327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...
Transcript of 327(16, .2/$*(1 ,.$1 *$%86 & KDQQD VWULDWD 6(%$*$, 327(1 ...
POTENSI KOLAGEN IKAN GABUS (Channa striata) SEBAGAI
GELATIN ALTERNATIF DAN APLIKASINYA DALAM
PENGOLAHAN SOSIS BERBASIS MEAT BY-PRODUCT SAPI
POTENCY OF SNAKEHEAD FISH (Channa striata) COLLAGEN
AS ALTERNATIVE GELATIN AND ITS APPLICATION IN
PROCESSING SAUSAGE-BASED
MEAT BY-PRODUCT OF CATTLE
ROSMAWATI
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
POTENSI KOLAGEN IKAN GABUS (Channa striata) SEBAGAI
GELATIN ALTERNATIF DAN APLIKASINYA DALAM
PENGOLAHAN SOSIS BERBASIS MEAT BY-PRODUCT SAPI
Disertasi
Sebagai salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Doktor
Program Studi
Ilmu Pertanian
Disusun dan Diajuka oleh
ROSMAWATI
Kepada
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
PERNYATAAN KEASLIAN DISERTASI
Yang bertanda tangan di bawah ini
Nama : Rosmawati
NIM : P0100313409
Program Studi : Ilmu Pertanian
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa disertasi yang saya tulis ini benar-
benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan
tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat
dibuktikan disertasi ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi
atas perbuatan tersebut.
Makassar, 8 Agustus 2018
Rosmawati
v
PRAKATA
Puji syukur kehadirat Allah Subhanahu wata’ala berkat limpahan
Rahmat dan Karunia-Nya disertasi dengan judul “Potensi Kolagen Ikan
Gabus (Channa striata) sebagai Gelatin Alternatif dan Aplikasinya dalam
Pengolahan Sosis Berbasis Meat By-Product Sapi”, sebagai salah satu
syarat penyelesaian pendidikan pada Program Doktor di Sekolah
Pascasarjana Universitas Hasanuddin dapat diselesaikan. Salam dan
salawat kepada Nabi Muhammad Shallallaaahu ‘alaihi wasallam.
Secara khusus penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Ir. H. Effendi Abustam, M.Sc., Prof. Dr. Ir. Abu Bakar Tawali,
Dr. Muhammad Irfan Said, S.Pt., M.P masing-masing sebagai
Promotor, Ko-promotor I dan Ko-promotor II yang telah meluangkan
waktu dalam membimbing, mengarahkan dan memotivasi dari awal
merencanakan penelitian hingga selesainya disertasi ini. Terimakasih
atas segala jasa yang tak ternilai ini, semoga Allah subhanahu wata’ala
mengganjarnya sebagai amal jariyah.
2. Prof. Dr. Ir. Amran Laga, M.Si., Prof. Dr. Ir. Metusalach, M.Sc., Prof. Dr.
dr. Ratmawati Malaka, M.Sc., dan Prof. Dr. Ir. Asmuddin Natsir, M.Sc
selaku Tim Penguji. Terimakasih atas segala saran dan masukan, serta
kesempatan meluangkan waktu mendiskusikan segala hal yang
menjadi keterbatasan selama penyusunan disertasi ini. Semoga Allah
subhanahu wata’ala membalas setiap dedikasi ini dengan keberkahan
yang berlimpah, dan mencatat-Nya sebagai amal jariyah.
vi
3. Bapak Yuny Erwanto, S.Pt., M.P., Ph.D. dari Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta atas kesediaannya menjadi Penguji Eksternal pada Ujian
Terbuka.
4. Rektor Universitas Hasanuddin atas nama Dekan Sekolah
Pascasarjana Univeritas Hasanuddin yang telah telah memberi
kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan Doktor di
Universitas Hasanuddin, Makassar.
5. Pengelola Program Studi Ilmu Pertanian (Prof. Dr. Darmawan Salman,
M.S. selaku ketua KPS Ilmu Pertanian), beserta para staf pengelola
atas bantuan dan pelayanan terbaiknya selama penulis menempuh
pendidikan di Sekolah Pascasarjana Universitas Hasanuddin.
6. Bapak Menteri Pendidikan Nasional, Direktur Jenderal Pendidikan
Tinggi serta Direktur Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (DPPM)
Kementerian Pendidikan Nasional atas bantuan Beasiswa Pendidikan
(BPPDN) serta Hibah Penelitian Disertasi Doktor sehingga kegiatan
akademik dan penelitian dapat berjalan lancar.
7. Bapak Rektor Universitas Muhammadiyah Kendari dan Dekan Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas atas ijin kepada penulis untuk
mengikuti pendidikan Doktor di Universitas Hasanuddin, Makassar.
8. Bapak, Ibu serta rekan-rekan di sejumlah laboratorium yang telah
membantu penelitian ini dan tidak sempat disebutkan satu persatu,
terimakasih atas izin dan kesediaanya mendampingi serta
vii
menyelesaikan setiap analisis yang dilakukan hingga menghasilkan
data yang memuaskan.
Secara Khusus pula penulis menyampaikan terimakasih kepada:
1. Kedua orang tua, Ayahanda Rossi A. R. dan Ibunda Manaria Saddi atas
curahan kasih sayang dan doa yang tiada henti, semoga Allah
subhaanahu wa ta’ala senantiasa melimpahkan Rahmat dan
kerberkahan hidup serta mengampuni segala kesalahannya.
2. Suamiku tercinta, Aidin Fitri, serta anak-anakku tersayang: Mutmainnah
A. F., Muflihah A. F. dan Muhammad A. F. Dg. Ngambe atas segala
pengorbanan, doa serta keihklasannya selama penulis menempuh
pendidikan. Terimakasih atas kesempatan ini, semoga Allah senantiasa
menyatukan kita dalam kebahagiaan dunia dan akhirat.
3. Saudara-saudaraku, kakak-kakak dan adik-adik ipar, serta keluarga
besar Enrekang dan Takalar, terimakasih tiada terhingga atas segala
doa dan dukungan morilnya selama penulis menempuh pendidikan.
4. Sahabat-sahaabatku angkatan 2013: Marhawati, Hendri Gurnadi, Muh.
Nur Hidayat, A. Besse Dahliana, Hafsan, Asmiati Sahur, Nursyam A.
S., Muh. Asfar, Muh. Rizal, Muh. Yamin, Mudian Paena, Abdul Fattah
dan Indra Jaya. Terimakasih atas kebersamaan ini, semoga tetap
terjalin dan terjaga.
5. Rekan-rekan lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Terimakasih atas setiap kebersamaan baik selama menempuh
pendidikan maupun penelitian.
viii
6. Rekan-rekan Muslimah Wahdah Islamiyah, terimakasih telah
menjadikan penulis sebagai bagian dari semangat yang tak pernah
redup, kebersamaan kita adalah separuh jiwa yang akan selalu menjadi
penyemangat ketika langkah telah mulai goyah.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa disertasi ini masih sangat
jauh dari kesempurnaan, olehnya itu penulis menyampaikan permohonan
maaf dan membuka ruang diskusi untuk melengkapi kekurangan dari
disertasi ini.
Makassar, 18 Juli 2018
Rosmawati
ix
ABSTRAK
ROSMAWATI. Potensi Kolagen Ikan Gabus (Channa striata) sebagai Gelatin Alternatif dan Aplikasinya dalam Pengolahan Sosis Berbasis Meat By-Product Sapi. (Dibimbing oleh Prof. Dr. Ir. H. Effendi Abustam, M.Sc, Prof. Dr. Ir. Abu Bakar Tawali dan Dr. Muhammad Irfan Said, S.Pt., M.P.).
Penelitian ini merupakan salah ssatu upaya pemanfaatan sisa hasil pengolahan produk perikanan dan peternakan potensial dalam rangka meningkatkan nilai guna dan nilai ekonomisnya. Penelitian bertujuan (1) menginvestigasi karakteristik dan potensi kulit dan tulang ikan gabus sebagai sumber kolagen pada bobot badan berbeda, (2) menganalisis pengaruh suhu dan waktu ekstraksi terhadap karakteristik gelatin kulit dan tulang ikan gabus, (3) mengkaji karakteristik fungsional gelatin dari hasil proses ekstraksi terbaik yang dibandingkan dengan gelatin komersial, dan (4) mengkaji karakteristik fungsional gelatin dari hasil proses ekstraksi terbaik yang dibandingkan dengan gelatin komersial.
Sampel ikan berasal dari Bendungan Bili Bili, Gowa, dan sampel
meat by-product berasal dari Rumah Potong Hewan Tamangapa, Makassar. Tahap awal penelitian menggunakan kelompok sampel ikan dengan bobot 300-400 g/ekor, 600-700 g/ekor dan 900-1.000 g/ekor untuk melihat perbedaan antara jaringan kulit dan tulang pada bobot tersebut terhadap karakteristik fisiko-kimia dan kadar kolagennya. Tahap kedua penelitian menggunakan bobot ikan terpilih dari tahap pertama kemudian diekstraksi menjadi gelatin menggunakan suhu dan waktu berbeda untuk mengetahui perlakuan suhu dan waktu terbaik terhadap karakteristik gelatin kulit dan tulang ikan gabus dan sifat fungsional gelatin jika dibandingkan dengan gelatin komersial. Pada tahap selanjutnya, gelatin hasil analisis kekuatan gel terbaik digunakan sebagai binder dalam pengolahan sosis berbasis meat by-product sapi untuk melihat sejauh mana pengaruh penambahan gelatin dalam mempengaruhi karakteristik sosis meat by-product sapi dan masa simpannya.
Hasil analisis tahap pertama menunjukkan bahwa ada pengaruh
bobot badan terhadap komposisi kimia ikan gabus, semakin bertambah bobot badan maka kadar air cenderung menurun, kadar lemak dan abu cenderung meningkat, adapun kadar protein dan hidroksiprolin relatif konstan. Kadar air dan protein lebih tinggi pada kulit tetapi kadar lemak,
x
kadar abu dan kadar kolagen berbasis protein lebih tinggi pada tulang. Tingginya kadar asam amino glisin dan prolin serta adanya asam amino hidroksiprolin mengindkasikan bahwa kulit dan tulang ikan gabus adalah sumber kolagen potensial. Hasil analisis tahap kedua menunjukkan ada perbedaan karakteristik baik kulit maupun tulang yang diekstraksi pada suhu dan waktu berbeda. Rendemen kulit lebih tinggi dibanding tulang pada suhu dan waktu ekstraksi yang sama, dimana rataan rendemen kulit adalah 16,45 ± 1,51% sedangkan pada tulang 5,49 ± 2,67%. Suhu 60 ºC selama 12 jam menghasilkan kekuatan gel terbaik yaitu 278,37 ± 22,23 g pada kulit dan suhu 60 ºC selama 24 jam pada tulang. Rataan viskositas gelatin kulit dan tulang ikan gabus menunjukkan tidak ada perbedaan, yaitu 6,64 ± 0,19 pada kulit dan 6,54 ± 0,39 pada tulang. Adapun rataan pH gelatin kulit ikan gabus lebih tinggi dibanding pada tulang, yaitu berturut-turut 4,73 ± 0,09
dan 4,16 ± 0,42. Gelatin kulit dan tulang ikan gabus dari hasil esktraksi pada suhu dan waktu terbaik dibandingkan dengan gelatin komersial, menunjukkan bahwa ada perbedaan diantara ketiga jenis gelatin pada sifat fungsionalnya. Penambahan gelatin ikan gabus dalam pengolahan sosis berbasis meat by produk menunjukkan semakin tinggi level gelatin karakteristik sosis semakin baik, dan berdasarkan dukungan analisis menggunakan scanning electron microscopy menunjukkan bahwa penambahan gelatin ikan gabus pada level 2% menghasilkan sosis dengan karakteristik fisiko-kimia yang optimal, tetapi penyimpanan selama 28 hari mengindikasikan bahwa gelatin kurang efektif dijadikan sebagai antioksidan.
xi
ABSTRACT
ROSMAWATI. Potency of Snakehead Fish (Channa striata) Collagen as Alternative Gelatin and Its Application in Processing Sausage-Based Meat By-Product of Cattle. (Supervised by Prof. Dr. Ir. H. Effendi Abustam, M.Sc, Prof. Dr. Ir. Abu Bakar Tawali dan Dr. Muhammad Irfan Said, S.Pt., M.P.).
This study aims to: (1) Investigate the characteristics and potential of snakehead skin and bone fish as a source of collagen at different body weights, (2) analyzing the effect of temperature and time of extraction on the characteristics of snakehead gelatin skin and bone, (3) to examine the functional characteristics of gelatin from the best yield extraction process compared with commercial gelatin, and (4) analyzing the physico-chemical properties of meat by-product of cattle as a raw material of sausage and the effect of snakehead gelatin addition as a binder to physico-chemical characteristics, and the duration of sausage storage.
The fish samples were from Bili Bili Dam, Gowa, and meat by-product
samples were from the Tamangapa Slaughterhouse. The initial phase of the study used a group of fish samples weighing 300-400 g, 600-700 g and 900-1,000 g to see the difference between skin and bone tissue on these weights against physico-chemical characteristics and collagen levels. The second phase of the study using the selected fish weight from the first stage was then extracted into gelatin using different temperatures and times to determine the best temperature and time treatment for the characteristics of skin gelatin and snakehead bone and gelatin functional properties when compared with commercial gelatin. In the next step, gelatin from the best gel strength analysis was used as a binder in the processing of sausage-based meat by-product of cattle to see how far the effect of gelatin addition in influencing the characteristics of the sausage and its shelf life.
The first stage of the analysis shows that there was an effect of body weight on the chemical composition of snakehead fish, where the water weight tends to decrease while the fat and ash protein content tends to increase, while the hydroxyproline level was relatively constant. Water and protein levels were higher in the skin but fat content, ash content and protein-based collagen levels were higher in bone. The highest amino acids in the skin and bone were glycine and proline, which indicate that the skin and bone of a snakehead were potential sources of collagen. The results of the second phase analysis showed that there were differences in both skin and bone characteristics that were extracted at different temperatures and times. Skin rendement was higher than bone at the same temperature and extraction time. Temperature 60 º C for 12 hours produces the best gel strength of 278.37 ± 22.23 g on the skin and temperature 60 º C for 24 hours on the bone. Skin and bone gelatin snakehead fish from extracted results at
xii
the best temperature and time compared with commercial gelatin, indicating that there were differences between the three types of gelatin in their functional properties. The addition, snakehead fish gelatin in meat-based sausage processing by product indicates the higher the gelatin level of the sausage characteristics the better, and based on the analysis support by scanning electron microscopy shows that the addition of minimum gelatin at 2% level produces the sausage with optimal gelatin characteristics, but storage for 28 day indicates that less effective gelatin was used as an antioxidant.
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN
PRAKATA
ABSTRAK
ABSTRACT
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 7
C. Tujuan Penelitian 9
D. Manfaat Penelitian 10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Ikan Gabus (Channa striata) 12
B. Struktur Kulit dan Tulang Ikan 15
C. Kolagen dan Gelatin Ikan 20
1. Bahan Baku Gelatin 20
2. Kolagen sebagai Sumber Gelatin 21
3. Konversi Kolagen Menjadi Gelatin 27
D. Produksi Gelatin 28
E. Karakteristik Gelatin 33
F. Aplikasi Gelatin dalam Pembuatan Sosis 36
1. Meat By-Product Sapi 36
2. Aplikasi Gelatin dalam Pengolahan Sosis 39
G. Kerangka Pikir 42
H. Hipotesis 46
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
xiv
A. Tahapan Penelitian 47
B. Waktu dan Tempat 47
C. Materi Penelitian 48
D. Peralatan Penelitan 49
E. Metode Penelitian 52
Tahap I
1.1 Persiapan bahan baku kulit dan tulang ikan 46
1.2 Preparasi kulit dan tulang ikan gabus 47
1.3 Prosedur Penelitian 56
1.4 Rancangan Penelitian dan Analisis Data 62
Tahap II
2.1 Prosedur Penelitian 63
2.2 Uji Karakteristik Sifat Fungsional Gelatin Kulit
dan Tulang Ikan Gabus 70
Tahap III
3.1 Karakteristik Meat by-Product Sapi 73
3.2 Pengaruh Penambahan Gelatin Ikan Gabus
terhadap Karakteristik Fisik dan Kimia Sosis
Meat By-Product 75
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
Tahap I: Karakterisasi Kulit dan Tulang Ikan Gabus pada
Bobot Badan berbeda
1.1 Komposisi Kimia kulit dan Tulang Ikan Gabus 82
1.2 Kadar Hidroksiprolin, Kadar Kolagen, dan Kadar
Kolagen Berbasis Protein Kulit dan Tulang Ikan
Gabus pada Bobot Berbeda 93
1.3 Profil asam amino 99
1.4 Mikrostruktur Kulit dan Tulang Ikan Gabus 104
1.5 Kandungan Mineral Kulit dan Tulang Ikan Gabus 107
Tahap II: Penentuan Suhu dan Waktu Ekstraksi Terbaik
terhadap Karakteristik Gelatin Kulit dan Tulang
xv
Ikan Gabus
2.1 Pengaruh Suhu dan Waktu Ekstraksi terhadap
Rendemen, Kekuatan Gel, Viskositas dan pH
Gelatin Kulit dan Tulang Ikan Gabus 109
2.2 Karakteristik Gelatin Ikan Gabus Dibandingkan
dengan Gelatin Komersial 135
Tahap III: Aplikasi gelatin ikan gabus dalam proses pembuatan
sosis berbasis meat by-product sapi
3.1 Komposisi dan Karakteristik Daging Pipi Sapi 159
3.2 Karakteristik Fisik dan Kimia Sosis Daging Pipi
dengan Penambahan Gelatin pada Level Berbeda 174
3.3 Karakteristik Sosis Selama Penyimpanan 191
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan 204
5.2 Saran 205
DAFTAR PUSTAKA 204
LAMPIRAN 229
xvi
DAFTAR TABEL
1. Perbandingan standar mutu gelatin tipe A dan B berdasarkan
GMIA (2012) 29
2. Profil kandungan asam amino kulit dan tulang ikan gabus
pada bobot badan berbeda (residu/100 residu) 100
3. Komposisi mineral yang terkandung dalam kulit dan tulang
ikan yang diestimasi menggunakan SEM-EDS 108
4. Pengaruh perlakuan suhu dan waktu ekstraksi terhadap
Rendemen (%) gelatin ikan gabus 112
5. Pengaruh perlakuan suhu dan waktu ekstraksi terhadap
kekuatan gel gelatin ikan gabus (g force) 117
6. Pengaruh perlakuan suhu dan waktu ekstraksi terhadap
viskositas (cP) gelatin ikan gabus 125
7. Pengaruh perlakuan suhu dan waktu ekstraksi terhadap pH
gelatin ikan gabus 132
8. Komposisi kimia gelatin kulit ikan gabus (KGK) dan tulang
ikan gabus (GTG) dari proses esktraksi mengggunakan
suhu dan waktu esktraksi terbaik dan dibandingkan
dengan gelatin komersial (GKB) 136
9. Nilai warna gelatin kulit (GKG) dan tulang ikan gabus (GTG)
dari proses ekstraksi mengggunakan suhu dan waktu
ekstraksi terbaik dan dibandingkan dengan gelatin
komersial (GKB) 138
10. Indeks Aktivitas Emulisi dan Stabilitas Emulisi gelatin kulit (GKG)
dan tulang ikan gabus (GTG) dari proses
ekstraksi mengggunakan suhu dan waktu esktraksi terbaik
dan dibandingkan dengan gelatin komersial (GKB) 145
11. Daya mengikat air (DMA) dan mengikat lemak (DML) gelatin kulit
(GKG) dan tulang ikan gabus (GTG) dari proses
xvii
ekstraksi mengggunakan suhu dan waktu esktraksi terbaik
dan dibandingkan dengan gelatin komersial (GKB) (%) 150
12. Daerah serapan pita amida gelatin kulit ikan gabus (GKG), tulang
ikan gabus (GTG) dan gelatin komersial (GKB) berdasarkan
spektrum FTIR 154
13. Komposisi kimia daging pipi (%) 161
14. Karakteristik daging pipi (M. masseter) 163
15. Hubungan antara pH dengan parameter lain (DMA, susut
masak, shear- force, nilai L, a* dan b*) berdasarkan
analisis uji korelasi Pearson (r). 165
16. Karakteristik Fisik Sosis dengan Penambahan Gelatin sebagai
binder. 174
17. Profil tekstur sosis menggunakan level gelatin berbeda 182
xviii
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1. Ikan gabus (Channa striatus Bloch, 1793) 13
2. Struktur kulit ikan 16
3. Gambaran umum struktur tulang dengan bagian-bagian
ultrastruktur penyusun tulang. (A): tulang utuh; (B):
Sebuah irisan tulang; (C): Osteon; (D): serat kolagen;
(E): Molekul kolagen; (F): Mikrofibril kolagen; (G):
Platelet individual bioapatite; (H): Struktur nano-kristal
(atom ditunjukkan, dengan kelompok PO4 yang
ditunjukkan oleh tetrahedra. Kuning = atom kalsium;
merah = oksigen; biru tua = tetrahedra fosfat;
biru muda = hidroksil di situs saluran 17
4. Kerangka fikir penelitian 45
5. Bagan Alir Tahapan Penelitian 54
6. Diagram alir penelitian Tahap I 55
7. Diagram prosedur ekstraksi gelatin tulang ikan 68
8. Diagram prosedur esktraksi gelatin kulit ikan 69
9. Kadar air (%) ikan gabus berdasarkan jenis jaringan dan bobot
badan ikan berbeda (g/ekor) 84
10. Kadar protein (%) ikan gabus berdasarkan jenis jaringan
dan bobot badan ikan berbeda (g/ekor) 86
11. Kadar lemak (%) ikan gabus berdasarkan jenis jaringan dan
bobot badan ikan berbeda (g/ekor) 89
12. Kadar abu (%) ikan gabus berdasarkan jenis jaringan dan
bobot badan ikan berbeda (g/ekor) 92
13. Kadar hidroksiprolin (mg/100g) ikan gabus berdasarkan
jenis jaringan dan bobot badan ikan berbeda (g/ekor) 94
14. Kadar kolagen (%) ikan gabus berdasarkan jenis jaringan dan
bobot badan ikan berbeda (g/ekor) 97
xix
15. Kadar kolagen berbasis potein (%) ikan gabus berdasarkan
jenis jaringan dan bobot badan ikan berbeda (g/ekor) 98
16. Mikrostruktur Kulit dan Tulang Ikan Gabus (Perbesaran × 500).
Sampel kulit ikan gabus ukuran 300-400 g//ekor (A);
600-700 g/ekor (B); 900-1.000 g/ekor (C); sampel tulang
ukuran 300-400 g/ekor (D); 600-700 g/ekor (E); 900-1.000
g/ekor (F); deposit lemak (a); jaringan ikat kulit tempat
kolagen diinvenstasikan bersama dengan penyusun
jaringan ikat yang lain (b); komposit organik-anorganik
penyusun tulang (c); kristal hidroksiapatit yang
terinvestasi dalam bundle kolagen (d). 105
17. Pengaruh perlakuan suhu dan waktu ekstraksi terhadap
Rendemen (%) gelatin kulit dan tulang ikan gabus 113
18. Pengaruh perlakuan suhu dan waktu ekstraksi terhadap
kekuatan gel gelatin ikan gabus 118
19. Pengaruh perlakuan suhu dan waktu ekstraksi terhadap
viskositas gelatin kulit dan tulang ikan gabus 126
20. Pengaruh perlakuan suhu dan waktu ekstraksi terhadap pH
gelatin ikan gabus 132
21. Perbedaan warna gelatin kulit ikan gabus, tulang ikan gabus
dan gelatin komersial 139
22. Komposisi asam amino dari gelatin kulit ikan gabus (GKG),
tulang ikan gabus (GTG) dan gelatin komersial
bovine (GKB) 141
23. Perbandingan persentase total asam amino hidrofilik dan
hidrofobik dari gelatin kulit ikan gabus (GKG), gelatin
tulang ikan gabus (GTG) dan gelatin komersial (GKB). 144
24. Spektrum FTIR gelatin kulit ikan gabus (a), gelatin tulang
ikan gabus (b), dan gelatin komersial (c) 153
25. Daging pipi (Musculus massetter) 159
26. Hubungan laju penurunan nilai pH terhadap kemampuan
xx
daging pipi melepaskan air (mg H2O). 165
27. Hubungan laju penurunan pH dan susut masak daging pipi
sapi Bali 167
28. Hubungan antara laju terlepasnya air (mg H2O) dan susut
masak daging pipi sapi Bali 168
29. Hubungan laju penurunan pH dan daya putus daging (kg/cm2) 169
30. Hubungan laju pelepasan air pada otot (mg) terhadap
daya putus daging pipi sapi (kg/cm2). 170
31. Hubungan laju perubahan pH terhadap warna daging pipi
sapi Bali. 171
32. Profil mikrostruktur sosis pada level berbeda (Perbesaran
× 400). A= kontrol; B= 1% GKG, C = 2% GKG;
D= 2% GKB; E= 3% GKG; f= mikroorganisme;
a= lubang setengah lingkaran sebagai tempat
deposisi lemak yang tidak terikat; b= lubang yang
menyerupai pori akibat adanya air bebas; c= larutan
gelatin; d= serat daging; e= permukaan sosis yang
retak 188
33. Pengaruh penambahan level gelatin dan lama penyimpanan
terhadap kadar air yang terlepas (mg H2O). 190
34. Pengaruh penambahan level gelatin dan lama penyimpanan
terhadap pH 193
35. Pengaruh penambahan level gelatin dan lama penyimpanan
terhadap aktivitas antioksidan (%) sosis 195
36. Visualisasi ikatan antara air-protein-lemak yang dimediasi oleh
gelatin. a= serat daging; b= gelatin sisi hidrofilik;
c= molekul air; d= molekul lemak; dan e= gelatin sisi
hidrofobik 197
37. Pengaruh penambahan level gelatin (%) dan lama
penyimpanan (hari) terhadap nilai reaktivitas TBA
(mg/kg) malonaldehyd) sosis daging pipi sapi. 199
xxi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Univariate Analysis of Variance Komposisi Kimia kulit dan
tulang ikan gabus
229
2. Kadar asam amino kulit dan tulang ikan gabus pada bobot
berbeda
235
3. Univariate Analysis of Variance Kualitas Gelatin ikan gabus 237
4. Data Komposisi Kimia Gelatin 243
5. Analisis Varian Warna gelatin 246
6. Gambar Gelatin Hasil ekstraksi berdasarkan suhu dan
waktu ekstraksi berbeda
250
7. Asam amino Gelatin 252
8. Indeks aktivitas emulsi (AEI) dan Indeks stabilitas emulsi
(ISE)
255
9. Daya mengikat air (DMA) dan Daya mengikat Minyak
(DML) gelatin
256
10. Gugus fungsional 258
11. Data komposisi kimia daging pipi 261
12. Data warna daging pipi 261
13. Daya mengikat air daging pipi 261
14. Nilai pH 261
15. Daya putus daging pipi (kg/cm2 262
16. Susut masak daging pipi (%) 262
17. Formulasi Sosis 263
18 Analisis Korelasi Pearson antara beberapa karakteristik
daging pipi
264
xxii
19. Univariate Analysis of Variance Profil Tekstur Analyser
Sosis
264
20 Univariate Analysis of Variance proksimat sosis 267
21. Nilai Susut masak, dan stabilitas emulsi (Supernatan,
airlepas dan lemak lepas)
272
22 Analisis Varians Air Terlepas (mg H2O), pH, Nilai TBA dan
Aktivitas antioksidan
276
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Populasi penduduk yang cenderung meningkat, dengan keadaan
sosial ekonomi yang semakin baik sangat berdampak positif terhadap
tingginya kebutuhan pangan dengan kualitas dan kuantitas yang layak.
Akhir-akhir ini potensi pangan tidak hanya fokus pada pemenuhan
kebutuhan sebagai bahan pangan pokok untuk memenuhi kebutuhan
nutrisi, tetapi juga telah mulai dikembangkan ke arah pemanfaatan yang
lebih luas dan lebih kompleks. Diperkirakan bahwa beberapa tahun
kedepan seiring pertambahan penduduk, kebutuhan pangan akan semakin
meningkat, sehingga akan mendorong dilakukannya pencarian berbagai
sumber-sumber pangan baru yang dapat mensubstitusi kebutuhan
konsumsi manusia dari sumber pangan yang telah ada sebelumnya. Salah
satu sumber pangan masa depan adalah sisa hasil pengolahan produk
pangan itu sendiri.
