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

POTENSI KOLAGEN IKAN GABUS (Channa striata) SEBAGAI

GELATIN ALTERNATIF DAN APLIKASINYA DALAM

PENGOLAHAN SOSIS BERBASIS MEAT BY-PRODUCT SAPI

POTENCY OF SNAKEHEAD FISH (Channa striata) COLLAGEN

AS ALTERNATIVE GELATIN AND ITS APPLICATION IN

PROCESSING SAUSAGE-BASED

MEAT BY-PRODUCT OF CATTLE

ROSMAWATI

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2018

Page 2: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

POTENSI KOLAGEN IKAN GABUS (Channa striata) SEBAGAI

GELATIN ALTERNATIF DAN APLIKASINYA DALAM

PENGOLAHAN SOSIS BERBASIS MEAT BY-PRODUCT SAPI

Disertasi

Sebagai salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Doktor

Program Studi

Ilmu Pertanian

Disusun dan Diajuka oleh

ROSMAWATI

Kepada

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2018

Page 3: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...
Page 4: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

PERNYATAAN KEASLIAN DISERTASI

Yang bertanda tangan di bawah ini

Nama : Rosmawati

NIM : P0100313409

Program Studi : Ilmu Pertanian

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa disertasi yang saya tulis ini benar-

benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan

tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat

dibuktikan disertasi ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi

atas perbuatan tersebut.

Makassar, 8 Agustus 2018

Rosmawati

Page 5: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

v

PRAKATA

Puji syukur kehadirat Allah Subhanahu wata’ala berkat limpahan

Rahmat dan Karunia-Nya disertasi dengan judul “Potensi Kolagen Ikan

Gabus (Channa striata) sebagai Gelatin Alternatif dan Aplikasinya dalam

Pengolahan Sosis Berbasis Meat By-Product Sapi”, sebagai salah satu

syarat penyelesaian pendidikan pada Program Doktor di Sekolah

Pascasarjana Universitas Hasanuddin dapat diselesaikan. Salam dan

salawat kepada Nabi Muhammad Shallallaaahu ‘alaihi wasallam.

Secara khusus penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Ir. H. Effendi Abustam, M.Sc., Prof. Dr. Ir. Abu Bakar Tawali,

Dr. Muhammad Irfan Said, S.Pt., M.P masing-masing sebagai

Promotor, Ko-promotor I dan Ko-promotor II yang telah meluangkan

waktu dalam membimbing, mengarahkan dan memotivasi dari awal

merencanakan penelitian hingga selesainya disertasi ini. Terimakasih

atas segala jasa yang tak ternilai ini, semoga Allah subhanahu wata’ala

mengganjarnya sebagai amal jariyah.

2. Prof. Dr. Ir. Amran Laga, M.Si., Prof. Dr. Ir. Metusalach, M.Sc., Prof. Dr.

dr. Ratmawati Malaka, M.Sc., dan Prof. Dr. Ir. Asmuddin Natsir, M.Sc

selaku Tim Penguji. Terimakasih atas segala saran dan masukan, serta

kesempatan meluangkan waktu mendiskusikan segala hal yang

menjadi keterbatasan selama penyusunan disertasi ini. Semoga Allah

subhanahu wata’ala membalas setiap dedikasi ini dengan keberkahan

yang berlimpah, dan mencatat-Nya sebagai amal jariyah.

Page 6: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

vi

3. Bapak Yuny Erwanto, S.Pt., M.P., Ph.D. dari Universitas Gadjah Mada,

Yogyakarta atas kesediaannya menjadi Penguji Eksternal pada Ujian

Terbuka.

4. Rektor Universitas Hasanuddin atas nama Dekan Sekolah

Pascasarjana Univeritas Hasanuddin yang telah telah memberi

kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan Doktor di

Universitas Hasanuddin, Makassar.

5. Pengelola Program Studi Ilmu Pertanian (Prof. Dr. Darmawan Salman,

M.S. selaku ketua KPS Ilmu Pertanian), beserta para staf pengelola

atas bantuan dan pelayanan terbaiknya selama penulis menempuh

pendidikan di Sekolah Pascasarjana Universitas Hasanuddin.

6. Bapak Menteri Pendidikan Nasional, Direktur Jenderal Pendidikan

Tinggi serta Direktur Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (DPPM)

Kementerian Pendidikan Nasional atas bantuan Beasiswa Pendidikan

(BPPDN) serta Hibah Penelitian Disertasi Doktor sehingga kegiatan

akademik dan penelitian dapat berjalan lancar.

7. Bapak Rektor Universitas Muhammadiyah Kendari dan Dekan Fakultas

Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas atas ijin kepada penulis untuk

mengikuti pendidikan Doktor di Universitas Hasanuddin, Makassar.

8. Bapak, Ibu serta rekan-rekan di sejumlah laboratorium yang telah

membantu penelitian ini dan tidak sempat disebutkan satu persatu,

terimakasih atas izin dan kesediaanya mendampingi serta

Page 7: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

vii

menyelesaikan setiap analisis yang dilakukan hingga menghasilkan

data yang memuaskan.

Secara Khusus pula penulis menyampaikan terimakasih kepada:

1. Kedua orang tua, Ayahanda Rossi A. R. dan Ibunda Manaria Saddi atas

curahan kasih sayang dan doa yang tiada henti, semoga Allah

subhaanahu wa ta’ala senantiasa melimpahkan Rahmat dan

kerberkahan hidup serta mengampuni segala kesalahannya.

2. Suamiku tercinta, Aidin Fitri, serta anak-anakku tersayang: Mutmainnah

A. F., Muflihah A. F. dan Muhammad A. F. Dg. Ngambe atas segala

pengorbanan, doa serta keihklasannya selama penulis menempuh

pendidikan. Terimakasih atas kesempatan ini, semoga Allah senantiasa

menyatukan kita dalam kebahagiaan dunia dan akhirat.

3. Saudara-saudaraku, kakak-kakak dan adik-adik ipar, serta keluarga

besar Enrekang dan Takalar, terimakasih tiada terhingga atas segala

doa dan dukungan morilnya selama penulis menempuh pendidikan.

4. Sahabat-sahaabatku angkatan 2013: Marhawati, Hendri Gurnadi, Muh.

Nur Hidayat, A. Besse Dahliana, Hafsan, Asmiati Sahur, Nursyam A.

S., Muh. Asfar, Muh. Rizal, Muh. Yamin, Mudian Paena, Abdul Fattah

dan Indra Jaya. Terimakasih atas kebersamaan ini, semoga tetap

terjalin dan terjaga.

5. Rekan-rekan lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Terimakasih atas setiap kebersamaan baik selama menempuh

pendidikan maupun penelitian.

Page 8: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

viii

6. Rekan-rekan Muslimah Wahdah Islamiyah, terimakasih telah

menjadikan penulis sebagai bagian dari semangat yang tak pernah

redup, kebersamaan kita adalah separuh jiwa yang akan selalu menjadi

penyemangat ketika langkah telah mulai goyah.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa disertasi ini masih sangat

jauh dari kesempurnaan, olehnya itu penulis menyampaikan permohonan

maaf dan membuka ruang diskusi untuk melengkapi kekurangan dari

disertasi ini.

Makassar, 18 Juli 2018

Rosmawati

Page 9: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

ix

ABSTRAK

ROSMAWATI. Potensi Kolagen Ikan Gabus (Channa striata) sebagai Gelatin Alternatif dan Aplikasinya dalam Pengolahan Sosis Berbasis Meat By-Product Sapi. (Dibimbing oleh Prof. Dr. Ir. H. Effendi Abustam, M.Sc, Prof. Dr. Ir. Abu Bakar Tawali dan Dr. Muhammad Irfan Said, S.Pt., M.P.).

Penelitian ini merupakan salah ssatu upaya pemanfaatan sisa hasil pengolahan produk perikanan dan peternakan potensial dalam rangka meningkatkan nilai guna dan nilai ekonomisnya. Penelitian bertujuan (1) menginvestigasi karakteristik dan potensi kulit dan tulang ikan gabus sebagai sumber kolagen pada bobot badan berbeda, (2) menganalisis pengaruh suhu dan waktu ekstraksi terhadap karakteristik gelatin kulit dan tulang ikan gabus, (3) mengkaji karakteristik fungsional gelatin dari hasil proses ekstraksi terbaik yang dibandingkan dengan gelatin komersial, dan (4) mengkaji karakteristik fungsional gelatin dari hasil proses ekstraksi terbaik yang dibandingkan dengan gelatin komersial.

Sampel ikan berasal dari Bendungan Bili Bili, Gowa, dan sampel

meat by-product berasal dari Rumah Potong Hewan Tamangapa, Makassar. Tahap awal penelitian menggunakan kelompok sampel ikan dengan bobot 300-400 g/ekor, 600-700 g/ekor dan 900-1.000 g/ekor untuk melihat perbedaan antara jaringan kulit dan tulang pada bobot tersebut terhadap karakteristik fisiko-kimia dan kadar kolagennya. Tahap kedua penelitian menggunakan bobot ikan terpilih dari tahap pertama kemudian diekstraksi menjadi gelatin menggunakan suhu dan waktu berbeda untuk mengetahui perlakuan suhu dan waktu terbaik terhadap karakteristik gelatin kulit dan tulang ikan gabus dan sifat fungsional gelatin jika dibandingkan dengan gelatin komersial. Pada tahap selanjutnya, gelatin hasil analisis kekuatan gel terbaik digunakan sebagai binder dalam pengolahan sosis berbasis meat by-product sapi untuk melihat sejauh mana pengaruh penambahan gelatin dalam mempengaruhi karakteristik sosis meat by-product sapi dan masa simpannya.

Hasil analisis tahap pertama menunjukkan bahwa ada pengaruh

bobot badan terhadap komposisi kimia ikan gabus, semakin bertambah bobot badan maka kadar air cenderung menurun, kadar lemak dan abu cenderung meningkat, adapun kadar protein dan hidroksiprolin relatif konstan. Kadar air dan protein lebih tinggi pada kulit tetapi kadar lemak,

Page 10: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

x

kadar abu dan kadar kolagen berbasis protein lebih tinggi pada tulang. Tingginya kadar asam amino glisin dan prolin serta adanya asam amino hidroksiprolin mengindkasikan bahwa kulit dan tulang ikan gabus adalah sumber kolagen potensial. Hasil analisis tahap kedua menunjukkan ada perbedaan karakteristik baik kulit maupun tulang yang diekstraksi pada suhu dan waktu berbeda. Rendemen kulit lebih tinggi dibanding tulang pada suhu dan waktu ekstraksi yang sama, dimana rataan rendemen kulit adalah 16,45 ± 1,51% sedangkan pada tulang 5,49 ± 2,67%. Suhu 60 ºC selama 12 jam menghasilkan kekuatan gel terbaik yaitu 278,37 ± 22,23 g pada kulit dan suhu 60 ºC selama 24 jam pada tulang. Rataan viskositas gelatin kulit dan tulang ikan gabus menunjukkan tidak ada perbedaan, yaitu 6,64 ± 0,19 pada kulit dan 6,54 ± 0,39 pada tulang. Adapun rataan pH gelatin kulit ikan gabus lebih tinggi dibanding pada tulang, yaitu berturut-turut 4,73 ± 0,09

dan 4,16 ± 0,42. Gelatin kulit dan tulang ikan gabus dari hasil esktraksi pada suhu dan waktu terbaik dibandingkan dengan gelatin komersial, menunjukkan bahwa ada perbedaan diantara ketiga jenis gelatin pada sifat fungsionalnya. Penambahan gelatin ikan gabus dalam pengolahan sosis berbasis meat by produk menunjukkan semakin tinggi level gelatin karakteristik sosis semakin baik, dan berdasarkan dukungan analisis menggunakan scanning electron microscopy menunjukkan bahwa penambahan gelatin ikan gabus pada level 2% menghasilkan sosis dengan karakteristik fisiko-kimia yang optimal, tetapi penyimpanan selama 28 hari mengindikasikan bahwa gelatin kurang efektif dijadikan sebagai antioksidan.

Page 11: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

xi

ABSTRACT

ROSMAWATI. Potency of Snakehead Fish (Channa striata) Collagen as Alternative Gelatin and Its Application in Processing Sausage-Based Meat By-Product of Cattle. (Supervised by Prof. Dr. Ir. H. Effendi Abustam, M.Sc, Prof. Dr. Ir. Abu Bakar Tawali dan Dr. Muhammad Irfan Said, S.Pt., M.P.).

This study aims to: (1) Investigate the characteristics and potential of snakehead skin and bone fish as a source of collagen at different body weights, (2) analyzing the effect of temperature and time of extraction on the characteristics of snakehead gelatin skin and bone, (3) to examine the functional characteristics of gelatin from the best yield extraction process compared with commercial gelatin, and (4) analyzing the physico-chemical properties of meat by-product of cattle as a raw material of sausage and the effect of snakehead gelatin addition as a binder to physico-chemical characteristics, and the duration of sausage storage.

The fish samples were from Bili Bili Dam, Gowa, and meat by-product

samples were from the Tamangapa Slaughterhouse. The initial phase of the study used a group of fish samples weighing 300-400 g, 600-700 g and 900-1,000 g to see the difference between skin and bone tissue on these weights against physico-chemical characteristics and collagen levels. The second phase of the study using the selected fish weight from the first stage was then extracted into gelatin using different temperatures and times to determine the best temperature and time treatment for the characteristics of skin gelatin and snakehead bone and gelatin functional properties when compared with commercial gelatin. In the next step, gelatin from the best gel strength analysis was used as a binder in the processing of sausage-based meat by-product of cattle to see how far the effect of gelatin addition in influencing the characteristics of the sausage and its shelf life.

The first stage of the analysis shows that there was an effect of body weight on the chemical composition of snakehead fish, where the water weight tends to decrease while the fat and ash protein content tends to increase, while the hydroxyproline level was relatively constant. Water and protein levels were higher in the skin but fat content, ash content and protein-based collagen levels were higher in bone. The highest amino acids in the skin and bone were glycine and proline, which indicate that the skin and bone of a snakehead were potential sources of collagen. The results of the second phase analysis showed that there were differences in both skin and bone characteristics that were extracted at different temperatures and times. Skin rendement was higher than bone at the same temperature and extraction time. Temperature 60 º C for 12 hours produces the best gel strength of 278.37 ± 22.23 g on the skin and temperature 60 º C for 24 hours on the bone. Skin and bone gelatin snakehead fish from extracted results at

Page 12: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

xii

the best temperature and time compared with commercial gelatin, indicating that there were differences between the three types of gelatin in their functional properties. The addition, snakehead fish gelatin in meat-based sausage processing by product indicates the higher the gelatin level of the sausage characteristics the better, and based on the analysis support by scanning electron microscopy shows that the addition of minimum gelatin at 2% level produces the sausage with optimal gelatin characteristics, but storage for 28 day indicates that less effective gelatin was used as an antioxidant.

Page 13: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

xiii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

HALAMAN PENGESAHAN

PRAKATA

ABSTRAK

ABSTRACT

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

DAFTAR GAMBAR

DAFTAR LAMPIRAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang 1

B. Rumusan Masalah 7

C. Tujuan Penelitian 9

D. Manfaat Penelitian 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Ikan Gabus (Channa striata) 12

B. Struktur Kulit dan Tulang Ikan 15

C. Kolagen dan Gelatin Ikan 20

1. Bahan Baku Gelatin 20

2. Kolagen sebagai Sumber Gelatin 21

3. Konversi Kolagen Menjadi Gelatin 27

D. Produksi Gelatin 28

E. Karakteristik Gelatin 33

F. Aplikasi Gelatin dalam Pembuatan Sosis 36

1. Meat By-Product Sapi 36

2. Aplikasi Gelatin dalam Pengolahan Sosis 39

G. Kerangka Pikir 42

H. Hipotesis 46

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Page 14: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

xiv

A. Tahapan Penelitian 47

B. Waktu dan Tempat 47

C. Materi Penelitian 48

D. Peralatan Penelitan 49

E. Metode Penelitian 52

Tahap I

1.1 Persiapan bahan baku kulit dan tulang ikan 46

1.2 Preparasi kulit dan tulang ikan gabus 47

1.3 Prosedur Penelitian 56

1.4 Rancangan Penelitian dan Analisis Data 62

Tahap II

2.1 Prosedur Penelitian 63

2.2 Uji Karakteristik Sifat Fungsional Gelatin Kulit

dan Tulang Ikan Gabus 70

Tahap III

3.1 Karakteristik Meat by-Product Sapi 73

3.2 Pengaruh Penambahan Gelatin Ikan Gabus

terhadap Karakteristik Fisik dan Kimia Sosis

Meat By-Product 75

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Tahap I: Karakterisasi Kulit dan Tulang Ikan Gabus pada

Bobot Badan berbeda

1.1 Komposisi Kimia kulit dan Tulang Ikan Gabus 82

1.2 Kadar Hidroksiprolin, Kadar Kolagen, dan Kadar

Kolagen Berbasis Protein Kulit dan Tulang Ikan

Gabus pada Bobot Berbeda 93

1.3 Profil asam amino 99

1.4 Mikrostruktur Kulit dan Tulang Ikan Gabus 104

1.5 Kandungan Mineral Kulit dan Tulang Ikan Gabus 107

Tahap II: Penentuan Suhu dan Waktu Ekstraksi Terbaik

terhadap Karakteristik Gelatin Kulit dan Tulang

Page 15: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

xv

Ikan Gabus

2.1 Pengaruh Suhu dan Waktu Ekstraksi terhadap

Rendemen, Kekuatan Gel, Viskositas dan pH

Gelatin Kulit dan Tulang Ikan Gabus 109

2.2 Karakteristik Gelatin Ikan Gabus Dibandingkan

dengan Gelatin Komersial 135

Tahap III: Aplikasi gelatin ikan gabus dalam proses pembuatan

sosis berbasis meat by-product sapi

3.1 Komposisi dan Karakteristik Daging Pipi Sapi 159

3.2 Karakteristik Fisik dan Kimia Sosis Daging Pipi

dengan Penambahan Gelatin pada Level Berbeda 174

3.3 Karakteristik Sosis Selama Penyimpanan 191

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan 204

5.2 Saran 205

DAFTAR PUSTAKA 204

LAMPIRAN 229

Page 16: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

xvi

DAFTAR TABEL

1. Perbandingan standar mutu gelatin tipe A dan B berdasarkan

GMIA (2012) 29

2. Profil kandungan asam amino kulit dan tulang ikan gabus

pada bobot badan berbeda (residu/100 residu) 100

3. Komposisi mineral yang terkandung dalam kulit dan tulang

ikan yang diestimasi menggunakan SEM-EDS 108

4. Pengaruh perlakuan suhu dan waktu ekstraksi terhadap

Rendemen (%) gelatin ikan gabus 112

5. Pengaruh perlakuan suhu dan waktu ekstraksi terhadap

kekuatan gel gelatin ikan gabus (g force) 117

6. Pengaruh perlakuan suhu dan waktu ekstraksi terhadap

viskositas (cP) gelatin ikan gabus 125

7. Pengaruh perlakuan suhu dan waktu ekstraksi terhadap pH

gelatin ikan gabus 132

8. Komposisi kimia gelatin kulit ikan gabus (KGK) dan tulang

ikan gabus (GTG) dari proses esktraksi mengggunakan

suhu dan waktu esktraksi terbaik dan dibandingkan

dengan gelatin komersial (GKB) 136

9. Nilai warna gelatin kulit (GKG) dan tulang ikan gabus (GTG)

dari proses ekstraksi mengggunakan suhu dan waktu

ekstraksi terbaik dan dibandingkan dengan gelatin

komersial (GKB) 138

10. Indeks Aktivitas Emulisi dan Stabilitas Emulisi gelatin kulit (GKG)

dan tulang ikan gabus (GTG) dari proses

ekstraksi mengggunakan suhu dan waktu esktraksi terbaik

dan dibandingkan dengan gelatin komersial (GKB) 145

11. Daya mengikat air (DMA) dan mengikat lemak (DML) gelatin kulit

(GKG) dan tulang ikan gabus (GTG) dari proses

Page 17: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

xvii

ekstraksi mengggunakan suhu dan waktu esktraksi terbaik

dan dibandingkan dengan gelatin komersial (GKB) (%) 150

12. Daerah serapan pita amida gelatin kulit ikan gabus (GKG), tulang

ikan gabus (GTG) dan gelatin komersial (GKB) berdasarkan

spektrum FTIR 154

13. Komposisi kimia daging pipi (%) 161

14. Karakteristik daging pipi (M. masseter) 163

15. Hubungan antara pH dengan parameter lain (DMA, susut

masak, shear- force, nilai L, a* dan b*) berdasarkan

analisis uji korelasi Pearson (r). 165

16. Karakteristik Fisik Sosis dengan Penambahan Gelatin sebagai

binder. 174

17. Profil tekstur sosis menggunakan level gelatin berbeda 182

Page 18: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

xviii

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Ikan gabus (Channa striatus Bloch, 1793) 13

2. Struktur kulit ikan 16

3. Gambaran umum struktur tulang dengan bagian-bagian

ultrastruktur penyusun tulang. (A): tulang utuh; (B):

Sebuah irisan tulang; (C): Osteon; (D): serat kolagen;

(E): Molekul kolagen; (F): Mikrofibril kolagen; (G):

Platelet individual bioapatite; (H): Struktur nano-kristal

(atom ditunjukkan, dengan kelompok PO4 yang

ditunjukkan oleh tetrahedra. Kuning = atom kalsium;

merah = oksigen; biru tua = tetrahedra fosfat;

biru muda = hidroksil di situs saluran 17

4. Kerangka fikir penelitian 45

5. Bagan Alir Tahapan Penelitian 54

6. Diagram alir penelitian Tahap I 55

7. Diagram prosedur ekstraksi gelatin tulang ikan 68

8. Diagram prosedur esktraksi gelatin kulit ikan 69

9. Kadar air (%) ikan gabus berdasarkan jenis jaringan dan bobot

badan ikan berbeda (g/ekor) 84

10. Kadar protein (%) ikan gabus berdasarkan jenis jaringan

dan bobot badan ikan berbeda (g/ekor) 86

11. Kadar lemak (%) ikan gabus berdasarkan jenis jaringan dan

bobot badan ikan berbeda (g/ekor) 89

12. Kadar abu (%) ikan gabus berdasarkan jenis jaringan dan

bobot badan ikan berbeda (g/ekor) 92

13. Kadar hidroksiprolin (mg/100g) ikan gabus berdasarkan

jenis jaringan dan bobot badan ikan berbeda (g/ekor) 94

14. Kadar kolagen (%) ikan gabus berdasarkan jenis jaringan dan

bobot badan ikan berbeda (g/ekor) 97

Page 19: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

xix

15. Kadar kolagen berbasis potein (%) ikan gabus berdasarkan

jenis jaringan dan bobot badan ikan berbeda (g/ekor) 98

16. Mikrostruktur Kulit dan Tulang Ikan Gabus (Perbesaran × 500).

Sampel kulit ikan gabus ukuran 300-400 g//ekor (A);

600-700 g/ekor (B); 900-1.000 g/ekor (C); sampel tulang

ukuran 300-400 g/ekor (D); 600-700 g/ekor (E); 900-1.000

g/ekor (F); deposit lemak (a); jaringan ikat kulit tempat

kolagen diinvenstasikan bersama dengan penyusun

jaringan ikat yang lain (b); komposit organik-anorganik

penyusun tulang (c); kristal hidroksiapatit yang

terinvestasi dalam bundle kolagen (d). 105

17. Pengaruh perlakuan suhu dan waktu ekstraksi terhadap

Rendemen (%) gelatin kulit dan tulang ikan gabus 113

18. Pengaruh perlakuan suhu dan waktu ekstraksi terhadap

kekuatan gel gelatin ikan gabus 118

19. Pengaruh perlakuan suhu dan waktu ekstraksi terhadap

viskositas gelatin kulit dan tulang ikan gabus 126

20. Pengaruh perlakuan suhu dan waktu ekstraksi terhadap pH

gelatin ikan gabus 132

21. Perbedaan warna gelatin kulit ikan gabus, tulang ikan gabus

dan gelatin komersial 139

22. Komposisi asam amino dari gelatin kulit ikan gabus (GKG),

tulang ikan gabus (GTG) dan gelatin komersial

bovine (GKB) 141

23. Perbandingan persentase total asam amino hidrofilik dan

hidrofobik dari gelatin kulit ikan gabus (GKG), gelatin

tulang ikan gabus (GTG) dan gelatin komersial (GKB). 144

24. Spektrum FTIR gelatin kulit ikan gabus (a), gelatin tulang

ikan gabus (b), dan gelatin komersial (c) 153

25. Daging pipi (Musculus massetter) 159

26. Hubungan laju penurunan nilai pH terhadap kemampuan

Page 20: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

xx

daging pipi melepaskan air (mg H2O). 165

27. Hubungan laju penurunan pH dan susut masak daging pipi

sapi Bali 167

28. Hubungan antara laju terlepasnya air (mg H2O) dan susut

masak daging pipi sapi Bali 168

29. Hubungan laju penurunan pH dan daya putus daging (kg/cm2) 169

30. Hubungan laju pelepasan air pada otot (mg) terhadap

daya putus daging pipi sapi (kg/cm2). 170

31. Hubungan laju perubahan pH terhadap warna daging pipi

sapi Bali. 171

32. Profil mikrostruktur sosis pada level berbeda (Perbesaran

× 400). A= kontrol; B= 1% GKG, C = 2% GKG;

D= 2% GKB; E= 3% GKG; f= mikroorganisme;

a= lubang setengah lingkaran sebagai tempat

deposisi lemak yang tidak terikat; b= lubang yang

menyerupai pori akibat adanya air bebas; c= larutan

gelatin; d= serat daging; e= permukaan sosis yang

retak 188

33. Pengaruh penambahan level gelatin dan lama penyimpanan

terhadap kadar air yang terlepas (mg H2O). 190

34. Pengaruh penambahan level gelatin dan lama penyimpanan

terhadap pH 193

35. Pengaruh penambahan level gelatin dan lama penyimpanan

terhadap aktivitas antioksidan (%) sosis 195

36. Visualisasi ikatan antara air-protein-lemak yang dimediasi oleh

gelatin. a= serat daging; b= gelatin sisi hidrofilik;

c= molekul air; d= molekul lemak; dan e= gelatin sisi

hidrofobik 197

37. Pengaruh penambahan level gelatin (%) dan lama

penyimpanan (hari) terhadap nilai reaktivitas TBA

(mg/kg) malonaldehyd) sosis daging pipi sapi. 199

Page 21: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

xxi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Univariate Analysis of Variance Komposisi Kimia kulit dan

tulang ikan gabus

229

2. Kadar asam amino kulit dan tulang ikan gabus pada bobot

berbeda

235

3. Univariate Analysis of Variance Kualitas Gelatin ikan gabus 237

4. Data Komposisi Kimia Gelatin 243

5. Analisis Varian Warna gelatin 246

6. Gambar Gelatin Hasil ekstraksi berdasarkan suhu dan

waktu ekstraksi berbeda

250

7. Asam amino Gelatin 252

8. Indeks aktivitas emulsi (AEI) dan Indeks stabilitas emulsi

(ISE)

255

9. Daya mengikat air (DMA) dan Daya mengikat Minyak

(DML) gelatin

256

10. Gugus fungsional 258

11. Data komposisi kimia daging pipi 261

12. Data warna daging pipi 261

13. Daya mengikat air daging pipi 261

14. Nilai pH 261

15. Daya putus daging pipi (kg/cm2 262

16. Susut masak daging pipi (%) 262

17. Formulasi Sosis 263

18 Analisis Korelasi Pearson antara beberapa karakteristik

daging pipi

264

Page 22: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

xxii

19. Univariate Analysis of Variance Profil Tekstur Analyser

Sosis

264

20 Univariate Analysis of Variance proksimat sosis 267

21. Nilai Susut masak, dan stabilitas emulsi (Supernatan,

airlepas dan lemak lepas)

272

22 Analisis Varians Air Terlepas (mg H2O), pH, Nilai TBA dan

Aktivitas antioksidan

276

Page 23: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Populasi penduduk yang cenderung meningkat, dengan keadaan

sosial ekonomi yang semakin baik sangat berdampak positif terhadap

tingginya kebutuhan pangan dengan kualitas dan kuantitas yang layak.

Akhir-akhir ini potensi pangan tidak hanya fokus pada pemenuhan

kebutuhan sebagai bahan pangan pokok untuk memenuhi kebutuhan

nutrisi, tetapi juga telah mulai dikembangkan ke arah pemanfaatan yang

lebih luas dan lebih kompleks. Diperkirakan bahwa beberapa tahun

kedepan seiring pertambahan penduduk, kebutuhan pangan akan semakin

meningkat, sehingga akan mendorong dilakukannya pencarian berbagai

sumber-sumber pangan baru yang dapat mensubstitusi kebutuhan

konsumsi manusia dari sumber pangan yang telah ada sebelumnya. Salah

satu sumber pangan masa depan adalah sisa hasil pengolahan produk

pangan itu sendiri.

Perkembangan teknologi seiring dengan kebutuhan masyarakat

terhadap pangan yang beraneka ragam telah mendorong dilakukannya

penelitian dalam rangka menemukan berbagai keunggulan dan manfaat

dari pangan tersebut. Produk perikanan adalah sumber pangan potensial

yang cukup berkembang pesat, dengan keunggulan pada kandungan

Page 24: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

2

protein dan asam-asam lemak yang baik dan aman untuk kesehatan. Salah

satu hasil perikanan yang akhir-akhir ini banyak mendapat perhatian adalah

ikan gabus (Channa striata). Ikan gabus termasuk ikan karnivora yang

hidup di air tawar, mudah berkembang biak dan survive pada kondisi

lingkungan sedikit air.

Sekarang ini, ikan gabus telah menjadi produk makanan kesehatan

dengan kandungan protein albumin yang secara ilmiah terbukti berfungsi

dalam proses penyembuhan penyakit maupun untuk memulihkan

kesehatan tubuh (Haniffa et al., 2014; Tawali dkk., 2012; Mustafa et al.,

2012; Paul et al., 2013). Pengolahan ikan ini ke arah industri makanan

kesehatan telah menjadi peluang pemanfaatan ikan dalam skala yang lebih

besar, tetapi aktivitas ini juga membuka peluang bagi timbulnya masalah

pada meningkatnya produk samping hasil pengolahan, termasuk

diantaranya kulit dan tulang.

Kulit dan tulang ikan merupakan bahan baku yang tersusun atas

komponen organik maupun anorganik (mineral) penting. Sekitar 30%

bagian dari ikan terdiri dari kulit, tulang dan sisik (Regenstein et al., 2010)

yang mengandung protein kolagen. Kolagen merupakan jenis protein,

dapat dijumpai pada hampir semua bagian tubuh hewan, dan umumnya

ditemukan berlimpah pada kulit dan tulang tetapi kadarnya dapat berbeda-

beda tergantung pada beberapa faktor, antara lain species hewan, tipe

kolagen, umur dan lingkungan hidupnya. Kolagen yang terkandung dalam

tubuh hewan, dapat diekstraksi menjadi gelatin melalui proses hidrolisis

Page 25: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

3

parsial, sebagai upaya meminimalisir dampak negatif dari sisa hasil

pengolahan produk perikanan, selain pemanfatannya juga akan

meningkatkan nilai guna dan nilai ekonomisnya

Sejak dahulu, gelatin telah digunakan secara luas untuk berbagai

fungsi. Sebagai hidrokoloid, gelatin menjadi kebutuhan penting dalam

hampir semua bidang industri seperti pangan, farmasi, kosmetik, fotografi,

elekroplating dan industri kemasan. Kebutuhan gelatin untuk kegiatan

industri pengolahan pangan menurut Jones (2004) dapat mencapai 70%

dari total penggunaan gelatin industri dunia.

Laporan International Hydrocolloid Conference 2014, memprediksi

bahwa pasar untuk kebutuhan hidrokoloid selama lima tahun ke depan

masih menempati tiga besar komoditas yang paling banyak digunakan

dalam industri pangan, dan gelatin menempati urutan kedua jenis

hidrokoloid yang banyak dimanfaatkan dalam industri yaitu sekitar 12%

setelah pati 70% (Nugroho, 2014). Transparency Market Research

(PRNewswire, 2013) melaporkan bahwa pada tahun 2011 produksi gelatin

global mencapai 348.900 ton dan diperkirakan akan mengalami

peningkatan sebesar 3,73% atau sekitar 450.700 ton pada tahun 2012-

2018.

Sampai saat ini, kebutuhan gelatin dunia masih didominasi oleh

gelatin babi dan sapi (Gomes-Guillen et al., 2011), dengan persentase

sebesar 46% dari kulit babi, 29,4% kulit sapi, 23,1% dari tulang sapi dan

1,5% berasal dari sumber lain seperti unggas dan ikan (Karim dan Bhat,

Page 26: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

4

2009). Penggunaan gelatin konvensional menjadi faktor pembatas

terhadap aplikasi gelatin secara luas. Gelatin yang bersumber dari babi

diharamkan dalam agama Islam dan Yahudi. Gelatin dari sumber kulit dan

tulang sapi juga merupakan faktor pembatas penggunaan gelatin bagi

masyarakat yang beragama Hindu, disamping juga bahwa sapi dapat

menularkan beberapa penyakit berbahaya, dan termasuk tata cara

pemotongan hewan yang kadang memicu keraguan atas halal atau haram.

Fenomena ini menjadi tantangan untuk mencari berbagai sumber gelatin

alternatif yang halal dan aman dikonsumsi bagi kesehatan dan dapat

diterima secara luas oleh seluruh lapisan masyarakat.

Penelitian mencari berbagai sumber bahan baku gelatin alternatif

yang dapat menggantikan gelatin konvensional mulai banyak dilakukan,

antara lain mengekstraksi gelatin dari kulit kaki ayam (Abustam dkk., 2008;

Puspawati dkk., 2012), kulit ayam (Sarbon et al., 2013) kulit kambing (Said

dkk., 2011) maupun kulit ikan (Gỏmez-Guillẻn et al., 2001; Karim dan Bhat,

2009; Elgadir et al., 2013), tulang ikan (Sanaei et al., 2013), bahkan

termasuk gelatin dari sumber baru yaitu edible insect (Mariod dan Adam,

2013).

Produk samping hasil pengolahan ikan berupa kulit dan tulang

sekarang ini menjadi salah satu sumber bahan baku gelatin potensial yang

mulai banyak diteliti, karena kulit ikan juga mengandung kolagen tinggi yang

sangat potensial dimanfaatkan sebagai sumber gelatin (Elgadir et al.,

2013). Telah banyak penelitian yang dilakukan terkait dengan pemanfaatan

Page 27: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

5

kulit dan tulang ikan sebagai gelatin alternatif. Beberapa penelitian antara

lain pada kulit ikan nila, Oreochromis urolepis hornorum (Alfaro et al.,

2013), kulit ikan Panga Thai, Pangasius bocourti sauvage (Prommajak dan

Raviyan, 2013); kulit unicorn, Aluterus monoceros (Ahmad dan Benjakul,

2011; Kaewruang, 2014), kulit ikan nila hitam,Oreochromis mossambicus,

dan nila merah, Oreochromis nilotica (Jamilah dan Harvinder, 2002), kulit

cumi, Loligo formosana (Muralidharan et al., 2012), kulit ikan tuna sirip

kuning,Thunnus albacares (Cho et al., 2005), kulit ikan gabus, Channa

striata (See et al., 2010; Ratnasari et al., 2013) tulang mackerel, Scomber

scombrus dan ikan blue whiting, Micromesistius poutassou (Barry-Ryan et

al., 2013) tulang ikan patin, Clarias gariepinus (Sanaei et al., 2013), tulang

ikan gabus, Channa striata (Wulandari dkk., 2013; Wulandari dkk., 2015).

Penelitian terkait pemanfaatan kulit ikan gabus sebagai gelatin

alternatif telah dilakukan oleh See et al. (2010), dan Ratnasari et al. (2013),

tetapi penelitian keduanya hanya membandingkan karaktristik gelatin kulit

ikan gabus dengan beberapa jenis ikan air tawar lain saja. Demikian juga

penelitian yang telah dilakukan oleh Wulandari dkk. (2013) pada tulang ikan

gabus lebih menekankan pada kombinasi proses defatting dengan suhu

ekstraksi untuk menghasilkan karakteristik gelatin tulang ikan gabus yang

terbaik. Penggunaan ikan pada ukuran berbeda telah dilakukan oleh

Muyonga et al. (2004a) pada jenis ikan tilapia (Lates niloticus) muda dan

dewasa sebagai bahan baku gelatin, dan menunjukkan tidak ada

Page 28: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

6

perbedaan berarti perubahan kadar kolagen antara ikan nila muda dan

dewasa.

Telah banyak metode yang dikembangkan untuk mengekstraksi

kolagen kulit maupun tulang menjadi gelatin, dengan maksud untuk

mendapatkan gelatin dengan kualitas yang lebih baik dan dapat

diaplikasikan sesuai keinginan. Penggunaan larutan basa dan asam dapat

membantu melepaskan protein bukan kolagen yang terdapat pada kulit

ataupun tulang, juga menjadikan kulit dan tulang mengalami

pembengkakan sehingga dengan mudah terjadi proses pelepasan protein

kolagen selama ekstraksi. Penelitian yang akan dilakukan adalah berupaya

memperbaiki metode ekstraksi kulit dan ikan gabus yang telah ada dengan

mengkombinasikan beberapa metode yang telah dilakukan para peneliti

sebelumnya. Metode yang akan diterapkan adalah penggunaan suhu dan

lama ekstraksi berbeda dengan harapan akan mendapatkan gelatin ikan

gabus dengan kualitas fungsional sesuai untuk aplikasi sebagai bahan

pengikat (binder).

Sejauh ini pemanfaatan gelatin ikan dalam proses pengolahan

daging masih belum banyak dilakukan, termasuk pemanfaatan gelatin

dalam pengolahan daging berbasis meat by-product, misalnya dalam

pembuatan sosis. Oleh karena itu akan dilakukan penelitian tentang

pemanfaatan kulit dan tulang ikan gabus menjadi gelatin alternatif yang

akan digunakan sebagai bahan pengikat dalam proses pembuatan meat by

product sapi menjadi sosis.

Page 29: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

7

Meat by-product adalah daging yang dapat dimakan, menyerupai

daging skeletal, dan merupakan sisa hasil pengkarkasan seekor ternak,

tetapi tidak digolongkan sebagai karkas. Salah satu jenis daging tersebut

adalah daging pipi (Musculus massetter), terdapat di bagian kepala,

tepatnya di bagian tulang pipi (Getty, 1975). Daging pipi dicirikan sebagai

daging yang memiliki warna yang cerah, sehingga kadang ditambahkan

dalam pembuatan sosis untuk memberi kesan warna sosis yang

kemerahan. Tetapi selain warna yang cerah, daging pipi memiliki daya

mengikat air yang relatif sedang (intermediate binding capacity).

B. Rumusan Masalah

Gelatin merupakan salah satu jenis hidrokoloid penting dalam

berbagai industri, baik industri pangan, biomedik, farmasi, kecantikan, dan

pengemasan. Penggunaan gelatin konvensional, khususnya babi dan sapi

telah menimbulkan kekhawatiran bagi konsumen, karena penggunaannya

terkait dengan masalah agama, sosial dan kesehatan. Gelatin ikan menjadi

salah satu alternatif dalam memenuhi kebutuhan konsumen terhadap

gelatin. Ikan gabus termasuk salah satu komoditi perikanan air tawar yang

akhir-akhir ini permintaannyaa cukup tinggi, karena telah menjadi

kebutuhan bagi industri makanan kesehatan, yaitu sebagai sumber protein

albumin. Pemanfaatan ikan gabus secara luas akan berdampak pada

meningkatnya produk samping hasil pengolahan yaitu kulit dan tulang. Oleh

karena itu upaya yang dapat dilakukan antara lain memanfaatkannya

Page 30: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

8

sebagai sumber gelatin alternatif. Kandungan kolagen pada kulit dan tulang

ikan gabus adalah sumber bahan baku gelatin, dimana kadar kolagen dapat

menjadi dasar bagi penentuan tipe dan karakteristik gelatin yang akan

dihasilkan. Untuk mengarahkan tujuan penggunaan gelatin, salah satu

upaya yang dapat dilakukan adalah melakukan proses ekstraksi

menggunakan suhu dan waktu berbeda. Proses ekstraksi dapat memberi

pengaruh terhadap gelatin yang dihasilkan, baik secara kualitatif, maupun

kuantitatif.

Daging olahan merupakan salah satu pangan yang sangat digemari

oleh hampir seluruh lapisan masyarakat. Penggunaan meat by-product sapi

(daging non-karkas) dalam hal ini daging pipi sebagai bahan utama dalam

pembuatan sosis sangat dimungkinkan. Daging pipi termasuk jenis daging

merah yang belum dimanfaatkan secara luas dalam berbagai pengolahan

produk-produk berbahan baku daging, padahal pemanfaatan daging non-

karkas secara langsung dapat meningkatkan nilai ekonomis daging

tersebut melalui proses diversifikasi, antara lain mengolahnya menjadi

sosis.

Daging pipi termasuk jenis daging yang mempunyai sifat

intermediate binding capacity (daya mengikat air sedang) sehingga dalam

pengolahannya perlu ditambahkan bahan pengikat. Salah satu cara

memperbaiki karakteristik sosis adalah dengan penambahan gelatin.

Penggunaan gelatin ikan dalam proses pengolahan produk berbasis daging

hewan seperti sapi belum banyak diaplikasikan, karena umumnya gelatin

Page 31: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

9

ikan memiliki karakteristik yang berbeda dengan gelatin konvensional.

Penambahan gelatin ikan sebagai bahan pengikat diharapkan dapat

memperbaiki karakteristik sosis sapi. Oleh karena itu perlu dikaji peluang

pemanfaatan gelatin ikan gabus sebagai salah satu gelatin alternatif dalam

pengolahan daging.

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, maka rumusan

masalah yang muncul adalah:

1. Bagaimana karakteristik kulit dan tulang ikan gabus pada bobot

berbeda dan apakah berpotensi dijadikan sebagai sumber bahan

baku gelatin.

2. Bagaimana perlakuan suhu dan waktu ekstraksi berbeda terhadap

karakteristik gelatin kulit dan tulang ikan gabus.

3. Bagaimana karakteristik fungsional gelatin terbaik hasil ekstraksi jika

dibandingkan dengan gelatin komersial.

4. Bagaimana karakteristik sosis meat by-product sapi yang diberi

perlakuan level gelatin berbeda terhadap karakteristik fisiko-kimia

dan masa simpan sosis.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan umum dari penelitian ini adalah menghasilkan gelatin dari

sisa hasil pengolahan ikan gabus yang dapat menjadi gelatin alternatif dan

diharapkan mempunyai karakteristik fisik dan kimia yang sesuai untuk

produk olahan hasil ternak.

Page 32: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

10

Tujuan khusus penelitian ini adalah:

1. Menginvestigasi karakteristik dan potensi kulit dan tulang ikan gabus

sebagai sumber kolagen pada bobot badan berbeda.

2. Menganalisis pengaruh suhu dan waktu ekstraksi terhadap

karakteristik gelatin kulit dan tulang ikan gabus.

3. Mengkaji karakteristik fungsional gelatin dari hasil proses ekstraksi

terbaik yang dibandingkan dengan gelatin komersial.

4. Menganalisis sifat fisiko-kimia dan masa simpan sosis berbasis meat

by-product sapi yang diberi level gelatin berbeda.

D. Manfaat Hasil Penelitian

Berdasarkan tujuan dari penelitian, diharapkan hasil penelitian ini

memberi manfaat sebagai berikut:

1. Pengembangan ilmu pengetahuan dibidang proses pemanfaatan

produk samping pengolahan pangan hewani, baik yang berbasis fish

by-product maupun meat by-product sebagai bagian dari upaya

pengelolaan limbah hasil perikanan dan peternakan.

2. Memanfaatkan kandungan kolagen sisa hasil pengolahan menjadi

gelatin alternatif pengganti gelatin konvensional dengan bahan baku

ikan gabus yang mudah diperoleh dan dapat diterima secara umum

di masyarakat tanpa terhalang faktor pembatas seperti agama, sosial

maupun kesehatan.

Page 33: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

11

3. Memanfaatkan meat by-product ternak sapi menjadi produk olahan

sosis dengan gelatin ikan gabus sebagai bahan pengikat (binder)

yang bersumber dari sisa hasil pengolahan ikan gabus.

Page 34: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Ikan Gabus (Channa striata)

Secara umum ikan gabus merupakan ikan yang mendiami kolam,

saluran air dan sungai, lebih memilih air yang tergenang dan dataran

berlumpur. Mereka ditemukan terutama di rawa-rawa, tetapi juga terdapat

di sungai-sungai di daerah dataran rendah. Secara umum ikan gabus

banyak dijumpai di kedalaman relatif masih ada air yaitu sekitar 1–2 meter

terutama di dataran air tawar. Mereka dapat pula dijumpai pada wilayah

sungai-sungai yang besar, selokan, daerah banjir dan perairan yang tenang

termasuk kanal yang mengalir lamban, dan melakukan migrasi lateral dari

arus utama, atau badan air permanen lainnya ke daerah-daerah banjir

selama musim banjir dan kembali ke badan air permanen pada awal musim

kemarau. Ikan ini dapat bertahan dimusim kemarau dengan menggali

lumpur dasar danau, kanal dan rawa-rawa selama kulit dan alat bantu

bernapas tetap lembab, dan bertahan hidup dengan deposit lemak. Ikan

gabus adalah pemangsa ikan, katak, ular, serangga, cacing tanah, berudu

dan krustasea. (Phen et al., 2005).

Ikan gabus merupakan jenis ikan predator di perairan air tawar yang

bersuhu 25–28oC, mempunyai kandungan nutrisi berupa protein yang

sangat penting, yaitu albumin, dan mineral mikro (Arma et al., 2014). Ikan

Page 35: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

13

gabus telah dikenal sebagai jenis pangan fungsional yang penting terutama

untuk pemulihan kondisi pasien yang baru saja menjalani operasi atau

penyembuhan luka, dan pemberian daging ikan gabus atau ekstrak

proteinnya telah dicobakan untuk meningkatkan kadar albumin dalam darah

dan membantu penyembuhan beberapa penyakit (Tawali dkk., 2012).

Bahkan di negara tetangga Malaysia, ikan gabus telah dijadikan sebagai

sup ikan gabus dengan nama dagang sup kolagen (Anonim, 2010).

Gambar 1. Ikan gabus (Channa striatus Bloch, 1793) (Sumber: Kumar et al., 2012)

Di beberapa negara di Asia seperti Asia Timur Selatan hingga Cina

Selatan, ikan gabus yang lebih dikenal sebagai murrel snakehead telah

banyak dimanfaatkan terutama sebagai makanan kesehatan (Haniffa et al.,

2014), termasuk di wilayah Thailand, Taiwan dan Philipina sehingga ikan

gabus sudah menjadi salah satu jenis komoditas perikanan yang

mempunyai nilai ekonomis tinggi (War et al., 2011). Di Indonesia ikan gabus

lebih banyak dijadikan sebagai sumber protein hewani, yang diolah dalam

bentuk segar, atau diproses menjadi produk olahan seperti pempek,

kerupuk, ikan asap dan ikan gabus asin yang mempunyai nilai ekonomis

tinggi (Mutmainnah, 2013). Akhir-akhir ini dengan diketahuinya kandungan

Page 36: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

14

dan manfaat ikan gabus, maka ikan gabus menjadi salah satu sumber

bahan baku bagi makanan kesehatan dengan albumin sebagai sumber

utamanya.

Berdasarkan Anonim (2012) bahwa ikan gabus dikenal dengan

banyak nama di pelbagai daerah, seperti aruan, haruan (Melayu, Banjar),

kocolon (Betawi), bogo (Sunda), bayong, bogo, licingan (Banyumas), kutuk

(Jawa) dan lain-lain. Dalam bahasa Inggris juga disebut dengan berbagai

nama seperti common snakehead, snakehead murrel, chevron snakehead,

striped snakehead dan juga aruan (Anomim, 2014). Nama ilmiahnya

adalah Channa striata. Klasifikasi ilmiah ikan gabus adalah:

Kerajaan: Animalia

Filum: Chordata

Kelas: Actinopterygii

Ordo: Perciformes

Famili: Channidae

Genus: Channa

Spesies: Channa Striata (Bloch, 1793)

Hasil evaluasi morfometrik ikan gabus dengan berat 500–700 g yang

dilakukan oleh Sahu et al. (2012) yang dipelihara secara intensif dan diberi

pakan formulasi menunjukkan persentase kepala 28,7%, sisik dan kulit

11,92%, bobot hidup tanpa jeroan 89,59%, ikan tanpa kepala, kulit dan

jeroan adalah 50,72% dan rasio rata-rata daging fillet dan tulang adalah

3,43.

Page 37: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

15

Kulit dan tulang ikan merupakan produk sampingan utama dari

perikanan dan industri akuakultur, limbah setelah filleting dapat mencapai

sekitar 75% dari total berat ikan dan terdapat sekitar 30% dari limbah

tersebut berupa tulang dan kulit (Songchotikunpan et al., 2008). Mohtar et

al. (2011) mengemukakan berdasarkan informasi MSC (2009) bahwa

jumlah produk samping ikan memberikan kontribusi hampir 36% dari total

berat ikan. Lebih lanjut Mohtar et al. (2011) juga menyebutkan bahwa

limbah pengolahan ikan saat ini masih kurang dimanfaatkan dalam industri

perikanan, dan gelatin ikan akan menjadi cara yang baik untuk

meningkatkan nilai tambah produk sampingan ini. Selain memecahkan

masalah pembuangan limbah, Songchotikunpan et al. (2008) menyebutkan

bahwa pemanfaatan produk samping perikanan akan menghasilkan produk

bernilai tambah.

B. Struktur Kulit dan Tulang Ikan

Gelatin merupakan biopolimer yang dihasilkan melalui ekstraksi dan

hidrolisis parsial serat kolagen tidak larut dan merupakan komponen dari

jaringan ikat hewan (Tosh et al., 2003), dapat berasal dari kulit, tulang

maupun tendon (Dyankova dan Solak, 2014; Djabourov et al., 1988) dari

beberapa jenis hewan yang telah dimanfaatkan secara luas sebagai bahan

pangan utama bagi manusia. Sumber utama kolagen untuk pembuatan

gelatin adalah kulit babi, kulit sapi dan tulang (Eysturskarð, 2010; Boran dan

Regenstein, 2010; Mohtar et al. (2011), dan kulit babi merupakan bahan

Page 38: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

16

baku pertama yang digunakan oleh manufaktur gelatin (Gómez-Guillén et

al., 2011).

Gambar 2. Struktur kulit ikan. Sumber:http://cdn.yourarticlelibrary.com/wp-content/uploads/2016/07/clip_image004_thumb-125.jpg)

Pada umumnya kulit tersusun atas tiga lapisan yaitu epidermis, dermis

dan hipodermis (subkutis). Epidermis merupakan bagian kulit paling atas

tersusun dari sel epitel pipih kompleks, pada lapisan ini juga terdapat

asesori epidermis seperti rambut, kelenjar minyak, kelenjar keringat, dan

otot penegak rambut. Lapisan dermis terletak di bawah epidermis, atau kulit

jangat yang tersusun dari jaringan ikat padat. Pada lapisan paling bawah

terdapat hipodermis yang tersusun dari jaringan ikat longgar, jaringan

adiposa, dan sisa daging. Meskipun secara umum kulit segar tersusun dari

64% air, 33% protein, 2% lemak, 0,5% garam mineral dan 0,5% penyusun

Page 39: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

17

lainnya misalnya vitamin dan pigmen, tetapi komposisi ini dapat bervariasi

tergantung dari species hewan. Komponen penyusun kulit terpenting

adalah protein terutama protein kolagen. Protein kulit terdiri dari protein

kolagen, keratin, elastin, albumin, globulin dan musin. Protein albumin,

globulin dan musin larut dalam larutan garam dapur. Protein kolagen,

keratin dan elastin tidak larut dalam air dan pelarut organik. Protein kolagen

inilah yang akan dimanfaatkan untuk produksi gelatin (Ockerman dan

Hansen, 2000).

Gambar 2. Gambaran umum struktur tulang dengan bagian-bagian

ultrastruktur penyusun tulang. (A): tulang utuh; (B): Sebuah irisan tulang; (C): Osteon; (D): serat kolagen; (E): Molekul kolagen; (F): Mikrofibril kolagen; (G): Platelet individual bioapatite; (H): Struktur nano-kristal (atom ditunjukkan, dengan kelompok PO4 yang ditunjukkan oleh tetrahedra. Kuning = atom kalsium; merah = oksigen; biru tua = tetrahedra fosfat; biru muda = hidroksil di situs saluran. Sumber: Pasteris et al. (2008).

Page 40: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

18

Secara umum, ultrastruktur tulang yang ditampilkan pada Gambar 2

menunjukkan sebuah serat kolagen yang dibentuk oleh bangunan ratusan

fibril membentuk kerangka struktural tulang dengan unit terkecil dari

komponen organik dalam tulang adalah molekul kolagen triple-helix.

Molekul kolagen dibundel berdampingan secara berurutan, membentuk

mikrofibril. Mikrofibril dibundel menjadi fibril, kristalit apatit tidak berskala

yang terbentuk dalam rongga dua ukuran dan bentuk, yaitu lubang (atau

celah) antara ujung serat dan pori yang berlawanan (atau saluran) yang

dibuat sepanjang panjang mikrofibril yang berdekatan. Setiap mikrofibril

memiliki panjang ~300 nm dan tebal ~4 nm (Pasteris et al., 2008).

Kumpulan molekul kolagen membentuk struktur hierarkis yang baik

dalam jaringan yang menghasilkan fibril dan serat, yang secara universal

mewakili dasar sebagian besar jaringan ikat. Kolagen memberikan

integritas mekanis ke jaringan ikat melalui resistensi yang besar untuk

peregangan sepanjang arah utama molekul, fibril, dan serat. Selain itu,

kolagen mampu memberikan fitur mekanik yang luar biasa karena ia

berinteraksi dengan molekul dan mineral biologis lainnya, seperti

glikosaminoglikan atau hidroksiapatit dalam tulang. Dalam jaringan tulang,

ketangguhannya jauh lebih besar daripada kolagen atau hidroksiapatit saja.

Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa kolagen dengan kapasitasnya untuk

menghasilkan dan menghilangkan energi, memberikan kontribusi pada

ketangguhan material yang ditingkatkan dengan menyediakan sarana yang

efektif untuk memberi tekanan geser antara kristal hidroksiapapit dan untuk

Page 41: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

19

membuang energi mekanik melalui pembongkaran molekuler dan geser

antarmolekul. Secara fisiologi, kolagen tidak dapat dianggap sebagai

molekul tunggal, melainkan harus dipelajari dalam konteks jaringan yang

terbentuk atas dasar sejumlah besar molekul kolagen dan biopolimer

lainnya. Kolagen berperan penting dalam mengontrol sifat-sifat material

utama dalam jarnigan ikat (Gautieri et al., 2010).

Molekul lain yaitu protein non-kolagen (seperti elastin, proteoglikan,

laminin atau fibronektin) saling terkait membentuk jaringan dengan kolagen

dalam matriks ekstraseluler (Duconseille et al., 2015) yang memungkinkan

antara protein tersebut saling berikatan satu dengan lainnya melalui ikatan

kovalen, non-kovalen, ikatan ion, maupun van der waals dalam struktur

protein yang lebih komplit.

Fibril membentuk kolagen, struktur triple-helix dihubungkan bersama

oleh ikatan kovalen untuk membentuk fibril yang terhubung ke fibril lain

sehingga membentuk serat kolagen. Kolagen menyajikan tingkat hubungan

silang yang berbeda sebagai fungsi dari jenis jaringan dan usia hewan.

Memang, dalam jaringan padat seperti tulang, kolagen lebih terhubung

silang daripada di jaringan longgar, membuat matriks lebih kaku. Demikian

pula, kolagen lebih kuat ikatan silangnya pada hewan tua dibandingkan

hewan muda yang dapat mengurangi elastisitas kulit (Duconseille et al.,

2015; Schrieber & Gareis, 2007)

Page 42: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

20

C. Kolagen dan Gelatin Ikan

1. Bahan Baku Gelatin

Meningkatnya kekhawatiran konsumen terkait wabah seperti bovine

spongiform encephalopathy (BSE) (Feng et al., 2014), dan foot and mouth

disease (FMD) (Pang et al., 2013), dalam produk gelatin mamalia komersial

telah menarik perhatian para peneliti untuk menggantikan gelatin dari

hewan darat kepada sumber dari laut (Haug et al., 2004). Selain itu, ada

kesadaran yang kuat di antara konsumen Muslim dan Yahudi terhadap

persyaratan bahan pangan yang Halal/Kosher untuk pengembangan

produk pangan. Kulit ikan yang melimpah bisa menjadi sumber gelatin

berharga. Para peneliti juga menawarkan alternatif untuk aplikasi di mana

alasan etika atau agama mengecualikan penggunaan produk gelatin

mamalia (Mohtar et al., 2011).

Gelatin ikan adalah gelatin alternatif yang penting yang dapat

dipertimbangkan sebagai gelatin halal dan diterima oleh semua agama

(Herpandi et al., 2011). Meskipun demikian, Haug dan Draget (2009)

menyebutkan bahwa ketersediaan bahan baku untuk produksi gelatin ikan

sebagai sumber gelatin masih terbatas. Olehnya itu, pertimbangan

menjadikan kulit dan tulang ikan gabus sebagai bagian dari gelatin alternatif

mejadi penting untuk dilakukan.

Kulit ikan dan tulang dapat diekstraksi menjadi gelatin (Surono dkk.,

1994) sehingga memberikan kontribusi terhadap pemecahan masalah

pembuangan limbah dengan keuntungan penambahan nilai (Choi dan

Page 43: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

21

Regenstein, 2000). Gelatin ikan yang berasal dari perairan hangat

cenderung mempunyai kekuatan gel yang lebih tinggi dibanding yang

berasal dari perairan dingin, karena kolagen yang dihasilkan dari perairan

air hangat umumnya lebih stabil daripada kolagen yang berasal dari

perairan dingin (Gilsenan dan Ross-Murphy, 2000).

Haug dan Draget (2009), Ninan et al. (2013) menyebutkan bahwa

gelatin ikan yang berasal dari perairan hangat mempunyai sifat fisik lebih

mirip dengan gelatin mamalia. Menurut Haug dan Draget (2009) gelatin ikan

dapat menggantikan gelatin mamalia secara langsung pada beberapa

produk. Choi dan Regenstein (2000) menyebutkan bahwa kekuatan gel

gelatin ikan kurang stabil dan memiliki sifat reologi rendah dibanding gelatin

mamalia, tetapi gelatin ikan memiliki sifat unik seperti lebih mudah

melepaskan aroma dan rasa yang lebih kuat dibanding gelatin komersial,

sehingga mungkin menjadi nilai tawar bagi pengembangan produk.

2. Kolagen sebagai Sumber Gelatin

Terdapat paling tidak 27 jenis kolagen yang telah teridentifikasi.

Kolagen tipe I ditemukan di hampir semua jaringan ikat, termasuk tulang

dan kulit (Gómez-Guillén et al., 2011; Bhattacharjee dan Bansal, 2005),

dengan rantai polipeptida berbeda (Bhattacharjee dan Bansal, 2005).

Molekul kolagen terdiri atas tiga rantai polipeptida yang disebut rantai α,

dengan karakteristik pengulangan tiga sequen Gly-X-Y dan masing-masing

rantai umumnya dapat mencapai panjang lebih dari 1000 residu. Pada

beberapa kolagen tiga rantainya adalah identik, sedangkan pada kolagen

Page 44: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

22

yang lain, molekul mengandung dua atau lebih tiga rantai α yang berbeda,

yang digambarkan sebagai α1, α2 dan α3, dengan perbedaan letak pada

asam amino yang ada pada posisi X dan Y dari triplet (Bhattacharjee dan

Bansal, 2005).

Kolagen adalah keluarga dari protein berserat yang bersifat tidak

larut air (Sarbon et al. 2012), ditemukan dalam semua organisme

multiseluler (Silva et al., 2014) dan bila dihidrolisis secara parsial akan

menjadi gelatin yang bersifat larut air (Sarbon et al. 2012). Kolagen

merupakan struktur penyusun utama tubuh hewan, baik vertebrata maupun

invertebrata dan ditemukan berlimpah pada tubuh hewan mamalia (Alfaro,

2015), sekitar 30% dari total protein tubuh (Friess, 1997), dengan struktur

unit utamanya dikenal sebagai tripel helix (Dyankova dan Solak, 2014),

merupakan molekul berbentuk batang, panjang 300 nm dan diameter 1,5

nm (Schrieber dan Gareis, 2007) dan merupakan struktur utama komponen

kulit, tulang, tendon, tulang rawan, pembuluh darah, membran basal

(endomysium), dan gigi (Etherington dan Sim, 1981; Stryer, 1988). Menurut

Kuypers dan Kurth (1995) secara tipical intramuscular connective tissue

mengandung 55-75% kolagen tipe I yang banyak dimanfaaatkan dalam

pembuatan gelatin. Gelse et al. (2003) menyebutkan bahwa pada tulang

sekitar 90% bahan organiknya adalah kolagen yang berfungsi memberi

kekuatan sebagai bantalan, kekuatan tarik dan sifat kekakuan torsional

setelah kalsifikasi.

Page 45: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

23

Molekul kolagen tersusun atas jalinan tiga cincin alfa, sehingga

disebut triple helix kolagen (Aaslyng, 2002; Schrieber dan Gareis, 2007)

distabilkan oleh ikatan hidrogen antar rantai (Tosh et al., 2003), dan setiap

rantai α, dengan berat molekul ~ 100.000 g/mol, berisi 1014 asam amino

serta 334 unit berulang Gly-X-Y dimana prolin ada pada posisi X dan

hidroksiprolin pada posisi Y (Aaslyng, 2002; Schrieber dan Gareis, 2007).

Triple helix dibentuk dari tiga polipeptida yang membentuk suatu

right-handed helix, yang helixnya distabilkan terutama oleh ikatan hidrogen,

yang dapat juga terjadi secara langsung antara kelompok CO dan NH dari

asam amino atau melalui dua ikatan molekul air kelompok CO (Tosh et al.,

2003). Kolagen dapat dibagi menjadi kolagen yang mudah larut dan yang

tidak mudah larut, tergantung pada derajat ikatan silang hidroksiprolin yang

menyusunnya (Aaslyng, 2002). Kolagen distabilkan oleh intra dan antar

molekul ikatan silang kovalen. Pembentukan cross-link ini dimediasi oleh

enzim oksidase lysil, yang mengkatalisis deaminasi oksidatif lisin dan

hidroksilin untuk membentuk aldehid allysine dan hydroxyallysine. Aldehida

ini kemudian dapat membentuk cross-link dengan cara mereaksikan satu

sama lain melalui kondensasi aldol atau bereaksi dengan lisin termodifikasi

atau residu hidroksilin (Foegeding et al., 1996).

Menurut Bechtel (1986) dalam Tartẻ dan Amundson (2006) bahwa

kolagen ditandai dengan komposisi asam amino yang sangat tidak biasa

dan tidak berurutan, mengandung sekitar 33% glisin, 23% prolin dan

hidroksiprolin, 11% alanin, dan berisi asam amino 3-hidroksiprolin, 4-

Page 46: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

24

hidroksiprolin, dan 5-hidroksilin yang tidak lazim. Berdasarkan Schrieber

dan Gareis (2007), kolagen tersusun atas 20 asam amino, dimana

Jamaludin et al. (2011) menyebutkan bahwa asam amino glisin, prolin dan

hidroksiprolin merupakan penyusun utama gelatin. (Schrieber dan Gareis,

2007) menjelaskan bahwa sembilan diantaranya adalah asam amino

esensial bagi tubuh manusia, sangat sedikit metionin dan tidak ada sama

sekali triptofan. Sistein kadang-kadang ditemukan pada gelatin kulit (hide

dan skin) yang kemungkinan berasal dari sumber kolagen tipe III dalam

bahan bakunya, sedangkan kolagen tipe I tidak mengandung sistein. Khas

bagi kolagen, termasuk gelatin, adalah kandungan hidroksiprolin yang

sangat penting dalam efek pembentuk gel. Berdasarkan Gelse et al. (2003)

Kandungan 4-hydroxyproline sangat penting untuk pembentukan ikatan

hidrogen intramolekul yang berkontribusi menstabilkan triple heliks.