Perkembangan teknologi seiring dengan kebutuhan masyarakat
terhadap pangan yang beraneka ragam telah mendorong dilakukannya
penelitian dalam rangka menemukan berbagai keunggulan dan manfaat
dari pangan tersebut. Produk perikanan adalah sumber pangan potensial
yang cukup berkembang pesat, dengan keunggulan pada kandungan
2
protein dan asam-asam lemak yang baik dan aman untuk kesehatan. Salah
satu hasil perikanan yang akhir-akhir ini banyak mendapat perhatian adalah
ikan gabus (Channa striata). Ikan gabus termasuk ikan karnivora yang
hidup di air tawar, mudah berkembang biak dan survive pada kondisi
lingkungan sedikit air.
Sekarang ini, ikan gabus telah menjadi produk makanan kesehatan
dengan kandungan protein albumin yang secara ilmiah terbukti berfungsi
dalam proses penyembuhan penyakit maupun untuk memulihkan
kesehatan tubuh (Haniffa et al., 2014; Tawali dkk., 2012; Mustafa et al.,
2012; Paul et al., 2013). Pengolahan ikan ini ke arah industri makanan
kesehatan telah menjadi peluang pemanfaatan ikan dalam skala yang lebih
besar, tetapi aktivitas ini juga membuka peluang bagi timbulnya masalah
pada meningkatnya produk samping hasil pengolahan, termasuk
diantaranya kulit dan tulang.
Kulit dan tulang ikan merupakan bahan baku yang tersusun atas
komponen organik maupun anorganik (mineral) penting. Sekitar 30%
bagian dari ikan terdiri dari kulit, tulang dan sisik (Regenstein et al., 2010)
yang mengandung protein kolagen. Kolagen merupakan jenis protein,
dapat dijumpai pada hampir semua bagian tubuh hewan, dan umumnya
ditemukan berlimpah pada kulit dan tulang tetapi kadarnya dapat berbeda-
beda tergantung pada beberapa faktor, antara lain species hewan, tipe
kolagen, umur dan lingkungan hidupnya. Kolagen yang terkandung dalam
tubuh hewan, dapat diekstraksi menjadi gelatin melalui proses hidrolisis
3
parsial, sebagai upaya meminimalisir dampak negatif dari sisa hasil
pengolahan produk perikanan, selain pemanfatannya juga akan
meningkatkan nilai guna dan nilai ekonomisnya
Sejak dahulu, gelatin telah digunakan secara luas untuk berbagai
fungsi. Sebagai hidrokoloid, gelatin menjadi kebutuhan penting dalam
hampir semua bidang industri seperti pangan, farmasi, kosmetik, fotografi,
elekroplating dan industri kemasan. Kebutuhan gelatin untuk kegiatan
industri pengolahan pangan menurut Jones (2004) dapat mencapai 70%
dari total penggunaan gelatin industri dunia.
Laporan International Hydrocolloid Conference 2014, memprediksi
bahwa pasar untuk kebutuhan hidrokoloid selama lima tahun ke depan
masih menempati tiga besar komoditas yang paling banyak digunakan
dalam industri pangan, dan gelatin menempati urutan kedua jenis
hidrokoloid yang banyak dimanfaatkan dalam industri yaitu sekitar 12%
setelah pati 70% (Nugroho, 2014). Transparency Market Research
(PRNewswire, 2013) melaporkan bahwa pada tahun 2011 produksi gelatin
global mencapai 348.900 ton dan diperkirakan akan mengalami
peningkatan sebesar 3,73% atau sekitar 450.700 ton pada tahun 2012-
2018.
Sampai saat ini, kebutuhan gelatin dunia masih didominasi oleh
gelatin babi dan sapi (Gomes-Guillen et al., 2011), dengan persentase
sebesar 46% dari kulit babi, 29,4% kulit sapi, 23,1% dari tulang sapi dan
1,5% berasal dari sumber lain seperti unggas dan ikan (Karim dan Bhat,
4
2009). Penggunaan gelatin konvensional menjadi faktor pembatas
terhadap aplikasi gelatin secara luas. Gelatin yang bersumber dari babi
diharamkan dalam agama Islam dan Yahudi. Gelatin dari sumber kulit dan
tulang sapi juga merupakan faktor pembatas penggunaan gelatin bagi
masyarakat yang beragama Hindu, disamping juga bahwa sapi dapat
menularkan beberapa penyakit berbahaya, dan termasuk tata cara
pemotongan hewan yang kadang memicu keraguan atas halal atau haram.
Fenomena ini menjadi tantangan untuk mencari berbagai sumber gelatin
alternatif yang halal dan aman dikonsumsi bagi kesehatan dan dapat
diterima secara luas oleh seluruh lapisan masyarakat.
Penelitian mencari berbagai sumber bahan baku gelatin alternatif
yang dapat menggantikan gelatin konvensional mulai banyak dilakukan,
antara lain mengekstraksi gelatin dari kulit kaki ayam (Abustam dkk., 2008;
Puspawati dkk., 2012), kulit ayam (Sarbon et al., 2013) kulit kambing (Said
dkk., 2011) maupun kulit ikan (Gỏmez-Guillẻn et al., 2001; Karim dan Bhat,
2009; Elgadir et al., 2013), tulang ikan (Sanaei et al., 2013), bahkan
termasuk gelatin dari sumber baru yaitu edible insect (Mariod dan Adam,
2013).
Produk samping hasil pengolahan ikan berupa kulit dan tulang
sekarang ini menjadi salah satu sumber bahan baku gelatin potensial yang
mulai banyak diteliti, karena kulit ikan juga mengandung kolagen tinggi yang
sangat potensial dimanfaatkan sebagai sumber gelatin (Elgadir et al.,
2013). Telah banyak penelitian yang dilakukan terkait dengan pemanfaatan
5
kulit dan tulang ikan sebagai gelatin alternatif. Beberapa penelitian antara
lain pada kulit ikan nila, Oreochromis urolepis hornorum (Alfaro et al.,
2013), kulit ikan Panga Thai, Pangasius bocourti sauvage (Prommajak dan
Raviyan, 2013); kulit unicorn, Aluterus monoceros (Ahmad dan Benjakul,
2011; Kaewruang, 2014), kulit ikan nila hitam,Oreochromis mossambicus,
dan nila merah, Oreochromis nilotica (Jamilah dan Harvinder, 2002), kulit
cumi, Loligo formosana (Muralidharan et al., 2012), kulit ikan tuna sirip
kuning,Thunnus albacares (Cho et al., 2005), kulit ikan gabus, Channa
striata (See et al., 2010; Ratnasari et al., 2013) tulang mackerel, Scomber
scombrus dan ikan blue whiting, Micromesistius poutassou (Barry-Ryan et
al., 2013) tulang ikan patin, Clarias gariepinus (Sanaei et al., 2013), tulang
ikan gabus, Channa striata (Wulandari dkk., 2013; Wulandari dkk., 2015).
Penelitian terkait pemanfaatan kulit ikan gabus sebagai gelatin
alternatif telah dilakukan oleh See et al. (2010), dan Ratnasari et al. (2013),
tetapi penelitian keduanya hanya membandingkan karaktristik gelatin kulit
ikan gabus dengan beberapa jenis ikan air tawar lain saja. Demikian juga
penelitian yang telah dilakukan oleh Wulandari dkk. (2013) pada tulang ikan
gabus lebih menekankan pada kombinasi proses defatting dengan suhu
ekstraksi untuk menghasilkan karakteristik gelatin tulang ikan gabus yang
terbaik. Penggunaan ikan pada ukuran berbeda telah dilakukan oleh
Muyonga et al. (2004a) pada jenis ikan tilapia (Lates niloticus) muda dan
dewasa sebagai bahan baku gelatin, dan menunjukkan tidak ada
6
perbedaan berarti perubahan kadar kolagen antara ikan nila muda dan
dewasa.
Telah banyak metode yang dikembangkan untuk mengekstraksi
kolagen kulit maupun tulang menjadi gelatin, dengan maksud untuk
mendapatkan gelatin dengan kualitas yang lebih baik dan dapat
diaplikasikan sesuai keinginan. Penggunaan larutan basa dan asam dapat
membantu melepaskan protein bukan kolagen yang terdapat pada kulit
ataupun tulang, juga menjadikan kulit dan tulang mengalami
pembengkakan sehingga dengan mudah terjadi proses pelepasan protein
kolagen selama ekstraksi. Penelitian yang akan dilakukan adalah berupaya
memperbaiki metode ekstraksi kulit dan ikan gabus yang telah ada dengan
mengkombinasikan beberapa metode yang telah dilakukan para peneliti
sebelumnya. Metode yang akan diterapkan adalah penggunaan suhu dan
lama ekstraksi berbeda dengan harapan akan mendapatkan gelatin ikan
gabus dengan kualitas fungsional sesuai untuk aplikasi sebagai bahan
pengikat (binder).
Sejauh ini pemanfaatan gelatin ikan dalam proses pengolahan
daging masih belum banyak dilakukan, termasuk pemanfaatan gelatin
dalam pengolahan daging berbasis meat by-product, misalnya dalam
pembuatan sosis. Oleh karena itu akan dilakukan penelitian tentang
pemanfaatan kulit dan tulang ikan gabus menjadi gelatin alternatif yang
akan digunakan sebagai bahan pengikat dalam proses pembuatan meat by
product sapi menjadi sosis.
7
Meat by-product adalah daging yang dapat dimakan, menyerupai
daging skeletal, dan merupakan sisa hasil pengkarkasan seekor ternak,
tetapi tidak digolongkan sebagai karkas. Salah satu jenis daging tersebut
adalah daging pipi (Musculus massetter), terdapat di bagian kepala,
tepatnya di bagian tulang pipi (Getty, 1975). Daging pipi dicirikan sebagai
daging yang memiliki warna yang cerah, sehingga kadang ditambahkan
dalam pembuatan sosis untuk memberi kesan warna sosis yang
kemerahan. Tetapi selain warna yang cerah, daging pipi memiliki daya
mengikat air yang relatif sedang (intermediate binding capacity).
B. Rumusan Masalah
Gelatin merupakan salah satu jenis hidrokoloid penting dalam
berbagai industri, baik industri pangan, biomedik, farmasi, kecantikan, dan
pengemasan. Penggunaan gelatin konvensional, khususnya babi dan sapi
telah menimbulkan kekhawatiran bagi konsumen, karena penggunaannya
terkait dengan masalah agama, sosial dan kesehatan. Gelatin ikan menjadi
salah satu alternatif dalam memenuhi kebutuhan konsumen terhadap
gelatin. Ikan gabus termasuk salah satu komoditi perikanan air tawar yang
akhir-akhir ini permintaannyaa cukup tinggi, karena telah menjadi
kebutuhan bagi industri makanan kesehatan, yaitu sebagai sumber protein
albumin. Pemanfaatan ikan gabus secara luas akan berdampak pada
meningkatnya produk samping hasil pengolahan yaitu kulit dan tulang. Oleh
karena itu upaya yang dapat dilakukan antara lain memanfaatkannya
8
sebagai sumber gelatin alternatif. Kandungan kolagen pada kulit dan tulang
ikan gabus adalah sumber bahan baku gelatin, dimana kadar kolagen dapat
menjadi dasar bagi penentuan tipe dan karakteristik gelatin yang akan
dihasilkan. Untuk mengarahkan tujuan penggunaan gelatin, salah satu
upaya yang dapat dilakukan adalah melakukan proses ekstraksi
menggunakan suhu dan waktu berbeda. Proses ekstraksi dapat memberi
pengaruh terhadap gelatin yang dihasilkan, baik secara kualitatif, maupun
kuantitatif.
Daging olahan merupakan salah satu pangan yang sangat digemari
oleh hampir seluruh lapisan masyarakat. Penggunaan meat by-product sapi
(daging non-karkas) dalam hal ini daging pipi sebagai bahan utama dalam
pembuatan sosis sangat dimungkinkan. Daging pipi termasuk jenis daging
merah yang belum dimanfaatkan secara luas dalam berbagai pengolahan
produk-produk berbahan baku daging, padahal pemanfaatan daging non-
karkas secara langsung dapat meningkatkan nilai ekonomis daging
tersebut melalui proses diversifikasi, antara lain mengolahnya menjadi
sosis.
Daging pipi termasuk jenis daging yang mempunyai sifat
intermediate binding capacity (daya mengikat air sedang) sehingga dalam
pengolahannya perlu ditambahkan bahan pengikat. Salah satu cara
memperbaiki karakteristik sosis adalah dengan penambahan gelatin.
Penggunaan gelatin ikan dalam proses pengolahan produk berbasis daging
hewan seperti sapi belum banyak diaplikasikan, karena umumnya gelatin
9
ikan memiliki karakteristik yang berbeda dengan gelatin konvensional.
Penambahan gelatin ikan sebagai bahan pengikat diharapkan dapat
memperbaiki karakteristik sosis sapi. Oleh karena itu perlu dikaji peluang
pemanfaatan gelatin ikan gabus sebagai salah satu gelatin alternatif dalam
pengolahan daging.
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, maka rumusan
masalah yang muncul adalah:
1. Bagaimana karakteristik kulit dan tulang ikan gabus pada bobot
berbeda dan apakah berpotensi dijadikan sebagai sumber bahan
baku gelatin.
2. Bagaimana perlakuan suhu dan waktu ekstraksi berbeda terhadap
karakteristik gelatin kulit dan tulang ikan gabus.
3. Bagaimana karakteristik fungsional gelatin terbaik hasil ekstraksi jika
dibandingkan dengan gelatin komersial.
4. Bagaimana karakteristik sosis meat by-product sapi yang diberi
perlakuan level gelatin berbeda terhadap karakteristik fisiko-kimia
dan masa simpan sosis.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan umum dari penelitian ini adalah menghasilkan gelatin dari
sisa hasil pengolahan ikan gabus yang dapat menjadi gelatin alternatif dan
diharapkan mempunyai karakteristik fisik dan kimia yang sesuai untuk
produk olahan hasil ternak.
10
Tujuan khusus penelitian ini adalah:
1. Menginvestigasi karakteristik dan potensi kulit dan tulang ikan gabus
sebagai sumber kolagen pada bobot badan berbeda.
2. Menganalisis pengaruh suhu dan waktu ekstraksi terhadap
karakteristik gelatin kulit dan tulang ikan gabus.
3. Mengkaji karakteristik fungsional gelatin dari hasil proses ekstraksi
terbaik yang dibandingkan dengan gelatin komersial.
4. Menganalisis sifat fisiko-kimia dan masa simpan sosis berbasis meat
by-product sapi yang diberi level gelatin berbeda.
D. Manfaat Hasil Penelitian
Berdasarkan tujuan dari penelitian, diharapkan hasil penelitian ini
memberi manfaat sebagai berikut:
1. Pengembangan ilmu pengetahuan dibidang proses pemanfaatan
produk samping pengolahan pangan hewani, baik yang berbasis fish
by-product maupun meat by-product sebagai bagian dari upaya
pengelolaan limbah hasil perikanan dan peternakan.
2. Memanfaatkan kandungan kolagen sisa hasil pengolahan menjadi
gelatin alternatif pengganti gelatin konvensional dengan bahan baku
ikan gabus yang mudah diperoleh dan dapat diterima secara umum
di masyarakat tanpa terhalang faktor pembatas seperti agama, sosial
maupun kesehatan.
11
3. Memanfaatkan meat by-product ternak sapi menjadi produk olahan
sosis dengan gelatin ikan gabus sebagai bahan pengikat (binder)
yang bersumber dari sisa hasil pengolahan ikan gabus.
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Ikan Gabus (Channa striata)
Secara umum ikan gabus merupakan ikan yang mendiami kolam,
saluran air dan sungai, lebih memilih air yang tergenang dan dataran
berlumpur. Mereka ditemukan terutama di rawa-rawa, tetapi juga terdapat
di sungai-sungai di daerah dataran rendah. Secara umum ikan gabus
banyak dijumpai di kedalaman relatif masih ada air yaitu sekitar 1–2 meter
terutama di dataran air tawar. Mereka dapat pula dijumpai pada wilayah
sungai-sungai yang besar, selokan, daerah banjir dan perairan yang tenang
termasuk kanal yang mengalir lamban, dan melakukan migrasi lateral dari
arus utama, atau badan air permanen lainnya ke daerah-daerah banjir
selama musim banjir dan kembali ke badan air permanen pada awal musim
kemarau. Ikan ini dapat bertahan dimusim kemarau dengan menggali
lumpur dasar danau, kanal dan rawa-rawa selama kulit dan alat bantu
bernapas tetap lembab, dan bertahan hidup dengan deposit lemak. Ikan
gabus adalah pemangsa ikan, katak, ular, serangga, cacing tanah, berudu
dan krustasea. (Phen et al., 2005).
Ikan gabus merupakan jenis ikan predator di perairan air tawar yang
bersuhu 25–28oC, mempunyai kandungan nutrisi berupa protein yang
sangat penting, yaitu albumin, dan mineral mikro (Arma et al., 2014). Ikan
13
gabus telah dikenal sebagai jenis pangan fungsional yang penting terutama
untuk pemulihan kondisi pasien yang baru saja menjalani operasi atau
penyembuhan luka, dan pemberian daging ikan gabus atau ekstrak
proteinnya telah dicobakan untuk meningkatkan kadar albumin dalam darah
dan membantu penyembuhan beberapa penyakit (Tawali dkk., 2012).
Bahkan di negara tetangga Malaysia, ikan gabus telah dijadikan sebagai
sup ikan gabus dengan nama dagang sup kolagen (Anonim, 2010).
Gambar 1. Ikan gabus (Channa striatus Bloch, 1793) (Sumber: Kumar et al., 2012)
Di beberapa negara di Asia seperti Asia Timur Selatan hingga Cina
Selatan, ikan gabus yang lebih dikenal sebagai murrel snakehead telah
banyak dimanfaatkan terutama sebagai makanan kesehatan (Haniffa et al.,
2014), termasuk di wilayah Thailand, Taiwan dan Philipina sehingga ikan
gabus sudah menjadi salah satu jenis komoditas perikanan yang
mempunyai nilai ekonomis tinggi (War et al., 2011). Di Indonesia ikan gabus
lebih banyak dijadikan sebagai sumber protein hewani, yang diolah dalam
bentuk segar, atau diproses menjadi produk olahan seperti pempek,
kerupuk, ikan asap dan ikan gabus asin yang mempunyai nilai ekonomis
tinggi (Mutmainnah, 2013). Akhir-akhir ini dengan diketahuinya kandungan
14
dan manfaat ikan gabus, maka ikan gabus menjadi salah satu sumber
bahan baku bagi makanan kesehatan dengan albumin sebagai sumber
utamanya.
Berdasarkan Anonim (2012) bahwa ikan gabus dikenal dengan
banyak nama di pelbagai daerah, seperti aruan, haruan (Melayu, Banjar),
kocolon (Betawi), bogo (Sunda), bayong, bogo, licingan (Banyumas), kutuk
(Jawa) dan lain-lain. Dalam bahasa Inggris juga disebut dengan berbagai
nama seperti common snakehead, snakehead murrel, chevron snakehead,
striped snakehead dan juga aruan (Anomim, 2014). Nama ilmiahnya
adalah Channa striata. Klasifikasi ilmiah ikan gabus adalah:
Kerajaan: Animalia
Filum: Chordata
Kelas: Actinopterygii
Ordo: Perciformes
Famili: Channidae
Genus: Channa
Spesies: Channa Striata (Bloch, 1793)
Hasil evaluasi morfometrik ikan gabus dengan berat 500–700 g yang
dilakukan oleh Sahu et al. (2012) yang dipelihara secara intensif dan diberi
pakan formulasi menunjukkan persentase kepala 28,7%, sisik dan kulit
11,92%, bobot hidup tanpa jeroan 89,59%, ikan tanpa kepala, kulit dan
jeroan adalah 50,72% dan rasio rata-rata daging fillet dan tulang adalah
3,43.
15
Kulit dan tulang ikan merupakan produk sampingan utama dari
perikanan dan industri akuakultur, limbah setelah filleting dapat mencapai
sekitar 75% dari total berat ikan dan terdapat sekitar 30% dari limbah
tersebut berupa tulang dan kulit (Songchotikunpan et al., 2008). Mohtar et
al. (2011) mengemukakan berdasarkan informasi MSC (2009) bahwa
jumlah produk samping ikan memberikan kontribusi hampir 36% dari total
berat ikan. Lebih lanjut Mohtar et al. (2011) juga menyebutkan bahwa
limbah pengolahan ikan saat ini masih kurang dimanfaatkan dalam industri
perikanan, dan gelatin ikan akan menjadi cara yang baik untuk
meningkatkan nilai tambah produk sampingan ini. Selain memecahkan
masalah pembuangan limbah, Songchotikunpan et al. (2008) menyebutkan
bahwa pemanfaatan produk samping perikanan akan menghasilkan produk
bernilai tambah.
B. Struktur Kulit dan Tulang Ikan
Gelatin merupakan biopolimer yang dihasilkan melalui ekstraksi dan
hidrolisis parsial serat kolagen tidak larut dan merupakan komponen dari
jaringan ikat hewan (Tosh et al., 2003), dapat berasal dari kulit, tulang
maupun tendon (Dyankova dan Solak, 2014; Djabourov et al., 1988) dari
beberapa jenis hewan yang telah dimanfaatkan secara luas sebagai bahan
pangan utama bagi manusia. Sumber utama kolagen untuk pembuatan
gelatin adalah kulit babi, kulit sapi dan tulang (Eysturskarð, 2010; Boran dan
Regenstein, 2010; Mohtar et al. (2011), dan kulit babi merupakan bahan
16
baku pertama yang digunakan oleh manufaktur gelatin (Gómez-Guillén et
al., 2011).
Gambar 2. Struktur kulit ikan. Sumber:http://cdn.yourarticlelibrary.com/wp-content/uploads/2016/07/clip_image004_thumb-125.jpg)
Pada umumnya kulit tersusun atas tiga lapisan yaitu epidermis, dermis
dan hipodermis (subkutis). Epidermis merupakan bagian kulit paling atas
tersusun dari sel epitel pipih kompleks, pada lapisan ini juga terdapat
asesori epidermis seperti rambut, kelenjar minyak, kelenjar keringat, dan
otot penegak rambut. Lapisan dermis terletak di bawah epidermis, atau kulit
jangat yang tersusun dari jaringan ikat padat. Pada lapisan paling bawah
terdapat hipodermis yang tersusun dari jaringan ikat longgar, jaringan
adiposa, dan sisa daging. Meskipun secara umum kulit segar tersusun dari
64% air, 33% protein, 2% lemak, 0,5% garam mineral dan 0,5% penyusun
17
lainnya misalnya vitamin dan pigmen, tetapi komposisi ini dapat bervariasi
tergantung dari species hewan. Komponen penyusun kulit terpenting
adalah protein terutama protein kolagen. Protein kulit terdiri dari protein
kolagen, keratin, elastin, albumin, globulin dan musin. Protein albumin,
globulin dan musin larut dalam larutan garam dapur. Protein kolagen,
keratin dan elastin tidak larut dalam air dan pelarut organik. Protein kolagen
inilah yang akan dimanfaatkan untuk produksi gelatin (Ockerman dan
Hansen, 2000).
Gambar 2. Gambaran umum struktur tulang dengan bagian-bagian
ultrastruktur penyusun tulang. (A): tulang utuh; (B): Sebuah irisan tulang; (C): Osteon; (D): serat kolagen; (E): Molekul kolagen; (F): Mikrofibril kolagen; (G): Platelet individual bioapatite; (H): Struktur nano-kristal (atom ditunjukkan, dengan kelompok PO4 yang ditunjukkan oleh tetrahedra. Kuning = atom kalsium; merah = oksigen; biru tua = tetrahedra fosfat; biru muda = hidroksil di situs saluran. Sumber: Pasteris et al. (2008).
18
Secara umum, ultrastruktur tulang yang ditampilkan pada Gambar 2
menunjukkan sebuah serat kolagen yang dibentuk oleh bangunan ratusan
fibril membentuk kerangka struktural tulang dengan unit terkecil dari
komponen organik dalam tulang adalah molekul kolagen triple-helix.
Molekul kolagen dibundel berdampingan secara berurutan, membentuk
mikrofibril. Mikrofibril dibundel menjadi fibril, kristalit apatit tidak berskala
yang terbentuk dalam rongga dua ukuran dan bentuk, yaitu lubang (atau
celah) antara ujung serat dan pori yang berlawanan (atau saluran) yang
dibuat sepanjang panjang mikrofibril yang berdekatan. Setiap mikrofibril
memiliki panjang ~300 nm dan tebal ~4 nm (Pasteris et al., 2008).
Kumpulan molekul kolagen membentuk struktur hierarkis yang baik
dalam jaringan yang menghasilkan fibril dan serat, yang secara universal
mewakili dasar sebagian besar jaringan ikat. Kolagen memberikan
integritas mekanis ke jaringan ikat melalui resistensi yang besar untuk
peregangan sepanjang arah utama molekul, fibril, dan serat. Selain itu,
kolagen mampu memberikan fitur mekanik yang luar biasa karena ia
berinteraksi dengan molekul dan mineral biologis lainnya, seperti
glikosaminoglikan atau hidroksiapatit dalam tulang. Dalam jaringan tulang,
ketangguhannya jauh lebih besar daripada kolagen atau hidroksiapatit saja.
Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa kolagen dengan kapasitasnya untuk
menghasilkan dan menghilangkan energi, memberikan kontribusi pada
ketangguhan material yang ditingkatkan dengan menyediakan sarana yang
efektif untuk memberi tekanan geser antara kristal hidroksiapapit dan untuk
19
membuang energi mekanik melalui pembongkaran molekuler dan geser
antarmolekul. Secara fisiologi, kolagen tidak dapat dianggap sebagai
molekul tunggal, melainkan harus dipelajari dalam konteks jaringan yang
terbentuk atas dasar sejumlah besar molekul kolagen dan biopolimer
lainnya. Kolagen berperan penting dalam mengontrol sifat-sifat material
utama dalam jarnigan ikat (Gautieri et al., 2010).
Molekul lain yaitu protein non-kolagen (seperti elastin, proteoglikan,
laminin atau fibronektin) saling terkait membentuk jaringan dengan kolagen
dalam matriks ekstraseluler (Duconseille et al., 2015) yang memungkinkan
antara protein tersebut saling berikatan satu dengan lainnya melalui ikatan
kovalen, non-kovalen, ikatan ion, maupun van der waals dalam struktur
protein yang lebih komplit.
Fibril membentuk kolagen, struktur triple-helix dihubungkan bersama
oleh ikatan kovalen untuk membentuk fibril yang terhubung ke fibril lain
sehingga membentuk serat kolagen. Kolagen menyajikan tingkat hubungan
silang yang berbeda sebagai fungsi dari jenis jaringan dan usia hewan.
Memang, dalam jaringan padat seperti tulang, kolagen lebih terhubung
silang daripada di jaringan longgar, membuat matriks lebih kaku. Demikian
pula, kolagen lebih kuat ikatan silangnya pada hewan tua dibandingkan
hewan muda yang dapat mengurangi elastisitas kulit (Duconseille et al.,
2015; Schrieber & Gareis, 2007)
20
C. Kolagen dan Gelatin Ikan
1. Bahan Baku Gelatin
Meningkatnya kekhawatiran konsumen terkait wabah seperti bovine
spongiform encephalopathy (BSE) (Feng et al., 2014), dan foot and mouth
disease (FMD) (Pang et al., 2013), dalam produk gelatin mamalia komersial
telah menarik perhatian para peneliti untuk menggantikan gelatin dari
hewan darat kepada sumber dari laut (Haug et al., 2004). Selain itu, ada
kesadaran yang kuat di antara konsumen Muslim dan Yahudi terhadap
persyaratan bahan pangan yang Halal/Kosher untuk pengembangan
produk pangan. Kulit ikan yang melimpah bisa menjadi sumber gelatin
berharga. Para peneliti juga menawarkan alternatif untuk aplikasi di mana
alasan etika atau agama mengecualikan penggunaan produk gelatin
mamalia (Mohtar et al., 2011).
Gelatin ikan adalah gelatin alternatif yang penting yang dapat
dipertimbangkan sebagai gelatin halal dan diterima oleh semua agama
(Herpandi et al., 2011). Meskipun demikian, Haug dan Draget (2009)
menyebutkan bahwa ketersediaan bahan baku untuk produksi gelatin ikan
sebagai sumber gelatin masih terbatas. Olehnya itu, pertimbangan
menjadikan kulit dan tulang ikan gabus sebagai bagian dari gelatin alternatif
mejadi penting untuk dilakukan.
Kulit ikan dan tulang dapat diekstraksi menjadi gelatin (Surono dkk.,
1994) sehingga memberikan kontribusi terhadap pemecahan masalah
pembuangan limbah dengan keuntungan penambahan nilai (Choi dan
21
Regenstein, 2000). Gelatin ikan yang berasal dari perairan hangat
cenderung mempunyai kekuatan gel yang lebih tinggi dibanding yang
berasal dari perairan dingin, karena kolagen yang dihasilkan dari perairan
air hangat umumnya lebih stabil daripada kolagen yang berasal dari
perairan dingin (Gilsenan dan Ross-Murphy, 2000).
Haug dan Draget (2009), Ninan et al. (2013) menyebutkan bahwa
gelatin ikan yang berasal dari perairan hangat mempunyai sifat fisik lebih
mirip dengan gelatin mamalia. Menurut Haug dan Draget (2009) gelatin ikan
dapat menggantikan gelatin mamalia secara langsung pada beberapa
produk. Choi dan Regenstein (2000) menyebutkan bahwa kekuatan gel
gelatin ikan kurang stabil dan memiliki sifat reologi rendah dibanding gelatin
mamalia, tetapi gelatin ikan memiliki sifat unik seperti lebih mudah
melepaskan aroma dan rasa yang lebih kuat dibanding gelatin komersial,
sehingga mungkin menjadi nilai tawar bagi pengembangan produk.
2. Kolagen sebagai Sumber Gelatin
Terdapat paling tidak 27 jenis kolagen yang telah teridentifikasi.
Kolagen tipe I ditemukan di hampir semua jaringan ikat, termasuk tulang
dan kulit (Gómez-Guillén et al., 2011; Bhattacharjee dan Bansal, 2005),
dengan rantai polipeptida berbeda (Bhattacharjee dan Bansal, 2005).
Molekul kolagen terdiri atas tiga rantai polipeptida yang disebut rantai α,
dengan karakteristik pengulangan tiga sequen Gly-X-Y dan masing-masing
rantai umumnya dapat mencapai panjang lebih dari 1000 residu. Pada
beberapa kolagen tiga rantainya adalah identik, sedangkan pada kolagen
22
yang lain, molekul mengandung dua atau lebih tiga rantai α yang berbeda,
yang digambarkan sebagai α1, α2 dan α3, dengan perbedaan letak pada
asam amino yang ada pada posisi X dan Y dari triplet (Bhattacharjee dan
Bansal, 2005).
Kolagen adalah keluarga dari protein berserat yang bersifat tidak
larut air (Sarbon et al. 2012), ditemukan dalam semua organisme
multiseluler (Silva et al., 2014) dan bila dihidrolisis secara parsial akan
menjadi gelatin yang bersifat larut air (Sarbon et al. 2012). Kolagen
merupakan struktur penyusun utama tubuh hewan, baik vertebrata maupun
invertebrata dan ditemukan berlimpah pada tubuh hewan mamalia (Alfaro,
2015), sekitar 30% dari total protein tubuh (Friess, 1997), dengan struktur
unit utamanya dikenal sebagai tripel helix (Dyankova dan Solak, 2014),
merupakan molekul berbentuk batang, panjang 300 nm dan diameter 1,5
nm (Schrieber dan Gareis, 2007) dan merupakan struktur utama komponen
kulit, tulang, tendon, tulang rawan, pembuluh darah, membran basal
(endomysium), dan gigi (Etherington dan Sim, 1981; Stryer, 1988). Menurut
Kuypers dan Kurth (1995) secara tipical intramuscular connective tissue
mengandung 55-75% kolagen tipe I yang banyak dimanfaaatkan dalam
pembuatan gelatin. Gelse et al. (2003) menyebutkan bahwa pada tulang
sekitar 90% bahan organiknya adalah kolagen yang berfungsi memberi
kekuatan sebagai bantalan, kekuatan tarik dan sifat kekakuan torsional
setelah kalsifikasi.
23
Molekul kolagen tersusun atas jalinan tiga cincin alfa, sehingga
disebut triple helix kolagen (Aaslyng, 2002; Schrieber dan Gareis, 2007)
distabilkan oleh ikatan hidrogen antar rantai (Tosh et al., 2003), dan setiap
rantai α, dengan berat molekul ~ 100.000 g/mol, berisi 1014 asam amino
serta 334 unit berulang Gly-X-Y dimana prolin ada pada posisi X dan
hidroksiprolin pada posisi Y (Aaslyng, 2002; Schrieber dan Gareis, 2007).
Triple helix dibentuk dari tiga polipeptida yang membentuk suatu
right-handed helix, yang helixnya distabilkan terutama oleh ikatan hidrogen,
yang dapat juga terjadi secara langsung antara kelompok CO dan NH dari
asam amino atau melalui dua ikatan molekul air kelompok CO (Tosh et al.,
2003). Kolagen dapat dibagi menjadi kolagen yang mudah larut dan yang
tidak mudah larut, tergantung pada derajat ikatan silang hidroksiprolin yang
menyusunnya (Aaslyng, 2002). Kolagen distabilkan oleh intra dan antar
molekul ikatan silang kovalen. Pembentukan cross-link ini dimediasi oleh
enzim oksidase lysil, yang mengkatalisis deaminasi oksidatif lisin dan
hidroksilin untuk membentuk aldehid allysine dan hydroxyallysine. Aldehida
ini kemudian dapat membentuk cross-link dengan cara mereaksikan satu
sama lain melalui kondensasi aldol atau bereaksi dengan lisin termodifikasi
atau residu hidroksilin (Foegeding et al., 1996).
Menurut Bechtel (1986) dalam Tartẻ dan Amundson (2006) bahwa
kolagen ditandai dengan komposisi asam amino yang sangat tidak biasa
dan tidak berurutan, mengandung sekitar 33% glisin, 23% prolin dan
hidroksiprolin, 11% alanin, dan berisi asam amino 3-hidroksiprolin, 4-
24
hidroksiprolin, dan 5-hidroksilin yang tidak lazim. Berdasarkan Schrieber
dan Gareis (2007), kolagen tersusun atas 20 asam amino, dimana
Jamaludin et al. (2011) menyebutkan bahwa asam amino glisin, prolin dan
hidroksiprolin merupakan penyusun utama gelatin. (Schrieber dan Gareis,
2007) menjelaskan bahwa sembilan diantaranya adalah asam amino
esensial bagi tubuh manusia, sangat sedikit metionin dan tidak ada sama
sekali triptofan. Sistein kadang-kadang ditemukan pada gelatin kulit (hide
dan skin) yang kemungkinan berasal dari sumber kolagen tipe III dalam
bahan bakunya, sedangkan kolagen tipe I tidak mengandung sistein. Khas
bagi kolagen, termasuk gelatin, adalah kandungan hidroksiprolin yang
sangat penting dalam efek pembentuk gel. Berdasarkan Gelse et al. (2003)
Kandungan 4-hydroxyproline sangat penting untuk pembentukan ikatan
hidrogen intramolekul yang berkontribusi menstabilkan triple heliks.
Panjang bagian heliks tripel bervariasi tergantung tipe kolagen.
Pembentukan heliks (Gly-X-Y) berulang adalah motif dominan dalam
kolagen pembentuk fibril (I, II, III) yang menghasilkan triple heliks dengan
panjang 300 nm atau setara dengan 1000 asam amino.
Schrieber dan Gareis (2007) menyatakan bahwa asam amino prolin
dan hidroksiprolin berkontribusi terhadap stabilitas triple helix karena
mereka membatasi rotasi backbone polipeptida. Berdasarkan Dyankova
dan Solak (2014) bahwa jumlah asam amino prolin, glisin, oxoprolin dan
oxilisin penting bagi struktur dan sifat-sifat molekul kolagen, disebutkan pula
bahwa tropokolagen bersatu dalam mikrofibril, fibril dan serat kolagen, yang
25
diperkuat dengan ikatan silang. Struktur fibril ini merupakan prasyarat untuk
sifat struktural-mekanikal yang baik dari produk yang diperoleh. Menurut
Muyonga et al. (2004), kandungan prolin dan hidroksirolin pada gelatin
mamalia sekitar 30%, pada gelatin ikan air hangat 22-25% dan gelatin ikan
air dingin 17%.
Kolagen yang berasal dari species ikan yang hidup di lingkungan
dingin mempunyai kandungan hidroksiprolin lebih rendah dan
memperlihatkan stabilitas terhadap panas yang lebih rendah dibanding ikan
dari perairan hangat. Hal ini karena keterlibatan hidroksiprolin pada rantai
antara ikatan hidrogen, yang menstabilkan struktur tripel helix kolagen
(Hema et al., 2013).
Bilgen et al. (1963) menyebutkan bahwa hidroksiprolin telah
digunakan sebagai suatu cara untuk menentukan jumlah kolagen yang
terdapat dalam jaringan. Penelitian yang telah dilakukan Hill (1966), Cross
et al. (1973) terhadap kolagen yang terdapat pada otot daging dengan
mengukur kadar hidroksiprolin yang terdapat dalam jaringan otot, dengan
melewati proses pemisahan antara kolagen terlarut dan tidak larut. Neuman
dan Logan (1950) juga mengemukakan bahwa kandungan hidroksiprolin
dalam kolagen merupakan petunjuk untuk mengetahui jumlah kolagen atau
gelatin dalam campuran protein. Mereka juga menyebutkan bahwa
beberapa peneliti terdahulu telah mencoba melakukan uji terhadap
kandungan hidroksiprolin menggunakan metode yang berbeda, seperti
metode colorimeter dan prosedur isolasi. Salah satu metode yang masih
26
digunakan adalah metode yang dikembangkan oleh Bergman dan Loxley
(1963) menggunakan spektrofotometrik, kemudian menjadi rujukan
beberapa peneliti dalam mengukur kadar hidroksiprolin pada sumber
kolagen berbeda. Meskipun metode ini dianggap cukup rumit, tetapi masih
dianggap akurat dalam memprediksi kadar kolagen pada jaringan.
Pendekatan lain yang dapat digunakan adalah menggunakan metode
pengukuran dengan HPLC, sebagaimana yang disarankan oleh
Etherington dan Sim (1981).
Telah banyak penelitian yang berkembang terkait suplementasi
hidroksiprolin hubungannya dengan pertumbuhan, antara lain yang
dilaporkan oleh Zhang et al. (2015), Aksnes et al. (2008), ataupun
perbedaan kandungan hidroksiprolin pada beberapa species berbeda
(Blanco et al., 2017), tetapi penelitian terkait hubungan pertambahan bobot
badan dengan kadar hidroksiprolin, misalnya pada kulit maupun tulang
tampaknya jarang tersedia. Meskipun demikian dapat dijelaskan bahwa
ketersediaan pakan sangat berpengaruh terhadap kebutuhan nutrisi untuk
pertumbuhan dan perkembangan jaringan tubuh hewan, dan berimplikasi
terhadap ketersediaan asam amino dalam tubuh. Hidroksiprolin adalah
hasil metabolit dari prolin, dan Li et al. (2009) menjelaskan bahwa prolin dan
hidroksiprolin merupakan salah satu asam amino esensial (secara
kondisional) bagi ikan.
27
3. Konversi Kolagen menjadi Gelatin
Stevens (2010) menyebutkan bahwa kolagen tidak larut dalam air
tetapi dengan proses hidrolisis parsial akan menghasilkan gelatin.
Berdasarkan Stainsby (1987) dalam Gómez-Guillén et al. (2011) bahwa
kolagen yang secara alamiah tidak dapat larut, harus diberi perlakuan awal
sebelum kolagen dikonversi menjadi bentuk yang sesuai untuk ekstraksi
yang secara normal dilakukan melalui pemanasan dalam air pada suhu
yang lebih tinggi dari 45 oC. Lebih lanjut disebutkan bahwa pre-treatmen
kimia akan merusak ikatan non-kovalen sehingga mengacau struktur
protein, sehingga menghasilkan pembengkakan yang memadai dan
melarutkan kolagen.
Menurut Ockerman dan Hansen (2000), proses hidrolisis pada
kolagen sangat tergantung pada ikatan silang diantara rantai peptida dan
reaktivitas kelompok terminal amina dan terminal karboksil. Terdapat tiga
rantai baru yang tidak identik terbentuk saat terjadi proses pemisahan, yakni
tiga rantai α yang bebas, rantai β yang berisi dua rantai peptide α yang
saling terpaut dan rantai γ yang berisi tiga rantai peptida α yang terpaut.
Hasil hidrolisis parsial kolagen menurut Howell dan Kasase (2010)
dapat dimanfaatkan sebagai gelling agent pada dessert dan produk daging,
lebih lanjut bahwa sifat fisik dan kimia gelatin dipengaruhi oleh sifat intrinsik
kolagen dan parameter proses termasuk pre-treatment awal bahan baku
dengan larutan alkali dingin dan ekstraksi pada pH netral. Sebagaimana
yang dijelaskan oleh Jakhar et al. (2012) bahwa metode yang diaplikasikan
28
tergantung dari sumber asal kolagen, dimana jumlah ikatan silang kovalen
dan umur hewan memberi pengaruh terhadap rendemen dan kualitas akhir
gelatin.
Karim dan Bath (2009), Cheow et al. (2007) menyebutkan bahwa
sumber dan tipe kolagen akan mempengaruh sifat gelatin yang dihasilkan.
Berdasarkan penelitian Zhou dan Regenstein (2005) bahwa pre-treatment
menggunakan alkali dan asam memperlihatkan efek terhadap pelepasan
protein non kolagen dengan kehilangan sedikit kolagen, menyebabkan
sejumlah nyata pembengkakan kulit ikan dan mengamankan rendemen
gelatin dan kekuatan gel yang tinggi dengan menghancurkan ikatan silang
kimia tertentu yang ada pada kolagen dengan merusak ikatan peptide.
C. Produksi Gelatin
Gelatin merupakan senyawa protein yang berasal dari kolagen yang
terhidrolisis secara parsial (Gimẻnez et al., 2005), yang diperoleh melalui
perlakuan pemanasan kolagen dalam media asam atau alkali (Dyankova
dan Solak, 2014). Gimẻnez et al. (2005) menyebutkan bahwa untuk
mendapatkan gelatin, proses pre-treatment diperlukan untuk mengkonversi
jaringan kolagen ke dalam bentuk yang sesuai untuk ekstraksi. Prosedur
manufaktur berdasarkan (Eysturskarð, 2010) terdiri dari pembersihan, pre-
treatment, ekstraksi gelatin, filtrasi, konsentrasi/penguapan, sterilisasi dan
pengeringan.
29
Ada banyak cara berbeda yang dilakukan untuk mengekstrak gelatin
dari sisa hasil pengolahan ikan, dimana sifat fungsional gelatin akan
tergantung pada proses perlakuan sebelum ekstraksi (Karim dan Bhat,
2009). Pada umumnya, ada dua tipe gelatin yang dapat dihasilkan
tergantung pada prosedur pre-treatment, yaitu gelatin tipe A dengan titik
isoelektrik sekitar 8–9, dan gelatin tipe B dengan titik isoelektrik sekitar 4–5
(Gómez-Guillén et al., 2011). Gelatin ikan dihasilkan melalui perlakuan
dengan asam ringan yang menghasilkan gelatin tipe A (Flick, 2012). Jenis
dan konsentrasi asam yang digunakan sangat mempengaruhi sifat
pembengkakan dan solubilisasi dari kolagen, yang menyebabkan variasi
distribusi berat molekul pada gelatin yang dihasilkan, tergantung pada
seberapa kuatnya ikatan silang antara rantai kolagen (Catalina et al., 2008).
Asam digunakan untuk mengganggu kelabilan ikatan silang dengan
mengabaikan proses hidrolisis pada ikatan peptida atau degradasi asam
amino, karena ikatan silang kolagen stabil terhadap perlakuan panas dan
asam, maka umumnya diperoleh rendemen gelatin yang rendah (Flick,
2012).
Tabel 1. Perbandingan standard mutu gelatin tipe A dan B berdasarkan GMIA (2012)
No .
Karakteristik Standard mutu yang dipersyaratkan Tipe A Tipe B
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Proses Bahan baku Kekuatan gel(Bloom) Viskositas (cP Titik isoelektrik Abu (%)
Asam Kulit babi 50 – 300 1,5 – 7,5 7 – 9 0,3 – 2,0
Basa Kulit dan tulang sapi 50 – 300 2,0 – 7,5 4,7 – 5,4 0,5 – 2,0
30
Proses asam dilakukan pada kulit babi, kulit ikan dan kadang-kadang
pada tulang sebagai bahan baku. Gelatin yang dihasilkan memiliki titik
isoionik antara 7 sampai 9 berdasarkan keparahan dan durasi pengolahan
asam pada kolagen yang menyebabkan hidrolisis terbatas dari asam amino
rantai samping, yaitu asparagin dan glutamin. Gelatin yang diperoleh
dengan metode ini disebut sebagai gelatin tipe A yang mengandung 18,5%
nitrogen (Reich et al., 1962).
Karim dan Bhat (2009) menyebutkan bahwa perlakuan asam adalah
metode yang paling sesuai untuk diaplikasikan pada kulit ikan karena ikatan
silang kolagennya kurang kovalen, tetapi Zhou dan Regenstein (2005)
menyebutkan bahwa proses pre-treatment dapat dilakukan secara
bersamaan antara asam dan alkali, dimana proses pre-treatment yang
dilakukan pada kulit ikan pollock alaska memberi efek positif terhadap
pelepasan protein bukan kolagen serta menghasilkan rendemen gelatin
dan kekuatan gel yang tinggi. Disebutkan pula bahwa perlakuan alkalin
yang diikuti dengan netralisasi asam memberikan suatu media ekstraksi
netral atau asam lemah yang membuatnya mungkin untuk menghasilkan
rendemen gelatin tinggi. Holzer (No Patent US 5.484.888) menyebutkan
bahwa perlakuan asam yang diikuti oleh penambahan air kapur (Ca(OH)2)
dapat mengembalikan kehilangan kekuatan gel akibat perlakuan air kapur
yang terlalu lama.
Rendemen gelatin berbeda antara species ikan terutama karena
perbedaan dalam kandungan kolagen, komposisi kulit maupun matriks kulit,
31
demikian pula dengan hidrolisis yang tidak sempurna dari kolagen larut
selama ektraksi dapat juga menghasilkan rendemen yang lebih rendah
(Kamble et al., 2014). Variasi pada rendemen juga telah dilaporkan oleh
Muyonga et al., (2004), Jamilah dan Harvinder (2002), Gómez-Guillẻn et al.
(2002) disebabkan oleh perbedaan dalam metode ektraksi yang dilakukan
berbeda, sedangkan menurut Montero dan Gomes-Guillen (2000) bahwa
selain proses ekstraksi, rendemen dapat dipengaruhi juga oleh species atau
jaringan dari hewan yang diekstraksi. Perlakuan dengan alkali dan asam
berkorelasi terhadap rendemen yang lebih baik karena terbukanya ikatan
silang selama proses pembengkakan, sebagaimana yang telah dilaporkan
pada kulit ikan catla (Kamble et al., 2014). Menurunnya solubilitas kolagen
dan lebih rendahnya kandungan gelatin yang terekstraksi dapat
dipengaruhi oleh derajat ikatan silang melalui ikatan kovalen (Foegeding et
al., 1996).
Hasil penelitian oleh Ahmad dan Benjakul (2011) memperlihatkan
rendemen kulit ikan Aluterus monoceros dengan proses esktraksi
menggunakan asam sitrat dan natrium hidroksida dengan masa ekstraksi
antara 4 dan 8 jam pada suhu 45oC menunjukkan nilai rendemen yang
meningkat seiring lama ekstraksi. Selama pemanasan pada suhu tersebut,
ikatan hidrogen menstabilkan triple helix dari induk kolagen yang dirusak,
yaitu peralihan dari helix ke cincin. Proses inilah menurut Meriod dan Adam
(2013), Benjakul (2009) merupakan transformasi dari kolagen menjadi
gelatin yang mudah larut. Karim dan Bhat (2009) menyatakan bahwa
32
derajat konversi kolagen menjadi gelatin tergantung pada parameter proses
(suhu, waktu ekstraksi dan pH) kondisi pre-treatment dan metode
preservasi awal bahan baku.
Jamilah dan Harvinder (2002) menyatakan bahwa perbedaan dalam
perolehan gelatin dari species berbeda dapat dikaitkan dengan karakteristik
intrinsik dari kulit dan molekul kolagen, kandungan kolagen, jumlah
komponen terlarut kolagen, hilangnya kolagen yang diekstraksi melalui
pencucian selama tahapan pencucian atau hidrolisis parsial kolagen yang
tidak komplit.
Grossman dan Bergman (E.P. Patent 0 436 266 A1; U.S. Patent
5,093,474) menjelaskan langkah-langkah proses produksi gelatin dari kulit
ikan sebagai berikut: (a) pembersihan kulit untuk menghilangkan material
berlebihan secara substansial; (b) perlakukan dengan alkali encer; (c)
pencucian dengan air sampai air cucian netral secara substansial; (d)
perlakuan dengan asam mineral encer; (e) pencucian dengan air sampai
air cucian netral secara substansial; (f) perlakuan dengan asam sitrat encer
dan / atau asam organik yang sesuai lainnya; (g) pencucian dengan air
sampai air cucian netral secara substansial; dan (h) ekstraksi kulit yang
diolah dengan asam sitrat atau asam organik dicuci dengan air pada suhu
tinggi tidak di atas sekitar 55 °C.
Menurut Abustam dkk. (2008) bahwa penggunaan larutan asam
selama proses pre-treatment akan membantu menghidrolisis asam-asam
amino penyusun molekul kolagen, sehingga dalam proses hidrolisis ikatan
33
kimia yang terlibat dalam struktur protein kolagen akan mudah mengalami
proses pelarutan (solubilisasi).
Gelatin adalah protein kolagen terhidrolisis secara parsial, melalui
degradasi hidrolitik. Triple heliks kolagen (tropokolagen) adalah penyusun
rangkaian serat kolagen. triple helix kolagen distabilkan oleh ikatan
hidrogen interchain yang tegak lurus dengan sumbu rantai. Ikatan hidrogen
dapat berupa beberapa jenis: baik secara langsung antara kelompok CO
dan NH yang termasuk ke dua tulang punggung yang berdekatan, atau
melalui molekul air yang menjembatani antara dua kelompok CO atau
antara kelompok CO dan NH. Perlakuan asam dan basa yang digunakan
terutama memecah ikatan silang antara untaian, dan juga dapat
menghidrolisis untaian menjadi fragmen yang menyebabkan terjadinya
variasi pada berat molekul gelatin (Djabourov et al., 1988)
D. Karakteristik Gelatin
Gelatin tersusun atas asam amino yang unik karena banyak
mengandung glisin, prolin dan hidroksiprolin (Bourtoom, 2008). Keunikan
gelatin adalah karena karakteristik fisiko-kimianya yang dapat larut dalam
air, transparan, tidak berbau dan tidak memiliki rasa (Gómez-Guillénet al.,
2011) serta memiliki sifat reversible dari bentuk sol ke gel, membengkak
atau mengembang dalam air dingin, mempengaruhi viskositas suatu bahan
serta dapat membentuk film (Junianto et al., 2006).
34
Kekuatan gel, viskositas, dan titik leleh gelatin tergantung pada
distribusi berat molekul dan komposisi asam amino (Mariod dan Adam,
2013). Kekuatan gel adalah karakteristik gelatin yang paling penting
(Pranoto et al., 2011). Antara gelatin mamalia dan gelatin ikan mempunyai
karakteristik yang berbeda, yang sangat ditentukan oleh adanya komposisi
asam amino yang berbeda, terutama prolin dan hidroksiprolin (Norziah et
al., 2009). Kedua asam amino ini bertanggung jawab terhadap stabilitas
struktur kolagen, dimana keduanya membentuk ikatan hidrogen yang
menstabilkan struktur triple helix (Norziah et al., 2009) dan mempunyai
peran terhadap kekuatan gel, semakin tinggi kadar asam imino, maka
kekuatan gel akan lebih baik (Ninan et al., 2013). Umumnya gelatin mamalia
mengandung asam imino lebih banyak dibanding gelatin ikan (Haug dan
Draget, 2004; Gilsenan dan Ross-Murphy, 2000).
Kata gelatin berasal dari kata Latin gelatus, yang berarti kaku atau
beku, yang diukur dalam satuan yang disebut Bloom. Hal ini mengacu pada
alat ukur yang dikembangkan oleh seorang yang bernama Oscar T. Bloom.
Kandungan bloom yang tinggi mengacu pada berat molekul yang lebih
tinggi. Gelatin merupakan bahan protein yang diperoleh dari jaringan ikat
hewan melalui proses hidrolisis parsial dalam asam (tipe A) atau larutan
basa (tipe B) yang diikuti dengan ekstraksi dalam air panas (Schrieber dan
Gareis, 2007).
Prommajak dan Ravlyan (2013) menyebutkan bahwa jenis ikan akan
mempengaruhi kekuatan gel dari gelatin, sebagaimana penelitiannya
35
terhadap kekuatan gel ikan Thai panga memberikan hasil kekuatan gel lebih
tinggi dari kekuatan gel tulang sapi. Selain itu, kondisi ektraksi juga sangat
mempengaruhi kekuatan gel dari gelatin yang dihasilkan. Ockerman dan
Hansen (1988) menyatakan bahwa kekuatan gel atau kekuatan bloom
adalah suatu ukuran terhadap kekerasan, kekakuan, kekuatan, ketegaran
dan kompressibilitas (kemampuan gel untuk dimampatkan) pada suhu
tertentu dan dipengaruhi oleh konsentrasi dan berat molekul. Perbedaan
dalam kekuatan gel antara berbagai species menurut Kamble et al. (2014)
dapat dijelaskan melalui perbedaan pada proses ekstraksi yang digunakan
dan sifat intrinsik kolagen yang berbeda diantara spesies ikan. Karim dan
Bhat (2009) menyebutkan bahwa kekuatan gel dari gelatin ikan bervariasi
mulai dari 124–426 g, dibanding pada gelatin sapi atau babi yang berkisar
antara 200–400 g. Dapat dikatakan bahwa salah satu parameter utama
kualitas gelatin ikan adalah kekuatan gel (Gómez-Estaca et al., 2009).
Selain perbedaan species, beberapa sifat gelatin dapat berbeda
dikarenakan metode ekstraksi yang berbeda sehingga dikenal gelatin tipe
A dan tipe B.
Kekuatan gel terutama ditentukan oleh proporsi asam imino (prolin
dan hidroksiprolin) dalam total asam amino, disamping kekuatan gel,
viskositas dan titik isoelektrik merupakan karakteristik penting untuk
menentukan kesesuaian jenis gelatin yang diperlukan untuk aplikasi
tertentu (Stevens, 2010). Kekuatan gel yang rendah dikarenakan oleh
konsentrasi asam imino yang rendah (Kamble et al., 2014)
36
Sumber, tipe kolagen dan kondisi pengolahan akan mempengaruhi
sifat gelatin yang dihasilkan. Gelatin dengan tipe berbeda memiliki sifat
termal dan sifat reologi beragam, seperti kekuatan Bloom, suhu melting dan
suhu terbentuknya gel (Shyni et al., 2014). Karakteristik dasar gelatin,
seperti kekuatan gel, viskositas dan titik isoelektrik, terutama ditentukan
oleh proses yang digunakan (Stevens, 2010). Gelatin sapi dan babi memiliki
gelling point dan melting point jauh lebih tinggi daripada kebanyakan gelatin
ikan. Kekuatan gel tinggi dan titik leleh merupakan fungsi yang penting
untuk memperluas jangkauan aplikasi gelatin (Choi dan Regenstein, 2000;
Gilsenan dan Ross-Murphy, 2000; Gudmundsson, 2002). Ockermand
dan Hansen (1988) menyebutkan bahwa viskositas merupakan sifat fisik
yang secara komersil merupakan sifat penting kedua setelah kekuatan gel.
Menurut Normah et al. (2014) bahwa viskositas gelatin dipengaruhi oleh
umur dan spesies yang digunakan untuk ekstraksi, sedangkan See et al.
(2010) mengemukakan bahwa viskositas gelatin juga erat kaitannya
dengan panjang rantai polipeptida, berat molekul dan polidispersitas. Hasil
ekstraksi gelatin yang menghasilkan kekuatan gel yang lebih tinggi, akan
memperlihatkan nilai viskositas yang lebih tinggi, demikian sebaliknya.
E. Aplikasi Gelatin dalam Pembuatan Sosis
1. Meat By-Product Sapi
Sisa hasil pemotong ternak adalah semua bagian dari tubuh ternak
yang bukan merupakan bagian karkas, yang jumlahnya sekitar 44% dari
37
berat hidup seekor sapi (Marti et al., 2011). Ada beberapa jenis bagian
bukan karkas yang dapat dimanfaatkan sebagai pangan dan dianggap
sebagai meat by-product, antara lain adalah bagian pipi (Aberle et al.,
2001). Selain daging, komponen daging yang merupakan daging non-
karkas memungkinkan juga dimanfaatkan untuk mendapatkan spektrum
produk pangan hewani yang lebih luas, yang bertujuan selain untuk
meningkatkan pendapatan juga untuk perkembangan agribisnis (Silva et
al., 2013).