Panjang bagian heliks tripel bervariasi tergantung tipe kolagen.

Pembentukan heliks (Gly-X-Y) berulang adalah motif dominan dalam

kolagen pembentuk fibril (I, II, III) yang menghasilkan triple heliks dengan

panjang 300 nm atau setara dengan 1000 asam amino.

Schrieber dan Gareis (2007) menyatakan bahwa asam amino prolin

dan hidroksiprolin berkontribusi terhadap stabilitas triple helix karena

mereka membatasi rotasi backbone polipeptida. Berdasarkan Dyankova

dan Solak (2014) bahwa jumlah asam amino prolin, glisin, oxoprolin dan

oxilisin penting bagi struktur dan sifat-sifat molekul kolagen, disebutkan pula

bahwa tropokolagen bersatu dalam mikrofibril, fibril dan serat kolagen, yang

Page 47: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

25

diperkuat dengan ikatan silang. Struktur fibril ini merupakan prasyarat untuk

sifat struktural-mekanikal yang baik dari produk yang diperoleh. Menurut

Muyonga et al. (2004), kandungan prolin dan hidroksirolin pada gelatin

mamalia sekitar 30%, pada gelatin ikan air hangat 22-25% dan gelatin ikan

air dingin 17%.

Kolagen yang berasal dari species ikan yang hidup di lingkungan

dingin mempunyai kandungan hidroksiprolin lebih rendah dan

memperlihatkan stabilitas terhadap panas yang lebih rendah dibanding ikan

dari perairan hangat. Hal ini karena keterlibatan hidroksiprolin pada rantai

antara ikatan hidrogen, yang menstabilkan struktur tripel helix kolagen

(Hema et al., 2013).

Bilgen et al. (1963) menyebutkan bahwa hidroksiprolin telah

digunakan sebagai suatu cara untuk menentukan jumlah kolagen yang

terdapat dalam jaringan. Penelitian yang telah dilakukan Hill (1966), Cross

et al. (1973) terhadap kolagen yang terdapat pada otot daging dengan

mengukur kadar hidroksiprolin yang terdapat dalam jaringan otot, dengan

melewati proses pemisahan antara kolagen terlarut dan tidak larut. Neuman

dan Logan (1950) juga mengemukakan bahwa kandungan hidroksiprolin

dalam kolagen merupakan petunjuk untuk mengetahui jumlah kolagen atau

gelatin dalam campuran protein. Mereka juga menyebutkan bahwa

beberapa peneliti terdahulu telah mencoba melakukan uji terhadap

kandungan hidroksiprolin menggunakan metode yang berbeda, seperti

metode colorimeter dan prosedur isolasi. Salah satu metode yang masih

Page 48: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

26

digunakan adalah metode yang dikembangkan oleh Bergman dan Loxley

(1963) menggunakan spektrofotometrik, kemudian menjadi rujukan

beberapa peneliti dalam mengukur kadar hidroksiprolin pada sumber

kolagen berbeda. Meskipun metode ini dianggap cukup rumit, tetapi masih

dianggap akurat dalam memprediksi kadar kolagen pada jaringan.

Pendekatan lain yang dapat digunakan adalah menggunakan metode

pengukuran dengan HPLC, sebagaimana yang disarankan oleh

Etherington dan Sim (1981).

Telah banyak penelitian yang berkembang terkait suplementasi

hidroksiprolin hubungannya dengan pertumbuhan, antara lain yang

dilaporkan oleh Zhang et al. (2015), Aksnes et al. (2008), ataupun

perbedaan kandungan hidroksiprolin pada beberapa species berbeda

(Blanco et al., 2017), tetapi penelitian terkait hubungan pertambahan bobot

badan dengan kadar hidroksiprolin, misalnya pada kulit maupun tulang

tampaknya jarang tersedia. Meskipun demikian dapat dijelaskan bahwa

ketersediaan pakan sangat berpengaruh terhadap kebutuhan nutrisi untuk

pertumbuhan dan perkembangan jaringan tubuh hewan, dan berimplikasi

terhadap ketersediaan asam amino dalam tubuh. Hidroksiprolin adalah

hasil metabolit dari prolin, dan Li et al. (2009) menjelaskan bahwa prolin dan

hidroksiprolin merupakan salah satu asam amino esensial (secara

kondisional) bagi ikan.

Page 49: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

27

3. Konversi Kolagen menjadi Gelatin

Stevens (2010) menyebutkan bahwa kolagen tidak larut dalam air

tetapi dengan proses hidrolisis parsial akan menghasilkan gelatin.

Berdasarkan Stainsby (1987) dalam Gómez-Guillén et al. (2011) bahwa

kolagen yang secara alamiah tidak dapat larut, harus diberi perlakuan awal

sebelum kolagen dikonversi menjadi bentuk yang sesuai untuk ekstraksi

yang secara normal dilakukan melalui pemanasan dalam air pada suhu

yang lebih tinggi dari 45 oC. Lebih lanjut disebutkan bahwa pre-treatmen

kimia akan merusak ikatan non-kovalen sehingga mengacau struktur

protein, sehingga menghasilkan pembengkakan yang memadai dan

melarutkan kolagen.

Menurut Ockerman dan Hansen (2000), proses hidrolisis pada

kolagen sangat tergantung pada ikatan silang diantara rantai peptida dan

reaktivitas kelompok terminal amina dan terminal karboksil. Terdapat tiga

rantai baru yang tidak identik terbentuk saat terjadi proses pemisahan, yakni

tiga rantai α yang bebas, rantai β yang berisi dua rantai peptide α yang

saling terpaut dan rantai γ yang berisi tiga rantai peptida α yang terpaut.

Hasil hidrolisis parsial kolagen menurut Howell dan Kasase (2010)

dapat dimanfaatkan sebagai gelling agent pada dessert dan produk daging,

lebih lanjut bahwa sifat fisik dan kimia gelatin dipengaruhi oleh sifat intrinsik

kolagen dan parameter proses termasuk pre-treatment awal bahan baku

dengan larutan alkali dingin dan ekstraksi pada pH netral. Sebagaimana

yang dijelaskan oleh Jakhar et al. (2012) bahwa metode yang diaplikasikan

Page 50: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

28

tergantung dari sumber asal kolagen, dimana jumlah ikatan silang kovalen

dan umur hewan memberi pengaruh terhadap rendemen dan kualitas akhir

gelatin.

Karim dan Bath (2009), Cheow et al. (2007) menyebutkan bahwa

sumber dan tipe kolagen akan mempengaruh sifat gelatin yang dihasilkan.

Berdasarkan penelitian Zhou dan Regenstein (2005) bahwa pre-treatment

menggunakan alkali dan asam memperlihatkan efek terhadap pelepasan

protein non kolagen dengan kehilangan sedikit kolagen, menyebabkan

sejumlah nyata pembengkakan kulit ikan dan mengamankan rendemen

gelatin dan kekuatan gel yang tinggi dengan menghancurkan ikatan silang

kimia tertentu yang ada pada kolagen dengan merusak ikatan peptide.

C. Produksi Gelatin

Gelatin merupakan senyawa protein yang berasal dari kolagen yang

terhidrolisis secara parsial (Gimẻnez et al., 2005), yang diperoleh melalui

perlakuan pemanasan kolagen dalam media asam atau alkali (Dyankova

dan Solak, 2014). Gimẻnez et al. (2005) menyebutkan bahwa untuk

mendapatkan gelatin, proses pre-treatment diperlukan untuk mengkonversi

jaringan kolagen ke dalam bentuk yang sesuai untuk ekstraksi. Prosedur

manufaktur berdasarkan (Eysturskarð, 2010) terdiri dari pembersihan, pre-

treatment, ekstraksi gelatin, filtrasi, konsentrasi/penguapan, sterilisasi dan

pengeringan.

Page 51: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

29

Ada banyak cara berbeda yang dilakukan untuk mengekstrak gelatin

dari sisa hasil pengolahan ikan, dimana sifat fungsional gelatin akan

tergantung pada proses perlakuan sebelum ekstraksi (Karim dan Bhat,

2009). Pada umumnya, ada dua tipe gelatin yang dapat dihasilkan

tergantung pada prosedur pre-treatment, yaitu gelatin tipe A dengan titik

isoelektrik sekitar 8–9, dan gelatin tipe B dengan titik isoelektrik sekitar 4–5

(Gómez-Guillén et al., 2011). Gelatin ikan dihasilkan melalui perlakuan

dengan asam ringan yang menghasilkan gelatin tipe A (Flick, 2012). Jenis

dan konsentrasi asam yang digunakan sangat mempengaruhi sifat

pembengkakan dan solubilisasi dari kolagen, yang menyebabkan variasi

distribusi berat molekul pada gelatin yang dihasilkan, tergantung pada

seberapa kuatnya ikatan silang antara rantai kolagen (Catalina et al., 2008).

Asam digunakan untuk mengganggu kelabilan ikatan silang dengan

mengabaikan proses hidrolisis pada ikatan peptida atau degradasi asam

amino, karena ikatan silang kolagen stabil terhadap perlakuan panas dan

asam, maka umumnya diperoleh rendemen gelatin yang rendah (Flick,

2012).

Tabel 1. Perbandingan standard mutu gelatin tipe A dan B berdasarkan GMIA (2012)

No .

Karakteristik Standard mutu yang dipersyaratkan Tipe A Tipe B

1. 2. 3. 4. 5. 6.

Proses Bahan baku Kekuatan gel(Bloom) Viskositas (cP Titik isoelektrik Abu (%)

Asam Kulit babi 50 – 300 1,5 – 7,5 7 – 9 0,3 – 2,0

Basa Kulit dan tulang sapi 50 – 300 2,0 – 7,5 4,7 – 5,4 0,5 – 2,0

Page 52: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

30

Proses asam dilakukan pada kulit babi, kulit ikan dan kadang-kadang

pada tulang sebagai bahan baku. Gelatin yang dihasilkan memiliki titik

isoionik antara 7 sampai 9 berdasarkan keparahan dan durasi pengolahan

asam pada kolagen yang menyebabkan hidrolisis terbatas dari asam amino

rantai samping, yaitu asparagin dan glutamin. Gelatin yang diperoleh

dengan metode ini disebut sebagai gelatin tipe A yang mengandung 18,5%

nitrogen (Reich et al., 1962).

Karim dan Bhat (2009) menyebutkan bahwa perlakuan asam adalah

metode yang paling sesuai untuk diaplikasikan pada kulit ikan karena ikatan

silang kolagennya kurang kovalen, tetapi Zhou dan Regenstein (2005)

menyebutkan bahwa proses pre-treatment dapat dilakukan secara

bersamaan antara asam dan alkali, dimana proses pre-treatment yang

dilakukan pada kulit ikan pollock alaska memberi efek positif terhadap

pelepasan protein bukan kolagen serta menghasilkan rendemen gelatin

dan kekuatan gel yang tinggi. Disebutkan pula bahwa perlakuan alkalin

yang diikuti dengan netralisasi asam memberikan suatu media ekstraksi

netral atau asam lemah yang membuatnya mungkin untuk menghasilkan

rendemen gelatin tinggi. Holzer (No Patent US 5.484.888) menyebutkan

bahwa perlakuan asam yang diikuti oleh penambahan air kapur (Ca(OH)2)

dapat mengembalikan kehilangan kekuatan gel akibat perlakuan air kapur

yang terlalu lama.

Rendemen gelatin berbeda antara species ikan terutama karena

perbedaan dalam kandungan kolagen, komposisi kulit maupun matriks kulit,

Page 53: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

31

demikian pula dengan hidrolisis yang tidak sempurna dari kolagen larut

selama ektraksi dapat juga menghasilkan rendemen yang lebih rendah

(Kamble et al., 2014). Variasi pada rendemen juga telah dilaporkan oleh

Muyonga et al., (2004), Jamilah dan Harvinder (2002), Gómez-Guillẻn et al.

(2002) disebabkan oleh perbedaan dalam metode ektraksi yang dilakukan

berbeda, sedangkan menurut Montero dan Gomes-Guillen (2000) bahwa

selain proses ekstraksi, rendemen dapat dipengaruhi juga oleh species atau

jaringan dari hewan yang diekstraksi. Perlakuan dengan alkali dan asam

berkorelasi terhadap rendemen yang lebih baik karena terbukanya ikatan

silang selama proses pembengkakan, sebagaimana yang telah dilaporkan

pada kulit ikan catla (Kamble et al., 2014). Menurunnya solubilitas kolagen

dan lebih rendahnya kandungan gelatin yang terekstraksi dapat

dipengaruhi oleh derajat ikatan silang melalui ikatan kovalen (Foegeding et

al., 1996).

Hasil penelitian oleh Ahmad dan Benjakul (2011) memperlihatkan

rendemen kulit ikan Aluterus monoceros dengan proses esktraksi

menggunakan asam sitrat dan natrium hidroksida dengan masa ekstraksi

antara 4 dan 8 jam pada suhu 45oC menunjukkan nilai rendemen yang

meningkat seiring lama ekstraksi. Selama pemanasan pada suhu tersebut,

ikatan hidrogen menstabilkan triple helix dari induk kolagen yang dirusak,

yaitu peralihan dari helix ke cincin. Proses inilah menurut Meriod dan Adam

(2013), Benjakul (2009) merupakan transformasi dari kolagen menjadi

gelatin yang mudah larut. Karim dan Bhat (2009) menyatakan bahwa

Page 54: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

32

derajat konversi kolagen menjadi gelatin tergantung pada parameter proses

(suhu, waktu ekstraksi dan pH) kondisi pre-treatment dan metode

preservasi awal bahan baku.

Jamilah dan Harvinder (2002) menyatakan bahwa perbedaan dalam

perolehan gelatin dari species berbeda dapat dikaitkan dengan karakteristik

intrinsik dari kulit dan molekul kolagen, kandungan kolagen, jumlah

komponen terlarut kolagen, hilangnya kolagen yang diekstraksi melalui

pencucian selama tahapan pencucian atau hidrolisis parsial kolagen yang

tidak komplit.

Grossman dan Bergman (E.P. Patent 0 436 266 A1; U.S. Patent

5,093,474) menjelaskan langkah-langkah proses produksi gelatin dari kulit

ikan sebagai berikut: (a) pembersihan kulit untuk menghilangkan material

berlebihan secara substansial; (b) perlakukan dengan alkali encer; (c)

pencucian dengan air sampai air cucian netral secara substansial; (d)

perlakuan dengan asam mineral encer; (e) pencucian dengan air sampai

air cucian netral secara substansial; (f) perlakuan dengan asam sitrat encer

dan / atau asam organik yang sesuai lainnya; (g) pencucian dengan air

sampai air cucian netral secara substansial; dan (h) ekstraksi kulit yang

diolah dengan asam sitrat atau asam organik dicuci dengan air pada suhu

tinggi tidak di atas sekitar 55 °C.

Menurut Abustam dkk. (2008) bahwa penggunaan larutan asam

selama proses pre-treatment akan membantu menghidrolisis asam-asam

amino penyusun molekul kolagen, sehingga dalam proses hidrolisis ikatan

Page 55: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

33

kimia yang terlibat dalam struktur protein kolagen akan mudah mengalami

proses pelarutan (solubilisasi).

Gelatin adalah protein kolagen terhidrolisis secara parsial, melalui

degradasi hidrolitik. Triple heliks kolagen (tropokolagen) adalah penyusun

rangkaian serat kolagen. triple helix kolagen distabilkan oleh ikatan

hidrogen interchain yang tegak lurus dengan sumbu rantai. Ikatan hidrogen

dapat berupa beberapa jenis: baik secara langsung antara kelompok CO

dan NH yang termasuk ke dua tulang punggung yang berdekatan, atau

melalui molekul air yang menjembatani antara dua kelompok CO atau

antara kelompok CO dan NH. Perlakuan asam dan basa yang digunakan

terutama memecah ikatan silang antara untaian, dan juga dapat

menghidrolisis untaian menjadi fragmen yang menyebabkan terjadinya

variasi pada berat molekul gelatin (Djabourov et al., 1988)

D. Karakteristik Gelatin

Gelatin tersusun atas asam amino yang unik karena banyak

mengandung glisin, prolin dan hidroksiprolin (Bourtoom, 2008). Keunikan

gelatin adalah karena karakteristik fisiko-kimianya yang dapat larut dalam

air, transparan, tidak berbau dan tidak memiliki rasa (Gómez-Guillénet al.,

2011) serta memiliki sifat reversible dari bentuk sol ke gel, membengkak

atau mengembang dalam air dingin, mempengaruhi viskositas suatu bahan

serta dapat membentuk film (Junianto et al., 2006).

Page 56: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

34

Kekuatan gel, viskositas, dan titik leleh gelatin tergantung pada

distribusi berat molekul dan komposisi asam amino (Mariod dan Adam,

2013). Kekuatan gel adalah karakteristik gelatin yang paling penting

(Pranoto et al., 2011). Antara gelatin mamalia dan gelatin ikan mempunyai

karakteristik yang berbeda, yang sangat ditentukan oleh adanya komposisi

asam amino yang berbeda, terutama prolin dan hidroksiprolin (Norziah et

al., 2009). Kedua asam amino ini bertanggung jawab terhadap stabilitas

struktur kolagen, dimana keduanya membentuk ikatan hidrogen yang

menstabilkan struktur triple helix (Norziah et al., 2009) dan mempunyai

peran terhadap kekuatan gel, semakin tinggi kadar asam imino, maka

kekuatan gel akan lebih baik (Ninan et al., 2013). Umumnya gelatin mamalia

mengandung asam imino lebih banyak dibanding gelatin ikan (Haug dan

Draget, 2004; Gilsenan dan Ross-Murphy, 2000).

Kata gelatin berasal dari kata Latin gelatus, yang berarti kaku atau

beku, yang diukur dalam satuan yang disebut Bloom. Hal ini mengacu pada

alat ukur yang dikembangkan oleh seorang yang bernama Oscar T. Bloom.

Kandungan bloom yang tinggi mengacu pada berat molekul yang lebih

tinggi. Gelatin merupakan bahan protein yang diperoleh dari jaringan ikat

hewan melalui proses hidrolisis parsial dalam asam (tipe A) atau larutan

basa (tipe B) yang diikuti dengan ekstraksi dalam air panas (Schrieber dan

Gareis, 2007).

Prommajak dan Ravlyan (2013) menyebutkan bahwa jenis ikan akan

mempengaruhi kekuatan gel dari gelatin, sebagaimana penelitiannya

Page 57: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

35

terhadap kekuatan gel ikan Thai panga memberikan hasil kekuatan gel lebih

tinggi dari kekuatan gel tulang sapi. Selain itu, kondisi ektraksi juga sangat

mempengaruhi kekuatan gel dari gelatin yang dihasilkan. Ockerman dan

Hansen (1988) menyatakan bahwa kekuatan gel atau kekuatan bloom

adalah suatu ukuran terhadap kekerasan, kekakuan, kekuatan, ketegaran

dan kompressibilitas (kemampuan gel untuk dimampatkan) pada suhu

tertentu dan dipengaruhi oleh konsentrasi dan berat molekul. Perbedaan

dalam kekuatan gel antara berbagai species menurut Kamble et al. (2014)

dapat dijelaskan melalui perbedaan pada proses ekstraksi yang digunakan

dan sifat intrinsik kolagen yang berbeda diantara spesies ikan. Karim dan

Bhat (2009) menyebutkan bahwa kekuatan gel dari gelatin ikan bervariasi

mulai dari 124–426 g, dibanding pada gelatin sapi atau babi yang berkisar

antara 200–400 g. Dapat dikatakan bahwa salah satu parameter utama

kualitas gelatin ikan adalah kekuatan gel (Gómez-Estaca et al., 2009).

Selain perbedaan species, beberapa sifat gelatin dapat berbeda

dikarenakan metode ekstraksi yang berbeda sehingga dikenal gelatin tipe

A dan tipe B.

Kekuatan gel terutama ditentukan oleh proporsi asam imino (prolin

dan hidroksiprolin) dalam total asam amino, disamping kekuatan gel,

viskositas dan titik isoelektrik merupakan karakteristik penting untuk

menentukan kesesuaian jenis gelatin yang diperlukan untuk aplikasi

tertentu (Stevens, 2010). Kekuatan gel yang rendah dikarenakan oleh

konsentrasi asam imino yang rendah (Kamble et al., 2014)

Page 58: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

36

Sumber, tipe kolagen dan kondisi pengolahan akan mempengaruhi

sifat gelatin yang dihasilkan. Gelatin dengan tipe berbeda memiliki sifat

termal dan sifat reologi beragam, seperti kekuatan Bloom, suhu melting dan

suhu terbentuknya gel (Shyni et al., 2014). Karakteristik dasar gelatin,

seperti kekuatan gel, viskositas dan titik isoelektrik, terutama ditentukan

oleh proses yang digunakan (Stevens, 2010). Gelatin sapi dan babi memiliki

gelling point dan melting point jauh lebih tinggi daripada kebanyakan gelatin

ikan. Kekuatan gel tinggi dan titik leleh merupakan fungsi yang penting

untuk memperluas jangkauan aplikasi gelatin (Choi dan Regenstein, 2000;

Gilsenan dan Ross-Murphy, 2000; Gudmundsson, 2002). Ockermand

dan Hansen (1988) menyebutkan bahwa viskositas merupakan sifat fisik

yang secara komersil merupakan sifat penting kedua setelah kekuatan gel.

Menurut Normah et al. (2014) bahwa viskositas gelatin dipengaruhi oleh

umur dan spesies yang digunakan untuk ekstraksi, sedangkan See et al.

(2010) mengemukakan bahwa viskositas gelatin juga erat kaitannya

dengan panjang rantai polipeptida, berat molekul dan polidispersitas. Hasil

ekstraksi gelatin yang menghasilkan kekuatan gel yang lebih tinggi, akan

memperlihatkan nilai viskositas yang lebih tinggi, demikian sebaliknya.

E. Aplikasi Gelatin dalam Pembuatan Sosis

1. Meat By-Product Sapi

Sisa hasil pemotong ternak adalah semua bagian dari tubuh ternak

yang bukan merupakan bagian karkas, yang jumlahnya sekitar 44% dari

Page 59: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

37

berat hidup seekor sapi (Marti et al., 2011). Ada beberapa jenis bagian

bukan karkas yang dapat dimanfaatkan sebagai pangan dan dianggap

sebagai meat by-product, antara lain adalah bagian pipi (Aberle et al.,

2001). Selain daging, komponen daging yang merupakan daging non-

karkas memungkinkan juga dimanfaatkan untuk mendapatkan spektrum

produk pangan hewani yang lebih luas, yang bertujuan selain untuk

meningkatkan pendapatan juga untuk perkembangan agribisnis (Silva et

al., 2013).

Efisiensi penggunaan meat by-product penting bagi profitabilitas

industri daging. Diperkirakan bahwa 11,4% dari pendapatan kotor dari

daging sapi berasal dari produk sampingan, dihasilkan oleh rumah potong,

pengolah daging, grosiran dan pabrik pengolahan lemak. Edible meat by-

product mengandung banyak nutrisi penting. Beberapa digunakan sebagai

obat karena mengandung nutrisi khusus seperti asam amino, hormon,

mineral, vitamin dan asam lemak. Meat by-product di pasar tradisional

secara bertahap telah menghilang karena harga rendah dan masalah

kesehatan, sehingga edible by-product umumnya lebih diarahkan ke

penggunaan selain pangan (Jayathilakan, 2012). Ada beberapa bentuk

aplikasi meat by-product, yang ditujukan untuk pangan manusia dan hewan

(Toldrá et al., 2012). Pemanfaatan meat by-product penting dalam

keberlangsungan industri daging. Meat by-product digunakan untuk tujuan

konsumsi dan non-konsumsi. Beberapa jenis edible meat by-product belum

dimanfaatkan secara optimal untuk memenuhi kebutuhan nutrisi manusia.

Page 60: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

38

Penerimaan secara sensoris menjadi faktor utama yang mendorong

pemanfaatan meat by-product untuk konsumsi manusia. Beberapa jenis

meat by-product mempunyai rasa yang menarik sehingga digunakan dalam

industri pembuatan sosis dan daging ekstrak, seperti hati, paru-paru, limpa

dan tulang. Paru-paru dan limpa merupakan sumber asam amino lysin,

limpa sapi kaya besi, hati kaya akan vitamin A sedangkan tulang kaya akan

kalsium phosfat (Subba, 2001).

Marti et al. (2011) menyebutkan bahwa produk sampingan hewan

menyediakan banyak bahan baku yang digunakan untuk berbagai

keperluan seperti farmasi, kosmetik, rumah tangga, dan produk industri.

Beberapa bagian dari edible by-product dikenal sebagai daging, seperti

hati, lidah, dan kaki, semuanya bernilai tambah bagi industri daging,

sedangkan daging pipi merupakan bagian edible meat by-product yang

banyak dimanfaatkan dalam pembuatan sosis dan produk olahan lainnya.

Berdasarkan Bigolin et al. (2013) bahwa kualitas daging dapat

dipersepsikan melalui perubahan antara lain pada rasa, warna, tekstur, nilai

nutrisi dan produksi senyawa toksik potensial.

Daging pipi sendiri merupakan jenis daging yang mempunyai

karakteristik menyerupai daging merah pada umumnya, misalnya daging

bagian abdominal (Ranken, 2000). Daging yang terdapat pada bagian

tulang pipi ini menurut Anonim (1999) merupakan jenis daging yang

mempunyai kemampuan mengikat air sedang (intermediate holding

capacity) dibandingkan dengan daging skeletal.

Page 61: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

39

2. Aplikasi Gelatin dalam Pengolahan Sosis

Gelatin adalah salah satu biopolimer yang paling populer yang

memiliki aplikasi luas terutama dalam industri makanan. Permintaan untuk

gelatin meningkat pada tingkat yang stabil sekitar 2% per tahun sehingga

mengakibatkan harga gelatin menjadi tinggi (Mohtar et al., 2011).

Sosis merupakan salah satu jenis produk olahan yang umumnya

berbahan utama daging yang jumlahnya tidak kurang dari 75%, dapat

bersumber dari berbagai jenis daging merah seperti daging sapi, babi atau

kambing dan daging putih seperti daging unggas atau ikan. Merupakan

produk daging yang dihancurkan, dapat terdiri dari daging merah atau

daging putih atau kombinasi keduanya, yang mengandung air, bahan

pengikat dan bumbu. Biasanya dimasukkan dalam selongsong, dapat

dalam bentuk curing, asap atau masak (Essien, 2003). Standard Nasional

Indonesia 01-3820-1995 mempersyaratkan bahwa sosis daging sebaiknya

mengandung air 67,0%, abu 3,0%, protein 13,0%, lemak 25,0% dan

karbohidrat 8,0%.

Dalam industri pangan, gelatin menjadi salah satu polimer larut air

yang dapat digunakan sebagai ingredient untuk memperbaiki elastisitas,

konsistensi dan stabilitas produk (Tavakolipour, 2011). Dalam pembuatan

sosis, selain daging, bahan tambahan seperti bahan pengikat sangat

diperlukan untuk menghasilkan sosis yang mempunyai karkteristik yang

baik (Prastini dan Widjanarko, 2015). Beberapa peneliti telah menggunakan

gelatin sebagai bahan tambahan dalam pembuatan sosis untuk tujuan

Page 62: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

40

memperbaiki stabilitas emulsi, daya mengikat air, tekstur dan tingkat

penerimaan, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Jridi et al. (2015) yang

menggunakan gelatin cumi cumi dalam pembuatan sosis ayam kalkun.

Meningkatnya permintaan terhadap makanan halal dan kosher telah

mendorong ditemukannya sumber-sumber baru gelatin dalam aplikasi

makanan. Sejumlah penelitian telah membahas sifat gelatin kulit ikan yang

memperlihatkan bahwa sifat mereka berbeda dari gelatin mamalia. Sifat

fungsional gelatin berhubungan dengan karakteristik kimianya, salah satu

adalah kekuatan gel (Mariod dan Adam, 2013), semakin tinggi nilai

kekuatan gel maka gelatin akan semakin baik dalam aplikasi terutama untuk

produk pangan berbasis daging.

Gelatin memiliki aplikasi yang sangat luas dalam berbagai industri,

salah satunya adalah industri pangan, karena sifatnya yang unik. Menurut

(Norziah et al., 2009) gelatin merupakan protein yang unik karena

kemampuannya untuk membentuk gel yang bersifat termo-reversible

dengan suhu leleh mendekati suhu tubuh dan kemampuannya untuk larut

dalam air. Zhou dan Regenstein (2005) menyebutkan bahwa dalam industri

pangan, gelatin dapat digunakan sebagai bahan untuk meningkatkan

elastisitas, konsistensi dan stabilitas pangan.

Sebagai produk turunan kolagen, gelatin adalah lemak bebas,

namun ketika menyentuh mulut, akan meninggalkan perasaan halus di

mulut yang mirip dengan lemak. Efek ini sangat berguna sebagai aditif

untuk makanan yang dipasarkan sebagai produk pangan rendah lemak.

Page 63: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

41

Disebutkan pula bahwa gelatin juga bertindak sebagai emulsifier membantu

untuk mendistribusikan lemak dan menambahkan stabilitas beberapa

produk pangan hewani (Stevens, 2010). Penggunaan gelatin bubuk sekitar

1-2% yang difungsikan sebagai bahan pengikat terutama pada daging yang

bukan daging lean utuh (Marianski dan Marianski, 2011), sedangkan

berdasarkan GMIA (2012) penggunaan gelatin untuk produk daging adalah

antara 1–5% tergantung dari tipe daging, jumlah cairan, kekuatan gel dan

tekstur yang dikehendaki dari produk akhir, dengan kekuatan gel antara

175–275 g, dengan maksud untuk menyerap jus daging dan untuk

memberikan bentuk dan struktur produk agar lebih kompak.

Gelatin ikan adalah aditif makanan yang diperoleh setelah hidrolisis

parsial kolagen dari sisa hasil samping produk perikanan yang cenderung

mengalami peningkatan seiring meningkatnya ketersediaan komersilnya

(Hernández-Briones, 2009). Tujuan penambahan gelatin dalam proses

produksi sosis adalah untuk mendapatkan daya mengikat air, menstabilkan

emulsi dan tekstur yang lebih homogen (Stevens, 2010) serta dapat

menurunkan susut masak (Mega, 2010). Penelitian Jridi et al. (2015b)

menggunakan gelatin cuttlefish memperlihatkan hasil dimana sosis kalkun

mengalami peningkatan terhadap stabilitas emulsi, kapasitas menahan air,

tingkat kekerasan dan kekenyalan yang semakin baik dibanding kontrol.

Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Ch’ng et al. (2014) menggunakan

penambahan gelatin menghasilkan sosis ayam mengalami perbaikan

Page 64: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

42

terhadap stabilitas fisikokimia selama penyimpanan tetapi tidak pada profil

oksidatifnya.

F. KERANGKA PIKIR

Ikan gabus telah menjadi komoditi industri makanan kesehatan

karena potensinya sebagai sumber protein albumin. Seiring meningkatnya

permintaan ikan gabus maka industrialisasi ini dengan sendirinya

menyebabkan terjadi peningkatan hasil samping produk antara lain kulit dan

tulang. Kulit dan tulang termasuk organ tubuh ikan yang mengandung

sejumlah komponen organik dan anorganik. Salah satu komponen organik

penting yang banyak dijumpai pada kulit dan tulang adalah kolagen.

Sebagai penyusun jaringan ikat, kolagen termasuk jenis protein serat

bersifat tidak larut dalam air dan melalui proses ekstraksi dapat diubah

menjadi gelatin yang dapat larut dalam air. Proses penanganan kulit dan

tulang menjadi gelatin adalah salah satu upaya meningkatkan nilai guna

dan nilai ekonomis hasil samping produk ikan gabus.

Terdapat sejumlah faktor yang berpengaruh terhadap kadar kolagen

yang terkandung pada jaringan tubuh hewan, sehingga diduga semakin

besar ukuran tubuh maka kadar kolagen semakin banyak. Untuk

memastikan adanya kolagen dalam jaringan, menentukan kadar

hidroksiprolin adalah cara yang paling efektif, dimana sampai sekarang ini

hampir semua penelitian masih merujuk pada seberapa besar kadar

hidroksiprolin sehingga kadar kolagen jaringan dapat diprediksi. Kadar

Page 65: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

43

kolagen yang tinggi mungkin akan memberi pengaruh terhadap berbagai

karakteristik gelatin pasca hidrolisis parsial kolagen.

Untuk menghasilkan gelatin, proses ekstraksi merupakan hal

mendasar yang perlu dipertimbangkan sehingga menghasilkan gelatin

dengan karakteristik fisik dan kimia yang optimal. Terdapat sejumlah

tahapan dalam proses ekstraksi yang penting untuk dilakukan, antara lain

proses demineralisasi (khusus pada tulang), pre-treatment, hidrolisis parsial

hingga pengeringan. Proses-proses ini akan menentukan karakteristik fisik

dan kimia gelatin. Penggunaan larutan basa dapat membantu terjadinya

pelepasan protein non-kolagen pada kulit dan tulang, sedangkan larutan

asam berfungsi melonggarkan ikatan hidrogen, dan proses hidrolisis parsial

dalam waterbath dengan kombinasi suhu dan waktu ekstraksi akan

menyebabkan terjadinya pemutusan ikatan hidrogen dari triple helix

kolagen, sehingga kolagen terkonversi menjadi gelatin yang lebih mudah

larut. Proses ekstraksi pada suhu dan waktu berbeda dapat memengaruhi

kualitas gelatin, baik kualitas maupun kuantitas. Penggunaan larutan yang

sesuai, suhu dan lama ekstraksi adalah hal penting dalam proses merubah

kolagen menjadi gelatin yang terkandung dalam kulit maupun tulang. Kulit

dan tulang ikan sebagai bahan baku dapat diolah lanjut dengan prosedur

sesuai, yang diharapkan dapat menghasilkan gelatin alternatif sebagai

binder dalam proses pengolahan daging.

Tingginya permintaan daging untuk industri pengolahan daging

merupakan peluang pemanfaatan meat by-product sebagai alternatif dari

Page 66: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

44

penggunaan daging skeletal yang harganya jauh lebih tinggi. Pemanfaatan

beberapa jenis daging yang bersumber dari meat by-product merupakan

upaya meningkatkan nilai tambah terhadap hasil sampingan dari

pemotongan hewan pedaging. Kekurangannya adalah bahwa meat by-

product ini merupakan produk sampingan yang mempunyai kualitas yang

lebih rendah dibanding daging skeletal pada umumnya. Sangat

dimungkinkan merekonstruksi daging tersebut menjadi produk dengan nilai

terima yang lebih baik melalui pengolahan untuk menghasilkan produk yang

mudah diterima oleh masyarakat semisal sosis.

Pemanfaatan gelatin yang sangat fleksibel merupakan keunggulan

yang tidak semua jenis hidrokoloid miliki. Gelatin telah sangat luas

dimanfaatkan untuk berbagai keperluan misalnya bidang pangan, yang

difungsikan antara lain sebagai bahan tambahan dalam pembuatan

berbagai produk olahan daging misalnya sosis. Salah satu fungsi gelatin

adalah sebagai bahan pengikat. untuk memperbaiki karakteristik produk

olahan daging yang berbahan baku meat by-product dengan kemampuan

mengikat air sedang. Penggunaan gelatin ikan sebagai protein fungsional

dimungkinkan untuk memperbaiki karakteristik fisik dan kimia sosis

berbasis meat by-product dalam memperbaiki karakteristik sosis.

Page 67: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

45

Gambar 2. Kerangka Pikir Penelitian

Kulit dan tulang

- Air - Protein - Lemak - Mineral - Kolagen - Asam amino

Tulang

Pre-treatment

Kulit Demineralisasi

Hidrolisis parsial

Identifikasi Karakteristik

Gelatin

Suhu ekstraksi

Waktu ekstraksi

Gelatin Alternatif: Halal/Kosher; Bebas BSE/PMK; Karakteristik fisik dan kimia menyerupai gelatin konvensional

Binder

Pengolahan Sosis

Ikan gabus

Bobot badan berbeda

- Daging serat merah - Banyak mengandung

jaringan ikat - Daya mengikat air sedang

- Karakteristik fisik dan kimia lebih baik - Masa simpan dapat diperpanjang -

Meat by-product: Daging pipi

Page 68: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

46

G. Hipotesis

Hipotesis penelitian ini adalah:

1. Perbedaan bobot badan mempengaruhi karakteristik fisiko-kimia kulit

dan tulang ikan gabus.

2. Suhu dan waktu ekstraksi berbeda berpengaruh terhadap karakteristik

fisiko-kimia gelatin ikan gabus.

3. Proses ekstraksi dari bahan baku berbeda menghasilkan karakteristik

fungsional gelatin yang berbeda.

4. Penambahan gelatin ikan gabus dalam proses pengolahan sosis

berbasis meat by-product sapi dapat memperbaiki kualitas fisik, kimia,

serta masa simpan sosis.

Page 69: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

47

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Tahapan Penelitian

Penelitian terbagi atas tiga tahapan. Tahap I: Karakterisasi dan

potensi kulit dan tulang ikan gabus sebagai sumber kolagen pada bobot

berbeda. Tahap II: Penentuan proses ekstraksi kulit dan tulang ikan gabus

terbaik menjadi gelatin pada suhu dan waktu berbeda. Tahap III: Aplikasi

gelatin ikan gabus dalam proses pembuatan sosis berbasis meat by-

product sapi.

B. Waktu dan Tempat

Penelitian berlangsung sejak April 2016 sampai Februari 2018. Ikan

gabus diperoleh dari Bendungan Bili Bili, Gowa. Meat by-product, dalam hal

ini daging pipi diperoleh dari Rumah Potong Hewan Tamangapa. Preparasi

sampel dilaksanakan di beberapa laboratorium, antara lain Laboratorium

Pengembangan Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian (Preparasi kulit dan

tulang ikan untuk uji karakteristik), Laboratorium Pengolahan Daging dan

Telur dan Laboratorium Pengolahan Sisa Hasil Ternak Fakultas Peternakan

(Ekstraksi gelatin, analisis stabilitas emulsi gelatin, produksi sosis, daya

mengikat air daging dan sosis, susut masak, CD-Shear force, warna sosis,

nilai reaktivitas TBA sosis), Laboratorium Bioteknologi Terpadu Fakultas

Peternakan (liofilisasi sampel kulit dan tulang, analisis daya mengikat air,

Page 70: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

48

daya mengikat minyak, stabilitas emulsi dan aktivitas antioksidan sosis),

Laboratorium Kimia Nutrisi Makanan Ternak Fakultas Peternakan

(Pembuatan larutan ekstraksi gelatin, analisis proksimat), Laboratorium

Kimia Organik Fakultas MIPA (analisis FTIR), Laboratorium Kimia Analitik

Jurusan Kimia Politeknik Makassar (analisis kekuatan gel, viskositas dan

pH gelatin), Laboratorium Fisika FMIPA-UNM (SEM-EDS kulit dan tulang),

Laboratorium Terpadu Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan IPB

(analisis Hidroksiprolin), Laboratorium Bahan Penelitian Teknologi Bahan

Alami LIPI Yogyakarta (SEM pada sosis), Laboratorium Departemen Ilmu

dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB (analisis profil

tekstur sosis) dan PT. Saraswanti Indo Genetech, Bogor (analisis asam

amino kulit, tulang dan gelatin).

C. Materi Penelitian

Tahap I

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah kulit dan

tulang yang berasal dari ikan gabus (Channa Striata) dengan ukuran 300-

400 g/ekor, 600-700 g/ekor dan 900-1.000 g/ekor. Beberapa bahan kimia

untuk analisis berupa H2SO4, H3BO3, NaOH 30%, HCl 0,02N, chloroform,

dan hidroksiprolin standard.

Tahap II

Kulit dan tulang dari ikan gabus berat 600-700 g//ekor sebagai bahan

utama, sebagaimana hasil analisis pada tahap I. Untuk proses ekstraksi

Page 71: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

49

kulit dan tulang mengggunakan bahan kimia HCl 3%, Ca(OH)2 0,01M

(Merck), asam sitrat 0,5M (Merck), aquades, air bersih. Beberapa bahan

penunjang untuk uji karakteristik gelatin antara lain H2SO4, H3BO3, NaOH

30%, HCl 0,02N, chloroform, Sodium Dodecyl Sulfate (SDS) (Merck),

minyak bunga matahari dan minyak kedelai.

Tahap III

Bahan kebutuhan pembuatan sosis antara lain daging pipi dari sapi

lokal umur sekitar 3,5-5 tahun, lemak sapi, isolat protein kedelai (Marksoy

90, Shandong Crown Soya Protein Co Ltd, China), tepung tapioka (Rose

Brand), susu bubuk (PT. Nestle Indonesia), seasoning (Frankfurter Combi

Forte, PT. Markaindo Selaras), merica bubuk, bawang putih bubuk, garam

dapur, air es, sendawa (Kalium nitrat, KNO3) (Cap Koepoe Koepoe, PT.

Gunacipta Multirasa), dan garam fosfat (Sodium tripoliphosphate),

selongsong sosis diameter 18,45 mm (casing collagen, Devro, PT.

Markaindo Selaras). Bahan kimia antara lain Ca(OH)2 (Merck), asam sitrat

(Merck), aquades, DPPH (2,2-diphenyl-1-picrylhydrazil) (Merck), TBA

(Merck), SDS, asam asetat (Merck), H3BO3, NaOH, HCl 0,1N, methanol,

H2SO4, chloroform.

D. Peralatan Penelitian

Tahap I

Peralatan yang digunakan antara lain alat untuk proses preparasi

dan alat untuk analisis uji sampel. Alat proses antara lain pisau, tang dan

Page 72: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

50

peralatan penunjang lain untuk preparasi kulit dan tulang. waterbath,

freezer, freeze dryer, (ALPHA 1-2 LD plus), grinder, timbangan analitik,

plastik kemasan dan botol kemasan. Peralatan untuk analisis proksimat

antara lain neraca analitik, cawan porselen, oven, tanur, desikator, labu

Kjeldhal, destilator, penangas listrik, lemari asam, buret, labu Erlenmeyer,

labu ukur, High-Performance Liquid Chromatography (HPLC, 1200 Infinity

Series by Agilent Technologies) (kadar hidroksiprolin) dan UPLC (Ultra

Performance Liquid Chromatograph, ACQUITY UPLC-H Class) (asam

amino) dan Scanning Electron Microscopis-Energy Dispersive

Spectroscopy (SEM-EDS, Tescan Vega3SB).

Tahap II

Peralatan yang digunakan antara lain peralatan untuk ekstraksi

gelatin, gelas piala (Pirex), gelas ukur (Pirex), pengaduk kaca, tabung

reaksi, labu takar (Pirex), waterbath (Memmert). Oven (Memmert),

penyaring plastik, kain kasa, talang plastik sebagai wadah mengeringkan

gelatin, timbangan analitik, aluminium foil, plastik kemasan. Peralatan untuk

analisis uji kualitas gelatin antara lain waterbath (GFL, digital) (membuat

larutan gelatin secara pemanasan untuk analisis kekuatan gel, viskositas

dan pH), Texture Analyzer (TAXT2 Stable Micro System) (kekuatan gel),

viskometer (Brookfield, DV-I Prime) (Viskositas), pH meter (Metrohm, 827

pH Lab) (nilai pH), timbangan analitik (rendemen), vortex (IKA Laboratchnik

VF2) (Daya mengikat air dan minyak gelatin), homogenizer (IKA T25 digital,

ultra turrax) (indeks emulsifikasi gelatin), centrifuge (High speed refrigerated

Page 73: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

51

micro centrifuge, Tomy Mx-305), spectrofotometer (Thermo Fisher

Scientific 4001/4, Genesys VF2) (indeks emulsifikasi gelatin), FTIR (IR

Prestige-21, FTIR-8400, Shimadzu) (gugus fungsional), UPLC (ACQUITY

UPLC-H Class) (asam amino), colormeter (TES 135) (mengukur warna

gelatin). Peralatan untuk analisis proksimat antara lain neraca analitik,

cawan porselen, oven, desikator, labu Kjeldhal, destilator, penangas listrik,

lemari asam, buret, labu Erlenmeyer, labu ukur.

Tahap III

Peralatan yang digunakan untuk membuat sosis antara lain

timbangan, food prosessor (Miyako, CH-501 PF AP), alat pengisi manual

(stuffer), talang plastik, spatula, panci, kompor, plastik kemasan, lemari

pendingin. Peralatan untuk analisis proksimat antara lain timbangan analitik

(Metler Toledo, J81603-C/FACT) cawan porselen, oven, tanur, desikator,

labu Kjeldhal, destilator, penangas listrik, lemari asam, buret, labu

Erlenmeyer, labu ukur. Peralatan untuk analisis emulsifikasi sosis antara

lain waterbath (Memmert), oven (Shimadzu), centrifuge (High speed

refrigerated micro centrifuge, Tomy Mx-305). Filter paper press (uji daya

mengikat air daging), tabung reaksi, gelas ukur (pyrex), gelas piala (pyrex),

tabung centrifuge, rak tabung, dan mikropipet. Peralatan untuk analisis

reaktivitas TBA antara lain blender, penangas listrik, destilator, waterbath

(Memmert), gelas ukur, dan spektrofotometer (Shimadzu). Peralatan untuk

analisis kadar antioksidan antara lain votex (IKA Laboratchnik VF2),

timbangan analitik (Metler Toledo, J81603-C/FACT), gelas ukur, mikropipet,

Page 74: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

52

tabung reaksi dan spektrofotometer (Thermo Fisher Scientific 4001/4,

Genesys VF2).

E. Metode Penelitian

Penelitian ini bersifat percobaan di laboratorium dengan

menggunakan metode Rancangan Percobaan (Gambar 5).

Tahap I

Penelitian terdiri atas persiapan bahan baku, preparasi sampel dan

analisis karakteristik fisiko-kimia sampel. Diagram alir penelitian Tahap I

sebagaimana Gambar 6.

1.1 Persiapan bahan baku kulit dan tulang ikan

Ikan gabus segar ditimbang untuk menetapkan kelompok perlakuan.

Perbedaan bobot badan diduga dapat mewakili usia ikan gabus, semakin

besar bobot badan maka usia ikan semakin tua. Ikan dibersihkan dengan

mengeluarkan bagian sisik, kepala, sirip dan viseranya. Ikan di-fillet

sehingga hanya tersisa kulit dan tulang. Kulit dan tulang secara terpisah

dibersihkan, dengan cara dicuci bersih dan masing-masing dikemas dalam

kantung plastik polietilen tertutup untuk dianalisis lebih lanjut.

1.2 Preparasi kulit dan tulang ikan gabus

Analisis kadar proksimat menggunakan kulit segar. Untuk analisis

kadar asam amino dan mikrostruktur, terlebih dahulu kulit diperkecil

ukurannya menggunakan pisau, sebagaimana metode Listrat dan

Hocquette (2004) kemudian diliofilisasi dengan freeze dryer hingga benar-

Page 75: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

53

benar kering (sekitar 72 jam). Kulit yang sudah kering digiling halus,

dikemas kedap udara dan disimpan pada suhu kurang dari 4 oC hingga siap

dianalisis lebih lanjut. Preparasi tulang merujuk pada Wulandari dkk.

(2013) dan Kittiphattanabawon et al. (2005). Sebelum digunakan, terlebih

dahulu lemak dan daging yang masih menempel pada tulang dihilangkan

dengan cara degreasing, yaitu merendamnya dalam air panas suhu 60-70

oC sekitar 30 menit. Analisis proksimat tulang menggunakan tulang hasil

degreasing. Tulang untuk analisis kadar asam amino, dan mikrostruktur

jaringan dan komposisi mineral terlebih dahulu diperkecil ukurannya,

kemudian diliofilisasi (sekitar 24 jam). Tulang yang telah kering, digiling

membentuk tepung menggunakan alat penggiling dan disimpan pada suhu

di bawah 4 oC hingga siap dianalisis.

Page 76: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

54

Gambar 5. Bagan Alir Tahapan Penelitian

Kadar proksimat, kadar kolagen, asam amino, mineral dan mikrostruktur kulit dan tulang

Tahap I

Bobot badan: 300-400 g/ekor,

600-700 g/ekor dan 900-1.000 g/ekor

Tahap II

Kulit dan tulang ikan gabus dari bobot ikan terpilih

Analisis Karakteristik fisiko-kimia: kadar proksimat, pH, daya mengikat air, susut masak, shear force dan warna

- Gelatin yang memenuhi syarat sebagai binder - Penambahan gelatin ikan gabus menghasilkan sosis sesuai standard

SNI dan karakteristik yang lebih baik dibanding tanpa penambahan gelatin.

Tahap III

Keluaran:

Penentuan Suhu dan Waktu Ekstraksi Terbaik terhadap Karakteristik Gelatin Kulit dan Tulang Ikan Gabus

Uji sifat fungsional gelatin: Kadar proksimat, gugus fungsional, daya mengikat air, daya mengikat minyak, indeks stabilitas emulsi, indeks aktivitas emulsi, warna gelatin, asam amino

Aplikasi gelatin ikan gabus dalam proses pembuatan sosis berbasis meat by-product sapi

Analisis Karakteristik fisiko-kimia: kadar proksimat, profil tekstur, susut masak, stabilitas emulsi, daya mengikat air, mikrostruktur sosis, pH, kadar mg H2O, Nilai reaktivitas TBA dan DPPH

Analisis karakteristik fisiko-kimia gelatin: rendemen, kekuatan gel, viskositas dan pH

Gelatin kulit dan tulang terpilih berdasarkan kekuatan gel tertinggi

Karakterisasi daging pipi sebagai bahan utama sosis

Aplikasi gelatin sebagai binder pada sosis berbasis meat by-product

Karakterisasi kulit dan tulang ikan gabus pada bobot badan berbeda

Bobot badan terbaik

Kekuatan gel tertinggi

Sosis dengan kualitas lebih baik dibanding tanpa penambahan gelatin

Page 77: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

55

Gambar 6. Diagram alir penelitian Tahap I

Ikan gabus (Channa striata)

Kulit segar Tulang segar

Liofilisasi

Komposisi kimia (Air, protein,

lemak dan abu)

Degreasing

Liofilisasi

Kulit ikan gabus kering Tulang ikan gabus kering

Komposisi: asam amino, hidroksiprolin, mineral, mikrostruktur kulit dan tulang

Kulit dan tulang ikan sumber kolagen

Page 78: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

56

1.3 Prosedur Penelitian

1.3.1 Analisis Proksimat (AOAC, 1995)

a. Kadar Air

Prinsip dasar analisis kadar air adalah mengetahui kandungan atau

jumLah air yang terdapat pada suatu bahan dengan menguapkan air yang

terdapat dalam bahan tersebut. Analisis kadar air dilakukan dengan cara

cawan porselen kosong dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC selama

1 jam. Cawan selanjutnya diletakkan di dalam desikator (kurang lebih 15

menit) dan dibiarkan sampai dingin kemudian ditimbang (A). Setelah

ditimbang, sebanyak 5 gram contoh (kulit/tulang ikan gabus) dimasukkan

ke dalam cawan tersebut, kemudian ditimbang kembali (B). Cawan yang

telah berisi sampel contoh kemudian dimasukkan ke dalam oven bersuhu

105 oC selama 5 jam lalu dimasukkan ke dalam desikator sampai dingin

dan selanjutnya ditimbang kembali (C). Kadar air dihitung menggunakan

rumus:

% Kadar air =B − C

B − A x 100%

Keterangan: A = Berat cawan kosong (g) B = Berat sampel dalam cawan sebelum dikeringkan (g)

C = Berat sampel dalam cawan setelah dikeringkan (g) b. Kadar Protein

Prinsip analisis protein yaitu untuk mengetahui kandungan protein

kasar pada suatu bahan berdasarkan pada penentuan kandungan nitrogen

yang terdapat dalam bahan. Analisis kadar protein dilakukan dalam tiga

tahap, yaitu destruksi, destilasi dan titrasi.

Page 79: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

57

Destruksi diawali dengan mengecilkan ukuran partikel sampel

(menggunakan blender). Selanjutnya sebanyak 1 gram sampel dimasukkan

ke dalam tabung Kjeldahl yang berisi dua tablet katalis, beberapa butir batu

didih, 15 mL asam H2SO4 dan 3 mL hidrogen peroksida kemudian

didiamkan di dalam ruang asam selama 10 menit. Sampel didestruksi

selama ± 2 jam pada suhu 410 oC atau sampai larutan jernih. Sampel hasil

destruksi didiamkan sampai suhunya mencapai suhu kamar kemudian

ditambahkan 50–75 mL aquades.

Destilasi diawali dengan mencuci tabung Kjeldhal yang berisi sampel

hasil proses destuksi dengan aquades 50–75 mL, kemudian labu tersebut

dimasukkan ke dalam alat destilasi. Hasil destilasi kemudian ditampung

dalam labu Erlenmeyer 125 mL yang berisi 25 mL asam borat (H3BO3) 4 %.

Destilasi dilakukan dengan menambahkan 10 mL NaOH ke dalam alat

destilasi hingga menghasilkan warna hijau.

Destilat yang dihasilkan kemudian dititarsi dengan HCl 0,1 N sampai

terjadi perubahan warna merah muda. Standard blanko juga dianalisis

dengan tahapan sama seperti yang dilakukan pada analisis sampel. Kadar

protein dihitung menggunakan rumus:

% Kadar protein =(Va − Vb) x N HCl x 14.007 x 6.25

W x 100 %

Keterangan: Va = mL HCl untuk titrasi sampel Vb = mL HCl untuk titrasi blanko N = Normalitas HCl yang digunakan 14,007= Berat atom Nitrogen 6,25 = Faktor konversi Nitrogen W = Berat sampel (g)

Page 80: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

58

c. Kadar Lemak

Prinsip analisis kadar lemak adalah melarutkan lemak yang terdapat

dalam bahan menggunakan pelarut lemak. Analisis kadar lemak dilakukan

dengan menggunakan metode Soxhlet dengan beberapa modifikasi.

Sebanyak 1 g sampel (W1) dimasukkan ke dalam tabung reaksi berskala

10 mL, lalu ditambahkan chloroform mendekati skala. Tabung yang berisi

sampel ditutup rapat dan dibiarkan hingga semalam. Larutan disaring

menggunakan kertas saring ke dalam tabung reaksi yang lain. Larutan

sampel dipipet sebanyak 5 mL ke dalam cawan porselen yang telah

diketahui beratnya (a gram). Cawan yang berisi larutan dioven pada suhu

100 °C selama 8 jam. Cawan dimasukkan dalam desikator lebih kurang 30

menit, lalu timbang (b gram).

% Kadar lemak =P(b − a)

W x

100

𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑘𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔

Keterangan: W = Berat sampel (g) P = Faktor pengenceran (10/5) a = Berat awal cawan (g) b = Berat cawan setelah proses pengeringan (g)

d. Kadar Abu

Prinsip analisis kadar abu adalah untuk mengetahui jumLah abu

yang terdapat pada suatu bahan terkait dengan jumLah mineral yang

terkandung dalam bahan tersebut. Analisis kadar abu dilakukan

menggunakan metode oven. Prosedur analisis abu adalah cawan abu

porselin kosong dikeringkan dalam oven pada 105 oC selama 30 menit.

Cawan tersebut selanjutnya didinginkan dalam desikator selama 15 menit.

Page 81: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

59

Cawan ditimbang untuk mengetahui bobot cawan kosong (A). sampel yang

telah dihaluskan ditimbang sebanyak 5 g dimasukkan ke dalam cawan

porselin kosong kemudian ditimbang kembali (B). Cawan berisi sampel

dibakar di atas kompor sampai tidak berasap lalu dimasukkan dalam tanur

pengabuan bersuhu 600 oC selama 6–8 jam. Cawan kemudian dikeluarkan

dengan menggunakan penjepit dan dimasukkan ke dalam desikator selama

30 menit dan ditimbang beratnya (C). Kadar abu dalam bahan dihitung

berdasarkan rumus:

% Kadar abu =C − A

B − A x 100 %

Keterangan: A = Berat cawan kosong (g) B = Berat cawan berisi sampel sebelum pengabuan (g) C = Berat cawan berisi sampel setelah pengabuan (g) 1.3.2 Komposisi Asam Amino

Asam amino ditentukan dengan menggunakan UPLC (Ultra

Performance Liquid Chromatography) (Prosedur sesuai yang ditetapkan

oleh PT SIG, merujuk pada Nollet, 1996 dan Water Acquity UPLC H Class

and H Class Bio Amino Acid Analysis System Guide, 2012).

Preparasi sampel. Sebanyak 0,1 g sampel dihidrolisis

menggunakan 5 mL HCl 6N, dipanaskan pada suhu 110 oC selama 22 jam.

Sebanyak 500 µL filtrate ditambah dengan 40 µm AABQ dan 460 µL

aquades. Sebanyak 10 µL larutan ditambahkan AccQ-Fluor Borate dan 20

µL reagent Flour A, diinkubasi selama 10 min suhu 55 oC, kemudian disuntik

pada system UPLC.

Page 82: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

60

Sampel infus. Sebanyak 2 mL dimasukkan dalam labu ukur 200 mL

dan ditambahkan 2,0 mL larutan standard internal AABA 10mM lalu

diencerkan hingga tanda batas dengan larutan HCl 0,1N, kemudian dikocok

dan dihomogenkan. Dengan menggunakan membrane filter 0,22 µm,

sebanyak 10 µL larutan dimasukkan dalam insert vial dan ditambahkan 70

µL AccQ-Fluor Borate kemudian divortex. Selanjutnya, larutan tersebut

ditambah dengan 20 µL reagen flour A, divortex dan didiamkan selama 1

menit. Larutan diinkubasi selama 10 menit pada suhu 55 °C untuk kemudian

disuntikkan dalam UPLC.

Larutan Standard. Sebanyak 40 µL standard mix asam amino

ditambah 40 µL internal standard AABA ditambah 920 µL aquabidest

kemudian dihomogenkan. Sebanyak 10 µL ditambah dengan 70 µL AccQ

Flour Borate kemudian divortex, tambah dengan 20 µL reagent Flour A,

divortex dan didiamkan selama 1 menit. Larutan diinkubasi selama 10 menit

pada suhu 55 °C untuk kemudian disuntikkan dalam UPLC.

Kadar asam amino:

= / ( )

/ 𝑨𝑨𝑩𝑨 𝒙 ( )

Keterangan: C = Konsentrasi standard asam amino (mol/mL) FP = Faktor pengencer (mL)

1.3.3 Penentuan Kadar Hidroksiprolin

Estimasi kadar kolagen ditetapkan berdasarkan nilai asam amino

hidroksiprolin. Kadar hidroksiprolin diukur mengggunakan High

Performance Liquid Chromatograph (HPLC,1200 Infinity Seriesby Agilent

Page 83: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

61

Technologies). Sebelum injeksi pada HPLC, sampel terlebih dahulu melalui

proses hidrolisis dalam 1 mL HCl 6N dan dipanaskan pada suhu 110 oC

selama 24 jam. Larutan standard menggunakan L-hydroxiproline (Sigma,

USA). Untuk mengestimasi kadar kolagen, nilai hidroksiprolin dikali dengan

faktor 8,0 (Muralidharan et al., 2013). Untuk mengestimasi kadar kolagen

dalam setiap gram protein sampel, maka kadar kolagen dibagi dengan

jumLah protein sampel.

Kadar asam amino hidroksiprolin (mg/100g sampel) =

Keterangan: C = Konsentrasi standard asam amino (mol/mL) FP = Faktor pengencer (1000) BMA = Berat molekul asam amino (g/mL)

1.3.4 Mikrostruktur Kulit dan Komposisi Mineral dan Tulang Ikan

Gabus

Pengamatan mikrostruktur kulit dan tulang ikan gabus dilakukan

menggunakan Scanning Electron Microscopy (SEM) berdasarkan prosedur

yang telah dilakukan oleh Ramadhan dkk. (2014).

Sampel kering dalam bentuk bubuk dilekatkan pada logam yang

telah dilapisi lem karbon, kemudian dilakukan pelapisan menggunakan

emas atau logam dalam perangkat tabung plasma hampa penghasil

gelombang mikro (magnetron sputtering device) yang dilengkapi dengan

pompa vacum. Selama proses vakum, yang berlangsung selama 20 menit,

terjadi loncatan logam emas ke arah sampel sehingga melapisi emas.

Sampel yang telah dilapisi diletakkan pada lokasi sampel dalam mikroskop

Page 84: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

62

elektron dan dengan terjadinya tembakan elektron ke arah sampel maka

akan terekam ke dalam monitor dan dilakukan pemotretan.

Komposisi mineral yang terkandung dalam kulit dan tulang ikan

gabus dianalisis menggunakan perangkat yang sama yang digunakan

untuk mengamati karakteristik mikroskopis dari kulit dan tulang ikan, yaitu

dengan menggunakan SEM-EDS (Scanning Electron Microscopy-Energy

Dispersive Spectroscopy)

1.4 Rancangan Penelitian dan Analisis Data

Penelitian bersifat percobaan di laboratorium. Analisis komposisi

kimia dan kadar kolagen dianalisis menggunakan rancangan acak lengkap

(RAL) pola faktorial dengan dua perlakuan dan tiga ulangan. Kelompok

perlakuan adalah kelompok kulit ikan dan tulang ikan pada bobot ikan

berbeda yaitu: 300-400 g/ekor; 600-700 g/ekor; dan 900-1.000 g/ekor.

Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis sidik ragam

(ANOVA). Jika hasil analisis data menunjukkan pengaruh nyata, maka diuji

lanjut menggunakan uji Duncan. Profil asam amino, mineral dan

mikrostruktur kulit dan tulang dianalisis secara deskriptif, baik secara

kuantitatif maupun secara kualitatif.

Tahap II

Penelitian tahap II terdiri atas proses optimasi esktraksi gelatin pada

waktu dan suhu berbeda dan karakterisasi fungsional gelatin. Kulit dan

tulang yang digunakan berasal dari ikan gabus terpilih dari hasil penelitian

Page 85: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

63

tahap pertama yang didasarkan pada kadar kolagen yang dikandung oleh

ikan gabus.

2. Optimasi Ekstraksi Gelatin Kulit dan Tulang Ikan Gabus pada Suhu dan Waktu Berbeda

Percobaan ini adalah pengamatan terhadap pengaruh kombinasi

suhu dan waktu ekstraksi selama proses ekstraksi gelatin berlangsung,

sehingga diharapkan akan menghasilkan gelatin dengan karakteristik fisiko-

kimia optimal.

2.1 Prosedur Penelitian

2.1.1 Persiapan kulit dan tulang ikan

Ikan gabus berat 600-700 g/ekor dibersihkan dengan mengeluarkan

bagian sisik, kepala, sirip dan viseranya. Ikan di-fillet sehingga hanya

tersisa kulit dan tulang. Tulang dan kulit dibersihkan, dengan cara dicuci

bersih secara terpisah, dan masing-masing dikemas dalam kantung plastik

tertutup dan disimpan pada suhu -20 oC tidak lebih dari dua bulan, untuk

digunakan dalam proses ekstraksi.

2.1.2 Ekstraksi kulit dan tulang

a. Ekstraksi kulit

Metode ekstraksi merujuk pada Grossman and Bergman (1991,

1992). Sampel kulit ikan gabus yang akan diekstraksi terlebih dahulu

dibiarkan hingga esnya meleleh (thawing). Proses pre-treatment dilakukan

secara bertingkat. Proses pre-treatment pertama menggunakan larutan

alkali yaitu Ca(OH)2 0,01 M (7,4 g Ca(OH)2 dalam 1 L aquades), kemudian

Page 86: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

64

pada pre-treatment kedua menggunakan asam organik, yaitu asam sitrat

0,05 M (10,75 g asam sitrat dalam 1 L aquades).

Kulit dipotong-potong dengan ukuran kecil, 1˗2 cm persegi,

kemudian dicuci menggunakan air mengalir sebanyak tiga kali. Kulit yang

telah dicuci dibersihkan dengan merendamnya dalam larutan Ca(OH)2 1:6

b/v selama 1 jam dengan maksud untuk mengeluarkan komponen non-

kolagen, kemudian dicuci dengan air mengalir sebanyak tiga kali. Kelebihan

air dihilangkan dengan cara ditiris. Kulit yang telah bersih kemudian diberi

perlakuan pre-treatment kedua dengan direndam dalam larutan asam sitrat

1:6 b/v selama 5 jam sambil diaduk setiap saat, kemudian dicuci

menggunakan air mengalir hingga bersih lalu ditiriskan. Kulit yang telah

mengalami perlakuan kemudian diekstraksi menggunakan aquades 1:6 b/v

pada suhu 50, 60 dan 70 oC selama 12, 18, dan 24 jam dalam waterbath.

Hasil ektraksi disaring dua kali menggunakan kain kasa dan penyaring

plastik. Hasil ektraksi berupa gelatin cair dikeringkan dengan oven suhu 60

oC selama 48 jam. Gelatin kering hasil pengeringan kemudian digiling

menggunakan grinder hingga membentuk tepung dan selanjutnya

ditimbang untuk menentukan nilai rendemen. Proses akhir adalah tepung

gelatin dikemas dengan plastik klip untuk dilakukan uji kualitas (Gambar 7).

b. Ekstraksi tulang

Prosedur persiapan sampel tulang ikan sedikit berbeda dengan

sampel kulit ikan. Proses ini merujuk pada Wulandari dkk. (2013) dengan

beberapa perubahan. Tulang ikan gabus beku yang telah dibiarkan hingga

Page 87: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

65

meleleh (thawing), dibersihkan dari sisa-sisa daging yang masih menempel.

Lemak yang melekat dihilangkan dengan proses degreasing, yaitu

memanaskan tulang pada suhu antara 60˗70 oC sekitar 30 menit, kemudian

tulang kering dikecilkan ukurannya dengan mematahkan ruas-ruas tulang

dengan tang. Proses selanjutnya tulang dikeringkan, kemudian ditimbang.

Proses selanjutnya adalah demineralisasi (Muyonga et al., 2004a), yaitu

merendam tulang menggunakan larutan HCl 3% (81,1 mL HCl dalam setiap

liter aquades) 1:6 b/v selama 24 jam dengan maksud melarutkan mineral

yang berikatan dengan protein kolagen dalam matrik tulang. Perlakuan

selanjutnya sebagaimana perlakuan pada kulit (Gambar 8).

2.1.3 Peubah yang diamati

a. Rendemen gelatin

Rendemen gelatin (berdasarkan basis berat basah) dihitung sebagai rasio

berat kering gelatin terhadap total berat kulit ikan/tulang ikan dalam basis

basah (See et al., 2010).

Rendemen gelatin kulit (%) = ( )

( ) 𝑥100%

Rendemen gelatin tulang (%) = ( )

( ) 𝑥100%

b. Kekuatan gel

Penentuan kekuatan gel didasarkan pada See et al., (2010). Larutan

gelatin 6,67% (b/v) dipreparasi dengan mencampur 7,5 g gelatin dan 105

mL air suling. Campuran dibiarkan pada suhu kamar selama 30 menit untuk

memungkinkan gelatin menyerap air dan membengkak. Campuran

Page 88: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

66

kemudian dipanaskan pada suhu 60 oC selama 30 menit dalam waterbath

untuk menyempurnakan kelarutan gelatin sehingga diperoleh larutan

gelatin yang kemudian disimpan pada suhu refrigerator (6±1oC) selama

17±1 jam. Kekuatan gel ditentukan menggunakan TAXT2 Texture Analyzer

(Stable Micro System, UK) yang dilengkapi dengan plunger yang

berdiameter 12,7 mm. Kecepatan plunger menetrasi ke dalam gel 10

mm/menit dengan kekuatan maksimum (dalam gram) pada kedalaman

penetrasi 4 mm yang dicatat pada 0,5 mm/detik. Hasil pembacaan gaya

maksimum yang diberikan plunger pada gel dinyatakan dalam g.

c. Viskositas

Viskositas sampel diukur sesuai dengan metode (Arnesen dan

Gildberg, 2002) dengan alat viskometer. Larutan gelatin dibuat dengan

konsentrasi 6,67% w/v (6,67 g sampai aquades 100 mL) dipanaskan pada

suhu ± 60 oC hingga partikel gelatin larut secara sempurna. Pengukuran

viskositas gelatin dilakukan pada suhu kamar (28 oC).

d. pH

Pengujian pH diukur berdasarkan Choi dan Regenstein (2000); Said

(2011) dengan beberapa modifikasi. Sebanyak 0,5 g gelatin kering

dilarutkan ke dalam 20 mL aquades. Alat pH meter yang dihubungkan

dengan 2 jenis elektroda (bundar dan datar) disiapkan. Sebelum dilakukan

pengukuran maka pH meter terlebih dahulu harus dikalibrasi pada pH 4,00

dan 7,02. Setelah dikalibrasi selanjutnya elektrode dicelup ke dalam larutan

dan hasilnya ditentukan.

Page 89: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

67

2.1.4 Rancangan Percobaan dan Analisis Data

Penelitian ini bersifat percobaan di laboratorium dengan

menggunakan metode Rancangan Percobaan Acak Lengkap (RAL) pola

faktorial sebayak 3 faktor. Masing-masing faktor adalah jenis bahan baku

(kulit dan tulang), suhu ekstraksi (50, 60 dan 70 °C), dan lama ekstraksi (12,

18 dan 24 jam) dengan 3 ulangan.

Data yang diperoleh akan dianalisis menggunakan analisis sidik

ragam sesuai dengan rancangan percobaan yang diterapkan

menggunakan program SPSS. Apabila analisis data menunjukkan adanya

pengaruh perlakuan nyata, maka akan dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan.

Page 90: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

68

Gambar 7. Diagram prosedur ekstraksi gelatin tulang ikan

Thawwing

Degreasing (60-70 oC, 30 menit)

Pre-treatment I: Ca(OH)2 0,01 M (1 jam)

Pencucian

Pre-treatment II: Asam sitrat 0,05 M (5 jam)

Pencucian

Pengecilan ukuran

Ekstraksi dalam water bath (50, 60 dan 70 oC; 12,18, 24jam)

Penyaringan

Gelatin cair

Pengeringan dalam oven (60 oC, 48 jam)

Gelatin lembaran

Penggilingan dengan blender

Pengemasan

Penimbangan dan uji kualitas

Demineralisasi 24 jam

Tulang ikan

Page 91: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

69

Gambar 8. Diagram prosedur ekstraksi gelatin kulit ikan

Kulit ikan

Pemotongan (1-2 cm2)

Pre-treatment I: Ca(OH)2 0,01 M (1 jam)

Pencucian

Pre-treatment II: Asam sitrat 0,05 M (5 jam)

Pencucian

Pencucian

Ekstraksi dengan aquades dalam waterbath (50, 60, 70 oC; 12, 18, 24 jam)

Penyaringan

Gelatin cair

Pengeringan dalam oven (60 oC, 48 jam)

Gelatin lembaran

Penggilingan dengan blender

Pengemasan

Penimbangan dan uji kualitas

Thawwing

Page 92: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

70

2.2 Uji Karakteristik Sifat Fungsional Gelatin Kulit dan Tulang Ikan Gabus

Setelah diperoleh hasil gelatin yang terbaik setelah analisis uji,

terutama kekuatan gel, maka gelatin dengan kekuatan gel terbaik yang

digunakan untuk uji karakteristik sifat fungsional gelatin, dengan

membandingkan antara kulit ikan gabus, tulang ikan gabus dan gelatin

konvensional.

2.2.1 Peubah yang Diamati

a. Kadar proksimat gelatin

Metode sesuai dengan peubah yang diamati pada penentuan kadar

proksimat kulit dan tulang ikan gabus (Tahap I).

b. Daya Mengikat Air dan Lemak gelatin

Daya mengikat air dan mengikat minyak gelatin diukur merujuk pada

Cho et al. (2005). Setengah gram gelatin ditempatkan dalam tabung

centrifuge dan ditimbang (tabung dan gelatin). Sebanyak 10 mL air atau 10

mL minyak bunga matahari ditambahkan dalam tabung, kemudian masing-

masing dibiarkan selama 1 jam pada suhu kamar agar gelatin dalam

air/minyak membengkak dan larut. Larutan gelatin kemudian disentrifugasi

pada 20.000 rpm selama 20 menit. Fasa bagian atas dikeluarkan dan

tabung centrifuge dikeringkan selama 30 menit pada kertas saring. Nilai

daya mengikat air dan daya mengikat minyak gelatin dihitung berdasarkan

Ninan et al. (2013), yaitu perbedaan antara volume awal air suling/minyak

bunga matahari yang ditambahkan ke sampel gelatin dan volume

Page 93: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

71

supernatan ditentukan, dan hasilnya dilaporkan sebagai mL air/minyak

diserap per gram sampel gelatin.

c. Nilai Emulsifikasi dan Stabilitas emulsi Gelatin

Indeks aktivitas emulsi (EAI) dan indeks stabilitas emulsi sampel

gelatin ditentukan berdasarkan pada metode Pearce and Kinsella (1978).

Minyak kedelai (2 mL) dan larutan gelatin 2% dihomogenisasi

menggunakan alat homogeniser pada kecepatan 20.000 rpm selama 1

menit. Emulsi dikeluarkan dengan pipet pada 0 dan 10 menit dan larutan

dikali 100 dengan 0,1% SDS. Campuran dicampur selama 10 menit

menggunakan vortex. A500 dari dispersi yang dihasilkan diukur

menggunakan spectrphotometer. EAI dan ESI dihitung berdasarkan

formula dari (Ahmad and Benjakul, 2011), berikut:

IAE (m2/g) = TDF/løC

ESI (min) = A0 /ΔA × Δt

Dimana, T= 2×2,303×A500×DF; DF = Faktor pengenceran; l = panjang cuvet

(m); ø = disperse lemak (0,25); C = konsentrasi gelatin (g/mL); A500 =

panjang gelombang; A0 = Panjang gelombang pada 0 menit; ΔA = A0˗A10;

Δt = 10 min.

d. Warna Gelatin

Warna dan total warna gelatin ditentukan sesuai petunjuk

(Sinthusamran et al, 2014) dengan sedikit modifikasi. Warna gelatin

ditentukan dengan mengukur nilai Lightness (L*), redness (a*), dan

yellowness (b*) dari tepung gelatin menggunakan Colorimeter. Total warna

Page 94: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

72

dihitung sesuai dengan persamaan: ΔE= [(ΔL*)2+(Δa*)2+(Δb*)2]1/2. Dimana

ΔL*, Δa* dan Δb* adalah perbedaan antara warna yang tercatat pada

gelatin dengan warna standard putih, yaitu: (L*=99,11; a*=-0,945 dan

b*=0,674)

e. Gugus Fungsional Gelatin

Proses analisis menggunakan alat Fourier Transform Infrared

Spectrofotometri (FTIR) dengan jarak bilangan gelombang 4000 hingga 650

cm-1. Metode yang digunakan adalah teknik preparasi bentuk pelet KBr

(Kalium Bromida). Cuplikan (0,1-2 % berat) ditumbuk bersama-sama

dengan KBr kemudian dipress pada tekanan 8-20 ton hingga diperoleh

bentuk pelet. KBr dalam keadaan kering ditumbuk di bawah lampu

inframerah untuk mencegah terjadinya kondensasi uap dari atmosfer dan

selanjutnya divakumkan untuk melepaskan air. Cuplikan pellet kemudian

dimasukkan ke dalam tempat sampel pada spektrofotometer inframerah

dan hasil spektrum akan terbaca melalui monitor komputer.

f. Asam Amino Gelatin

Uji asam amino gelatin merujuk pada analisis uji asam amino kulit

dan tulang ikan gabus pada Tahap pertama

2.2.2. Rancangan Percobaan dan Analisis Data

Perbedaan karakteristik tiga jenis gelatin, yaitu gelatin kulit ikan

gabus (GKG), gelatin tulang ikan gabus (GTG) dan gelatin komersial bovine

(GKB) dianalisis menggunakan rancangan acak lengkap pola faktorial 3

perlakuan dengan 3 ulangan. Data yang berpengaruh nyata (P<0,05) akan

Page 95: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

73

dianalisis lanjut menggunakan uji Duncan. Data gugus fungsional dan asam

amino gelatin dianalisis secara deskriptif.

Tahap III

Penelitian ini merupakan pengamatan terhadap karakteristik meat

by-product dalam hal ini daging pipi (M. masetter) dan aplikasi gelatin

sebagai bahan tambahan yang berfungsi sebagai binder dalam proses

pembuatan sosis.

3.1 Karakterisasi Meat By-Product

Pada tahap ini, sebelum dilakukan aplikasi penambahan gelatin,

terlebih dahulu daging pipi sebagai sampel meat by-product dikarakterisasi

untuk melihat sifat fisiko-kimianya.

3.1.1 Analisis Sampel

a. Kadar Proksimat

Daging pipi dianalisis menggunankan metode AOAC (1995) untuk

mengetahui kandungan air, protein, lemak dan abu, sebagaimana metode

pada Tahap pertama dan kedua.

b. pH

Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan pH meter dengan

cara memasukkan elektroda khusus menembus dalam sosis. Pembacaan

skala angka pada layar dilakukan setelah angka yang ditunjukkan stabil.

Sebelum pengukuran, pH meter dikalibrasi dengan dengan buffer pH 4 dan

buffer pH 7 (AOAC, 1995).

Page 96: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

74

c. Daya Mengikat Air Daging

Daya mengikat air diukur menggunakan metode penekanan (Filter-

Paper Press method) berdasarkan metode Hamm (Abustam, 2012).

Sebanyak 300 mg sampel daging di atas kertas filter diletetakkan di antara

dua plat dengan beban seberat 35 kg/cm2. Setelah 5 menit, daerah tertutup

sampel basah dan daerah sekitarnya ditandai dan diukur dengan

planimeter. Daerah basah adalah luas daerah penyerapan air pada kertas

saring setelah dijepit selama 5 menit dikurang dengan daerah tertutup

sampel daging, sehingga kandungan air dapat dihitung dengan rumus

sebagai berikut:

mg H2O = ( )

.- 8.0

d. Susut Masak

Sebanyak 40 g sampel dimasukkan dalam plastik klip kemudian dimasak

dalam waterbath suhu 70o C selama 30 menit. Sampel yang telah dimasak

dikeluarkan dari plastik dan dibiarkan hingga sekitar 1 jam sehingga air

yang masih menempel pada bagian luar sampel telah menguap. Sampel

ditimbang untuk medapatkan nilai susut masak, yang dihitung dengan

persamaan:

% susut masak =

𝑥 100

e. Daya Putus Daging (Shear force)

Pengukuran daya putus daging menggunakan alat modifikasi CD-

Shear Force (kg/cm3). Sampel dipotong dengan panjang sekitar 2 cm,

Page 97: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

75

kemudian dimasukkan dalam lubang berdiameter 0,635 cm. Sampel

dipotong menggunakan probe pisau tumpul tegak lurus dengan serat

daging. Perhitungan daya putus daging sesuai pembacaan pada alat, dan

nilai daya putus dihitung berdasarkan persamaan: A=

Dimana, A = Daya putus daging (kg/cm2) A1 = Tekanan yang digunakan (kg) L = Luas penampang sampel (πr2) = 1,266 cm2 f. Warna Daging

Warna gelatin ditentukan dengan mengukur nilai Lightness, redness

dan yellowness yang disimbolkan dengan L*, a* dan b* menggunakan

Colorimeter.

3.1.2 Analisis Data

Data karakteristik daging pipi dianalisis secara deskriptif kuantitatif.

Untuk mengetahui hubungan antara parameter karakteristik daging pipi

maka dianalisis menggunakan korelasi Pearson.

3.2 Pengaruh Penambahan Gelatin Ikan Gabus terhadap

Karakteristik Fisik dan Kimia Sosis Meat By-Product Aplikasi gelatin terhadap meat by-product dilakukan untuk melihat

pengaruh penambahan gelatin ikan gabus terhadap karakteristik fisiko-

kimia sosis berbasis meat by-product sapi.

3.2.1 Pembuatan sosis

Meat by-product dalam hal ini daging pipi sebagai sampel daging

untuk perlakuan digunakan sebagai bahan baku pembuatan sosis. Sosis

Page 98: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

76

dibuat berdasarkan formula: Daging pipi 50%, air es 20%, lemak 20% (berat

daging), dan 20% bahan bukan daging (non-meat ingredient) terdiri dari

protein kedelai, tapioka, tepung susu, bumbu, garam, STPP dan sendawa.

Persentase gelatin kulit ikan gabus (GKG) yang digunakan adalah 0%,

1,0%, 2,0% dan 3,0% dari dari total bahan yang digunakan, dan sebagai

kontrol positif digunakan gelatin komersial bovine (GKB) 2% (Lampiran 16).

Daging pipi yang diperoleh dari Rumah Potong Hewan Tamangapa

terlebih dahulu dibersihkan, kemudian dilayukan selama 24 jam pada suhu

4±1o C. Sebelum diolah, daging pipi dibersihkan dari jaringan ikat. Bahan

sosis digiling menggunakan meat processor hingga membentuk emulsi.

Untuk mengetahui tingkat stabilitas emulsi sosis maka dilakukan uji

stabilitas menggunakan adonan yang telah siap dimasukan dalam

selongsong. Adonan yang telah membentuk emulsi kemudian dimasukkan

dalam selongsong dan dimasak dalam air bersuhu 80o˗85o C hingga

mengapung (sekitar 20 menit). Sosis yang telah matang dibiarkan dingin,

untuk kemudian dianalisis.

3.2.2 Analisis Sampel

a. Stabilitas Emulsi

Timbang adonan sampel sekitar 30 g dan ditempatkan dalam tabung

sentrifugasi 50 mL. Adonan disentrifugasi pada kecepatan 2.800 x g suhu

4 oC selama 15 menit, dengan maksud menghilangkan gelembung udara.

Tabung kemudian dipanaskan dalam waterbath selama 30 menit. Tabung

dibiarkan hingga dingin, kemudian disentrifuge dengan kembali pada

Page 99: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

77

kecepatan 2.800 x g suhu 4 oC selama 15 menit, kemudian supernatan (S)

yang terdapat dalam tabung dituang ke dalam cawan porselen. Timbang

cairan yang terlepas, dan keringkan dalam oven suhu 105o C selama 16

jam, untuk medapatkan volume air lepas (AL). Timbang kembali cawan

porselen untuk mengetahui berat lemak yang dilepas (LL). Persentase

lemak (LL) ditentukan sebagai perbedaan persentase S dan AL.

S (%) =

𝑥 100

AL (%) = [(Berat cawan porselen+S) ˗ (Berat kering cawan)] x 100

b. Kadar Proksimat

Sampel sosis dianalisis sesuai petunjuk AOAC (1995) untuk

mengetahui kandungan air, protein, lemak dan abu. Metode sebagaimana

pada uji proksimat Tahap satu dan Tahap dua

c. Susut Masak

Pengukuran susut masak sosis merujuk pada metode Asmaa et al.

(2015). Sosis yang telah siap dimasak terlebih dahulu ditimbang. Setelah

masak dibiarkan hingga dingin pada suhu ruang. Susut masak (%) =

𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑜𝑠𝑖𝑠 𝑠𝑒𝑏𝑒𝑙𝑢𝑚 𝑑𝑖𝑚𝑎𝑠𝑎𝑘 (𝑔) − 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑜𝑠𝑖𝑠 𝑠𝑒𝑡𝑒𝑙𝑎ℎ 𝑑𝑖𝑚𝑎𝑠𝑎𝑘(𝑔)

𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑜𝑠𝑖𝑠 𝑠𝑒𝑏𝑒𝑙𝑢𝑚 𝑑𝑖𝑚𝑎𝑠𝑎𝑘 (𝑔) 𝑥 100

d. Warna Sosis

Warna sosis ditentukan dengan mengukur nilai Lightness, redness

dan yellowness yang disimbolkan dengan L*, a* dan b* menggunakan

Colorimeter, yang terlebih dahulu dikalibrasi dengan plat putih. Setiap

sampel dari masing-masing ulangan perlakuan diukur sebanyak 3 kali dan

Page 100: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

78

nilai rata-rata ditentukan dengan melakukan pengamatan pada tiga lokasi

berbeda pada sampel yang diberikan.

e. Profil Textur

Daya iris dan kekenyalan diukur menggunakan Texture Analizer.

Pengukuran daya iris dilakukan dengan meletakkan sampel di bawah probe

pisau (jenis probe kode WDP) kecepatan 2 mm/s dengan jarak 25 mm dari

sampel. Untuk pengukuran kekerasan, daya kkohesif dan elastisitas maka

sampel diletakkan di bawah probe tumpul (jenis probe kode SMS 35) dan

sampel ditekan sebanyak 50% selama 5 detik pada kecepatan 2 mm/s.

Beban maksimum yang digunakan adalah 25 kg.

f. Mikrostruktur Sosis

Pengamatan mikrostruktur dilakukan menggunakan Scanning

Electron Microscope (SEM), (Ramadhan dkk., 2014). Sampel yang akan

diamati terlebih dahulu dikeringkan dengan freeze dryer. Setelah preparasi

selesai, dilakukan pelekatan sampel pada logam yang telah dilapisi lem

karbon untuk dilakukan pelapisan menggunakan emas atau logam dalam

perangkat tabung plasma hampa penghasil gelombang mikro (magnetton

sputtering device) yang dilengkapi dengan pompa vakum, pada proses

vakum terjadi loncatan logam emas ke arah sampel sehingga melapisi

emas. Proses vakum berlangsung sekitar 20 menit. Sampel yang telah

dilapisi diletakkan pada lokasi sampel dalam mikroskop elektron dan

dengan terjadinya tembakan elektron ke arah sampel maka akan terekam

ke dalam monitor dan dilakukan pemotretan.

Page 101: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

79

g. Daya Mengikat Air selama Penyimpanan Suhu Dingin

Daya mengikat air diukur menggunakan metode penekanan (Filter-

Paper Press method) berdasarkan metode Hamm (Abustam, 2012),

sebagaimana pada uji daya mengikat air daging. Untuk mengetahui

pengaruh penyimpanan sosis terhadap kemampuan sosis menahan air

maka dilakukan pengukuran daya mengikat air pada 0 hingga 28 hari.

h. pH Sosis selama penyimpanan

pH sosis diukur setiap tujuh hari penyimpanan, diawali pada hari ke

0 sampai 28 hari). Metode pengukuran pH sosis merujuk pada metode

sebagaimana pengukuran pH daging pipi, yang diulang sebanyak 3 kali.

i. Kadar reaktivitas TBA (Tibarbituric acid) sosis selama penyimpanan

Metote analisis nilai reaktivitas TBA sosis merujuk pada (Tarladgis et

al.,1960). Sebanyak 10 g sampel ditimbang dan dilumatkan bersama 50 mL

aquabides dengan hand blender selama sekitar 2 menit. Sebelum larutan

sampel didestilasi, terlebih dahulu ditambahkan 47,5 mL aquabides dan 2,5

mL HCl 4 M. Proses destilasi dilakukan dengan pemanasan selama 10

menit hingga diperoleh cairan destilat sekitar 50 mL. Destilat yang

diperoleh dihomogenkan untuk kemudian dimasukkan dalam tabung

sebanyak 5 mL. Sebanyak 5 mL larutan TBA ditambahkan ke dalam tabung

dan selanjutnya dipanaskan pada suhu 80 °C selama 30 menit dalam

waterbath. Sampel dibiarkan hingga dingin untuk kemudian diinkubasi

selama 6 hari. Blanko dibuat menggunakan 5 mL aquabides ditambahkan

dengan 5 mL larutan TBA. Nilai absorbansi (D) sampel diukur pada panjang

Page 102: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

80

gelombang 528 nm dengan larutan blanko sebagai titik awal. Larutan

sampel maupun blanko dimasukkan dalam cuvet berdiameter 1 cm. Kadar

reaktivitas TBA dinyatakan dalam mg Malonaldehyd/kg sampel. Bilangan

sampel TBA=7,8 D.

j. Aktivitas antioksidan Sosis selama Penyimpanan

Pengukuran aktivitas antioksidan merujuk pada metode DPPH

(Nahariah et al., 2014). DPPH ditimbang sebanyak 0,008 g kemudian

diencerkan ke dalam methanol sebanyak 50 mL. Absorban kontrol

diperoleh dari pengenceran DPPH dengan beberapa konsentrasi.

Pengenceran dilakukan dengan penambahan DPPH pada 9 mL methanol

dengan masing-masing konsentrasi 50 μL, 60μL, 70 μl, 80 μL, 90 μL, 100

μL. Serapan larutan diukur menggunakan spektrofotometer UV-VIS pada

panjang gelombang 515 nm. Sampel sosis sebanyak 1 g diencerkan ke

dalam 9 mL methanol dan dihomogenkan menggunakan vortex.

Pengenceran dilakukan dari 10-1 sampai 10-5. Setiap pengenceran diuji

sebanyak 0,2 mL larutan sampel ke tabung reaksi dan ditambahkan larutan

DPPH sebanyak 3,8 mL dan 0,2 mL methanol. Campuran sampel

dihomogenkan menggunakan vortex dan didiamkan selama 60 menit di

ruang gelap. Serapan larutan diukur menggunakan spektrofotometer UV-

VIS pada panjang gelombang 515 nm. Besarnya aktivitas antioksidan

dihitung dengan rumus: DPPH (%) = ( – )

x 100%

Keterangan: ADPPH = Absorbansi DPPH ASampel = Absorbansi Sampel

Page 103: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

81

3.2.3 Analisis Data

Penelitian ini bersifat percobaan di laboratorium dengan

menggunakan rancangan acak lengkap 5 perlakuan level penambahan

gelatin (0%, 1% GKG, 2% GKG, 3% GKG dan 2% GKB) dengan 3 ulangan.

Adapun untuk mengetahui pengaruh penyimpanan terhadap sosis yang

diberi level gelatin dianalisis menggunakan rancangan acak lengkap pola

faktorial 5 perlakuan level penambahan gelatin ((0%, 1% GKG, 2% GKG,

3% GkG dan 2% GKB) dan 5 perlakuan lama penyimpanan (0 hari, 7 hari,

14 hari, 21 hari dan 28 hari), dengan 3 ulangan. Data yang menunjukkan

pengaruh perlakuan nyata pada taraf P<0,05, maka akan dilanjutkan

dengan uji Duncan. Analisis SEM diuji secara deskriptif kualitatif.

Page 104: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

82

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tahap I: Karakterisasi Kulit dan Tulang Ikan Gabus pada Bobot Badan berbeda

1.1 Komposisi Kimia kulit dan Tulang Ikan Gabus

Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis komposisi kimia kulit dan

tulang ikan gabus, yang diharapkan akan menjadi informasi ilmiah

pemanfaatannya secara luas di masa datang. Suseno et al. (2014), Boran

dan Karacam (2011) menyatakan bahwa pemahaman terkait komposisi

proksimat merupakan hal penting untuk perencanaan dan komersialisasi

proses industri, sehingga menurut Yeannes dan Almandos (2003) dapat

mendukung penggunaan lebih lanjut melalui aplikasi teknologi yang

berbeda. Komposisi bahan baku juga bisa mempengaruhi kualitas dan

penanganan akhir bahan baku yang akan digunakan sesuai dengan

aplikasinya.

Ikan gabus adalah salah satu jenis ikan air tawar yang mulai

mengalami peningkatan dalam pemanfaatannya. Manfaat utamanya

sebagai sumber albumin telah mendorong dilakukannya penelitian pada

bagian-bagian tubuh lainnya sebagai upaya pemanfaatan ikan secara

keseluruhan (Haniffa et al., 2014). Sebagai produk samping hasil

pengolahan, kulit dan tulang ikan gabus dapat menimbulkan masalah jika

tidak tertangani secara baik dan tepat, tetapi mengetahui komposisi

Page 105: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

83

kimianya akan memudahkan arah penggunaan dan pemaanfaatannya

sehingga dapat memberi nilai tambah (baik nilai guna maupun nilai

ekonomis) pada potensinya yang merupakan produk samping dengan

kandungan bahan organik dan non organik yang cukup tinggi.

1.1.1 Kadar Air

Terdapat indikasi semakin bertambah bobot badan maka kadar air

ikan gabus cenderung menurun, dan kadarnya lebih tinggi pada kulit

dibanding tulang. Kadar air kulit dan tulang ikan gabus pada bobot berbeda

tersaji pada Gambar 9.

Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 1a) menunjukkan bahwa bobot

badan, dan jaringan tubuh (kulit dan tulang ikan gabus) berpengaruh nyata

(P<0,05) terhadap kadar air, tetapi tidak terdapat interaksi di antara

perlakuan.

Uji Duncan menunjukan bahwa ada perbedaan kadar air antara

bobot 300-400 g dan 600-700 g (P<0,05), tetapi antara 600-700 gr sampai

900-1.000 g tidak berbeda nyata (P>0,05). Perubahan ini dapat dijelaskan

sebagai pengaruh proses biokimia dalam tubuh dimana ikan yang lebih

kecil relatif lebih banyak membutuhkan unsur nutrisi untuk bertumbuh

dibandingkan ikan yang lebih besar, sehingga air sebagai media

transportasi berbagai konstituen dalam tubuh kadarnya lebih tinggi untuk

mendukung kegiatan tersebut.

Air adalah penyusun utama tubuh ikan (Njinkoue et al., 2016) dan

terikat secara fisik (bebas) dan kimiawi (dengan protein). Sebagai penyusun

Page 106: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

84

utama, air sangat dibutuhkan terutama pada proses metabolisme,

transportasi, dan berbagai aktivitas vital dan untuk mempertahankan sistem

keseimbangan tubuh ikan. Proses pertumbuhan menyebabkan perubahan

persentase kadar air. Pertambahan bobot badan mengakibatkan kadar air

cenderung menurun. Hal ini menurut Breck (2014) disinyalir oleh aktivitas

biokimia tubuh, dimana peningkatan massa tubuh bertanggung jawab atas

penurunan kadar air dan peningkatan kandungan protein. Saat bertumbuh,

pada banyak spesies ikan kadar lemak, protein dan energi meningkat yang

disertai oleh penurunan kadar air (Jonsson dan Jonsson, 1998).

Keterangan: Superskrip berbeda menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05) Gambar 9. Kadar air (%) ikan gabus berdasarkan jenis jaringan dan bobot

badan ikan berbeda (g/ekor). Sejumlah penelitian telah membuktikan dimana ukuran tubuh

berkontribusi terhadap komposisi kimia tubuh ikan, dan parameter yang

paling jelas adalah terjadinya penurunan kadar air tubuh dengan

bertambahnya ukuran tubuh ikan (Jonsson dan Jonsson, 1998; Naeem et

al., 2016; Salam dan Davies, 1994). Kadar air tubuh ikan muda lebih tinggi

daripada ikan yang lebih tua. Dengan demikian kadar air pada jaringan kulit

76,08±1,82b

44,11±2,20a

Jaringan

Kulit Tulang

62,26±17,09b

59,61±18,06a

58,41±17,47a

Bobot badan (g/ekor)

300-400 600-700 900-1000

Page 107: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

85

dan tulang cenderung berubah seiring dengan perubahan yang terjadi pada

tubuh ikan secara keseluruhan seiring pertambahan bobot badan. Breck

(2014) mengemukakan bahwa ukuran tubuh berpengaruh terhadap

perubahan pada komposisi kimia tubuh ikan, meskipun pada bobot antara

600-700 g/ekor dan 900-1.000 g/ekor tidak menunjukkan perbedaan kadar

air.

Tingginya kadar air pada kulit dibanding pada tulang terkait dengan

fungsi kedua jaringan yang berbeda (Gambar 9), dan ini dapat dihubungkan

dengan kebutuhan air yang berbeda pada masing-masing jaringan dalam

aktivitas biokimianya. Hal ini sejalan dengan penelitian Muyonga et al

(2004a) pada ikan nile perch (Lates niloticus) yang menunjukkan kadar air

pada kulit ikan muda lebih tinggi dibanding ikan yang lebih tua. Demikian

halnya pada tulang, sebagaimana hasil pengamatan Njinkoue et al. (2016)

pada dua jenis ikan dengan ukuran berbeda yaitu ikan Pseudotolithus

elongatus (berat 176,46 ± 4,96 g) dan Pseudotolithus typus (berat 293,14 ±

12,13 g) memperlihatkan perbedaan pada kadar air berturut-turut yaitu

55,28 ± 0,58% dan 51,21 ± 1,11%, yang cenderung lebih rendah pada ikan

dengan berat yang lebih tinggi.

1.1.2 Kadar Protein

Protein merupakan komponen tubuh utama setelah air. Kadar

protein ikan gabus cenderung tidak menunjukkan perbedaan yang berarti

pada bobot badan berbeda, tetapi jaringan kulit memiliki kadar protein lebih

Page 108: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

86

tinggi dibanding jaringan tulang ikan gabus. Kadar protein kulit dan tulang

ikan gabus pada bobot berbeda ditampilkan pada Gambar 10.

Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 1b) memperlihatkan tidak ada

pengaruh nyata (P>0,05) perbedaan bobot badan terhadap kadar protein,

tetapi antara jaringan menunjukkan ada pengaruh nyata (P<0,05), dan tidak

terdapat interaksi di antara perlakuan.

Keterangan: Superskrip berbeda menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05) Gambar 10. Kadar protein (%) ikan gabus berdasarkan jenis jaringan dan

bobot badan ikan berbeda (g/ekor).

Secara statistik pertambahan bobot badan ikan gabus tidak

menunjukkan adanya peningkatan kadar protein secara berarti. Meskipun

telah menjadi kesepakatan sejumlah peneliti (Naeem et al., 2016) bahwa

ada korelasi positif pertambahan bobot dengan peningkatan kadar protein

tubuh, tetapi pertambahan kadar protein ikan gabus dalam penelitian ini

tampaknya cukup lambat sehingga tidak menunjukkan perbedaan nyata

antara bobot yang berbeda (P>0,05). Lambatnya peningkatan kadar protein

ikan gabus seiring meningkatnya bobot badan mungkin ada kaitannya

17,45±1,30b

15,45±0,72a

Jaringan

Kulit Tulang

15,69±0,98

16,79±1,35

16,86±1,83

Bobot badan (g/ekor)

300-400 600-700 900-1000

Page 109: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

87

dengan respon tubuh mensintesis protein, atau ada hubungannya dengan

ketersediaan pakan di lingkungan tempat ikan gabus ditangkap.

Ikan gabus hasil pengamatan adalah ikan gabus yang masa

pertumbuhannya berlangsung secara alami, sehingga kebutuhan nutrisi

hanya berasal dari habitatnya. Protein merupakan salah satu bagian paling

penting dalam diet pakan ikan, karena menentukan tingkat pertumbuhan.

Secara alamiah tubuh tidak mampu mensintesisnya, sehingga ketersediaan

pakan dengan kadar protein yang cukup dan seimbang dapat meningkatkan

pertumbuhan ikan. Fenomena ini mungkin menjadi salah satu faktor

sehingga kadar protein ikan yang diamati tidak memperlihatkan

pertambahan yang berarti. Selain faktor ketersediaan pakan, jenis kelamin

juga mungkin dapat mempengaruhi kadar protein tubuh. Jenis kelamin Ikan

yang digunakan dalam penelitian ini tidak dibedakan, bahkan selama masa

penelitian berdasarkan pengamatan lapangan, jumlah ikan betina jauh lebih

banyak, terutama pada ukuran ikan bobot 600-700 g dan 900-1.000 g. Hasil

penelitian Suwandi dkk (2014) juga memperlihatkan fenomena ini, dimana

rendemen daging beberapa jenis ukuran ikan gabus menunjukkan dimana

kisaran berat 0,5-1 kg adalah antara 17,44 ±1,09% sampai 18,01 ± 0,74% dan

jantan 19,34 ± 0,51% sampai 20,14 ± 1,87%.

Kadar protein kulit lebih tinggi dibanding protein tulang. Pada

Gambar 10 memperlihatkan kadar protein kulit lebih tinggi dibanding tulang

(P<0,05). Hasil ini lebih rendah dari yang dilaporkan pada kulit ikan gabus

oleh See et al. (2010) dan Wulandari dkk. (2015), masing-masing 19,25 ±

Page 110: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

88

3,40% dan 20,36%. Tetapi, kadar protein tulang ikan gabus sedikit lebih

tinggi dari yang dilaporkan oleh Hemung (2013) pada tepung tulang ikan

tilapia yaitu 14,81 ± 0,33%, demikian halnya protein tulang ikan leather

jacket (Odonus niger) yang dilaporkan oleh Muralidharan et al. (2013) yaitu

11,86 ± 0,35%. Persentase protein tulang yang lebih rendah mungkin dapat

dikaitkan dengan proporsi mineral tulang yang relatif tinggi dibanding kulit.

1.1.3 Lemak

Terdapat kecenderungan pertambahan bobot badan ikan gabus

berkorelasi positif dengan peningkatan kadar lemak. Jaringan tulang

mengandung kadar lemak lebih tinggi dibanding kulit. Kadar lemak ikan

gabus kulit dan tulang pada bobot berbeda tersaji pada Gambar 11.

Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 1c) menunjukkan ada pengaruh

pertambahan bobot badan dan perbedaan jaringan tubuh (P<0,05)

terhadap kadar lemak ikan, dan tidak terdapat interaksi diatara keduanya.

Adanya pertambahan bobot badan cenderung mengakibatkan

terjadinya peningkatan terhadap kadar lemak ikan gabus. Hasil uji Duncan

sebagaimana pada Gambar 11, kadar lemak ikan gabus bobot 300-400 g

lebih rendah dibanding pada bobot 600-700 g (P<0,05) tetapi antara 600-

700 dan 900-1.000 g tidak berbeda nyata (P>0,05). Meskipun terdapat

kecenderungan bahwa semakin bertambah bobot badan maka kadar lemak

semakin meningkat (Abdel-Tawwab et al. 2015), tetapi kadarnya dapat

bervariasi di antara jenis ikan berbeda (Henderson dan Tocher, 1987;

Yeannes dan Almandos, 2003). Beberapa penelitian lain menunjukkan

Page 111: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

89

variasi kadar lemak pada ikan dari species berbeda antara lain Ama-Abasi

dan Ogar (2012) pada ikan gabus Nigeria (Parachanna obscura) pada

bobot 130-195 g yaitu 17,10 ± 0,01 sampai 17,40 ± 0,02 mg/100 g, dan

Zuraini et al. (2006) pada Channa striata yaitu 5,7 ± 1,9 %. Adanya

perbedaan ini dapat disebabkan oleh faktor fisiologis seperti jenis kelamin

dan reproduksi, musim dan kondisi lingkungan dimana ikan tersebut

tertangkap (Shim et al., 2017; Suseno et al., 2014; Boran dan Karaçam,

2011; Puwastien et al., 1999). Patrick Saoud et al. (2008) mengemukakan

bahwa persentase lipid dalam jaringan menurun saat pemijahan, yang

menurut Boran dan Karaçam (2011) menjadi salah satu faktor

menyebabkan komposisi kimia ikan bervariasi.

Keterangan: Superskrip berbeda menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05) Gambar 11. Kadar lemak (%) ikan gabus berdasarkan jenis jaringan dan

bobot badan ikan berbeda (g/ekor). Berdasarkan pada jenis jaringan (Gambar 11), kadar lemak pada

kulit ikan gabus lebih rendah dibandingkan pada tulangnya (P<0,05). Hasil

yang diperoleh See et al. (2010) pada kulit ikan gabus lebih tinggi yaitu 4,21

± 0,78%. Kadar lemak lebih tinggi pada tulang dibanding pada kulit ikan

2,33±1,30a

3,59±0,84b

Jaringan

Kulit Tulang

1,60±1,03a

3,69±0,59b

3,59±0,84b

Bobot badan (g/ekor)

300-400 600-700 900-1000

Page 112: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

90

gabus, menurut Toppe et al. (2007) mungkin dapat dihubungkan dengan

adanya proses absorbsi partikel ke dalam tulang selama proses fraksinasi.

kadar lemak pada beberapa jenis ikan air laut menunjukkan kadar lemak

tulang yang cukup bervariasi (Guiry et al., 2016; Toppe et al., 2007), tulang

ikan leather jacket (Odonus niger) yaitu 0,91 ± 0,02% (Muralidharan et al.,

2013) dan termasuk tepung tulang ikan tilapia kadar lemaknya yaitu 5,82 ±

0,04% (Hemung, 2013).

Untuk diketahui bahwa kulit ikan gabus cukup tipis, dan dari

penampakannya tidak mengindikasikan kemampuan jaringan untuk

menyimpan lemak dalam kapasitas besar. Pada penampakan secara

mikrostruktur (Gambar 16) dijumpai adanya partikel yang diduga sebagai

lemak, tetapi tidak menyebar secara merata. Hal ini mungkin dapat menjadi

alasan bahwa ikan gabus yang diamati termasuk jenis ikan dengan

perlemakan rendah, dibandingkan dengan beberapa jenis ikan yang

dilaporkan oleh Szpak (2011), Yeannes dan Armandos (2003). Faktor

habitat, baik ketersediaan pakan maupun kondisi fisiologis mungkin

menjadi faktor pertimbangan sehingga kadar lemak terdeposit dalam kadar

yang tinggi atau rendah pada kulit ikan. Lemak yang ditemukan pada kulit

biasanya dalam bentuk deposit lemak. Umumnya, hewan menggunakan

lemak sebagai sumber energi yang tercadang dalam tubuh mereka dan

disimpan tidak hanya di serabut otot tapi juga di jaringan adiposa seperti di

bawah kulit (Anusuya dan Hemalatha, 2014). Pada dasarnya, kandungan

lemak ikan merupakan nutrisi yang sangat diperlukan bagi proses biologis

Page 113: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

91

dalam tubuh. Namun, selama konversi kolagen menjadi gelatin, lemak tidak

diperlukan karena kehadirannya dapat mempengaruhi kualitas gelatin.

1.1.4 Kadar Abu

Kadar abu ikan gabus berdasarkan bobot badan memperlihatkan

kadar yang cenderung meningkat seiring dengan pertambahan bobot

badan. Adapun kadar abu kulit lebih rendah dibanding pada tulangnya.

Gambar 12 menyajikan hasil analisis kadar abu kulit dan tulang ikan gabus

berdasarkan bobot badan berbeda.

Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 1d) menunjukkan bahwa bobot

badan dan jenis jaringan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kadar abu

ikan gabus, dan terdapat interaksi di antara keduanya (P<0,05).

Pertambahan bobot badan cenderung menyebabkan terjadinya

peningkatan terhadap kadar abu. Hasil Uji Duncan memperlihatkan dimana

kadar abu ikan gabus bobot 300-400 g berbeda dengan bobot yang lebih

besar (P<0,05), tetapi antara bobot 600-700 g dan 900-1.000 g tidak

berbeda nyata (P>0,05). Pertambahan bobot badan menyebabkan proses

mineralisasi cenderung meningkat. Salam dan Davies (1994) yang

melakukan pengamatan pada ikan pike (Esox lucius L.) menemukan

peningkatan kadar abu yang cukup konstan, bahkan korelasinya dengan

ukuran tubuh adalah negatif sebagaimana kadar air. Hal yang sama

dijumpai oleh Naeem et al. (2016) bahwa ada hubungan negatif antara

peningkatan bobot tubuh dengan kadar air dan kadar abu. Tetapi temuan

ini tidak dapat dianggap telah mewakili secara tepat kadar abu pada ikan

Page 114: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

92

gabus pada bobot berbeda, karena adanya sejumlah faktor yang dapat

mempengaruhi, karena itu perlu validasi dengan melakukan pengamatan

berulang pada rentang bobot yang lebih beragam dan pada kondisi

fisiologis berbeda. Mungkin juga, ketersediaan mineral di habitat akan

memberi andil terhadap persentase kadar abu ikan, sebagaimana bahwa

kadar abu adalah representasi dari kandungan mineral tubuh yang

terakumulasi di dalam tubuh ikan.

Keterangan: Superskrip berbeda menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05) Gambar 12. Kadar abu (%) ikan gabus berdasarkan jenis jaringan dan

bobot badan ikan berbeda (g/ekor).

Kadar abu kulit ikan gabus sangat rendah dibanding kadar abu

tulangnya (Gambar 12). Kadar abu kulit ikan gabus sangat kecil dan sedikit

berbeda dengan hasil sebelumnya yang dilaporkan oleh See et al. (2010)

yaitu 0,55 ± 0,04%, dan Wulandari dkk. (2015) yaitu 0,67%. Boran dan

Karacam (2011) melaporkan berbagai kadar abu pada beberapa spesies

ikan laut seperti golden mullet (Mugil auratus Risso) 1,90 ± 0,21%, shad

(Alosa fallax Lacepede) 1,98 ± 0,1%, garfish (Belone belone, L.) 1,73 ±

0,54%, dan horse mackarel (Trachurus trachurus L.) 1,80 ± 0,48%. Namun,

0,34±0,21a

31,25±1,17b

Jaringan

Kulit Tulang

15,21±16,01a

16,0,5±17,34b

16,13±17,45b

Bobot badan (g/ekor)

300-400 600-700 900-1000

Page 115: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

93

Alfaro et al. (2013) menunjukkan kandungan abu di kulit ikan haram wamil

(Oreochromis urolepis hornorum) pada berat 700 ± 100 g adalah 4,2 ±

0,35%, bahkan lebih tinggi pada leader jacket yang dilaporkan oleh

Muralidharan et al. (2013) sebesar 25,03 ± 0,45%. Muralidharan et al.

(2013) Menjelaskan bahwa tingginya kandungan abu pada kulit ada

hubungannya dengan komposisi biokimia dan tingkat ketebalan kulit ikan.

Kadar abu tulang ikan gabus adalah sekitar 31,25% dari total bahan

penyusun tulang, yang lebih rendah dari kadar abu tulang ikan

Pseudotolithus elongatus dan Pseudotolithus typus yaitu berturut-turut

39,30 ± 0,44% dan 45,54 ± 0,35% (Njinkoue et al., 2016). aktivitas tubuh

yang tinggi menurut Toppe et al. (2007) seperti berenang mengindikasikan

adanya kebutuhan elastisitas tulang yang lebih baik untuk mendukung

aktivitas fisik yang tinggi, yang berimplikasi pada rendahnya kadar abu,

sebagaimana yang dijumpai pada beberapa jenis ikan. Ada interaksi antara

bobot badan dan jenis jaringan terhadap kadar abu (P<0,05), dan

menunjukkan semakin besar bobot badan ikan gabus maka kadar mineral

pada tulang cenderung semakin tinggi.

1.2 Kadar Hidroksiprolin, Kadar Kolagen, dan Kadar Kolagen

Berbasis Protein Kulit Dan Tulang Ikan Gabus pada Bobot Berbeda.

Tidak ada pengaruh peningkatan kadar hidroksiprolin terhadap

pertambahan bobot badan, sehingga ini tidak berimplikasi pada

peningkatan kadar kolagen maupun kadar kolagen berbasis protein pada

bobot ikan gabus berbeda. Hal yang sama menunjukkan kadar

Page 116: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

94

hidroksiprolin dan total kolagen pada kulit tidak berbeda dengan tulang,

tetapi kadar kolagen berbasis protein lebih tinggi pada tulang dibanding

kulit.

Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 1e, 1f dan 1g) menunjukkan

tidak ada pengaruh nyata bobot badan maupun jaringan tubuh ikan gabus

(P>0,05) terhadap kadar hidroksiprolin, kadar kolagen dan total kolagen

berbasis protein. Hasil yang sama juga menunjukkan bahwa tidak ada

pengaruh pertambahan bobot badan ikan gabus berbeda terhadap kadar

kolagen berbasis protein (P>0,05) tetapi antara kulit dan tulangnya

berpengaruh nyata (P<0,05).

Keterangan: Superskrip berbeda menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05) Gambar 13. Kadar hidroksiprolin (mg/100g) ikan gabus berdasarkan jenis

jaringan dan bobot badan ikan berbeda (g/ekor).

Uji Duncan menunjukkan tidak adanya perbedaan nyata dalam

kadar hidroksiprolin pada bobot ikan gabus berbeda (P>0,05). Tampaknya,

hal ini mengindikasikan bahwa kebutuhan ikan gabus terhadap asam amino

hidroksiprolin untuk proses metabolism tubuh selama masa

pertumbuhannya relatif sama diantara ukuran bobot ikan gabus yang

11,64 ± 0,43

11,51 ± 0,89

Jaringan

Kulit Tulang

11,86±0,69

11,35±0,83

11,54±0,52

Bobot badan (g/ekor)

300-400 600-700 900-1000

Page 117: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

95

diamati. Demikian pula pada kulit dan tulang tidak menunjukkan adanya

perbedaan pada kadar asam amino ini (P>0,05), sebagaimana yang

ditampilkan pada Gambar13.

Kadar hidroksiprolin kulit ikan gabus adalah 11,64 ± 0,43 mg/100 g

sampel, relatif berbeda dari yang dilaporkan oleh Blanco et al. (2017) pada

kulit beberapa jenis ikan laut, yaitu 1,23 ± 0,11 % pada paus biru (Prionace

glauca), 1,85 ± 0,14 % pada small-spotted catshark (Scyliorhinus canicula),

2,69 ± 0,26 % pada yellowfin tuna (Thunnus albacares) dan 1,08 ± 0,16 %

pada swordfish (Xiphias gladius), atau yang dilaporkan oleh Silva et al.

(2014) yaitu 12,1 ± 0,3 mg/kg pada Rachycentron canadum dan 11,6 ± 0,2

mg/kg pada Micropogonias furnieri. Kadar hidroksiprolin tulang ikan gabus

adalah 11,51 ± 0,89 mg/100 g, dibandingkan dengan kadar hidroksiprolin

tulang ikan turbot (Scophthalmus maximus L.) muda yaitu 5,601 ± 0,130

(g/kg basis basah) sebagaimana yang dilaporkan Zhang et al. (2015).

Adanya perbedaan kadar hidroksiprolin antara jenis ikan berbeda

menunjukkan bahwa kebutuhan masing-masing ikan dan habitat hidupnya

berpengaruh terhadap kadar asam amino tersebut.

Hidroksiprolin adalah asam amino hasil sintesis dari prolin dengan

bantuan enzim prolyl-hydroksilase sebagai katalis, dan sebagai ko-

faktornya adalah zat besi, asam askorbat dan oksigen (Albaugh et al., 2017;

Zhang et al., 2015). Kedua asam amino ini menurut Li et al. (2009) dianggap

merupakan asam amino esensial kondisional (Conditionally Essential

Amino Acid, CEAA), karena asam amino ini menurutnya harus ada dalam

Page 118: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

96

diet akibat tingkat pemanfaatannya lebih besar dari yang mampu disentesis

oleh tubuh. Ini telah dibuktikan oleh Aksnes et al. (2008) dan Blanco et al.

(2017) terhadap suplementasi hidroksiprolin, dan mengindikasikan adanya

peningkatan pada kadar hidroksiprolin jaringan dan kadar kolagen yang

terkandung dalam otot ikan. Hidroksiprolin adalah salah satu asam amino

penting dan unik, dan bersama prolin merupakan penyusun utama protein

kolagen tubuh yang berfungsi mempertahankan struktur dan fungsi sel (Wu

et al. 2011).

Secara statistik bobot berbeda menunjukkan tidak ada perbeda

nyata (P>0,05). Adanya kesamaan kadar kolagen pada bobot berbeda

diduga tidak lepas dari kadar hidroksiprolin sebagai faktor kunci yang

berkontribusi terhadap kolagen tubuh, sebagaimana bahwa kadar

hidroksiprolin pada bobot berbeda menunjukkan tidak ada perbedaan, disisi

lain tubuh cenderung mengalami pertumbuhan. Faktor lain mungkin dapat

dikaitkan dengan kemampuan tubuh dalam mensitesis dan ketersediaan

sumber makanan di habitatnya. Kadar kolagen ikan gabus lebih rendah dari

yang telah dilaporkan oleh Blanko et al. (2017) pada beberapa jenis ikan

laut. Adanya perbedaan kadar kolagen ini dapat dikaitkan dengan

sturktur/tipe kolagen yang berbeda, tergantung pada species, jenis organ

maupun lingkungan hidup ikan (Blanko et al., 2017; Duan et al., 2009), dan

faktor teknis-analisis serta komposisi asam iminonya (Liu et al., 2015).

Uji Duncan menunjukkan tidak ada perbedaan total kadar kolagen

antara kulit dan tulang ikan gabus (P>0,05), tetapi kadar kolagen berbasis

Page 119: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

97

protein pada tulang cenderung lebih tinggi dibanding pada kulit (P<0,05).

Kadar kolagen kulit ikan gabus adalah sekitar 9,53 ± 0,18% atau setara

dengan 53,62 ± 1,40% dari total protein kulit; sedangkan pada tulang ikan

gabus adalah sekitar 8,90 ± 0,32%, atau setara dengan 59,81 ± 0,99% dari

total protein tulang. Perbedaan kadar kolagen berbasis protein antara kulit

dan tulang ikan gabus mungkin ada kaitannya dengan kebutuhan pada

masing-masing bagian tubuh untuk aktivitas biologisnya, atau faktor

ketersediaaan sumber pakan di lingkungan yang mengindikasikan bahwa

ada perbedaan kebutuhan asam amino tersebut untuk aktivitas yang

berbeda, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.

Keterangan: Superskrip berbeda menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05) Gambar 14. Kadar kolagen (%) ikan gabus berdasarkan jenis jaringan dan

bobot badan ikan berbeda (g/ekor).

Kolagen adalah salah satu jenis protein jaringan ikat selain elastin

dan retikulin (Ockerman dan Hansen, 2000), dan persentase kolagen lebih

besar dibanding keduanya, yaitu sekitar 30% dari protein kolagen tubuh

(Wu et al., 2011). Kadar kolagen pada setiap species dapat berbeda,

tergantung lingkungan hidupnya; demikian pula pada setiap bagian dari

9.53± 0,18

8,85 ± 0,84

Jaringan

Kulit Tulang

9,49±0,55

9,08±0,66

9,21±0,41

Bobot badan (g/ekor/)

300-400 600-700 900-1000

Page 120: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

98

individu yang sama, tergantung pada fungsi masing-masing bagian

tersebut. Serabut kolagen berfungsi sebagai penyokong, sekaligus

penghubung dan pengikat dengan bagian tubuh lainnya. Serabut kolagen

pada kulit ikan terkoneksi dengan otot dan tulang (Elliot, 2011). Hal ini

pulalah yang menyebabkan kadar kolagen pada kulit dan tulang relatif

berbeda. Perbedaan kadar kolagen dapat berimplikasi pada jumlah protein

yang dapat diekstrak.

Kolagen merupakan protein khas yang hanya terdapat pada jaringan

ikat dengan untaian asam amino yang dicirikan oleh adanya asam amino

glisin, prolin dan hidroksiprolin, dan untuk memastikan adanya kolagen

maka menurut Albaugh et al. (2017) uji asam amino hidroksiprolin adalah

cara yang tepat untuk menandainya.

Keterangan: Superskrip berbeda menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05) Gambar 15. Kadar kolagen berbasis protein (%) ikan gabus berdasarkan

jenis jaringan dan bobot badan ikan berbeda (g/ekor).

Telah dijelaskan di atas bahwa kadar kolagen berbasis protein pada

tulang ikan gabus cenderung lebih tinggi dibanding kolagen berbasis protein

pada kulit. Perbedaan ini terkait dengan fungsi kedua jenis jaringan yang

53,62±1,40a59,81

±0,99b

Jaringan

Kulit Tulang

60,83±7,21

54,34±5,84

54,98±3,99

Bobot badan (g/ekor)

300-400 600-700 900-1000

Page 121: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

99

berbeda. Tampaknya tulang membutuhkan kolagen yang lebih banyak

untuk mendukung fungsi biologisnya sebagai pelindung dan penyanggah

tubuh dibanding pada kulit. Ada korelasi proses mineralisasi dengan

keberadaan kolagen dalam tulang, Olszta et al. (2007) mengemukakan

bahwa fibril kolagen menjadi tempat dimana kristal hidroksiapatit ditanam,

dan keberadaan kolagen menurut Gautieri et al. (2010) merupakan sarana

penyangga bagi berlangsungnya aktivitas fisiologi tulang dalam memberi

tekanan geser antara kristal hidroksiapapit dan untuk membuang energi

mekanik melalui pembongkaran molekuler dan geser antarmolekul.

1.3 Profil Asam Amino

Asam amino adalah representasi dari kandungan protein. Ikan gabus

merupakan sumber asam amino potensial dengan manfaatnya dalam

pengobatan dan penyembuhan luka. Profil asam amino kulit dan tulang ikan

pada bobot berbeda tersaji pada Tabel 2.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kulit dan tulang ikan gabus

termasuk bagian dari sisa hasil pengolahan yang mengandung asam-asam

amino dengan kadar yang cukup tinggi pada kulit dan relatif rendah pada

tulangnya (Lampiran 2). Terdapat 18 jenis asam amino yang diidentifikasi

dari metode yang digunakan. Kulit dan tulang ikan gabus mengandung

semua asam amino esensial (histidin, arginin, treonin, lisin, metionin, valin,

isoleusin, leusin, phenilalanin dan triptofan), beberapa asam amino non

esensial (serin, asam aspartate, asam glutamate, alanine, dan tirosin) dan

asam amino esensial secara kondisional (glisin, prolin dan sistin). Glisin,

Page 122: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

100

prolin dan sistin (termasuk hidroksiprolin) menurut Li et al. (2009), Li dan

Wu (2017) sekarang ini telah dianggap sebagai asam amino esensial bagi

sejumlah hewan termasuk di antaranya ikan, sebagaimana pembuktian

yang telah dilakukan oleh Aksnes et al. (2008), Liu et al. (2014), Xie et al.

(2016), Zhang et al. (2015). Meskipun kadar asam amino pada kulit lebih

tinggi dibandingkan tulang, tetapi antara asam-asam amino yang sama

relatif berada pada kisaran yang tidak berbeda jauh, sebagaimana yang

terdapat pada Tabel 2.

Tabel 2. Profil kandungan asam amino kulit dan tulang ikan gabus pada bobot badan berbeda (residu/100 residu)

Asam amino Kulit ikan gabus Tulang ikan gabus A B C A B C Histidin 1,18 1,26 1,19 1,54 1,48 1,53 Serin 4,10 4,10 3,97 4,18 4,10 4,16 Arginin 8,40 8,70 8,25 7,46 7,24 7,78 Glisin 24,49 24,83 23,81 22,48 21,33 23,34 Asam aspartate 5,46 5,33 6,02 6,21 6,76 5,71 Asam glutamate 10,89 10,62 11,67 12,03 12,84 11,50 Threonin 3,53 3,49 3,37 3,60 3,54 3,66 Alanin 9,83 9,64 10,12 9,67 9,88 9,57 Prolin 12,79 12,66 12,33 11,84 11,45 12,12 Sistin 0,05 0,04 0,03 0,07 0,04 0,06 Lisin 5,67 5,09 5,49 5,51 5,92 5,22 Tirosin 0,11 1,02 0,96 1,43 1,43 1,43 Metionin 1,64 1,72 1,58 1,45 1,41 1,57 Valin 3,09 2,89 2,83 3,25 3,22 3,19 Isoleuin 2,08 1,91 1,86 2,18 2,21 2,14 Leusin 3,68 3,42 3,32 3,88 3,92 3,84 Phenilalanin 2,90 3,18 3,11 3,05 3,10 3,05 Triptophan 0,10 0,11 0,10 0,16 0,13 0,12 Total 100 100 100 100 100 100

Ketarangan: A: Kulit dan tulang dari ikan gabus bobot badan 300-400 g/ekor; B: Kulit dan tulang ikan gabus bobot badan 600-700 g/ekor; C: Kulit dan tulang dari ikan gabus bobot badan 900-1.000 g/ekor.

Page 123: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

101

Asam amino memiliki fungsi vital dalam proses biokimia (Mat Jais et

al., 1994). Mereka juga merupakan prekursor penting untuk sintesis

berbagai molekul serta regulasi berbagai fungsi metabolik, seperti

kesehatan, pertumbuhan, perkembangan, reproduksi, dan homeostasis

(Wu, 2009; Haniffa et al., 2014; Zuraini et al., 2006). Kulit dan tulang ikan

gabus mengandung asam amino yang hampir lengkap sebagaimana yang

dijumpai pada daging ikan gabus (Zuraini et al., 2006; Tan dan Azhar, 2014;

Mat Jais et al., 1994; Gam et al., 2005), meskipun masing-masing jaringan

tersebut memiliki mekanisme dan fungsi yang berbeda, karena terkait

dengan komposisi masing-masing asam aminonya.

Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa asam amino yang

paling banyak ditemukan pada kulit dan tulang ikan gabus adalah glisin.

Glisin adalah asam amino penyusun semua jenis kolagen dan elastin serta

berperan penting dalam nutrisi dan metabolisme (Li dan Wu, 2017).

Beberapa literatur masih mencantumkan bahwa glisin termasuk asam

amino non esensial karena secara endonegeus dapat disintesis di dalam

tubuh (Wu et al., 2013), tetapi penelitian terbaru membuktikan bahwa

jumlah glisin yang disintesis secara in vivo tidak cukup untuk sintesis protein

(termasuk kolagen), glutathione dan heme (Liu et al., 2017) sehingga glisin

menjadi pertimbangan dalam diet hewan.

Proline tidak hanya berfungsi sebagai komponen utama senyawa

kolagen, tetapi juga berfungsi dalam penyembuhan luka, reaksi

antioksidan, dan respon kekebalan (Wu et al., 2011; Li dan Wu, 2017), dan

Page 124: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

102

merupakan substrat utama untuk produksi arginin yang diperlukan dalam

mempertahankan hemodinamika normal dan transportasi nutrient dalam

tubuh (Li dan Wu, 2017). Prolin (bersama dengan glisin dan hidroksiprolin)

adalah asam amino utama dalam protein kolagen, mengandung tiga rantai

polipeptida (dua rantai α1 dan satu rantai α2) dan merupakan komponen

ekstraselular utama pada jaringan ikat seperti kulit dan tulang (Wu et al.,

2011). Prolin bersama dengan hidroksiprolin penting untuk biosintesis,

struktur, dan kekuatan kolagen, serta memperkuat karakteristik heliks dari

molekul kolagen (Albaugh et al., 2017)

Glutamat termasuk asam amino utama pada pangan hewani,

ditemukan tinggi pada tulang maupun kulit ikan gabus. Asam amino ini

termasuk asam amino non esensial, dan merupakan substrat bagi sejumlah

asam amino lain termasuk prolin (Wu et al., 2011). Persentase glutamate

pada kulit ikan gabus adalah tertinggi ketiga setelah prolin, tetapi pada

tulang kadarnya sedikit lebih tinggi dari prolin. Kadar glutamate pada kulit

dan tulang sedikit lebih tinggi dari glutamate yang ditemukan dalam casein

yaitu 9,38 ± 0,12% (Li et al., 2011). Glutamat kulit relatif semakin meningkat

dengan bertambahnya bobot badan, tetapi pada tulang cenderung terjadi

sedikit penurunan dengan pertambahan bobot badan. Glutamat termasuk

asam amino yang menghasilkan cita rasa kuat (umami). Kadar glutamate

yang tinggi pada kulit atau tulang ikan gabus mungkin dapat menjadi

pertimbangan memanfaatkan produk turunannya menjadi produk enhancer.

Page 125: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

103

Asam amino alanine dan aspartate cenderung meningkat pada kulit

ikan gabus, tetapi cenderung menurun pada tulangnya seiring dengan

pertambahan bobot sebagaimana alanin dan asam aspartate pada daging

ikan gabus yang juga cenderung menurun seiring dengan meningkatnya

ukuran tubuh (Gam et al., 2005). Arginine adalah asam amino penting

lainnya, berperan dalam sintesis prolin, yang juga selanjutnya dapat

mensintesis hidroksiprolin (Li dan Wu, 2017) yang digunakan dalam

pembentukan jaringan ikat (Gam et al., 2005). Asam amino ini bersama

dengan asam amino lain seperti valin, histidin, glisin, prolin, dan alanin

secara sinergis menginduksi pembentukan jaringan baru untuk

penyembuhan luka (Gam et al., 2005). Arginin termasuk asam amino

esensial, kadarnya pada kulit cenderung tinggi pada bobot 600-700 g

dibanding pada bobot 300-400 g dan terendah pada bobot 900-1.000 g;

adapun pada tulang cenderung meningkat dengan bertambahnya bobot

badan.