Efisiensi penggunaan meat by-product penting bagi profitabilitas
industri daging. Diperkirakan bahwa 11,4% dari pendapatan kotor dari
daging sapi berasal dari produk sampingan, dihasilkan oleh rumah potong,
pengolah daging, grosiran dan pabrik pengolahan lemak. Edible meat by-
product mengandung banyak nutrisi penting. Beberapa digunakan sebagai
obat karena mengandung nutrisi khusus seperti asam amino, hormon,
mineral, vitamin dan asam lemak. Meat by-product di pasar tradisional
secara bertahap telah menghilang karena harga rendah dan masalah
kesehatan, sehingga edible by-product umumnya lebih diarahkan ke
penggunaan selain pangan (Jayathilakan, 2012). Ada beberapa bentuk
aplikasi meat by-product, yang ditujukan untuk pangan manusia dan hewan
(Toldrá et al., 2012). Pemanfaatan meat by-product penting dalam
keberlangsungan industri daging. Meat by-product digunakan untuk tujuan
konsumsi dan non-konsumsi. Beberapa jenis edible meat by-product belum
dimanfaatkan secara optimal untuk memenuhi kebutuhan nutrisi manusia.
38
Penerimaan secara sensoris menjadi faktor utama yang mendorong
pemanfaatan meat by-product untuk konsumsi manusia. Beberapa jenis
meat by-product mempunyai rasa yang menarik sehingga digunakan dalam
industri pembuatan sosis dan daging ekstrak, seperti hati, paru-paru, limpa
dan tulang. Paru-paru dan limpa merupakan sumber asam amino lysin,
limpa sapi kaya besi, hati kaya akan vitamin A sedangkan tulang kaya akan
kalsium phosfat (Subba, 2001).
Marti et al. (2011) menyebutkan bahwa produk sampingan hewan
menyediakan banyak bahan baku yang digunakan untuk berbagai
keperluan seperti farmasi, kosmetik, rumah tangga, dan produk industri.
Beberapa bagian dari edible by-product dikenal sebagai daging, seperti
hati, lidah, dan kaki, semuanya bernilai tambah bagi industri daging,
sedangkan daging pipi merupakan bagian edible meat by-product yang
banyak dimanfaatkan dalam pembuatan sosis dan produk olahan lainnya.
Berdasarkan Bigolin et al. (2013) bahwa kualitas daging dapat
dipersepsikan melalui perubahan antara lain pada rasa, warna, tekstur, nilai
nutrisi dan produksi senyawa toksik potensial.
Daging pipi sendiri merupakan jenis daging yang mempunyai
karakteristik menyerupai daging merah pada umumnya, misalnya daging
bagian abdominal (Ranken, 2000). Daging yang terdapat pada bagian
tulang pipi ini menurut Anonim (1999) merupakan jenis daging yang
mempunyai kemampuan mengikat air sedang (intermediate holding
capacity) dibandingkan dengan daging skeletal.
39
2. Aplikasi Gelatin dalam Pengolahan Sosis
Gelatin adalah salah satu biopolimer yang paling populer yang
memiliki aplikasi luas terutama dalam industri makanan. Permintaan untuk
gelatin meningkat pada tingkat yang stabil sekitar 2% per tahun sehingga
mengakibatkan harga gelatin menjadi tinggi (Mohtar et al., 2011).
Sosis merupakan salah satu jenis produk olahan yang umumnya
berbahan utama daging yang jumlahnya tidak kurang dari 75%, dapat
bersumber dari berbagai jenis daging merah seperti daging sapi, babi atau
kambing dan daging putih seperti daging unggas atau ikan. Merupakan
produk daging yang dihancurkan, dapat terdiri dari daging merah atau
daging putih atau kombinasi keduanya, yang mengandung air, bahan
pengikat dan bumbu. Biasanya dimasukkan dalam selongsong, dapat
dalam bentuk curing, asap atau masak (Essien, 2003). Standard Nasional
Indonesia 01-3820-1995 mempersyaratkan bahwa sosis daging sebaiknya
mengandung air 67,0%, abu 3,0%, protein 13,0%, lemak 25,0% dan
karbohidrat 8,0%.
Dalam industri pangan, gelatin menjadi salah satu polimer larut air
yang dapat digunakan sebagai ingredient untuk memperbaiki elastisitas,
konsistensi dan stabilitas produk (Tavakolipour, 2011). Dalam pembuatan
sosis, selain daging, bahan tambahan seperti bahan pengikat sangat
diperlukan untuk menghasilkan sosis yang mempunyai karkteristik yang
baik (Prastini dan Widjanarko, 2015). Beberapa peneliti telah menggunakan
gelatin sebagai bahan tambahan dalam pembuatan sosis untuk tujuan
40
memperbaiki stabilitas emulsi, daya mengikat air, tekstur dan tingkat
penerimaan, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Jridi et al. (2015) yang
menggunakan gelatin cumi cumi dalam pembuatan sosis ayam kalkun.
Meningkatnya permintaan terhadap makanan halal dan kosher telah
mendorong ditemukannya sumber-sumber baru gelatin dalam aplikasi
makanan. Sejumlah penelitian telah membahas sifat gelatin kulit ikan yang
memperlihatkan bahwa sifat mereka berbeda dari gelatin mamalia. Sifat
fungsional gelatin berhubungan dengan karakteristik kimianya, salah satu
adalah kekuatan gel (Mariod dan Adam, 2013), semakin tinggi nilai
kekuatan gel maka gelatin akan semakin baik dalam aplikasi terutama untuk
produk pangan berbasis daging.
Gelatin memiliki aplikasi yang sangat luas dalam berbagai industri,
salah satunya adalah industri pangan, karena sifatnya yang unik. Menurut
(Norziah et al., 2009) gelatin merupakan protein yang unik karena
kemampuannya untuk membentuk gel yang bersifat termo-reversible
dengan suhu leleh mendekati suhu tubuh dan kemampuannya untuk larut
dalam air. Zhou dan Regenstein (2005) menyebutkan bahwa dalam industri
pangan, gelatin dapat digunakan sebagai bahan untuk meningkatkan
elastisitas, konsistensi dan stabilitas pangan.
Sebagai produk turunan kolagen, gelatin adalah lemak bebas,
namun ketika menyentuh mulut, akan meninggalkan perasaan halus di
mulut yang mirip dengan lemak. Efek ini sangat berguna sebagai aditif
untuk makanan yang dipasarkan sebagai produk pangan rendah lemak.
41
Disebutkan pula bahwa gelatin juga bertindak sebagai emulsifier membantu
untuk mendistribusikan lemak dan menambahkan stabilitas beberapa
produk pangan hewani (Stevens, 2010). Penggunaan gelatin bubuk sekitar
1-2% yang difungsikan sebagai bahan pengikat terutama pada daging yang
bukan daging lean utuh (Marianski dan Marianski, 2011), sedangkan
berdasarkan GMIA (2012) penggunaan gelatin untuk produk daging adalah
antara 1–5% tergantung dari tipe daging, jumlah cairan, kekuatan gel dan
tekstur yang dikehendaki dari produk akhir, dengan kekuatan gel antara
175–275 g, dengan maksud untuk menyerap jus daging dan untuk
memberikan bentuk dan struktur produk agar lebih kompak.
Gelatin ikan adalah aditif makanan yang diperoleh setelah hidrolisis
parsial kolagen dari sisa hasil samping produk perikanan yang cenderung
mengalami peningkatan seiring meningkatnya ketersediaan komersilnya
(Hernández-Briones, 2009). Tujuan penambahan gelatin dalam proses
produksi sosis adalah untuk mendapatkan daya mengikat air, menstabilkan
emulsi dan tekstur yang lebih homogen (Stevens, 2010) serta dapat
menurunkan susut masak (Mega, 2010). Penelitian Jridi et al. (2015b)
menggunakan gelatin cuttlefish memperlihatkan hasil dimana sosis kalkun
mengalami peningkatan terhadap stabilitas emulsi, kapasitas menahan air,
tingkat kekerasan dan kekenyalan yang semakin baik dibanding kontrol.
Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Ch’ng et al. (2014) menggunakan
penambahan gelatin menghasilkan sosis ayam mengalami perbaikan
42
terhadap stabilitas fisikokimia selama penyimpanan tetapi tidak pada profil
oksidatifnya.
F. KERANGKA PIKIR
Ikan gabus telah menjadi komoditi industri makanan kesehatan
karena potensinya sebagai sumber protein albumin. Seiring meningkatnya
permintaan ikan gabus maka industrialisasi ini dengan sendirinya
menyebabkan terjadi peningkatan hasil samping produk antara lain kulit dan
tulang. Kulit dan tulang termasuk organ tubuh ikan yang mengandung
sejumlah komponen organik dan anorganik. Salah satu komponen organik
penting yang banyak dijumpai pada kulit dan tulang adalah kolagen.
Sebagai penyusun jaringan ikat, kolagen termasuk jenis protein serat
bersifat tidak larut dalam air dan melalui proses ekstraksi dapat diubah
menjadi gelatin yang dapat larut dalam air. Proses penanganan kulit dan
tulang menjadi gelatin adalah salah satu upaya meningkatkan nilai guna
dan nilai ekonomis hasil samping produk ikan gabus.
Terdapat sejumlah faktor yang berpengaruh terhadap kadar kolagen
yang terkandung pada jaringan tubuh hewan, sehingga diduga semakin
besar ukuran tubuh maka kadar kolagen semakin banyak. Untuk
memastikan adanya kolagen dalam jaringan, menentukan kadar
hidroksiprolin adalah cara yang paling efektif, dimana sampai sekarang ini
hampir semua penelitian masih merujuk pada seberapa besar kadar
hidroksiprolin sehingga kadar kolagen jaringan dapat diprediksi. Kadar
43
kolagen yang tinggi mungkin akan memberi pengaruh terhadap berbagai
karakteristik gelatin pasca hidrolisis parsial kolagen.
Untuk menghasilkan gelatin, proses ekstraksi merupakan hal
mendasar yang perlu dipertimbangkan sehingga menghasilkan gelatin
dengan karakteristik fisik dan kimia yang optimal. Terdapat sejumlah
tahapan dalam proses ekstraksi yang penting untuk dilakukan, antara lain
proses demineralisasi (khusus pada tulang), pre-treatment, hidrolisis parsial
hingga pengeringan. Proses-proses ini akan menentukan karakteristik fisik
dan kimia gelatin. Penggunaan larutan basa dapat membantu terjadinya
pelepasan protein non-kolagen pada kulit dan tulang, sedangkan larutan
asam berfungsi melonggarkan ikatan hidrogen, dan proses hidrolisis parsial
dalam waterbath dengan kombinasi suhu dan waktu ekstraksi akan
menyebabkan terjadinya pemutusan ikatan hidrogen dari triple helix
kolagen, sehingga kolagen terkonversi menjadi gelatin yang lebih mudah
larut. Proses ekstraksi pada suhu dan waktu berbeda dapat memengaruhi
kualitas gelatin, baik kualitas maupun kuantitas. Penggunaan larutan yang
sesuai, suhu dan lama ekstraksi adalah hal penting dalam proses merubah
kolagen menjadi gelatin yang terkandung dalam kulit maupun tulang. Kulit
dan tulang ikan sebagai bahan baku dapat diolah lanjut dengan prosedur
sesuai, yang diharapkan dapat menghasilkan gelatin alternatif sebagai
binder dalam proses pengolahan daging.
Tingginya permintaan daging untuk industri pengolahan daging
merupakan peluang pemanfaatan meat by-product sebagai alternatif dari
44
penggunaan daging skeletal yang harganya jauh lebih tinggi. Pemanfaatan
beberapa jenis daging yang bersumber dari meat by-product merupakan
upaya meningkatkan nilai tambah terhadap hasil sampingan dari
pemotongan hewan pedaging. Kekurangannya adalah bahwa meat by-
product ini merupakan produk sampingan yang mempunyai kualitas yang
lebih rendah dibanding daging skeletal pada umumnya. Sangat
dimungkinkan merekonstruksi daging tersebut menjadi produk dengan nilai
terima yang lebih baik melalui pengolahan untuk menghasilkan produk yang
mudah diterima oleh masyarakat semisal sosis.
Pemanfaatan gelatin yang sangat fleksibel merupakan keunggulan
yang tidak semua jenis hidrokoloid miliki. Gelatin telah sangat luas
dimanfaatkan untuk berbagai keperluan misalnya bidang pangan, yang
difungsikan antara lain sebagai bahan tambahan dalam pembuatan
berbagai produk olahan daging misalnya sosis. Salah satu fungsi gelatin
adalah sebagai bahan pengikat. untuk memperbaiki karakteristik produk
olahan daging yang berbahan baku meat by-product dengan kemampuan
mengikat air sedang. Penggunaan gelatin ikan sebagai protein fungsional
dimungkinkan untuk memperbaiki karakteristik fisik dan kimia sosis
berbasis meat by-product dalam memperbaiki karakteristik sosis.
45
Gambar 2. Kerangka Pikir Penelitian
Kulit dan tulang
- Air - Protein - Lemak - Mineral - Kolagen - Asam amino
Tulang
Pre-treatment
Kulit Demineralisasi
Hidrolisis parsial
Identifikasi Karakteristik
Gelatin
Suhu ekstraksi
Waktu ekstraksi
Gelatin Alternatif: Halal/Kosher; Bebas BSE/PMK; Karakteristik fisik dan kimia menyerupai gelatin konvensional
Binder
Pengolahan Sosis
Ikan gabus
Bobot badan berbeda
- Daging serat merah - Banyak mengandung
jaringan ikat - Daya mengikat air sedang
- Karakteristik fisik dan kimia lebih baik - Masa simpan dapat diperpanjang -
Meat by-product: Daging pipi
46
G. Hipotesis
Hipotesis penelitian ini adalah:
1. Perbedaan bobot badan mempengaruhi karakteristik fisiko-kimia kulit
dan tulang ikan gabus.
2. Suhu dan waktu ekstraksi berbeda berpengaruh terhadap karakteristik
fisiko-kimia gelatin ikan gabus.
3. Proses ekstraksi dari bahan baku berbeda menghasilkan karakteristik
fungsional gelatin yang berbeda.
4. Penambahan gelatin ikan gabus dalam proses pengolahan sosis
berbasis meat by-product sapi dapat memperbaiki kualitas fisik, kimia,
serta masa simpan sosis.
47
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Tahapan Penelitian
Penelitian terbagi atas tiga tahapan. Tahap I: Karakterisasi dan
potensi kulit dan tulang ikan gabus sebagai sumber kolagen pada bobot
berbeda. Tahap II: Penentuan proses ekstraksi kulit dan tulang ikan gabus
terbaik menjadi gelatin pada suhu dan waktu berbeda. Tahap III: Aplikasi
gelatin ikan gabus dalam proses pembuatan sosis berbasis meat by-
product sapi.
B. Waktu dan Tempat
Penelitian berlangsung sejak April 2016 sampai Februari 2018. Ikan
gabus diperoleh dari Bendungan Bili Bili, Gowa. Meat by-product, dalam hal
ini daging pipi diperoleh dari Rumah Potong Hewan Tamangapa. Preparasi
sampel dilaksanakan di beberapa laboratorium, antara lain Laboratorium
Pengembangan Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian (Preparasi kulit dan
tulang ikan untuk uji karakteristik), Laboratorium Pengolahan Daging dan
Telur dan Laboratorium Pengolahan Sisa Hasil Ternak Fakultas Peternakan
(Ekstraksi gelatin, analisis stabilitas emulsi gelatin, produksi sosis, daya
mengikat air daging dan sosis, susut masak, CD-Shear force, warna sosis,
nilai reaktivitas TBA sosis), Laboratorium Bioteknologi Terpadu Fakultas
Peternakan (liofilisasi sampel kulit dan tulang, analisis daya mengikat air,
48
daya mengikat minyak, stabilitas emulsi dan aktivitas antioksidan sosis),
Laboratorium Kimia Nutrisi Makanan Ternak Fakultas Peternakan
(Pembuatan larutan ekstraksi gelatin, analisis proksimat), Laboratorium
Kimia Organik Fakultas MIPA (analisis FTIR), Laboratorium Kimia Analitik
Jurusan Kimia Politeknik Makassar (analisis kekuatan gel, viskositas dan
pH gelatin), Laboratorium Fisika FMIPA-UNM (SEM-EDS kulit dan tulang),
Laboratorium Terpadu Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan IPB
(analisis Hidroksiprolin), Laboratorium Bahan Penelitian Teknologi Bahan
Alami LIPI Yogyakarta (SEM pada sosis), Laboratorium Departemen Ilmu
dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB (analisis profil
tekstur sosis) dan PT. Saraswanti Indo Genetech, Bogor (analisis asam
amino kulit, tulang dan gelatin).
C. Materi Penelitian
Tahap I
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah kulit dan
tulang yang berasal dari ikan gabus (Channa Striata) dengan ukuran 300-
400 g/ekor, 600-700 g/ekor dan 900-1.000 g/ekor. Beberapa bahan kimia
untuk analisis berupa H2SO4, H3BO3, NaOH 30%, HCl 0,02N, chloroform,
dan hidroksiprolin standard.
Tahap II
Kulit dan tulang dari ikan gabus berat 600-700 g//ekor sebagai bahan
utama, sebagaimana hasil analisis pada tahap I. Untuk proses ekstraksi
49
kulit dan tulang mengggunakan bahan kimia HCl 3%, Ca(OH)2 0,01M
(Merck), asam sitrat 0,5M (Merck), aquades, air bersih. Beberapa bahan
penunjang untuk uji karakteristik gelatin antara lain H2SO4, H3BO3, NaOH
30%, HCl 0,02N, chloroform, Sodium Dodecyl Sulfate (SDS) (Merck),
minyak bunga matahari dan minyak kedelai.
Tahap III
Bahan kebutuhan pembuatan sosis antara lain daging pipi dari sapi
lokal umur sekitar 3,5-5 tahun, lemak sapi, isolat protein kedelai (Marksoy
90, Shandong Crown Soya Protein Co Ltd, China), tepung tapioka (Rose
Brand), susu bubuk (PT. Nestle Indonesia), seasoning (Frankfurter Combi
Forte, PT. Markaindo Selaras), merica bubuk, bawang putih bubuk, garam
dapur, air es, sendawa (Kalium nitrat, KNO3) (Cap Koepoe Koepoe, PT.
Gunacipta Multirasa), dan garam fosfat (Sodium tripoliphosphate),
selongsong sosis diameter 18,45 mm (casing collagen, Devro, PT.
Markaindo Selaras). Bahan kimia antara lain Ca(OH)2 (Merck), asam sitrat
(Merck), aquades, DPPH (2,2-diphenyl-1-picrylhydrazil) (Merck), TBA
(Merck), SDS, asam asetat (Merck), H3BO3, NaOH, HCl 0,1N, methanol,
H2SO4, chloroform.
D. Peralatan Penelitian
Tahap I
Peralatan yang digunakan antara lain alat untuk proses preparasi
dan alat untuk analisis uji sampel. Alat proses antara lain pisau, tang dan
50
peralatan penunjang lain untuk preparasi kulit dan tulang. waterbath,
freezer, freeze dryer, (ALPHA 1-2 LD plus), grinder, timbangan analitik,
plastik kemasan dan botol kemasan. Peralatan untuk analisis proksimat
antara lain neraca analitik, cawan porselen, oven, tanur, desikator, labu
Kjeldhal, destilator, penangas listrik, lemari asam, buret, labu Erlenmeyer,
labu ukur, High-Performance Liquid Chromatography (HPLC, 1200 Infinity
Series by Agilent Technologies) (kadar hidroksiprolin) dan UPLC (Ultra
Performance Liquid Chromatograph, ACQUITY UPLC-H Class) (asam
amino) dan Scanning Electron Microscopis-Energy Dispersive
Spectroscopy (SEM-EDS, Tescan Vega3SB).
Tahap II
Peralatan yang digunakan antara lain peralatan untuk ekstraksi
gelatin, gelas piala (Pirex), gelas ukur (Pirex), pengaduk kaca, tabung
reaksi, labu takar (Pirex), waterbath (Memmert). Oven (Memmert),
penyaring plastik, kain kasa, talang plastik sebagai wadah mengeringkan
gelatin, timbangan analitik, aluminium foil, plastik kemasan. Peralatan untuk
analisis uji kualitas gelatin antara lain waterbath (GFL, digital) (membuat
larutan gelatin secara pemanasan untuk analisis kekuatan gel, viskositas
dan pH), Texture Analyzer (TAXT2 Stable Micro System) (kekuatan gel),
viskometer (Brookfield, DV-I Prime) (Viskositas), pH meter (Metrohm, 827
pH Lab) (nilai pH), timbangan analitik (rendemen), vortex (IKA Laboratchnik
VF2) (Daya mengikat air dan minyak gelatin), homogenizer (IKA T25 digital,
ultra turrax) (indeks emulsifikasi gelatin), centrifuge (High speed refrigerated
51
micro centrifuge, Tomy Mx-305), spectrofotometer (Thermo Fisher
Scientific 4001/4, Genesys VF2) (indeks emulsifikasi gelatin), FTIR (IR
Prestige-21, FTIR-8400, Shimadzu) (gugus fungsional), UPLC (ACQUITY
UPLC-H Class) (asam amino), colormeter (TES 135) (mengukur warna
gelatin). Peralatan untuk analisis proksimat antara lain neraca analitik,
cawan porselen, oven, desikator, labu Kjeldhal, destilator, penangas listrik,
lemari asam, buret, labu Erlenmeyer, labu ukur.
Tahap III
Peralatan yang digunakan untuk membuat sosis antara lain
timbangan, food prosessor (Miyako, CH-501 PF AP), alat pengisi manual
(stuffer), talang plastik, spatula, panci, kompor, plastik kemasan, lemari
pendingin. Peralatan untuk analisis proksimat antara lain timbangan analitik
(Metler Toledo, J81603-C/FACT) cawan porselen, oven, tanur, desikator,
labu Kjeldhal, destilator, penangas listrik, lemari asam, buret, labu
Erlenmeyer, labu ukur. Peralatan untuk analisis emulsifikasi sosis antara
lain waterbath (Memmert), oven (Shimadzu), centrifuge (High speed
refrigerated micro centrifuge, Tomy Mx-305). Filter paper press (uji daya
mengikat air daging), tabung reaksi, gelas ukur (pyrex), gelas piala (pyrex),
tabung centrifuge, rak tabung, dan mikropipet. Peralatan untuk analisis
reaktivitas TBA antara lain blender, penangas listrik, destilator, waterbath
(Memmert), gelas ukur, dan spektrofotometer (Shimadzu). Peralatan untuk
analisis kadar antioksidan antara lain votex (IKA Laboratchnik VF2),
timbangan analitik (Metler Toledo, J81603-C/FACT), gelas ukur, mikropipet,
52
tabung reaksi dan spektrofotometer (Thermo Fisher Scientific 4001/4,
Genesys VF2).
E. Metode Penelitian
Penelitian ini bersifat percobaan di laboratorium dengan
menggunakan metode Rancangan Percobaan (Gambar 5).
Tahap I
Penelitian terdiri atas persiapan bahan baku, preparasi sampel dan
analisis karakteristik fisiko-kimia sampel. Diagram alir penelitian Tahap I
sebagaimana Gambar 6.
1.1 Persiapan bahan baku kulit dan tulang ikan
Ikan gabus segar ditimbang untuk menetapkan kelompok perlakuan.
Perbedaan bobot badan diduga dapat mewakili usia ikan gabus, semakin
besar bobot badan maka usia ikan semakin tua. Ikan dibersihkan dengan
mengeluarkan bagian sisik, kepala, sirip dan viseranya. Ikan di-fillet
sehingga hanya tersisa kulit dan tulang. Kulit dan tulang secara terpisah
dibersihkan, dengan cara dicuci bersih dan masing-masing dikemas dalam
kantung plastik polietilen tertutup untuk dianalisis lebih lanjut.
1.2 Preparasi kulit dan tulang ikan gabus
Analisis kadar proksimat menggunakan kulit segar. Untuk analisis
kadar asam amino dan mikrostruktur, terlebih dahulu kulit diperkecil
ukurannya menggunakan pisau, sebagaimana metode Listrat dan
Hocquette (2004) kemudian diliofilisasi dengan freeze dryer hingga benar-
53
benar kering (sekitar 72 jam). Kulit yang sudah kering digiling halus,
dikemas kedap udara dan disimpan pada suhu kurang dari 4 oC hingga siap
dianalisis lebih lanjut. Preparasi tulang merujuk pada Wulandari dkk.
(2013) dan Kittiphattanabawon et al. (2005). Sebelum digunakan, terlebih
dahulu lemak dan daging yang masih menempel pada tulang dihilangkan
dengan cara degreasing, yaitu merendamnya dalam air panas suhu 60-70
oC sekitar 30 menit. Analisis proksimat tulang menggunakan tulang hasil
degreasing. Tulang untuk analisis kadar asam amino, dan mikrostruktur
jaringan dan komposisi mineral terlebih dahulu diperkecil ukurannya,
kemudian diliofilisasi (sekitar 24 jam). Tulang yang telah kering, digiling
membentuk tepung menggunakan alat penggiling dan disimpan pada suhu
di bawah 4 oC hingga siap dianalisis.
54
Gambar 5. Bagan Alir Tahapan Penelitian
Kadar proksimat, kadar kolagen, asam amino, mineral dan mikrostruktur kulit dan tulang
Tahap I
Bobot badan: 300-400 g/ekor,
600-700 g/ekor dan 900-1.000 g/ekor
Tahap II
Kulit dan tulang ikan gabus dari bobot ikan terpilih
Analisis Karakteristik fisiko-kimia: kadar proksimat, pH, daya mengikat air, susut masak, shear force dan warna
- Gelatin yang memenuhi syarat sebagai binder - Penambahan gelatin ikan gabus menghasilkan sosis sesuai standard
SNI dan karakteristik yang lebih baik dibanding tanpa penambahan gelatin.
Tahap III
Keluaran:
Penentuan Suhu dan Waktu Ekstraksi Terbaik terhadap Karakteristik Gelatin Kulit dan Tulang Ikan Gabus
Uji sifat fungsional gelatin: Kadar proksimat, gugus fungsional, daya mengikat air, daya mengikat minyak, indeks stabilitas emulsi, indeks aktivitas emulsi, warna gelatin, asam amino
Aplikasi gelatin ikan gabus dalam proses pembuatan sosis berbasis meat by-product sapi
Analisis Karakteristik fisiko-kimia: kadar proksimat, profil tekstur, susut masak, stabilitas emulsi, daya mengikat air, mikrostruktur sosis, pH, kadar mg H2O, Nilai reaktivitas TBA dan DPPH
Analisis karakteristik fisiko-kimia gelatin: rendemen, kekuatan gel, viskositas dan pH
Gelatin kulit dan tulang terpilih berdasarkan kekuatan gel tertinggi
Karakterisasi daging pipi sebagai bahan utama sosis
Aplikasi gelatin sebagai binder pada sosis berbasis meat by-product
Karakterisasi kulit dan tulang ikan gabus pada bobot badan berbeda
Bobot badan terbaik
Kekuatan gel tertinggi
Sosis dengan kualitas lebih baik dibanding tanpa penambahan gelatin
55
Gambar 6. Diagram alir penelitian Tahap I
Ikan gabus (Channa striata)
Kulit segar Tulang segar
Liofilisasi
Komposisi kimia (Air, protein,
lemak dan abu)
Degreasing
Liofilisasi
Kulit ikan gabus kering Tulang ikan gabus kering
Komposisi: asam amino, hidroksiprolin, mineral, mikrostruktur kulit dan tulang
Kulit dan tulang ikan sumber kolagen
56
1.3 Prosedur Penelitian
1.3.1 Analisis Proksimat (AOAC, 1995)
a. Kadar Air
Prinsip dasar analisis kadar air adalah mengetahui kandungan atau
jumLah air yang terdapat pada suatu bahan dengan menguapkan air yang
terdapat dalam bahan tersebut. Analisis kadar air dilakukan dengan cara
cawan porselen kosong dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC selama
1 jam. Cawan selanjutnya diletakkan di dalam desikator (kurang lebih 15
menit) dan dibiarkan sampai dingin kemudian ditimbang (A). Setelah
ditimbang, sebanyak 5 gram contoh (kulit/tulang ikan gabus) dimasukkan
ke dalam cawan tersebut, kemudian ditimbang kembali (B). Cawan yang
telah berisi sampel contoh kemudian dimasukkan ke dalam oven bersuhu
105 oC selama 5 jam lalu dimasukkan ke dalam desikator sampai dingin
dan selanjutnya ditimbang kembali (C). Kadar air dihitung menggunakan
rumus:
% Kadar air =B − C
B − A x 100%
Keterangan: A = Berat cawan kosong (g) B = Berat sampel dalam cawan sebelum dikeringkan (g)
C = Berat sampel dalam cawan setelah dikeringkan (g) b. Kadar Protein
Prinsip analisis protein yaitu untuk mengetahui kandungan protein
kasar pada suatu bahan berdasarkan pada penentuan kandungan nitrogen
yang terdapat dalam bahan. Analisis kadar protein dilakukan dalam tiga
tahap, yaitu destruksi, destilasi dan titrasi.
57
Destruksi diawali dengan mengecilkan ukuran partikel sampel
(menggunakan blender). Selanjutnya sebanyak 1 gram sampel dimasukkan
ke dalam tabung Kjeldahl yang berisi dua tablet katalis, beberapa butir batu
didih, 15 mL asam H2SO4 dan 3 mL hidrogen peroksida kemudian
didiamkan di dalam ruang asam selama 10 menit. Sampel didestruksi
selama ± 2 jam pada suhu 410 oC atau sampai larutan jernih. Sampel hasil
destruksi didiamkan sampai suhunya mencapai suhu kamar kemudian
ditambahkan 50–75 mL aquades.
Destilasi diawali dengan mencuci tabung Kjeldhal yang berisi sampel
hasil proses destuksi dengan aquades 50–75 mL, kemudian labu tersebut
dimasukkan ke dalam alat destilasi. Hasil destilasi kemudian ditampung
dalam labu Erlenmeyer 125 mL yang berisi 25 mL asam borat (H3BO3) 4 %.
Destilasi dilakukan dengan menambahkan 10 mL NaOH ke dalam alat
destilasi hingga menghasilkan warna hijau.
Destilat yang dihasilkan kemudian dititarsi dengan HCl 0,1 N sampai
terjadi perubahan warna merah muda. Standard blanko juga dianalisis
dengan tahapan sama seperti yang dilakukan pada analisis sampel. Kadar
protein dihitung menggunakan rumus:
% Kadar protein =(Va − Vb) x N HCl x 14.007 x 6.25
W x 100 %
Keterangan: Va = mL HCl untuk titrasi sampel Vb = mL HCl untuk titrasi blanko N = Normalitas HCl yang digunakan 14,007= Berat atom Nitrogen 6,25 = Faktor konversi Nitrogen W = Berat sampel (g)
58
c. Kadar Lemak
Prinsip analisis kadar lemak adalah melarutkan lemak yang terdapat
dalam bahan menggunakan pelarut lemak. Analisis kadar lemak dilakukan
dengan menggunakan metode Soxhlet dengan beberapa modifikasi.
Sebanyak 1 g sampel (W1) dimasukkan ke dalam tabung reaksi berskala
10 mL, lalu ditambahkan chloroform mendekati skala. Tabung yang berisi
sampel ditutup rapat dan dibiarkan hingga semalam. Larutan disaring
menggunakan kertas saring ke dalam tabung reaksi yang lain. Larutan
sampel dipipet sebanyak 5 mL ke dalam cawan porselen yang telah
diketahui beratnya (a gram). Cawan yang berisi larutan dioven pada suhu
100 °C selama 8 jam. Cawan dimasukkan dalam desikator lebih kurang 30
menit, lalu timbang (b gram).
% Kadar lemak =P(b − a)
W x
100
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑘𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔
Keterangan: W = Berat sampel (g) P = Faktor pengenceran (10/5) a = Berat awal cawan (g) b = Berat cawan setelah proses pengeringan (g)
d. Kadar Abu
Prinsip analisis kadar abu adalah untuk mengetahui jumLah abu
yang terdapat pada suatu bahan terkait dengan jumLah mineral yang
terkandung dalam bahan tersebut. Analisis kadar abu dilakukan
menggunakan metode oven. Prosedur analisis abu adalah cawan abu
porselin kosong dikeringkan dalam oven pada 105 oC selama 30 menit.
Cawan tersebut selanjutnya didinginkan dalam desikator selama 15 menit.
59
Cawan ditimbang untuk mengetahui bobot cawan kosong (A). sampel yang
telah dihaluskan ditimbang sebanyak 5 g dimasukkan ke dalam cawan
porselin kosong kemudian ditimbang kembali (B). Cawan berisi sampel
dibakar di atas kompor sampai tidak berasap lalu dimasukkan dalam tanur
pengabuan bersuhu 600 oC selama 6–8 jam. Cawan kemudian dikeluarkan
dengan menggunakan penjepit dan dimasukkan ke dalam desikator selama
30 menit dan ditimbang beratnya (C). Kadar abu dalam bahan dihitung
berdasarkan rumus:
% Kadar abu =C − A
B − A x 100 %
Keterangan: A = Berat cawan kosong (g) B = Berat cawan berisi sampel sebelum pengabuan (g) C = Berat cawan berisi sampel setelah pengabuan (g) 1.3.2 Komposisi Asam Amino
Asam amino ditentukan dengan menggunakan UPLC (Ultra
Performance Liquid Chromatography) (Prosedur sesuai yang ditetapkan
oleh PT SIG, merujuk pada Nollet, 1996 dan Water Acquity UPLC H Class
and H Class Bio Amino Acid Analysis System Guide, 2012).
Preparasi sampel. Sebanyak 0,1 g sampel dihidrolisis
menggunakan 5 mL HCl 6N, dipanaskan pada suhu 110 oC selama 22 jam.
Sebanyak 500 µL filtrate ditambah dengan 40 µm AABQ dan 460 µL
aquades. Sebanyak 10 µL larutan ditambahkan AccQ-Fluor Borate dan 20
µL reagent Flour A, diinkubasi selama 10 min suhu 55 oC, kemudian disuntik
pada system UPLC.
60
Sampel infus. Sebanyak 2 mL dimasukkan dalam labu ukur 200 mL
dan ditambahkan 2,0 mL larutan standard internal AABA 10mM lalu
diencerkan hingga tanda batas dengan larutan HCl 0,1N, kemudian dikocok
dan dihomogenkan. Dengan menggunakan membrane filter 0,22 µm,
sebanyak 10 µL larutan dimasukkan dalam insert vial dan ditambahkan 70
µL AccQ-Fluor Borate kemudian divortex. Selanjutnya, larutan tersebut
ditambah dengan 20 µL reagen flour A, divortex dan didiamkan selama 1
menit. Larutan diinkubasi selama 10 menit pada suhu 55 °C untuk kemudian
disuntikkan dalam UPLC.
Larutan Standard. Sebanyak 40 µL standard mix asam amino
ditambah 40 µL internal standard AABA ditambah 920 µL aquabidest
kemudian dihomogenkan. Sebanyak 10 µL ditambah dengan 70 µL AccQ
Flour Borate kemudian divortex, tambah dengan 20 µL reagent Flour A,
divortex dan didiamkan selama 1 menit. Larutan diinkubasi selama 10 menit
pada suhu 55 °C untuk kemudian disuntikkan dalam UPLC.
Kadar asam amino:
= / ( )
/ 𝑨𝑨𝑩𝑨 𝒙 ( )
Keterangan: C = Konsentrasi standard asam amino (mol/mL) FP = Faktor pengencer (mL)
1.3.3 Penentuan Kadar Hidroksiprolin
Estimasi kadar kolagen ditetapkan berdasarkan nilai asam amino
hidroksiprolin. Kadar hidroksiprolin diukur mengggunakan High
Performance Liquid Chromatograph (HPLC,1200 Infinity Seriesby Agilent
61
Technologies). Sebelum injeksi pada HPLC, sampel terlebih dahulu melalui
proses hidrolisis dalam 1 mL HCl 6N dan dipanaskan pada suhu 110 oC
selama 24 jam. Larutan standard menggunakan L-hydroxiproline (Sigma,
USA). Untuk mengestimasi kadar kolagen, nilai hidroksiprolin dikali dengan
faktor 8,0 (Muralidharan et al., 2013). Untuk mengestimasi kadar kolagen
dalam setiap gram protein sampel, maka kadar kolagen dibagi dengan
jumLah protein sampel.
Kadar asam amino hidroksiprolin (mg/100g sampel) =
Keterangan: C = Konsentrasi standard asam amino (mol/mL) FP = Faktor pengencer (1000) BMA = Berat molekul asam amino (g/mL)
1.3.4 Mikrostruktur Kulit dan Komposisi Mineral dan Tulang Ikan
Gabus
Pengamatan mikrostruktur kulit dan tulang ikan gabus dilakukan
menggunakan Scanning Electron Microscopy (SEM) berdasarkan prosedur
yang telah dilakukan oleh Ramadhan dkk. (2014).
Sampel kering dalam bentuk bubuk dilekatkan pada logam yang
telah dilapisi lem karbon, kemudian dilakukan pelapisan menggunakan
emas atau logam dalam perangkat tabung plasma hampa penghasil
gelombang mikro (magnetron sputtering device) yang dilengkapi dengan
pompa vacum. Selama proses vakum, yang berlangsung selama 20 menit,
terjadi loncatan logam emas ke arah sampel sehingga melapisi emas.
Sampel yang telah dilapisi diletakkan pada lokasi sampel dalam mikroskop
62
elektron dan dengan terjadinya tembakan elektron ke arah sampel maka
akan terekam ke dalam monitor dan dilakukan pemotretan.
Komposisi mineral yang terkandung dalam kulit dan tulang ikan
gabus dianalisis menggunakan perangkat yang sama yang digunakan
untuk mengamati karakteristik mikroskopis dari kulit dan tulang ikan, yaitu
dengan menggunakan SEM-EDS (Scanning Electron Microscopy-Energy
Dispersive Spectroscopy)
1.4 Rancangan Penelitian dan Analisis Data
Penelitian bersifat percobaan di laboratorium. Analisis komposisi
kimia dan kadar kolagen dianalisis menggunakan rancangan acak lengkap
(RAL) pola faktorial dengan dua perlakuan dan tiga ulangan. Kelompok
perlakuan adalah kelompok kulit ikan dan tulang ikan pada bobot ikan
berbeda yaitu: 300-400 g/ekor; 600-700 g/ekor; dan 900-1.000 g/ekor.
Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis sidik ragam
(ANOVA). Jika hasil analisis data menunjukkan pengaruh nyata, maka diuji
lanjut menggunakan uji Duncan. Profil asam amino, mineral dan
mikrostruktur kulit dan tulang dianalisis secara deskriptif, baik secara
kuantitatif maupun secara kualitatif.
Tahap II
Penelitian tahap II terdiri atas proses optimasi esktraksi gelatin pada
waktu dan suhu berbeda dan karakterisasi fungsional gelatin. Kulit dan
tulang yang digunakan berasal dari ikan gabus terpilih dari hasil penelitian
63
tahap pertama yang didasarkan pada kadar kolagen yang dikandung oleh
ikan gabus.
2. Optimasi Ekstraksi Gelatin Kulit dan Tulang Ikan Gabus pada Suhu dan Waktu Berbeda
Percobaan ini adalah pengamatan terhadap pengaruh kombinasi
suhu dan waktu ekstraksi selama proses ekstraksi gelatin berlangsung,
sehingga diharapkan akan menghasilkan gelatin dengan karakteristik fisiko-
kimia optimal.
2.1 Prosedur Penelitian
2.1.1 Persiapan kulit dan tulang ikan
Ikan gabus berat 600-700 g/ekor dibersihkan dengan mengeluarkan
bagian sisik, kepala, sirip dan viseranya. Ikan di-fillet sehingga hanya
tersisa kulit dan tulang. Tulang dan kulit dibersihkan, dengan cara dicuci
bersih secara terpisah, dan masing-masing dikemas dalam kantung plastik
tertutup dan disimpan pada suhu -20 oC tidak lebih dari dua bulan, untuk
digunakan dalam proses ekstraksi.
2.1.2 Ekstraksi kulit dan tulang
a. Ekstraksi kulit
Metode ekstraksi merujuk pada Grossman and Bergman (1991,
1992). Sampel kulit ikan gabus yang akan diekstraksi terlebih dahulu
dibiarkan hingga esnya meleleh (thawing). Proses pre-treatment dilakukan
secara bertingkat. Proses pre-treatment pertama menggunakan larutan
alkali yaitu Ca(OH)2 0,01 M (7,4 g Ca(OH)2 dalam 1 L aquades), kemudian
64
pada pre-treatment kedua menggunakan asam organik, yaitu asam sitrat
0,05 M (10,75 g asam sitrat dalam 1 L aquades).
Kulit dipotong-potong dengan ukuran kecil, 1˗2 cm persegi,
kemudian dicuci menggunakan air mengalir sebanyak tiga kali. Kulit yang
telah dicuci dibersihkan dengan merendamnya dalam larutan Ca(OH)2 1:6
b/v selama 1 jam dengan maksud untuk mengeluarkan komponen non-
kolagen, kemudian dicuci dengan air mengalir sebanyak tiga kali. Kelebihan
air dihilangkan dengan cara ditiris. Kulit yang telah bersih kemudian diberi
perlakuan pre-treatment kedua dengan direndam dalam larutan asam sitrat
1:6 b/v selama 5 jam sambil diaduk setiap saat, kemudian dicuci
menggunakan air mengalir hingga bersih lalu ditiriskan. Kulit yang telah
mengalami perlakuan kemudian diekstraksi menggunakan aquades 1:6 b/v
pada suhu 50, 60 dan 70 oC selama 12, 18, dan 24 jam dalam waterbath.
Hasil ektraksi disaring dua kali menggunakan kain kasa dan penyaring
plastik. Hasil ektraksi berupa gelatin cair dikeringkan dengan oven suhu 60
oC selama 48 jam. Gelatin kering hasil pengeringan kemudian digiling
menggunakan grinder hingga membentuk tepung dan selanjutnya
ditimbang untuk menentukan nilai rendemen. Proses akhir adalah tepung
gelatin dikemas dengan plastik klip untuk dilakukan uji kualitas (Gambar 7).
b. Ekstraksi tulang
Prosedur persiapan sampel tulang ikan sedikit berbeda dengan
sampel kulit ikan. Proses ini merujuk pada Wulandari dkk. (2013) dengan
beberapa perubahan. Tulang ikan gabus beku yang telah dibiarkan hingga
65
meleleh (thawing), dibersihkan dari sisa-sisa daging yang masih menempel.
Lemak yang melekat dihilangkan dengan proses degreasing, yaitu
memanaskan tulang pada suhu antara 60˗70 oC sekitar 30 menit, kemudian
tulang kering dikecilkan ukurannya dengan mematahkan ruas-ruas tulang
dengan tang. Proses selanjutnya tulang dikeringkan, kemudian ditimbang.
Proses selanjutnya adalah demineralisasi (Muyonga et al., 2004a), yaitu
merendam tulang menggunakan larutan HCl 3% (81,1 mL HCl dalam setiap
liter aquades) 1:6 b/v selama 24 jam dengan maksud melarutkan mineral
yang berikatan dengan protein kolagen dalam matrik tulang. Perlakuan
selanjutnya sebagaimana perlakuan pada kulit (Gambar 8).
2.1.3 Peubah yang diamati
a. Rendemen gelatin
Rendemen gelatin (berdasarkan basis berat basah) dihitung sebagai rasio
berat kering gelatin terhadap total berat kulit ikan/tulang ikan dalam basis
basah (See et al., 2010).
Rendemen gelatin kulit (%) = ( )
( ) 𝑥100%
Rendemen gelatin tulang (%) = ( )
( ) 𝑥100%
b. Kekuatan gel
Penentuan kekuatan gel didasarkan pada See et al., (2010). Larutan
gelatin 6,67% (b/v) dipreparasi dengan mencampur 7,5 g gelatin dan 105
mL air suling. Campuran dibiarkan pada suhu kamar selama 30 menit untuk
memungkinkan gelatin menyerap air dan membengkak. Campuran
66
kemudian dipanaskan pada suhu 60 oC selama 30 menit dalam waterbath
untuk menyempurnakan kelarutan gelatin sehingga diperoleh larutan
gelatin yang kemudian disimpan pada suhu refrigerator (6±1oC) selama
17±1 jam. Kekuatan gel ditentukan menggunakan TAXT2 Texture Analyzer
(Stable Micro System, UK) yang dilengkapi dengan plunger yang
berdiameter 12,7 mm. Kecepatan plunger menetrasi ke dalam gel 10
mm/menit dengan kekuatan maksimum (dalam gram) pada kedalaman
penetrasi 4 mm yang dicatat pada 0,5 mm/detik. Hasil pembacaan gaya
maksimum yang diberikan plunger pada gel dinyatakan dalam g.
c. Viskositas
Viskositas sampel diukur sesuai dengan metode (Arnesen dan
Gildberg, 2002) dengan alat viskometer. Larutan gelatin dibuat dengan
konsentrasi 6,67% w/v (6,67 g sampai aquades 100 mL) dipanaskan pada
suhu ± 60 oC hingga partikel gelatin larut secara sempurna. Pengukuran
viskositas gelatin dilakukan pada suhu kamar (28 oC).
d. pH
Pengujian pH diukur berdasarkan Choi dan Regenstein (2000); Said
(2011) dengan beberapa modifikasi. Sebanyak 0,5 g gelatin kering
dilarutkan ke dalam 20 mL aquades. Alat pH meter yang dihubungkan
dengan 2 jenis elektroda (bundar dan datar) disiapkan. Sebelum dilakukan
pengukuran maka pH meter terlebih dahulu harus dikalibrasi pada pH 4,00
dan 7,02. Setelah dikalibrasi selanjutnya elektrode dicelup ke dalam larutan
dan hasilnya ditentukan.
67
2.1.4 Rancangan Percobaan dan Analisis Data
Penelitian ini bersifat percobaan di laboratorium dengan
menggunakan metode Rancangan Percobaan Acak Lengkap (RAL) pola
faktorial sebayak 3 faktor. Masing-masing faktor adalah jenis bahan baku
(kulit dan tulang), suhu ekstraksi (50, 60 dan 70 °C), dan lama ekstraksi (12,
18 dan 24 jam) dengan 3 ulangan.
Data yang diperoleh akan dianalisis menggunakan analisis sidik
ragam sesuai dengan rancangan percobaan yang diterapkan
menggunakan program SPSS. Apabila analisis data menunjukkan adanya
pengaruh perlakuan nyata, maka akan dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan.
68
Gambar 7. Diagram prosedur ekstraksi gelatin tulang ikan
Thawwing
Degreasing (60-70 oC, 30 menit)
Pre-treatment I: Ca(OH)2 0,01 M (1 jam)
Pencucian
Pre-treatment II: Asam sitrat 0,05 M (5 jam)
Pencucian
Pengecilan ukuran
Ekstraksi dalam water bath (50, 60 dan 70 oC; 12,18, 24jam)
Penyaringan
Gelatin cair
Pengeringan dalam oven (60 oC, 48 jam)
Gelatin lembaran
Penggilingan dengan blender
Pengemasan
Penimbangan dan uji kualitas
Demineralisasi 24 jam
Tulang ikan
69
Gambar 8. Diagram prosedur ekstraksi gelatin kulit ikan
Kulit ikan
Pemotongan (1-2 cm2)
Pre-treatment I: Ca(OH)2 0,01 M (1 jam)
Pencucian
Pre-treatment II: Asam sitrat 0,05 M (5 jam)
Pencucian
Pencucian
Ekstraksi dengan aquades dalam waterbath (50, 60, 70 oC; 12, 18, 24 jam)
Penyaringan
Gelatin cair
Pengeringan dalam oven (60 oC, 48 jam)
Gelatin lembaran
Penggilingan dengan blender
Pengemasan
Penimbangan dan uji kualitas
Thawwing
70
2.2 Uji Karakteristik Sifat Fungsional Gelatin Kulit dan Tulang Ikan Gabus
Setelah diperoleh hasil gelatin yang terbaik setelah analisis uji,
terutama kekuatan gel, maka gelatin dengan kekuatan gel terbaik yang
digunakan untuk uji karakteristik sifat fungsional gelatin, dengan
membandingkan antara kulit ikan gabus, tulang ikan gabus dan gelatin
konvensional.
2.2.1 Peubah yang Diamati
a. Kadar proksimat gelatin
Metode sesuai dengan peubah yang diamati pada penentuan kadar
proksimat kulit dan tulang ikan gabus (Tahap I).
b. Daya Mengikat Air dan Lemak gelatin
Daya mengikat air dan mengikat minyak gelatin diukur merujuk pada
Cho et al. (2005). Setengah gram gelatin ditempatkan dalam tabung
centrifuge dan ditimbang (tabung dan gelatin). Sebanyak 10 mL air atau 10
mL minyak bunga matahari ditambahkan dalam tabung, kemudian masing-
masing dibiarkan selama 1 jam pada suhu kamar agar gelatin dalam
air/minyak membengkak dan larut. Larutan gelatin kemudian disentrifugasi
pada 20.000 rpm selama 20 menit. Fasa bagian atas dikeluarkan dan
tabung centrifuge dikeringkan selama 30 menit pada kertas saring. Nilai
daya mengikat air dan daya mengikat minyak gelatin dihitung berdasarkan
Ninan et al. (2013), yaitu perbedaan antara volume awal air suling/minyak
bunga matahari yang ditambahkan ke sampel gelatin dan volume
71
supernatan ditentukan, dan hasilnya dilaporkan sebagai mL air/minyak
diserap per gram sampel gelatin.
c. Nilai Emulsifikasi dan Stabilitas emulsi Gelatin
Indeks aktivitas emulsi (EAI) dan indeks stabilitas emulsi sampel
gelatin ditentukan berdasarkan pada metode Pearce and Kinsella (1978).
Minyak kedelai (2 mL) dan larutan gelatin 2% dihomogenisasi
menggunakan alat homogeniser pada kecepatan 20.000 rpm selama 1
menit. Emulsi dikeluarkan dengan pipet pada 0 dan 10 menit dan larutan
dikali 100 dengan 0,1% SDS. Campuran dicampur selama 10 menit
menggunakan vortex. A500 dari dispersi yang dihasilkan diukur
menggunakan spectrphotometer. EAI dan ESI dihitung berdasarkan
formula dari (Ahmad and Benjakul, 2011), berikut:
IAE (m2/g) = TDF/løC
ESI (min) = A0 /ΔA × Δt
Dimana, T= 2×2,303×A500×DF; DF = Faktor pengenceran; l = panjang cuvet
(m); ø = disperse lemak (0,25); C = konsentrasi gelatin (g/mL); A500 =
panjang gelombang; A0 = Panjang gelombang pada 0 menit; ΔA = A0˗A10;
Δt = 10 min.
d. Warna Gelatin
Warna dan total warna gelatin ditentukan sesuai petunjuk
(Sinthusamran et al, 2014) dengan sedikit modifikasi. Warna gelatin
ditentukan dengan mengukur nilai Lightness (L*), redness (a*), dan
yellowness (b*) dari tepung gelatin menggunakan Colorimeter. Total warna
72
dihitung sesuai dengan persamaan: ΔE= [(ΔL*)2+(Δa*)2+(Δb*)2]1/2. Dimana
ΔL*, Δa* dan Δb* adalah perbedaan antara warna yang tercatat pada
gelatin dengan warna standard putih, yaitu: (L*=99,11; a*=-0,945 dan
b*=0,674)
e. Gugus Fungsional Gelatin
Proses analisis menggunakan alat Fourier Transform Infrared
Spectrofotometri (FTIR) dengan jarak bilangan gelombang 4000 hingga 650
cm-1. Metode yang digunakan adalah teknik preparasi bentuk pelet KBr
(Kalium Bromida). Cuplikan (0,1-2 % berat) ditumbuk bersama-sama
dengan KBr kemudian dipress pada tekanan 8-20 ton hingga diperoleh
bentuk pelet. KBr dalam keadaan kering ditumbuk di bawah lampu
inframerah untuk mencegah terjadinya kondensasi uap dari atmosfer dan
selanjutnya divakumkan untuk melepaskan air. Cuplikan pellet kemudian
dimasukkan ke dalam tempat sampel pada spektrofotometer inframerah
dan hasil spektrum akan terbaca melalui monitor komputer.
f. Asam Amino Gelatin
Uji asam amino gelatin merujuk pada analisis uji asam amino kulit
dan tulang ikan gabus pada Tahap pertama
2.2.2. Rancangan Percobaan dan Analisis Data
Perbedaan karakteristik tiga jenis gelatin, yaitu gelatin kulit ikan
gabus (GKG), gelatin tulang ikan gabus (GTG) dan gelatin komersial bovine
(GKB) dianalisis menggunakan rancangan acak lengkap pola faktorial 3
perlakuan dengan 3 ulangan. Data yang berpengaruh nyata (P<0,05) akan
73
dianalisis lanjut menggunakan uji Duncan. Data gugus fungsional dan asam
amino gelatin dianalisis secara deskriptif.
Tahap III
Penelitian ini merupakan pengamatan terhadap karakteristik meat
by-product dalam hal ini daging pipi (M. masetter) dan aplikasi gelatin
sebagai bahan tambahan yang berfungsi sebagai binder dalam proses
pembuatan sosis.
3.1 Karakterisasi Meat By-Product
Pada tahap ini, sebelum dilakukan aplikasi penambahan gelatin,
terlebih dahulu daging pipi sebagai sampel meat by-product dikarakterisasi
untuk melihat sifat fisiko-kimianya.
3.1.1 Analisis Sampel
a. Kadar Proksimat
Daging pipi dianalisis menggunankan metode AOAC (1995) untuk
mengetahui kandungan air, protein, lemak dan abu, sebagaimana metode
pada Tahap pertama dan kedua.
b. pH
Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan pH meter dengan
cara memasukkan elektroda khusus menembus dalam sosis. Pembacaan
skala angka pada layar dilakukan setelah angka yang ditunjukkan stabil.
Sebelum pengukuran, pH meter dikalibrasi dengan dengan buffer pH 4 dan
buffer pH 7 (AOAC, 1995).
74
c. Daya Mengikat Air Daging
Daya mengikat air diukur menggunakan metode penekanan (Filter-
Paper Press method) berdasarkan metode Hamm (Abustam, 2012).
Sebanyak 300 mg sampel daging di atas kertas filter diletetakkan di antara
dua plat dengan beban seberat 35 kg/cm2. Setelah 5 menit, daerah tertutup
sampel basah dan daerah sekitarnya ditandai dan diukur dengan
planimeter. Daerah basah adalah luas daerah penyerapan air pada kertas
saring setelah dijepit selama 5 menit dikurang dengan daerah tertutup
sampel daging, sehingga kandungan air dapat dihitung dengan rumus
sebagai berikut:
mg H2O = ( )
.- 8.0
d. Susut Masak
Sebanyak 40 g sampel dimasukkan dalam plastik klip kemudian dimasak
dalam waterbath suhu 70o C selama 30 menit. Sampel yang telah dimasak
dikeluarkan dari plastik dan dibiarkan hingga sekitar 1 jam sehingga air
yang masih menempel pada bagian luar sampel telah menguap. Sampel
ditimbang untuk medapatkan nilai susut masak, yang dihitung dengan
persamaan:
% susut masak =
𝑥 100
e. Daya Putus Daging (Shear force)
Pengukuran daya putus daging menggunakan alat modifikasi CD-
Shear Force (kg/cm3). Sampel dipotong dengan panjang sekitar 2 cm,
75
kemudian dimasukkan dalam lubang berdiameter 0,635 cm. Sampel
dipotong menggunakan probe pisau tumpul tegak lurus dengan serat
daging. Perhitungan daya putus daging sesuai pembacaan pada alat, dan
nilai daya putus dihitung berdasarkan persamaan: A=
Dimana, A = Daya putus daging (kg/cm2) A1 = Tekanan yang digunakan (kg) L = Luas penampang sampel (πr2) = 1,266 cm2 f. Warna Daging
Warna gelatin ditentukan dengan mengukur nilai Lightness, redness
dan yellowness yang disimbolkan dengan L*, a* dan b* menggunakan
Colorimeter.
3.1.2 Analisis Data
Data karakteristik daging pipi dianalisis secara deskriptif kuantitatif.
Untuk mengetahui hubungan antara parameter karakteristik daging pipi
maka dianalisis menggunakan korelasi Pearson.
3.2 Pengaruh Penambahan Gelatin Ikan Gabus terhadap
Karakteristik Fisik dan Kimia Sosis Meat By-Product Aplikasi gelatin terhadap meat by-product dilakukan untuk melihat
pengaruh penambahan gelatin ikan gabus terhadap karakteristik fisiko-
kimia sosis berbasis meat by-product sapi.
3.2.1 Pembuatan sosis
Meat by-product dalam hal ini daging pipi sebagai sampel daging
untuk perlakuan digunakan sebagai bahan baku pembuatan sosis. Sosis
76
dibuat berdasarkan formula: Daging pipi 50%, air es 20%, lemak 20% (berat
daging), dan 20% bahan bukan daging (non-meat ingredient) terdiri dari
protein kedelai, tapioka, tepung susu, bumbu, garam, STPP dan sendawa.
Persentase gelatin kulit ikan gabus (GKG) yang digunakan adalah 0%,
1,0%, 2,0% dan 3,0% dari dari total bahan yang digunakan, dan sebagai
kontrol positif digunakan gelatin komersial bovine (GKB) 2% (Lampiran 16).
Daging pipi yang diperoleh dari Rumah Potong Hewan Tamangapa
terlebih dahulu dibersihkan, kemudian dilayukan selama 24 jam pada suhu
4±1o C. Sebelum diolah, daging pipi dibersihkan dari jaringan ikat. Bahan
sosis digiling menggunakan meat processor hingga membentuk emulsi.