Lisin dan metionin termasuk asam amino esensial lain yang

dianggap penting dan merupakan indikator kualitas protein ikan (termasuk

hewan secara umum) (Shim et al., 2017). Asam amino ini pada kulit dan

tulang dijumpai dalam kadar yang lebih rendah (Tabel 4) dibanding pada

daging ikan gabus, yaitu sekitar 9,70 ± 0,57 % pada lisin dan 3,40 ± 0,11

pada metionin (Haniffah et al., 2014).

Jenis asam amino penting lainnya adalah sistein dan triptofan,

dengan kadar keduanya yang sangat kecil (< 1%), baik pada kulit maupun

Page 126: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

104

tulang ikan gabus. Baik sistein maupun triptofan hasil penelitian Toppe et

al. (2007) pada beberapa jenis tulang ikan laut menunjukkan kadar yang

relatif tinggi. Rendahnya kadar kedua asam amino ini diduga dapat

disebabkan oleh faktor seperti rusak selama hidrolisis asam; atau

ketersediaannya dalam makanan yang kurang memadai. Terdapat

perbedaan kadar sistein pada kulit atau tulang ikan gabus dengan daging

ikan gabus, sebagaimana hasil penelitian Haniffah et al. (2014) yaitu 0,90 ±

0,15%, dan yang dilaporkan Mat Jais et al. (1993) pada daging ikan gabus

sub-spesies berbeda dengan C. striatus yaitu 3,83 ± 0,17% dan pada C.

melanosoma yaitu 3,56 ± 0,11%.

1.4 Mikrostruktur Kulit dan Tulang Ikan Gabus

Pengamatan mikrostruktur kulit ikan gabus menggunakan scanning

elektron mikroscopis (SEM) disajikan pada Gambar 16. Profil mikrostruktur

kulit ikan gabus menyerupai fibril dengan penampang serat lebih panjang

yang merupakan jaringan ikat yang mengandung kolagen Gambar 16-b.

Selain serat, kulit ikan gabus juga memperlihatkan dengan sejumlah

endapan yang diduga sebagai deposit lemak dengan struktur menyerupai

bintik putih (Gambar 16-a). Bintik-bintik putih ini merupakan endapan lipid

di bawah kulit, yang cenderung menjadi kontributor lipid setelah proses

ekstraksi kulit menjadi gelatin.

Page 127: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

105

A B C

D E F Gambar 16. Mikrostruktur Kulit dan Tulang Ikan Gabus (Perbesaran ×

500). Sampel kulit ikan gabus ukuran 300-400 g/ekor (A); 600-700 g/ekor (B); 900-1.000 g/ekor (C); sampel tulang ukuran 300-400 g/ekor (D); 600-700 g/ekor (E) 900-1.000 g/ekor (F); deposit lemak(a); jaringan ikat kulit tempat kolagen diinvenstasikan bersama dengan penyusun jaringan ikat yang lain (b); komposit organik-anorganik penyusun tulang (c); kristal hidroksiapatit yang terinvestasi dalam bundle kolagen (d).

Mikrostruktur jaringan tulang ikan (Gambar 16-C, 16-D dan 16-E)

sulit diidentifikasi karena matrik jaringan tulang ikan yang sangat padat,

dimana antara mineral (hidroksiapatite) dengan bahan organik lain (protein,

lemak, karbohidrat dan air) saling menyatu dalam bentuk komposit (16-c).

Secara umum, kulit dan tulang ikan gabus adalah sumber kolagen

potensial. Sejumlah penelitian telah menguatkannya antara lain oleh Duan

et al. (2009), Kittiphattanabawon et al. (2005), Muralidharan et al. (2013).

a

a a

a b

b

b

c

d

d

d

c

c

Page 128: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

106

Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa

kolagen merupakan penyusun utama jaringan ikat dalam bentuk jaringan

matriks ekstraselluler. Mereka tersusun atas untaian fibril yang terdiri dari

rangkaian heliks yang diperankan oleh tiga asam amino utama, glisin, prolin

dan hidroksiprolin.

Kolagen adalah salah satu protein utama jaringan ikat, terdiri dari

fibril dan tersusun dalam rangkaian heliks yang membentuk struktur

jaringan yang kuat dan elastis, sayangnya pada Gambar 16 rangkaian ini

tidak nampak karena keterbatasan tingkat perbesaran sampel. Jaringan

ikat kebanyakan ditemukan di lapisan dermis dan merupakan penyusun

utama kulit (Elliot, 2011) yang memberi kekuatan dan kelenturan pada kulit

ikan. Pada tulang, protein yang didominasi oleh kolagen merupakan

komposit penyusun bersama dengan bahan anorganik (hidroksiapatite)

bersama protein non-kolagen (Olszta et al., 2007) lemak dan air (Szpak,

2011).

Kolagen bersama dengan mineral menyusun matriks tulang yang

memberi kekuatan dan elastisitas pada tulang sehingga tulang tidak

menjadi kaku. Tidak ada perbedaan yang mencolok antara mikrostruktur

sampel pada bobot badan berbeda baik pada kulit maupun tulang. Namun,

Suárez et al. (2015) menyarankan bahwa umur ikan menjadi faktor yang

perlu dipertimbangkan; termasuk kegiatan budidaya menjadi penting

dengan pertimbangan diet yang tepat dalam rangka mengarahkan potensi

dan tujuan pemanfaatan.

Page 129: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

107

1.5 Kandungan Mineral Kulit dan Tulang Ikan Gabus

Kandungan abu dari bahan anorganik adalah akumulasi mineral

yang terkandung dalam bahan baku. Secara umum, SEM-EDS (Scanning

Electron Microscopis-Energy Dispersive Spectroscopy) dapat mendeteksi

adanya sejumlah mineral yang terkandung dalam kulit dan tulang yang

diamati, tetapi hanya mampu menjangkau pada bagian permukaan saja.

Kelemahan alat ini mengakibatkan sulitnya memprediksi kadar mineral

sampel berdasarkan satuan bobot sampel. Distribusi mineral pada

permukaan sampel yang diamati tidak seragam, baik secara jenis maupun

kuantitas, dikarenakan sampel uji yang dianalisis dalam bentuk tepung

dengan tingkat homogenitas yang relatif tidak merata. Tetapi setidaknya

alat ini dapat membantu memprediksi kandungan mineral dari suatu bahan

material.

Berdasarkan data perkiraan mineral pada Tabel 3 menunjukkan

kandungan mineral tertinggi terdapat pada tulang yaitu kalsium kemudian

fosfor, adapun mineral lain berada dalam kisaran yang lebih rendah. Mineral

kalsium dan fosfor juga relatif tinggi pada kulit, meskipun kulit dari bobot

600-700 g memperlihatkan kadar forfor yang cukup rendah dibanding bobot

lain. Adanya perbedaan ini mungkin dapat dihubungkan dengan

terbatasnya kemampuan kerja alat mendeteksi hingga bagian terdalam dari

sampel serta tingkat kehomogenan sampel yang diamati. Hal ini juga terjadi

pada jenis mineral lainnya.

Page 130: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

108

Sejumlah mineral sebagaimana pada Tabel 3 adalah mineral penting

yang dibutuhkan oleh tubuh, meskipun beberapa di antaranya seperti

titanium termasuk mineral yang terinduksi masuk dalam tubuh ikan gabus

sehingga dijumpai ada dalam sampel uji. Mengetahui kandungan mineral

kulit dan tulang akan bermanfaat terutama sebagai informasi awal, apakah

bahan baku ini aman dari paparan sejumlah logam berat yang dapat

terakumulasi dalam produk turunan kulit dan tulang yang akan dihasilkan.

Tabel 3. Komposisi mineral (%) yang terkandung dalam kulit dan tulang ikan yang diestimasi menggunakan SEM-EDS

Mineral Kulit ikan gabus Tulang ikan gabus A B C A B C Kalsium (Ca) Fosfor (P) Magnesium (Mg) Natrium (Na) Kalium (K) Belerang (S) Klorin (Cl) Besi (Fe) Mangan (Mn) Aluminium Al) Chromium (Cr) Silikon (Si) Titanium (Ti)

5,60 6,29 2,10 5,51 3,14 8,99 3,38 nd 3,15 nd 1,16 nd nd

5,50 2,74 1,37 4,66 2,58 2,82 2,52 nd nd nd nd nd 4,00

4,28 6,27 4,45 7,43 1,29 6,31 1,92 nd nd 4,46 nd 2,34 0,74

22,00 12,95 1,34 2,59 0,41 0,44 0,05 nd nd 0,41 nd 0,21 nd

18,58 12,44 1,76 2,87 0,51 0,61 0,32 nd nd 0,69 nd 0,44 0,18

21,74 12,82 1,29 2,33 0,63 0,53 nd 0,18 0,13 0,35 0,09 0,12 nd

Keterangan: A: Kulit dan tulang dari ikan gabus bobot badan 300-400 g/ekor; B: Kulit dan tulang ikan gabus bobot badan 600-700 g/ekor; C: Kulit dan tulang dari ikan gabus bobot badan 900-1.000 g/ekor. nd= tidak terdeteksi

Rivas et al. (2014) menyatakan bahwa mineral memainkan peran

penting dalam proses metabolisme, dan bertanggung jawab untuk

mengendalikan fungsi biologis tubuh. Sejumlah mineral menurut Atanasoff

et al. (2013) tidak terpengaruh oleh bobot ikan namun dapat dikaitkan

Page 131: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

109

dengan faktor-faktor seperti musim, usia, kondisi reproduksi, sumber

pakan, dan habitat ikan.

Tahap II: Penentuan Suhu dan Waktu Ekstraksi Terbaik terhadap

Karakteristik Gelatin Kulit dan Tulang Ikan Gabus 2.1 Pengaruh Suhu dan Waktu Ekstraksi terhadap Rendemen,

Kekuatan Gel, Viskositas dan pH Gelatin Kulit dan Tulang Ikan Gabus

Kualitas dan kuantitas gelatin ditentukan oleh jenis bahan baku,

metode yang digunakan serta parameter proses yang diterapkan. Beberapa

karakteristik utama seperti kekuatan gel, rendemen, viskositas dan pH

gelatin telah diamati dalam penelitian ini untuk menjadi informasi penting

dan dapat menjadi acuan dalam menghasilkan gelatin kulit dan tulang ikan

gabus.

Metode perlakuan mulai dari awal hingga akhir proses ekstraksi

untuk menghasilkan gelatin yang berkualitas telah dilakukan oleh sejumlah

peneliti. Variasi penggunaan larutan pre-treatment maupun suhu dan lama

ekstraksi adalah metode konvensional yang masih digunakan untuk

merubah kolagen menjadi gelatin. Dalam penelitian tahap ini, telah

dilakukan penelitian tentang pengaruh suhu dan waktu ekstraksi berbeda

untuk melihat pengaruhnya terhadap kuantitas (rendemen) dan kualitas

(kekuatan gel, viskositas dan pH) gelatin ikan gabus. Nilai kekuatan gel

tertinggi dijadikan acuan bagi sampel gelatin untuk dianalisis lebih lanjut.

Arah penelitian ini adalah menghasilkan gelatin yang sesuai untuk dijadikan

sebagai binder dalam pengolahan daging. Berdasarkan standard yang

Page 132: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

110

ditetapkan oleh GMIA (2012) kekuatan gel gelatin yang dapat digunakan

sebagai binder dalam pengolahan daging termasuk sosis adalah 175-275

g.

2.1.1 Rendemen Gelatin Ikan Gabus

Rendemen gelatin yang dihasilkan dalam proses konversi kolagen

kulit dan tulang ikan gabus menjadi gelatin menggunakan suhu dan waktu

ekstraksi berbeda memperlihatkan kecenderungan rendemen gelatin kulit

lebih tinggi dibanding rendemen tulang. Rendemen gelatin kulit dan tulang

ikan gabus yang dipengaruhi oleh suhu dan waktu ekstraksi tersaji pada

Gambar 17.

Hasil analisis keragaman menunjukkan ada pengaruh nyata antara

komponen bahan baku, suhu dan waktu secara independen terhadap

rendemen gelatin yang dihasilkan (P<0,05), demikian juga interaksi antara

bahan baku dan waktu (P<0,05), dan interaksi antara bahan baku dan suhu

(P<0,05), tetapi interaksi antara suhu dan waktu, dan interaksi antara bahan

baku, suhu dan waktu tidak berpengaruh nyata terhadap rendemen gelatin

(P>0,05).

Rendemen gelatin kulit dan tulang ikan gabus dipengaruhi oleh jenis

bahan baku, suhu dan waktu ekstraksi. Karim dan Bhat (2009);

Kołodziejska et al. (2008) menjelaskan bahwa konversi kolagen menjadi

gelatin dapat dipengaruhi oleh parameter pengolahan, antara lain sifat

bahan baku dan metode ekstraksi, termasuk kondisi pre-treatment, serta

suhu dan waktu ekstraksi. Penggunaan bahan baku yang berbeda

Page 133: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

111

menghasilkan rendemen yang berbeda, dan hasil penelitian menunjukkan

rendemen gelatin kulit ikan gabus lebih tinggi dibanding gelatin tulang ikan

gabus.

Perlakuan suhu ekstraksi terhadap rendemen gelatin

memperlihatkan adanya perbedaan antara perlakuan, dimana semakin

tinggi suhu ekstraksi, rendemen gelatin cenderung semakin meningkat. Hal

yang sama pada perlakuan waktu ekstraksi, menunjukkan adanya

perbedaan rendemen pada setiap perlakuan, semakin lama waktu ekstraksi

maka rendemen gelatin juga semakin meningkat. Suhu terbaik untuk

menghasilkan rendemen tertinggi pada kulit dan tulang adalah 70 ºC.

Page 134: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

112

Tabel 4. Pengaruh perlakuan suhu dan waktu ekstraksi terhadap rendemen (%) gelatin kulit dan tulang ikan gabus.

Bahan baku Suhu (°C) Waktu

Sub rata-rata Rata-rata total 12 18 24

50 2,57 ± 0,26 2,63 ± 0,37 3,19 ± 0,32 2,80 ± 0,41c Tulang 60 3,78 ± 0,17 4,79 ± 0,12 6,46 ± 0,32 5,01 ± 1,19d 5,49 ± 2,67a

70 8,19 ± 0,18 8,91 ± 0,23 8,90 ± 0,11 8,66 ± 0,39e

Sub rata-rata tulang

4,85 ± 2,57D 5,44 ± 2,77D 6,18 ± 2,49E

50 14,22 ± 0,81 16,06 ± 1,09 16,30 ± 0,33 15,52 ± 1,20f Kulit 60 14,33 ± 0,06 16,64 ± 0,07 16,70 ± 0,94 15,89 ± 1,26f 16,45 ± 1,51b

70 16,83 ± 2,15 18,25 ± 0,27 18,70 ± 0,50 17,93 ± 1,40g

Sub rata-rata kulit 15,12 ± 1,21F 16,98 ± 1,13G 17,23 ± 1,25G

Sub rata-rata 8,40 ± 6,40 9,35 ± 7,39 9,75 ± 7,18

(waktu*suhu) ns 9,06 ± 5,78 10,72 ± 6,49 11,58 ± 5,64 12,51 ± 4,93 13,58 ± 5,12 13,80 ± 5,38

Sub rata-rata 9.16 ± 6.61h

(Suhu) 10.45 ± 5.72i

13.30 ± 4.87j

Sub rata-rata (waktu)

9,98 ± 5,70A 11,21 ± 6,28B 11,71 ± 6,00C

Kerangan: a-b Huruf yang berbeda antara bahan baku berbeda menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05). A-C Huruf kapital yang berbeda pada waktu ekstraksi berbeda menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05). D-G Huruf kapital yang berbeda pada interaksi antara bahan baku dan waktu berbeda menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05). c-g Huruf yang berbeda pada interaksi antara bahan baku dan suhu ekstraksi menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05). h-j Huruf yang berbeda pada suhu ekstraksi berbeda menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05). ns adalah tidak berbeda nyata (P>0,05).

Page 135: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

113

Gambar 17. Pengaruh perlakuan suhu dan waktu ekstraksi terhadap

rendemen (%) gelatin kulit dan tulang ikan gabus

Rendemen adalah salah satu faktor penting yang selalu

dipertimbangkan pada konversi kolagen menjadi gelatin karena terkait

dengan efektivitas proses yang diterapkan dan keuntungan secara

ekonomis. Hasil penelitian pada interaksi antara bahan baku dan suhu

ekstraksi menunjukkan adanya perbedaan terhadap rendemen gelatin yang

dihasilkan. Antara gelatin kulit ikan gabus dan tulang ikan gabus yang

diekstraksi pada suhu yang sama menghasilkan rendemen yang berbeda.

Rendemen gelatin kulit ikan gabus lebih tinggi dibanding gelatin tulang ikan

gabus. Berbedanya rendemen kulit dan tulang disebabkan karena

perbedaan karakteristik dari kedua jenis bahan baku, dan menurut

Muyonga et al. (2004a) ini terkait dengan jumlah dan tipe crosslink dari

masing-masing kulit dan tulang sehingga mempengaruhi tingkat kelarutan

kolagen selama proses ekstraksi. Selama proses ekstraksi, suhu

mempengaruhi tingkat solubilitas kolagen, dimana tingginya suhu

2.573.78

8.19

14.22 14.33

16.83

2.63

4.79

8.91

16.06 16.6418.25

2.8

5.01

8.66

16.3 16.7

18.7

0

2

4

6

8

10

1214

16

18

20

50 ºC 60 ºC 70 ºC 50 ºC 60 ºC 70 ºC

Tulang Kulit

Rend

emen

(%)

12 jam 18 jam 24 jam

Page 136: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

114

menyebabkan struktur ikatan kolagen terbuka yang mengakibatkan

terlepasnya ikatan dari molekul protein kolagen.

Semakin lama waktu ekstraksi, rendemen yang diperoleh cenderung

meningkat, baik pada kulit maupun tulang ikan gabus. Waktu ekstraksi

merupakan faktor yang paling nyata mempengaruhi rendemen gelatin yang

diperolen (Hanjabam et al., 2015; Ahmad dan Benjakul, 2011); demikian

halnya semakin tinggi suhu yang digunakan maka rendemen gelatin

cenderung meningkat. Selama proses ekstaksi dalam waterbath ikatan

hidrogen yang menstabilkan triple helix kolagen induk mengalami

kerusakan, menyebabkan terjadinya transisi dari heliks ke koil, sehingga

terjadi konversi kolagen menjadi larutan gelatin (Benjakul et al., 2009).

Lama esktraksi untuk menghasilkan rendemen gelatin terbaik pada kulit

adalah 18 jam, sedangkan pada tulang 24 jam.

Meskipun kedua jenis bahan baku ini menunjukkan respon yang

sama terhadap peningkatan rendemen sebagai efek suhu dan waktu yang

meningkat, tetapi secara umum, rendemen tulang relatif lebih rendah

dibanding rendemen kulit. Kulit tersusun atas bahan organik yang mudah

mengalami denaturasi akibat perlakuan kimiawi dibanding tulang, karena

struktur tulang yang terdiri dari komposit organik dan anorganik (Szpak,

2011). Proses demineralisasi tulang menjadi ossein diawal sebelum proses

pre-treatment menyebabkan terlepasnya sejumlah mineral, sebagaimana

yang disarankan Muyonga et al. (2004a). Proses demineralisasi

menyebabkan terlepasnya komponen mineral yang mengisi ruang antar

Page 137: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

115

molekul kolagen pada matriks tulang, sehingga memungkinkan untuk

terjadinya konversi kolagen menjadi gelatin secara lebih mudah.

Sims dan Bailey (1992) menjelaskan bahwa kolagen kulit dari hewan

yang belum dewasa (immature) mengandung intermediate crosslink

dehydroxylysinonorleucine dan ketika mencapai dewasa diubah menjadi

ikatan silang trivalent histidinohydroxylysinonorleucine yang lebih stabil,

sedangkan kolagen pada tulang mengandung hydroxylysinoketonorleucine

kemudian diubah menjadi pyridinoline, dan menurut Bailey et al. (1998)

pyridinoline ini lebih stabil terhadap pemanasan. Fenomena ini mungkin

merupakan salah satu faktor yang mengakibatkan rendemen tulang

cenderung lebih rendah dibanding kulit akibat proses konversi kolagen yang

lebih lambat pada tulang dibanding kulit. Rendemen tertinggi pada kulit dan

tulang berturut-turut adalah 16,45 ± 1,51% dan 5,49 ± 2,67%, sedikit lebih

tinggi dari hasil yang diperoleh Muyonga et al. (2004a) pada kulit dan tulang

ikan Lates niloticus, yaitu berturut-turut 12,3 ± 2,1-16,0 ± 0,3% dan 1,3 ±

1,0-2,4 ± 0,7%.

2.1.2 Kekuatan Gel

Kekuatan gel adalah parameter utama kualitas gelatin. Sifat

fungsional ini dapat dijadikan metode untuk mengukur dampak dari faktor

produksi dan untuk mengoptimalkan kualitas produk akhir. Kekuatan gel

antara kulit dan tulang ikan gabus cenderung berbeda, dimana kekuatan

gel pada kulit relatif lebih tinggi dibanding kekuatan gel pada tulang.

Page 138: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

116

Pengaruh perlakuan suhu dan waktu ekstraksi terhadap kekuatan gel

gelatin ikan gabus tersaji pada Gambar 18.

Berdasarkan analisis keragaman, kekuatan gel gelatin hasil

penelitian secara independen nyata dipengaruhi oleh jenis bahan baku

(P<0,05), suhu ekstraksi (P<0,05), dan waktu ekstraksi (P<0,05). Interaksi

antara bahan baku terhadap suhu ekstraksi (P<0,05); bahan baku terhadap

waktu ekstraksi (P<0,05); suhu ekstraksi terhadap waktu ekstraksi

(P<0,05); dan antara bahan baku, suhu ekstraksi dan waktu ekstraksi

(P<0,05), berpengaruh terhadap kekuatan gel gelatin ikan gabus.

Hasil uji lanjut Duncan pada Tabel 5 menunjukkan ada perbedaan

kekuatan gel perlakuan bahan baku antara kulit dan tulang, dimana

kekuatan gel kulit lebih tinggi dibanding pada tulang. Tingginya kekuatan

gel pada kulit dibanding tulang dapat dikaitkan pada perbedaan tingkat dan

jenis ikatan silang yang berbeda di antara kedua jenis bahan baku tersebut

(Sims dan Bailey, 1992), sehingga perbedaan ini mempengaruhi

kemudahan kolagen untuk larut dan diubah menjadi gelatin (Muyonga et al.,

2004a).

Page 139: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

117

Tabel 5. Pengaruh perlakuan suhu dan waktu ekstraksi terhadap kekuatan gel (g force) gelatin ikan gabus

Bahan baku Suhu (°C) Waktu

Sub rata-rata Rata-rata total 12 18 24

50 41,37 ±7,42g 55,37 ± 5,11g 64,67 ± 4,68gh 53,80 ± 11,36c

Tulang 60 48,00 ± 5,32g 144,77 ± 20,02hi 239,53 ± 20,68j 144,10 ± 84,22d 117,95 ± 72,06a

70 104,23 ± 16,35h 189,83 ± 28,83ij 173,80 ± 27,77i 155,96 ± 44,95de

Sub rata-rata 64,53 ± 31,35C 129,99 ± 61,87D 159,33 ± 78,46E

50 225,33 ± 7,67j 126,40 ± 13,22h 109,63 ± 23,58h 153,79 ± 55,94de

Kulit 60 278,37 ± 22,23k 253,77 ± 51,66jk 108,23 ± 27,10h 213,46 ± 85,53f 181,01 ± 70,48b

70 246,13 ± 47,22jk 173,23 ± 16,16i 108,00 ± 21,40h 175,79 ± 65,72e

Sub rata-rata 249,94 ± 35,09G 184,47 ± 62,36F 108,62 ± 20,92D

Sub rata-rata 133,35 ± 100,99I 90,89 ± 39,93H 87,15±28,94H

(waktu*suhu) 163,19 ± 127,00JK 199,27 ± 69,23K 173,77±75,08JK

175,18 ± 83,90JK 181,53 ± 22,79JK 140,90±42,31IJ

Sub rata-rata 103,79 ± 64,65l

(suhu) 178,78 ± 89,74m

165,87 ± 55,56m

Sub rata-rata (waktu)

157,24 ± 100,71B 157,23 ± 66,46B 133,98 ± 61,51A

Kerangan: a-b Huruf yang berbeda antara jenis bahan baku menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05). A-B Huruf kapital yang berbeda pada waktu ekstraksi berbeda menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05). C-G Huruf kapital yang berbeda pada interaksi antara bahan baku dan waktu berbeda menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05). c-f Huruf yang berbeda pada interaksi antara bahan baku dan suhu ekstraksi menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05). l-m Huruf yang berbeda pada suhu ekstraksi berbeda menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05). g-k Huruf yang berbeda pada interaksi antara bahan baku, suhu dan waktu berbeda menunjukkkan berbeda nyata (P<0,05).

Page 140: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

118

Gambar 18. Pengaruh perlakuan suhu dan waktu ekstraksi terhadap kekuatan gel (g force) gelatin ikan gabus

Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa kekuatan gel

dipengaruhi oleh suhu ekstraksi, tetapi antara suhu ekstraksi 60 °C dan 70

°C tidak berbeda nyata (P>0,05). Interaksi antara bahan baku dan suhu

ekstraksi memperlihatkan ada perbedaan di antara perlakuan, tetapi

perlakuan antara tulang pada ekstraksi suhu 60 °C, 70 °C dan kulit pada

suhu ekstraksi 50 °C tidak berbeda nyata (P>0,05). Hal yang sama pada

perlakuan antara tulang pada ekstraksi suhu 70 °C dengan kulit pada

ekstraksi suhu 50 °C dan 70 °C tidak berbeda nyata (P>0,05). Pada suhu

yang sama, antara tulang dan kulit memiliki kekuatan gel yang berbeda, dan

tampaknya untuk mencapai kekuatan gel yang setara dengan kekuatan gel

pada kulit, maka tulang membutuhkan suhu yang relatif lebih tinggi yaitu 70

°C dibanding pada kulit hanya 50 °C. Perbedaan ini dapat dihubungkan

dengan adanya pengaruh dari karakteristik bahan baku kolagen yang

41.37 48,00

104.23

225.33

278.37246.13

55.37

144.77

189.83

126.4

253.77

173.23

64.67

239.53

173.8

109.63 108.23 108

0

50

100

150

200

250

300

50 ºC 60 ºC 70 ºC 50 ºC 60 ºC 70 ºC

Tulang Kulit

Keku

atan

gel

(g)

12 jam 18 jam 24 jam

Page 141: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

119

digunakan (Karim dan Bhat, 2009). Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa

antara kulit dan tulang ada perbedaan pada jumlah dan struktur ikatan

silang (Sims dan Bailey, 1992), sehingga proses ekstraksi yang sama dapat

menghasilkan kekuatan gel yang berbeda. Pada kulit antara suhu 50 °C

dan 60 °C terdapat peningkatan terhadap kekuatan gel, tetapi terjadi

penurunan ketika suhu ekstraksi ditingkatkan sebanyak 10 derajat.

Terjadinya penurunan pada kekuatan gel dengan bertambahnya

suhu ekstraksi mungkin dapat dikaitkan dengan tingkat kestabilan ikatan

silang pada kulit lebih rendah dibanding pada tulang, sebagaimana yang

dijelaskan oleh Sims dan Bailey (1992), Bailey et al. (1998) bahwa adanya

pyridinoline mengakibatkan tulang lebih stabil terhadap pemanasan. Hal ini

mengakibatkan ketika terpapar pada suhu antara 60 oC sampai 70 oC,

kekuatan gel kulit cenderung mengalami penurunan dan sebaliknya pada

tulang cenderung meningkat.

Faktor lain yang dapat menyebaban terjadinya perbedaan pada

kekuatan gel adalah distribusi berat molekul dan komposisi asam amino.

Sebagaimana yang dijelaskan oleh Muralidharan et al. (2012) pada kondisi

ekstraksi kulit cumi cumi (Loligo formosana) bahwa pemutusan rantai pada

suhu yang lebih rendah (50-60 °C) lebih sedikit dibanding pada suhu yang

lebih tinggi, menyebabkan rantai α dan ᵝ yang lebih panjang pada suhu

yang lebih rendah ter-agregasi membentuk jaringan gel yang lebih kuat

dibanding pada rantai α yang lebih pendek dan lebih sedikit, dimana

keadaan ini ditemukan pada proses ekstraksi pada suhu lebih tinggi (70°C).

Page 142: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

120

Suhu yang lebih tinggi menyebabkan terjadinya degradasi yang

menghasilkan fragmentasi protein yang dapat mengurangi kemampuan

rantai α menjadi kuat secara tepat. Komposisi asam amino terutama prolin

dan hidroksiprolin turut mempengaruhi kemampuan gelatin terhadap

kekuatan gel, semakin tinggi kadar prolin dan hidroksiprolin, maka kekuatan

gel semakin besar. Kandungan hidroksiprolin yang lebih rendah dalam

gelatin yang diekstraksi pada suhu lebih tinggi relatif menghasilkan

kekuatan gel yang lebih rendah, dibandingkan dengan gelatin yang

diekstraksi pada suhu yang lebih rendah (Balti et al., 2011). Proline dan

hidroksiprolin dianggap bertanggung jawab atas stabilitas struktur triple-

helix kolagen melalui ikatan hidrogen antara molekul air bebas dan

kelompok hidroksil hidroksiprolin dalam gelatin (Fernandez-Diaz et al.,

2001). Struktur super-heliks dari gelasi gel distabilkan oleh hambatan sterik

(Muralidharan et al., 2012), dan hambatan ini ditentukan oleh cincin pirolidin

(struktur pusat asam amino prolin dan hidroksiprolin) dari asam imino selain

ikatan hidrogen yang terbentuk di antara residu asam amino (Liu et al.,

2015)

Perbedaan waktu ekstraksi terhadap kekuatan gel sebagaimana

pada Tabel 5 menunjukkan ekstraksi selama 12 jam dan 18 jam tidak

memperlihatkan adanya perbedaan pada kekuatan gel, tetapi berbeda

dengan lama ekstraksi 24 jam. Ada kecenderungan semakin lama waktu

ekstraksi kekuatan gel semakin menurun. Interaksi antara bahan baku

dengan lama ekstraksi menunjukkan terdapat perbedaan nyata (P<0,05)

Page 143: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

121

terhadap kekuatan gel gelatin. kekuatan gel pada interaksi perlakuan

tulang dengan lama ekstraksi 18 jam tidak berbeda nyata dengan perlakuan

kulit yang diekstraksi selama 24 jam (P>0,05). Hasil analisis

mengindikasikan bahwa semakin lama waktu ekstraksi pada tulang maka

kekuatan gel cenderung meningkat, sebaliknya semakin lama waktu

ekstraksi pada kulit maka kekuatan gel cenderung menurun.

Interaksi antara suhu ekstraksi dan waktu ekstraksi menunjukkan

ada perbedaan kekuatan gel di antara perlakuan (P<0,05). Ekstraksi suhu

50 °C selama 24 jam tidak berbeda dengan ekstraksi selama18 jam,

demikian halnya antara ekstraksi suhu 50 °C selama 12 jam dengan 70 °C

selama 24 jam tidak ada perbedaan (P>0,05). Perlakuan pada suhu dan

lama ekatraksi 70 °C selama 24 jam; 60 °C selama 12 jam; 60 °C selama

24 jam; 70 °C selama12 jam; dan 70 °C selama 18 jam tidak menunjukkan

adanya perbedaan (P>0,05), tetapi berbeda dengan perlakuan ekstraksi

suhu 60 °C selama 18 jam (P<0,05).

Hubungan antara bahan baku, suhu dan waktu ekstraksi terhadap

kekuatan gel gelatin ikan gabus menunjukkan adanya interaksi di antara

perlakuan (P<0,05). Tetapi, beberapa perlakuan menunjukkan tidak ada

perbedaan, antara lain perlakuan tulang yang diekstraksi pada suhu 50 °C

selama 12 jam; tulang pada suhu 60 °C selama 12 jam; tulang pada suhu

50 °C selama 18 jam; dan tulang pada suhu 50 °C selama 24 jam (P>0,05),

sebagaimana pada perlakuan antara tulang yang diekstraksi pada suhu 50

°C selama 24 jam; tulang pada suhu 70 °C selama 12 jam; kulit pada suhu

Page 144: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

122

70 °C selama 24 jam; kulit pada suhu 60 °C selama 24 jam; kulit pada suhu

50 °C selama 24 jam; kuilt pada suhu 50 °C selama 18 jam; dan kulit pada

suhu 60 °C selama 18 jam (P>0,05). Hal yang sama ditemukan pada

perlakuan interaksi antara tulang pada suhu 60 °C selama 18 jam; tulang

pada suhu 70 °C selama 24 jam; tulang pada suhu 70 °C selama 18 jam,

dan perlakuan kulit pada suhu 70 °C selama 18 jam tidak menunjukkan

perbedaan nyata (P>0,05). Perlakuan antara tulang pada suhu 70 °C

selama 18 jam, tulang pada suhu 60 °C selama 24 jam; kulit pada suhu 50

°C selama 12 jam; kulit pada suhu 70 °C selama 12 jam; dan kulit pada

suhu 60 °C selama 18 jam juga memperlihatkan keadaan yang sama

(P>0,05), dan interaksi perlakuan antara kulit pada suhu 70°C selama 12

jam; 60 °C selama 18 jam; dan 60 °C selama 12 jam juga tidak ada

perbedaan (P>0,05). Tetapi di antara perlakuan interaksi di atas, kekuatan

gel terbaik terdapat pada perlakuan kulit yang diekstraksi pada suhu 60 °C

selama 12 jam, sedangkan pada tulang pada suhu yang sama dengan lama

ekstraksi 24 jam dengan kekuatan gel berturut-turut adalah adalah 278,37

± 22,23 g dan 239,53 ± 20,68 g.

Secara umum, untuk menghasilkan kekuatan gel tertinggi pada kulit

ikan gabus digunakan waktu ekstraksi yang lebih singkat (12 jam) dibanding

ekstraksi pada tulang ikan gabus (24 jam) pada suhu yang sama. Kedua

jenis bahan baku ini relatif berbeda dalam komposisinya. Kulit tersusun oleh

bahan organik dan sangat sedikit anorganik, sebaliknya pada tulang

mengandung organik dengan bahan anorganik yang cukup tinggi (Olszta et

Page 145: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

123

al., 2007; Szpak, 2011), tetapi proses demineralisasi (Muyonga et al.,

2004a, Muyonga et al., 2004b) dengan maksud melepaskan kandungan

mineral dalam tulang telah dilakukan dan metode ini selanjutnya cukup

efektif membantu terjadinya proses ekstraksi kolagen menjadi gelatin pada

tulang. Distribusi berat molekul yang diprakarsai oleh rantai α dan β mungkin

memberi kontribusi pada kemampuan bahan baku terhadap proses

ekstraksi yang berlangsung sehingga pemutusan rantai α dan ᵝ

mempengaruhi panjang rantai dan agregasi protein untuk membentuk

kekuatan gel gelatin. Proses ekstraksi menyebabkan terjadinya pemutusan

rantai peptide, semakin pendek rantai yang terbentuk, semakin rendah

kekuatan gel yang dihasilkan. Terjadinya pemutusan rantai ikatan ini

dipengaruhi oleh suhu dan waktu. Semakin tinggi suhu dan semakin lama

kulit diekstraksi, kekuatan gel pada kulit semakin menurun, sebaliknya pada

tulang semakin lama waktu yang digunakan maka kekuatan gelnya relatif

semakin meningkat sampai batas tertentu.

2.1.3 Viskositas Gelatin

Viskositas adalah sifat fisik komersial terpenting kedua dari gelatin

setelah kekuatan gel. Rataan Viskositas antara kulit dan tulang ikan gabus

yang dieksktrak menggunakan suhu dan lama ekstraksi berbeda

menunjukkan viskositas yang tidak berbeda, tetapi ada kecenderungan

viskositas gelatin kulit ikan menurun seiring semakin bertambahnya suhu

dan lama waktu ekstraksi, sebaliknya pada tulang cenderung meningkat,

sebagaimana pada Gambar 19.

Page 146: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

124

Hasil analisis statistik terhadap viskositas gelatin ikan gabus

menunjukkan ada pengaruh perlakuan suhu (P<0,05) terhadap viskositas

gelatin ikan gabus, tetapi jenis bahan baku dan waktu ekstraksi tidak

berpengaruh nyata (P>0,05). Antara bahan baku terhadap suhu dan antara

bahan baku terhadap waktu ekstraksi berpengaruh (P<0,05) terhadap

viskositas gelatin, adapun antara suhu dan waktu; dan antara bahan baku,

suhu dan waktu interaksinya tidak menunjukkan pengaruh nyata (P>0,05).

Hasil analisis uji Duncan pengaruh suhu terhadap nilai viskositas

gelatin menunjukkan antara suhu 50 °C berbeda dengan suhu 60 °C dan

70 °C (P<0,05), tetapi antara 60 °C dan 70 °C tidak berbeda nyata (P>0,05).

Terdapat kecenderungan semakin tinggi suhu, viskositas semakin

meningkat.

Hasil analisis uji Duncan interaksi antara bahan baku dengan waktu

ekstraksi menunjukkan tidak ada perbedaan jenis bahan baku dengan lama

ekstraksi antara tulang selama 12 jam dengan kulit selama 24 jam dan

tulang selama 18 jam (P>0,05). Demikian halnya pada perlakuan tulang

dengan lama ekstraksi 18 jam tidak berbeda nyata dengan kulit dengan

lama ekstraksi 18 jam dan 12 jam, dan tulang pada lama ekstraksi 12 jam

(P>0,05). Viskositas kulit cenderung menurun seiring dengan lamanya

waktu ekstraksi, sebaliknya pada tulang cenderung meningkat seiring

bertambah lamanya waktu ekstraksi.

Page 147: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

125

Tabel 6. Pengaruh perlakuan suhu dan waktu ekstraksi terhadap viskositas (cP) gelatin ikan gabus.

Bahan baku Suhu (°C) Waktu (jam)

Sub rata-rata Rata-rata totalns 12 18 24

50 5,97 ± 0,13 6,07 ± 0,06 6,28 ± 0,04 6,10 ± 0,16c

Tulang 60 6,36 ± 0,52 6,56 ± 0,09 6,92 ± 0,15 6,61 ± 0,37d 6,54 ± 0,39

70 6,80 ± 0,13 6,96 ± 0,22 6,94 ± 0,29 6,90 ± 0,21e

Sub rata-rata 6,38 ± 0,23 A 6,53 ± 0,08 AB 6,71 ± 0,13 B

50 6,88 ± 0,09 6,68 ± 0,24 6,58 ± 0,07 6,71 ± 0,19de Kulit 60 6,80 ± 0,04 6,82 ± 0,09 6,50 ± 0,35 6,71 ± 0,24de 6,64 ± 0,19

70 6,72 ± 0,21 6,54 ± 0,06 6,28 ± 0,04 6,51 ± 0,22d

Sub rata-rata 6,80 ± 0,13B 6,68 ± 0,18B 6,45 ± 0,22A

Sub rata-rata 6,43 ± 0,51 6,37 ± 0,37 6,43 ± 0,17

(Waktu*suhu)ns 6,58 ± 0,41 6,69 ± 0,16 6,71 ± 0,33

6,76 ± 0,16 6,75 ± 0,27 6,61 ± 0,41

Sub rata-rata 6,41 ± 0,36a

(Suhu) 6,66 ± 0,31b

6,71 ± 0,28b

Rata-rata totalns 6,59 ± 0,38 6,60 ± 0,32 6,58 ± 0,32 Keterangan: a-b Huruf yang berbeda pada suhu ekstraksi berbeda menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05). A-B Huruf kapital yang berbeda pada interaksi antara bahan baku dan waktu berbeda menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05). c-e Huruf yang berbeda pada interaksi antara bahan baku dan suhu ekstraksi menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05). ns adalah tidak berbeda nyata.

Page 148: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

126

Gambar 19. Pengaruh perlakuan suhu dan waktu ekstraksi terhadap Viskositas (cP) gelatin kulit dan tulang ikan gabus

Hubungan interaksi antara bahan baku dengan suhu ekstraksi

menunjukkan ada perbedaan viskositas perlakuan tulang pada suhu

ekstraksi 50 °C dengan perlakuan yang lain (P<0,05). Perlakuan kulit pada

suhu ekstraksi 70 °C dengan tulang pada suhu 60 °C, kulit pada suhu 60

°C dan suhu 50 °C, tidak menunjukkan adanya perbedaan (P>0,05).

Perlakuan kulit pada suhu 60 °C dan 50 °C juga tidak berbeda nyata dengan

perlakuan tulang pada suhu 70 °C (P>0,05). Interaksi antara kulit terhadap

suhu estraksi menunjukkan adanya kecenderungan semakin rendah suhu

ekstraksi maka viskositas semakin tinggi, sebaliknya pada tulang

cenderung meningkat seiring dengan bertambahnya suhu ekstraksi.

Viskositas gelatin secara umum dipengaruhi suhu dan waktu

ekstraksi. Hasil analisis menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu ekstraksi

pada kulit ikan gabus, viskositas cenderung semakin menurun. Sebaliknya

pada tulang ikan, ada kecenderungan semakin bertambah suhu ekstraksi

5.976.07

6.28

6.886.68

6.58

6.366.56

6.92 6.8 6.82

6.5

6.86.95 6.94

6.726.54

6.28

5.45.65.8

66.26.46.66.8

77.2

50 ºC 60 ºC 70 ºC 50 ºC 60 ºC 70 ºC

Tulang Kulit

Visk

osita

s (c

P)

12 jam 18 jam 24 jam

Page 149: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

127

maka viskositas relatif meningkat. Viskositas gelatin pada kulit dapat

dikaitkan dengan terjadinya denaturasi kolagen selama proses ekstraksi,

tingginya suhu ekstraksi mengakibatkan terjadinya pelepasan ikatan

hydrogen, dimana diketahui ikatan ini berfungsi dalam mempertahankan

kestabilan struktur triple heliks kolagen (Giménez et al., 2005). Fenomena

ini mungkin mengakibatkan terjadinya pemutusan untaian protein kolagen

menjadi tunggal atau double heliks, akibatnya rantai heliks menjadi acak

sehingga mempengaruhi viskositas gelatin. Berbeda keadaannya dengan

gelatin tulang selama pemanasan. Hal yang tidak dapat diabaikan adalah

bahwa tulang memiliki struktur yang lebih kompak dan padat, dimana

struktur tulang sendiri terdiri dari komposit mineral dan kolagen (Olszta et

al., 2007). Meskipun proses demineralisasi telah dilakukan (Muyonga et al.,

2004a; Muyonga et al., 2004b) tetapi adanya kemungkinan faktor belum

sempurnanya proses demineralisasi mengakibatkan tautan antara mineral

dan kolagen masih berlangsung, dimana mineral mengambil tempat di

antara serat kolagen (Eriksen, 2010). Hal ini yang mengakibatkan proses

ekstraksi pada suhu tinggi belum memberi pengaruh terhadap struktur triple

heliks kolagen tulang sehingga proses pemutusan ikatan hydrogen belum

dapat menyebabkan terjadinya ketidakstabilan pada triple helix dibanding

pada kulit. Pyridoline yang terbentuk pada tulang juga merupakan faktor

penyebab tulang relatif stabil terhadap pemanasan, menyebabkan proses

hidrolisis melambat. Hal ini dapat mengakibatkan viskositas gelatin tulang

relatif lebih tinggi dibanding viskositas kulit pada suhu yang sama.

Page 150: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

128

Hal yang sama dijumpai pada pengaruh waktu ekstraksi terhadap

viskositas. Semakin lama waktu ekstraksi, viskositas pada gelatin tulang

ikan gabus cenderung meningkat, meskipun secara statistik lama ekstraksi

18 jam tidak berbeda dengan 24 jam, dan sebaliknya pada gelatin kulit ikan

gabus cenderung menurun. Untuk mencapai viskositas yang relatif sama,

maka dibutuhkan waktu ekstraksi 24 jam pada tulang dan 12 jam pada kulit.

Keadaan ini mengindikasikan bahwa terjadinya proses hidrolisis pada

tulang lebih lambat dibanding pada kulit, sebagai faktor perbedaan

karakteristik dari kedua jenis bahan baku.

Komposisi asam amino juga berkontribusi terhadap perbedaan

viskositas termasuk hidroksiprolin dan alanin, tetapi dijelaskan bahwa

bahwa asam amino ini tidak sepenuhnya berkontribusi terhadap viskositas

gelatin (Giménez et al., 2005). Susunan rantai asam amino yang panjang

dapat meningkatkan viskositas gelatin. Suhu yang tinggi maupun waktu

ekstraksi yang cukup lama mungkin secara efektif dapat memutus rantai

peptide menjadi fragmen yang lebih pendek, tetapi jika proses pemutusan

ikatan rantai polipeptida pada ikatan yang tepat maka viskositas mungkin

bisa lebih meningkat (Said, 2013). Asumsi yang sama dinyatakan oleh

Nurilmala dkk. (2006) bahwa pemanasan yang tinggi mengakibatkan

terjadinya hidrolisis lanjutan pada gelatin sehingga akan memutuskan

rangkaian asam amino yang berdampak pada rendahnya viskositas.

Vskositas tulang ikan gabus adalah 5,97 ± 0,13 sampai 6,96 ± 0,22 cP,

sedangkan pada kulit ikan gabus yaitu 6,28 ± 0,04 sampai 6,88 ± 0,09 cP,

Page 151: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

129

lebih tinggi dibanding yang diperoleh pada Oreochromis nilotica (3,20 ± 0,00

cP) dan sebanding dengan gelatin dari Oreochromis mossambicus (7,12 ±

0,26 cP) (Jamilah dan Harvinder, 2002).

2.1.4 pH Gelatin

Secara umum pH kulit relatif sedikit lebih tinggi dibanding pH tulang.

Lamanya waktu ekstraksi dan semakin tingginya suhu ekstraksi

mengakibatkan terjadinya peningkatan terhadap pH gelatin.

Hasil analisis varian menunjukkan bahwa bahan baku, suhu dan

waktu secara independen berpengaruh (P<0,05) terhadap pH gelatin.

Terdapat pengaruh (P<0,05) interaksi antara bahan baku dengan suhu

ekstraksi, dan bahan baku dengan waktu ekstraksi. Interaksi antara suhu

dan waktu ekstraksi, serta interaksi antara bahan baku, suhu, dan waktu

ekstraksi berpengaruh (P<0,05) terhadap pH.

Uji Duncan pengaruh suhu dan waktu ekstraksi terhadap jenis bahan

baku menunjukkan ada perbedaan pH antara kulit dan tulang ikan gabus

(P<0,05), pH kulit lebih tinggi dibanding pH tulang. pH gelatin menunjukkan

adanya perbedaan dengan berbedanya suhu ekstraksi (P<0,05), yaitu

semakin tinggi suhu maka pH cenderung semakin meningkat. Hal yang

sama pada pH yang disebabkan oleh perbedaan waktu ekstraksi, yaitu

semakin lama waktu ekstraksi maka pH gelatin cenderung semakin

meningkat (P<0,05).

Interaksi perlakuan antara bahan baku dengan suhu ekstraksi

menunjukkan terdapat perbedaan pH di antara perlakuan (P<0,05), tetapi

Page 152: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

130

antara perlakuan kulit pada suhu 70 °C tidak berbeda dengan perlakuan

pada suhu 60 °C dan 50 °C (P>0,05). Interaksi antara bahan baku dengan

waktu ekstraksi ada perbedaan pH di antara perlakuan (P<0,05), tetapi

antara perlakuan kulit dengan lama ekstraksi 18 jam dan 24 jam tidak

berbeda nyata (P>0,05), demikian juga perlakuan antara kulit dengan lama

ekstraksi 24 jam dan 12 jam tidak berbeda nyata (P>0,05). Interaksi antara

suhu dan waktu ekstraksi menunjukkan tidak ada perbedaan (P>0,05)

antara perlakuan pada suhu 50 °C dan 60 °C selama 12 jam, perlakuan

suhu 50 °C dan 60 °C selama 18 jam, perlakuan suhu 50 °C selama 24 jam,

70 °C selama 12 jam dan 70 °C selama 18 jam, dan perlakuan 70 °C selama

18 jam, 60 °C selama 24 jam dan 70 °C selama 24 jam.

Page 153: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

131

Tabel 7. Pengaruh perlakuan jenis bahan baku, suhu, dan waktu ekstraksi terhadap pH Gelatin ikan gabus

Bahan baku Suhu (°C) Waktu (Jam)

Sub rata-rata Rata-rata total 12 18 24

50 3,55 ± 0,04I 3,87 ± 0,04J 4,27 ± 0,02L 3,90 ± 0,31f Tulang 60 3,55 ± 0,33I 4,09 ± 0,06K 4,54 ± 0,10MN 4,06 ± 0,46g 4,16 ± 0,42a

70 4,30 ± 0,10L 4,51 ± 0,05M 4,71 ± 0,05N 4,51 ± 0,19h

Sub rata-rata 3,80 ± 0,41D 4,16 ± 0,29E 4,51 ± 0,20F

50 4,78 ± 0,03N 4,72 ± 0,12N 4,78 ± 0,07N 4,76 ± 0,08i Kulit 60 4,87 ± 0,05N 4,65 ± 0,07MN 4,78 ± 0,87N 4,77 ± 0,11i 4,73 ± 0,09b

70 4,78 ± 0,01N 4,59 ± 0,03MN 4,65 ± 0,07MN 4,67 ± 0,09i

Sub rata-rata 4,81 ± 0,06H 4,66 ± 0,09G 4,74 ± 0,09GH

Sub rata-rata 4,17 ± 0,68j 4,30 ± 0,47k 4,53 ± 0,28l

(waktu * suhu) 4,21 ± 0,75jk 4,37 ± 0,32k 4,66 ± 0,15m

4,54 ± 0,27l 4,55 ± 0,06lm 4,68 ± 0,06m

Sub rata-rata 4,33 ± 0,50c

(suhu) 4,42 ± 0,49d

4,59 ± 0,17e

Total rata-rata 4,31 ± 0,60A 4,41 ± 0,33B 4,62 ± 0,19C Keterangan: a-b Huruf yang berbeda antara bahan baku berbeda menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05). A-C Huruf kapital yang berbeda pada waktu ekstraksi berbeda menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05). c-e Huruf yang berbeda pada suhu ekstraksi berbeda menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05). D-H Huruf kapital yang berbeda pada interaksi antara bahan baku dan waktu berbeda menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05). f-i Huruf yang berbeda pada interaksi antara bahan baku dan suhu ekstraksi menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05). j-m Huruf yang berbeda pada interaksi antara suhu dan waktu ekstraksi menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05).

I-N Huruf yang berbeda pada interaksi bahan baku, suhu dan waktu berbeda menunjukkkan berbeda nyata (P<0,05).

Page 154: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

132

Gambar 20. Pengaruh perlakuan suhu dan waktu ekstraksi terhadap pH gelatin ikan gabus

Interaksi antara perlakuan bahan baku, suhu dan waktu ekstraksi

menunjukkan ada perbedaan nyata di antara perlakuan (P<0,05), tetapi

perlakuan ekstraksi antara tulang suhu 50 °C dan 60 °C selama 12 jam tidak

berbeda nyata (P>0,05); perlakuan esktraksi pada tulang suhu 50 °C

selama 24 jam tidak berbeda dengan tulang suhu 70 °C selama 12 jam

(P>0,05); perlakuan ekstraksi tulang pada suhu 70 °C selama 18 jam;

tulang pada suhu 60 °C selama 24 jam; kulit suhu 70 °C selama 18 dan 24

jam; dan kulit suhu 60 °C selama 18 jam menunjukkan tidak berbeda nyata

(P<0,05). Perlakuan ekstraksi tulang suhu 60 °C selama 24 jam; kulit suhu

70 °C suhu 18 dan 24 jam; kulit suhu 60 °C selama 18 jam; tulang suhu 70

°C selama 24 jam; kulit suhu 50 °C selama 24, 18 dan 12 jam; kulit suhu 70

°C selama 12 jam, dan kulit suhu 60 °C selama 24 dan 12 jam menunjukkan

tidak ada perbedaan pH antara perlakuan (P>0,05).

3.553.87

4.274.78 4.72 4.78

3.55 4.094.54

4.87 4.654.78

4.3 4.514.71 4.98

4.59 4.65

0

1

2

3

4

5

6

50 ºC 60 ºC 70 ºC 50 ºC 60 ºC 70 ºC

Tulang Kulit

pH

12 jam 18 jam 24 jam

Page 155: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

133

Derajat keasaman (potential Hydrogen, pH) gelatin pada dasarnya

dipengaruhi oleh proses perlakuan selama berlangsungnya perubahan

kolagen menjadi gelatin (Alfaro et al, 2015; Alfaro et al., 2013). Tahap awal

proses ekstraksi menggunakan larutan pre-treatment, terutama pada

proses perendaman dengan larutan asam sitrat telah memberi efek

perubahan bahan baku hingga menjadi gelatin. Sebagaimana Ockerman

dan Hansen (2000) bahwa saat proses perendaman dengan asam

dilakukan, serabut kolagen kulit akan mengalami pembengkakan (swelling),

sehingga terjadi penurunan sifat kohesi internal dari serabut kulit tersebut.

Ketika proses swelling berlangsung, struktur asam amino molekul kolagen

mengalami pembukaan akibatnya larutan asam terperangkap di antara

ikatan tersebut (Said, 2011), mengakibatkan larutan asam yang tidak larut

selama pencucian akan mempengaruhi pH akhir gelatin yang dihasilkan.

Penggunaan asam cenderung menyebabkan pH menjadi relatif rendah. Hal

lain yang diduga memberi andil terhadap tingkat keasaman gelatin adalah

keberadaan asam-asam amino bersifat asam yaitu asam aspartate dan

asam glutamate, dimana kedua asam amino ini dijumpai cenderung lebih

tinggi pada tulang dibanding kulit (Tabel 2). Proses denaturasi kolagen

menjadi gelatin pada suhu dan waktu berbeda menyebabkan adanya

variasi dalam nilai pH yang cenderung semakin meningkat dengan

meningkatnya suhu esktraksi dan lama ekstraksi pada tulang tetapi

sebaliknya, cenderung cenderung menurun pada kulit.

Page 156: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

134

Interaksi antara bahan baku dan lama ekstraksi menyebabkan pH

cenderung meningkat pada tulang, tetapi relatif menurun pada kulit.

Demikian halnya interaksi bahan baku dengan suhu eksktraksi

menunjukkan semakin lama waktu ekstraksi pH kulit cenderung menurun

dan sebaliknya pada tulang relatif semakin meningkat. Keadaan ini mungkin

dapat dikaitkan dengan terjadinya reaksi pemutusan rantai polipeptida

((Kolodziejska et al., 2004). Keadaan dimana pH berada pada kisaran pH

di bawah 5 mungkin akan berimplikasi pada sifat fungsional gelatin, antara

lain pada berkurangnya kekuatan gel (Raja Mohd Hafidz et al., 2011;

Gudmundsson dan Hafsteinsson, 1997), termasuk viskositas gelatin (Haug

et al., 2004) akibat terjadinyan degradasi dan proliferasi peptide dengan

berat molekul rendah (Gómez-Guillén dan Montero, 2001). Hal ini

dinyatakan oleh Haug et al. (2004) sebagai akibat yang mungkin

disebabkan oleh peningkatan muatan positif pada rantai, sehingga

menghambat pembentukan zona persimpangan dan karenanya

menyebabkan kekakuan gel menurun.

Meskipun dari hasil Tabel 7 menunjukkan interaksi antara suhu dan

waktu ekstraksi maupun interaksi antara bahan baku, suhu dan waktu ada

perbedaan antara perlakuan satu dengan lainnya, tetapi perbedaan

peningakatan pH setiap perlakuan tidak menunjukkan peningkatan yang

terlalu besar dan masih berada pada kisaran pH yang direkomendasikan

oleh Gelatin Manufacturers Institute of America yaitu 3,8-5,5. PH gelatin

kulit ikan gabus adalah antara 4,59 ± 0,03 sampai 4,87 ± 0,05 dan pada

Page 157: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

135

gelatin tulang ikan gabus antara 3,55 ± 0,04 sampai 4,71 ± 0,05, lebih tinggi

dari pH yang dilaporkan oleh Jamilah dan Harvinder (2002) pada gelatin

kulit ikan Oreochromis mossambicus dan Oreochromis nilotica, yaitu

berturut-turut 3,81 dan 3,05 dan yang dilaporkan oleh Alfaro et al. (2009)

pada tulang ikan Macrodon ancylodon yaitu 3,85-4,38.

2.2 Karakteristik Gelatin Ikan Gabus Dibandingkan dengan Gelatin

Komersial Penelitan dengan mengamati metode ekstraksi terbaik telah

dilakukan dengan menggunakan kombinasi suhu dan waktu terhadap

karakteristik penting gelatin kulit dan tulang ikan gabus. Hasil terbaik

menunjukkan bahwa gelatin dengan perlakuan suhu 60°C selama 12 jam

menghasilkan kekuatan gel tertinggi pada kulit ikan gabus (278,37 ± 22,23

g), dan perlakuan suhu 60 °C selama 24 jam pada tulang ikan gabus

(239,53 ± 20,68 g).

2.2.1 Komposisi Kimia Gelatin Ikan Gabus

Komposisi kimia gelatin kulit ikan gabus (GKG) dan tulang ikan

gabus (GTG) ikan gabus dibandingkan dengan gelatin komersial bovine

(GKB) ditunjukkan pada Tabel 8. Analisis sidik ragam menunjukkan jenis

gelatin berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kadar air, kadar protein, kadar

lemak dan kadar abu.

Kadar air ketiga jenis gelatin menunjukkan ada perbedaan nyata

(P<0,05), dimana kadar air GTG lebih rendah dari GKG maupun GKB.

Page 158: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

136

Adanya perbedaan pada kadar air gelatin ini dipengaruhi oleh perbedaan

bahan baku dan proses ekstraksi yang gunakan. Tingkat maksimum kadar

air gelatin berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI, 1995) adalah

16%, sementara British Standard Institution (BSI, 1975) mengatur kadar air

maksimal antara 13-14%. Berdasarkan hal tersebut, gelatin ikan gabus ini

telah meemenuhi peraturan standard yang berlaku.

Tabel 8. Komposisi kimia gelatin kulit ikan gabus (KGK) dan tulang ikan gabus (GTG) dari proses ekstraksi mengggunakan suhu dan waktu ekstraksi terbaik dan dibandingkan dengan gelatin komersial (GKB)

Kadar air Protein Lemak Abu GKG 7,46 ± 0,28b 83,41 ± 0,56b 0,31 ± 0,01b 1,14 ± 0,04a GTG 3,50 ± 0,20a 93,12 ± 0,50c 1,05 ± 0,05c 1,33 ± 0,07b GKB 13,70 ± 0,40c 76,99 ± 0,93a 0,03 ± 0,00a 1,93 ± 0,04c

Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05). Rata-rata ± SEM (n=3).

Kadar protein gelatin yang diamati menunjukkan GKB lebih rendah

dibanding GTG dan GKG (P<0,05). Perbedaan ini ada kaitannya dengan

kadar air yang cenderung relatif rendah pada GTG. Kadar protein menurut

Pranoto et al. (2011) dapat dijadikan tolok ukur untuk mengevaluasi

kemurnian gelatin. Kadar protein pada gelatin tidak memiliki standard, tetapi

kadarnya bisa berbeda-beda tergantung pada sumber bahan baku yang

digunakan, dan berbedanya metode ekstraksi maupun pre-treatmen akan

mempengaruhi kandungan protein yang diperoleh. Kadar protein GTG lebih

tinggi dari GKG, secara kontras berbeda dengan hasil penelitian Muyonga

et al. (2004a; 2004b) pada kulit dan tulang (Lates niloticus) yang

menghasilkan kisaran protein lebih tinggi pada kulit (87,4 ± 5,6 sampai 88,7

Page 159: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

137

± 2,4) dibanding tulang (82,0 ± 2,1 sampai 82,9 ± 4,3) maupun penelitian

Wulandari dkk. (2015) dan Ratnasari et al. (2013) pada kulit ikan gabus

dengan kisaran protein berturut-turut 96,21% dan 87,27 ± 0,78, meskipun

See et al. (2011) juga hanya mampu menghasilkan gelatin kulit ikan gabus

dengan kadar protein yang lebih rendah, yaitu 75,63 ± 1,05. Berbedanya

kadar protein dapat dipengaruhi oleh faktor jenis bahan baku, proses pre-

treatmen maupun metode ekstraksi (Gómez-Guillén et al., 2011; Jamilah

dan Harvider, 2002; Muralidharan et al., 2012).

Komposisi kimia gelatin penting lainnya adalah lemak dan abu.

Kadar lemak GTG adalah yang tertinggi yaitu 1,05 ± 0,05%. Relatif

tingginya kadar lemak pada GTG dibanding GKG dapat dikaitkan dengan

kadar lemak bahan baku, dimana lemak tulang ikan gabus lebih tinggi

dibanding lemak pada kulitnya (Gambar 11). Tidak ada standard yang

menetapkan berapa kadar minimum lemak gelatin, tetapi mungkin tingginya

kadar lemak dapat mempengaruhi kualitas gelatin, terutama masa simpan.

Kadar lemak gelatin kulit bovine komersial adalah 0,23% (Pranoto et al.,

2011), nilai ini lebih rendah dari kadar lemak GKG, tetapi relatif lebih tinggi

dari kadar lemak GKB.

Kadar abu gelatin hasil penelitian menunjukkan nilai yang cukup

rendah dari standard yang ditetapkan oleh SNI (1995) yaitu kurang dari

3,25%, sedangkan menurut standard GMIA (2012) untuk gelatin tipe A yaitu

sekitar 0,3-2%. Kadar abu GKG lebih rendah dibanding GTG dan GKB

secara berturut-turut (P<0,05). Kadar abu kulit ikan gabus pada bahan

Page 160: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

138

bakunya memang relatif rendah dibanding kadar abu pada tulangnya

(Gambar 12). Tetapi proses demineralisasi sebelum proses ekstraksi

secara efektif telah menurunkan kadar abu pada GTG yang dihasilkan.

Variasi komposisi kimia di antara gelatin terjadi terutama karena

perbedaan metode yang digunakan dalam proses perubahan kolagen

menjadi gelatin (Gómez-Guillén et al., 2011), kandungan protein pada

bahan baku, termasuk kadar kolagen, jumlah komponen terlarut dalam kulit,

perlakuan awal dan proses pencucian serta metode ekstraksi yang

dilakukan (Jamilah dan Harvider, 2002). Adapun menurut Irwandi et al.

(2009) komposisi kimia gelatin yang dihasilkan dapat dikaitkan dengan

lingkungan hidup dan jenis pakan ikan

2.2.2 Warna Gelatin Ikan Gabus

Warna gelatin diukur menggunakan colorimeter, dan menunjukkan

gelatin yang berbeda menghasilkan warna yang signifikan (P<0,05) pada

tingkat kecerahan (L), kemerahan (a*) dan kekuningan (b*) gelatin, tetapi

tidak ada pengaruh pada total warna yang dihasilkan oleh seluruh gelatin

(P>0,05).

Tabel 9. Nilai warna gelatin kulit (GKG) dan tulang ikan gabus (GTG) dari proses ekstraksi mengggunakan suhu dan waktu ekstraksi terbaik dan dibandingkan dengan gelatin komersial (GKB)

L a* b* ΔA GKG 84,83±2,26b 1,67±2,48a 37,20±0,76b 35,76±1,09a GTG 67,47±1,46a 14,67±4,64b 26,48±4,72a 38,71±4,61a GKB 64,86±0,52a -1,07±0,28a 21,11±0,90a 34,12±1,70a

Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05). Rata-rata ± SEM (n=3).

Page 161: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

139

Gelatin kulit (GKG) memiliki nilai kecerahan (L) lebih tinggi dibanding

pada GTG maupun GKB (P<0,05). Nilai a* sebagai simbol intensitas warna

kemerahan menunjukkan nilai tertinggi pada GTG. Intensitas nilai b* yang

diindikasikan oleh warna kekuningan terlihat lebih tinggi pada GKB

dibanding GTG dan GKB secara berturut-turut. Total warna (ΔA) GTG

menunjukkan intensitas yang lebih tinggi dibanding GKG dan GKB secara

berturut-turut. Perbedaan warna gelatin sebagaimana Tabel 9

mengindikasikan bahwa metode ekstraksi dapat memberi pengaruh

terhadap warna gelatin yang dihasilkan, tetapi tidak mempengaruhi sifat

fungsional gelatin yang lain. Warna terang pada gelatin menurut Amizah

dan Sitti Aishah (2011) lebih disukai karena tidak menghasilkan warna kuat

pada produk yang dihasilkan. Nilai ΔA menunjukkan nilai kecerahan, dan

berdasarkan (Ockerman dan Hansen, 2000) nilai ΔA yang rendah lebih

disukai.

a b c Gambar 21. Perbedaan warna gelatin kulit ikan gabus (a), tulang ikan

gabus (b) dan gelatin komersial (c)

Selain waktu dan lama ekstraksi dapat mempengaruhi warna gelatin,

proses pre-treatment juga memberi andil terhadap perbedaan warna

Page 162: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

140

gelatin. Zhang et al. (2007) dan Boran dan Regenstein (2009)

mengemukakan bahwa warna gelatin bisa menjadi gelap akibat perlakuan

asam, dan sangat nyata terlihat pada gelatin tulang (Lampiran 6)

2.2.3 Profil Asam Amino Gelatin

Komposisi asam amino yang terkandung pada gelatin kulit (GKG)

dan tulang ikan gabus (GTG) dibandingkan dengan gelatin komersial (GKB)

disajikan pada Gambar 10. Antara ketiga jenis gelatin menunjukkan

terdapat perbedaan pada total kandungan asam amino (Lampiran 7). Glisin

dan prolin adalah dua jenis asam amino utama (Jamilah dan Harvinder,

2002) dan secara berturut-turut merupakan asam amino tertinggi yang

terkandung pada semua jenis gelatin yang diamati. Kadar glisin pada GKB

lebih tinggi (29,07 residu/100 residu) dibanding GTG (27,71 residu/100

residu) dan GKG (27,10 residu/100 residu), sebagaimana hasil yang

ditemukan pada gelatin mamalia pada umumnya (Herpandi at al., 2011).

Kadar prolin juga ditemukan lebih tinggi pada GKB (14,01 residu/100

residu) dibanding pada GKG (13,31 residu/100 residu) dan GTG (12,13

residu/100 residu). Sejumlah penelitian menunjukkan kandungan glisin dan

prolin adalah yang tertinggi, yaitu secara berturut-turut 197,00 ± 0,21 dan

123,71 ± 2,73 pada Oreochromis nilotica, 204,13 ± 15,68 dan 122,65 ± 9,94

pada Clarias batrachus, dan 209,80 ± 9,32 dan 136,13 ± 5,31 pada

Pangasius sutchi fowler (Jamilah et al., 2011); gelatin tulang ikan (Clarias

gariepinus) berturut-turut 212 dan 90 (residu/1000 residu), dan pada

Page 163: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

141

Rachycentron canadum berutur-turut 321 dan 96 (residu/1000 residu)

(Sanaei et al., 2013).

Keterangan: Kadar hidroksiprolin tidak dianalisis

Gambar 22. Komposisi asam amino dari gelatin kulit ikan gabus (GKG), tulang ikan gabus (GTG) dan gelatin komersial bovine (GKB).

Gelatin adalah derivat dari kolagen, dan ciri khas dari kolagen dan

turunannya adalah, dijumpainya asam amino glisin dan prolin dalam kadar

yang cukup tinggi dibanding asam amino lain (Muralidharan et al., 2012),

dan glisin adalah asam amino utama (Irwandi et al, 2009) dengan kadar

sekitar 1/3 dari komponen asam amino (Balti et al., 2011). Berdasarkan Li

dan Wu (2017), total asam amino adalah glisin, prolin dan hidroksiprolin

yang merupakan asam amino penyusun utama kolagen, dan diperkirakan

dapat mencapai sekitar 57%. Kadler et al. (2007) menyebutkan bahwa

struktur primer kolagen terbentuk dari urutan ‘sequence triplet’ Gly-X-Y,

dimana X dan Y umumnya disifatkan sebagai prolin dan hidroksiprolin, dan

tingginya kandungan kedua asam amino tersebut menunjukkan adanya

kolagen dan atau turunannya (Vázquez-Ortíz et al., 2004).

0

5

10

15

20

25

30

35

His Thr Pro Tyr Leu AsAsp

Lys Gly Arg Ala Val Ile Phe As.glu

Ser Met Cys

Re

sidu

/ re

sidu

100

GKG GTG GKB

Page 164: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

142

Secara khusus, adanya prolin dan hidroksiprolin menjadi penentu

utama kualitas gelatin terkait dengan kekuatan gel, sayangnya

hidroksiprolin gelatin tidak dianalisis, tetapi dengan adanya prolin yang

tinggi mengindikasikan gelatin tersebut cenderung memiliki kekuatan gel

yang tinggi. Sebagaimana pernyataan Haug et al. (2004) bahwa kandungan

asam imino prolin dan hidroksiprolin yang terkandung dalam gelatin ikan

berbeda dengan gelatin mamalia, dan kedua asam amino ini yang berfungsi

menstabilkan konformasi gelatin selama proses pembentukan gel, dan

pada Gambar 20 menunjukkan kadar prolin GKB sedikit lebih tinggi

dibanding GKG dan GTG.

Gautieri, et al. (2009) menyatakan bahwa glisin adalah asam amino

yang paling berperan dalam menstabilkan struktur molekul tersier protein

kolagen, dan menurut Pranoto et al. (2007) tingginya persentase glisin

dapat mempengaruhi sifat mengikat air gelatin dan mengarah pada

tingginya nilai kekuatan gel dan dan viskositas. Semakin tinggi suhu dan

semakin lama waktu ekstraksi berpengaruh terhadap kekuatan gel, maka

diduga keadaan ini akibat asam-asam amino mengalami pembelahan pada

rantai peptidanya dan disaat yang sama terjadi degradasi selama

berlangsungya proses hidrolisis asam (Darragh et al., 1996).

Asam glutamate dan alanin menunjukkan kadar yang tidak begitu

berbeda jauh, dan tampaknya kadar kedua asam amino ini lebih tinggi

berturut-turut pada GKG (11,01 dan 11,13 residu/100 residu) dibanding

GTG (10,64 dan 9,90 residu/100 residu) dan GKB (10,36 dan 9,44

Page 165: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

143

residu/100 residu). Asam amino arginine juga ditemukan cukup berlimpah

pada ketiga jenis gelatin tetapi kadar tertinggi ditemukan pada GTG (9,51

residu/100 residu), dan tidak berbeda jauh antara GKG (8,61 residu/100

residu) dengan GKB (8,62 residu/100 residu). Tingginya kadar ketiga asam

amino ini pada gelatin ikan gabus mungkin dapat dikaitkan dengan sumber

bahan baku gelatin yang kaya dengan asam-asam amino tersebut (Tabel

4). Adapun asam-asam amino lain seperti serin, asam aspartate,

fenilalanin, threonine, leusin, isoleusin, metionin, tirosin, valin, dan histidin

menunjukkan rata-rata kurang dari 5 residu/100 residu. Sistein dan triptofan

tidak ditemukan pada gelatin (Haug dan Draget, 2009), selain karena kedua

asam amino itu terdapat dalam jumlah yang cukup sedikit pada bahan

bakunya, juga diduga asam amino ini rentan mengalami kerusakan selama

proses hidrolisis.

Asam amino merupakan bahan organik yang bersifat bipolar oleh

adanya gugus amina (-NH2+) dan karboksil (-COOH-), dan kelompok rantai

samping (-R) yang bersifat spesifik dan menentukan tingkat reaktivitas

asam amino. Perbedaan rantai samping menyebabkan perbedaan pada

sifat fisikokimia suatu protein (Aftabuddin dan Kundu, 2007). Asam amino

dikelompokkan sesuai dengan jenis rantai sampingnya berdasarkan tingkat

kelarutannya dalam air, yiatu asam amino hidrofilik dan hidrofobik (Barrett

dan Elmore, 2004). Asam amino gelatin dengan rantai samping bersifat

hidrofobik adalah alanin, leusin, valin, isoleusin, metionin, dan fenil alanine,

dan rantai samping hidrofilik yaitu glisin, asam glutamate, lisin, serin,

Page 166: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

144

treonin, tirosin, histidin, prolin, arginine dan aspartate. Persentase total

kelompok asam amino berdasarkan kelarutannya dalam air ini tersaji pada

Gambar 23.

Gambar 23. Perbandingan total asam amino hidrofilik dan hidrofobik (%) dari gelatin kulit ikan gabus (GKG), gelatin tulang ikan gabus (GTG) dan gelatin komersial bovine (GKB).

Asam amino hidrofilik GKB sedikit lebih tinggi dibanding asam

amino pada GKG dan GTG, dan sebaliknya pada asam amino hidrofobik

GKG dan GTG relatif sedikit lebih tinggi dibanding asam amino hidrofiliknya.

Aftabuddin dan Kundu (2007) menyatakan bahwa tingkat rata-rata simpul

hidrofobik cenderung lebih besar daripada nodus hidrofilik. Konsekuensinya

kemampuan asam-asam amino ini berikatan dengan lemak lebih besar

dibanding kemampuannya menarik air. Berbeda dibanding GKB yang

memiliki asam amino hidrofilik relatif lebih besar dibanding asam-asam

amino hidrofobiknya, maka akan berdampak pada kemampuan menarik air

yang lebih besar dari kemampuannya mengikat lemak.

Antara GKG dan GTG cenderung menunjukkan perbedaan yang

tidak begitu mencolok dalam kadar asam aminonya. Tetapi perbedaan yang

51.17

50.37

49.64

48.83

49.63

50.36

47.00

48.00

49.00

50.00

51.00

52.00

GKG GTG GKBTota

l asa

m a

min

o (%

)

Hidrofobik Hidrofilik

Page 167: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

145

relatif kecil ini tetap memberi pengaruh terhadap karakteristik fungsional

kedua jenis gelatin, sebagaimana juga yang dilaporkan pada gelatin kulit

dan tulang ikan Lates niloticus (Muyonga et al., 2004a; Muyonga et al.,

2004b). Metode ekstraksi, dan jenis bahan baku berbeda dapat

mengakibatkan perbedaan pada komposisi asam amino antara ketiga jenis

gelatin yang diamati.

2.2.4 Indeks Aktivitas Emulsi (IAE) dan Stabilitas Emulsi (ISE)

Gelatin adalah salah satu jenis hidrokoloid yang telah banyak

digunakan sebagai bahan pengemulsi dalam berbagai bidang indsutri,

termasuk pangan, farmasi, obat-obatan, maupun aplikasi teknis lainnya,

karena memiliki sifat aktif permukaan (surface-active properties) (Jellouli et

al., 2011). Sifat aktif permukaan adalah fungsi dari kemampuan suatu

surfaktan untuk bersifat hidrofilik dan lipofilik sekaligus, sehingga dapat

menurunkan tegangan permukaan yang ditimbulkan akibat pencampuran

antara minyak dan air. Gelatin merupakan salah satu jenis surfaktan alami,

sebagai fungsi dari asam-asam aminonya.

Tabel 10. Indeks Aktivitas Emulsi dan Stabilitas Emulsi gelatin kulit (GKG) dan tulang ikan gabus (GTG) dari proses ekstraksi mengggunakan suhu dan waktu ekstraksi terbaik dan dibandingkan dengan gelatin komersial (GKB).

Indeks aktivitas emulsi

(m2/g) Indeks stabilitas emulsi (menit)

GKG 32,49 ± 0,28b 26,25 ± 0,19c GTG 28,47 ± 0,36a 19,16 ± 0,18a GKB 28,92 ± 0,09a 25,42 ± 0,16b

Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05). Rata-rata ± SEM, n=3.

Page 168: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

146

Indeks aktivitas emulsi dan indeks stabilitas emulsi GKG, GTG dan

GKB tersaji pada Tabel 9. Jenis gelatin kulit (GKG) dan tulang (GTG) ikan

gabus yang mendapat perlakuan suhu dan waktu ekstraksi terbaik dan

gelatin komersial (GKB) berpengaruh sangat nyata (P<0,05) terhadap

Indeks aktivitas emulsi.

Indeks aktivitas emulsi setiap jenis gelatin relatif berbeda. Indeks

aktivitas emulsi sebagaimana pada Tabel 9 menunjukkkan nilai GKG (32,49

± 0,28) lebih tinggi dibanding GKB (28,92 ± 0,09) dan GTG (28,47 ± 0,36),

tetapi antara GTG dan GKB tidak menunjukkan adanya perbedaan. Hasil

penelitian Jellouli et al. (2011) pada gelatin kulit grey triggerfish (Balistes

capriscus) menunjukkan nilai indeks aktivitas emulsi yang lebih rendah

(21,44 ± 0,09), dan yang dilaporkan oleh Jridi et al. (2013) pada gelatin kulit

cuttlefish (Sepia officinalis) dengan perlakuan pepsin berbeda (0, 5, 10 dan

15 UI/g), yaitu secara berturut-turut 25,97 ± 1,05, 25,42 ± 0,95, 27,64 ± 1,26

dan 27,65 ± 1,35.

Perbedaan indeks aktivitas emulsi gelatin dapat disebabkan oleh

perbedaan sumber bahan baku (Jellouli et al., 2011; Jridi et al., 2013; Zhang

et al., 2012) maupun proses ektraksi yang diterapkan (Kaewruang et al.,

2013; Ahmad dan Benjakul 2009), sehingga berimplikasi pada karakter

intrinsik gelatin (Khiari et al., 2013). Faktor intrinsik yang cukup penting yang

mempengaruhi aktivitas emulsi gelatin adalah kontribusi asam amino

penyusun protein gelatin. Asam-amino gelatin dengan rantai samping yang

aktif memberi kemampuan pada gelatin untuk bersifat hidrofilik (muatan

Page 169: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

147

polar) dan bersifat hidrofobik (non-polar). Rantai peptide dari asam amino

hidrofobik berkontribusi terhadap sifat pengemulsi gelatin, karena adanya

sifat aktif permukaan, dimana semakin besar kandungan asam amino

hidrofobik maka aktivitas emulsi cenderung semakin tinggi (Karim dan Bhat,

2009). Lebih lanjut Ahmad dan Benjakul (2011) menjelaskan bahwa

aktivitas permukaan pada antarmuka (interface) air dan minyak pada

gelatin, memberi kemampuan memfasilitasi pembentukan dan stabilisasi

tetesan halus (droplet) selama dan setelah proses emulsi. Indeks aktivitas

emulsi berhubungan dengan luas antar permukaan, dimana semakin tinggi

nilai indeks aktivitas emulsi, maka semakin kecil ukuran globula lemak.

Indeks aktivitas emulsi menunjukkan kemampuan protein untuk

menstabilisasi antar-permukaan (interface) minyak dan air.

Pada Tabel 10 menunjukkan ada pengaruh nyata (P< 0,05) jenis

gelatin terhadap indeks stabilitas emulsi. Indeks stabilitas emulsi GTG lebih

kecil dibanding indeks stabilitas GKB dan GKG secara berurutan. Di antara

ketiga jenis gelatin tersebut, tampaknya GKG memperlihatkan tingkat

stabilitas emulsi yang lebih baik dibanding GKB dan GTG, tetapi stabilitas

emulsi GTG lebih baik dibanding GKB, dimana pada aktivitas emulsi yang

relatif sama GTG dapat mencapai stabilitasnya dalam jangka waktu lebih

singkat. Hal yang sama dilaporkan oleh Jellouli et al. (2011) pada grey

triggerfish (Balistes capriscus) yang memiliki stabilitas emulsi lebih baik

dibanding gelatin bovine. Pada beberapa penelitian sebelumnya

menunjukkan semakin tinggi indeks aktivitas emulsi, maka waktu yang

Page 170: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

148

dibutuhkan untuk mencapai stabilitas emulsi (indeks stabilitas emulsi)

cenderung lebih singkat, sebagaimana pada gelatin tulang mackerel

(Scomber scombrus) dan blue whiting (Micromesistius poutassou) yang

dilaporkan oleh Khiari et al. (2013), dan gelatin kulit ikan unicorn

leatherjacket (Aluterus monoceros) oleh Ahmad dan Benjakul (2011).

Sifat pengemulsi gelatin digambarkan sebagai kapasitas emulsi atau

aktivitas emulsi, yang menunjukkan kemampuan gelatin membantu

pembentukan dan stabilisasi emulsi yang baru dibuat dan kemampuannya

memberi kekuatan pada emulsi untuk ketahanan terhadap tekanan (Zakaria

dan Bakar, 2015). Indeks aktivitas pengemulsi (emulizing activity index /

EAI) adalah pengukuran antarmuka area yang distabilkan di atas satuan

berat protein (m2 /g) yang berhubungan dengan kemampuan protein untuk

melapisi sebuah antarmuka (Pearce dan Kinsella, 1978). Indeks aktivitas

emulsi dipenguruhi oleh faktor intrinsik protein gelatin. Penambahan gelatin

dalam larutan emulsi minyak-air akan mempengaruhi antar muka minyak-

air. Sifat pengemulsi dihasilkan karena adanya daerah hidrofobik pada

rantai peptida (Karim dan Bhat, 2009). Sifat hidrofobik dari rantai samping

peptida asam amino gelatin akan berfungsi menurunkan tegangan

permukaan sehinggan stabilitas emulsi dapat tercapai. Tetapi ini tergantung

dari seberapa besar tingkat kemapuan hidrofobisitas gelatin; semakin tinggi

kadar asam amino hidrofobik, maka indeks aktivitas emulsi akan semakin

besar, dan indeks stabilitas emulsi relatif lebih singkat untuk mencapai

stabilitas emulsi. Bobot molekul menurut Jellouli et al. (2011), Ahmad dan

Page 171: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

149

Benjakul (2011) juga dapat mempengaruhi kemampuan dispersi antara

minyak dan air, dimana tingkat stabilitas emulsi dari gelatin pada bobot

molekul tinggi lebih menghasilkan tingkat stabilitas yang lebih baik

dibanding gelatin dari bobot molekul lebih rendah.

2.2.5 Daya Mengikat Air Gelatin

Daya mengikat air dan daya mengikat lemak adalah sifat fungsional

yang terkait erat dengan tekstur produk pangan sebagai interaksi antara

komponen seperti air, minyak, dan komponen lainnya (Rawdkuen et al.,

2013). Hasil analisis pada Tabel 13 memperlihatkan bahwa jenis gelatin

berpengaruh sangat nyata (P<0,05) terhadap daya mengikat air gelatin.

Gelatin tulang ikan gabus (GTG) memiliki daya mengikat air yang paling

rendah, dan tertinggi pada GKB dan menyusul GKG. Perbedaan pada

metode ekstraksi, bahan baku dan spesies hewan merupakan faktor-faktor

yang diduga memberi pengaruh terhadap perbedaan berbagai karakteristik

gelatin. Perbedaan ini pula yang menyebabkan daya mengikat air ketiga

jenis gelatin cenderung berbeda.

Daya mengikat air hasil penelitian pada Tabel 11 menunjukkan

bahwa persentase daya mengikat air GKB relatif lebih tinggi dibanding dua

jenis gelatin dari ikan gabus (GKG dan GTG), tetapi persentase keduanya

masih relatif lebih tinggi dibanding dengan daya mengikat air kulit ikan cobia

(97,03 ± 1,53) (Amiza et al., 2015), Penelitian Balti et al. (2011) pada

cuttlefish (Sepia officinalis) menunjukkan persentase yang relatif sama

dengan daya mengikat air pada GKG dan GTG, yaitu sekitar 150-200%.

Page 172: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

150

Tingginya daya mengikat air dapat dikaitkan dengan kandungan asam

amino hidrofilik gelatin (Nurul dan Sarbon, 2015) dan komponen kimia

utama gelatin, yaitu hidroksiprolin (Ninan et al., 2011; Zarai et al., 2012),

semakin tinggi persentase asam amino tersebut, kemampuan mengikat air

gelatin semakin tinggi (Jeya Syakila et al., 2012).

Tabel 11. Daya mengikat air (DMA) dan mengikat lemak (DML) gelatin kulit (GKG) dan tulang ikan gabus (GTG) dari proses ekstraksi mengggunakan suhu dan waktu ekstraksi terbaik dan dibandingkan dengan gelatin komersial bovine(GKB) (%)

Daya mengikat air (%) Daya mengikat lemak (%) GKG 192,53 ± 4,76b 223,97 ± 4,80a GTG 166,48 ± 2,87a 227,67 ± 3,28a GKB 298,85 ± 4,30c 219,10 ± 3,14a

Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05). Rata-rata ± SEM, n=3. Daya mengikat air merupakan salah satu sifat fungsional yang

penting dalam proses pengolahan karena fungsinya dalam memperbaiki

tekstur dan kekompakan produk pangan. Sifat ini menurut Zarai et al. (2012)

mengacu pada kemampuan protein untuk menyerap air dan

mempertahankannya terhadap gaya gravitasi dalam matriks protein. Lebih

lanjut Zarai et al. (2012) menjelaskan bahwa kapasitasnya mengikat air

membuat gelatin sesuai dan cocok diaplikasikan untuk berbagai produk

daging maupun ikan beku untuk mengurangi kehilangan air (drip loss)

selama proses pencairan atau pemasakan yang menyebabkan terjadinya

denaturasi protein sehingga terjadi kehilangan sebagian kapasitas

menahan airnya

Page 173: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

151

2.2.6 Daya Mengikat Lemak Gelatin

Secara statisitk, tiga jenis gelatin yang diamati memperlihatkan tidak

ada perbedaan nyata (P>0,05) daya mengikat lemak di antara gelatin

tersebut, meskipun Tabel 10 menunjukkan daya mengikat lemak GTG

relatif sedikit lebih tinggi dibanding pada GKG dan GKB. Daya mengikat

lemak pada GKG dan GTG menunjukkan persentase yang lebih rendah

dibandingkan dengan daya mengikat lemak gelatin tulang ikan red snapper

(Lutjanus campechanus) dan brown spotted grouper (Epinephelus

chlorostigma), yaitu berturut-turut 493,90 ± 4,20 dan 429,57 ± 4,73. (Jeya

Shakila et al., 2012), tetapi lebih tinggi dibanding gelatin kulit ikan cobia

(Rachycentron canadum) yaitu 164,01 ((Amiza et al., 2015). Adanya

perbedaan dalam daya mengikat lemak gelatin tidak lepas dari karakteristik

gelatin itu sendiri, yang antara lain dipengaruhi oleh bahan baku dan

metode ekstraksi sehingga mungkin mengakibatkan adanya perbedaan

pada komposisi asam aminonya. Kemampuan gelatin dalam mengikat

lemak terutama difasilitasi oleh asam amino hidrofobik (Jellouli et al., 2011),

semakin besar kadarnya maka kemampuannya mengikat lemak cenderung

semakin tinggi. Asam-asam amino hidrofobik antara lain tirosin, isoleusin,

valin, leusin, prolin, fenilalanin, metionin dan alanine. Ninan (2009)

menyebutkan bahwa tingginya kadar tirosin diduga bertanggung jawab

terhadap kapasitas mengikat lemak pada gelatin. Total kadar asam amino

hidrofobik ketiga jenis gelatin (GKG, GTG dan GKB) berturut-turut adalah

51,17, 50,37, dan 49,64 residu/100 residu (Gambar 23).

Page 174: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

152

2.2.7 Fourier Transform Infra Red (FTIR)

Analisis menggunakan spektroskopi fourier transform infra red

(FTIR) dilakukan untuk mengindetifikasi perubahan pada kelompok

fungsional dan struktur sekunder gelatin (Muyonga et al., 2004c)

berdasarkan pada spectra vibrasi yang dihasilkan oleh senyawa yang

terkandung didalamnya pada panjang gelombang tertentu. Spektrum FTIR

dari GKG dan GTG hasil ekstraksi terbaik dalam penelitian ini dibandingkan

dengan GKB, sebagai upaya untuk menjelaskan sifat fungsional dan

perubahan pada struktur sekunder yang terjadi selama konversi kolagen

menjadi gelatin. Said (2011) menyatakan bahwa gugus fungsional adalah

kelompok gugus khusus pada atom dalam molekul yang berperan dalam

memberi karakteristik reaksi kimia molekul tersebut. Tabel 14 menunjukkan

spektrum FTIR pita amida GKG dan GTG dibandingkan dengan GKB.

Gelatin adalah senyawa organik yang kinerjanya sangat ditentukan

dari proses ekstraksi yang dilakukan, dan dapat diketahui berdasarkan nilai

spektroskopi FTIR. Adanya perbedaan antara sampel yang diamati dapat

teridentifiksi melalui spektrum yang berbeda berdasarkan gugus

fungsionalnya pada wilayah pita amida. Gugus fungsional gelatin dapat

diamati terdistribusi pada daerah amida utama, yaitu amida A pada 3600-

3200 cm-1, amida B pada 3100-2300 cm-1, amida I pada 1656-1644 cm-1,

amida II pada 1560-1335 cm-1 dan amida III 1240-670 cm-1, sebagaimana

pada Tabel 12.

Page 175: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

153

Gambar 24. Spektrum FTIR gelatin kulit ikan gabus (a), gelatin tulang ikan gabus (b), dan gelatin komersial (c)

a. GKG

b. GTG

c. GKB

Amida A Amida B Amida I Amida II Amida III

Page 176: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

154

Tabel 12. Daerah serapan pita amida gelatin kulit ikan gabus (GKG), tulang ikan gabus (GTG) dan gelatin komersial (GKB) berdasarkan spektrum FTIR.

Amida Puncak Daerah serapan

(cm-1)* Bilangan gelombang (cm-1)

GKG GTG GKB A 3600-3200 3388,93 3383,14 3442,94 B 3100-2300 3080,32

2935,66 2881,65 2360,87 2335,80

3076,46 2929,87 2879,72 2360,87 2335,80

- 2956,87 2927,94 2360,87 2335.80

I 1656-1644 1653,00 1651,07 1653,00 II 1560-1335 1541,12

- 1450,47 1413,82 - -

1521,84 - - 1411,89 - -

1543,05 1517,98 1454,33 - 1396,46 1335,67

III 1240-670 1234,44 1197,79 - 1076,28 1028,06 970,19 923,90 873,75 -

1234,44 1197,79 1166,93 1074,35 1028,06 970,19 921,97 871,82

1238,30 1199,72 1163,08 1078,21 1031,92 - 923,90 875,68 673,16

* Muyonga et al. (2004c); Uriarte-Montoya et al. (2011); Jilie dan Shaoning (2007).

Nilai serapan gelatin ikan gabus (GKG dan GTG) dibandingkan

dengan GKB tersaji pada Gambar 15. Puncak amida A dari GKG, GTG dan

GKB berada pada wilayah serapan 3388,93 cm-1, 3383,14 cm-1 dan

3442,94 cm-1 secara berturut-turut. Nilai serapan GKB yang berada pada

kisaran di atas 3400 cm-1, menunjukkan bilangan gelombangnya berada

pada wilayah getaran peregangan NH bebas (Ahmad dan Benjakul, 2011;

Kittiphattanabawon et al., 2015; Sinthusamran et al., 2014). Wilayah

serapan GKG dan GTG menunjukkan bilangan gelombang yang sedikit

Page 177: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

155

lebih rendah, yaitu pada wilayah serapan 3400-3200 cm-1, yang berarti

terjadi pergeseran bilangan gelombang ke frekuensi yang lebih rendah, hal

ini dikarenakan ada gugus NH dari peptida yang terlibat dengan ikatan

hidrogen (Ahmad dan Benjakul, 2011; Muyonga et al., 2004c).

Semakin rendah nilai serapan yang muncul pada spectra,

mengindikasikan rendahnya kelompok amina bebas, yang berarti juga

degradasi yang terjadi lebih sedikit. Wilayah amida A mengilustrasikan

proses ekstraksi kulit dan tulang ikan gabus menjadi gelatin pada suhu yang

sama (60 ºC) dan lama ekstraksi berbeda (12 dan 24 jam) menunjukkan

proses pelepasan NH (NH stretching) selama proses hidrolisis

berlangsung. Relatif tingginya bilangan gelombang GKG dibanding GTG

menunjukkan bahwa proses hidrolisis kulit ikan gabus pada suhu 60 ºC

selama 12 jam menyebabkan ikatan hydrogen yang terlepas relatif lebih

banyak dibanding ikatan hydrogen pada tulang yang terhidrolisis pada suhu

yang sama. Perbedaan pada bahan baku memiliki pengaruh signifikan

terhadap kemampuan keduanya melalui proses hidrolisis. Ini

mengindikasikan bahwa jenis bahan baku dan proses ektraksi relatif

mempengaruhi struktur sekunder protein gelatin, selain itu perbedaan ini

menurut Kittiphattanabawon et al. (2015) mungkin juga disebabkan oleh

perbedaan dalam komposisi dan urutan asam amino.

Wilayah amida B memiliki nilai serapan antara 3200-3000 cm-1,

ditandai dengan vibrasi peregangan pada puncak =CH2 dan -NH3 asimetris

(Ahmad dan Benjakul, 2011). Bilangan gelombang GKG dan GTG berada

Page 178: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

156

pada kisaran 3080,32 cm-1 dan 3076,46 cm-1, secara berturut-turut, dan

tidak dijumpai pada GKB. Baik GKG ataupun GTG menunjukkan ada

interaksi antara kelompok -H3 di antara rantai peptida (Ahmad dan Benjakul,

2011; Muralidharan et al. (2012)), tetapi interaksi GTG lebih besar

dibanding GKG. Laporan yang sama ditemukan pada gelatin kulit ikan

Aluterus Monoceros (Ahmad dan Benjakul, 2011), kulit ikan Lates calcarifer

(Sinthusamran et al., 2014) dan Loligo formosana (Muralidharan et al,

2012). Menurut Muralidharan et al. (2012), Mad-Ali et al. (2016) bahwa

gelatin yang diekstraksi untuk waktu yang lebih lama memiliki bilangan

gelombang lebih rendah dibanding gelatin yang diesktrak dalam waktu yang

lebih singkat. Pada GKG, GTG dan GKB ditemukan terjadi peregangan

dengan kelompok –CH baik asimetris yaitu berturut-turut 2935,66 cm-1,

2929,87 cm-1 dan 2956,87 cm-1 maupun simetris yaitu berturut-turut

2881,65 cm-1, 2879,72 cm-1 dan 2927,94 cm-1. Nilai serapan pada wilayah

ini mewakili vibrasi regangan -CH dari kelompok =CH2.

Pita amida I sebagaimana pada Gambar 15 berada pada wilayah

serapan 1656-1644 cm-1 (Muyonga et al., 2004c; Uriarte-Montoya et al,

2011). Jilie dan Shaoning (2007) menyebutkan bahwa daerah ini

merupakan spectrum yang paling sensitive terhadap komponen struktural

protein sekunder, dan oleh Al-Saidi et al. (2012) digunakan untuk

mengamati hilangnya struktur sekunder protein dan pembentukan struktur

koil acak. Pita amida I ini diasosiasikan dengan vibrasi regangan C═O di

sepanjang backbone polipeptida dan puncaknya akan bergeser ke bilangan

Page 179: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

157

gelombang bawah yang ditandai dengan adanya penurunan pada urutan

molekuler (Muyongan et al., 2004c; Payne dan Veis, 1988).

Pita amida I antara GKG dan GKB berada pada bilangan gelombang

yang sama, yang sedikit lebih tinggi dibandingkan GTG, yaitu berturut-turut

1653,00 cm-1 dan 1651,07 cm-1. Perbedaan jenis bahan baku dan metode

ekstraksi yang digunakan menyebabkan bilangan gelombang kedua jenis

gelatin ikan gabus ini berbeda. Sebagaimana telah dijelaskan pada sub-sub

pembahasan di atas, bahwa antara kulit dan tulang ikan gabus memberi

respon berbeda terhadap metode ekstraksi yang dilakukan. Pada suhu

yang sama (60 ºC) dengan waktu ekstraksi berbeda, bilangan gelombang

GTG (24 jam eksktraksi) sedikit lebih rendah dibanding GKG (12 jam

ekstraksi) menunjukkan tingkat reaktivitas C═O pada kulit mampu

membuka dan bekerja reaktif secara lebih cepat pada rantai-α-nya

dibanding pada tulang ikan gabus, sehingga keadaan ini menurut Jridi et al.

(2015a) berpotensi menyebabkan hilangnya triple heliks akibat hidrolisis

ikatan silang intermolekul yang berlebihan, sedangkan oleh Yu et al.(2014)

disinyalir menyebabkan hilangnya asam amino reaktif antara lain lisin,

hidroksilisin dan histidine yang berfungsi mempertahankan ikatan silang

inter dan antar molekul di wilayah telopeptida.

Pada pita amida II, puncak bilangan gelombang antara GKG, GTG

dan GKB menunjukkan nilai serapan secara berturut-turut 1541,12 cm-1,

1521,84 cm-1 dan 1543,05 cm-1. Wilayah amida II menunjukkan adanya

kelainan pada struktur molekul akibat transformasi α-heliks menjadi struktur

Page 180: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

158

koil acak akibat proses hidrolisis parsial selama ekstraksi (Muyonga et al.,

2004c), yang ditandai oleh terjadinya vibrasi lentur N-H bergandengan

dengan vibrasi peregangan CN (Yu et al., 2014). Suhu dan lamanya waktu

ekstraksi dapat menyebabkan perubahan triple helix sebagai akibat

denaturasi kolagen menjadi gelatin (Muyonga et al., 2004c). Semakin kecil

bilangan gelombang, menunjukkan semakin kecil tingkat kerusakan triple

heliks.

Panjang gelombang GKG dan GTG pada wilayah puncak pita amida

III menunjukkan nilai serapan yang sama yaitu 1234,44 cm-1, sedangkan

GKB ada pada 1238,30 cm-1, menunjukkan adanya gangguan yang lebih

besar pada molekulnya, dan ini menurut Sinthusamran et al. (2014) terkait

dengan hilangnya struktur triple heliks. Wilayah amida III adalah wilayah

spektrum 1220-1320 cm-1 dan berhubungan dengan peregangan CN dan

deformasi NH serta adanya penyerapan yang timbul dari vibrasi kelompok

CH2 dari backbone glisin dan rantai samping prolin (Ahmad dan Benjakul,

2011).

Tahap III. Aplikasi gelatin ikan gabus dalam proses pembuatan sosis

berbasis meat by-product sapi 3.1 Komposisi dan Karakteristik Daging Pipi Sapi

Sangat sedikit informasi penelitian yang dilaporkan terkait komposisi

dan karakteristik daging pipi, kecuali yang dilaporkan oleh Talmant et al.

(1986); Vasudevan dan Venkataramanujam (2012). Secara visual, daging

pipi menyerupai daging skeletal pada umumnya, meskipun demikian daging

Page 181: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

159

ini dikategorikan sebagai daging non-karkas karena posisi anatomisnya

terletak pada bagian kepala. Hasil pengamatan peneliti menunjukkan

bahwa otot pipi adalah bagian dari otot rangka yang memiliki fungsi

anatomis tersendiri, tetapi karakteristik ototnya tidak berbeda jauh dengan

otot-otot pada bagian tubuh lainnya.

Gambar 25. Daging pipi (Musculus massetter)

Daging pipi tersusun atas komposit serat otot, jaringan ikat, adipose,

vascular dan saraf, sebagaimana daging skeletal pada umumnya (Listrat et

al., 2016). Pada hampir seluruh permukaan daging pipi terdapat penebalan

jaringan ikat yang cukup padat. Jaringan ikat yang padat ini mungkin ada

hubungannya dengan fungsi kerja dari otot yang banyak melakukan

aktivitas bergerak ketika hewan mengunyah/memamah biak (Purslow,

2005), akibatnya otot mengalami penebalan jaringan ikat di sekitar berkas

otot. Keadaan ini akan dapat mempengaruhi sifat fisiko-kimianya (Hoffman

et al., 2012). Ada beberapa sifat fisiko-kimia daging pipi yang diamati,

dengan demikian, meskipun informasi yang disajikan terbatas, penelitian ini

Page 182: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

160

akan membantu dalam mendeskripsikan otot pipi sapi sebagai informasi

untuk penelitian selanjutnya.

3.1.1 Komposisi Kimia Daging Pipi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa komposisi kimia daging pipi

pada dasarnya menyerupai daging skeletal pada umumnya (Huff-Lonergan,

2010; Onyango et al., 1998; Williams, 2007). Tabel 13 menunjukkan kadar

air, protein, lemak, abu dan karbohidrat daging pipi. Kadar air daging pipi

berkisar pada 75,75 ± 0,25%, tidak berbeda dari yang dilaporkan Rotta et

al. (2009) pada otot Longissimus dari sapi Nellore, yaitu 75,1 ± 0,38%.

Huff-Lonergan (2010) mengemukakan bahwa di dalam otot, air

merupakan komponen utama cairan ektrakseluler, sedangkan di dalam sel

sebagai cairan sitoplasma yang berperan dalam proses termoregulasi,

media dalam proses seluler sel, dan untuk transportasi nutrisi. Air yang

dikandung dan tertahan di dalam otot adalah air yang terdapat di dalam

myofibril, antara myofibril dan selaput sel (sarcolemma), antara sel otot dan

antara kumpulan otot (Offer dan Cousins, 1992). Air di dalam otot terbagi

atas tiga bagian sebagaimana Abustam (2012), yaitu air terikat secara

kimiawi oleh protein otot, air ini tidak mudah mengalami pergerakan; air

yang terikat agak lemah (air yang terperangkap), yaitu air yang tertahan

dalam struktur otot tetapi tidak terikat oleh protein, dan air ini akan terikat

oleh protein jika tekanan uap air meningkat; dan air bebas, yaitu air yang

mengalir dari jaringan tanpa hambatan. Huff-Lonergan dan Lonergan

(2005) menyatakan bahwa air yang berperan dalam proses konversi otot

Page 183: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

161

menjadi daging adalah jenis air yang terperangkap. Dalam proses

pengolahan, air menjadi salah satu parameter penting yang sangat

dipertimbangkan karena mempengaruhi karakteristik akhir dari produk.

Tabel 13. Komposisi kimia daging pipi Nilai Air (%) Protein (%) Lemak (%) Karbohirat (%) Abu (%)

75,75 ± 0,25 22,25 ± 0,35 0,31 ± 0,02 0,99 ± 0,23 0,99 ± 0,05

Rata-rata ± standard deviasi (n=3)

Protein daging pipi sekitar 22,25 ± 0,35%, dan merupakan komponen

terbesar kedua otot setelah air. Protein pada otot dapat bervariasi antara

16-22% (Huff-Lonergan, 2010), sebagaimana juga yang dilaporkan oleh

Hoffman et al. (2012) pada beberapa jenis otot bangsa sapi South African,

bahkan dapat mencapai 24.0% (Rotta et al., 2009). Protein adalah

representasi kadar asam amino yang merupakan sumber nutrisi penting

pangan konsumsi manusia. Pada otot sendiri, protein terdiri atas protein

terlarut (protein sarkoplasma), yaitu protein yang terlibat dalam proses

pensinyalan seluler dan enzim yang penting dalam metabolisme dan

degradasi protein; dan protein tidak mudah larut (kecuali pada kekuatan ion

yang lebih tinggi), adalah protein yang terlibat langsung dalam proses

pergerakan (protein kontraktil, protein miofibrilar), dan protein yang

mengatur interaksi antara protein kontraktil (Huff-Lonergen, 2010). Lebih

lanjut disebutkan bahwa protein otot mempunyai fungsi yang beragam, dan

fungsi utama protein diperankan oleh miofibrilar dengan komponen aktin

Page 184: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

162

dan miosinnya dan sejumlah organel lain yang terlibat dalam proses

kontraksi-relaksasi otot.

Kadar lemak pada daging pipi cukup rendah yaitu sekitar 0,31 ±

0,02% dibandingkan dengan kadar lemak yang dilaporkan pada jenis otot

skeletal yang lain, yaitu lebih dari 1% (Hoffman et al., 2012; Rotta et al.,

2009), tetapi bisa bervariasi tergantung pada usia hewan, tingkat gizi

hewan, dan jenis otot (Huff-Lonergan, 2010). Rendahnya kadar lemak ini

mungkin ada kaitannya dengan intensitas aktivitas otot pipi, dimana

aktivitas mengunyah menyebabkan tidak tersisanya cadangan energi yang

dapat dirombak menjadi deposit lemak akibat penggunaan energi yang

berjalan efektif sepanjang waktu. Otot pipi menurut Hertog‐Meischke et al.

(1997), termasuk jenis otot dengan tingkat metabolism tinggi. Kadar

karbohidrat pada daging pipi adalah sekitar 0,99%. Cobos dan Diaz (2014)

menyebutkan bahwa kadar karbohidrat otot berkisar antara 0,5-1,5%, yang

terutama merupakan cadangan glikogen dengan fungsi sebagai sumber

energi bagi otot, terutama ketika konversi otot menjadi daging. Kadar

glikogen yang terkandung dalam otot adalah salah satu indikator yang

menentukan kualitas daging. Glikogen merupakan substrat utama dalam

proses metabolik yang akan menghasilkan asam laktat pada konversi otot

menjadi daging, menyebabkan terjadinya penurunan pada pH dan

berimplikasi terhadap karaktristik daging yang lain, di antaranya daya

mengikat air dan warna daging (Aberle et al, 2001; Abustam, 2012). Kadar

abu yang dikandung daging pipi adalah 0,99% dan tidak berbeda nyata

Page 185: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

163

dengan kadar abu otot longissimus sapi Simmental muda (Ćirić et al.,

2017).

3.1.2 Karakteristik Daging Pipi

Karakteristik daging pipi sapi tersaji pada Tabel 14. Hasil

pengamatan pH daging pipi sapi sekitar 6 jam postmortem adalah sekitar

5,83 ± 0,07 lebih rendah dari pH 24 jam yang dilaporkan oleh Talmant dan

Monim (1986) pada daging pipi sapi yaitu sekitar 6,20 dan Vasudevan dan

Venkataramanujam (2012) pada daging pipi kerbau yaitu 6,46 ± 0,02. pH

daging pipi hasil penelitian relatif sedikit agak tinggi (0,21 poin) dibanding

pH-ultimat normal daging sapi (5,3-5,7) (Aberle et al., 2001).

Tabel 14. Karakteristik daging pipi (M. masseter) Nilai pH 5,83 ± 0,11 mg H2O 42,24 ± 7,60 Susut masak (%) 31,57 ± 3,36 Daya putus daging (kg/cm2) 3,12 ± 0,33 Warna L a* b*

39,12 ± 3,67 22,97 ± 2,69 2,57 ± 1,11

Rata-rata ± standard deviasi (n=5)

Potential hydrogen (pH) daging pipi pada 6 jam postmortem masih

relatif tinggi dari pH normal. Keadaan ini ada kaitannya dengan kondisi

ternak antemortem. Cadangan glikogen berkurang akibat aktivitas otot

maupun faktor lain yang berpotensi menyebabkan stress (kekurangan

pakan, cekaman panas, transportasi dan sebagainya) yang terus

berlangsung sesaat sebelum ternak disembelih. Tidak ada catatan maupun

Page 186: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

164

informasi latar belakang sapi Bali yang disembelih baik jenis kelamin, pakan

maupun aktivitas lain sebelum penyembelihan, kecuali umur (3,5-5 tahun),

sehingga diasumsikan bahwa sapi yang disembelih berada pada kondisi

yang relatif sama. Henckel et al. (2000) berpendapat bahwa penurunan pH

setelah hewan mati dipengaruhi oleh kondisi fisiologis otot dan ini

berhubungan dengan produksi asam laktat maupun kapasitas produksi

energi otot dalam bentuk ATP. Terjadinya penurunan pH ini disinyalir akibat

berkurangnya oksigen dalam darah dalam waktu yang singkat setelah

postmortem sehingga proses oksidasi terhenti dan beralih pada proses

glikolisis yang menghasilkan asam laktat, yang pada gilirannya menurut

Puolanne et al. (2002) ditujukan untuk mempertahankan kadar ATP dalam

tingkat yang normal (homeostasis).

Rata-rata daya mengikat air (DMA) daging pipi yang direfleksikan

sebagai mg H2O per gram sampel yang terlepas dari otot adalah sekitar

42,24 ± 7,60 mg air sebagaimana pada Tabel 14. Hasil analisis koefisien

korelasi (r) menunjukkan ada hubungan negatif yang sangat kuat antara pH

dan DMA, yaitu r = -0,93, yang berarti bahwa semakin rendah pH maka

kemampuan otot dalam melepaskan air semakin tinggi. Berdasarakan

persamaan garis menunjukkan bahwa setiap penurunan pH sebesar 1 poin

akan menyebabkan daging pipi melepaskan air sebesar 65,79 mg dengan

koefisien determinasi (R2) = 0,85. Koefisien determinasi sebesar 0,85 yang

berarti sekitar 85,33% daya mengikat air dipengaruhi oleh pH, adapun

sisanya (14,67%) dipengaruhi oleh faktor lain.

Page 187: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

165

Tabel 15. Hubungan antara pH dengan parameter lain (DMA, susut masak, sherat force nilai L, a* dan b*) berdasarkan analisis uji korelasi Pearson (r).

Item 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. • pH 1 • mg H2O -0,925* 1 • Susut masak -0,836 0,974** 1 • Shear force 0,659 -0,374 -0,222 1 • L -0,623 0,659 0,525 -0,257 1 • a* -0,710 0,510 0,302 -0,723 0,798 1 • b* -0,564 0,415 0,215 -0,434 0,849 0,929* 1

* (P<0,05) ** (P<0,01)

Tidak ada standard yang menunjukkan nilai besaran daya mengikat

air daging, tetapi secara umum telah diilustrasikan oleh Abustam (2012)

dalam bukunya; adapun Kenney (1995) menyebutkan bahwa kemampuan

mengikat air daging pipi berada pada kisaran sedang (intermediate binding

capacity) sebagaimana yang dikuatkan oleh penelitian Komariah dkk.

(2009) terhadap DMA otot longissimus dorsi sapi yang lebih tinggi dibanding

nilai DMA daging pipi hasil penelitian.

Gambar 26. Hubungan laju penurunan pH terhadap kemampuan daging pipi melepaskan air (mg).

y = -65.794x + 425.68R² = 0.8533

0

10

20

30

40

50

60

5.70 5.75 5.80 5.85 5.90 5.95 6.00

Air t

erle

pas

(mg)

pH

Page 188: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

166

Kemampuan daging untuk mengikat air merupakan sifat kompleks

yang dipengaruhi oleh perubahan struktural dan biokimiawi yang terjadi

selama transformasi otot menjadi daging (Bowker dan Zhuang, 2015), tetapi

variasinya dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor antara lain pH, jenis ternak,

jenis otot, jenis kelamin, umur, pakan, transportasi, suhu dan perlakuan

sebelum dan setelah penyembelihan (Abustam, 2012). Penurunan kadar

air daging pipi sebagaimana pada daging secara umum menurut Joo et al.

(1995); Listrat et al. (2016) disebabkan oleh tingkat penurunan pH, dimana

perlakuan sebelum dan setelah penyembelihan maupun faktor intrinsik

ternak tercermin pada tingkat penurunan pH. Penurunan pH ini

menyebabkan asam laktat terakumulasi dalam otot, tetapi keadaan ini

tergantung pada kondisi ternak antemortem. Aksi asam laktat dalam otot

mengakibatkan terjadinya denaturasi protein otot, sebagaimana Schafer et

al. (2002) menjelaskan bahwa penurunan pH postmortem berakibat pada

perubahan terhadap tingkat molecular, seperti penyusutan pada kisi

miofilamen dan jembatan silang aktomiosin, penyusutan pada miofibrilar

dan kontraksi serta denaturasi myosin; terjadi perubahan struktural pada

serat dan serabut bundel sehingga memperluas ruang esktra selular; dan

terjadi perubahan permeabilitas terhadap air dalam sel dan membrane

basal.

Susut masak daging pipi pada 6 jam postmortem adalah 31,57 ±

3,36% (Tabel 14). Susut masak termasuk salah satu atribut kualitas daging

yang penting. Terdapat korelasi yang sangat kuat antara pH dan susut

Page 189: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

167

masak, yaitu r = -0,84, menunjukkan bahwa semakin rendah pH daging,

maka susut masak semakin tinggi. Kondisi ini tergambar pada tingkat

linearitas persamaan garis hubungan laju antara pH dan susut masak

(Gambar 27). Dari persamaan tersebut menunjukkan bahwa terjadi

kenaikan persentase susut masak sebesar 26,32% setiap terjadinya

penurunan pH 1 poin. Hubungan positif antara susut masak dengan

kemampuan otot melepaskan airnya (mg H2O), menurut Ekiz et al. (2009)

diakibatkan oleh terjadinya penurunan pH.

Gambar 27. Hubungan laju penurunan pH dan susut masak daging pipi sapi Bali

Terjadinya peningkatan pada persentase susut masak sangat

berkaitan dengan DMA daging. Hal ini dapat dijelaskan berdasarkan

Gambar 26, dimana terdapat korelasi positif antara kenaikan persentase

susut masak dengan air yang dilepaskan oleh otot, dengan r = 0,97, yang

berarti ada hubungan yang sangat kuat antara susut masak dan DMA.

Berdasarkan persamaan linear menunjukkan bahwa setiap terjadi kenaikan

y = -26.315x + 184.94R² = 0.6979

05

10152025303540

5.70 5.75 5.80 5.85 5.90 5.95 6.00

Susu

t mas

ak (%

)

pH

Page 190: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

168

persentase susut masak sebesar 0,43% menyebabkan terjadinya

pelepasan air otot sebesar 1 mg dengan R2 = 0,95, yang berarti pula bahwa

terdapat sekitar 94,86% susut masak dipengaruhi oleh DMA, dan sisanya

oleh faktor lain.

Daging pipi sapi pada penelitian ini termasuk tipe daging yang

memiliki susut masak sedang yaitu sekitar 31,57 ± 3,36% jika dibandingkan

hasil penelitian Komariah dkk. (2009) pada otot Longissimus ternak sapi

pada jam pengamatan yang sama, yaitu 41,40 ± 0,39%, tetapi lebih tinggi

dari daging domba (28,54 ± 0,92%) dan tidak berbeda dengan daging

kerbau (31,40 ± 0,38%). Menurut Lawrie et al. (2003) kisaran susut masak

dapat bervairiasi antara 1,5% sampai 54,5%. Perbedaan pada susut masak

ini dapat dipengaruhi oleh perbedaan letak otot dan jenis ternak.

Gambar 28. Hubungan antara laju terlepasnya air dan dan susut masak daging pipi sapi Bali.

Susut masak adalah salah satu parameter kualitas daging penting

yang terkait dengan kadar air daging, semakin rendah persentase susut

y = 0.4307x + 13.381R² = 0.9486

0

5

10

15

20

25

30

35

40

30 35 40 45 50 55

Susu

t mas

ak (%

)

Air terlepas (mg H2O)

Page 191: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

169

masak menunjukkan semakin sedikit air yang lepas setelah pemanasan.

Hal ini menurut Aaslyng et al. (2003) mengindikasikan bahwa daging

tersebut memiliki kemampuan daya mengikat air yang tinggi. Shanks et al.

(2002) menjelaskan bahwa besarnya susut masak dipengaruhi oleh

banyaknya kerusakan pada membran seluler, banyaknya air yang keluar

dari daging, degradasi protein dan rendahnya kemampuan daging untuk

mengikat air.

Kualitas daging yang lain adalah keempukan. Keempukan dapat

diduga dengan mengukur daya putus daging. Hasil penelitian (Tabel 14)

menunjukkan kisaran daya putus daging pipi adalah 3,12 ± 0,33 kg/cm2.

Daya putus daging pipi menunjukkan nilai yang lebih tinggi dibanding hasil

penelitian Adha (2015) pada tiga jenis otot yang berbeda yaitu Longissimus,

Semitendinosus dan Infraspinatus yaitu berturut-turut 2,49, 3,04 dan 2,64

kg/cm2.

Gambar 29. Hubungan laju penurunan pH dan daya putus daging (kg/cm2)

y = 2.0059x - 8.5613R² = 0.4286

0

0.5

1

1.5

2

2.5

3

3.5

4

5.70 5.75 5.80 5.85 5.90 5.95 6.00

Daya

put

us (k

g/cm

2 )

pH

Page 192: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

170

Uji korelasi Pearson menunjukkan ada hubungan yang kuat antara

pH dan daya putus daging yaitu r = 0,66 (Gambar 29), ini sebagaimana

pernyataan Coleman et al. (2016) bahwa ada korelasi pH ultimat dengan

keempukan. Analisis regresi menunjukkan terjadi penurunan daya putus

daging sebesar 0,20% jika terjadi penurunan pH 1 poin, dengan R2 = 0,43.

Rendahnya nilai R2 menunjukkan bahwa ada faktor lain selain pH yang

mempengaruhi daya putus daging, termasuk daya mengikat air, jaringan

ikat dan lemak intramuscular (Ablikim et al., 2015; Wyrwisz et al., 2012).

Terdapat korelasi negatif yang sangat kuat antara daya putus daging

dengan daya mengikat air yaitu r = -0,61 dan berdasarkan persamaan garis

(Gambar 30) menunjukkan bahwa jika terjadi penurunan air otot sebesar

14,15 mg maka akan berakibat pada meningkatnya daya putus daging

sebesar 1 kg/cm2 dengan R2 = 0,37. Koefisien determinasi ini

mengindikasikan bahwa daya mengikat air hanya memberi kontribusi

sekitar 37% terhadap sifat daya putus daging.

Gambar 30. Hubungan laju pelepasan air pada otot (mg) terhadap daya putus daging pipi sapi (kg/cm2).

y = -0.0161x + 3.8096R² = 0.1402

0

0.5

1

1.5

2

2.5

3

3.5

4

30 35 40 45 50 55

Day

a Pu

tus

dagi

ng (k

g/cm

2 )

mg H2O

Page 193: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

171

Daya putus daging yang tinggi mengindikasikan bahwa daging

cenderung alot. Daya putus daging pipi terindikasi lebih tinggi dibanding

beberapa jenis otot seperti yang telah disebutkan di atas. Hal ini dapat

dihubungkan dengan sifat daging pipi yang hampir tidak mengandung

lemak, tetapi banyak mengandung jaringan ikat.

Gambar 31. Hubungan laju perubahan pH terhadap warna daging pipi sapi Bali.

Warna daging adalah salah satu atribut penting tingkat ketertarikan

konsumen dalam menilai daging. Hasil penelitian variasi pada warna daging

pipi ditampilkan pada Tabel 14. Warna daging pipi yang diukur

menggunakan colorimeter memiliki tingkat kecerahan, kemerahan dan

kekuningan yang disimbolkan dengan L, a* dan b*. Nilai notasi warna di

antara sampel daging pipi yang diamati menunjukkan nilai yang cukup

bervariasi, dan ini ada kaitannya dengan penurunan pH. Nilai L daging pipi

adalah sekitar 39,12 ± 3,44 dengan kofisien korelasi terhadap pH adalah r

= -0,62. nilai a* berkisar pada 22,97 ± 2,77 dan r = -0,71, dan nilai b* berada

pada kisaran 2,57 ± 1,27 dan r = -0,56. Warna daging pipi menunjukkan

y = -21.192x + 162.63R² = 0.38

y = -17.76x + 126.47R² = 0.4966

y = -5.8534x + 36.687R² = 0.3164

05

101520253035404550

5.70 5.75 5.80 5.85 5.90 5.95 6.00

War

na

pH

L a* b* Linear (L) Linear (a*) Linear (b*)

Page 194: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

172

korelasi yang kuat dengan pH. Berdasarkan persamaan garis (Gambar 31)

menunjukkan penurunan pada tingkat kecerahan, kemerahan dan

kekuningan daging pipi secara berturut-turut yaitu sekitar 21,19 (R2 = 0,38),

17,76 (R2 = 0,50) dan 5,85 (R2 = 0,32) seiring terjadinya peningkatan

terhadap pH sebesar 1 poin.

Tingkat kecerahan (L) daging pipi relatif berada pada kisaran

sebagaimana yang dilaporkan oleh Coleman et al. (2016); Page et al.

(2001); Samootkwam et al. (2015) yaitu pada kisaran 37 sampai 41,

meskipun pH otot yang mereka laporkan sedikit lebih rendah dari hasil

penelitian, tetapi tingkat korelasinya sangat kuat. Nilai a* hasil penelitian

berada pada kisaran yang sedikit lebih rendah dari yang dilaporkan Page

et al. (2001) pada otot Longissimus beberapa jenis sapi yaitu berkisar pada

23,40 (sapi perah), 24,78 (heifer), 25,20 (steer) dan 25,17 (Brahman); dan

lebih tinggi dari yang dilaporkan oleh Coleman et al. (2016) pada otot

longissimus beberapa bangsa sapi persilangan. Otot sapi yang dilaporakan

tersebut memiliki pH yang berada pada kisaran pH normal (5,4 sampai 5,7),

dibanding hasil penelitian. Keragaman pada nilai a* dapat dihubungkan

dengan kadar myoglobin otot (Page et al., 2001). Warna daging yang

mengarah pada kekuningan dinotasikan sebagai b* menunjukkan nilai yang

cukup rendah dibanding nilai b* beberapa jenis otot yang dilaporkan (Diniz

et al., 2016; Page et al, 2001; Stadnik dan Dolatowsky, 2011; Wyrwisz et

al., 2012). Intensitas b* oleh Colemen et al (2016) lebih dikaitkan dengan

Page 195: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

173

tingkat perlekatan lemak pada daging; atau mungkin jaringan ikat yang

banyak terdapat pada daging pipi (Wyrwisz et al., 2012).

Terdapat korelasi negatif antara pH dengan warna otot daging pipi.

Pasca penyembelihan, pH cenderung menurun akibat proses glikolisis, hal

ini menyebabkan warna daging menjadi lebih cerah. Sebaliknya pada pH di

atas pH normal, warna cenderung mengarah pada warna merah gelap.

Menurut Wyrwisz et al. (2012) ketika pH berada di atas pH normal, protein

menyerap air di otot sehingga serat otot lebih kencang, menyebabkan

dispersi cahaya ke permukaan menjadi berkurang, tetapi otot dengan pH

lebih rendah maka tingkat air bebasnya semakin banyak sehingga akan

banyak serabut otot yang membengkak, menyebabkan warna myoglobin

akan terpantul dan secara visual menghasilkan perpaduan intensitas warna

yang lebih terang. Warna merah cerah pada daging merupakan refleksi dari

kandungan myoglobin dalam daging (Suman dan Joseph, 2012). Ini

menunjukkan bahwa perbedaan jenis ternak, letak otot dan aktivitas otot

dapat menghasilkan perbedaan pada warna daging (Abustam, 2012).

4.3.2 Karakteristik Fisik dan Kimia Sosis Daging Pipi dengan

Penambahan Gelatin pada Level Berbeda 4.3.2.1 Komposisi Kimia Sosis

Karakteristik sosis berbasis daging pipi dengan penambahan gelatin

ikan gabus (GKG) pada level 1%, 2% dan 3% dibandingkan dengan level

gelatin komersial (GKB) 2% tersaji pada Tabel 16. Hasil analisis

menunjukkan bahwa level penambahan GKG dan GKB berpengaruh nyata

Page 196: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

174

(P<0,05) terhadap kadar air sosis, tetapi tidak menunjukkan pengaruh nyata

(P>0,05) terhadap protein, kadar lemak, dan kadar abu sosis. Analisis lanjut

pada kadar air menunjukkan antara sosis dengan perlakuan kontrol, 1%

GKG dan 2% GKB tidak berbeda nyata (P>0,05), sedangkan perlakuan 1%,

2% GKB dengan 2% GKG dan 3% GKG menunjukkan perlakuan yang tidak

berbeda nyata (P>0,05).

Tabel 16. Karakteristik fisik sosis dengan penambahan gelatin sebagai binder

Karakteristik Kontrol 1% GKG 2% GKG 3% GKG 2% GKB

Proksimat (%)

Air

Protein

Lemak

Abu

60,43 ± 1,73a

17,48 ± 0,78a

2,41 ± 0,36a

2,06 ± 0,38a

62,09 ± 0,93ab

18,84 ± 1,93a

2,50 ± 0,29a

2,07 ± 0,12a

63,27 ± 0,72b

18,84 ± 1,04a

2,59 ± 0,16a

1,97 ± 0,24a

63,95 ± 1,07b

19,01 ± 0,67a

2,60 ± 0,19a

1,86 ± 0,27a

62,46 ± 1,15ab

18,69 ± 0,85a

2,57 ± 0,15a

2,07 ± 0,18a

Susut masak (%) 12,71 ± 3,18b 6,67 ± 0,87a 6,64 ±1,08a 3,87 ± 2,35a 5,87 ± 0,35a

Stabilitas Emulsi (%) S

AL

LL

16,30 ± 2,92c

11,53 ± 0,50b

4,77 ± 0,02a

11,43 ± 4,68bc

7,13 ± 2,73ab

4,30 ± 0,06a

8,66 ±3,21ab

5,12 ±1,72a

3,53 ±0,03a

5,73 ±0,88a

4,83 ±1,21a

0,90 ±0,01b

8,81 ±0,44ab

5,68 ±2,01ab

3,13 ±0,02a

(a, b, c) Superskrip pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05). Rata-rata ± SEM (n=3). GKG = gelatin kulit ikan gabus, GKB = gelatin komersial bersumber dari tulang bovine, S = supernatan, AL = air yang terlepas, LL = lemak yang lepas

Sosis berbasis daging pipi yang diberi perlakuan level gelatin

berbeda menunjukkan kadar air yang cenderung meningkat seiring dengan

bertambahnya level gelatin, yaitu 60,43 ± 1,73 sampai 63,95 ± 1,07%

tergantung dari level gelatin, dan kadar air sosis telah sesuai dengan

Standard Nasional Indonesia (SNI 01-3820-1995) yaitu di bawah maksimal

67%. Penambahan 1% GKG dalam formula sosis telah dapat

mempengaruhi peningkatan terhadap kadar air sosis dibandingkan

perlakuan kontrol. Hasil pengamatan Lee dan Chin (2016) terhadap

Page 197: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

175

penambahan gelatin hingga 1,5% belum memberi pengaruh terhadap kadar

air sosis di antara perlakuan, tetapi sebaliknya pada hasil penelitian Yeo et

al. (2014) menunjukkan terjadi peningkatan terhadap kadar air sosis

dengan penambahan konsentrasi gelatin berbeda.

Perbedaan terhadap kadar air sosis ada kaitannya dengan

kemampuan adonan dalam mengikat air, dan ini tergantung dari jenis

gelatin dengan sifat hidrofilik dan kempuannya dalam membentuk gel

(Feiner, 2006), dan konsentrasi serta formulasi yang digunakan (Lee dan

Chin, 2016; Souissi et al., 2016; Yeo et al., 2014). Fungsi gelatin adalah

mengikat kelebihan air bebas yang terkandung dalam adonan, sehingga air

yang dapat terlepas ketika terjadi proses pemasakan relatif rendah

dibanding sosis tanpa penambahan gelatin (kontrol). Penelitian Schilling et

al. (2003) pada produk daging yang diberi penambahan kolagen babi

secara nyata mampu menurunkan kadar air dibanding kontrol.

Penambahan gelatin hingga 3% GKG dan 2% GKB tidak

berpengaruh terhadap kadar protein, lemak dan abu sosis sebagaimana

pada Tabel 16, tetapi telah memenuhi standard yang ditetapkan oleh SNI

01-3820-1995 yaitu minimal 13% untuk protein, maksimal 25% untuk lemak

dan maksimal 3% untuk abu. Kisaran kadar protein sosis berbasis daging

pipi adalah 17,48 ± 0,78% sampai 19,01 ± 0,67%.

Persentase protein sosis berbasis daging pipi tidak menunjukkan

perbedaan nyata di antara perlakuan (P>0,05), tetapi penambahan gelatin

cenderung dapat meningkatkan kadar protein sosis meskipun dalam jumlah

Page 198: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

176

persentase yang sedikit. Rendahnya kenaikan kadar protein ini mungkin

karena penambahan gelatin dalam jumlah yang sedikit. Berbeda pada sosis

yang diberi level gelatin dalam jumlah yang relatif banyak, sebagaimana

penelitian Yeo et al. (2014) yang mengggunakan gelatin hingga 20% b/b.