Untuk mengetahui tingkat stabilitas emulsi sosis maka dilakukan uji
stabilitas menggunakan adonan yang telah siap dimasukan dalam
selongsong. Adonan yang telah membentuk emulsi kemudian dimasukkan
dalam selongsong dan dimasak dalam air bersuhu 80o˗85o C hingga
mengapung (sekitar 20 menit). Sosis yang telah matang dibiarkan dingin,
untuk kemudian dianalisis.
3.2.2 Analisis Sampel
a. Stabilitas Emulsi
Timbang adonan sampel sekitar 30 g dan ditempatkan dalam tabung
sentrifugasi 50 mL. Adonan disentrifugasi pada kecepatan 2.800 x g suhu
4 oC selama 15 menit, dengan maksud menghilangkan gelembung udara.
Tabung kemudian dipanaskan dalam waterbath selama 30 menit. Tabung
dibiarkan hingga dingin, kemudian disentrifuge dengan kembali pada
77
kecepatan 2.800 x g suhu 4 oC selama 15 menit, kemudian supernatan (S)
yang terdapat dalam tabung dituang ke dalam cawan porselen. Timbang
cairan yang terlepas, dan keringkan dalam oven suhu 105o C selama 16
jam, untuk medapatkan volume air lepas (AL). Timbang kembali cawan
porselen untuk mengetahui berat lemak yang dilepas (LL). Persentase
lemak (LL) ditentukan sebagai perbedaan persentase S dan AL.
S (%) =
𝑥 100
AL (%) = [(Berat cawan porselen+S) ˗ (Berat kering cawan)] x 100
b. Kadar Proksimat
Sampel sosis dianalisis sesuai petunjuk AOAC (1995) untuk
mengetahui kandungan air, protein, lemak dan abu. Metode sebagaimana
pada uji proksimat Tahap satu dan Tahap dua
c. Susut Masak
Pengukuran susut masak sosis merujuk pada metode Asmaa et al.
(2015). Sosis yang telah siap dimasak terlebih dahulu ditimbang. Setelah
masak dibiarkan hingga dingin pada suhu ruang. Susut masak (%) =
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑜𝑠𝑖𝑠 𝑠𝑒𝑏𝑒𝑙𝑢𝑚 𝑑𝑖𝑚𝑎𝑠𝑎𝑘 (𝑔) − 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑜𝑠𝑖𝑠 𝑠𝑒𝑡𝑒𝑙𝑎ℎ 𝑑𝑖𝑚𝑎𝑠𝑎𝑘(𝑔)
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑜𝑠𝑖𝑠 𝑠𝑒𝑏𝑒𝑙𝑢𝑚 𝑑𝑖𝑚𝑎𝑠𝑎𝑘 (𝑔) 𝑥 100
d. Warna Sosis
Warna sosis ditentukan dengan mengukur nilai Lightness, redness
dan yellowness yang disimbolkan dengan L*, a* dan b* menggunakan
Colorimeter, yang terlebih dahulu dikalibrasi dengan plat putih. Setiap
sampel dari masing-masing ulangan perlakuan diukur sebanyak 3 kali dan
78
nilai rata-rata ditentukan dengan melakukan pengamatan pada tiga lokasi
berbeda pada sampel yang diberikan.
e. Profil Textur
Daya iris dan kekenyalan diukur menggunakan Texture Analizer.
Pengukuran daya iris dilakukan dengan meletakkan sampel di bawah probe
pisau (jenis probe kode WDP) kecepatan 2 mm/s dengan jarak 25 mm dari
sampel. Untuk pengukuran kekerasan, daya kkohesif dan elastisitas maka
sampel diletakkan di bawah probe tumpul (jenis probe kode SMS 35) dan
sampel ditekan sebanyak 50% selama 5 detik pada kecepatan 2 mm/s.
Beban maksimum yang digunakan adalah 25 kg.
f. Mikrostruktur Sosis
Pengamatan mikrostruktur dilakukan menggunakan Scanning
Electron Microscope (SEM), (Ramadhan dkk., 2014). Sampel yang akan
diamati terlebih dahulu dikeringkan dengan freeze dryer. Setelah preparasi
selesai, dilakukan pelekatan sampel pada logam yang telah dilapisi lem
karbon untuk dilakukan pelapisan menggunakan emas atau logam dalam
perangkat tabung plasma hampa penghasil gelombang mikro (magnetton
sputtering device) yang dilengkapi dengan pompa vakum, pada proses
vakum terjadi loncatan logam emas ke arah sampel sehingga melapisi
emas. Proses vakum berlangsung sekitar 20 menit. Sampel yang telah
dilapisi diletakkan pada lokasi sampel dalam mikroskop elektron dan
dengan terjadinya tembakan elektron ke arah sampel maka akan terekam
ke dalam monitor dan dilakukan pemotretan.
79
g. Daya Mengikat Air selama Penyimpanan Suhu Dingin
Daya mengikat air diukur menggunakan metode penekanan (Filter-
Paper Press method) berdasarkan metode Hamm (Abustam, 2012),
sebagaimana pada uji daya mengikat air daging. Untuk mengetahui
pengaruh penyimpanan sosis terhadap kemampuan sosis menahan air
maka dilakukan pengukuran daya mengikat air pada 0 hingga 28 hari.
h. pH Sosis selama penyimpanan
pH sosis diukur setiap tujuh hari penyimpanan, diawali pada hari ke
0 sampai 28 hari). Metode pengukuran pH sosis merujuk pada metode
sebagaimana pengukuran pH daging pipi, yang diulang sebanyak 3 kali.
i. Kadar reaktivitas TBA (Tibarbituric acid) sosis selama penyimpanan
Metote analisis nilai reaktivitas TBA sosis merujuk pada (Tarladgis et
al.,1960). Sebanyak 10 g sampel ditimbang dan dilumatkan bersama 50 mL
aquabides dengan hand blender selama sekitar 2 menit. Sebelum larutan
sampel didestilasi, terlebih dahulu ditambahkan 47,5 mL aquabides dan 2,5
mL HCl 4 M. Proses destilasi dilakukan dengan pemanasan selama 10
menit hingga diperoleh cairan destilat sekitar 50 mL. Destilat yang
diperoleh dihomogenkan untuk kemudian dimasukkan dalam tabung
sebanyak 5 mL. Sebanyak 5 mL larutan TBA ditambahkan ke dalam tabung
dan selanjutnya dipanaskan pada suhu 80 °C selama 30 menit dalam
waterbath. Sampel dibiarkan hingga dingin untuk kemudian diinkubasi
selama 6 hari. Blanko dibuat menggunakan 5 mL aquabides ditambahkan
dengan 5 mL larutan TBA. Nilai absorbansi (D) sampel diukur pada panjang
80
gelombang 528 nm dengan larutan blanko sebagai titik awal. Larutan
sampel maupun blanko dimasukkan dalam cuvet berdiameter 1 cm. Kadar
reaktivitas TBA dinyatakan dalam mg Malonaldehyd/kg sampel. Bilangan
sampel TBA=7,8 D.
j. Aktivitas antioksidan Sosis selama Penyimpanan
Pengukuran aktivitas antioksidan merujuk pada metode DPPH
(Nahariah et al., 2014). DPPH ditimbang sebanyak 0,008 g kemudian
diencerkan ke dalam methanol sebanyak 50 mL. Absorban kontrol
diperoleh dari pengenceran DPPH dengan beberapa konsentrasi.
Pengenceran dilakukan dengan penambahan DPPH pada 9 mL methanol
dengan masing-masing konsentrasi 50 μL, 60μL, 70 μl, 80 μL, 90 μL, 100
μL. Serapan larutan diukur menggunakan spektrofotometer UV-VIS pada
panjang gelombang 515 nm. Sampel sosis sebanyak 1 g diencerkan ke
dalam 9 mL methanol dan dihomogenkan menggunakan vortex.
Pengenceran dilakukan dari 10-1 sampai 10-5. Setiap pengenceran diuji
sebanyak 0,2 mL larutan sampel ke tabung reaksi dan ditambahkan larutan
DPPH sebanyak 3,8 mL dan 0,2 mL methanol. Campuran sampel
dihomogenkan menggunakan vortex dan didiamkan selama 60 menit di
ruang gelap. Serapan larutan diukur menggunakan spektrofotometer UV-
VIS pada panjang gelombang 515 nm. Besarnya aktivitas antioksidan
dihitung dengan rumus: DPPH (%) = ( – )
x 100%
Keterangan: ADPPH = Absorbansi DPPH ASampel = Absorbansi Sampel
81
3.2.3 Analisis Data
Penelitian ini bersifat percobaan di laboratorium dengan
menggunakan rancangan acak lengkap 5 perlakuan level penambahan
gelatin (0%, 1% GKG, 2% GKG, 3% GKG dan 2% GKB) dengan 3 ulangan.
Adapun untuk mengetahui pengaruh penyimpanan terhadap sosis yang
diberi level gelatin dianalisis menggunakan rancangan acak lengkap pola
faktorial 5 perlakuan level penambahan gelatin ((0%, 1% GKG, 2% GKG,
3% GkG dan 2% GKB) dan 5 perlakuan lama penyimpanan (0 hari, 7 hari,
14 hari, 21 hari dan 28 hari), dengan 3 ulangan. Data yang menunjukkan
pengaruh perlakuan nyata pada taraf P<0,05, maka akan dilanjutkan
dengan uji Duncan. Analisis SEM diuji secara deskriptif kualitatif.
82
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tahap I: Karakterisasi Kulit dan Tulang Ikan Gabus pada Bobot Badan berbeda
1.1 Komposisi Kimia kulit dan Tulang Ikan Gabus
Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis komposisi kimia kulit dan
tulang ikan gabus, yang diharapkan akan menjadi informasi ilmiah
pemanfaatannya secara luas di masa datang. Suseno et al. (2014), Boran
dan Karacam (2011) menyatakan bahwa pemahaman terkait komposisi
proksimat merupakan hal penting untuk perencanaan dan komersialisasi
proses industri, sehingga menurut Yeannes dan Almandos (2003) dapat
mendukung penggunaan lebih lanjut melalui aplikasi teknologi yang
berbeda. Komposisi bahan baku juga bisa mempengaruhi kualitas dan
penanganan akhir bahan baku yang akan digunakan sesuai dengan
aplikasinya.
Ikan gabus adalah salah satu jenis ikan air tawar yang mulai
mengalami peningkatan dalam pemanfaatannya. Manfaat utamanya
sebagai sumber albumin telah mendorong dilakukannya penelitian pada
bagian-bagian tubuh lainnya sebagai upaya pemanfaatan ikan secara
keseluruhan (Haniffa et al., 2014). Sebagai produk samping hasil
pengolahan, kulit dan tulang ikan gabus dapat menimbulkan masalah jika
tidak tertangani secara baik dan tepat, tetapi mengetahui komposisi
83
kimianya akan memudahkan arah penggunaan dan pemaanfaatannya
sehingga dapat memberi nilai tambah (baik nilai guna maupun nilai
ekonomis) pada potensinya yang merupakan produk samping dengan
kandungan bahan organik dan non organik yang cukup tinggi.
1.1.1 Kadar Air
Terdapat indikasi semakin bertambah bobot badan maka kadar air
ikan gabus cenderung menurun, dan kadarnya lebih tinggi pada kulit
dibanding tulang. Kadar air kulit dan tulang ikan gabus pada bobot berbeda
tersaji pada Gambar 9.
Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 1a) menunjukkan bahwa bobot
badan, dan jaringan tubuh (kulit dan tulang ikan gabus) berpengaruh nyata
(P<0,05) terhadap kadar air, tetapi tidak terdapat interaksi di antara
perlakuan.
Uji Duncan menunjukan bahwa ada perbedaan kadar air antara
bobot 300-400 g dan 600-700 g (P<0,05), tetapi antara 600-700 gr sampai
900-1.000 g tidak berbeda nyata (P>0,05). Perubahan ini dapat dijelaskan
sebagai pengaruh proses biokimia dalam tubuh dimana ikan yang lebih
kecil relatif lebih banyak membutuhkan unsur nutrisi untuk bertumbuh
dibandingkan ikan yang lebih besar, sehingga air sebagai media
transportasi berbagai konstituen dalam tubuh kadarnya lebih tinggi untuk
mendukung kegiatan tersebut.
Air adalah penyusun utama tubuh ikan (Njinkoue et al., 2016) dan
terikat secara fisik (bebas) dan kimiawi (dengan protein). Sebagai penyusun
84
utama, air sangat dibutuhkan terutama pada proses metabolisme,
transportasi, dan berbagai aktivitas vital dan untuk mempertahankan sistem
keseimbangan tubuh ikan. Proses pertumbuhan menyebabkan perubahan
persentase kadar air. Pertambahan bobot badan mengakibatkan kadar air
cenderung menurun. Hal ini menurut Breck (2014) disinyalir oleh aktivitas
biokimia tubuh, dimana peningkatan massa tubuh bertanggung jawab atas
penurunan kadar air dan peningkatan kandungan protein. Saat bertumbuh,
pada banyak spesies ikan kadar lemak, protein dan energi meningkat yang
disertai oleh penurunan kadar air (Jonsson dan Jonsson, 1998).
Keterangan: Superskrip berbeda menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05) Gambar 9. Kadar air (%) ikan gabus berdasarkan jenis jaringan dan bobot
badan ikan berbeda (g/ekor). Sejumlah penelitian telah membuktikan dimana ukuran tubuh
berkontribusi terhadap komposisi kimia tubuh ikan, dan parameter yang
paling jelas adalah terjadinya penurunan kadar air tubuh dengan
bertambahnya ukuran tubuh ikan (Jonsson dan Jonsson, 1998; Naeem et
al., 2016; Salam dan Davies, 1994). Kadar air tubuh ikan muda lebih tinggi
daripada ikan yang lebih tua. Dengan demikian kadar air pada jaringan kulit
76,08±1,82b
44,11±2,20a
Jaringan
Kulit Tulang
62,26±17,09b
59,61±18,06a
58,41±17,47a
Bobot badan (g/ekor)
300-400 600-700 900-1000
85
dan tulang cenderung berubah seiring dengan perubahan yang terjadi pada
tubuh ikan secara keseluruhan seiring pertambahan bobot badan. Breck
(2014) mengemukakan bahwa ukuran tubuh berpengaruh terhadap
perubahan pada komposisi kimia tubuh ikan, meskipun pada bobot antara
600-700 g/ekor dan 900-1.000 g/ekor tidak menunjukkan perbedaan kadar
air.
Tingginya kadar air pada kulit dibanding pada tulang terkait dengan
fungsi kedua jaringan yang berbeda (Gambar 9), dan ini dapat dihubungkan
dengan kebutuhan air yang berbeda pada masing-masing jaringan dalam
aktivitas biokimianya. Hal ini sejalan dengan penelitian Muyonga et al
(2004a) pada ikan nile perch (Lates niloticus) yang menunjukkan kadar air
pada kulit ikan muda lebih tinggi dibanding ikan yang lebih tua. Demikian
halnya pada tulang, sebagaimana hasil pengamatan Njinkoue et al. (2016)
pada dua jenis ikan dengan ukuran berbeda yaitu ikan Pseudotolithus
elongatus (berat 176,46 ± 4,96 g) dan Pseudotolithus typus (berat 293,14 ±
12,13 g) memperlihatkan perbedaan pada kadar air berturut-turut yaitu
55,28 ± 0,58% dan 51,21 ± 1,11%, yang cenderung lebih rendah pada ikan
dengan berat yang lebih tinggi.
1.1.2 Kadar Protein
Protein merupakan komponen tubuh utama setelah air. Kadar
protein ikan gabus cenderung tidak menunjukkan perbedaan yang berarti
pada bobot badan berbeda, tetapi jaringan kulit memiliki kadar protein lebih
86
tinggi dibanding jaringan tulang ikan gabus. Kadar protein kulit dan tulang
ikan gabus pada bobot berbeda ditampilkan pada Gambar 10.
Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 1b) memperlihatkan tidak ada
pengaruh nyata (P>0,05) perbedaan bobot badan terhadap kadar protein,
tetapi antara jaringan menunjukkan ada pengaruh nyata (P<0,05), dan tidak
terdapat interaksi di antara perlakuan.
Keterangan: Superskrip berbeda menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05) Gambar 10. Kadar protein (%) ikan gabus berdasarkan jenis jaringan dan
bobot badan ikan berbeda (g/ekor).
Secara statistik pertambahan bobot badan ikan gabus tidak
menunjukkan adanya peningkatan kadar protein secara berarti. Meskipun
telah menjadi kesepakatan sejumlah peneliti (Naeem et al., 2016) bahwa
ada korelasi positif pertambahan bobot dengan peningkatan kadar protein
tubuh, tetapi pertambahan kadar protein ikan gabus dalam penelitian ini
tampaknya cukup lambat sehingga tidak menunjukkan perbedaan nyata
antara bobot yang berbeda (P>0,05). Lambatnya peningkatan kadar protein
ikan gabus seiring meningkatnya bobot badan mungkin ada kaitannya
17,45±1,30b
15,45±0,72a
Jaringan
Kulit Tulang
15,69±0,98
16,79±1,35
16,86±1,83
Bobot badan (g/ekor)
300-400 600-700 900-1000
87
dengan respon tubuh mensintesis protein, atau ada hubungannya dengan
ketersediaan pakan di lingkungan tempat ikan gabus ditangkap.
Ikan gabus hasil pengamatan adalah ikan gabus yang masa
pertumbuhannya berlangsung secara alami, sehingga kebutuhan nutrisi
hanya berasal dari habitatnya. Protein merupakan salah satu bagian paling
penting dalam diet pakan ikan, karena menentukan tingkat pertumbuhan.
Secara alamiah tubuh tidak mampu mensintesisnya, sehingga ketersediaan
pakan dengan kadar protein yang cukup dan seimbang dapat meningkatkan
pertumbuhan ikan. Fenomena ini mungkin menjadi salah satu faktor
sehingga kadar protein ikan yang diamati tidak memperlihatkan
pertambahan yang berarti. Selain faktor ketersediaan pakan, jenis kelamin
juga mungkin dapat mempengaruhi kadar protein tubuh. Jenis kelamin Ikan
yang digunakan dalam penelitian ini tidak dibedakan, bahkan selama masa
penelitian berdasarkan pengamatan lapangan, jumlah ikan betina jauh lebih
banyak, terutama pada ukuran ikan bobot 600-700 g dan 900-1.000 g. Hasil
penelitian Suwandi dkk (2014) juga memperlihatkan fenomena ini, dimana
rendemen daging beberapa jenis ukuran ikan gabus menunjukkan dimana
kisaran berat 0,5-1 kg adalah antara 17,44 ±1,09% sampai 18,01 ± 0,74% dan
jantan 19,34 ± 0,51% sampai 20,14 ± 1,87%.
Kadar protein kulit lebih tinggi dibanding protein tulang. Pada
Gambar 10 memperlihatkan kadar protein kulit lebih tinggi dibanding tulang
(P<0,05). Hasil ini lebih rendah dari yang dilaporkan pada kulit ikan gabus
oleh See et al. (2010) dan Wulandari dkk. (2015), masing-masing 19,25 ±
88
3,40% dan 20,36%. Tetapi, kadar protein tulang ikan gabus sedikit lebih
tinggi dari yang dilaporkan oleh Hemung (2013) pada tepung tulang ikan
tilapia yaitu 14,81 ± 0,33%, demikian halnya protein tulang ikan leather
jacket (Odonus niger) yang dilaporkan oleh Muralidharan et al. (2013) yaitu
11,86 ± 0,35%. Persentase protein tulang yang lebih rendah mungkin dapat
dikaitkan dengan proporsi mineral tulang yang relatif tinggi dibanding kulit.
1.1.3 Lemak
Terdapat kecenderungan pertambahan bobot badan ikan gabus
berkorelasi positif dengan peningkatan kadar lemak. Jaringan tulang
mengandung kadar lemak lebih tinggi dibanding kulit. Kadar lemak ikan
gabus kulit dan tulang pada bobot berbeda tersaji pada Gambar 11.
Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 1c) menunjukkan ada pengaruh
pertambahan bobot badan dan perbedaan jaringan tubuh (P<0,05)
terhadap kadar lemak ikan, dan tidak terdapat interaksi diatara keduanya.
Adanya pertambahan bobot badan cenderung mengakibatkan
terjadinya peningkatan terhadap kadar lemak ikan gabus. Hasil uji Duncan
sebagaimana pada Gambar 11, kadar lemak ikan gabus bobot 300-400 g
lebih rendah dibanding pada bobot 600-700 g (P<0,05) tetapi antara 600-
700 dan 900-1.000 g tidak berbeda nyata (P>0,05). Meskipun terdapat
kecenderungan bahwa semakin bertambah bobot badan maka kadar lemak
semakin meningkat (Abdel-Tawwab et al. 2015), tetapi kadarnya dapat
bervariasi di antara jenis ikan berbeda (Henderson dan Tocher, 1987;
Yeannes dan Almandos, 2003). Beberapa penelitian lain menunjukkan
89
variasi kadar lemak pada ikan dari species berbeda antara lain Ama-Abasi
dan Ogar (2012) pada ikan gabus Nigeria (Parachanna obscura) pada
bobot 130-195 g yaitu 17,10 ± 0,01 sampai 17,40 ± 0,02 mg/100 g, dan
Zuraini et al. (2006) pada Channa striata yaitu 5,7 ± 1,9 %. Adanya
perbedaan ini dapat disebabkan oleh faktor fisiologis seperti jenis kelamin
dan reproduksi, musim dan kondisi lingkungan dimana ikan tersebut
tertangkap (Shim et al., 2017; Suseno et al., 2014; Boran dan Karaçam,
2011; Puwastien et al., 1999). Patrick Saoud et al. (2008) mengemukakan
bahwa persentase lipid dalam jaringan menurun saat pemijahan, yang
menurut Boran dan Karaçam (2011) menjadi salah satu faktor
menyebabkan komposisi kimia ikan bervariasi.
Keterangan: Superskrip berbeda menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05) Gambar 11. Kadar lemak (%) ikan gabus berdasarkan jenis jaringan dan
bobot badan ikan berbeda (g/ekor). Berdasarkan pada jenis jaringan (Gambar 11), kadar lemak pada
kulit ikan gabus lebih rendah dibandingkan pada tulangnya (P<0,05). Hasil
yang diperoleh See et al. (2010) pada kulit ikan gabus lebih tinggi yaitu 4,21
± 0,78%. Kadar lemak lebih tinggi pada tulang dibanding pada kulit ikan
2,33±1,30a
3,59±0,84b
Jaringan
Kulit Tulang
1,60±1,03a
3,69±0,59b
3,59±0,84b
Bobot badan (g/ekor)
300-400 600-700 900-1000
90
gabus, menurut Toppe et al. (2007) mungkin dapat dihubungkan dengan
adanya proses absorbsi partikel ke dalam tulang selama proses fraksinasi.
kadar lemak pada beberapa jenis ikan air laut menunjukkan kadar lemak
tulang yang cukup bervariasi (Guiry et al., 2016; Toppe et al., 2007), tulang
ikan leather jacket (Odonus niger) yaitu 0,91 ± 0,02% (Muralidharan et al.,
2013) dan termasuk tepung tulang ikan tilapia kadar lemaknya yaitu 5,82 ±
0,04% (Hemung, 2013).
Untuk diketahui bahwa kulit ikan gabus cukup tipis, dan dari
penampakannya tidak mengindikasikan kemampuan jaringan untuk
menyimpan lemak dalam kapasitas besar. Pada penampakan secara
mikrostruktur (Gambar 16) dijumpai adanya partikel yang diduga sebagai
lemak, tetapi tidak menyebar secara merata. Hal ini mungkin dapat menjadi
alasan bahwa ikan gabus yang diamati termasuk jenis ikan dengan
perlemakan rendah, dibandingkan dengan beberapa jenis ikan yang
dilaporkan oleh Szpak (2011), Yeannes dan Armandos (2003). Faktor
habitat, baik ketersediaan pakan maupun kondisi fisiologis mungkin
menjadi faktor pertimbangan sehingga kadar lemak terdeposit dalam kadar
yang tinggi atau rendah pada kulit ikan. Lemak yang ditemukan pada kulit
biasanya dalam bentuk deposit lemak. Umumnya, hewan menggunakan
lemak sebagai sumber energi yang tercadang dalam tubuh mereka dan
disimpan tidak hanya di serabut otot tapi juga di jaringan adiposa seperti di
bawah kulit (Anusuya dan Hemalatha, 2014). Pada dasarnya, kandungan
lemak ikan merupakan nutrisi yang sangat diperlukan bagi proses biologis
91
dalam tubuh. Namun, selama konversi kolagen menjadi gelatin, lemak tidak
diperlukan karena kehadirannya dapat mempengaruhi kualitas gelatin.
1.1.4 Kadar Abu
Kadar abu ikan gabus berdasarkan bobot badan memperlihatkan
kadar yang cenderung meningkat seiring dengan pertambahan bobot
badan. Adapun kadar abu kulit lebih rendah dibanding pada tulangnya.
Gambar 12 menyajikan hasil analisis kadar abu kulit dan tulang ikan gabus
berdasarkan bobot badan berbeda.
Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 1d) menunjukkan bahwa bobot
badan dan jenis jaringan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kadar abu
ikan gabus, dan terdapat interaksi di antara keduanya (P<0,05).
Pertambahan bobot badan cenderung menyebabkan terjadinya
peningkatan terhadap kadar abu. Hasil Uji Duncan memperlihatkan dimana
kadar abu ikan gabus bobot 300-400 g berbeda dengan bobot yang lebih
besar (P<0,05), tetapi antara bobot 600-700 g dan 900-1.000 g tidak
berbeda nyata (P>0,05). Pertambahan bobot badan menyebabkan proses
mineralisasi cenderung meningkat. Salam dan Davies (1994) yang
melakukan pengamatan pada ikan pike (Esox lucius L.) menemukan
peningkatan kadar abu yang cukup konstan, bahkan korelasinya dengan
ukuran tubuh adalah negatif sebagaimana kadar air. Hal yang sama
dijumpai oleh Naeem et al. (2016) bahwa ada hubungan negatif antara
peningkatan bobot tubuh dengan kadar air dan kadar abu. Tetapi temuan
ini tidak dapat dianggap telah mewakili secara tepat kadar abu pada ikan
92
gabus pada bobot berbeda, karena adanya sejumlah faktor yang dapat
mempengaruhi, karena itu perlu validasi dengan melakukan pengamatan
berulang pada rentang bobot yang lebih beragam dan pada kondisi
fisiologis berbeda. Mungkin juga, ketersediaan mineral di habitat akan
memberi andil terhadap persentase kadar abu ikan, sebagaimana bahwa
kadar abu adalah representasi dari kandungan mineral tubuh yang
terakumulasi di dalam tubuh ikan.
Keterangan: Superskrip berbeda menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05) Gambar 12. Kadar abu (%) ikan gabus berdasarkan jenis jaringan dan
bobot badan ikan berbeda (g/ekor).
Kadar abu kulit ikan gabus sangat rendah dibanding kadar abu
tulangnya (Gambar 12). Kadar abu kulit ikan gabus sangat kecil dan sedikit
berbeda dengan hasil sebelumnya yang dilaporkan oleh See et al. (2010)
yaitu 0,55 ± 0,04%, dan Wulandari dkk. (2015) yaitu 0,67%. Boran dan
Karacam (2011) melaporkan berbagai kadar abu pada beberapa spesies
ikan laut seperti golden mullet (Mugil auratus Risso) 1,90 ± 0,21%, shad
(Alosa fallax Lacepede) 1,98 ± 0,1%, garfish (Belone belone, L.) 1,73 ±
0,54%, dan horse mackarel (Trachurus trachurus L.) 1,80 ± 0,48%. Namun,
0,34±0,21a
31,25±1,17b
Jaringan
Kulit Tulang
15,21±16,01a
16,0,5±17,34b
16,13±17,45b
Bobot badan (g/ekor)
300-400 600-700 900-1000
93
Alfaro et al. (2013) menunjukkan kandungan abu di kulit ikan haram wamil
(Oreochromis urolepis hornorum) pada berat 700 ± 100 g adalah 4,2 ±
0,35%, bahkan lebih tinggi pada leader jacket yang dilaporkan oleh
Muralidharan et al. (2013) sebesar 25,03 ± 0,45%. Muralidharan et al.
(2013) Menjelaskan bahwa tingginya kandungan abu pada kulit ada
hubungannya dengan komposisi biokimia dan tingkat ketebalan kulit ikan.
Kadar abu tulang ikan gabus adalah sekitar 31,25% dari total bahan
penyusun tulang, yang lebih rendah dari kadar abu tulang ikan
Pseudotolithus elongatus dan Pseudotolithus typus yaitu berturut-turut
39,30 ± 0,44% dan 45,54 ± 0,35% (Njinkoue et al., 2016). aktivitas tubuh
yang tinggi menurut Toppe et al. (2007) seperti berenang mengindikasikan
adanya kebutuhan elastisitas tulang yang lebih baik untuk mendukung
aktivitas fisik yang tinggi, yang berimplikasi pada rendahnya kadar abu,
sebagaimana yang dijumpai pada beberapa jenis ikan. Ada interaksi antara
bobot badan dan jenis jaringan terhadap kadar abu (P<0,05), dan
menunjukkan semakin besar bobot badan ikan gabus maka kadar mineral
pada tulang cenderung semakin tinggi.