Berbeda dengan hasil penelitian Souissi et al. (2016), menunjukkan adanya

peningkatan pada kadar protein sosis dari 17,58 ± 0,92 % menjadi 20,56 ±

1,07% pada penambahan gelatin hingga 1,5%. Hal ini mengindikasikan

bahwa selain level gelatin, jenis gelatin dapat mempengaruhi kadar protein

sosis yang dihasilkan (Pereira et al., 2011), dimana kandungan protein

gelatin berbeda-beda, tergantung dari sumber bahan bakunya.

Kadar lemak sosis berbasis daging pipi ini cenderung rendah yaitu

sekitar 2,41 ± 0,36% sampai 2,69 ± 0,14%. Rendahnya kadar lemak sosis

terkait dengan jumlah lemak yang ditambahkan dan kadar lemak bahan

baku sendiri, dimana daging pipi memiliki kadar lemak <1% (Tabel 15).

Secara keseluruhan, kadar lemak sosis menunjukkan nilai yang tinggi pada

sosis dengan perlakuan GKG 3% dan GKB 2%, dibandingkan pada

perlakuan kontrol maupun GKG 1% dan GKG 2%.

Kadar lemak yang tinggi seiring dengan bertambahnya level gelatin

mungkin saja terjadi karena kemampuan gelatin mengikat lemak lebih baik

dibandingkan pada level gelatin yang lebih rendah. Pada sosis dengan level

gelatin rendah terdapat sejumlah lemak yang tidak dapat berikatan secara

sempurna dengan protein, akibatnya terjadi pelarutan lemak bersama air

selama proses pemasakan. Lemak yang terikat secara longgar maupun

Page 199: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

177

yang tidak terikat oleh protein akan menjadi lemak bebas di dalam adonan

dan dapat terlepas dengan mudah dalam air ketika proses perebusan.

Penambahan gelatin sebagai bahan aditif dapat mempengaruhi

karakteristik sosis, meskipun efek ini tergantung dari jenis bahan baku yang

digunakan (Cofrades et al., 2000; Pereira et al., 2011).

Kadar abu sosis berbasis daging pipi berada pada kisaran 1,86 ±

0,27% sampai 2,07 ± 0,18%, menunjukkan semakin tinggi level GKG maka

kadar abu semakin menurun. Tampaknya, kadar abu sosis dengan

perlakuan 2% GKB menunjukkan kadar abu yang relatif tinggi dibanding

kadar abu sosis GKG dengan level yang sama. Dugaan penulis sejauh ini

bahwa kadar abu lebih dipengaruhi oleh penambahan gelatin meskipun

pengaruhnya tidak signifikan, sehingga jika dianggap penting dan menarik,

maka penelitian lebih lanjut terkait kadar abu sosis dapat dilakukan untuk

mengamati fenomena tersebut.

3.2.2 Susut Masak

Hasil penelitian menunjukkan ada pengaruh nyata (P<0,05)

perlakuan terhadap susut masak sosis. Penambahan level gelatin 1%

sampai 3% GKG maupun 2% GKB memperlihatkan tidak ada perbedaan

terhadap susut masak (P>0,05), tetapi seiring meningkatnya level gelatin,

maka susut masak cenderung menurun. Susut masak berdasarkan level

gelatin berbeda tersaji pada Tabel 17.

Bertambahnya level gelatin, maka susut masak sosis cenderung

menurun, sebagaimana Pereira et al. (2016) yang menegaskan bahwa

Page 200: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

178

binder dengan kadar protein yang lebih tinggi dapat membantu

memperbaiki stabilitas emulsi selama pemasakan. Gelatin adalah

hidrokoloid yang dapat dijadikan sebagai bahan aditif yang berfungsi

mengikat air dan lemak, dikarenakan gelatin mengandung protein tinggi

dengan asam-asam amino yang hampir lengkap (kecuali sistein dan

triptofan). Terjadinya pengikatan protein pada lemak dan air adalah fungsi

dari asam amino yang terkandung dalam gelatin. Sifat asam amino yang

bekerja sebagai hidrofilik dan hidrofobik memiliki peran besar dalam proses

terjadinya emulsifikasi pada adonan sosis. Asam-asam amino ini

merupakan protein aktif yang bekerja mengikat air pada sisi hidrofiliknya,

dan mengikat lemak pada sisi hidrofobiknya, sebagaimana Feiner (2006)

bahwa protein yang ditambahkan dapat bekerja secara aktif dengan

menghambat mobilisasi air dan mengemulsi lemak yang ditambahkan serta

menstabilkan air dan lemak dalam matriks tiga dimensi.

Penyusutan sosis terjadi disebabkan oleh pelepasan air dan lemak

yang tidak terikat dalam matriks adonan selama proses perebusan. Ketika

perebusan, baik air, lemak, maupun larutan gel (yang mungkin terbentuk)

yang bercampur bersama bahan lain dalam bentuk cairan supernatan dapat

merembes keluar menyebabkan terjadi penyusutan (Ranken, 2000),

semakin banyak air/lemak/gel yang terlepas maka susut masak semakin

tinggi. Semakin rendah susut masak, rendemen sosis akan semakin tinggi,

dan ini merupakan bagian penting dalam produksi pangan, karena

Page 201: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

179

berkaitan dengan efisiensi pemanfaatan bahan dalam pengolahan pangan

tersebut (Cheng dan Sun, 2008; Pietrasik, 1999).

3.2.3 Stabilitas Emulsi Sosis

Hasil analisis yang tersaji pada Tabel 17 menunjukkan ada pengaruh

nyata (P<0,05) penambahan gelatin terhadap tingkat stabilitas emulsi sosis,

yang dinyatakan sebagai total cairan/supernatan yang lepas (S), air lepas

(AL) dan lemak lepas (LL). Pada analisis lanjut menunjukkan persentase

supernatan dengan penambahan 3% GKG adalah yang terbaik di antara

seluruh perlakuan, tetapi tidak berbeda dengan perlakuan 2% GKG dan 2%

GKB (P>0,05), sedangkan antara perlakuan 2% GKG, 2% GKB dan 1%

GKG tidak berbeda nyata (P>0,05), dan antara 1% dan kontrol juga

menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05). Semakin tinggi level GKG,

maka supernatan (S) yang dapat dilepaskan semakin sedikit, menunjukkan

efektivitas gelatin dalam mengikat lemak dan air semakin tinggi. Bagian dari

supernatan adalah air dan lemak.

Hasil analisis lanjut menunjukkan ada perbedaan perlakuan

terhadap persentase AL (P<0,05). Meskipun demikian, tidak ada perbedaan

yang nyata persentase AL antara perlakuan 3% GKG, 2% GKG, 2% GKB

dan 1% GKB (P>0,05); dan antara perlakuan 2% GKB, 1% GKG dan kontrol

(P>0,05). Penambahan gelatin terhadap kemapuan sosis melepaskan

lemak (LL) juga menunjukkan ada perbedaan nyata (P<0,05) di antara

perlakuan. Perlakuan 3% GKG berbeda nyata dengan perlakuan lainnya

(P<0,05), sedangkan perlakuan kontrol, 1% GKG, 2% GKG dan 2% GKB

Page 202: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

180

tidak berbeda nyata (P>0,05). Penambahan sampai pada taraf 3% GKG

menunjukkan paling efektif meningkatkan jumlah lemak yang dapat diikat

oleh protein selama proses emulsifikasi.

Semakin tinggi kadar GKG, stabilitas emulsi sosis semakin baik.

Perlakuan GKG terhadap persentase AL dan LL mengindikasikan tidak ada

perbedaan dengan GKB pada taraf 2%, yang berarti efektivitas gelatin ikan

gabus tidak berbeda jauh dengan gelatin komersial dalam mempengaruhi

stabilitas emulsi sosis. Proses emulsifikasi untuk terjadinya stabilitas emulsi

mengikuti teori emulsi (Barbut, 1995) bahwa, lemak distabilkan dalam

adonan daging membentuk lapisan permukaaan protein (film protein

interfacial, IPF) di sekitar globular kecil lemak, yang mana film ini berfungsi

sebagai antarmuka di antara fase berair dan lemak serta mencegah air dan

lemak untuk berkoalesensi (membentuk partikel besar).

Secara umum stabilitas emulsi tidak semata-mata dipengaruhi oleh

gelatin. Pereira et al. (2016), Santhi et al. (2015) menyebutkan bahwa

stabilitas emulsi dapat dipengaruhi oleh jenis dan kadar lemak, kadar air

yang ditambakan, tipe serat, bahan aditif, konsentrasi garam, metode

pengolahan dan lain-lain. Stabilitas emulsi dalam penelitian ini erat

kaitannya dengan kemampuan gelatin melakukan pengikatan terhadap air

dan lemak, yang ditandai dengan adanya perbedaan yang sangat nyata

antara perlakuan dengan dan tanpa penambahan gelatin. Barbut (1995)

menekankan bahwa hal mendasar yang harus diminimalisir dalam proses

pemasakan produk daging adalah terjadinya pelepasan air dan lemak.

Page 203: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

181

Dengan demikian, Rendahnya AL dan LL dengan semakin tingginya level

gelatin menunjukkan keefektifan gelatin dalam mengikat air dan lemak.

Stabilitas emulsi sangat penting untuk memperoleh sosis dengan

karakteristik yang kompak. Penambahan gelatin sebagai binder

dimaksudkan untuk membantu terjadinya pengikatan protein terhadap air

dan lemak yang ditambahkan dalam adonan sosis (Pereira et al., 2016).

Feiner (2006) menjelaskan bahwa tujuan pemasakan dalam pembuatan

sosis adalah untuk mengemulsikan lemak yang ditambahkan dan untuk

mengikat atau menonaktifkan air ketika ada penambahan air bersama

dengan protein aktif. Protein aktif yang dimaksud adalah gelatin yang

termasuk jenis hidrokolid hewani dengan asam-asam aminonya yang

berantai samping aktif, sebagaimana Ayadi et al. (2009) bahwa ini karena

protein memiliki zat aktif permukaan pada kedua sisinya yang bersifat

hidrofilik dan hidrofobik; dan dengan fungsinya tersebut dapat membantu

memperbaiki karakteristik produk, sebagaimana yang juga telah dibuktikan

oleh Kim et al. (2014), Lee dan Chin (2016), Souissi et al. (2016), Yeo et al.

(2014).

3.2.4 Profil Tekstur Sosis

Tekstur termasuk salah satu atribut penting dan cukup

diperhitungkan baik pada bahan pangan maupun produk akhirnya. Hasil

analisis pada Tabel 17 menunjukkan penambahan gelatin berpengaruh

nyata (P<0,05) terhadap sifat kekerasan (hardness), daya kohesif

(cohesiveness), elastisitas dan daya iris (cutting force) sosis.

Page 204: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

182

Tabel 17. Profil tekstur sosis menggunakan level gelatin berbeda

Tekstur Kekerasan (g force)

Daya Kohesive Elastisitas (%)

Daya Iris (g force)

Kontrol 3012,90 ± 146,89a 0,41 ± 0,00a 75,87 ± 4,45a 10556,67 ± 1268,51b

1% GKG 3356,04± 645,98a 0,43 ± 0,03a 76,22 ± 5,18a 6833,00 ± 2022,28a 2% GKG 3457,70 ± 429,90a 0,43 ± 0,10a 81,14 ± 1,77ab 5899,00 ± 1000,75a

3% GKG 3795,10 ± 320,29ab 0,43 ± 0,04a 87,33 ± 2,16b 4747,67 ± 1264,16a 2% GKB 4302,70 ± 495,25b 0,60 ± 0,06b 85,96 ± 7,52b 5473,00 ± 493,21a

GKG = gelatin kulit ikan gabus, GKB = gelatin komersial bersumber dari tulang bovine. (a, b, c) Rata-rata ± SEM (n=3) pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)

Analisis lanjut menunjukkan kekerasan sosis cenderung dipengaruhi

oleh level gelatin (P<0,05). Tingkat kekerasan terendah ditunjukkan oleh

perlakuan kontrol, sebaliknya perlakuan 2% GKB merupakan representasi

tingkat kekerasan tertinggi pada sosis. Tidak ada perbedaan nyata antara

perlakuan 3% GKG dan 2% GKB (P>0,05), dan perlakuan 3% GKG, 2%

GKG, 1 % GKG dan kontrol menunjukkan tidak ada perbedaan (P>0,05)

terhadap kekerasan sosis. Meskipun demikian, semakin tinggi level GKG

maka tingkat kekerasan sosis cenderung semakin meningkat, dan

tampaknya 2% GKB memberi tingkat kekerasan sosis lebih baik dibanding

3% GKG. Ini mungkin dapat dikaitkan dengan kekuatan gel dan sifat

hidrofobik GKB yang lebih baik dibanding GKG.

Penambahan gelatin mempengaruhi tingkat kekerasan sosis,

semakin tinggi level gelatin maka kekerasan sosis semakin meningkat.

Sejumlah penelitian penambahan gelatin terhadap karakteristik kekerasan

sosis menunjukkan hal yang sama (Ch’ng et al., 2014; Chorbadzhiev et al.,

2017; Jridi et al., 2015b). Ch’ng et al., 2014 menjelaskan bahwa

meningkatnya kekerasan sosis pada level gelatin yang tinggi dapat

dikaitkan dengan ketersediaan air dan lemak serta kemampuan gelatin

Page 205: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

183

sebagai binder dalam menyatu bersama bahan lain sehingga menghasilkan

tekstur produk yang homogen.

Tingkat kekerasan produk sosis tidak telepas dari dari jenis bahan

baku dalam formulasi (Santana et al., 2013; Singh et al., 1985). Tingkat

kekerasan pada sosis kontrol sekitar 3012,90 ± 146,89 g force, lebih rendah

dari sosis surimi ikan yang dilaporkan Santana et al. (2013), yaitu 4,15 ±

0,02 kg force, dan lebih tinggi dibanding sosis ayam yang dilaporkan Ch’ng

et al (2014), yaitu 230,7 ± 3,74 g force. Hal ini Mengindikasikan bahwa

bahan baku dapat mempengaruhi tingkat kekerasan sosis.

Daging pipi termasuk jenis daging dengan daya mengikat air relatif

sedang, kadar lemak sangat rendah, dengan nilai daya putus relatif tinggi

(Tabel 14), dan secara visual menunjukkan jaringan ikat yang cukup

banyak. Kemapuan adonan mempertahankan kadar air sebagai efek dari

penambahan gelatin selama proses pemasakan menyebababkan sosis

menjadi lebih padat dan kompak akibat terjadinya ikatan antara lemak, air

dan protein membentuk matriks tiga dimensi. Disaat bersamaan, ketika

pemanasan berlangsung terjadi kerusakan pada jaringan ikat, tetapi,

jaringan ikat terekstrak menyebabkan terbentuknya gel yang melebur

bersama air, dan kemudian ikut berikatan bersama lemak bebas dan protein

miofibrilar dalam adonan sehingga menyebabkan tercegahnya baik air

maupun lemak keluar dari adonan sosis. Terperangkapnya air dalam

adonan diduga menyebabkan tingkat kekerasan sosis relatif meningkat

seiring dengan semakin bertambahnya level gelatin. Hal ini telah dikaji

Page 206: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

184

oleh Ayadi et al. (2009) pada tekstur daging kalkun dan menunjukkan

bahwa kandungan protein, sumber protein, perbedaan rasio antara lemak

dan air, dan rasio protein dan air berperan penting terhadap tekstur produk

yang dihasilkan. Tingkat kekerasan sosis dalam penelitian bervariasi antara

3012,90 ± 146,89 g force sampai 4302,70 ± 495,25 g force, tergantung dari

level dan jenis gelatin.

Pada analisis lanjut daya kohesif sosis menunjukkan ada perbedaan

nyata antara perlakuan (P<0,05). Penambahan 2% GKB menunjukkan

tingkat kohesif sosis lebih tinggi dibanding perlakuan lain (P<0,05). Daya

kohesif adalah ukuran derajat kesulitan dalam merusak struktur internal,

sebagaimana Chorbadzhiev et al. (2017) menyebutkan bahwa profil tekstur

ini bertangggung jawab terhadap integritas sosis. Daya kohesive sosis pada

perlakuan yang berbeda menunjukkan nilai yang berkisar antara 0.4 sampai

0.6. Semakin mendekati 1 maka integritas produk semakin baik.

Penambahan level GKG berbeda tidak memberi nilai kohesif

berbeda dengan kontrol, meskipun tingkat kohesif perlakuan kontrol lebih

rendah dibanding seluruh perlakuan GKG. Penambahan 2% GKB

menunjukkan tingkat kohesif lebih baik di antara seluruh perlakuan,

semakin rendah nilai kohesif mengindikasikan adanya disintegritas produk

yang dihasilkan, yang menurut Resurreccion (2004) terkait dengan produk

daging berkulitas rendah ataupun terjadinya cacat structural. Penambahan

binder semisal gelatin dapat membantu memperbaiki tekstur sosis, akibat

terjadinya peningkatan terhadap retensi air. Sousa et al (2016)

Page 207: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

185

menjelaskannya bahwa penambahan kolagen akan mempertahankan

kandungan air secara kimiawi melalui matriks protein, dan menyebabkan

terjadinya pembengkakan akibat kontak dengan air.

Penambahan gelatin terhadap sifat elastisitas sosis menunjukkan

antara perlakuan 3% GKG, 2% GKB dan 2% GKG tidak berbeda nyata

(P>0,05), demikian halnya perlakuan 2% GKG, 1% GKG dan kontrol

(P>0,05). Elastisitas sosis menggunakan level gelatin berbeda

menunjukkan nilai yang cenderung meningkat seiring meningkatnya level

gelatin dibandingkan kontrol, dan antara perlakuan 2% GKG memiliki

tingkat elastisitas relatif lebih tinggi dibanding perlakuan 2% GKB.

Elastisitas adalah salah satu sifat reologi yang menggambarkan daya tahan

produk untuk lepas atau pecah akibat gaya tekan, dimana produk memiliki

kemampuan untuk kembali pada kondisi semula ketika tekanan

dihilangkan. Kondisi ini sangat dipengaruhi oleh retensi air akibat adanya

binder yang ditambahkan, sebagaimana pengamatan Prestes et al. (2012)

dalam penambahan kolagen hydrolisat pada produk ham masak (cooked

ham) daging kalkun menghasilkan produk dengan ketahanan yang lebih

tinggi terhadap kompresi. Semakin tinggi nilai elastisitas menunjukkan

tingkat kestabilan tekstur semakin baik.

Semakin tinggi level gelatin maka daya iris sosis semakin menurun,

tetapi secara statistik menunjukkan antara perlakuan 3% GKG, 2% GKB,

2% GKG dan 1% GKG adalah sama (P>0,05), dan berbeda dengan kontrol

(P<0,05). Daya iris sosis tertinggi dijumpai pada perlakuan kontrol, dan

Page 208: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

186

terendah pada perlakuan 3% GKG. Hal yang sama dilaporkan oleh Prestes

et al. (2012) terhadap daya iris ham masak daging kalkun yang daya irisnya

lebih tinggi dibanding dengan yang diberi perlakuan colagen hirolisat.

Semakin tinggi level sosis, daya iris sosis relatif rendah.

Daya iris sosis berbasis daging pipi ini mungkin terkait dengan bahan

baku daging yang digunakan, dimana karakteristik daging pipi relatif alot,

akibat penebalan jaringan ikat yang cukup padat. Penambahan gelatin

memberi perbaikan terhadap nilai daya iris sosis. Semakin tinggi level

gelatin yang ditambahkan, maka daya iris sosis semakin rendah. Selain

faktor bahan baku, daya iris dapat dikaitkan dengan susut masak.

Sosis yang diberi perlakuan gelatin akan cenderung menjadi tender

dibanding yang tanpa gelatin, karena gelatin yang ditambahkan mampu

melakukan pengikatan terhadap air. Air yang ditambahkan dapat

menyebabkan retensi sosis terhadap air menjadi tinggi. Demikian halnya

penambahan gelatin menyebabkan terjadinya pengikatan pada lemak,

yang juga dapat memberi sifat tender pada produk akhir. Kombinasi kadar

air yang tinggi dengan lemak yang menyatu lebih sempurna pada produk

akan memberi sifat yang lebih tender. Sebaliknya pada perlakuan kontrol,

dimana air maupun lemak dapat secara bebas keluar dari matriks produk

selama proses pemanasan, yang ditandai dengan tingginya susut masak

menyebabkan produk sosis relatif kurang tender.

Page 209: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

187

3.2.5 Mikrostruktur Sosis

Pengamatan terhadap mikrostruktur sosis ditujukan untuk

membandingkan penampang matriks sosis yang diberi perlakuan

penambahan gelatin terhadap tampilan struktur mikroskopis sosis. Proses

penggilingan daging, penambahan lemak, dan sejumlah bahan pengisi lain

disertai penambahan air akan menghasilkan adonan yang membentuk

emulsi.

Proses pengolahan seperti penggilingan akan menyebabkan

terjadinya kerusakan pada struktur bahan, terutama struktur myofibrilar

daging. Rusaknya myofibrilar ini menyebabkan terjadinya penurunan

terhadap retensi air daging. Penambahan lemak dan air untuk membentuk

sstem emulsi pada adonan dengan karakter struktur myofibril yang telah

rusak justru akan berakibat pada tekstur yang pecah dan kurang kompak

setelah terjadi proses pemanasan. Penambahan binder dalam formulasi

dapat membantu proses penyatuan antara protein myofibrilar, lemak dan

air.

Mikrostruktur sosis berdasarkan Gambar 32 di atas menunjukkan

adanya perbedaan pada penampang permukaan sosis secara jelas.

Gambar 32-A dan 32-B memperlihatkan struktur matriks sosis yang lebih

longgar dibanding struktur matriks sosis pada Gambar 32-C. Struktur yang

longgar mengakibatkan sosis menjadi kurang kompak, sedangkan Gambar

32-D dan 32-E memperlihatkan struktur sosis yang lebih kompak.

Page 210: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

188

A B

C D

E

Gambar 32. Profil mikrostruktur sosis pada level berbeda (Perbesaran × 400). A= kontrol; B= 1% GKG, C = 2% GKG; D= 2% GKB; E= 3% GKG; a= mikroorganisme; b= lubang setengah lingkaran sebagai tempat deposisi lemak yang tidak terikat; c= lubang yang menyerupai pori akibat adanya air bebas; d= larutan gelatin; e= serat daging; f= permukaan sosis yang retak.

Struktur matriks sosis yang relatif longgar (Gambar 32-A)

disebabkan karena air-protein-lemak tidak mampu berikatan satu dengan

lainnya. Keadaan ini menyebabkan sosis tanpa penambahan gelatin

menjadi lebih mudah menyerap air di sekitarnya, sehingga kemungkinan

b

c

b a a

d

d d

d e e

e

f

Page 211: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

189

mikroorganisme lebih mudah bertumbuh dan menghasilkan lapisan

permukaan yang tampak seperti molekul minyak (Gambar 32-a). Ini

berimplikasi pada lebih mudahnya sosis mengalami penurunan mutu

selama penyimpanan. Penambahan 1% GKG (Gambar 32-B) tampaknya

telah dapat membantu terjadinya penyatuan antara air-protein-lemak

meskipun belum optimal, yang ditandai oleh terdapatnya pori sebagai efek

dari air yang tidak terikat (Gambar 32-c), dan pola menyerupai setengah

lingkaran sebagai deposit lemak yang tidak terikat dengan komponen air

dan protein (Gambar 32-b).

Penambahan 2% GKG (Gambar 32-C) memperlihatkan struktur

penampang sosis lebih baik dibanding kontrol dan 1% GKG, dimana

terjadinya pengikatan air-protein-lemak menjadikan struktur matriks sosis

terlihat lebih menyatu dengan baik. Berbeda dengan penambahan 2% GKB

dan 3% GKG (Gambar 32-D dan 32-E), penampang permukaan sosis

tampak sangat padat tetapi menghasilkan kekuatan tarik yang lebih besar,

sehingga kondisi ini justru menghasilkan struktur sosis yang cenderung

seolah retak (Gambar 32-f).

3.3 Karakteristik Sosis Selama Penyimpanan

3.3.1 Daya Mengikat Air Sosis

Hasil analisis ragam pada perbedaan level gelatin memperlihatkan

adanya pengaruh nyata (P<0,05), sedangkan lama penyimpanan tidak

berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap air yang dilepaskan (mg H2O) sosis.

Page 212: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

190

Gambar 33. Pengaruh penambahan level gelatin dan lama penyimpanan terhadap kadar air yang terlepas (mg H2O).

Penambahan level gelatin yang berbeda memberi pengaruh pada

daya mengikat air sosis, yang ditandai dengan relatif rendahnya air yang

terlepas (mg H2O) pada setiap gram sosis ketika dilakukan penekanan

dengan alat tekan (filter paper press) dibanding kontrol. Semakin tinggi level

gelatin maka air yang terlepas semakin sedikit (P<0,05). Sebagaimana

pada Gambar 33 menunjukkan antara perlakuan kontrol dan perlakuan

yang lain ada perbedaan nyata (P<0,05), tetapi perlakuan 2% GKG, 2%

GKB dan 3% GKG tidak berbeda nyata (P>0,05). Penambahan minimal 2%

GKG telah dapat memperbaiki kemampuan sosis dalam mengikat air sosis

berbasis daging pipi sapi, dan tampaknya semakin tinggi level gelatin yang

ditambahkan maka daya mengikat air cenderung semakin meningkat. Hasil

penelitian penggunaan jenis GKG dan GKB juga tidak memperlihatkan ada

perbedaan dalam kemampuannya mengikat air. Air terlepas dari sosis

yang diberi perlakuan kontrol adalah 38,57 ± 8,01 mg H2O/g lebih besar

10

15

20

25

30

35

40

45

50

0 7 1 4 2 1 2 8

Air

terle

pas

(mg

H2O

)

Lama penyimpanan (hari)

Kontrol 1%GKG 2%GKG 3%GKG 2%GKB

Page 213: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

191

dibanding perlakuan 1% GKG yaitu 33,48 ± 5,86 mg H2O/g, dan perlakuan

2% GKG, 2%GKB dan 3% GKG yaitu masing-masing 27,28 ± 8,42, 24,06

± 7,57 dan 23,03 ± 4,98 mg H2O/g.

Lama penyimpanan tidak mempengaruhi kemampuan sosis dalam

mengikat air (P>0,05), semakin lama waktu penyimpanan maka

kemampuan sosis untuk melepaskan air relatif stabil. Banyaknya air yang

terlepas selama penyimpanan hingga 28 hari adalah antara 28,03 ± 7,10

sampai 29,68 ± 10,65 mg H2O/g sosis.

Semakin tinggi level gelatin, kemampuan sosis melepaskan air

semakin sedikit, atau dengan kata lain kemampuan mengikat airnya

semakin tinggi. Hal ini sejalan dengan penelitian Jridi et al. (2015b) pada

sosis kalkun yang memperlihatkan terjadinya peningkatan kemampuan

menahan air seiring dengan meningkatnya level gelatin. Darmanto et al.

(2014) mengemukakan kemampuan mengikat air merupakan indikator

kualitas protein, semakin tinggi kemampuan bahan dalam mengikat air,

maka kualitas proteinnya semakin baik.

Proses pengolahan terutama penggilingan mengakibatkan

terjadinya kerusakan pada struktur protein myofibril, akibatnya sifat myofibril

yang dapat mempertahankan air daging menjadi berkurang. Penambahan

gelatin mampu menggantikan fungsi protein myofibril menahan terlepasnya

air sekaligus dapat mengikat lemak yang ditambahkan ke dalam adonan

sehingga menghasilkan sosis dengan kemampuan mengikat air yang dapat

dipertahankan sampai penyimpanan 28 hari. Ini ditandai dengan

Page 214: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

192

persentase air yang terlepas (mg/g) pada sosis cenderung lebih rendah

dibanding kontrol (Gambar 33). Jridi et al. (2015b) menjelaskan bahwa

penambahan gelatin mengakibatkan terjadinya ikatan silang dari rantai-α

gelatin secara kovalen menjadi bentuk matriks yang membengkak akibat

lingkungan yang mengandung air. Air dalam bentuk gel ini kemudian

tertahan bersama protein dalam adonan sebagai fungsi kerja asam amino

hidrofilik gelatin, dan tetap bertahan sebagaimana kondisi awalnya

manakala dilakukan penyimpanan suhu dingin.

3.3.2 pH Sosis

Penambahan level gelatin yang berbeda berpengaruh terhadap pH

sosis (P<0,05), demikian pula lama penyimpanan menyebabkan pH gelatin

mengalami perubahan (P<0,05), dan tidak ada interaksi antara level gelatin

dan lama penyimpanan terhadap pH sosis (P>0,05). Pengaruh

penambahan level gelatin dan lama penyimpanan terhadap pH sosis tersaji

pada Gambar 32.

Penambahan level gelatin antara 1% GKG, 2% GKG dan 2% GKB

menunjukkan tidak ada perbedaan nyata (P>0,05) terhadap pH sosis,

adapun pada perlakuan kontrol menunjukkan pH sosis yang lebih tinggi,

sedangkan penambahan level 3% GKG menghasilkan sosis dengan pH

yang lebih rendah (P<0,05).

Page 215: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

193

Gambar 34. Pengaruh penambahan level gelatin dan lama penyimpanan terhadap pH

Level gelatin berbeda memperlihatkan perbedaan pH sosis.

Penambahan level gelatin baik GKG maupun GKB menghasilkan nilai

kisaran pH yang relatif sama, adapun pH perlakuan 3% GKG menghasilkan

sosis dengan pH yang relatif lebih rendah di antara semua perlakuan.

Perbedaan pH ini mungkin ada kaitannya dengan pH gelatin yang

digunakan.

Sosis tanpa penambahan gelatin memperlihatkan kisaran pH hingga

penyimpanan selama 28 jam relatif lebih tinggi dibanding pH perlakuan lain.

Menurut Ch’ng et al. (2014) hal ini ada kaitannya dengan adanya akumulasi

metabolit yang disebabkan oleh kerja mikroba pada protein dan asam

amino selama penyimpan.

5.50

6.00

6.50

7.00

7.50

0 7 1 4 2 1 2 8

pH

Lama penyimpanan (hari)

Kontrol 1%GKG 2%GKG 3%GKG 2%GKB

Page 216: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

194

3.3.3 Aktivitas Antioksidan Sosis

Berdasarkan analisis keragaman menunjukkan baik level gelatin

maupun lama penyimpanan menunjukkan pengaruh sangat nyata (P<0,05)

terhadap aktivitas antioksidan gelatin pada sosis meat by-product, tetapi

tidak ada interaksi di antara keduanya (P>0,05). Gambar 35

memperlihatkan pengaruh penambahan level gelatin dan lama

penyimpanan terhadap aktivitas antioksidan pada sosis.

Penambahan gelatin pada level berbeda menunjukkan ada

perbedaan aktivitas antioksidan di antara perlakuan (P<0,05). Persentase

aktivitas antioksidan pada kontrol merupakan yang terendah di antara

perlakuan, sedangkan pada penambahan level 2% GKB menunjukkan

persentase yang tertinggi. Penambahan level 1% GKG dan 2% GKG tidak

berbeda nyata, demikian pula 2% GKG dan 3% GKG, dan antara 3% GKG

dan 2% GKB (P>0,05). Semakin besar level GKG yang ditambahkan maka

aktivitas antioksidan sosis semakin meningkat, dan penambahan 2% GKB

cenderung menunjukkan aktivitas yang lebih baik dibanding perlakuan 2%

GKG. Indikasi ini menunjukkan bahwa perbedaan jenis gelatin dapat

menghasilkan respon yang berbeda terhadap kemampuannya menangkal

radikal bebas, sebagaimana aktivitas antioksidan tiga jenis gelatin dari

sumber ikan berbeda, yang dilaporkan oleh Alemán et al. (2011) pada flying

squid (Dosidicus gigas), tuna (Thunnus spp.) dan halibut (Hypoglossus

spp.), dan Kittiphattanabawon et al. (2012a) pada gelatin kulit Chiloscyllium

punctatum dan Carcharhinus limbatus.

Page 217: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

195

Gambar 35. Pengaruh penambahan level gelatin dan lama penyimpanan

terhadap aktivitas antioksidan (%) sosis

Semakin tinggi level gelatin dalam sosis maka aktivitas

aktioksidannya semakin meningkat. Hal ini ada kaitannya dengan

kemampuan sosis menahan air dan lemak yang lebih baik seiring semakin

tingginya level gelatin yang ditambahkan. Terjadinya pengikatan antara air-

protein-lemak yang dimediasi oleh gelatin, sebagaimana yang

divisualisasikan pada Gambar 36 menghasilkan struktur sosis yang

kompak, dimana air, protein (serat daging) dan lemak yang terperangkap

diantara larutan gelatin menghasilkan ikatan yang stabil dalam matriks tiga

dimensi air-protein-lemak. Kekuatan ikatan yang terbentuk ini dapat

menghambat terjadinya pembentukan radikal bebas sebagai akibat dari

adanya air atau lemak yang bergerak bebas. Formasi ikatan air-protein-

lemak yang terbentuk adalah barrier bagi terjadinya pembentukan radikal

bebas akibat oksidasi sejumlah molekul lemak atau protein. Mediasi yang

0

5

10

15

20

25

30

35

0 7 1 4 2 1 2 8

Akt

ivita

s a

ntio

ksid

an

(%)

Lama penyimpanan (hari)

Kontrol 1%GKG 2%GKG 3%GKG 2%GKB

Page 218: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

196

dijalankan oleh gelatin tidak lepas dari fungsi asam-asam amino hidrolifik

dan hidrofobik, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam sub-sub

pembahasan di atas.

Sejauh ini penggunaan gelatin sebagai antioksidan alami hampir

tidak ditemukan, tetapi pengamatan Sae-Ieaw et al. (2015) dalam menguji

efektivitas kerja gelatin hidrolisat dengan konsentrasi berbeda

menggunakan assay DPPH menunjukkan korelasi positif konsentrasi

gelatin hidrolisat dengan efektivitasnya dalam menangkal radikal bebas.

Nikoo et al. (2015) menjelaskan bahwa rangkaian peptide asam amino

dalam gelatin bekerja menghambat mobilisasi molekul air ke dalam

kompartemen yang berbeda, dan keadaan ini dapat menyebabkan air tetap

dalam keadaan stabil sehingga proses oksidasi yang dapat melibatkan

protein dan lemak yang kemungkinan terjadi dalam waktu yang cepat dapat

diperpanjang.

Aktivitas gelatin sebagai antiosidan tidak terlepas dari fungsi asam

amino, yang menurut Matsui et al. (2017) diperankan oleh rantai aktifnya

dan menurut Jiang et al. (2018) ditentukan oleh sekuen asam aminonya.

Chi et al. (2015) menegaskan bahwa ukuran molekul yang lebih kecil,

keberadaan residu asam amino hidrofobik dan aromatik, serta sekuen asam

amino adalah faktor kunci yang menentukan aktivitas antioksidan dari

protein, hidrolisat dan peptida. Asam-asam amino ini bereaksi dengan

radikal bebas dan mengubahnya menjadi produk yang stabil. Belum

diketahui pasti jenis asam amino dalam GKG maupun GKB yang berpotensi

Page 219: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

197

sebagai antioksidan, tetapi mungkin hampir semua asam amino dapat

mengambil peran dalam proses penghambatan terhadap kerja radikal

bebas pada sosis akibat oksidasi maupun proses pengolahan.

Sebagaimana Lobo et al. (2010) mengasumsikan dua mekanisme prinsip

kerja antioksidan yaitu terjadinya pemecahan rantai sehingga asam-asam

amino reaktif gelatin akan menyumbangkan elektronnya pada radikal

bebas; dan kerja antioksidan mengarahkan efeknya dengan melakukan

donor elektron, mengkelat ion logam, maupun bekerja sebagai ko-

antioksidan.

Gambar 36. Visualisasi ikatan antara air-protein-lemak yang dimediasi oleh gelatin. a= serat daging; b= gelatin sisi hidrofilik; c= molekul air; d= molekul lemak; dan e= gelatin sisi hidrofobik

Gelatin dapat bekerja sebagai antioksidan, meskipun efektivitas

kerjanya dalam menangkal radikal bebas relatif rendah dibanding gelatin

hidrolisat (Kittiphattanabawon et al., 2012b). Fungsi gelatin sebagai

a

b

c

d

e

Page 220: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

198

antioksidan diperankan oleh sejumlah kombinasi asam amino dalam urutan

peptidanya. Peptida asam amino yang berkontribusi dalam menangkal

radikal bebas menurut Nikoo et al. (2015) adalah glisin dan prolin, adapun

menurut Jiang et al. (2018) leusin termasuk asam amino dengan aktivitas

antioksidan yang sangat kuat. Liu et al. (2016) menganggap tirosin, triptofan

dan fenilalanin dapat juga diperhitungkan sebagai penangkal radikal bebas.

Mungkin penelitian lebih lanjut tekait potensi gelatin hidrolisat ikan gabus

dan sekuen peptide asam amino yang terbentuk dalam hubungannya

dengan kinerja dan aktivitas antiokidannya dapat mendukung pernyataan

di atas.

Semakin lama masa penyimpanan maka persentase aktivitas

antioksidan semakin menurun. Proses penyimpanan dapat mengakibatkan

terjadinya reaksi oksidatif (Turgut et al., 2016). Penyimpanan selama 28

hari menunjukkan ada perbedaan dalam aktivitas antioksidan sosis dalam

menangkal radikal bebas (P<0,05). Hal ini terlihat dari menurunnya aktivitas

antioksidan disetiap selang tujuh hari pengamatan seiring bertambahnya

lama penyimpanan. Menurunnya aktivitas antioksidan gelatin pada sosis

selama penyimpanan suhu dingin tidak berbeda dengan yang terjadi pada

bakso yang diberi ekstrak buah delima (Turgut et al., 2016) dan tampaknya

penyimpanan suhu dingin lebih cepat menurunkan aktivitas anitoksidan

dibanding suhu pembekuan (Harun, 2017; Turgut et al., 2017).

Page 221: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

199

3.3.4 Reaktivitas TBA Sosis

Hasil analisis keragaman memperlihatkan pengaruh nyata level

gelatin (P<0,05), dan lama penyimpanan yang menunjukkan pengaruh

nyata (P<0,05)) terhadap reaktivitas TBA sosis berbasis daging pipi sapi,

tetapi tidak ada interaksi di antara keduanya (P>0,05).

Gambar 37. Pengaruh penambahan level gelatin (%) dan lama

penyimpanan (hari) terhadap kadar reaktivitas TBA (mg/kg malonaldehyd) sosis daging pipi sapi.

Penambahan gelatin 3% menghasilkan reaktivitas TBA relatif lebih

rendah yaitu 1,91 mg/kg malonaldehid dibanding perlakuan lainnya

(P<0,05), adapun antara perlakuan kontrol hingga penambahan 2% GKG

dan 2% GKB tidak menunjukkan perbedaan nyata (P>0,05) dengan kisaran

2,18–2,25 mg/kg malonaldehid. Gelatin yang berfungsi sebagai binder

adalah sumber asam amino, terutama asam amino hidrofobik seperti

alanine, isoleusin, leusin prolin, phenilalanin, tirosin dan triptofan (Liu et al.,

2016), mereka bertindak sebagai pendonor hidrogen melalui sisi reaktifnya

-1.00

0.00

1.00

2.00

3.00

4.00

5.00

6.00

0 7 1 4 2 1 2 8

Kad

ar m

alo

na

lde

hyd

(m

g/k

g)

Lama penyimpanan (hari)

Kontrol 1%GKG 2%GKG 3%GKG 2%GKB

Page 222: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

200

bagi radikal bebas sehingga oksidasi lipid dapat diperlambat (Sae-Ieaw et

al., 2015). Semakin tinggi kadar gelatin, oksidasi lemak yang ditunjukkan

oleh tingkat reaktivitas TBA yang terbentuk cenderung lebih rendah, yang

dinyatakan sebagai mg malonaldehid/kg sosis.

Penyimpanan dapat memicu oksidasi lemak. Pengamatan terhadap

sampel yang disimpan pada suhu dingin (4 ± 2 °C) mengalami peningkatan

kadar reaktivitas TBA seiring lama penyimpanan (P<0,05). Oksidasi adalah

penyebab kerusakan utama produk daging (Falowo et al, 2014; Gheisari,

2011), selama berlangsungnya proses-proses persiapan, pengolahan

hingga penyimpanan (Ch’ng et al., 2014) akibat terjadinya deplesi

antioksidan endogenous (Falowo et al., 2014). Oksidasi lipid yang terjadi

akibat penyimpanan dingin menyebabkan terbentuknya peroksidasi lemak

akibat adanya radikal bebas, dan selanjutnya mengalami dekomposisi

menjadi malonaldehid. Penambahan level gelatin membantu

mempertahankan masa simpan sosis hingga tingkat diperlambat.

Secara analisis proksimat, daging pipi dapat dikategorikan sebagai

daging lean (Tabel 14). Proses pengolahan daging pipi menjadi sosis

mengakibatkan sosis mengandung sejumlah lemak (Tabel 16). Lemak yang

terkandung dalam sosis secara kimia bukanlah lemak yang stabil,

penambahan bahan lain (non-meat ingredient) termasuk air es maupun

faktor pengolahan hingga penyimpanan adalah faktor kritis bagi terjadinya

perubahan dalam struktur dan kompartemen sosis, terutama oksidasi.

Ketidak-stabilan produk sosis akibat sejumlah kerusakan oleh oksidasi

Page 223: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

201

berimplikasi pada terjadinya penurunan daya simpan, daya terima dan

nutrisi sosis (Falowo et al., 2014).

Tampaknya penggunaan gelatin tidak hanya potensial sebagai zat

aditif yang berfungsi memperbaiki karakteristik sosis, tetapi secara efektif

mampu berperan sebagai antioksidan yang relatif dapat mempertahankan

masa simpan. Meskipun tidak seefektif gelatin hidrolisat

(Kittiphattanabawon et al., 2012b), penambahan gelatin dalam produk sosis

efektif menunda kerusakan akibat oksidasi lipid dan mungkin kerusakan

akibat oksidasi protein. Penggunaan antioksidan alami memiliki potensi

untuk tidak hanya meningkatkan kualitas produk daging, tetapi dapat

menjadi pertimbangan bagi peningkatan kualitas kesehatan manusia.

Page 224: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

202

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Komposisi kimia kulit dan tulang ikan gabus cenderung dipengaruhi

oleh pertambahan bobot badan meskipun antara bobot 600˗700

g/ekor sampai 900-1.000 g/ ekor adalah sama, sedangkan kadar

kolagen cenderung tidak berbeda diantara bobot yang diamati, dan

berdasarkan total protein menunjukkan kolagen tulang ikan gabus

lebih tinggi dibanding pada kulit ikan gabus.

2. Proses ekstraksi suhu 60 °C selama 12 jam pada kulit dan 60 °C

selama 24 jam pada tulang menghasilkan gelatin dengan kekuatan

gel terbaik dengan karakteristik yang sesuai untuk aplikasi sebagai

binder dalam pengolahan daging.

3. Sifat fungsional antara gelatin kulit ikan gabus, gelatin tulang ikan

gabus dan gelatin komersial menunjukkan adanya perbedaan

sebagai akibat dari jenis bahan baku dan metode ekstraksi yang

berbeda.

4. Gelatin kulit ikan gabus efektif dijadikan sebagai binder dengan level

optimal 2% cenderung tidak berbeda dengan gelatin komersial

dalam menghasilkan sosis dengan karakteristik fisiko-kimia yang

Page 225: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

203

lebih baik, tetapi penyimpanan selama 28 hari mengindikasikan

bahwa gelatin kurang efektif dijadikan sebagai antioksidan.

5.2 Saran

1. Potensi kulit dan tulang ikan gabus sebagai sumber bahan baku

kolagen tidak menunjukkan perbedaan berarti dari bobot berbeda,

sehingga untuk memaksimalkan pemanfaatan bahan baku kulit dan

tulang sebagai sumber kolagen,maka faktor bobot badan dapat

menjadi hal yang diabaikan.

2. Potensi kulit ikan gabus lebih baik dalam memberikan rendemen dan

kualitas fungsional gelatin dibanding tulang ikan gabus, sehingga

mungkin diperlukan perlakuan pre-treatment berbeda dari yang

sebelumnya seperti lama demineralisasi dan konsentrasi HCL pada

tulang ikan gabus.

3. Proses produksi gelatin ikan gabus dengan metode ekstraksi

berbeda dari sebelumnya perlu dipertimbangkan untuk menilai

karakteristik fungsional gelatin dalam rangka memperbaiki sifat

fungsional gelatin maupun untuk pengembangan potensi bidang

pangan secara lebih luas.

Page 226: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

204

DAFTAR PUSTAKA

Aaslyng, M. D., Bejerholm, C., Ertbjerg, P., Bertram, H. C., and Andersen, H. J., 2003. Cooking loss and juiciness of pork in relation to raw meat quality and cooking procedures. Food Quality and Preference, 14: 277-288. https://doi.org/10.1016/S0950-3293(02)00086-1

Abdel-Tawwab, M., Ahmed E. Hagras, A. E., Heba Allah M. Elbaghdady, H. A. M., and Monier, M. N. 2015. Effects of dissolved oxygen and fish size on Nile tilapia, Oreochromis niloticus (L.): growth performance, wholebody composition, and innate immunity. Aquacultur International. Vol. 23(5): 1261-1274. https://doi.org/10.1007/s10499-015-9882-y

Aberle, E.D., J.C. Forrest, Gerrard D.E. and Mills E.W. 2001. Principles of Meat Science. Iowa: Kendall/Hunt Publishing Company. 354 p.

Ablikim, B., Liu, Y., Kerim, A., Shen, P., Abdurerim, P., and Zhou, G. H. 2016. Effects of breed, muscle type, and frozen storage on physico-chemical characteristics of lamb meat and its relationship with tenderness. CyTA – Journal of Food, 14 (1): 109–116. http://dx.doi.org/10.1080/19476337.2015.1054885

Abustam E. 2012. Aspek produksi, Kimia, Biokimia dan Kualitas. Masagena Press, Makasar

Abustam, E., H.M. Ali, M. I. Said dan J. CH. Likadja. 2008. Sifat Fisik Gelatin Kulit Kaki Ayam Melalui Proses Denaturasi Asam, Alkali dan Enzim. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Hal. 724-729.

Adha, N. 2015. Karakteristik Fisik Daging Sapi Bali Hasil Penggemukan Menggunakan Pakan dengan Level Kulit Biji Kakao dan Otot Berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin

Aftabuddin, Md. and Kundu, S. 2007. Hydrophobic, Hydrophilic, and Charged Amino Acid Networks within Protein. Biophysical Journal, Vol. 93: 225–231. doi: 10.1529/biophysj.106.098004

Ahmad, M. and S. Benjakul. 2011. Characteristics of gelatin from the skin of unicorn leatherjacket (Aluterus monoceros) as influenced by acid pretreatment and extraction time. Food Hydrocolloids, 25: 381-388.

Aksnes A, Mundheim H, Toppe J, and Albrektsen S. (2008) The effect of dietary hydroxyproline supplementation on salmon (Salmo salar L.) fed high plant protein diets. Aquaculture 275 (1-4): 242–249. https://doi.org/10.1016/j.aquaculture.2007.12.031

Albaugh, V. L., Mukherjee, K., and Barbul, A. 2017. Proline Precursors and Collagen Synthesis: Biochemical Challenges of Nutrient.Supplementation and Wound Healing. The Journal of Nutrition. 1-7. https://doi.org/10.3945/jn.117.256404

Alfaro, A.D.T., Fonseca, G.G., Balbinot, E., Machado, A., & Prentice, C. 2013. Physical and chemical properties of wamil tilapia (Oreochromis urolepis hornorum) skin gelatin. Food Science and Technology,

Page 227: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

205

Campinas, 33(3), 592-595. http://dx.doi.org/10.1590/S0101-20612013005000069

Alfaro, A. T., Balbinot, E., Weber, C.I., Tonial, I. B., and Machado-Lunkes, A. 2015. Fish Gelatin: characteristics, functional properties, application and future potentials. Food Engineering Reviews. Vol 7(1): 33 -44. https://doi.org/10.1007/s12393-014-9096-5

Alfaro, A. T., Fonsec, G. G., Balbinot, E., Machado, A., and Prentice, C. 2012. Physical and chemical properties of wami tilapia skin gelatin. Food Sci. Technol, Campinas, 33(3): 592-595.

Alfaro AT, Fonseca G.G., Costa C. S., and Prentice, C. (2009) Effect of extraction parameters on the properties of gelatin from King weakfish (Macrodon ancylodon) bones. Food Sci Technol Int, 15 (6): 553–562 https://doi.org/10.1177/1082013209352921

Alemán, A., Giménez, B., Montero, P., and Gómez-Guillén, M.C. 2011. Antioxidant activity of several marine skin gelatins. LWT - Food Science and Technology, 44: 407-413. https://doi.org/10.1016/j.lwt.2010.09.003

Al-Saidi, G. S., Al-Alawi, A., Rahman, M. S. and Guizani, N. 2012. Fourier transform infrared (FTIR) spectroscopic study of extracted gelatin from shaari (Lithrinus microdon) skin: effects of extraction conditions. International Food Research Journal, 19 (3): 1167-1173.

Amiza, M. A., and Siti Aishah, D. Effect of drying and freezing of Cobia (Rachycentron canadum) skin on its gelatin properties. International Food Research Journal 18: 159-166.

Amiza, M. A., Wan Maizatul Shima, W. M., Nor Hayati, I. and Nizaha Juhaida, M. 2015. Optimization of gelatin extraction conditions from Cobia (Rachycentron canadum) skin and its physicochemical characteristics as compared to bovine gelatin. International Food Research Journal 22(1): 213-224

Anonim. 2010. “Bagusnya” ikan gabus. Warta Pasarikan. No. 86 hal. 4–5. ------------. 1999. Safe Practices for Sausage Production: Distance Learning

Course Manual. Assosiation of Food and Drug Official. Version 1 Anusuya and Hemalatha, S. 2014. Nutritive c omposition of Channa striatus

fishes after 2,4-D pestiside treatment. Internet Journal of Food Safety. 16, 9-11.

Ama-Abasi, D. and Ogar, A. 2012. Proximate analysis of snakehead fish, Parachanna obscura (Gunther, 1861) of the Cross Rivers, Nigeria. Journal of Fisheries and Aquatic Science. 1-4. doi: 10.3923/jfas.2012.

Asmaa, A. A., W. Zzaman and A. Y. Tajul. 2014. Effect of Superheated Steam Cooking On Fat and Fatty Acid Composition of Chicken Sausage. International Food Research Journal. Vol. 22 (2): 598 – 602.

Assosiation of Official Analytical Chemists (AOAC). 1995. Official Methods of Analysis (16th ed.). Washington, DC.

Page 228: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

206

Arma, N. R., Irmawati, M. I. Illijas, A. Tawali, M. Asfar and Mappanyiwi. 2014. Snakehead fish (Channa striata) in South Sulawesi: Current status and prospect. Proceeding 4th SUIJI International Symposium 2014, Hasanuddin University, Makassar, Indonesia. P024.

Atanasoff, A., Nikolov, G., Staykov, Y., Zhelyazkov, G., & Sirakov, I., (2013). Proximate and mineral analysis of Atlantic salmon (Salmo Salar) cultivated in Bulgaria. Biotechnol. Anim. Husb. 29, 571–579. doi:10.2298/BAH1303571A

Ayadi, M. A., Kechaou, A. Makni, I. and Attia, H. 2009. Influence of carrageenan addition on turkey meat sausages properties. Journal of Food Engineering, 93: 278–283. https://doi.org/10.1016/j.jfoodeng.2009.01.033

Bailey, A. J., Paul, R. G., & Knott, L. (1998). Mechanisms of maturation and aging of collagen. Mechanism of Aging and Development, 106, 1-56.

Balti, R., Jridi, M.,Sila A., Souissi, N., Nedjar-Arroume, N.,Guillochon, D. and Moncef Nasri, M. 2011. Extraction and functional properties of gelatin from the skin of cuttlefish (Sepia officinalis) using smooth hound crude acid protease-aided process. Food Hydrocolloids, 25, 943-950. doi:10.1016/j.foodhyd.2010.09.005

Barbut, S. 1995. Importance of fat emulsification and protein matrix characteristics in meat batter stability. Journal of Muscle Foods, 6(2):161–177. doi:10.1111/j.1745-4573. 1995.tb00564.x

Barrett, G. C and Elmore, D. T. 2004. Amino Acids and Peptides. Cambridge University Press, p. 224.

Barry-Ryan, C., Z. Khiari, D. Rico, and A. Martin-Diana. 2013. Comparison between gelatines extracted from mackerel and blue whiting bones after different pre-treatments. J. Food Chemistry, Vol.139 (1-4): 347-354.

Benjakul, S., Oungbho, K., Visessanguan, W., Thiansilakul, Y. and Roytrakul, S. 2009. Characteristics of gelatin from the skins of bigeye snapper, Priacanthus tayenus and Priacanthus macracanthus. Food Chemistry 116 (2): 445-451

Bergman, I and R. Loxley. 1963. Two Improved and Simplified Methods for the Spectrophotometric Determination of Hydroxiproline. Anal. Chem. Vol 35 (12): 1961-1965.

Bigolin, J., C. I. Weber and Alfaro, A. da T. 2013. Lipid Oxidation in Mechanically Deboned Chicken Meat: Effect of the Addition of Different Agents. Food and Nutrition Sciences. Vol. 4: 219-223

Bilgen, G., G. Oktay, G., Tokgoz, Z., Guner, G. & Yalcin, Bergman, I and R. Loxley. 1963. Two Improved and Simplified Methods for the Spectrophotometric Determination of Hydroxiproline. Analitical Chemistry. Vol 35 (12): 1961-1965. DOI: 10.1021/ac60205a053

Page 229: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

207

Bhattacharjee, A. and Bansal, M. 2005. Collagen structure: The Madras triple helix and the current scenario. IUBMB Life, 57(3):161-72. https://doi.org/10.1080/15216540500090710

Blanco, M., José Antonio Vázquez, J.A, Pérez-Martín, R.I., and Carmen G. Sotelo, C.G. Hydrolysates of Fish Skin Collagen: An Opportunity for Valorizing Fish Industry Byproducts. Marine Drugs. 131:1-15. doi:10.3390/md15050131

Breck, J. 2014. Body composition in fishes: Body size matters. Aquaculture, 433, 40–49. http://dx.doi.org/10.1016/j.aquaculture.2014.05.049

Boran, G., and Karaçam, H. 2011. Seasonal changes in the proximate composition of some fish species from the Black Sea. Turkish Journal of Fisheries and Aquatic Sciences, 11, 01-05. doi:10.4194/trjfas.2011.0101

Boran, G. and J. M. Regenstein. 2010. Chapter 5 – Fish Gelatin. Advances in Food and Nutrition Research, 60. pp. 119–143.

Bourtoom, J. 2008. Edible films and coating: characteristics and properties. International Food Research Journal. Vol. 15 (3): 1-12.

Bowker, B. and Zhuang, H. 2015. Relationship between water-holding capacity and protein denaturation in broiler breast meat. Poultry Science 94:1657–1664 http://dx.doi.org/10.3382/ps/pev120

BSI (British Standard Institution). 1975. Methods for sampling and testing gelatin (physical and chemical methods). London: BSI.

Catalina, M., G. Attenburrow, J. Cot, A.D. Covington and A. P. M. Antunes. 2008. Isolation and Characterization of Gelatin Obtain from Chrome-tanned Shavings. British School of Leather Technology. The University of Northampon, NN2 7AL. United Kingdom.

Cheng, Q and Sun, D. W. 2008. Factors affecting the water holding capacity of red meat products: a review of recent research advances. Critical Reviews in Food Science and Nutrition, 48, 137–159. https://doi.org/10.1080/10408390601177647

Ch’ng, S.E. Ng, M.D. W. Pindi, W., Kang, O.L. Abdullah, A., and Babji, A.S. 2014. Chicken Sausages Formulated with Gelatin from Different Sources: A Comparison of Sensory Acceptability and Storage Stability. World Applied Sciences Journal 31(12): 2062-2067. DOI: 10.5829/idosi.wasj.2014.31.12.658.

Chi, C. F., Hu, F., Y., Wang, B., Li, Z. R., and Luo, H. Y. 2015. Influence of amino acid compositions and peptide profiles on antioxidant capacities of two protein hydrolysates from skipjack tuna (Katsuwonus pelamis) dark muscle. Marine Drugs, 13(5): 2580–2601. doi: 10.3390/md13052580

Cheow, C. S, M.S. Norizah, Z.Y. Kyaw and N.K. Howell. 2007. Preparation and characterisation of gelatins from the skins of sin croaker (Johnius dussumieri) and shortfin scad (Decapterus macrosoma). Food Chemistry. Vol 101: 386–391.

Ćirić, J., Lukić, M., Radulović, S., Janjić, J., Glamočlija, N., Marković, R., and Baltić, M. Ž. 2017. The relationship between the carcass

Page 230: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

208

characteristics and meat composition of young Simmental beef cattle. IOP Conf. Ser.: Earth Environ. Sci. 85 012061. doi :10.1088/1755-1315/85/1/012061

Cho, S. M., Y. S. Gu and S. B. Kim. 2005. Extracting optimization and physical properties of yellowfin tuna (Thunnus albacares) skin gelatin compared to mammalian gelatins. Food Hydrocolloids. Vol. 19: 221–229

Choi, S. S. and Regenstein, J. M. 2000. Physicochemical and sensory characteristics of fish gelatin. J. Food Sc. Vol. 65:194-199.

Cobos Á. and Díaz O. (2014) Chemical Composition of Meat and Meat Products. In: Cheung P. (eds) Handbook of Food Chemistry. Springer, Berlin, Heidelberg. https://doi.org/10.1007/978-3-642-41609-5_6-1

Cofrades, S., Guerra, M. A., Carballo, J., Fernández-Martín, F., and Colmenero, F. J. 2000. Plasma Protein and Soy Fiber Content Effect on Bologna Sausage Properties as Influenced by Fat Level. Journal of Food Science, 65 (2): 281-287. http://doi.wiley.com/10.1111/j.1365-2621.2000.tb15994.x

Coleman, L.W., Hickson, R.E., Schreurs, N.M., Martin, N. P., Kenyon, P. R., Lopez-Villalobos, N., and Morris, S. T. 2016. Carcass characteristics and meat quality of Hereford sired steers born to beef-cross-dairy and Angus breeding cows. Meat Science 121: 403–408. http://dx.doi.org/10.1016/j.meatsci.2016.07.011

Chorbadzhiev, P., G. Zsivanovits, D. Gradinarska, K. Danov and K. Valkova-Jorgova, 2017. Improvement of texture profi le attributes of cooked sausage type “krenvirsh”. Bulg. J. Agric. Sci., 23 (2): 338–347.

Cross, H. R., Z. L. Carpenter and G. C. Smith. 1973. Effect of intramuscular collagen and elastin on bovine muscle tenderness. J. Food Sci.Vol 38 (6): 998-1003.

Darmanto, Y. S., Agustini, T. W, Swastawati, F. and Al Bulushi, I. 2014. The effect of fish bone collagens in improving food quality. International Food Research Journal 21(3): 891-896

Darragh, A. J., Garrick, D. G., Moughan, P.J., and Hendriks, W. H. 1996 Correction for amino acid loss during acid hydrolysis of a purified protein. Analytical Biochemistry, 236: 199–207. https://doi.org/10.1006/abio.1996.0157

Diniz, F. B., Villela, S. D. J., Mourthé, M. H. P., Paulino, P. V. R., Boari, C. A., Ribeiro, J. S., Barroso, J. A., Pires, A. V., and Martins, P. G. M. A. 2016. Evaluation of carcass traits and meat characteristics of Guzerat-crossbred bulls. Meat Science, 112: 58–62. http://dx.doi.org/10.1016/j.meatsci.2015.10.014

Djabourov, M. J. Leblond and P. Papon. 1988. Gelation of aqueous gelatin solutions. I. Structural. Investigation. Journal de Physique. Vol 49 (2): 319-332. https://doi.org/10.1051/jphys:01988004902031900

Page 231: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

209

Dyankova, S. and Solak, A. 2014. Biopolymer matrix system for incorporate of biologically active substances. Agricultural Science and Technology. Vol. 6 (1): 104-110.

Duan, R., Junjie Zhang, J., Du, X., Yao, X., and Konno, K. 2009. Properties of collagen from skin, scale and bone of carp (Cyprinus carpio). Food Chemistry, 112 (2009) 702–706. https://doi.org/10.1016/j.foodchem.2008.06.020

Duconseille, A., Astruc, T., Quintana, N., Meersman, F., Santé-Lhoutellier, V., Gelatin structure and composition linked to hard capsule dissolution: a review, Food Hydrocolloids (2014), doi: 10.1016/j.foodhyd.2014.06.006

Ekiz, B, Yilmaz, A., Ozcan, M., Kaptan, C. , Hanoglu H., Erdogan, I., and Yalcintan, H. 2009. Carcass measurements and meat quality of Turkish Merino, Ramlic, Kivircik, Chios and Imroz lambs raised under an intensive production system. Meat Science, 82: 64-70. https://doi.org/10.1016/j.meatsci.2008.12.001

Elgadir, M. A., M. E. S. Mirghani and A. Adam. 2013. Fish gelatin and its applications in selected pharmaceutical aspects as alternativesource to pork gelatin. Journal of Food, Agriculture & Environment, 11 (1): 73-79.

Elliot, D.G. (2011). Functional Morphology of the Integumentary System in Fishes. In: A.P. Farrel (Ed.), Encyclopedia of Fish Physiology: From Genome to Environment, Volume 1 (pp. 476-488). San Diego, Academic Press.

Etherington, D. J. and T. J. Sim. 1981. Detection and Estimation of Collagen. Journalof the Science of Food and Agricultural. 32(6): 539-546. https://doi.org/10.1002/jsfa.2740320603

Eriksen, H. 2010. Carboxyterminal Telopeptide Structures of Type I Collagen in Various Human Tissues. Dissertation. University of Oulu, Finland.

Essien, E. 2003. Sausage manufacture principles and practice. CRC Press. Eysturskarð, J. 2010. Mechanical Properties of Gelatin Gels; Effect of

Molecular Weight and Molecular Weight Distribution. Thesis of Phd. Dept. Of Biotechnology Norwegian University of Science and Technology .

Falowo, A. B., Fayemi, P. O., and Muchenje, V. 2014. Natural antioxidants against lipid–protein oxidative deterioration in meat and meat products: A review. Food Research International, 64: 171-181. http://dx.doi.org/10.1016/j.foodres.2014.06.022

Feiner, G. 2006. Meat Products Handbook: Practical Science and Technology. Woodhead Publishing Limited, Cambridge, England. pp 672.

Feng, X., S. Lai and H. Yang. 2014. Sustainable seafood processing: Utilisation of fish gelatin. Austin Journal of Nutrition and Food Sciences. Vol 2(1): 1-2

Page 232: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

210

Fernandez-Diaz, M. D., Montero, P., & Gomez-Guillen, M. C. (2001). Gel properties of collagens from skins of cod (Gadus morhua) and hake (Merluccius merluccius) and their modification by the coenhancers magnesium sulphate, glycerol and transglutaminase. Food Chemistry, 74, 161-167. https://doi.org/10.1016/S0308-8146(01)00110-8

Flick, J. G. 2012. By-Product Utilization for Increased Profitability Part II: Gelatin. Global Aquaculture Advocate. Pp. 64-65.

Friess, W. 1998. Collagen – biomaterial for drug delivery. European Journal of Pharmaceutics and Biopharmaceutics, 45 (2) 113–136. https://doi.org/10.1016/S0939-6411(98)00017-4

Foegeding, E. A., T. C. Lanier, H.O. Hultin. 1996. Characteristics of edible muscle tissues. In: Food Chemistry, 3rd ed. (O.R. Fennema, Ed.). Marcel Dekker, New York. pp 879–942.

Gam, L.H., Leow, C.Y., & Baie, S. 2005. Amino acid composition of snakehead fish (Channa striatus) of various size obtained at different time of the year. Malaysian Journal of Pharmaceutical Science, 3(2), 19-30.

Gautieri, A., Buehler, M. J., and Redaelli, A. 2009. Deformation rate controls elasticity and unfolding pathway of single tropocollagen molecules. J Mech Behav Biomed Mater, 2(2): 130-137. https://doi.org/10.1016/j.jmbbm.2008.03.001

Getty, R. 1975. Sisson and Grossman’s The Anatomy of the Domestic Animals. Volume I (4th ed). W. B Saunders Company, Philadephia, London, Toronto.

Gheisari, H. R. 2011. Correlation between acid, TBA, peroxide and iodine values, catalase and glutathione peroxidase activities of chicken, cattle and camel meat during refrigerated storage. Veterinary World, 4(4):153-157. doi: 10.5455/vetworld.2011.153-157

Gelatin Manufacturers Institute of America (GMIA). 2012. Gelatin Handbook. Atlantic Gelatin / Kraft Foods Global Inc., GELITA North America, Nitta Gelatin Canada, Inc., PB Leiner, Rousselot, Inc. and Weishardt International – NA.

Gelatin Manufacturers Institute of America (GMIA). 2013. Standard Testing Methods for Edible Gelatin. Official Procedure of Gelatin Manufacturers Institute of America, Inc.

Gelse, K. E. Pöschl, E., and Aigner, T. 2003. Collagens—structure, function, and biosynthesis. Advanced Drug Delivery Reviews, 55: 1531–1546. doi:10.1016/j.addr.2003.08.002

Gilsenan, P. and S. Ross-Murphy. 2000. Rheological characterisation of gelatins from mammalian and marine sources. Food Hydrocolloids. Vol 14: 191-195.

Giménez, B., Turney, J., Lizarbe, M.A., Montero, P., and Gómez-Guillẻn, M.C. 2005. Use of lactic acid for extraction of fish skin gelatin. Food Hydrocolloid, 19, 941-950. http://dx.doi.org/10.1016/j.foodhyd.2004.09.011

Page 233: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

211

Gómez-Estaca, J., Montero, P., Fernandéz-Martín, F. and Gómez-Guillén, M. C. 2009. Physico-chemical and film-forming properties of bovine –hide and tuna-skin gelatin: A comparative study. Journal of Food Engineering. Vol 90: 480 – 486.

Gómez-Guillén, M.C., B. Giménez, M.E. López-Caballero, M.P. Montero. 2011. Functional and bioactive properties of collagen and gelatin from alternative sources: A review. Food Hydrocolloids. Vol. 25: 1813-1827.

Gómez-Guillén, M. C., and Montero, M.P. 2001. Extraction of Gelatin from Megrim (Lepidorhombus boscii) Skins with Several Organic Acids. Journal of Food Science Vol. 66, No. 2, 213-216. DOI: 10.1111/j.1365-2621.2001.tb11319.x

Gómez-Guillẻn, M. C., Turnay, J. Fernảndez-Dỉaz, M. D. Ulmo, N., Lizaebe, M. A., and Montero, M. P. 2002. Structural and physical properties of gelatin extracted from different marine species. Food Hydrocolloids. Vol. 16: 25–34.

Grossman, S and M. Bergman. Jul. 07 1991, Inventors; Bar Ilan University, Ramat Gan, Israel, Assignee. Process for the production of gelatin from fish skins. E.P. Patent 0 436 266 A1.

Grossman, S and M. Bergman. Mar 03 1992, Inventors; Bar Ilan University, Ramat Gan, Israel, Assignee. Process for the production of gelatin from fish skins. BAR ILAN University. U.S. Patent 5,093,474Gudmundsson, M. and Hafsteinsson, H. 1997. Gelatin from cod skins as affected by chemical treatments. Journal of Food Science, 62: 37–39. DOI: 10.1111/j.1365-2621.1997.tb04363.x

Guiry, E. J., Szpak, P. and Richards, M. P. 2016. Effects of lipid extraction and ultrafiltration on stable carbon and nitrogen isotopic compositions of fish bone collagen. Rapid Communications in Mass Spectrometry, 30(13), 1591–1600. https://doi.org/10.1002/rcm.7590

Hamm, R. 1986. Functional properties of the myofibrillar system and their measurement. In: Muscle as Food. (Bechtel, P.J. ed.). Academic Press, New York. pp. 135–199.

Hashemi, A., & Jafarpour, A. (2016). Rheological and microstructural properties of beef sausage batter formulated with fish fillet mince. Journal of Food Science and Technology, 53(1), 601–610. https://doi.org/10.1007/s13197-015-2052-4

Haug, I. J., Draget, K. I., and Smidsrød, O. 2004. Physical and rheological properties of fish gelatin compared to mammalian gelatin. Food Hydrocolloids 18: 203–213. https://doi.org/10.1016/S0268-005X(03)00065-1

Haug, I. J., K. I. Draget. 2009. Gelatin. in: Handbook of Hydrocolloids. 2nd

ed. (editor: G. O. Phillips and P.A. Williams). CRC Press. pp. 141-163.

Hemung, B. O. 2013. Properties of Tilapia Bone Powder and Its Calcium Bioavailability Based on Transglutaminase Assay. International

Page 234: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

212

Journal of Bioscience, Biochemistry and Bioinformatics, 3(4): 306-309. DOI: 10.7763/IJBBB.2013.V3.219

Haniffa, M. A. K., P. A. J. Sheela, K. Kavitha and A. M. M. Jais. 2014. Salutary value of haruan, the striped snakehead Channa striata - A Review. Asian Pacific Journal of Tropical Biomedicine. Vol. 4 (Suppl 1). Pp. S8-S15. https://doi.org/10.12980/APJTB.4.2014C1015

Hanjabam, M.D, Sathish, S.K., Karnei G., Kumar, J., & Chouksey, M.K., and Gudipati, V. 2015. Optimisation of gelatin extraction from Unicorn leatherjacket (Aluterus monoceros) skin waste: response surface approach. J Food Sci Technol. 52(2):976–983. DOI 10.1007/s13197-013-1075-y.

Harun, N. I. 2017. Pemanfaatan Ekstrak Kayu Secang (Caesalpinia Sappan L.) Bubuk Pada Pembuatan Bakso Daging Sapi. Thesis. Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin, Makassar.

Hema, G. S., K. Shyni, S. Mathew, R. Anandan, G. Ninan and P. T. Lakshmanan. 2013. A simple method for isolation of fish skin collagen-biochemical characterization of skin collagen extracted from albacore tuna (Thunnus alalunga), dog shark (Scoliodon sorrakowah) and rohu (Labeo rohita). Annal of Biological Research. Vol 4: 271-278.

Henckel P, Karlsson A, Oksbjerg N, Petersen JS. 2000. Control of Postmortem pH decrease in Pig muscle: Experimental desigen and Testing of Animal Models. Meat Sci, 55: 131-138. https://doi.org/10.1016/S0309-1740(99)00135-7

Henderson Jr., J.W. and A. Brooks. 2010. Improved Amino acid methods using Agilent ZORBAX Eclipse plus C18 colums for a variety of Agilent LC instrumentation and separation goals. Agilent Pub #5990-4547EN.

Henderson R. J. and Tocher, D. R. 1987. The lipid composition and biochemistry of fresh water fish. Progress in Lipid Research, 26(4): 281-347. https://doi.org/10.1016/0163-7827(87)90002-6

Hernández-Briones, A., Velazquez, G., Vázquez, M., and Ramírez de León, J. 2009. Effects of adding fish gelatin on Alaska pollock surimi gels. Food Hydrocolloids. 23. 2446-2449. Doi:10.1016/j.foodhyd.2009.07.002.

Herpandi, N. Huda and F. Adzitey. 2011. Fish bone and scale as potential source of halal gelatin. Journal of Fisheries and Aquatic Science. Vol 6 (4): 379 389.

Hertog‐Meischke, M.J.A. den, Laack, R.J.L.M. van, and Smulders, F.J.M. 1997. The water‐holding capacity of fresh meat. Veterinary Quarterly, 19(4): 175-181. http://dx.doi.org/10.1080/01652176.1997.9694767

Hill, F. 1966. The Solubility of Intramuscular collagen in Meat animals of various ages. J. Food Sci. Vol 31 (2): 161-166.

Hoffman, L.C., Vermaak, A., and Muller, N. 2012. Physical and chemical properties of selected beef muscles infused with a phosphate and

Page 235: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

213

lactate blend. South African Journal of Animal Science, 42 (4): 317-340. http://dx.doi.org/10.4314/sajas.v42i4.1

Holzer, D. Jan. 16 1996, inventor. Gelatin Production. U. S. Patent 5,484,888

Howell, N. K and C. Kasase.2010. Bioactive Peptides and Proteins from Fish Muscle and Collagen.In: Bioactive Protein and Peptides as Functonal Foods and Nutraceuticals (Y. Mine, E. Li-Chan and B. Jiang: eds). Wiley-Blackwell and IFT Press. pp 203-224

Huff-Lonergan, E. and Lonergan, S. M. 2005. Mechanisms of water-holding capacity of meat: The role of postmortem biochemical and structural changes. Meat Science 71(1): 194–204. https://doi.org/10.1016/j.meatsci.2005.04.022

Huff-Lonergan, E. 2010. Chemistry and Biochemistry of Meat. In: Handbook of Meat Processing. Fidel Toldrá (ed). Wiley-Blackwell. Pp 5-24.

Irwandi, J., Faridayanti, S., Mohamed, E. S. M., Hamzah, M. S., Torla, H. H. and Che Man, Y. B. 2009. Extraction and characterization of gelatin from different marine fish species in Malaysia. International Food Research Journal 16: 381-389

Jakhar J. K., A. D. Reddy, S. Maharia, H. M. Devi, G. V. S. Reddy and G. Venkateshwarlu. 2012. Characterization of fish elatin from Blackspotted Croaker (Protonibea diacanthus). Archives of Applied Science Research, 4(3): 1353-1358

Jamaludin, M. A., Mohd Zaki, N. N., Ramli, M. A., Mohd Hashim, D. and Ab Rahman, S. 2011. Istihalah: Analysis on The Utilization of Gelatin in Food Products. IPEDR. Vol.17: 174-178

Jamilah, B. and K. G. Harvinder. 2002. Properties of gelatins from skins of fish-black tilapia (Oreochromis mossambicus) and red tilapia (Oreochromis nilotica). Food Chemistry Vol. 77: 81–84.

Jamilah, B., Tan, K.W., Umi Hartina, M.R., and Azizah A. 2011. Gelatins from three cultured freshwater fish skins obtained by liming process. Food Hydrocolloids 25, 1256-1260. doi:10.1016/j.foodhyd.2010.11.023

Jayathilakan, K.., K. Sultana K. Radhakrishna and A. S. Bawa. 2012. Utilization of byproducts and waste materials from meat, poultry and fish processing industries: a review. J Food Sci Technol. Vol. 49(3): 278–293

Jellouli K., Balti, R., Bougatef, A., Hmidet, N., Barkia, A., and Nasri, M. 2011. Chemical composition and characteristics of skin gelatin from grey triggerfish (Balistes capriscus). LWT - Food Science and Technology, Volume 44, Issue 9, 1965-1970. https://doi.org/10.1016/j.lwt.2011.05.005

Jeya Shakila, R., Jeevithan, E., Varatharajakumar, A., Jeyasekaran, G., and Sukumar, D. (2012). Functional characterization of gelatin extracted from bones of red snapper and grouper in comparison with

Page 236: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

214

mammalian gelatin. LWT- Food Science and Technology, 48, 30–36. doi:10.1016/j.lwt.2012.03.007.

Jiang, Y., Zhanga, M., Lin, S., and Cheng, S., 2018. Contribution of specific amino acid and secondary structure to the antioxidant property of corn gluten proteins. Food Research International, 105: 836–844. https://doi.org/10.1016/j.foodres.2017.12.022

Jilie, K. and Shaoning, Y. 2007. Fourier Transform Infrared Spectroscopic Analysis of protein secondary structures. Acta Biochimica et Biophysica Sinica, 39(8): 549–559.

Jones, R. T. 2004. Gelatin: Manufacture and physico-chemical properties. In: Pharmaceutical Capsules (eds. F. Podczeck and B. E. Jones). 2nd edition. London: Pharmaceutical Press. pp. 23-60.

Joo, S-T., Kauffman. R. G., Kim, B-C, and Kim, C-J. The relationship between color and water‐holding capacity in postrigor porcine longissimus muscle. Journal of Muscle Foods, 6(3): 211-226. https://doi.org/10.1111/j.1745-4573.1995.tb00568.x

Jongjareonrak, A., Benjakul, S., Visessanguan, W. and Tanaka, M. 2006. Skin gelatin from bigeye snapper and brownstripe red snapper: Chemical compositions and effect of microbial transglutaminase on gel properties. Food Hydrocolloids, 20 (8): 1 https://doi.org/10.1016/j.foodhyd.2006.01.006

Jonsson, N and Jonsson B. 1998. Body composition and energy allocation in life-history stages of brown trout. Journal of Fish Biology, 53(6), 1306–1316. https://doi.org/10.1111/j.1095-8649.1998.tb00250.x

Jridi, M., Nasri, R. Lassoued, I., Souissi, N., Aïcha Mbarek , A., Barkia, A. and Nasri, M. 2013. Chemical and biophysical properties of gelatins extracted from alkali-pretreated skin of cuttlefish (Sepia officinalis) using pepsin. Food Research International 54: 1680–1687. http://dx.doi.org/10.1016/j.foodres.2013.09.026

Jridi, M., Nasri, R., Ben Slama, R., Lassoued, I., Barkia, A., Nasri, M., & Souissi, N. (2015a). Chemical and biophysical properties of gelatins extracted from the skin of octopus (Octopus vulgaris). LWT - Food Science and Technology. 60, (2 Part 1), 881-889 60.. https://doi.org/10.1016/j.lwt.2014.10.057

Jridi, M., Abdelhedi, O., Souissi, N., Kammoun, M., Nasri, M., and Ayadi, M.A. 2015b. Improvement of the physicochemical, textural and sensory properties of meat sausage by edible cuttlefish gelatin addition. Food Bioscience. https://doi.org/10.1016/j.fbio.2015.07.007

Junianto, K. Haetami dan I. Maulina. 2006. Produksi Gelatin Dari Tulang Ikan dan Pemanfaatannya Sebagai Bahan Dasar Pembuatan Cangkang Kapsul. Hibah Penelitian Dirjen Dikti. Fakultas Perikanan dan Imu Kelautan, Universitas Padjajaran.

Kadler, K. E., Baldock, C., Bella, J., and Boot-Handford, R. P. 2007. Collagens at a glance. J. Cell Sci., 120, 1955-1058. doi:10.1242/jcs.03453

Page 237: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

215

Kaewruang, P., S. Benjakul and T. Prodpran. 2014. Effect of phosphorylation on gel properties of gelatin from the skin of unicorn leatherjacket. Food Hydrocolloids, 35: 694-699.

Kamble, R., S., Shrangdher S. T. and Koli J. M. 2014. Physico-cheical properties of gelatin extracted frocatla skin (catla catla) (Hamilton, 1822). Indian Journal of Fundamental and Applied Life Science. Vol 4 (4): 328-337.

Karim, A. A. and R. Bhat. 2008. Fish gelatin: properties, challenges and prospects as an alternative to mammalian gelatin. Food Hydrocolloid. Vol 3: 213 – 219.

Kenney, P. B. 1995. Optimizing Utility of Low Water-Holding Capacity Meats. Proceedings of the 48th Reciprocal Meat Conference, 76-80.

Khiari Z., Rico, D., Martin-Diana, A. B., and Barry-Ryan, C. 2013. Comparison between gelatines extracted from mackerel and blue whiting bones after different pre-treatments. Food Chemistry 139; 347–354. http://dx.doi.org/10.1016/j.foodchem.2013.01.017

Khiari, Z., Rico, D., Martin-Diana, A. B., and Barry-Ryan, C. 2011. The extraction of gelatine from mackerel (Scomber combrus) heads with the use of different organic acids. J Fisheries Sciences.com. 5(1): 52-63

Kim, H. W., Park, J. H., Yeo, E. J., Hwang, K. E., Song, D. H., Kim, Y. J., Ham, Y. K., Jeong, T. J., Choi, Y. S., and Kim, C. J. 2014. Effect of Duck Feet Gelatin Concentration on Physicochemical, Textural, and Sensory Properties of Duck Meat Jellies. Korean Journal for Food Science of Animal Resources, 34(3): 387-394. http://dx.doi.org/10.5851/kosfa.2014.34.3.387

Kittiphattanabawon, P., Benjakul, S., Visessanguan, W., Nagai, T., and Tanaka, M. 2005. Characterisation of acid-soluble collagen from skin and bone of bigeye snapper (Priacanthus tayenus). Food Chemistry, 89(3): 363–372. https://doi.org/10.1016/j.foodchem.2004.02.042

Kittiphattanabawon, P., Benjakul, S., Visessanguan, W., and Shahidi, F. 2012. Effect of Extraction Temperature on Functional Properties and Antioxidative Activities of Gelatin from Shark Skin. Food Bioprocess Technol, Vol 5, 2646–2654. DOI 10.1007/s11947-010-0427-0

Kittiphattanabawon, P., Nalinanon, S., Benjakul, S., and Kishimura, H. 2015. Characteristics of Pepsin-Solubilised Collagen from the Skin of Splendid Squid (Loligo formosana). Journal of Chemistry, Vol 2015, 1-8. http://dx.doi.org/10.1155/2015/482354

Komariah, Rahayu, S. dan Sarjito. 2009. Physical characteristics of beef, buffalo and lamb meat on different postmortem periods. Buletin Peternakan 33(3): 183-189. https://doi.org/10.21059/buletinpeternak.v33i3

Kolodziejska, I., Skierka, E., Sadowska, M., Kolodziejski, W., & Niecikowska, C. 2008. Effect of extracting time and on temperature to yield of gelatin from different fish offal. Food Chemistry, 107, 700-706. http://dx.doi.org/10.1016/j.foodchem.2007.08.071

Page 238: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

216

Kumar, K., R. Kumar, S. Saurabh, M. Sahoo, A. K. Mohanty, P. L. Lalrinsanga, U. L. Mohanty, A. K. Sahu, and P. Jayasankar. 2012. Snakehead Fish Fact Sheets. Central Institute of Freshwater Aquaculture, Kausalyaganga, Bhubaneswar-751 002, Odisha, India.

Kuypers, R. and L.B. Kurth. 1995. Collagen’s contribution to meet texture. CSIRO Meat Industry Research Conference. Pp. 11B-1-11B-8

Lawrie, R.A. 2003. Meat Science. The 6th ed. Terjemahan. A. Paraksi dan A. Yudha. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.

Lee, C. H. and Chin, K.B. 2016. Effects of pork gelatin levels on the physicochemical and textural properties of model sausages at different fat levels, LWT - Food Science and Technology, 74: 325-330. doi: 10.1016/j.lwt.2016.07.032.

Li, P., Mai K.S., Trushenski J. and Wu, G. 2009. New developments in fish amino acid nutrition: towards functional and environmentally oriented aquafeeds. Amino Acids 37(1):43–53. https://doi.org/10.1007/s00726-008-0171-1

Li, X., Rezaei, R., Li, P., and Wu, G. 2011. Composition of amino acids in feed ingredients for animal diets. Amino Acids, 40:1159–1168.

Li, P. and Wu, G. 2017. Roles of dietary glycine, proline, and hydroxyproline in collagen synthesis and animal growth. Amino Acids. 1-10. https://doi.org/10.1007/s00726-017-2490-6

Listrat, A. and J. F. Hocquette. 2004. Analytical Limits of Total and Insoluble Collagen Content Measurements and of Type I and III Collagen Analysis by Electrophoresis in Bovine Muscle. Meat Science. Vol 68: 127 – 136.

Listrat, A., Lebret, B., Louveau, I., Astruc, T., Bonnet, M., Lefaucheur, L., Picard, B., and Bugeon, J. 2016. How Muscle Structure and Composition Influence Meat and Flesh Quality. The Scientific World Journal, 2016: 1-14. http://dx.doi.org/10.1155/2016/3182746

Liu Y, He G, Wang Q, Mai K, Xu W, Zhou H (2014) Hydroxyproline supplementation on the performances of high plant protein source based diets in turbot (Scophthalmus maximus L.). Aquaculture 433:476–480. https://doi.org/10.1016/j.aquaculture.2014.07.002

Liu, D., Wei, G., Li, T., Hu, J., Lu, N., Regenstein, J.M., Zhou, P. (2015) Effects of alkaline pretreatments and acid extraction conditions on the acid-soluble collagen from grass carp (Ctenopharyngodon idella) skin, Food Chemistry, 172 : 836-843 http://dx.doi.org/10.1016/j.foodchem.2014.09.147.

Liu, R., Xing, L., Fu, Q., Zhou, G., and Zhang, W. 2016. A Review of Antioxidant Peptides Derived from Meat Muscle and By-Products. Antioxidants, 5(3), 32; doi:10.3390/antiox5030032

Liu Y, Wang X, Hou Y, Yin Y, Qiu Y, Wu G, Hu CA (2017) Roles of amino acids in preventing and treating intestinal diseases: recent studies with pig models. Amino Acids 49:1277–1291. https://doi.org/10.1007/s00726-017-2450-1

Page 239: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

217

Lobo, V., Patil, A., Phatak, A., and Chandra, N. 2010. Free radicals, antioxidants and functional foods: Impact on human health. Pharmacognosy Reviews. 4(8): 118-126. doi: 10.4103/0973-7847.70902

Mad-Ali, S., Benjakul, S., Prodpran, T., and Maqsood, S. 2016. Characteristics and Gel Properties of Gelatin from Goat Skin as Influenced by Alkaline-pretreatment Conditions. Asian-Australasian Journal of Animal Sciences. 29 (6): 845-854. http://dx.doi.org/10.5713/ajas.15.0784 .

Marianski, S and Marianski, A. 2011. Making Healthy Sausages. Bookmagic, LLC.

Mariod, A. A. and Adam, H. F. 2013. Review: Gelatin, Source, Extraction and Industrial Applications. Acta Sci. Pol., Technol. Aliment, 12(2): 135-147.

Marti, D. L., Johnson, R. J., and K. H. Mathews. 2011. Where’s the (Not) Meat?Byproducts From Beef and Pork Production. A Report from the Economic Research Service. USDA. www.ers.usda.gov.

Mat Jais, A.M., McCulloch, R., and Croft, K. 1994. Fatty acids and amino acids composition in Haruan as a potential role in wound healing. General Pharmacology, 25(5), 947-950. http://dx.doi.org/10.1016/0306-3623(94)90101-5

Matsui, R., Honda, R., Kanome, M., Hagiwara, A., Matsuda, Y., Togitani, T., Ikemoto, N., and Terashima, M. 2017. Designing antioxidant peptides based on the antioxidant properties of the amino acid side-chains. Food Chemistry. https://doi.org/10.1016/j.foodchem.2017.11.119

Mega, O. 2010. Pengaruh Substitusi Susu Skim oleh Tepung Kedelai sebagai Binder Terhadap Beberapa Sifat Fisik Sosis yang Berbahan Dasar Surimi-like Kerbau. Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 5 (1): 51-58.

Mohtar, N. F., C. O. Perera, and S. Y. Quek. 2011. Utilisation of gelatine from NZ hoki (Macruronus novaezelandiae) fish skins. International Food Research Journal.Vol.18(3): 1111-1115

Montero, P and M. C, Gomes-Guillen. 2000. Extracting conditions for megrim (Lepidorhombus boscii) skin collagen affect functional properties of the resulting gelatin. Journal of Food Science. Vol. (65): 434–438

Mustafa, A., Widodo, M.A., & Kristianto, Y. (2012). Albumin and zinc content of snakehead fish (Channa striata) extract and its role in health. IEESE International Journal of Science and Technology, 1(2), 1-8.

Muyonga, J. H., Cole, C. G. B., and Duodu, K. G. 2004a. Characterisation of acid soluble collagen from skins of young and adult Nile perch (Lates niloticus), Food Chemistry, 85(1), 81-89. http://dx.doi.org/10.1016/j.foodchem.2003.06.006

Muyonga, J. H., Cole, C. G. B., Duodu, K. G. 2004b. Extraction and physico-chemical characterisation of Nile perch (Lates niloticus) skin and

Page 240: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

218

bone gelatin. Food Hydrocolloids, 18(4): 581-592. Doi: 10.1016/j.foodhyd.2003.08.009

Muyonga, J. H., Cole, C. G.B., Duodu, K. G. 2004c. Fourier transform infrared (FTIR) spectroscopic study of acid soluble collagen and gelatin from skins and bones of young and adult Nile perch (Lates niloticus). Food Chemistry, 86(3): 325-332. Doi: 10.1016/j.foodchem.2003.09.038

Muralidharan, N., Jeya Shakila, R., Sukumar, D., and Jeyasekaran, G. 2013. Skin, bone, and muscle collagen extraction from the trash fish, leather jacket (Odonus niger) and their characterization. J. Food Sci Techno. Vol 50 (6): 1106 -1113. https://doi.org/10.1007/s13197-011-0440-y

Muralidharan Nagarajan, M., Benjakul S, Thummanoon Prodpran, T., Songtipya, P, and Kishimura, H. 2012. Characteristics and functional properties of gelatin from splendid squid (Loligo formosana) skin as affected by extraction temperatures. Food Hydrocolloids 29 , 389-397. doi:10.1016/j.foodhyd.2012.04.001

Mutmainnah, D. 2013. Hubungan panjang berat dan faktor kondisi ikan gabus (Channa striata Bloch, 1793) yang dibesarkan di rawa lebak, Provinsi Sumatera Selatan. Depik, 2(3):184-190.

Naeem, M., Salam, A., and Zuburi, A. 2016. Proximate composition of freshwater in relation to body size and condition factor from Pakistan. Pakistan Journal of Agricultural Sciences, 53(2), 468-476. http://dx.doi.org/10.21162/PAKJAS/16.2653

Nahariah, A.M Legowo, E. Abustam, A.Hintono, P. Bintoro dan Y.B. Pramono. 2014. Endogeneous antioxidant activity in the egg whites of varioustypes of local poultry eggs in South Sulawesi, Indonesia. Int. J. Poultry Science. 13(1):21-25. DOI: 10.3923/ijps.2014.21.25

Neuman, R. E and M. A. Logan 1950. The Determination of Hydroxyproline. J. Biol Chem.Vol 184 (1): 299-306.

Nikoo, M., Benjakul, S., and Xu, X. 2015. Antioxidant and cryoprotective effects of Amur sturgeon skin gelatin hydrolysate in unwashed fish mince, Food Chemistry, 181: 295-303. https://doi.org/10.1016/j.foodchem.2015.02.095

Ninan, G., A. A. Zynudheen, C. G. Joshy and K. S. Yousuf. 2013. Physical, chemical and functional properties of gelatin extracted from the skin of rohu, Labeorohita and yellowfin tuna, Thunnus albacores. Indian J. Fish., Vol. 60 (2): 123-128

Ninan, G. 2009. Optimization of process parameters for the extraction of gelatin from the skin of freshwater fish and the evaluation of physical and chemical characteristics. Doctor of Phylosophy in Marine Science Cochin University of Science and Technology.

Ninan, G., Jose, J., & Abubacker, Z. 2011. Preparation and characterization of gelatin extracted from the skins of rohu (Labeo rohita) and common carp (Cyprinus carpio). Journal of Food Processing and Preservation, 35(2), 143-162.

Page 241: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

219

Ninan, G. Optimization of process parameters for the extraction of gelatin from the skin of freshwater fish and the evaluation of physical and chemical characteristics. Doctor of Phylosophy in Marine Science Cochin University of Science and Technology.

Njinkoue, J. M., Gouado, I., Tchoumbougnang, F., Yanga Ngueguim, J. H., Ndinteh, D. T., Fomogne-Fodjo, C.Y. and Schweigert, F. J. 2016. Proximate composition, mineral content and fatty acid profile of two marine fishes from Cameroonian coast: Pseudotolithus typus (Bleeker, 1863) and Pseudotolithus elongatus (Bowdich, 1825). NFS Journal. 4, 27-31. http://dx.doi.org/10.1016/j.nfs.2016.07.002

Nollet, L.M.L. (1996). Handbook of Food Analysis. Vol 1. New York, USA, Marcel Dekker Inc., 1088 pp.

Normah, I., H. N. Ain and E. H. Effaniza. 2014. Physicochemical properties of silver catfish (Pangasiussutchi) skin gelatin produced as affected by different extraction time. Jurnal Intelek Vol 9 (1): 7-15.

Norziah, M. H. A. Al-Hassan, A. B. Khairulnizam, M. N. Mordi and M. Norita. 2008. Characterization of fish gelatin from surimi processing wastes: Thermalanalysis and effect of transglutaminase on gel properties. Food Hydrocolloids. Vol. 23: 1610–1616

Nugroho, G. 2014. International Hydrocolloid Conference 2014. http://nugrohogalih.wordpress.com/2014/05/21/international-hydrocolloid-conference-2014/ (diakses tgl 1 /06/2014)

Nurilmala M., Wahyuni, M. dan Wiratmaja, H. 2006. Perbaikan nilai tambah limbah tulang Ikan tuna (thunnus sp) menjadi gelatin serta analisis fisika-kimia. Buletin Teknologi Hasil Perikanan. Vol IX (2), 22-33.

Nurul , A. G. and Sarbon, N. M. 2015. Effects of pH on functional, rheological

and structural properties of eel (Monopterus sp.) skin gelatin compared to bovine gelatin. International Food Research Journal 22(2): 572-583

Ockerman, H. W. and C. L. 2000. Animal By-Product Processing and Utilization. CRC-Press, New York.

Offer, G., and Cousins, T. 1992. The mechanism of drip production –formation of 2 compartments of extracellular-space in muscle postmortem. Journal of the Science of Food and Agriculture, 58, 107–116. https://doi.org/10.1002/jsfa.2740580118

Olszta, M. J., Cheng, X Jee, S. S. Kumar, R. Kim, Y. Y. Kaufman, M. J., Elliot, P. D. and Gower, L. B. (2007). Bone Structure and Formation: A new Perspective. Materials Science and Engineering: R: Reports. 58. 77-116. doi:10.1016/j.mser.2007.05.001.

Onyango, C. A., Izumimoto, M., and Kutima, P. M. 1998. Comparison of physical and chemical properties of selected games meat. Mean Science, 49(1): 117-125. https://doi.org/10.1016/S0309-1740(97)00116-2

Page 242: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

220

Page, J. K., Wulf, D. M., and Schwotzer, T. R. 2001. A survey of beef muscle color and pH. Journal of Animal Science, 79: 678–687. DOI: 10.2527/2001.793678x.

Pang, S, Y. Ping Chang and K. K. Woo. 2013. The Evaluation of the Suitability of Fish Wastes as a Source of Collagen. 2013 2nd International Conference on Nutrition and Food Sciences IPCBEE. Vol.53, pp. 77-81

Payne, K. J., & Veis, A. (1988). Fourier transform ir spectroscopy of collagen and gelatin solutions: Deconvolution of the amide I band for conformational studies. Biopolymers, 27(11), 1749-1760

Pasteris, J. D., Wopenka, B., and Valsami-Jones, E. 2008. Mineralization: Why Apatite? ELEMENTS, 4: 97–104. doi: 10.2113/GSELEMENTS.4.2.97

Phen, C., T. B. Thang, E. Baran and L. S. Vann. 2005. Biological Reviews Of Important Cambodian Fish Species, Based On Fishbase 2004. WorldFish Center and Inland Fisheries Research and Development Institute, Phnom Penh, Cambodia. Vol. 1: 127 p.

PRNewswire. 2013. Global Gelatin Market is Expected to Reach USD 2.79 Billion in 2018: Transparency Market Research. http://www.prnewswire.com/news-releases/global-gelatin-market-is-expected-to-reach-usd-279-billion-in-2018-transparency-market-research-213992871.html (diakses 05/06/2014)

Patrick Saoud, I., Batal, M., Ghanawi, J., & Lebbos, N. (2008). Seasonal evaluation of nutritional benefits of two fish species in the eastern Mediterranean Sea. International Journal of Food Science and Technology, 43, 538-542. http://dx.doi.org/10.1111/j.1365-2621.2006.01491.x

Paul, D. K., R. Islam and M. A. Sattar. 2013. Physico-chemical studies of lipids and nutrient contents of Channa striatus and Channa marulius. Turk. J. Fish. Aquat Sci. Vol 13, pp. 487-493.

Pearce, K. N., & Kinsella, J. E. (1978). Emulsifying properties of proteins. Evaluation of a turbidimetric method. Journal of Agricultural and Food Chemistry, 26, 716–721.

Pereira, A. G. T., Ramos, E. M., Teixeira, J. T., Cardoso, G. P., Ramos, A. L. S., and Fontes, P. R. (2011). Effects of the addition of mechanically deboned poultry meat and collagen fibers on quality characteristics of frankfurter-type sausages. Meat Science, 89, 519-525. https://doi.org/10.1016/j.meatsci.2011.05.022

Pereira, J. Zhou, G. H., and Zhang W 2016. Effects of Rice Flour on Emulsion Stability, Organoleptic Characteristics and Thermal Rheology of Emulsified Sausage. Journal of Food and Nutrition Research, 4 (4): 216-222. doi:10.12691/jfnr-4-4-4

Pietrasik, Z. 1999. Effect of content of protein, fat and modified starch on binding textural characteristics, and colour of comminuted scalded sausages. Meat Science, 51: 17-25. https://doi.org/10.1016/S0309-1740(98)00068-0

Page 243: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

221

Pranoto, Y., D. W. Marseno and H. Rahmawati. 2011. Characteristics of gelatins extracted from fresh and sun-dried seawater fish skins in Indonesia. International Food Research Journal. Vol. 18(4): 1335-1341.

Prastini, A.I.dan S. B. Widjanarko. 2015. Pembuatan sosis ayam menggunakan gel porang (Amorphophallus mueleri Blume) sebagai bahan pengikat terhadap karakteristik sosis. Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 3 (4):1503-1511.

Prestes, R. C., Carneiro, E. B. B., & Demiate, I. M. (2012). Hydrolyzed collagen, modified starch and guar gum addition in turkey ham. Ciência Rural, 42(7), 1307–1313. https://doi.org/10.1590/S0103-84782012005000037

Prommajak, T. and P. Raviyan. 2013. Physical properties of gelatin extracted from skin of Thai Panga fish (Pangasius bocourti Sauvage). Food and Applied Bioscience Journal. Vol. 1 (3): 131-145.

Prommajak, T. and P. Ravlyan. 2012. Qualities of gelatin from Thai Panga fish skin as affected by skin pretreatment. As. J. Food Ag-Ind.Vol. 5(06): 512-520.

Puolanne, E., Pösö, A.R., Ruusunen, M.H., Sepponen, K.V., and Kylä-Puhju, M.S. 2002. Lactic acid in muscle and its effects on meat quality. Proceedings of the 55th Reciprocal Meat Conference. 57-62.

Purslow, P. P. 2005. Intramuscular connective tissue and its role in meat quality. Meat Science, 70 (3): 435–447. https://doi.org/10.1016/j.meatsci.2004.06.028

Puspawati, N. M., I. N. Simpen dan I. N. Sumerta Niwada. 2012. Isolasi gelatin dari kulit kaki ayam broiler dan karakterisasi gugus fungsinya dengan spektrofotometri FTIR. Jurnal Kimia. 6(1): 79 – 87.

Puwastien, P., Judprasong, K., Kettwan, E., Vasanachitt, K., Nakngamanong, Y., & Bhattacharjee, L. (1999). Proximate composition of raw and cooked Thai freshwater and marine fish. Journal of Food Composition and Analysis, 12(1), 9-16. http://dx.doi.org/10.1006/jfca.1998.0800

Ramadhan, W., J. Santoso dan W. Trilaksani. 2014. Pengaruh defatting, frekuensi pencucian dan jenis dry protectant terhadap mutu tepung surimi ikan lele kering beku. J. Teknol dan Industri Pangan. Vol. 25 (1): 47–56.

Ranken, M. D. 2000. Handbook of Meat Product Technology. Blackwell Science. 212 p.

Rawdkuen, S., Thitipramote, N., and Benjakul, S. 2013. Preparation and functional characterisation of fish skin gelatin and comparison with commercial gelatin. International Journal of Food Science and Technology, 48: 1093–1102. oi:10.1111/ijfs.12067

Raja Mohd Hafidz, R. N., Yaakob, C. M., Amin, I., and Noorfaizan, A. 2011. Chemical and functional properties of bovine and porcine skin gelatin. International Food Research Journal 18: 787-791

Ratnasari, I., S. S. Yuwono, H. Nusyam and S. B. Widjanarko. 2013. Extraction and characterization of gelatin from different fresh water

Page 244: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

222

as alternative sources of gelatin. International Food Research Journal. Vol. 20(6): 3085-3091.

Reich, G., Walther, S. and Stather, F. 1962. The influence of the age of cattle and pigskin on the yield and the quality of the gelatins obtained after the acid conditioning process. Investigation of collagen and gelatin IV. FreiberglSA: Deutsche Lederinstitut. Pp. 24-30.

Resurreccion, A. V. A., 2004. Sensory aspects of consumer choices for meat and meat products. Meat Science, 66 (1): 11-20. https://doi.org/10.1016/S0309-1740(03)00021-4

Regenstein, J.M., Zhou, P., Wong, Y., & Boran, G. 2010. Fish Gelatin: An unmet opportunity. In: P. J. Bechtel and S. Smiley (Eds.). Proceedings of the Symposium on A Sustainable Future: Fish Processing Byproducts (pp. 27-40). Alaska Sea Grant Collage Program, University of Alaska Fairbanks, 340 pp. http://dx.doi.org/10.4027/sffpb.2010.03

Rivas, A., Pena-Rivas, L. Ortega, E., Lopez-Martinez, C., Olea-Serrano, F., & Lorenzo, M. L. (2014). Mineral elements contents in commercially valuable fish species in Spain. The Scientific World Journal. Scientific World Journal, 2014, 1-7. http://dx.doi.org/10.1155/2014/949364

Rotta, P.P., do Prado, I. N., do Prado, R. M., Moletta, J. L., Silva, R. R., and Perotto, D. 2009. Carcass Characteristics and Chemical Composition of the Longissimus Muscle of Nellore, Caracu and Holstein-friesian Bulls Finished in a Feedlot. Asian-Australasian Journal of Animal Sciences, 22 (4): 598-604. https://doi.org/10.5713/ajas.2009.80538

Sae-Leaw, T., O’Callaghan, Y. C., Benjakul, S., and O’Brien, N. M. 2016. Antioxidant activities and selected characteristics of gelatin hydrolysates from seabass (Lates calcarifer) skin as affected by production processes. Journal of Food Science Technology, 53(1):197–208. doi:10.1007/s13197-015-1989-7

Sahu, B. B., K. Kumar, A. K. Sahoo, R. Kumar, U. L. Mohanty, N. J. M. Sahoo and A. E. Eknath. 2012. Carcass characteristics of marketable size striped murrel, Channa striatus (Bloch, 1793). Journal of Applied Ichthyology, 28 (2): 258–260.

Said, M. I. 2013. Histological profile of collagen fibers on Bligon goat skin soaked in weak acids and bases solution at different concentration. Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak (JITEK), 8(1): 19-24. http://dx.doi.org/10.21776/ub.jitek.2013.008.01.3.

Said, M.I. 2011. Optimasi Proses Produksi Gelatin Kulit Kambing Sebagai Bahan Baku Edible Film Untuk Bahan Pengemas Obat (Kapsul). Disertasi. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Salam, A. and Davies, P. M. C. 1994. Body composition of northern Pike (Esox Lucius L.) in relation to body size and condition factor. Fisheries Research. Vol 19 (3-4), 193-204. https://doi.org/10.1016/0165-7836(94)90038-8

Sanaei, A.V., Mahmoodani, F., See, S.F., Yusop, S. M., and Babji A.S. 2013. Optimization of gelatin extraction and physico-chemical

Page 245: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

223

properties of catfish (Clarias gariepinus) bone gelatin. International Food Research Journal, 20(1): 423-430

Santana, P., Huda N., and Yang, T. A. 2013. The Addition of Hydrocolloids (Carboxymethylcellulose, Alginate and Konjac) to Improve the Physicochemical Properties and Sensory Characteristics of Fish Sausage Formulated with Surimi Powder. Turkish Journal of Fisheries and Aquatic Sciences, 13:561-569. DOI:10.4194/1303-2712-v13_4_01

Santhi, D., Kalaikannana, A., and Sureshkumara, S. 2015. Factors Influencing Meat Emulsion Properties and Product Texture: A Review. Critical Reviews in Food Science and Nutrition. 57(10): 2021-2027. http://dx.doi.org/10.1080/10408398.2013.858027

Sarbon, N. M., F. Badii and N. K. Howell. 2012. Preparation and characterisation of chicken skin gelatin as an alternative to mammalian gelatin. Food Hydrocolloid, 30 (1):143-151.

Schafer, A., Rosenvold, K., Purslow, P. P., Andersen, H. J., & Henckel, P. 2002. Physiological and structural events postmortem of importance for drip loss in pork. Meat Science, 61: 355–366. doi: 10.1016/S0309-1740(01)00205-4

Schrieber, R., & Gareis, H. (2007). Gelatin Handbook: Theory and Industrial Practice. KGaA, Weinheim, Wiley-VCH Verlag GmbH and Co., 331 pp.

Schilling, M. W., Mink, L. E., Gochenour, P. S., Marriott, N. G., and Alvarado, C. Z. 2003. Utilization of pork collagen for functionality improvement of boneless cured ham manufactured from pale, soft, and exudative pork. Meat Science, 65 (1): 547–553. https://doi.org/10.1016/S0309-1740(02)00247-4

See, S. F., Hong, P. K., Ng, K. L., Wan Aida, W. M., and Babji, A. S. 2010. Physicochemical properties of gelatins extracted from skins of different freshwater fish species. International Food Research Journal, 17, 809-816.

Shanks, B. C., Wolf, D. M., and Maddock, R. J. 2002 Technical note: The effect of freezing on Warner Bratzler shear force values of beef longissimus steak across several postmortem aging periods. Journal of Animal Science, 80: 2122-2125. doi: 10.2527/2002.8082122x

Shim, K., Yoon, N., Lim, C., Kim, M., Kang, S., Choi, K., & Oh, T. (2017). The relationship between Seasonal Variations in Body and Proximate Compositions Chub Mackerel Scomber japonicus from the Korea Coast. Turkish Journal of Fisheries and Aquatic Sciences, 17, 735-744. doi:10.4194/1303-2712-v17_4_09

Singh, Y., Blaisdell, J. L., Herum, F. L., Stevens, K., And Cahill, V. 1985. Texture profile parameters of cooked frankfurter emulsions as influenced by cooking treatment. Journal of Texture Study, 16(2): 169-177. https://doi.org/10.1111/j.1745-4603.1985.tb00689.x

Page 246: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

224

Silva, R. S. G., Bandeira, S. F., and Pinto, L. A. A. 2014. Characteristics and chemical composition of skin gelatin from Cobia (Rachycentron canadum). LWT-Food Science and Technology, 57(2): 580-585. https://doi.org/10.1016/j.lwt.2014.02.026

Silva, F. A. P., D. S. Amaral, I. C. D. Guerra, P. S. Dalmás, N. M. O. Arcanjo, T. K. A. Bezerra, E. M. Beltrão Filho, R. T. Moreira, M. S. Madruga. 2013. The chemical and sensory qualities of smoked blood sausage made with the edible by-products of goat slaughter. Meat Science Vol. 94: 34–38

Sims, J. T., & Bailey, A. J. (1992). Quantitative analysis of collagen and elastin crosslinks using a single-column system. Journal of Chromatography, 582, 49–55. https://doi.org/10.1016/0378-4347(92)80301-6

Sinthusamran, S., Benjakul, S., and Kishimura, H. 2014. Characteristics and gel properties of gelatin from skin of seabass (Lates calcarifer) as influenced by extraction conditions. Food Chemistry, 152: 276–284. http://dx.doi.org/10.1016/j.foodchem.2013.11.109

Sousa, S. C., Fragoso, S. P., Penna, C. R. A., Arcanjo, N. M.O., Silva, F. A. P. Ferreira, V. C. S., Barreto, M. D. S., and Araújo, I. B. S. 2017. Quality parameters of frankfurter-type sausages with partial replacement of fat by hydrolyzed collagen, LWT - Food Science and Technology, 76: 320-325. http://dx.doi.org/10.1016/j.lwt.2016.06.034

Souissi, N., Jridi M., Nasri, R., Slama, R., B., Njeh, M., and Nasri, M. Effects of the edible cuttlefish gelatin on textural, sensorial and physicochemical quality of octopus Sausage. LWT - Food Science and Technology, 65: 18–24. https://doi.org/10.1016/j.fbio.2015.07.007

Stadnik, J. and Dolatowski, J. Z. 2011. Influence of sonication on Warner-Bratzler shear force, colour and myoglobin of beef (m. semimembranosus). Eur Food Res Technol, 233:553–559. DOI 10.1007/s00217-011-1550-5

Stevens, P. 2010. Gelatin. In: Food Stabilisers, Thickeners and Gelling Agents (Alan Imeson, Ed). Wiley-Blackwell. Pp. 116-144.

Szpak, P. 2011. Fish bone chemistry and ultrastructure: Implications for taphonomy and stable isotope analysis. Journal of Archaeological Science, 38(12): 3358-3372. http://dx.doi.org/10.1016/j.jas.2011.07.022

Suárez, H., Gaitán, O., & Díaz, C. (2015). Microstructural and Physicochemical Analysis of Collagen in Intramuscular Pin Bones of Bocachico Fish (Prochilodus Sp.). Revista Colombiana de Ciencias Pecuarias, 28(2), 188-196. http://dx.doi.org/10.17533/udea.rccp.v28n2a08

Suman, S. P. and Poulson Joseph, P. 2013. Myoglobin chemistry and meat color. Annu. Rev. Food Sci. Technol. 4:79–99. doi:10.1146/annurev-food-030212-182623.

Page 247: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

225

Surono, N., D. D. Budiyanto, Widarto, Ratnawati, Aji U.S., Suyini A. M. dan Sugiran. 1994. Penerapan Paket Teknologi Pengolahan Gelatin dari kulit cucut. Laporan BBPMHP. Jakarta.

Suseno, S. H., Syari, C., Zakiyah, E. R., Jacoeb, A. M., Izaki, A. F., Saraswati, and Hayati, S. 2014. Chemical Composition and Fatty Acid Profile of Small Pelagic Fish (Amblygaster sirm and Sardinella gibbosa) from Muara Angke, Indonesia. Oriental Journal of Chemistry, 30(3), 1153-1158. http://dx.doi.org/10.13005/ojc/300328

Suwandi, R., Nurjanah dan M. Winem. 2014. Proporsi bagian tubuh dan kadar proksimat ikan gabus pada berbagai ukuran, JPHPI,17 (1), hal. 22-28.

Songchotikunpan, P., J. Tattiyakul and P. Supaphol.2008. Extraction and electrospinning of gelatin from fish skin. International Journal of Biological Macromolecules. Vol. 42: 247-255.

Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-3820-1995. Sosis Daging. Badan Standardisasi Nasional.

Stryer, L. 1988. Biochemistry 3rd ed. WH Freeman, New York. Shyni, K., Hema, G.S., Ninan, G., Mathew, S., Joshy, C.G., & Lakshmanan,

P.T. (2014). Isolation and characterization of gelatin from the skins of skipjack tuna (Katsuwonus pelamis), dog shark (Scoliodon sorrokowah) and rohu (Labeo rohita). Food Hydrocolloids, 39, 68-76. http://dx.doi.org/10.1016/j.foodhyd.2013.12.008

Subba, D. 2001.Development of containing meat by-products and its nutritional evaluation. Tribhuvan University Journal. Vol. XXIII (1) : 44-49.

Samootkwama, K., Jaturasitha, S., Tipnate,B., Waritthitham, A., Wicke, M., and Kreuzer, M. 2015. Effect of Improving Lamphun Cattle with Black Angus on Carcass and Meat Quality. Agriculture and Agricultural Science Procedia 5: 145 – 150. https://doi.org/10.1016/j.aaspro.2015.08.022

Talmant, A., Monin, G., Briand, M., Dadet, M., and Briand, Y. 1986. Activities of metabolic and contractile enzymes in 18 bovine muscles. Meat Science, 18(1): 23-40. https://doi.org/10.1016/0309-1740(86)90064-1

Tan, B.H., & Azhar, M.E. (2014). Physicochemical properties and composition of Snakehead fish (Channa striatus) whole fillet powder prepared with pre-filleting freezing treatments. International Food Research Journal, 21(3), 1255-1260.

Tarladgis, B., Watts, B. M. and Yonathan, M. (1960) Distillation Method for Determination of Malonaldehyde in Rancid Food. Journal of American Oil Chemistry Society, 37: 44-48. http://dx.doi.org/10.1007/BF02630824

Tartẻ, R. and C.M. Amundson. 2006. Protein Interactions in Muscle Foods. In: Ingredient Interaction Effects on Food Quality. 2ed. (A.G. Goankar and A. McPherson, Eds). CRC Press. Pp. 195-282

Page 248: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

226

Tawali, A.B., M. K. Roreng, M. Mahendradatta dan Suryani. 2012. Difusi Teknologi Produksi Konsentrat Protein dari Ikan Gabus Sebagai Food Supplement Di Jayapura. Prosiding InSINas. PG243-PG247.

Tavakolipour, H. 2011. Extraction and Evaluation of Gelatin from Silver Carp Waste.WolrdJournalof Fish and Marine Sciences. Vol 3 (1):10 – 15.

Toldrá, F., M. C. Aristoy , L. Mora and M. Reig. 2012. Innovations in value-addition of edible meat by-products. Meat Science.Vol. 92: 290-296.

Toppe, J., Albrektsen, S., Hope, B., & Aksnes, A. (2007). Chemical composition, mineral content and amino acid and lipid profiles in bones from various fish species. Comparative Biochemistry and Physiology, Part B 146, 395-401. http://dx.doi.org/10.1016/j.cbpb.2006.11.020

Tosh, M. S. A. G. Marangoni, F. R. Hallett and I. J. Britt. 2003. Aging dynamics in gelatin gel microstructure. Food Hydrocolloids. Vol. 17: 503-513.

Turgut S. S., Işıkçı, F., and Soyer, A. 2017. Antioxidant activity of pomegranate peel extract on lipid and protein oxidation in beef meatballs during frozen storage. Meat Science, 129: 111-119. https://doi.org/10.1016/j.meatsci.2017.02.019

Turgut, S. S., Soyer, A., and Işıkçı, F. 2016. Effect of pomegranate peel extract on lipid and protein oxidation in beef meatballs during refrigerated storage. Meat Science, 116: 126-132. https://doi.org/10.1016/j.meatsci.2016.02.011

Uriarte-Montoya, M. H., Santacruz-Ortega, H., Cinco-Moroyoqui, F. J., Rouzaud-Sández, O., Plascencia-Jatomea, M., and Ezquerra-Brauer, J. M. 2011. Giant squid skin gelatin: Chemical composition and biophysical characterization. Food Research International 44 (2011) 3243–3249. doi:10.1016/j.foodres.2011.08.018.

Vasudevan, V. N. and Venkataramanujam, V. 2012. Quality Characteristics of Buffalo Cheek Meat. Journal of Veterinary Animal Science, 43: 85-86.

Vázquez-Ortíz F., Moron F. O. E., and Gonzalez M. N. F. 2004. Hydroxyproline measurement by HPLC: improved method of total collagen determination in meat samples. J Liq Chromatogr Related Technol, Vol 27, 2771–2780.

War, M. K. Altaff, M. A. Haniffa. 2011. Growth and Survival of Larval Snakehead Channa striatus (Bloch, 1793). Fed Different Live Feed Organisms. Turkish Journal of Fisheries and Aquatic Science. Vol 11: 523-528Wu, G. 2009. Amino acids: Metabolism, functions, and nutrition. Amino Acids, 37, 1-17. Doi:10.1007/s00726-009-0269-0

Williams, P. G. 2007. Nutritional composition of red meat. Nutrition & Dietetics, 64 (Suppl. 4): S113–S119. http://dx.doi.org/10.1111/j.1747-0080.2007.00197.x

Wu, G, Bazer, F. W., Burghardt, R. C., Johnson, G. A., Kom, S. W., Knabe, D. A., Li, P., Li, X., McKnight, J. R., Satterfield, M. C., & Spencer, T. E. 2011. Proline and hydroxyproline metabolism: Implication for

Page 249: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

227

animal and human nutrition. Amino Acids, 40(4), 1053-1063. http://dx.doi.org/10.1007/s00726-010-0715-z

Wu G, Wu ZL, Dai ZL, Yang Y, Wang WW, Liu C, Wang B, Wang JJ, Yin YL (2013) Dietary requirements of “nutritionally nonessential amino acids” by animals and humans. Amino Acids 44:1107–1113. doi: 10.1007/s00726-012-1444-2.

Wulandari, Suptijah, P., and Tarman, K. 2015. Efektivitas pretreatment alkali dan hidrolisis asam asetat terhadap karakteristik kolagen dari kulit ikan gabus. JPHPI, 18(3), 287-302. http://dx.doi.org/10.17844/jphpi.2015.18.3.287

Wulandari, A. Supriadi dan B. Purwanto. 2013. pengaruh defatting dan suhu ekstraksi terhadap karakteristik fisik gelatin tulang ikan gabus (Channa striata). Fishtech. Vol. II (1): 38-45

Wyrwisz, J., Półtorak, A., Zalewska, M., Zaremba, R., And Wierzbicka, A. 2012. Analysis of relationship between basic ompocsition, pH, and physical properties of selected bovine muscles. Bull Vet Inst Pulawy 56: 403-409. DOI: 10.2478/v10213-012-0071-8.

Xie S, Zhou W, Tian L, Niu J, Liu Y (2016) Effect of N-acetyl cysteine and glycine supplementation on growth performance, glutathione synthesis, anti-oxidative and immune ability of Nile tilapia, Oreochromis niloticus. Fish Shellfish Immunol, 55:233–24/ http://dx.doi.org/10.1016/j.fsi.2016.05.033

Yeannes, M. I., and Almandos, M.E. (2003). Estimation of fish proximate composition starting from water content. Food Composition and Analysis, 16(1), 81-92. http://dx.doi.org/10.1016/S0889-1575(02)00168-0

Yeo, E. J., Kim, H.-W., Hwang, K.-E., Song, D.-H., Kim, Y.-J., Ham, Y.-K., He, F-Y, Park J-H and Kim, C.-J. (2014). Effect of Duck Feet Gelatin on Physicochemical, Textural, and Sensory Properties of Low-fat Frankfurters. Korean Journal for Food Science of Animal Resources, 34(4): 415–422. http://doi.org/10.5851/kosfa.2014.34.4.415

Yu, D., Chi, C. F., Wang, B., Ding G. F., and Li, Z. R. 2014. Characterization of acid- and pepsin-soluble collagens from spines and skulls of skipjack tuna (Katsuwonus pelamis) [J]. Chinese Journal of Natural Medicines, 12(9): 712-720. https://doi.org/10.1016/S1875-5364(14)60110-2

Zakaria, S and Abu Bakar, N. H. 2015. Extraction and characterization gelatin from black tilapia (Oreochromis niloticus) scale and bone. Int'l Conf. on Advances in Science, Engg., Technology & Natural Resources (ICASETNR-15) Aug. 27-28, 2015 Kota Kinabalu (Malaysia).

Zhang, J, Duan, R., Wang, Y., Yan, B., & Xue, W. 2012. Seasonal differences in the properties of gelatins extracted from skin of silver carp (Hypophthalmichthys molitrix). Food Hydrocolloids. 29. 100–105. Doi.10.1016/j.foodhyd.2012.02.005.

Page 250: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

228

Zhang, K., Mai, K., Xu, Wi., Zhou H., Liufu Z., Zhang, Y., Peng M., and Ai, Q. 2015. Proline with or without Hydroxyproline Influences Collagen Concentration and Regulates Prolyl 4-Hydroxylase α (I) Gene Expression in Juvenile Turbot (Scophthalmus maximus L.). J. Ocean Univ. China. 14 (3): 541-548. DOI 10.1007/s11802-015-2436-0

Zarai, Z. Balti, R., Hafedh Mejdoub, H., Gargouri, Y., and Sayari, A. 2012. Process for extracting gelatin from marine snail (Hexaplex trunculus): Chemical composition and functional properties. Process Biochemistry 47:1779–1784. http://dx.doi.org/10.1016/j.procbio.2012.06.007

Zhou, P. And J. M. Regenstein. 2005. Effect of alkaline and acid pretreatments on alaska pollock skin gelatin extraction. J. Food.Sci. Vol. 90: C392-C396.