1.2 Kadar Hidroksiprolin, Kadar Kolagen, dan Kadar Kolagen
Berbasis Protein Kulit Dan Tulang Ikan Gabus pada Bobot Berbeda.
Tidak ada pengaruh peningkatan kadar hidroksiprolin terhadap
pertambahan bobot badan, sehingga ini tidak berimplikasi pada
peningkatan kadar kolagen maupun kadar kolagen berbasis protein pada
bobot ikan gabus berbeda. Hal yang sama menunjukkan kadar
94
hidroksiprolin dan total kolagen pada kulit tidak berbeda dengan tulang,
tetapi kadar kolagen berbasis protein lebih tinggi pada tulang dibanding
kulit.
Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 1e, 1f dan 1g) menunjukkan
tidak ada pengaruh nyata bobot badan maupun jaringan tubuh ikan gabus
(P>0,05) terhadap kadar hidroksiprolin, kadar kolagen dan total kolagen
berbasis protein. Hasil yang sama juga menunjukkan bahwa tidak ada
pengaruh pertambahan bobot badan ikan gabus berbeda terhadap kadar
kolagen berbasis protein (P>0,05) tetapi antara kulit dan tulangnya
berpengaruh nyata (P<0,05).
Keterangan: Superskrip berbeda menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05) Gambar 13. Kadar hidroksiprolin (mg/100g) ikan gabus berdasarkan jenis
jaringan dan bobot badan ikan berbeda (g/ekor).
Uji Duncan menunjukkan tidak adanya perbedaan nyata dalam
kadar hidroksiprolin pada bobot ikan gabus berbeda (P>0,05). Tampaknya,
hal ini mengindikasikan bahwa kebutuhan ikan gabus terhadap asam amino
hidroksiprolin untuk proses metabolism tubuh selama masa
pertumbuhannya relatif sama diantara ukuran bobot ikan gabus yang
11,64 ± 0,43
11,51 ± 0,89
Jaringan
Kulit Tulang
11,86±0,69
11,35±0,83
11,54±0,52
Bobot badan (g/ekor)
300-400 600-700 900-1000
95
diamati. Demikian pula pada kulit dan tulang tidak menunjukkan adanya
perbedaan pada kadar asam amino ini (P>0,05), sebagaimana yang
ditampilkan pada Gambar13.
Kadar hidroksiprolin kulit ikan gabus adalah 11,64 ± 0,43 mg/100 g
sampel, relatif berbeda dari yang dilaporkan oleh Blanco et al. (2017) pada
kulit beberapa jenis ikan laut, yaitu 1,23 ± 0,11 % pada paus biru (Prionace
glauca), 1,85 ± 0,14 % pada small-spotted catshark (Scyliorhinus canicula),
2,69 ± 0,26 % pada yellowfin tuna (Thunnus albacares) dan 1,08 ± 0,16 %
pada swordfish (Xiphias gladius), atau yang dilaporkan oleh Silva et al.
(2014) yaitu 12,1 ± 0,3 mg/kg pada Rachycentron canadum dan 11,6 ± 0,2
mg/kg pada Micropogonias furnieri. Kadar hidroksiprolin tulang ikan gabus
adalah 11,51 ± 0,89 mg/100 g, dibandingkan dengan kadar hidroksiprolin
tulang ikan turbot (Scophthalmus maximus L.) muda yaitu 5,601 ± 0,130
(g/kg basis basah) sebagaimana yang dilaporkan Zhang et al. (2015).
Adanya perbedaan kadar hidroksiprolin antara jenis ikan berbeda
menunjukkan bahwa kebutuhan masing-masing ikan dan habitat hidupnya
berpengaruh terhadap kadar asam amino tersebut.
Hidroksiprolin adalah asam amino hasil sintesis dari prolin dengan
bantuan enzim prolyl-hydroksilase sebagai katalis, dan sebagai ko-
faktornya adalah zat besi, asam askorbat dan oksigen (Albaugh et al., 2017;
Zhang et al., 2015). Kedua asam amino ini menurut Li et al. (2009) dianggap
merupakan asam amino esensial kondisional (Conditionally Essential
Amino Acid, CEAA), karena asam amino ini menurutnya harus ada dalam
96
diet akibat tingkat pemanfaatannya lebih besar dari yang mampu disentesis
oleh tubuh. Ini telah dibuktikan oleh Aksnes et al. (2008) dan Blanco et al.
(2017) terhadap suplementasi hidroksiprolin, dan mengindikasikan adanya
peningkatan pada kadar hidroksiprolin jaringan dan kadar kolagen yang
terkandung dalam otot ikan. Hidroksiprolin adalah salah satu asam amino
penting dan unik, dan bersama prolin merupakan penyusun utama protein
kolagen tubuh yang berfungsi mempertahankan struktur dan fungsi sel (Wu
et al. 2011).
Secara statistik bobot berbeda menunjukkan tidak ada perbeda
nyata (P>0,05). Adanya kesamaan kadar kolagen pada bobot berbeda
diduga tidak lepas dari kadar hidroksiprolin sebagai faktor kunci yang
berkontribusi terhadap kolagen tubuh, sebagaimana bahwa kadar
hidroksiprolin pada bobot berbeda menunjukkan tidak ada perbedaan, disisi
lain tubuh cenderung mengalami pertumbuhan. Faktor lain mungkin dapat
dikaitkan dengan kemampuan tubuh dalam mensitesis dan ketersediaan
sumber makanan di habitatnya. Kadar kolagen ikan gabus lebih rendah dari
yang telah dilaporkan oleh Blanko et al. (2017) pada beberapa jenis ikan
laut. Adanya perbedaan kadar kolagen ini dapat dikaitkan dengan
sturktur/tipe kolagen yang berbeda, tergantung pada species, jenis organ
maupun lingkungan hidup ikan (Blanko et al., 2017; Duan et al., 2009), dan
faktor teknis-analisis serta komposisi asam iminonya (Liu et al., 2015).
Uji Duncan menunjukkan tidak ada perbedaan total kadar kolagen
antara kulit dan tulang ikan gabus (P>0,05), tetapi kadar kolagen berbasis
97
protein pada tulang cenderung lebih tinggi dibanding pada kulit (P<0,05).
Kadar kolagen kulit ikan gabus adalah sekitar 9,53 ± 0,18% atau setara
dengan 53,62 ± 1,40% dari total protein kulit; sedangkan pada tulang ikan
gabus adalah sekitar 8,90 ± 0,32%, atau setara dengan 59,81 ± 0,99% dari
total protein tulang. Perbedaan kadar kolagen berbasis protein antara kulit
dan tulang ikan gabus mungkin ada kaitannya dengan kebutuhan pada
masing-masing bagian tubuh untuk aktivitas biologisnya, atau faktor
ketersediaaan sumber pakan di lingkungan yang mengindikasikan bahwa
ada perbedaan kebutuhan asam amino tersebut untuk aktivitas yang
berbeda, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
Keterangan: Superskrip berbeda menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05) Gambar 14. Kadar kolagen (%) ikan gabus berdasarkan jenis jaringan dan
bobot badan ikan berbeda (g/ekor).
Kolagen adalah salah satu jenis protein jaringan ikat selain elastin
dan retikulin (Ockerman dan Hansen, 2000), dan persentase kolagen lebih
besar dibanding keduanya, yaitu sekitar 30% dari protein kolagen tubuh
(Wu et al., 2011). Kadar kolagen pada setiap species dapat berbeda,
tergantung lingkungan hidupnya; demikian pula pada setiap bagian dari
9.53± 0,18
8,85 ± 0,84
Jaringan
Kulit Tulang
9,49±0,55
9,08±0,66
9,21±0,41
Bobot badan (g/ekor/)
300-400 600-700 900-1000
98
individu yang sama, tergantung pada fungsi masing-masing bagian
tersebut. Serabut kolagen berfungsi sebagai penyokong, sekaligus
penghubung dan pengikat dengan bagian tubuh lainnya. Serabut kolagen
pada kulit ikan terkoneksi dengan otot dan tulang (Elliot, 2011). Hal ini
pulalah yang menyebabkan kadar kolagen pada kulit dan tulang relatif
berbeda. Perbedaan kadar kolagen dapat berimplikasi pada jumlah protein
yang dapat diekstrak.
Kolagen merupakan protein khas yang hanya terdapat pada jaringan
ikat dengan untaian asam amino yang dicirikan oleh adanya asam amino
glisin, prolin dan hidroksiprolin, dan untuk memastikan adanya kolagen
maka menurut Albaugh et al. (2017) uji asam amino hidroksiprolin adalah
cara yang tepat untuk menandainya.
Keterangan: Superskrip berbeda menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05) Gambar 15. Kadar kolagen berbasis protein (%) ikan gabus berdasarkan
jenis jaringan dan bobot badan ikan berbeda (g/ekor).
Telah dijelaskan di atas bahwa kadar kolagen berbasis protein pada
tulang ikan gabus cenderung lebih tinggi dibanding kolagen berbasis protein
pada kulit. Perbedaan ini terkait dengan fungsi kedua jenis jaringan yang
53,62±1,40a59,81
±0,99b
Jaringan
Kulit Tulang
60,83±7,21
54,34±5,84
54,98±3,99
Bobot badan (g/ekor)
300-400 600-700 900-1000
99
berbeda. Tampaknya tulang membutuhkan kolagen yang lebih banyak
untuk mendukung fungsi biologisnya sebagai pelindung dan penyanggah
tubuh dibanding pada kulit. Ada korelasi proses mineralisasi dengan
keberadaan kolagen dalam tulang, Olszta et al. (2007) mengemukakan
bahwa fibril kolagen menjadi tempat dimana kristal hidroksiapatit ditanam,
dan keberadaan kolagen menurut Gautieri et al. (2010) merupakan sarana
penyangga bagi berlangsungnya aktivitas fisiologi tulang dalam memberi
tekanan geser antara kristal hidroksiapapit dan untuk membuang energi
mekanik melalui pembongkaran molekuler dan geser antarmolekul.
1.3 Profil Asam Amino
Asam amino adalah representasi dari kandungan protein. Ikan gabus
merupakan sumber asam amino potensial dengan manfaatnya dalam
pengobatan dan penyembuhan luka. Profil asam amino kulit dan tulang ikan
pada bobot berbeda tersaji pada Tabel 2.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kulit dan tulang ikan gabus
termasuk bagian dari sisa hasil pengolahan yang mengandung asam-asam
amino dengan kadar yang cukup tinggi pada kulit dan relatif rendah pada
tulangnya (Lampiran 2). Terdapat 18 jenis asam amino yang diidentifikasi
dari metode yang digunakan. Kulit dan tulang ikan gabus mengandung
semua asam amino esensial (histidin, arginin, treonin, lisin, metionin, valin,
isoleusin, leusin, phenilalanin dan triptofan), beberapa asam amino non
esensial (serin, asam aspartate, asam glutamate, alanine, dan tirosin) dan
asam amino esensial secara kondisional (glisin, prolin dan sistin). Glisin,
100
prolin dan sistin (termasuk hidroksiprolin) menurut Li et al. (2009), Li dan
Wu (2017) sekarang ini telah dianggap sebagai asam amino esensial bagi
sejumlah hewan termasuk di antaranya ikan, sebagaimana pembuktian
yang telah dilakukan oleh Aksnes et al. (2008), Liu et al. (2014), Xie et al.
(2016), Zhang et al. (2015). Meskipun kadar asam amino pada kulit lebih
tinggi dibandingkan tulang, tetapi antara asam-asam amino yang sama
relatif berada pada kisaran yang tidak berbeda jauh, sebagaimana yang
terdapat pada Tabel 2.
Tabel 2. Profil kandungan asam amino kulit dan tulang ikan gabus pada bobot badan berbeda (residu/100 residu)
Asam amino Kulit ikan gabus Tulang ikan gabus A B C A B C Histidin 1,18 1,26 1,19 1,54 1,48 1,53 Serin 4,10 4,10 3,97 4,18 4,10 4,16 Arginin 8,40 8,70 8,25 7,46 7,24 7,78 Glisin 24,49 24,83 23,81 22,48 21,33 23,34 Asam aspartate 5,46 5,33 6,02 6,21 6,76 5,71 Asam glutamate 10,89 10,62 11,67 12,03 12,84 11,50 Threonin 3,53 3,49 3,37 3,60 3,54 3,66 Alanin 9,83 9,64 10,12 9,67 9,88 9,57 Prolin 12,79 12,66 12,33 11,84 11,45 12,12 Sistin 0,05 0,04 0,03 0,07 0,04 0,06 Lisin 5,67 5,09 5,49 5,51 5,92 5,22 Tirosin 0,11 1,02 0,96 1,43 1,43 1,43 Metionin 1,64 1,72 1,58 1,45 1,41 1,57 Valin 3,09 2,89 2,83 3,25 3,22 3,19 Isoleuin 2,08 1,91 1,86 2,18 2,21 2,14 Leusin 3,68 3,42 3,32 3,88 3,92 3,84 Phenilalanin 2,90 3,18 3,11 3,05 3,10 3,05 Triptophan 0,10 0,11 0,10 0,16 0,13 0,12 Total 100 100 100 100 100 100
Ketarangan: A: Kulit dan tulang dari ikan gabus bobot badan 300-400 g/ekor; B: Kulit dan tulang ikan gabus bobot badan 600-700 g/ekor; C: Kulit dan tulang dari ikan gabus bobot badan 900-1.000 g/ekor.
101
Asam amino memiliki fungsi vital dalam proses biokimia (Mat Jais et
al., 1994). Mereka juga merupakan prekursor penting untuk sintesis
berbagai molekul serta regulasi berbagai fungsi metabolik, seperti
kesehatan, pertumbuhan, perkembangan, reproduksi, dan homeostasis
(Wu, 2009; Haniffa et al., 2014; Zuraini et al., 2006). Kulit dan tulang ikan
gabus mengandung asam amino yang hampir lengkap sebagaimana yang
dijumpai pada daging ikan gabus (Zuraini et al., 2006; Tan dan Azhar, 2014;
Mat Jais et al., 1994; Gam et al., 2005), meskipun masing-masing jaringan
tersebut memiliki mekanisme dan fungsi yang berbeda, karena terkait
dengan komposisi masing-masing asam aminonya.
Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa asam amino yang
paling banyak ditemukan pada kulit dan tulang ikan gabus adalah glisin.
Glisin adalah asam amino penyusun semua jenis kolagen dan elastin serta
berperan penting dalam nutrisi dan metabolisme (Li dan Wu, 2017).
Beberapa literatur masih mencantumkan bahwa glisin termasuk asam
amino non esensial karena secara endonegeus dapat disintesis di dalam
tubuh (Wu et al., 2013), tetapi penelitian terbaru membuktikan bahwa
jumlah glisin yang disintesis secara in vivo tidak cukup untuk sintesis protein
(termasuk kolagen), glutathione dan heme (Liu et al., 2017) sehingga glisin
menjadi pertimbangan dalam diet hewan.
Proline tidak hanya berfungsi sebagai komponen utama senyawa
kolagen, tetapi juga berfungsi dalam penyembuhan luka, reaksi
antioksidan, dan respon kekebalan (Wu et al., 2011; Li dan Wu, 2017), dan
102
merupakan substrat utama untuk produksi arginin yang diperlukan dalam
mempertahankan hemodinamika normal dan transportasi nutrient dalam
tubuh (Li dan Wu, 2017). Prolin (bersama dengan glisin dan hidroksiprolin)
adalah asam amino utama dalam protein kolagen, mengandung tiga rantai
polipeptida (dua rantai α1 dan satu rantai α2) dan merupakan komponen
ekstraselular utama pada jaringan ikat seperti kulit dan tulang (Wu et al.,
2011). Prolin bersama dengan hidroksiprolin penting untuk biosintesis,
struktur, dan kekuatan kolagen, serta memperkuat karakteristik heliks dari
molekul kolagen (Albaugh et al., 2017)
Glutamat termasuk asam amino utama pada pangan hewani,
ditemukan tinggi pada tulang maupun kulit ikan gabus. Asam amino ini
termasuk asam amino non esensial, dan merupakan substrat bagi sejumlah
asam amino lain termasuk prolin (Wu et al., 2011). Persentase glutamate
pada kulit ikan gabus adalah tertinggi ketiga setelah prolin, tetapi pada
tulang kadarnya sedikit lebih tinggi dari prolin. Kadar glutamate pada kulit
dan tulang sedikit lebih tinggi dari glutamate yang ditemukan dalam casein
yaitu 9,38 ± 0,12% (Li et al., 2011). Glutamat kulit relatif semakin meningkat
dengan bertambahnya bobot badan, tetapi pada tulang cenderung terjadi
sedikit penurunan dengan pertambahan bobot badan. Glutamat termasuk
asam amino yang menghasilkan cita rasa kuat (umami). Kadar glutamate
yang tinggi pada kulit atau tulang ikan gabus mungkin dapat menjadi
pertimbangan memanfaatkan produk turunannya menjadi produk enhancer.
103
Asam amino alanine dan aspartate cenderung meningkat pada kulit
ikan gabus, tetapi cenderung menurun pada tulangnya seiring dengan
pertambahan bobot sebagaimana alanin dan asam aspartate pada daging
ikan gabus yang juga cenderung menurun seiring dengan meningkatnya
ukuran tubuh (Gam et al., 2005). Arginine adalah asam amino penting
lainnya, berperan dalam sintesis prolin, yang juga selanjutnya dapat
mensintesis hidroksiprolin (Li dan Wu, 2017) yang digunakan dalam
pembentukan jaringan ikat (Gam et al., 2005). Asam amino ini bersama
dengan asam amino lain seperti valin, histidin, glisin, prolin, dan alanin
secara sinergis menginduksi pembentukan jaringan baru untuk
penyembuhan luka (Gam et al., 2005). Arginin termasuk asam amino
esensial, kadarnya pada kulit cenderung tinggi pada bobot 600-700 g
dibanding pada bobot 300-400 g dan terendah pada bobot 900-1.000 g;
adapun pada tulang cenderung meningkat dengan bertambahnya bobot
badan.
Lisin dan metionin termasuk asam amino esensial lain yang
dianggap penting dan merupakan indikator kualitas protein ikan (termasuk
hewan secara umum) (Shim et al., 2017). Asam amino ini pada kulit dan
tulang dijumpai dalam kadar yang lebih rendah (Tabel 4) dibanding pada
daging ikan gabus, yaitu sekitar 9,70 ± 0,57 % pada lisin dan 3,40 ± 0,11
pada metionin (Haniffah et al., 2014).
Jenis asam amino penting lainnya adalah sistein dan triptofan,
dengan kadar keduanya yang sangat kecil (< 1%), baik pada kulit maupun
104
tulang ikan gabus. Baik sistein maupun triptofan hasil penelitian Toppe et
al. (2007) pada beberapa jenis tulang ikan laut menunjukkan kadar yang
relatif tinggi. Rendahnya kadar kedua asam amino ini diduga dapat
disebabkan oleh faktor seperti rusak selama hidrolisis asam; atau
ketersediaannya dalam makanan yang kurang memadai. Terdapat
perbedaan kadar sistein pada kulit atau tulang ikan gabus dengan daging
ikan gabus, sebagaimana hasil penelitian Haniffah et al. (2014) yaitu 0,90 ±
0,15%, dan yang dilaporkan Mat Jais et al. (1993) pada daging ikan gabus
sub-spesies berbeda dengan C. striatus yaitu 3,83 ± 0,17% dan pada C.
melanosoma yaitu 3,56 ± 0,11%.
1.4 Mikrostruktur Kulit dan Tulang Ikan Gabus
Pengamatan mikrostruktur kulit ikan gabus menggunakan scanning
elektron mikroscopis (SEM) disajikan pada Gambar 16. Profil mikrostruktur
kulit ikan gabus menyerupai fibril dengan penampang serat lebih panjang
yang merupakan jaringan ikat yang mengandung kolagen Gambar 16-b.
Selain serat, kulit ikan gabus juga memperlihatkan dengan sejumlah
endapan yang diduga sebagai deposit lemak dengan struktur menyerupai
bintik putih (Gambar 16-a). Bintik-bintik putih ini merupakan endapan lipid
di bawah kulit, yang cenderung menjadi kontributor lipid setelah proses
ekstraksi kulit menjadi gelatin.
105
A B C
D E F Gambar 16. Mikrostruktur Kulit dan Tulang Ikan Gabus (Perbesaran ×
500). Sampel kulit ikan gabus ukuran 300-400 g/ekor (A); 600-700 g/ekor (B); 900-1.000 g/ekor (C); sampel tulang ukuran 300-400 g/ekor (D); 600-700 g/ekor (E) 900-1.000 g/ekor (F); deposit lemak(a); jaringan ikat kulit tempat kolagen diinvenstasikan bersama dengan penyusun jaringan ikat yang lain (b); komposit organik-anorganik penyusun tulang (c); kristal hidroksiapatit yang terinvestasi dalam bundle kolagen (d).
Mikrostruktur jaringan tulang ikan (Gambar 16-C, 16-D dan 16-E)
sulit diidentifikasi karena matrik jaringan tulang ikan yang sangat padat,
dimana antara mineral (hidroksiapatite) dengan bahan organik lain (protein,
lemak, karbohidrat dan air) saling menyatu dalam bentuk komposit (16-c).
Secara umum, kulit dan tulang ikan gabus adalah sumber kolagen
potensial. Sejumlah penelitian telah menguatkannya antara lain oleh Duan
et al. (2009), Kittiphattanabawon et al. (2005), Muralidharan et al. (2013).
a
a a
a b
b
b
c
d
d
d
c
c
106
Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa
kolagen merupakan penyusun utama jaringan ikat dalam bentuk jaringan
matriks ekstraselluler. Mereka tersusun atas untaian fibril yang terdiri dari
rangkaian heliks yang diperankan oleh tiga asam amino utama, glisin, prolin
dan hidroksiprolin.
Kolagen adalah salah satu protein utama jaringan ikat, terdiri dari
fibril dan tersusun dalam rangkaian heliks yang membentuk struktur
jaringan yang kuat dan elastis, sayangnya pada Gambar 16 rangkaian ini
tidak nampak karena keterbatasan tingkat perbesaran sampel. Jaringan
ikat kebanyakan ditemukan di lapisan dermis dan merupakan penyusun
utama kulit (Elliot, 2011) yang memberi kekuatan dan kelenturan pada kulit
ikan. Pada tulang, protein yang didominasi oleh kolagen merupakan
komposit penyusun bersama dengan bahan anorganik (hidroksiapatite)
bersama protein non-kolagen (Olszta et al., 2007) lemak dan air (Szpak,
2011).
Kolagen bersama dengan mineral menyusun matriks tulang yang
memberi kekuatan dan elastisitas pada tulang sehingga tulang tidak
menjadi kaku. Tidak ada perbedaan yang mencolok antara mikrostruktur
sampel pada bobot badan berbeda baik pada kulit maupun tulang. Namun,
Suárez et al. (2015) menyarankan bahwa umur ikan menjadi faktor yang
perlu dipertimbangkan; termasuk kegiatan budidaya menjadi penting
dengan pertimbangan diet yang tepat dalam rangka mengarahkan potensi
dan tujuan pemanfaatan.
107
1.5 Kandungan Mineral Kulit dan Tulang Ikan Gabus
Kandungan abu dari bahan anorganik adalah akumulasi mineral
yang terkandung dalam bahan baku. Secara umum, SEM-EDS (Scanning
Electron Microscopis-Energy Dispersive Spectroscopy) dapat mendeteksi
adanya sejumlah mineral yang terkandung dalam kulit dan tulang yang
diamati, tetapi hanya mampu menjangkau pada bagian permukaan saja.
Kelemahan alat ini mengakibatkan sulitnya memprediksi kadar mineral
sampel berdasarkan satuan bobot sampel. Distribusi mineral pada
permukaan sampel yang diamati tidak seragam, baik secara jenis maupun
kuantitas, dikarenakan sampel uji yang dianalisis dalam bentuk tepung
dengan tingkat homogenitas yang relatif tidak merata. Tetapi setidaknya
alat ini dapat membantu memprediksi kandungan mineral dari suatu bahan
material.
Berdasarkan data perkiraan mineral pada Tabel 3 menunjukkan
kandungan mineral tertinggi terdapat pada tulang yaitu kalsium kemudian
fosfor, adapun mineral lain berada dalam kisaran yang lebih rendah. Mineral
kalsium dan fosfor juga relatif tinggi pada kulit, meskipun kulit dari bobot
600-700 g memperlihatkan kadar forfor yang cukup rendah dibanding bobot
lain. Adanya perbedaan ini mungkin dapat dihubungkan dengan
terbatasnya kemampuan kerja alat mendeteksi hingga bagian terdalam dari
sampel serta tingkat kehomogenan sampel yang diamati. Hal ini juga terjadi
pada jenis mineral lainnya.
108
Sejumlah mineral sebagaimana pada Tabel 3 adalah mineral penting
yang dibutuhkan oleh tubuh, meskipun beberapa di antaranya seperti
titanium termasuk mineral yang terinduksi masuk dalam tubuh ikan gabus
sehingga dijumpai ada dalam sampel uji. Mengetahui kandungan mineral
kulit dan tulang akan bermanfaat terutama sebagai informasi awal, apakah
bahan baku ini aman dari paparan sejumlah logam berat yang dapat
terakumulasi dalam produk turunan kulit dan tulang yang akan dihasilkan.
Tabel 3. Komposisi mineral (%) yang terkandung dalam kulit dan tulang ikan yang diestimasi menggunakan SEM-EDS
Mineral Kulit ikan gabus Tulang ikan gabus A B C A B C Kalsium (Ca) Fosfor (P) Magnesium (Mg) Natrium (Na) Kalium (K) Belerang (S) Klorin (Cl) Besi (Fe) Mangan (Mn) Aluminium Al) Chromium (Cr) Silikon (Si) Titanium (Ti)
5,60 6,29 2,10 5,51 3,14 8,99 3,38 nd 3,15 nd 1,16 nd nd
5,50 2,74 1,37 4,66 2,58 2,82 2,52 nd nd nd nd nd 4,00
4,28 6,27 4,45 7,43 1,29 6,31 1,92 nd nd 4,46 nd 2,34 0,74
22,00 12,95 1,34 2,59 0,41 0,44 0,05 nd nd 0,41 nd 0,21 nd
18,58 12,44 1,76 2,87 0,51 0,61 0,32 nd nd 0,69 nd 0,44 0,18
21,74 12,82 1,29 2,33 0,63 0,53 nd 0,18 0,13 0,35 0,09 0,12 nd
Keterangan: A: Kulit dan tulang dari ikan gabus bobot badan 300-400 g/ekor; B: Kulit dan tulang ikan gabus bobot badan 600-700 g/ekor; C: Kulit dan tulang dari ikan gabus bobot badan 900-1.000 g/ekor. nd= tidak terdeteksi
Rivas et al. (2014) menyatakan bahwa mineral memainkan peran
penting dalam proses metabolisme, dan bertanggung jawab untuk
mengendalikan fungsi biologis tubuh. Sejumlah mineral menurut Atanasoff
et al. (2013) tidak terpengaruh oleh bobot ikan namun dapat dikaitkan
109
dengan faktor-faktor seperti musim, usia, kondisi reproduksi, sumber
pakan, dan habitat ikan.
Tahap II: Penentuan Suhu dan Waktu Ekstraksi Terbaik terhadap
Karakteristik Gelatin Kulit dan Tulang Ikan Gabus 2.1 Pengaruh Suhu dan Waktu Ekstraksi terhadap Rendemen,
Kekuatan Gel, Viskositas dan pH Gelatin Kulit dan Tulang Ikan Gabus
Kualitas dan kuantitas gelatin ditentukan oleh jenis bahan baku,
metode yang digunakan serta parameter proses yang diterapkan. Beberapa
karakteristik utama seperti kekuatan gel, rendemen, viskositas dan pH
gelatin telah diamati dalam penelitian ini untuk menjadi informasi penting
dan dapat menjadi acuan dalam menghasilkan gelatin kulit dan tulang ikan
gabus.
Metode perlakuan mulai dari awal hingga akhir proses ekstraksi
untuk menghasilkan gelatin yang berkualitas telah dilakukan oleh sejumlah
peneliti. Variasi penggunaan larutan pre-treatment maupun suhu dan lama
ekstraksi adalah metode konvensional yang masih digunakan untuk
merubah kolagen menjadi gelatin. Dalam penelitian tahap ini, telah
dilakukan penelitian tentang pengaruh suhu dan waktu ekstraksi berbeda
untuk melihat pengaruhnya terhadap kuantitas (rendemen) dan kualitas
(kekuatan gel, viskositas dan pH) gelatin ikan gabus. Nilai kekuatan gel
tertinggi dijadikan acuan bagi sampel gelatin untuk dianalisis lebih lanjut.