Zuraini, A., Somchit, M.N., Solihah, M.H., Goh, Y.M., Arifah, A.K., Zakaria, M. S, Somchit, N., Rajion, M.A., Zakaria, Z.A., & Mat Jais, A.M. (2006). Fatty acid and amino acid composition of three local Malaysian Channa spp. fish. Food Chemistry, 97, 674-678. http://dx.doi.org/10.1016/j.foodchem.2005.04.031

http://cdn.yourarticlelibrary.com/wp-

content/uploads/2016/07/clip_image004_thumb-125.jpg (Diakses: 13/7/2018)

Page 251: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

229

Lampiran 1. Univariate Analysis of Variance Komposisi Kimia kulit dan tulang ikan gabus

a. Kadar air

Descriptive Statistics

Jaringan Berat Mean Std. Deviation N

Kulit 300-400 77.8367 .52348 3 600-700 76.0633 1.92464 3 900-1000 74.3333 .14572 3

Total 76.0778 1.81693 9 tulang 300-400 46.6900 1.52568 3

600-700 43.1600 .07810 3 900-1000 42.4767 1.30424 3

Total 44.1089 2.20084 9 Total 300-400 62.2633 17.09021 6

600-700 59.6117 18.06303 6 900-1000 58.4050 17.46834 6

Total 60.0933 16.56397 18

Tests of Between-Subjects Effects

Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig. Corrected Model 4648.135a 5 929.627 694.241 .000 Intercept 65001.757 1 65001.757 48542.987 .000

Jaringan 4599.044 1 4599.044 3434.543 .000 Berat 46.748 2 23.374 17.456 .000 Jaringan* Berat 2.343 2 1.171 .875 .442 Error 16.069 12 1.339 Total 69665.961 18 Corrected Total 4664.204 17 a. R Squared = .997 (Adjusted R Squared = .995)

Berat N Subset

1 2 Duncana,b 900-1000 6 58.4050

600-700 6 59.6117 300-400 6 62.2633 Sig. .096 1.000

Page 252: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

230

b. Kadar Protein

Jaringan Berat Mean Std. Deviation N Kulit 300-400 16.3667 .60468 3

600-700 17.4900 1.64709 3 900-1000 18.4900 .58660 3 Total 17.4489 1.30459 9

tulang 300-400 15.0133 .80749 3 600-700 16.0933 .61647 3 900-1000 15.2367 .2940 3 Total 15.4478 .72346 9

Total 300-400 15.6900 .97802 6 600-700 16.7917 1.3500 6 900-1000 16.8633 1.8296 6 Total 16.4483 1.45163 18

Tests of Between-Subjects Effects

Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig. Corrected Model 25.641a 5 5.128 6.044 .005 Intercept 4869.858 1 4869.858 5739.223 .000

Jaringan 18.020 1 18.020 21.237 .001 Berat 5.961 2 2.981 3.513 .063 Jaringan * Berat 1.660 2 .830 .978 .404 Error 10.182 12 .849 Total 4905.681 18 Corrected Total 35.823 17 a. R Squared = .716 (Adjusted R Squared = .597)

c. Kadar Lemak

Descriptive Statistics

Jaringan Berat Mean Std. Deviation N Kulit 300-400 .6733 .17010 3

600-700 3.3233 .53482 3 900-1000 2.9867 .41956 3

Total 2.3278 1.29756 9 tulang 300-400 2.5433 .01528 3

600-700 4.0467 .44377 3 900-1000 4.1867 .31390 3

Total 3.5922 .83453 9 Total 300-400 1.6083 1.02992 6

600-700 3.6850 .59173 6 900-1000 3.5867 .73609 6

Total 2.9600 1.24228 18

Page 253: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

231

Tests of Between-Subjects Effects Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig. Corrected Model 24.662a 5 4.932 37.619 .000 Intercept 157.709 1 157.709 1202.813 .000 Jaringan 7.195 1 7.195 54.872 .000 Berat 16.472 2 8.236 62.814 .000 Jaringan * Berat .995 2 .498 3.796 .053 Error 1.573 12 .131 Total 183.944 18 Corrected Total 26.236 17 a. R Squared = .940 (Adjusted R Squared = .915)

Post hoc

Berat N Subset

1 2 Duncana,b 300-400 6 1.6083

900-1000 6 3.5867 600-700 6 3.6850

Sig. 1.000 .647

d. Kadar Abu

Descriptive Statistics Jaringan Berat Mean Std. Deviation N Kulit 300-400 .6033 .08505 3

600-700 .2200 .04583 3 900-1000 .2000 .09165 3 Total .3411 .20781 9

tulang 300-400 29.8167 .63066 3 600-700 31.8767 .45786 3 900-1000 32.0533 .51394 3 Total 31.2489 1.17370 9

Total 300-400 15.2100 16.00586 6 600-700 16.0483 17.34151 6 900-1000 16.1267 17.44991 6 Total 15.7950 15.92293 18

Tests of Between-Subjects Effects Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig. Corrected Model 4308.396a 5 861.679 5814.081 .000 Intercept 4490.676 1 4490.676 30300.325 .000 Jaringan 4298.808 1 4298.808 29005.716 .000 Berat 3.098 2 1.549 10.453 .002 Ikan * Berat 6.489 2 3.245 21.892 .000 Error 1.778 12 .148 Total 8800.851 18 Corrected Total 4310.174 17 a. R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = .999)

Page 254: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

232

Post Hoc

Berat N Subset

1 2 Duncana,b 300-400 6 15.2100

600-700 6 16.0483 900-1000 6 16.1267 Sig. 1.000 .731

e. Hidroksiprolin

Descriptive Statistics Jaringan Umur Mean Std. Deviation N kulit 300-400 11.3733 .33486 3

600-700 11.6333 .60343 3 900-1000 11.9067 .21962 3 Total 11.6378 .42950 9

tulang 300-400 12.3433 .61076 3 600-700 11.0567 1.04510 3 900-1000 11.1267 .40526 3 Total 11.5089 .89441 9

Total 300-400 11.8583 .69017 6 600-700 11.3450 .82602 6 900-1000 11.5167 .51721 6 Total 11.5733 .68386 18

Tests of Between-Subjects Effects

Source Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig. Corrected Model 3.642a 5 .728 2.029 .146 Intercept 2410.957 1 2410.957 6715.757 .000 Jenis bahan .075 1 .075 .208 .656 Berat .819 2 .410 1.141 .352 Jenis bahan * Berat 2.748 2 1.374 3.827 .052 Error 4.308 12 .359 Total 2418.907 18 Corrected Total 7.950 17 a. R Squared = .458 (Adjusted R Squared = .232)

Page 255: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

233

f. Kolagen

Bahan_Baku Bobot_Badan Mean Std. Deviation N

kulit 300-400g 9.0996 .26930 3

600-700g 9.3060 .48437 3

900-1000g 9.5247 .17686 3

Total 9.3101 .34423 9

tulang 300-400g 9.8759 .48708 3

600-700g 8.8460 .83792 3

900-1000g 8.9006 .32380 3

Total 9.2075 .71617 9

Total 300-400g 9.4878 .55199 6

600-700g 9.0760 .66193 6

900-1000g 9.2127 .41387 6

Total 9.2588 .54764 18

Descriptive Statistics

Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig. Corrected Model 233.341a 5 46.668 2.025 .147 Intercept 154304.939 1 154304.939 6696.782 .000 Jenisbahan 4.723 1 4.723 .205 .659 Berat 52.837 2 26.418 1.147 .350 Jenisbahan * Berat 175.782 2 87.891 3.814 .052 Error 276.500 12 23.042 Total 154814.780 18 Corrected Total 509.841 17 a. R Squared = .458 (Adjusted R Squared = .232)

g. Kolagen basis protein kasar Bahan_Baku Bobot_Badan Mean Std. Deviation N

kulit 300-400g 55.6530 2.73022 3

600-700g 53.6572 7.31510 3

900-1000g 51.5445 1.75617 3

Total 53.6182 4.37929 9

tulang 300-400g 66.0094 6.48224 3

600-700g 55.0191 5.49959 3

900-1000g 58.4047 1.15076 3

Total 59.8111 6.49286 9

Total 300-400g 60.8312 7.20874 6

600-700g 54.3382 5.83601 6

900-1000g 54.9746 3.98526 6

Total 56.7147 6.24625 18

Page 256: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

234

Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 387.990a 5 77.598 3.383 .039

Intercept 57897.938 1 57897.938 2.524E3 .000

Bahan_Baku 172.583 1 172.583 7.523 .018

Bobot_Badan 153.730 2 76.865 3.351 .070

Bahan_Baku * Bobot_Badan 61.677 2 30.838 1.344 .297

Error 275.276 12 22.940 Total 58561.204 18 Corrected Total 663.266 17 a. R Squared = .585 (Adjusted R Squared = .412)

Post hoc

Duncan

Bobot_Badan N

Subset

1 2

600-700g 6 54.3382 900-1000g 6 54.9746 54.9746

300-400g 6 60.8312

Sig. .822 .056

Page 257: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

235

Lampiran 2. Kadar asam amino kulit dan tulang ikan gabus pada bobot berbeda

a. Asam Amino pada Kulit

No. Asam amino (ppm) KL A % KLB % KLC %

1 L-Histidin 10820.47 1.18 12314.08 1.26 11706.20 1.19

2 L-Serin 37675.88 4.10 40128.37 4.10 38983.55 3.97

3 L-Arginin 77181.59 8.40 85257.58 8.70 81103.50 8.25

4 Glisin 225074.53 24.49 243274.19 24.83 234020.72 23.81

5 L-Asam aspartat 50205.99 5.46 52189.50 5.33 59179.42 6.02

6 L-Asam glutamat 100042.36 10.89 104066.33 10.62 114682.15 11.67

7 L-Threonin 32477.15 3.53 34197.35 3.49 33096.28 3.37

8 L-Alanin 90361.02 9.83 94496.14 9.64 99420.89 10.12

9 L-Prolin 117493.23 12.79 124030.08 12.66 121167.21 12.33

10 L-Sistin 457.93 0.05 439.27 0.04 324.19 0.03

11 L-Lisin HCL 52147.90 5.67 49845.54 5.09 53959.77 5.49

12 L-Tirosin 1041.39 0.11 10037.51 1.02 9418.87 0.96

13 L-Metionin 15107.18 1.64 16820.64 1.72 15502.23 1.58

14 L-Valin 28428.85 3.09 28304.77 2.89 27836.52 2.83

15 L-Isoleuin 19079.82 2.08 18748.35 1.91 18247.64 1.86

16 L-Leusin 33786.15 3.68 33469.78 3.42 32654.77 3.32

17 L-Phenilalanin 26614.83 2.90 31170.41 3.18 30600.50 3.11

18 Triptophan 945.75 0.10 1126.72 0.11 940.77 0.10

Total 918942.02 100.00 979916.61 100.00 982845.18 100.00

Keterangan: KLA = Kulit dari ikan gabus bobot 300-400 g KLB = Kulit dari ikan gabus bobot 600-700 g KLC = Kulit dari ikan gabus bobot 900-1000 g

Page 258: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

236

b. Asam amino pada tulang ikan gabus

No. Asam amino (ppm) TL A %TLA TLB %TLB TLC %TLC

1 L-Histidin 6077.93 1.54 6984.05 1.48 6536.64 1.53

2 L-Serin 16547.99 4.18 19384.25 4.10 17804.02 4.16

3 L-Arginin 29507.80 7.46 34193.11 7.24 33275.93 7.78

4 Glisin 88925.33 22.48 100786.22 21.33 99852.15 23.34

5 L-Asam aspartat 24569.99 6.21 31938.30 6.76 24435.08 5.71

6 L-Asam glutamat 47597.73 12.03 60669.24 12.84 49189.09 11.50

7 L-Threonin 14221.31 3.60 16736.81 3.54 15665.17 3.66

8 L-Alanin 38260.64 9.67 46668.94 9.88 40939.89 9.57

9 L-Prolin 46845.58 11.84 54120.36 11.45 51862.21 12.12

10 L-Sistin 257.46 0.07 199.14 0.04 241.62 0.06

11 L-Lisin HCL 21787.31 5.51 27965.51 5.92 22344.91 5.22

12 L-Tirosin 5639.58 1.43 6739.24 1.43 6130.16 1.43

13 L-Metionin 5733.10 1.45 6639.71 1.41 6696.19 1.57

14 L-Valin 12858.69 3.25 15223.02 3.22 13645.97 3.19

15 L-Isoleuin 8635.14 2.18 10458.97 2.21 9173.40 2.14

16 L-Leusin 15353.72 3.88 18538.85 3.92 16418.87 3.84

17 L-Phenilalanin 12066.07 3.05 14672.61 3.10 13061.76 3.05

18 Triptophan 623.21 0.16 637.91 0.13 504.24 0.12

Total 395508.58 100.00 472556.24 100.00 427777.30 100.00

TLA = Tulang dari ikan gabus bobot 300-400 g TLB = Tulang dari ikan gabus bobot 600-700 g TLC = Tulang dari ikan gabus bobot 900-1000 g

Page 259: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

237

Lampiran 3. Univariate Analysis of Variance Kualitas Gelatin Ikan Gabus

a. Rendemen Gelatin ikan gabus

Tests of Between-Subjects Effects

Source JK df KT F Sig. Perlakuan 1845.800a 17 108.576 234.480 .000 Faktor Koreksi 6496.873 1 6496.873 14030.552 .000 Perlakuan_A 1620.436 1 1620.436 3499.470 .000 Perlakuan_B 161.123 2 80.561 173.979 .000 Perlakuan_A * Perlakuan_B 27.013 2 13.507 29.169 .000 Perlakuan_C 28.387 2 14.193 30.652 .000 Perlakuan_B * Perlakuan_C 2.939 4 .735 1.587 .199 Perlakuan_A * Perlakuan_C 3.632 2 1.816 3.922 .029 Perlakuan_A * Perlakuan_B * Perlakuan_C

2.270 4 .567 1.225 .317

Galat 16.670 36 .463 Total 8359.342 54 Total Terkoreksi 1862.469 53 a. R Squared = .991 (Adjusted R Squared = .987)

Post hoc

Substrat Rendemen

I II

Tulang 5.490741

Kulit 16.44667

Suhu Rendemen

I II III

50 9.161111

60 10.44944

70 13.29556

Waktu Ekstraksi Rendemen

I II III

12 9.983889

18 11.21389

24 11.70833

Page 260: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

238

Substrat Suhu Rendemen

I II III IV V

Tulang 50 2.797778

Tulang 60 5.011111

Tulang 70 8.663333

Kulit 50 15.52444

Kulit 60 15.88778

Kulit 70 17.92778

Substrat Waktu ekstraksi Rendemen

I II III IV

Tulang 12 4.844444

Tulang 18 5.444445

Tulang 24 6.183333

Kulit 12 15.12333

Kulit 18 16.98333

Kulit 24 17.23333

b. Kekuatan Gel

Source JK df KT F Sig. 297377.568a 17 17492.798 30.086 .000 Faktor Koreksi 1206614.519 1 1206614.519 2075.242 .000 Perlakuan_A 53682.347 1 53682.347 92.328 .000 Perlakuan_B 57856.225 2 28928.112 49.753 .000 Perlakuan_A * Perlakuan_B 14723.647 2 7361.824 12.662 .000 Perlakuan_C 6489.851 2 3244.926 5.581 .008 Perlakuan_B * Perlakuan_C 11268.835 4 2817.209 4.845 .003 Perlakuan_A * Perlakuan_C 125942.916 2 62971.458 108.304 .000 Perlakuan_A * Perlakuan_B * Perlakuan_C

27413.746 4 6853.437 11.787 .000

Galat 20931.593 36 581.433 Total 1524923.680 54 Total Terkoreksi 318309.161 53 a. R Squared = .934 (Adjusted R Squared = .903)

Substrat Kekuatan Gel

I II

Tulang 117.95

Kulit 181.01

Page 261: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

239

Suhu Kekuatan Gel

I II

50 103.79

70 165.87

60 178.78

Waktu Kekuatan Gel

I II

24 133.98

18 157.23

12 157.24

Substrat Suhu Kekuatam Gel

I II III IV

Tulang 50 53.80

Tulang 60 144.10

Kulit 50 153.79 153.79

Tulang 70 155.96 155.96

Kulit 70 175.79

Kulit 60 213.46

Substrat Waktu

Ekstraksi Kekuatam Gel

I II III IV V

Tulang 12 64.53

Kulit 24 108.62

Tulang 18 129.99

Tulang 24 159.33

Kulit 18 184.47

Kulit 12 249.94

Suhu Waktu

Ekstraksi Kekuatam Gel

I II III IV

50 24 87.15

50 18 90.88

50 12 133.35

70 24 140.90 140.90

60 12 163.18 163.18

60 24 173.88 173.88

70 12 175.18 175.18

70 18 181.53 181.53

60 18 199.27

Page 262: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

240

Substrat Suhu Waktu ekstraksi Kekuatam Gel

I II III IV V

Tulang 50 12 41.37

Tulang 60 12 48.00

Tulang 50 18 55.37

Tulang 50 24 64.67 64.67

Tulang 70 12 104.23

Kulit 70 24 108.00

Kulit 60 24 108.23

Kulit 50 24 109.63

Kulit 50 18 126.40

Tulang 60 18 144.77 144.77

Kulit 70 18 173.23

Tulang 70 24 173.80

Tulang 70 18 189.83 189.83

Kulit 50 12 225.33

Tulang 60 24 239.53

Kulit 70 12 246.13 246.13

Kulit 60 18 253.77 253.77

Kulit 60 12 278.37

c. Viskositas

Source JK df KT F Sig. Perlakuan 4.606a 17 .271 6.715 .000 Faktor Koreksi 2346.304 1 2346.304 58156.799 .000 Perlakuan_A .150 1 .150 3.728 .061 Perlakuan_B .921 2 .461 11.416 .000 Perlakuan_A * Perlakuan_B 2.226 2 1.113 27.588 .000 Perlakuan_C .005 2 .002 .057 .944 Perlakuan_B * Perlakuan_C .152 4 .038 .942 .451 Perlakuan_A * Perlakuan_C 1.065 2 .532 13.194 .000 Perlakuan_A * Perlakuan_B * Perlakuan_C

.087 4 .022 .538 .709

Galat 1.452 36 .040 Total 2352.362 54 Total Terkoreksi 6.058 53 a.R Squared = .760 (Adjusted R Squared = .647)

Suhu Viskositas

I II

50 6.41

60 6.66

70 6.71

Page 263: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

241

Substrat Waktu Ekdtraksi Viskositas

I II

Tulang 12 6.38

Kulit 24 6.45

Tulang 18 6.53 6.53

Kulit 18 6.68

Tulang 24 6.71

Kulit 12 6.80

Substrat Suhu Viskositas

I II III

Tulang 50 6.10

Kulit 70 6.51

Tulang 60 6.61

Kulit 60 6.71 6.71

Kulit 50 6.71 6.71

Tulang 70 6.90

d. pH

Source JK df KT F Sig. Perlakuan 8.994a 17 .529 51.867 .000 Faktor Koreksi 1066.933 1 1066.933 104601.309 .000 Perlakuan_A 4.524 1 4.524 443.531 .000 Perlakuan_B .633 2 .316 31.015 .000 Perlakuan_A * Perlakuan_B 1.201 2 .600 58.857 .000 Perlakuan_C .937 2 .469 45.932 .000 Perlakuan_B * Perlakuan_C .151 4 .038 3.710 .013 Perlakuan_A * Perlakuan_C 1.412 2 .706 69.221 .000 Perlakuan_A * Perlakuan_B * Perlakuan_C

.136 4 .034 3.331 .020

Galat .367 36 .010 Total 1076.294 54 Total Terkoreksi 9.361 53 a.R Squared = .961 (Adjusted R Squared = .942)

Substrat pH

I II

Tulang 4.16

Kulit 4.73

Suhu pH

I II III

50 4.33

60 4.415

70 4.59

Page 264: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

242

Waktu Ekstraksi pH

I II III

12 4.306667

18 4.406111

24 4.622222

Substrat suhu pH

I II III IV

Tulang 50 3.90

Tulang 60 4.06

Tulang 70 4.51

Kulit 70 4.67

Kulit 50 4.76

Kulit 60 4.77

Substrat Waktu

ekstraksi pH

I II III IV V

Tulang 12 3.80

Tulang 18 4.16

Tulang 24 4.51

Kulit 18 4.66

Kulit 24 4.74 4.74

Kulit 12 4.81

Suhu Waktu ekstraksi pH

I II III IV

50 12 4.17

60 12 4.21 4.21

50 18 4.30

60 18 4.37

50 24 4.53

70 12 4.54

70 18 4.55 4.55

60 24 4.66

70 24 4.68

Page 265: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

243

Substrat Suhu Waktu

ekstraksi pH

I II III IV V VI

Tulang 50 12 3.55

Tulang 60 12 3.55

Tulang 50 18 3.87

Tulang 60 18 4.09

Tulang 50 24 4.27

Tulang 70 12 4.30

Tulang 70 18 4.51

Tulang 60 24 4.54 4.54

Kulit 70 18 4.59 4.59

Kulit 70 24 4.65 4.65

Kulit 60 18 4.65 4.65

Tulang 70 24 4.71

Kulit 50 18 4.72

Kulit 70 12 4.78

Kulit 50 24 4.78

Kulit 60 24 4.78

Kulit 50 12 4.78

Kulit 60 12 4.87 Lampiran 4. Data komposisi kimia gelatin

a. Kadar air gelatin

Descriptive Statistics

Jenis_Gelatin Mean Std. Deviation N

GKG 7.4633 .28113 3

GKB 13.7000 .48662 3

GTG 3.4967 .20306 3

Total 8.2200 4.46448 9

Page 266: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

244

Tests of Between-Subjects Effects

Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 158.738a 2 79.369 666.844 .000

Intercept 608.116 1 608.116 5.109E3 .000

Jenis_Gelatin 158.738 2 79.369 666.844 .000

Error .714 6 .119 Total 767.568 9 Corrected Total 159.453 8 a. R Squared = .996 (Adjusted R Squared = .994) Post Hoc

Duncan

Jenis_Gelatin N

Subset

1 2 3

GTG 3 3.4967 GKG 3 7.4633 GKB 3 13.7000

Sig. 1.000 1.000 1.000

b. Kadar Protein gelatin

Descriptive Statistics

Jenis_Gelatin Mean Std. Deviation N

GKG 83.4067 .56163 3

GKB 76.9933 1.13390 3

GTG 93.1233 .49662 3

Total 84.5078 7.06591 9

Tests of Between-Subjects Effects

Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 395.721a 2 197.861 321.237 .000

Intercept 64274.081 1 64274.081 1.044E5 .000

Jenis_Gelatin 395.721 2 197.861 321.237 .000

Error 3.696 6 .616 Total 64673.498 9 Corrected Total 399.417 8 a. R Squared = .991 (Adjusted R Squared = .988)

Page 267: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

245

Post Hoc

Duncan

Jenis_Gelatin N

Subset

1 2 3

GKB 3 76.9933 GKG 3 83.4067 GTG 3 93.1233

Sig. 1.000 1.000 1.000

c. Komposisi lemak gelatin

Descriptive Statistics

Jenis_Gelatin Mean Std. Deviation N

GKG .3100 .01000 3

GKB .0300 .00000 3

GTG 1.0533 .04933 3

Total .4644 .45870 9

Tests of Between-Subjects Effects

Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 1.678a 2 .839 993.645 .000

Intercept 1.941 1 1.941 2.299E3 .000

Jenis_Gelatin 1.678 2 .839 993.645 .000

Error .005 6 .001 Total 3.625 9 Corrected Total 1.683 8 a. R Squared = .997 (Adjusted R Squared = .996) Post Hoc

Duncan

Jenis_Gelatin N

Subset

1 2 3

GKB 3 .0300 GKG 3 .3100 GTG 3 1.0533

Sig. 1.000 1.000 1.000

Page 268: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

246

d. Kadar abu gelatin

Descriptive Statistics

Jenis_Gelatin Mean Std. Deviation N

GKG 1.1400 .03606 3

GKB 1.9333 .03786 3

GTG 1.3267 .06658 3

Total 1.4667 .36170 9

Tests of Between-Subjects Effects

Source Type III Sum of Squares df Mean

Square F Sig.

Corrected Model 1.032a 2 .516 216.056 .000

Intercept 19.360 1 19.360 8.104E3 .000

Jenis_Gelatin 1.032 2 .516 216.056 .000

Error .014 6 .002 Total 20.407 9 Corrected Total 1.047 8 a. R Squared = .986 (Adjusted R Squared = .982) Post Hoc

Duncan

Jenis_Gelatin N

Subset

1 2 3

GKG 3 1.1400 GTG 3 1.3267 GKB 3 1.9333

Sig. 1.000 1.000 1.000

Lampiran 5. Analisis Varian Warna gelatin

a. Kecerahan gelatin (L)

Descriptive Statistics

Jenis_Gelatin Mean Std. Deviation N

GKG 84.8333 2.25649 3

GKB 64.8567 .51733 3

GTG 67.4733 1.45552 3

Total 72.3878 9.50158 9

Page 269: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

247

Tests of Between-Subjects Effects

Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 707.284a 2 353.642 141.875 .000

Intercept 47159.913 1 47159.913 1.892E4 .000

Jenis_Gelatin 707.284 2 353.642 141.875 .000

Error 14.956 6 2.493 Total 47882.153 9 Corrected Total 722.240 8 a. R Squared = .979 (Adjusted R Squared = .972) Post Hoc

Duncan

Jenis_bahan N

Subset

1 2

GKB 3 64.8567 GTG 3 67.4733 GKG 3 84.8333

Sig. .089 1.000

b. Warna kemerahan gelatin (a*)

Descriptive Statistics

Jenis_Gelatin Mean Std. Deviation N

GKG 1.6700 2.48006 3

GKB -1.0733 .28024 3

GTG 14.6733 4.63761 3

Total 5.0900 7.74632 9

Tests of Between-Subjects Effects

Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 424.570a 2 212.285 22.961 .002

Intercept 233.173 1 233.173 25.220 .002

Jenis_Gelatin 424.570 2 212.285 22.961 .002

Error 55.473 6 9.246 Total 713.216 9 Corrected Total 480.043 8 a. R Squared = .884 (Adjusted R Squared = .846)

Page 270: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

248

Post Hoc

Duncan

Jenis_Gelatin N

Subset

1 2

GKB 3 -1.0733 GKG 3 1.6700 GTG 3 14.6733

Sig. .311 1.000

c. Warna kekuningan gelatin (b)

Descriptive Statistics

Jenis_Gelatin Mean Std. Deviation N

GKG 37.1967 .75745 3

GKB 21.1100 .90072 3

GTG 26.4767 4.71810 3

Total 28.2611 7.49826 9

Tests of Between-Subjects Effects

Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 402.500a 2 201.250 25.533 .001

Intercept 7188.214 1 7188.214 911.999 .000

Jenis_Gelatin 402.500 2 201.250 25.533 .001

Error 47.291 6 7.882 Total 7638.005 9 Corrected Total 449.791 8 a. R Squared = .895 (Adjusted R Squared = .860) Post Hoc

Duncan

Jenis_Gelatin N

Subset

1 2

GKB 3 21.1100 GTG 3 26.4767 GKG 3 37.1967

Sig. .058 1.000

Page 271: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

249

d. Total warna Gelatin (ΔA)

Descriptive Statistics

Jenis_Gelatin Mean Std. Deviation N

GKG 35.7567 1.09710 3

GKB 34.1200 1.69767 3

GTG 38.7133 4.61275 3

Total 36.1967 3.22579 9

Tests of Between-Subjects Effects

Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 32.519a 2 16.260 1.923 .226

Intercept 11791.788 1 11791.788 1.395E3 .000

Jenis_Gelatin 32.519 2 16.260 1.923 .226

Error 50.726 6 8.454 Total 11875.034 9 Corrected Total 83.246 8 a. R Squared = .391 (Adjusted R Squared = .188)

Page 272: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

250

Lampiran 6. Gambar Gelatin Hasil ekstraksi berdasarkan suhu dan waktu ekstraksi berbeda.

a. Gambar Gelatin Tulang yang diekstraksi pada suhu dan waktu

berbeda

Suhu (°C)

70

60

50

Waktu Ekstraksi (Jam) 12 18 24

Page 273: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

251

b. Gambar Gelatin kulit yang diekstraksi pada suhu dan waktu berbeda

Suhu (°C)

70

60

50

Waktu Ekstraksi (Jam) 12 18 24

Page 274: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

252

Lampiran 7. Asam amino Gelatin

a. Gelatin Kulit Ikan Gabus (GKG)

Asam Amino GKG 1 GKG 2 Rataan Residu/1000

L-Histidin 6102.6 6107.36 6104.98 0.85

L-Threonin 22052.7 21952.54 22002.62 3.08

L-Prolin 95276.53 94817.78 95047.155 13.31

L-Tirosin 3483.64 3468.66 3476.15 0.49

L-Leusin 18165.75 18075.08 18120.415 2.54

L-Asam Aspartat 33514.24 33374.12 33444.18 4.68

L-Lisin HCl 35460.1 35336.2 35398.15 4.96

Glisin 193918.31 193164.81 193541.56 27.10

L-Arginin 61562.75 61339.64 61451.195 8.61

L-Alanin 79635.2 79342.44 79488.82 11.13

L-Valin 16155.08 16095.07 16125.075 2.26

L-Isoleusin 9322.84 9281.77 9302.305 1.30

L-Fenilalanin 16794.43 16731 16762.715 2.35

L-Asam glutamat 78831.79 78400.2 78615.995 11.01

L-Serin 29889.44 29755.03 29822.235 4.18

L-Metionin 15393.16 15316.95 15355.055 2.15

L-Sistin Not

detected Not detected 0 0.00

714058.605 100.00

Page 275: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

253

b. Gelatin Tulang Ikan Gabus

Asam Amino GTG 1 GTG 2 Rataan Residu/1000

L-Histidin 9544.81 9547.56 9546.185 1.21

L-Threonin 26176.99 26139.32 26158.155 3.31

L-Prolin 96055.17 95792.05 95923.61 12.13

L-Tirosin 6402.77 6427.83 6415.3 0.81

L-Leusin 21835.54 21710.32 21772.93 2.75

L-Asam Aspartat 36478.32 36423.97 36451.145 4.61

L-Lisin HCl 29952.51 29909.28 29930.895 3.79

Glisin 219313.69 218882.28 219097.985 27.71

L-Arginin 75249.50 75150.40 75199.95 9.51

L-Alanin 78382.96 78144.09 78263.525 9.90

L-Valin 18558.57 18708.55 18633.56 2.36

L-Isoleusin 11297.30 11264.65 11280.975 1.43

L-Fenilalanin 24777.04 24725.96 24751.5 3.13

L-Asam glutamat 84231.85 84001.90 84116.875 10.64

L-Serin 34471.13 34443.97 34457.55 4.36

L-Metionin 18545.77 18564.29 18555.03 2.35

L-Sistin 0 0 0 0.00

790555.17 100

Page 276: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

254

c. Gelatin Komersial

Asam Amino GKB 1 GKB 2 Rataan Residu/1000

L-Histidin 4640.54 4664.46 4652.5 0.86 L-Threonin 12132.49 12177.37 12154.93 2.24 L-Prolin 76111.86 76202.73 76157.295 14.01 L-Tirosin 2502.59 2510.16 2506.375 0.46 L-Leusin 20536.35 20583.99 20560.17 3.78 L-Asam Aspartat 25605.8 25651.33 25628.565 4.71 L-Lisin HCl 25576.9 25610.81 25593.855 4.71 Glisin 157840.06 158201.91 158020.985 29.07 L-Arginin 46817 46933.63 46875.315 8.62 L-Alanin 51335.69 51335.96 51335.825 9.44 L-Valin 14894.85 14935.44 14915.145 2.74 L-Isoleusin 9466.76 9478.13 9472.445 1.74 L-Fenilalanin 13796.53 13823.35 13809.94 2.54 L-Asam glutamat 56287.08 56351.68 56319.38 10.36 L-Serin 19965.03 20004.7 19984.865 3.68 L-Metionin 5684.72 5695.19 5689.955 1.05 L-Sistin 0 0 0 0 543677.545 100

Page 277: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

255

Lampiran 8. Indeks aktivitas emulsi (AEI) dan Indeks stabilitas emulsi (ISE)

Descriptive Statistics

Dependent Variable: AEI Jenis_gelatin Mean Std. Deviation N GKG 32.4900 .27495 3 GTG 28.4700 .36000 3 GKB 28.9200 .09000 3 Total 29.9600 1.92141 9

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: AEI

Source Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig. Corrected Model 29.108a 2 14.554 204.696 .000 Intercept 8078.414 1 8078.414 113620.456 .000 Jenis_gelatin 29.108 2 14.554 204.696 .000 Error .427 6 .071 Total 8107.949 9 Corrected Total 29.534 8 a. R Squared = .986 (Adjusted R Squared = .981)

AEI Duncana,b

Jenis_gelatin N Subset

1 2 GTG 3 28.4700 GKB 3 28.9200 GKG 3 32.4900 Sig. .084 1.000

Descriptive Statistics Dependent Variable: ISE Jenis_gelatin Mean Std. Deviation N GKG 26.2467 .19218 3 GTG 19.1600 .18083 3 GKB 25.4200 .15716 3 Total 23.6089 3.35932 9

Page 278: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

256

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: ISE

Source Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig. Corrected Model 90.092a 2 45.046 1432.555 .000 Intercept 5016.417 1 5016.417 159532.687 .000 Jenis_gelatin 90.092 2 45.046 1432.555 .000 Error .189 6 .031 Total 5106.697 9 Corrected Total 90.280 8 a. R Squared = .998 (Adjusted R Squared = .997)

ISE

Duncana,b

Jenis_gelatin N Subset

1 2 3 GTG 3 19.1600 GKB 3 25.4200 GKG 3 26.2467 Sig. 1.000 1.000 1.000

Lampiran 9. Daya mengikat air (DMA) dan Daya mengikat Minyak

(DML) gelatin

Descriptive Statistics

Dependent Variable: DMA Jenis_gelatin Mean Std. Deviation N GKG 192.5296 4.75967 3 GTG 166.4750 2.86830 3 GKB 298.8514 4.30005 3 Total 219.2853 60.83321 9

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: DMA

Source Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig. Corrected Model 29506.695a 2 14753.347 896.460 .000 Intercept 432774.429 1 432774.429 26296.733 .000 Jenis_gelatin 29506.695 2 14753.347 896.460 .000 Error 98.744 6 16.457 Total 462379.868 9 Corrected Total 29605.439 8 a. R Squared = .997 (Adjusted R Squared = .996)

Page 279: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

257

DMA Duncana,b

Jenis_gelatin N Subset

1 2 3 GTG 3 166.4750 GKG 3 192.5296 GKB 3 298.8514 Sig. 1.000 1.000 1.000

Descriptive Statistics

Dependent Variable: DML Jenis_gelatin Mean Std. Deviation N GKG 223.9650 4.80265 3 GTG 227.6663 3.27629 3 GKB 219.1033 3.14378 3 Total 223.5782 4.97526 9

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: DML

Source Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig. Corrected Model 110.660a 2 55.330 3.800 .086 Intercept 449884.978 1 449884.978 30896.679 .000 Jenis_gelatin 110.660 2 55.330 3.800 .086 Error 87.366 6 14.561 Total 450083.003 9 Corrected Total 198.025 8 a. R Squared = .559 (Adjusted R Squared = .412)

Page 280: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

Resolution;

Date/Time; 11/7/2017 3:33:52 PMNo. of Scans;

Comment;Sampel GG

Apodization;

5007501000125015001750200025003000350040001/cm

30

45

60

75

90

105

%T37

24.5

4

3388

.93

3080

.32

2935

.66

2881

.65

2360

.87 23

35.8

0

1678

.07

1653

.00

1541

.12

1450

.47 14

13.8

2 1334

.74

1234

.44

1197

.79

1076

.28

1028

.06

970.

19

923.

9087

3.75

669.

3065

1.94 56

7.07

418.

5539

3.48

374.

1935

2.97

Sampel GG

No. Peak Intensity Corr. Intensity Base (H) Base (L) Area Corr. Area1 352.97 87.469 13.211 368.4 341.4 0.799 0.8612 374.19 95.418 3.63 385.76 368.4 0.235 0.1423 393.48 96.647 1.765 410.84 385.76 0.256 0.1114 418.55 98.205 1.299 432.05 410.84 0.116 0.0755 567.07 81.906 0.763 572.86 432.05 7.43 1.2656 651.94 79.374 0.307 653.87 605.65 4.463 0.0097 669.3 78.326 2.985 827.46 655.8 9.404 1.0558 873.75 97.638 1.747 891.11 854.47 0.235 0.1399 923.9 98.445 1.126 948.98 906.54 0.181 0.11210 970.19 97.813 1.572 985.62 948.98 0.21 0.12311 1028.06 89.248 4.926 1045.42 985.62 1.794 0.60912 1076.28 89.267 5.993 1128.36 1045.42 1.941 0.55513 1197.79 88.436 2.172 1209.37 1128.36 2.798 0.81814 1234.44 85.244 6.635 1298.09 1209.37 3.746 1.35115 1334.74 93.329 5.646 1355.96 1298.09 0.965 0.72116 1413.82 89.348 1.449 1421.54 1355.96 2.137 0.42317 1450.47 85.867 8.674 1481.33 1421.54 2.749 1.29918 1541.12 70.448 16.758 1581.63 1483.26 11.002 5.85619 1653 57.297 1.839 1658.78 1583.56 14.093 1.2920 1678.07 57.099 3.007 1880.6 1664.57 26.054 -0.16221 2335.8 86.57 2.614 2343.51 2279.86 2.051 0.19922 2360.87 81.829 10.478 2391.73 2343.51 2.33 1.00523 2881.65 59.339 0.539 2887.44 2393.66 44.863 0.05724 2935.66 53.316 4.731 3005.1 2889.37 29.904 2.27825 3080.32 51.32 1.512 3107.32 3007.02 27.715 0.75926 3388.93 41.441 0.059 3406.29 3379.29 10.323 0.01127 3724.54 91.222 1.271 3786.27 3718.76 1.39 0.018

Page 281: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

Resolution;

Date/Time; 11/7/2017 3:26:17 PMNo. of Scans;

Comment;Sampel GT

Apodization;

5007501000125015001750200025003000350040001/cm

20

40

60

80

100

%T33

83.1

4

3076

.46

2929

.87

2879

.72

2360

.87 23

35.8

0

1676

.14

1651

.07

1521

.84

1446

.61 14

11.8

9 1332

.81

1234

.44 11

97.7

911

66.9

3

1074

.35

1028

.06

970.

1992

1.97

871.

82

665.

44

597.

9355

7.43

401.

19 356.

83

Sampel GT

No. Peak Intensity Corr. Intensity Base (H) Base (L) Area Corr. Area1 356.83 94.269 5.281 368.4 343.33 0.405 0.352 401.19 91.169 0.849 405.05 383.83 0.73 0.0653 557.43 67.878 4.499 586.36 406.98 21.302 3.2864 597.93 68.605 0.173 611.43 588.29 3.773 0.0115 665.44 67.42 2.41 827.46 655.8 15.546 1.226 871.82 95.757 3.449 889.18 840.96 0.479 0.3257 921.97 95.773 4.071 948.98 889.18 0.607 0.5488 970.19 98.625 1.433 985.62 952.84 0.092 0.1019 1028.06 85.752 6.263 1045.42 985.62 2.339 0.79310 1074.35 85.846 8.195 1111 1045.42 2.645 1.05111 1166.93 85.802 2.46 1176.58 1111 1.834 -0.18812 1197.79 83.783 1.192 1209.37 1176.58 2.369 0.09313 1234.44 79.19 9.408 1296.16 1209.37 5.454 1.99914 1332.81 89.765 9.124 1357.89 1296.16 1.488 1.19515 1411.89 84.958 2.714 1421.54 1357.89 2.825 0.52116 1446.61 78.817 12.662 1479.4 1421.54 4.207 2.08617 1521.84 69.655 3.073 1525.69 1481.33 4.182 0.89318 1651.07 54.992 1.442 1653 1583.56 10.677 2.10319 1676.14 53.627 0.671 1680 1654.92 6.648 0.08520 2335.8 85.713 2.826 2343.51 2279.86 2.172 0.20221 2360.87 80.59 11.217 2391.73 2343.51 2.485 1.06422 2879.72 49.291 0.662 2885.51 2391.73 60.324 0.11723 2929.87 41.08 7.34 3005.1 2887.44 41.362 3.92824 3076.46 41.945 1.948 3109.25 3007.02 36.913 1.12325 3383.14 31.346 0.05 3404.36 3377.36 13.584 0.014

Page 282: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

Resolution;

Date/Time; 11/7/2017 3:19:51 PMNo. of Scans;

Apodization;

5007501000125015001750200025003000350040001/cm

75

82.5

90

97.5

%T

3728

.40

3442

.94

2956

.87

2927

.94

2360

.87

2335

.80

2115

.91

1789

.94

1678

.07

1653

.00

1543

.05

1517

.98

1454

.33

1396

.46

1336

.67

1317

.38

1238

.30

1199

.72

1163

.08

1078

.21

1031

.92

923.

9087

5.68

673.

1665

1.94

599.

86 451.

3442

0.48

393.

4837

6.12

351.

04

Sampel GK

No. Peak Intensity Corr. Intensity Base (H) Base (L) Area Corr. Area1 351.04 77.818 20.487 368.4 343.33 1.534 1.3852 376.12 94.145 5.261 387.69 370.33 0.29 0.2153 393.48 96.591 1.756 410.84 387.69 0.223 0.1074 420.48 98.402 1.501 432.05 410.84 0.1 0.0915 451.34 98.813 0.492 459.06 432.05 0.1 0.0396 599.86 97.271 0.157 603.72 530.42 0.71 0.0777 651.94 94.522 0.768 655.8 623.01 0.599 0.0198 673.16 92.804 1.679 680.87 655.8 0.728 0.1329 875.68 99.528 0.398 894.97 839.03 0.062 0.04510 923.9 99.331 0.45 950.91 894.97 0.1 0.04811 1031.92 96.3 1.26 1047.35 985.62 0.61 0.1612 1078.21 96.209 1.72 1139.93 1049.28 0.962 0.36213 1163.08 99.212 0.719 1180.44 1139.93 0.071 0.06514 1199.72 99.1 0.306 1211.3 1180.44 0.093 0.02115 1238.3 98.108 1.288 1300.02 1211.3 0.438 0.24916 1317.38 98.979 0.478 1327.03 1300.02 0.086 0.03117 1336.67 98.713 0.847 1352.1 1327.03 0.094 0.05518 1396.46 97.469 1.085 1409.96 1352.1 0.354 0.11819 1454.33 96.9 1.542 1485.19 1442.75 0.346 0.13220 1517.98 94.087 0.551 1519.91 1485.19 0.506 0.04821 1543.05 92.84 0.456 1546.91 1529.55 0.522 0.02422 1653 88.055 1.738 1666.5 1589.34 3.385 0.42723 1678.07 88.558 1.052 1786.08 1668.43 3.719 0.26224 1789.94 98.209 0.114 1816.94 1788.01 0.147 0.00925 2115.91 98.849 0.032 2127.48 2102.41 0.125 0.00226 2335.8 81.915 3.473 2343.51 2279.86 2.712 0.36927 2360.87 76.087 12.781 2391.73 2345.44 3.171 1.26828 2927.94 86.657 0.903 2947.23 2393.66 14.34 0.10729 2956.87 87.09 0.14 3003.17 2949.16 3.155 0.01830 3442.94 80.118 0.243 3495.01 3433.29 5.82 0.04231 3728.4 95.87 1.531 3784.34 3714.9 0.63 0.166

Page 283: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

261

Lampiran 11. Data komposisi kimia daging pipi

Ulangan Protein Air Lemak Abu KH 1 22.55 75.55 0.31 0.97 1.25 2 22.33 75.68 0.29 0.95 0.85 3 21.87 76.03 0.32 1.05 0.87

rata 22.25 75.75 0.31 0.99 0.99 sd 0.35 0.25 0.02 0.05 0.23

Lampiran 12. Data warna daging pipi

Sampel Warna L a* b*

A 43.13 23.19 0.80

B 37.73 18.29 2.94

C 41.97 23.94 2.55 D 38.94 24.78 2.73

E 33.86 24.63 3.85

rerata 39.12 22.97 2.57 SD 3.44 2.77 1.27

Lampiran 13. Daya mengikat air daging pipi

Sampel Luas area luar (mm)

Luas area dalam (mm)

Luas area basah (cm) mg H2O

A 547.36 122.21 4.25 36.85 B 642.03 155.64 4.86 43.31 C 869.91 304.56 5.65 51.64 D 483.81 98.52 3.85 32.64 E 622.51 103.38 5.19 46.76

Lampiran 14. Nilai pH

Sampel 1 2 3 Rataan SD A 5.99 5.87 5.95 5.94 0.06 B 5.81 5.71 5.72 5.75 0.06 C 5.71 5.73 5.75 5.73 0.02 D 6.02 5.90 5.93 5.95 0.06 E 5.81 5.75 5.77 5.78 0.03 F 6.01 6.04 5.98 6.01 0.03 G 5.88 5.86 5.78 5.84 0.05 5.86 0.11

Page 284: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

262

Lampiran 15. Daya putus daging pipi (kg/cm2)

Sampel Nilai Daya putus daging (kg/cm2) A 2.78 3.53 B 2.11 2.68 C 2.33 2.96 D 2.49 3.16 E 2.61 3.31

mean 3.08 SD 0.36

Lampiran 16. Susut masak Sampel Berat awal (g) berat akhir (g) % susut masak

A 20.16 14.02 30.46 B 20.16 13.82 31.45 C 20.00 12.82 35.90 D 20.16 14.75 26.84 E 20.25 13.52 33.23

rerata 31.57 sd 3.36

Page 285: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

263

Lampiran 17. Formulasi Sosis No. Bahan-bahan (%) Kontrol GKG 1% GKG 2% GKG 3% GKB 2%

1 Daging pipi 50 50 50 50 50 2 Lemak 10 10 10 10 10 3 Es 20 20 20 20 20 4 Bahan lain 20 20 20 20 20

- ISP 7,5 6,5 5,5 4,5 5,5 - Tapioka 7,225 7,225 7,225 7,225 7,225 - Gelatin 0 1 2 3 2 - Susu bubuk 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5 - Frankfurters seasoning 1,25 1,25 1,25 1,25 1,25 - Garam 1 1 1 1 1 - STTP 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 - Sendawa 0,015 0,015 0,015 0,015 0,015 - Bawang putih 0,25 0,25 0,25 0,25 0,25 - Merica 0,25 0,25 0,25 0,25 0,25 Total bahan lain 20 20 20 20 20 Total 100 100 100 100 100

Page 286: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

264

Lampiran 18. Analisis Korelasi antara beberapa karakteristik daging pipi

Descriptive Statistics

Mean Std. Deviation N pH 5.8300 .10654 5 mg H2O 42.2386 7.60041 5 Susut_masak 31.5749 3.36124 5 Shear_force 3.1293 .32696 5 Warna_L 39.1260 3.66860 5 Warna_a 22.9660 2.68902 5 Warna_b 2.5740 1.11064 5

Correlations

pH mg H2O Susut_masak

Shear_force Warna_L Warna_a Warna_b

pH Pearson Correlation 1 -.925* -.836 .659 -.623 -.710 -.564 Sig. .024 .078 .226 .261 .179 .322

Mg H2O Pearson Correlation -.925* 1 .974** -.374 .659 .510 .415 Sig. .024 .005 .535 .226 .380 .487

Susutmasak

Pearson Correlation -.836 .974** 1 -.222 .525 .302 .215 Sig. .078 .005 .719 .364 .622 .728

Shear force

Pearson Correlation .659 -.374 -.222 1 -.257 -.723 -.434 Sig. .226 .535 .719 .676 .168 .465

Warna_L Pearson Correlation -.623 .659 .525 -.257 1 .798 .849 Sig. .261 .226 .364 .676 .106 .069

Warna_a Pearson Correlation -.710 .510 .302 -.723 .798 1 .929* Sig. .179 .380 .622 .168 .106 .023

Warna_b Pearson Correlation -.564 .415 .215 -.434 .849 .929* 1 Sig. .322 .487 .728 .465 .069 .023

*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Lampiran 19. Univariate Analysis of Variance Profil Tekstur Analyser

Sosis

a. Hardness Descriptive Statistics

perlakuan Mean Std. Deviation N kontrol 3012.9000 146.89002 3 1%GG 3356.0433 645.98240 3 2%GG 3457.7000 429.90395 3 3%GG 3785.1000 320.28576 3 2%GK 4302.7000 495.24655 3 Total 3582.8887 585.30740 15

Page 287: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

265

Tests of Between-Subjects Effects

Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig. Corrected Model 2853107.600a 4 713276.900 3.671 .043 Intercept 192556367.966 1 192556367.966 990.986 .000 perlakuan 2853107.600 4 713276.900 3.671 .043 Error 1943078.920 10 194307.892 Total 197352554.486 15 Corrected Total 4796186.520 14 a. R Squared = .595 (Adjusted R Squared = .433)

Post Hoc Tests

perlakuan N

Subset 1 2

Duncana,b kontrol 3 3012.9000 1%GG 3 3356.0433 2%GG 3 3457.7000 3%GG 3 3785.1000 3785.1000 2%GK 3 4302.7000

Sig. .073 .181

b. Cohesiveness Descriptive Statistics

perlakuan Mean Std. Deviation N kontrol .4063 .00208 3 1%GG .4290 .02751 3 2%GG .4313 .09487 3 3%GG .4267 .04319 3 2%GK .6040 .06051 3 Total .4595 .08868 15

Tests of Between-Subjects Effects

Source Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig. Partial Eta Squared

Corrected Model .080a 4 .020 6.502 .008 .722 Intercept 3.167 1 3.167 1035.663 .000 .990 perlakuan .080 4 .020 6.502 .008 .722 Error .031 10 .003 Total 3.277 15 Corrected Total .110 14 a. R Squared = .722 (Adjusted R Squared = .611)

Page 288: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

266

Post Hoc Tests Duncana,b

perlakuan N Subset

1 2 kontrol 3 .4063 3%GG 3 .4267 1%GG 3 .4290 2%GG 3 .4313 2%GK 3 .6040 Sig. .616 1.000

c. Elastisitas

Descriptive Statistics

perlakuan Mean Std. Deviation N kontrol 75.8700 4.44757 3 1%GG 76.2200 5.18439 3 2%GG 81.3923 1.77384 3 3%GG 87.2550 2.15923 3 2%GK 85.9600 7.52335 3 Total 81.3395 6.32199 15

Tests of Between-Subjects Effects

Source Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig. Partial Eta Squared

Corrected Model 337.409a 4 84.352 3.797 .040 .603 Intercept 99241.633 1 99241.633 4467.592 .000 .998 perlakuan 337.409 4 84.352 3.797 .040 .603 Error 222.137 10 22.214 Total 99801.178 15 Corrected Total 559.546 14 a. R Squared = .603 (Adjusted R Squared = .444)

Post Hoc Tests

Duncana,b

perlakuan N Subset

1 2 kontrol 3 75.8700 1%GG 3 76.2200 2%GG 3 81.3923 81.3923 2%GK 3 85.9600 3%GG 3 87.2550 Sig. .201 .176

Page 289: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

267

d. Daya Iris sosis

Descriptive Statistics

Pendahuluan Mean Std. Deviation N kontrol 10556.6700 1268.50830 3 1%GG 6833.0000 2022.28368 3 2%GG 5899.0000 1999.75223 3 3%GG 4747.6700 1264.16415 3 2%GK 5473.0000 493.20840 3 Total 6701.8680 2473.12888 15

Tests of Between-Subjects Effects

Source Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig. Partial Eta Squared

Corrected Model 62550892.412a 4 15637723.103 6.776 .007 .730 Intercept 673725520.341 1 673725520.341 291.931 .000 .967 Pendahuluan 62550892.412 4 15637723.103 6.776 .007 .730 Error 23078238.203 10 2307823.820 Total 759354650.956 15 Corrected Total 85629130.615 14 a. R Squared = .730 (Adjusted R Squared = .623)

Post Hoc Tests

Duncana,b

Pendahuluan N Subset

1 2 3%GG 3 4747.6700 2%GK 3 5473.0000 2%GG 3 5899.0000 1%GG 3 6833.0000 kontrol 3 10556.6700 Sig. .148 1.000

Lampiran 20. Univariate Analysis of Variance proksimat sosis Air Prot Lemak Abu Kotrol 1 59.21 18.38 2.38 2.37 2 59.67 17.09 2.06 1.63 3 62.41 16.98 2.78 2.17 Rataan 60.43 17.48 2.41 2.06 SD 1.73 0.78 0.36 0.38

Page 290: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

268

1%GG 1 61.71 18.98 2.44 2.20 2 61.40 20.70 2.81 2.06 3 63.15 16.84 2.24 1.96 Rataan 62.09 18.84 2.50 2.07 SD 0.93 1.93 0.29 0.12

2%GG 1 62.77 19.93 2.75 2.22 2 64.10 17.86 2.44 1.96 3 62.95 18.73 2.58 1.74 Rataan 63.27 18.84 2.59 1.97 SD 0.72 1.04 0.16 0.24

3%GG 1 65.07 18.55 2.41 1.56 2 63.86 18.70 2.78 1.98 3 62.93 19.78 2.62 2.05 Rataan 63.95 19.01 2.60 1.86 SD 1.07 0.67 0.19 0.27

2%GG 1 61.18 19.66 2.73 2.27 2 62.80 18.09 2.52 1.97 3 63.40 18.32 2.45 1.96 Rataan 62.46 18.69 2.57 2.07 SD 1.15 0.85 0.15 0.18

a. Kadar air sosis

Descriptive Statistics

Perlakuan Mean Std. Deviation N Kontrol 60.4300 1.73009 3 1%GG 62.0867 .93383 3 2%GG 63.2733 .72155 3 3%GG 63.9533 1.07305 3 2%GK 62.4600 1.14839 3 Total 62.4407 1.58480 15

Page 291: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

269

Tests of Between-Subjects Effects

Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig. Corrected Model 21.450a 4 5.362 3.911 .037 Intercept 58482.553 1 58482.553 42650.014 .000 Perlakuan 21.450 4 5.362 3.911 .037 Error 13.712 10 1.371 Total 58517.715 15 Corrected Total 35.162 14 a. R Squared = .610 (Adjusted R Squared = .454)

Duncana,b

Perlakuan N Subset

1 2 Kontrol 3 60.4300 1%GG 3 62.0867 62.0867 2%GK 3 62.4600 62.4600 2%GG 3 63.2733 3%GG 3 63.9533 Sig. .070 .099

c. Kadar protein sosis

Descriptive Statistics

Perlakuan Mean Std. Deviation N Kontrol 17.4833 .77848 3 1%GG 18.8400 1.93380 3 2%GG 18.8400 1.03937 3 3%GG 19.0100 .67104 3 2%GK 18.6900 .84788 3 Total 18.5727 1.12739 15

Tests of Between-Subjects Effects

Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig. Corrected Model 4.604a 4 1.151 .873 .513 Intercept 5174.159 1 5174.159 3922.710 .000 Perlakuan 4.604 4 1.151 .873 .513 Error 13.190 10 1.319 Total 5191.953 15 Corrected Total 17.794 14 a. R Squared = .259 (Adjusted R Squared = -.038)

Page 292: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

270

Duncana,b

Perlakuan N Subset

1 Kontrol 3 17.4833 2%GK 3 18.6900 1%GG 3 18.8400 2%GG 3 18.8400 3%GG 3 19.0100 Sig. .165

d. Kadar Lemak Sosis

Descriptive Statistics

Perlakuan Mean Std. Deviation N Kontrol 2.4067 .36074 3 1%GG 2.4967 .28919 3 2%GG 2.5900 .15524 3 3%GG 2.6033 .18556 3 2%GK 2.5667 .14572 3 Total 2.5327 .21825 15

Tests of Between-Subjects Effects

Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig. Corrected Model .080a 4 .020 .340 .845 Intercept 96.216 1 96.216 1638.928 .000 Perlakuan .080 4 .020 .340 .845 Error .587 10 .059 Total 96.883 15 Corrected Total .667 14 a. R Squared = .120 (Adjusted R Squared = -.232)

Duncana,b

Perlakuan N Subset

1 Kontrol 3 2.4067 1%GG 3 2.4967 2%GK 3 2.5667 2%GG 3 2.5900 3%GG 3 2.6033 Sig. .380

Page 293: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

271

e. Kadar Abu Sosis

Descriptive Statistics

Perlakuan Mean Std. Deviation N Kontrol 2.0567 .38280 3 1%GG 2.0733 .12055 3 2%GG 1.9733 .24028 3 3%GG 1.8633 .26502 3 2%GK 2.0667 .17616 3 Total 2.0067 .22940 15

Tests of Between-Subjects Effects

Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig. Corrected Model .097a 4 .024 .377 .820 Intercept 60.401 1 60.401 943.564 .000 Perlakuan .097 4 .024 .377 .820 Error .640 10 .064 Total 61.137 15 Corrected Total .737 14 a. R Squared = .131 (Adjusted R Squared = -.216)

Duncana,b

Perlakuan N Subset

1 3%GG 3 1.8633 2%GG 3 1.9733 Kontrol 3 2.0567 2%GK 3 2.0667 1%GG 3 2.0733 Sig. .370

Page 294: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

272

Lampiran 21. Data Nilai Susut masak, dan stabilitas emulsi (Supernatan, airlepas dan lemak lepas)

perlakuan ulangan Susut masak Supernatan Air Lepas

Lemak Lepas

1 16.25 14.49 11.19 3.30 2 10.11 14.73 9.33 5.40 Kontrol 3 11.76 19.68 14.08 5.60 Rataan 12.71 16.30 11.53 4.77 sd 3.18 2.92 2.39 1.27 1 5.95 15.68 12.58 3.10 2 7.63 12.19 7.29 4.90 1%GG 3 6.42 6.42 1.52 4.90 Rataan 6.67 11.43 7.13 4.30 sd 0.87 4.68 5.53 1.04 1 5.79 9.18 6.08 3.10 2 6.28 11.57 7.37 4.20 2%GG 3 7.85 5.22 1.92 3.30 Rataan 6.64 8.66 5.12 3.53 sd 1.08 3.21 2.85 0.59 1 6.51 6.18 5.98 0.20 2 3.07 6.29 5.29 1.00 3%GG 3 2.03 4.71 3.21 1.50 Rataan 3.87 5.73 4.83 0.90 sd 2.35 0.88 1.44 0.66 1 5.86 8.44 5.04 3.40 2 6.23 8.71 4.31 4.40 2%GK 3 5.53 9.30 7.70 1.60 Rataan 5.87 8.81 5.68 3.13 sd 0.35 0.44 1.78 1.42

Page 295: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

273

a. Nilai susut masak sosis

Descriptive Statistics

Perlakuan Mean Std. Deviation N Kontrol 12.7067 3.17758 3 1%GG 6.6667 .86674 3 2%GG 6.6400 1.07615 3 3%GG 3.8700 2.34470 3 2%GK 5.8733 .35019 3 Total 7.1513 3.44890 15

Tests of Between-Subjects Effects

Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig. Corrected Model 131.276a 4 32.819 9.309 .002 Intercept 767.124 1 767.124 217.604 .000 Perlakuan 131.276 4 32.819 9.309 .002 Error 35.253 10 3.525 Total 933.652 15 Corrected Total 166.529 14 a. R Squared = .788 (Adjusted R Squared = .704)

Duncana,b

Perlakuan N Subset

1 2 3%GG 3 3.8700 2%GK 3 5.8733 2%GG 3 6.6400 1%GG 3 6.6667 Kontrol 3 12.7067 Sig. .120 1.000

b. Nilai Supernatan Sosis

Descriptive Statistics

Perlakuan Mean Std. Deviation N Kontrol 16.3000 2.92962 3 1%GG 11.4300 4.67655 3 2%GG 8.6567 3.20718 3 3%GG 5.7267 .88218 3 2%GK 8.8167 .43981 3 Total 10.1860 4.41188 15

Page 296: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

274

Tests of Between-Subjects Effects

Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig. Corrected Model 189.084a 4 47.271 5.667 .012 Intercept 1556.319 1 1556.319 186.562 .000 Perlakuan 189.084 4 47.271 5.667 .012 Error 83.421 10 8.342 Total 1828.824 15 Corrected Total 272.505 14 a. R Squared = .694 (Adjusted R Squared = .571)

Duncana,b

Perlakuan N Subset

1 2 3 3%GG 3 5.7267 2%GG 3 8.6567 8.6567 2%GK 3 8.8167 8.8167 1%GG 3 11.4300 11.4300 Kontrol 3 16.3000 Sig. .239 .288 .066

c. Air lepas

Descriptive Statistics

Perlakuan Mean Std. Deviation N Kontrol 11.5333 2.39354 3 1%GG 7.1300 5.53174 3 2%GG 5.1233 2.84816 3 3%GG 4.8267 1.44195 3 2%GK 5.6833 1.78422 3 Total 6.8593 3.69122 15

Tests of Between-Subjects Effects

Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig. Corrected Model 91.344a 4 22.836 2.297 .130 Intercept 705.757 1 705.757 70.996 .000 Perlakuan 91.344 4 22.836 2.297 .130 Error 99.408 10 9.941 Total 896.508 15 Corrected Total 190.751 14 a. R Squared = .479 (Adjusted R Squared = .270)

Page 297: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

275

Duncana,b

Perlakuan N Subset

1 2 3%GG 3 4.8267 2%GG 3 5.1233 2%GK 3 5.6833 5.6833 1%GG 3 7.1300 7.1300 Kontrol 3 11.5333 Sig. .423 .055

d. Lemak lepas (LL)adonan sosis

Descriptive Statistics

Perlakuan Mean Std. Deviation N Kontrol 4.7667 1.27410 3 1%GG 4.3000 1.03923 3 2%GG 3.5333 .58595 3 3%GG .9000 .65574 3 2%GK 3.1333 1.41892 3 Total 3.3267 1.64641 15

Tests of Between-Subjects Effects

Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig. Corrected Model 26.969a 4 6.742 6.141 .009 Intercept 166.001 1 166.001 151.185 .000 Perlakuan 26.969 4 6.742 6.141 .009 Error 10.980 10 1.098 Total 203.950 15 Corrected Total 37.949 14 a. R Squared = .711 (Adjusted R Squared = .595)

Duncana,b

Perlakuan N Subset

1 2 3%GG 3 .9000 2%GK 3 3.1333 2%GG 3 3.5333 1%GG 3 4.3000 Kontrol 3 4.7667 Sig. 1.000 .105

Page 298: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

276

Lampiran 22. Analisis Varians Air Terlepas (mg H2O), pH, Nilai TBA dan Aktivitas antioksidan

a. Air terlepas (mg H2O)

Page 299: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

277

Descriptive Statistics

Level_gelatin Lama_simpan Mean Std. Deviation N

kontrol 0 hari 32.6833 10.50240 3

7 hari 38.4067 6.97861 3

14 hari 38.7433 11.91982 3

21 hari 42.2700 3.10961 3

28 hari 45.7267 2.47419 3

Total 39.5660 8.09639 15

1%GG 0 hari 31.4533 6.62847 3

7 hari 31.3800 7.03390 3

14 hari 32.9133 3.19402 3

21 hari 36.3467 5.30306 3

28 hari 35.2833 8.83132 3

Total 33.4753 5.85773 15

2%GG 0 hari 27.1633 8.54935 3

7 hari 27.1233 7.72219 3

14 hari 27.2367 13.60887 3

21 hari 28.0833 13.16655 3

28 hari 26.6767 1.87602 3

Total 27.2567 8.42083 15

3%GG 0 hari 24.1333 .70316 3

7 hari 24.0667 8.78362 3

14 hari 22.7500 3.69891 3

21 hari 22.0467 4.64777 3

28 hari 22.1533 7.36510 3

Total 23.0300 4.97614 15

2%GK 0 hari 24.7267 5.91798 3

7 hari 24.3033 9.63095 3

14 hari 24.2867 4.24677 3

21 hari 23.9367 14.73033 3

28 hari 23.0400 5.98028 3

Total 24.0587 7.56850 15

Total 0 hari 28.0320 7.10307 15

7 hari 29.0560 8.81391 15

14 hari 29.1860 9.49356 15

21 hari 30.5367 11.27173 15

28 hari 30.5760 10.48537 15

Total 29.4773 9.33163 75

Page 300: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

278

Tests of Between-Subjects Effects

Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 3269.585a 24 136.233 2.146 .011

Intercept 65168.489 1 65168.489 1.027E3 .000

Level_gelatin 2904.399 4 726.100 11.437 .000

Lama_simpan 70.210 4 17.552 .276 .892

Level_gelatin * Lama_simpan

294.977 16 18.436 .290 .996

Error 3174.279 50 63.486 Total 71612.353 75 Corrected Total 6443.864 74 a. R Squared = .507 (Adjusted R Squared = .271) Post Hoc Test

Duncan

Level_gelatin N

Subset

1 2 3

3%GG 15 23.0300 2%GK 15 24.0587 2%GG 15 27.2567 1%GG 15 33.4753 kontrol 15 39.5660

Sig. .177 1.000 1.000

Page 301: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

279

a. pH Sosis selama penyimpanan

Descriptive Statistics

Dependent Variable: pH Level_gelatin Lama_simpan Mean Std. Deviation N kontrol 0 6.9533 .19088 3

1 6.9400 .02646 3 2 6.8233 .06429 3 3 6.4700 .01000 3 4 6.3333 .10116 3 Total 6.7040 .27723 15

1%GG 0 6.8100 .09644 3 1 6.7933 .02082 3 2 6.8000 .26458 3 3 6.3800 .04000 3 4 6.0533 .10017 3 Total 6.5673 .33519 15

2%GG 0 6.8400 .13454 3 1 6.8133 .01528 3 2 6.7567 .13051 3 3 6.1967 .22591 3 4 6.0733 .09074 3 Total 6.5360 .36164 15

3%GG 0 6.5367 .02887 3 1 6.4300 .03606 3 2 6.2900 .19157 3 3 6.1400 .12166 3 4 5.9633 .11060 3 Total 6.2720 .23235 15

2%GK 0 6.9367 .07095 3 1 6.7300 .03000 3 2 6.6333 .14048 3 3 6.3933 .06028 3 4 6.2433 .10693 3 Total 6.5873 .26497 15

Total 0 6.8153 .18431 15 1 6.7413 .17736 15 2 6.6607 .24998 15 3 6.3160 .16461 15 4 6.1333 .16417 15 Total 6.5333 .32343 75

Page 302: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

280

Tests of Between-Subjects Effects Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig. Corrected Model 7.053a 24 .294 21.344 .000 Intercept 3201.333 1 3201.333 232519.853 .000 Level_gelatin 1.523 4 .381 27.646 .000 Lama_simpan 5.194 4 1.298 94.304 .000 Level_gelatin * Lama_simpan .337 16 .021 1.528 .127 Error .688 50 .014 Total 3209.074 75 Corrected Total 7.741 74 a. R Squared = .911 (Adjusted R Squared = .868)

Duncana,b

Level_gelatin N Subset

1 2 3 3%GG 15 6.2720 2%GG 15 6.5360 1%GG 15 6.5673 2%GK 15 6.5873 kontrol 15 6.7040 Sig. 1.000 .265 1.000

pH Duncana,b

Lama_simpan N Subset

1 2 3 4 4 15 6.1333 3 15 6.3160 2 15 6.6607 1 15 6.7413 6.7413 0 15 6.8153 Sig. 1.000 1.000 .066 .090

Page 303: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

281

b. Nilai TBA sosis selama penyimpanan Descriptive Statistics

Dependent Variable: Nilai TBA Level_gelatin Lama_simpan Mean Std. Deviation N kontrol 0 .0308 .01258 3

1 .5950 .04880 3 2 1.3950 .02250 3 3 4.0630 .16432 3 4 5.1433 .55398 3 Total 2.2454 2.08452 15

1%GG 0 .0325 .00250 3 1 .5125 .09377 3 2 1.4375 .05105 3 3 3.9275 .40572 3 4 5.1858 .22878 3 Total 2.2192 2.07934 15

2%GG 0 .0283 .02323 3 1 .4250 .04994 3 2 1.1750 .04994 3 3 3.4875 .62897 3 4 5.9025 .63614 3 Total 2.2037 2.30623 15

3%GG 0 .0358 .00804 3 1 .3900 .01299 3 2 .8400 .13686 3 3 3.2050 .02411 3 4 5.0950 .10449 3 Total 1.9132 2.00763 15

2%GK 0 .0217 .00577 3 1 .4235 .07918 3 2 1.2485 .18936 3 3 3.7392 .72827 3 4 5.4692 .36474 3 Total 2.1804 2.18753 15

Total 0 .0298 .01178 15 1 .4692 .09421 15 2 1.2192 .23843 15 3 3.6844 .51119 15 4 5.3592 .47636 15 Total 2.1524 2.08065 75

Page 304: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

282

Tests of Between-Subjects Effects Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig. Corrected Model 316.140a 24 13.173 156.285 .000 Intercept 347.451 1 347.451 4122.338 .000 Level_gelatin 1.106 4 .277 3.282 .018 Lama_simpan 312.597 4 78.149 927.202 .000 Level_gelatin * Lama_simpan 2.437 16 .152 1.807 .057 Error 4.214 50 .084 Total 667.805 75 Corrected Total 320.354 74 a. R Squared = .987 (Adjusted R Squared = .981)

Duncana,b

Level_gelatin N Subset

1 2 3%GG 15 1.9132 2%GK 15 2.1804 2%GG 15 2.2037 1%GG 15 2.2192 kontrol 15 2.2454 Sig. 1.000 .583

Duncana,b

Lama_simpan N Subset

1 2 3 4 5 0 15 .0298 1 15 .4692 2 15 1.2192 3 15 3.6844 4 15 5.3592 Sig. 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000

Page 305: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

283

c. Nilai aktivitas antioksidasi gelatin

Descriptive Statistics

Dependent Variable: DPPH Level_gelatin Lama_simpan Mean Std. Deviation N kontrol 0 24.4767 1.92225 3

1 21.2300 1.63018 3 2 17.0233 .68537 3 3 7.1533 .65577 3 4 3.4367 .95793 3 Total 14.6640 8.44576 15

1%GG 0 28.3933 1.71039 3 1 23.5000 1.56560 3 2 17.2267 1.13068 3 3 9.1200 .66340 3 4 3.8400 1.82748 3 Total 16.4160 9.40335 15

2%GG 0 28.4167 .90168 3 1 23.9600 .51730 3 2 17.2933 3.03554 3 3 10.2900 .85808 3 4 4.4133 1.72082 3 Total 16.8747 9.16008 15

3%GG 0 30.2133 1.60257 3 1 25.9000 1.32480 3 2 18.1467 .36556 3 3 10.6967 1.59099 3 4 4.0667 1.33167 3 Total 17.8047 9.97916 15

2%GK 0 31.8433 1.75745 3 1 26.9233 .27062 3 2 18.8933 .63003 3 3 10.5467 .67002 3 4 5.0467 .25929 3 Total 18.6507 10.30952 15

Total 0 28.6687 2.88730 15 1 24.3027 2.28780 15 2 17.7167 1.47345 15 3 9.5613 1.59296 15 4 4.1607 1.26977 15 Total 16.8820 9.32171 75

Page 306: 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...

284

Tests of Between-Subjects Effects Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig. Corrected Model 6339.306a 24 264.138 145.342 .000 Intercept 21375.144 1 21375.144 11761.672 .000 Level_gelatin 136.743 4 34.186 18.811 .000 Lama_simpan 6151.694 4 1537.924 846.242 .000 Level_gelatin * Lama_simpan 50.868 16 3.179 1.749 .067 Error 90.868 50 1.817 Total 27805.318 75 Corrected Total 6430.174 74 a. R Squared = .986 (Adjusted R Squared = .979)

Duncana,b

Level_gelatin N Subset

1 2 3 4 kontrol 15 14.6640 1%GG 15 16.4160 2%GG 15 16.8747 16.8747 3%GG 15 17.8047 17.8047 2%GK 15 18.6507 Sig. 1.000 .356 .065 .092

Duncana,b

Lama_simpan N Subset

1 2 3 4 5 4 15 4.1607 3 15 9.5613 2 15 17.7167 1 15 24.3027 0 15 28.6687 Sig. 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000