Arah penelitian ini adalah menghasilkan gelatin yang sesuai untuk dijadikan
sebagai binder dalam pengolahan daging. Berdasarkan standard yang
110
ditetapkan oleh GMIA (2012) kekuatan gel gelatin yang dapat digunakan
sebagai binder dalam pengolahan daging termasuk sosis adalah 175-275
g.
2.1.1 Rendemen Gelatin Ikan Gabus
Rendemen gelatin yang dihasilkan dalam proses konversi kolagen
kulit dan tulang ikan gabus menjadi gelatin menggunakan suhu dan waktu
ekstraksi berbeda memperlihatkan kecenderungan rendemen gelatin kulit
lebih tinggi dibanding rendemen tulang. Rendemen gelatin kulit dan tulang
ikan gabus yang dipengaruhi oleh suhu dan waktu ekstraksi tersaji pada
Gambar 17.
Hasil analisis keragaman menunjukkan ada pengaruh nyata antara
komponen bahan baku, suhu dan waktu secara independen terhadap
rendemen gelatin yang dihasilkan (P<0,05), demikian juga interaksi antara
bahan baku dan waktu (P<0,05), dan interaksi antara bahan baku dan suhu
(P<0,05), tetapi interaksi antara suhu dan waktu, dan interaksi antara bahan
baku, suhu dan waktu tidak berpengaruh nyata terhadap rendemen gelatin
(P>0,05).
Rendemen gelatin kulit dan tulang ikan gabus dipengaruhi oleh jenis
bahan baku, suhu dan waktu ekstraksi. Karim dan Bhat (2009);
Kołodziejska et al. (2008) menjelaskan bahwa konversi kolagen menjadi
gelatin dapat dipengaruhi oleh parameter pengolahan, antara lain sifat
bahan baku dan metode ekstraksi, termasuk kondisi pre-treatment, serta
suhu dan waktu ekstraksi. Penggunaan bahan baku yang berbeda
111
menghasilkan rendemen yang berbeda, dan hasil penelitian menunjukkan
rendemen gelatin kulit ikan gabus lebih tinggi dibanding gelatin tulang ikan
gabus.
Perlakuan suhu ekstraksi terhadap rendemen gelatin
memperlihatkan adanya perbedaan antara perlakuan, dimana semakin
tinggi suhu ekstraksi, rendemen gelatin cenderung semakin meningkat. Hal
yang sama pada perlakuan waktu ekstraksi, menunjukkan adanya
perbedaan rendemen pada setiap perlakuan, semakin lama waktu ekstraksi
maka rendemen gelatin juga semakin meningkat. Suhu terbaik untuk
menghasilkan rendemen tertinggi pada kulit dan tulang adalah 70 ºC.
112
Tabel 4. Pengaruh perlakuan suhu dan waktu ekstraksi terhadap rendemen (%) gelatin kulit dan tulang ikan gabus.
Bahan baku Suhu (°C) Waktu
Sub rata-rata Rata-rata total 12 18 24
50 2,57 ± 0,26 2,63 ± 0,37 3,19 ± 0,32 2,80 ± 0,41c Tulang 60 3,78 ± 0,17 4,79 ± 0,12 6,46 ± 0,32 5,01 ± 1,19d 5,49 ± 2,67a
70 8,19 ± 0,18 8,91 ± 0,23 8,90 ± 0,11 8,66 ± 0,39e
Sub rata-rata tulang
4,85 ± 2,57D 5,44 ± 2,77D 6,18 ± 2,49E
50 14,22 ± 0,81 16,06 ± 1,09 16,30 ± 0,33 15,52 ± 1,20f Kulit 60 14,33 ± 0,06 16,64 ± 0,07 16,70 ± 0,94 15,89 ± 1,26f 16,45 ± 1,51b
70 16,83 ± 2,15 18,25 ± 0,27 18,70 ± 0,50 17,93 ± 1,40g
Sub rata-rata kulit 15,12 ± 1,21F 16,98 ± 1,13G 17,23 ± 1,25G
Sub rata-rata 8,40 ± 6,40 9,35 ± 7,39 9,75 ± 7,18
(waktu*suhu) ns 9,06 ± 5,78 10,72 ± 6,49 11,58 ± 5,64 12,51 ± 4,93 13,58 ± 5,12 13,80 ± 5,38
Sub rata-rata 9.16 ± 6.61h
(Suhu) 10.45 ± 5.72i
13.30 ± 4.87j
Sub rata-rata (waktu)
9,98 ± 5,70A 11,21 ± 6,28B 11,71 ± 6,00C
Kerangan: a-b Huruf yang berbeda antara bahan baku berbeda menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05). A-C Huruf kapital yang berbeda pada waktu ekstraksi berbeda menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05). D-G Huruf kapital yang berbeda pada interaksi antara bahan baku dan waktu berbeda menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05). c-g Huruf yang berbeda pada interaksi antara bahan baku dan suhu ekstraksi menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05). h-j Huruf yang berbeda pada suhu ekstraksi berbeda menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05). ns adalah tidak berbeda nyata (P>0,05).
113
Gambar 17. Pengaruh perlakuan suhu dan waktu ekstraksi terhadap
rendemen (%) gelatin kulit dan tulang ikan gabus
Rendemen adalah salah satu faktor penting yang selalu
dipertimbangkan pada konversi kolagen menjadi gelatin karena terkait
dengan efektivitas proses yang diterapkan dan keuntungan secara
ekonomis. Hasil penelitian pada interaksi antara bahan baku dan suhu
ekstraksi menunjukkan adanya perbedaan terhadap rendemen gelatin yang
dihasilkan. Antara gelatin kulit ikan gabus dan tulang ikan gabus yang
diekstraksi pada suhu yang sama menghasilkan rendemen yang berbeda.
Rendemen gelatin kulit ikan gabus lebih tinggi dibanding gelatin tulang ikan
gabus. Berbedanya rendemen kulit dan tulang disebabkan karena
perbedaan karakteristik dari kedua jenis bahan baku, dan menurut
Muyonga et al. (2004a) ini terkait dengan jumlah dan tipe crosslink dari
masing-masing kulit dan tulang sehingga mempengaruhi tingkat kelarutan
kolagen selama proses ekstraksi. Selama proses ekstraksi, suhu
mempengaruhi tingkat solubilitas kolagen, dimana tingginya suhu
2.573.78
8.19
14.22 14.33
16.83
2.63
4.79
8.91
16.06 16.6418.25
2.8
5.01
8.66
16.3 16.7
18.7
0
2
4
6
8
10
1214
16
18
20
50 ºC 60 ºC 70 ºC 50 ºC 60 ºC 70 ºC
Tulang Kulit
Rend
emen
(%)
12 jam 18 jam 24 jam
114
menyebabkan struktur ikatan kolagen terbuka yang mengakibatkan
terlepasnya ikatan dari molekul protein kolagen.
Semakin lama waktu ekstraksi, rendemen yang diperoleh cenderung
meningkat, baik pada kulit maupun tulang ikan gabus. Waktu ekstraksi
merupakan faktor yang paling nyata mempengaruhi rendemen gelatin yang
diperolen (Hanjabam et al., 2015; Ahmad dan Benjakul, 2011); demikian
halnya semakin tinggi suhu yang digunakan maka rendemen gelatin
cenderung meningkat. Selama proses ekstaksi dalam waterbath ikatan
hidrogen yang menstabilkan triple helix kolagen induk mengalami
kerusakan, menyebabkan terjadinya transisi dari heliks ke koil, sehingga
terjadi konversi kolagen menjadi larutan gelatin (Benjakul et al., 2009).
Lama esktraksi untuk menghasilkan rendemen gelatin terbaik pada kulit
adalah 18 jam, sedangkan pada tulang 24 jam.
Meskipun kedua jenis bahan baku ini menunjukkan respon yang
sama terhadap peningkatan rendemen sebagai efek suhu dan waktu yang
meningkat, tetapi secara umum, rendemen tulang relatif lebih rendah
dibanding rendemen kulit. Kulit tersusun atas bahan organik yang mudah
mengalami denaturasi akibat perlakuan kimiawi dibanding tulang, karena
struktur tulang yang terdiri dari komposit organik dan anorganik (Szpak,
2011). Proses demineralisasi tulang menjadi ossein diawal sebelum proses
pre-treatment menyebabkan terlepasnya sejumlah mineral, sebagaimana
yang disarankan Muyonga et al. (2004a). Proses demineralisasi
menyebabkan terlepasnya komponen mineral yang mengisi ruang antar
115
molekul kolagen pada matriks tulang, sehingga memungkinkan untuk
terjadinya konversi kolagen menjadi gelatin secara lebih mudah.
Sims dan Bailey (1992) menjelaskan bahwa kolagen kulit dari hewan
yang belum dewasa (immature) mengandung intermediate crosslink
dehydroxylysinonorleucine dan ketika mencapai dewasa diubah menjadi
ikatan silang trivalent histidinohydroxylysinonorleucine yang lebih stabil,
sedangkan kolagen pada tulang mengandung hydroxylysinoketonorleucine
kemudian diubah menjadi pyridinoline, dan menurut Bailey et al. (1998)
pyridinoline ini lebih stabil terhadap pemanasan. Fenomena ini mungkin
merupakan salah satu faktor yang mengakibatkan rendemen tulang
cenderung lebih rendah dibanding kulit akibat proses konversi kolagen yang
lebih lambat pada tulang dibanding kulit. Rendemen tertinggi pada kulit dan
tulang berturut-turut adalah 16,45 ± 1,51% dan 5,49 ± 2,67%, sedikit lebih
tinggi dari hasil yang diperoleh Muyonga et al. (2004a) pada kulit dan tulang
ikan Lates niloticus, yaitu berturut-turut 12,3 ± 2,1-16,0 ± 0,3% dan 1,3 ±
1,0-2,4 ± 0,7%.
2.1.2 Kekuatan Gel
Kekuatan gel adalah parameter utama kualitas gelatin. Sifat
fungsional ini dapat dijadikan metode untuk mengukur dampak dari faktor
produksi dan untuk mengoptimalkan kualitas produk akhir. Kekuatan gel
antara kulit dan tulang ikan gabus cenderung berbeda, dimana kekuatan
gel pada kulit relatif lebih tinggi dibanding kekuatan gel pada tulang.
116
Pengaruh perlakuan suhu dan waktu ekstraksi terhadap kekuatan gel
gelatin ikan gabus tersaji pada Gambar 18.
Berdasarkan analisis keragaman, kekuatan gel gelatin hasil
penelitian secara independen nyata dipengaruhi oleh jenis bahan baku
(P<0,05), suhu ekstraksi (P<0,05), dan waktu ekstraksi (P<0,05). Interaksi
antara bahan baku terhadap suhu ekstraksi (P<0,05); bahan baku terhadap
waktu ekstraksi (P<0,05); suhu ekstraksi terhadap waktu ekstraksi
(P<0,05); dan antara bahan baku, suhu ekstraksi dan waktu ekstraksi
(P<0,05), berpengaruh terhadap kekuatan gel gelatin ikan gabus.
Hasil uji lanjut Duncan pada Tabel 5 menunjukkan ada perbedaan
kekuatan gel perlakuan bahan baku antara kulit dan tulang, dimana
kekuatan gel kulit lebih tinggi dibanding pada tulang. Tingginya kekuatan
gel pada kulit dibanding tulang dapat dikaitkan pada perbedaan tingkat dan
jenis ikatan silang yang berbeda di antara kedua jenis bahan baku tersebut
(Sims dan Bailey, 1992), sehingga perbedaan ini mempengaruhi
kemudahan kolagen untuk larut dan diubah menjadi gelatin (Muyonga et al.,
2004a).
117
Tabel 5. Pengaruh perlakuan suhu dan waktu ekstraksi terhadap kekuatan gel (g force) gelatin ikan gabus
Bahan baku Suhu (°C) Waktu
Sub rata-rata Rata-rata total 12 18 24
50 41,37 ±7,42g 55,37 ± 5,11g 64,67 ± 4,68gh 53,80 ± 11,36c
Tulang 60 48,00 ± 5,32g 144,77 ± 20,02hi 239,53 ± 20,68j 144,10 ± 84,22d 117,95 ± 72,06a
70 104,23 ± 16,35h 189,83 ± 28,83ij 173,80 ± 27,77i 155,96 ± 44,95de
Sub rata-rata 64,53 ± 31,35C 129,99 ± 61,87D 159,33 ± 78,46E
50 225,33 ± 7,67j 126,40 ± 13,22h 109,63 ± 23,58h 153,79 ± 55,94de
Kulit 60 278,37 ± 22,23k 253,77 ± 51,66jk 108,23 ± 27,10h 213,46 ± 85,53f 181,01 ± 70,48b
70 246,13 ± 47,22jk 173,23 ± 16,16i 108,00 ± 21,40h 175,79 ± 65,72e
Sub rata-rata 249,94 ± 35,09G 184,47 ± 62,36F 108,62 ± 20,92D
Sub rata-rata 133,35 ± 100,99I 90,89 ± 39,93H 87,15±28,94H
(waktu*suhu) 163,19 ± 127,00JK 199,27 ± 69,23K 173,77±75,08JK
175,18 ± 83,90JK 181,53 ± 22,79JK 140,90±42,31IJ
Sub rata-rata 103,79 ± 64,65l
(suhu) 178,78 ± 89,74m
165,87 ± 55,56m
Sub rata-rata (waktu)
157,24 ± 100,71B 157,23 ± 66,46B 133,98 ± 61,51A
Kerangan: a-b Huruf yang berbeda antara jenis bahan baku menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05). A-B Huruf kapital yang berbeda pada waktu ekstraksi berbeda menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05). C-G Huruf kapital yang berbeda pada interaksi antara bahan baku dan waktu berbeda menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05). c-f Huruf yang berbeda pada interaksi antara bahan baku dan suhu ekstraksi menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05). l-m Huruf yang berbeda pada suhu ekstraksi berbeda menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05). g-k Huruf yang berbeda pada interaksi antara bahan baku, suhu dan waktu berbeda menunjukkkan berbeda nyata (P<0,05).
118
Gambar 18. Pengaruh perlakuan suhu dan waktu ekstraksi terhadap kekuatan gel (g force) gelatin ikan gabus
Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa kekuatan gel
dipengaruhi oleh suhu ekstraksi, tetapi antara suhu ekstraksi 60 °C dan 70
°C tidak berbeda nyata (P>0,05). Interaksi antara bahan baku dan suhu
ekstraksi memperlihatkan ada perbedaan di antara perlakuan, tetapi
perlakuan antara tulang pada ekstraksi suhu 60 °C, 70 °C dan kulit pada
suhu ekstraksi 50 °C tidak berbeda nyata (P>0,05). Hal yang sama pada
perlakuan antara tulang pada ekstraksi suhu 70 °C dengan kulit pada
ekstraksi suhu 50 °C dan 70 °C tidak berbeda nyata (P>0,05). Pada suhu
yang sama, antara tulang dan kulit memiliki kekuatan gel yang berbeda, dan
tampaknya untuk mencapai kekuatan gel yang setara dengan kekuatan gel
pada kulit, maka tulang membutuhkan suhu yang relatif lebih tinggi yaitu 70
°C dibanding pada kulit hanya 50 °C. Perbedaan ini dapat dihubungkan
dengan adanya pengaruh dari karakteristik bahan baku kolagen yang
41.37 48,00
104.23
225.33
278.37246.13
55.37
144.77
189.83
126.4
253.77
173.23
64.67
239.53
173.8
109.63 108.23 108
0
50
100
150
200
250
300
50 ºC 60 ºC 70 ºC 50 ºC 60 ºC 70 ºC
Tulang Kulit
Keku
atan
gel
(g)
12 jam 18 jam 24 jam
119
digunakan (Karim dan Bhat, 2009). Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa
antara kulit dan tulang ada perbedaan pada jumlah dan struktur ikatan
silang (Sims dan Bailey, 1992), sehingga proses ekstraksi yang sama dapat
menghasilkan kekuatan gel yang berbeda. Pada kulit antara suhu 50 °C
dan 60 °C terdapat peningkatan terhadap kekuatan gel, tetapi terjadi
penurunan ketika suhu ekstraksi ditingkatkan sebanyak 10 derajat.
Terjadinya penurunan pada kekuatan gel dengan bertambahnya
suhu ekstraksi mungkin dapat dikaitkan dengan tingkat kestabilan ikatan
silang pada kulit lebih rendah dibanding pada tulang, sebagaimana yang
dijelaskan oleh Sims dan Bailey (1992), Bailey et al. (1998) bahwa adanya
pyridinoline mengakibatkan tulang lebih stabil terhadap pemanasan. Hal ini
mengakibatkan ketika terpapar pada suhu antara 60 oC sampai 70 oC,
kekuatan gel kulit cenderung mengalami penurunan dan sebaliknya pada
tulang cenderung meningkat.
Faktor lain yang dapat menyebaban terjadinya perbedaan pada
kekuatan gel adalah distribusi berat molekul dan komposisi asam amino.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Muralidharan et al. (2012) pada kondisi
ekstraksi kulit cumi cumi (Loligo formosana) bahwa pemutusan rantai pada
suhu yang lebih rendah (50-60 °C) lebih sedikit dibanding pada suhu yang
lebih tinggi, menyebabkan rantai α dan ᵝ yang lebih panjang pada suhu
yang lebih rendah ter-agregasi membentuk jaringan gel yang lebih kuat
dibanding pada rantai α yang lebih pendek dan lebih sedikit, dimana
keadaan ini ditemukan pada proses ekstraksi pada suhu lebih tinggi (70°C).
120
Suhu yang lebih tinggi menyebabkan terjadinya degradasi yang
menghasilkan fragmentasi protein yang dapat mengurangi kemampuan
rantai α menjadi kuat secara tepat. Komposisi asam amino terutama prolin
dan hidroksiprolin turut mempengaruhi kemampuan gelatin terhadap
kekuatan gel, semakin tinggi kadar prolin dan hidroksiprolin, maka kekuatan
gel semakin besar. Kandungan hidroksiprolin yang lebih rendah dalam
gelatin yang diekstraksi pada suhu lebih tinggi relatif menghasilkan
kekuatan gel yang lebih rendah, dibandingkan dengan gelatin yang
diekstraksi pada suhu yang lebih rendah (Balti et al., 2011). Proline dan
hidroksiprolin dianggap bertanggung jawab atas stabilitas struktur triple-
helix kolagen melalui ikatan hidrogen antara molekul air bebas dan
kelompok hidroksil hidroksiprolin dalam gelatin (Fernandez-Diaz et al.,
2001). Struktur super-heliks dari gelasi gel distabilkan oleh hambatan sterik
(Muralidharan et al., 2012), dan hambatan ini ditentukan oleh cincin pirolidin
(struktur pusat asam amino prolin dan hidroksiprolin) dari asam imino selain
ikatan hidrogen yang terbentuk di antara residu asam amino (Liu et al.,
2015)
Perbedaan waktu ekstraksi terhadap kekuatan gel sebagaimana
pada Tabel 5 menunjukkan ekstraksi selama 12 jam dan 18 jam tidak
memperlihatkan adanya perbedaan pada kekuatan gel, tetapi berbeda
dengan lama ekstraksi 24 jam. Ada kecenderungan semakin lama waktu
ekstraksi kekuatan gel semakin menurun. Interaksi antara bahan baku
dengan lama ekstraksi menunjukkan terdapat perbedaan nyata (P<0,05)
121
terhadap kekuatan gel gelatin. kekuatan gel pada interaksi perlakuan
tulang dengan lama ekstraksi 18 jam tidak berbeda nyata dengan perlakuan
kulit yang diekstraksi selama 24 jam (P>0,05). Hasil analisis
mengindikasikan bahwa semakin lama waktu ekstraksi pada tulang maka
kekuatan gel cenderung meningkat, sebaliknya semakin lama waktu
ekstraksi pada kulit maka kekuatan gel cenderung menurun.
Interaksi antara suhu ekstraksi dan waktu ekstraksi menunjukkan
ada perbedaan kekuatan gel di antara perlakuan (P<0,05). Ekstraksi suhu
50 °C selama 24 jam tidak berbeda dengan ekstraksi selama18 jam,
demikian halnya antara ekstraksi suhu 50 °C selama 12 jam dengan 70 °C
selama 24 jam tidak ada perbedaan (P>0,05). Perlakuan pada suhu dan
lama ekatraksi 70 °C selama 24 jam; 60 °C selama 12 jam; 60 °C selama
24 jam; 70 °C selama12 jam; dan 70 °C selama 18 jam tidak menunjukkan
adanya perbedaan (P>0,05), tetapi berbeda dengan perlakuan ekstraksi
suhu 60 °C selama 18 jam (P<0,05).
Hubungan antara bahan baku, suhu dan waktu ekstraksi terhadap
kekuatan gel gelatin ikan gabus menunjukkan adanya interaksi di antara
perlakuan (P<0,05). Tetapi, beberapa perlakuan menunjukkan tidak ada
perbedaan, antara lain perlakuan tulang yang diekstraksi pada suhu 50 °C
selama 12 jam; tulang pada suhu 60 °C selama 12 jam; tulang pada suhu
50 °C selama 18 jam; dan tulang pada suhu 50 °C selama 24 jam (P>0,05),
sebagaimana pada perlakuan antara tulang yang diekstraksi pada suhu 50
°C selama 24 jam; tulang pada suhu 70 °C selama 12 jam; kulit pada suhu
122
70 °C selama 24 jam; kulit pada suhu 60 °C selama 24 jam; kulit pada suhu
50 °C selama 24 jam; kuilt pada suhu 50 °C selama 18 jam; dan kulit pada
suhu 60 °C selama 18 jam (P>0,05). Hal yang sama ditemukan pada
perlakuan interaksi antara tulang pada suhu 60 °C selama 18 jam; tulang
pada suhu 70 °C selama 24 jam; tulang pada suhu 70 °C selama 18 jam,
dan perlakuan kulit pada suhu 70 °C selama 18 jam tidak menunjukkan
perbedaan nyata (P>0,05). Perlakuan antara tulang pada suhu 70 °C
selama 18 jam, tulang pada suhu 60 °C selama 24 jam; kulit pada suhu 50
°C selama 12 jam; kulit pada suhu 70 °C selama 12 jam; dan kulit pada
suhu 60 °C selama 18 jam juga memperlihatkan keadaan yang sama
(P>0,05), dan interaksi perlakuan antara kulit pada suhu 70°C selama 12
jam; 60 °C selama 18 jam; dan 60 °C selama 12 jam juga tidak ada
perbedaan (P>0,05). Tetapi di antara perlakuan interaksi di atas, kekuatan
gel terbaik terdapat pada perlakuan kulit yang diekstraksi pada suhu 60 °C
selama 12 jam, sedangkan pada tulang pada suhu yang sama dengan lama
ekstraksi 24 jam dengan kekuatan gel berturut-turut adalah adalah 278,37
± 22,23 g dan 239,53 ± 20,68 g.
Secara umum, untuk menghasilkan kekuatan gel tertinggi pada kulit
ikan gabus digunakan waktu ekstraksi yang lebih singkat (12 jam) dibanding
ekstraksi pada tulang ikan gabus (24 jam) pada suhu yang sama. Kedua
jenis bahan baku ini relatif berbeda dalam komposisinya. Kulit tersusun oleh
bahan organik dan sangat sedikit anorganik, sebaliknya pada tulang
mengandung organik dengan bahan anorganik yang cukup tinggi (Olszta et
123
al., 2007; Szpak, 2011), tetapi proses demineralisasi (Muyonga et al.,
2004a, Muyonga et al., 2004b) dengan maksud melepaskan kandungan
mineral dalam tulang telah dilakukan dan metode ini selanjutnya cukup
efektif membantu terjadinya proses ekstraksi kolagen menjadi gelatin pada
tulang. Distribusi berat molekul yang diprakarsai oleh rantai α dan β mungkin
memberi kontribusi pada kemampuan bahan baku terhadap proses
ekstraksi yang berlangsung sehingga pemutusan rantai α dan ᵝ
mempengaruhi panjang rantai dan agregasi protein untuk membentuk
kekuatan gel gelatin. Proses ekstraksi menyebabkan terjadinya pemutusan
rantai peptide, semakin pendek rantai yang terbentuk, semakin rendah
kekuatan gel yang dihasilkan. Terjadinya pemutusan rantai ikatan ini
dipengaruhi oleh suhu dan waktu. Semakin tinggi suhu dan semakin lama
kulit diekstraksi, kekuatan gel pada kulit semakin menurun, sebaliknya pada
tulang semakin lama waktu yang digunakan maka kekuatan gelnya relatif
semakin meningkat sampai batas tertentu.
2.1.3 Viskositas Gelatin
Viskositas adalah sifat fisik komersial terpenting kedua dari gelatin
setelah kekuatan gel. Rataan Viskositas antara kulit dan tulang ikan gabus
yang dieksktrak menggunakan suhu dan lama ekstraksi berbeda
menunjukkan viskositas yang tidak berbeda, tetapi ada kecenderungan
viskositas gelatin kulit ikan menurun seiring semakin bertambahnya suhu
dan lama waktu ekstraksi, sebaliknya pada tulang cenderung meningkat,
sebagaimana pada Gambar 19.
124
Hasil analisis statistik terhadap viskositas gelatin ikan gabus
menunjukkan ada pengaruh perlakuan suhu (P<0,05) terhadap viskositas
gelatin ikan gabus, tetapi jenis bahan baku dan waktu ekstraksi tidak
berpengaruh nyata (P>0,05). Antara bahan baku terhadap suhu dan antara
bahan baku terhadap waktu ekstraksi berpengaruh (P<0,05) terhadap
viskositas gelatin, adapun antara suhu dan waktu; dan antara bahan baku,
suhu dan waktu interaksinya tidak menunjukkan pengaruh nyata (P>0,05).
Hasil analisis uji Duncan pengaruh suhu terhadap nilai viskositas
gelatin menunjukkan antara suhu 50 °C berbeda dengan suhu 60 °C dan
70 °C (P<0,05), tetapi antara 60 °C dan 70 °C tidak berbeda nyata (P>0,05).
Terdapat kecenderungan semakin tinggi suhu, viskositas semakin
meningkat.
Hasil analisis uji Duncan interaksi antara bahan baku dengan waktu
ekstraksi menunjukkan tidak ada perbedaan jenis bahan baku dengan lama
ekstraksi antara tulang selama 12 jam dengan kulit selama 24 jam dan
tulang selama 18 jam (P>0,05). Demikian halnya pada perlakuan tulang
dengan lama ekstraksi 18 jam tidak berbeda nyata dengan kulit dengan
lama ekstraksi 18 jam dan 12 jam, dan tulang pada lama ekstraksi 12 jam
(P>0,05). Viskositas kulit cenderung menurun seiring dengan lamanya
waktu ekstraksi, sebaliknya pada tulang cenderung meningkat seiring
bertambah lamanya waktu ekstraksi.
125
Tabel 6. Pengaruh perlakuan suhu dan waktu ekstraksi terhadap viskositas (cP) gelatin ikan gabus.
Bahan baku Suhu (°C) Waktu (jam)
Sub rata-rata Rata-rata totalns 12 18 24
50 5,97 ± 0,13 6,07 ± 0,06 6,28 ± 0,04 6,10 ± 0,16c
Tulang 60 6,36 ± 0,52 6,56 ± 0,09 6,92 ± 0,15 6,61 ± 0,37d 6,54 ± 0,39
70 6,80 ± 0,13 6,96 ± 0,22 6,94 ± 0,29 6,90 ± 0,21e
Sub rata-rata 6,38 ± 0,23 A 6,53 ± 0,08 AB 6,71 ± 0,13 B
50 6,88 ± 0,09 6,68 ± 0,24 6,58 ± 0,07 6,71 ± 0,19de Kulit 60 6,80 ± 0,04 6,82 ± 0,09 6,50 ± 0,35 6,71 ± 0,24de 6,64 ± 0,19
70 6,72 ± 0,21 6,54 ± 0,06 6,28 ± 0,04 6,51 ± 0,22d
Sub rata-rata 6,80 ± 0,13B 6,68 ± 0,18B 6,45 ± 0,22A
Sub rata-rata 6,43 ± 0,51 6,37 ± 0,37 6,43 ± 0,17
(Waktu*suhu)ns 6,58 ± 0,41 6,69 ± 0,16 6,71 ± 0,33
6,76 ± 0,16 6,75 ± 0,27 6,61 ± 0,41
Sub rata-rata 6,41 ± 0,36a
(Suhu) 6,66 ± 0,31b
6,71 ± 0,28b
Rata-rata totalns 6,59 ± 0,38 6,60 ± 0,32 6,58 ± 0,32 Keterangan: a-b Huruf yang berbeda pada suhu ekstraksi berbeda menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05). A-B Huruf kapital yang berbeda pada interaksi antara bahan baku dan waktu berbeda menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05). c-e Huruf yang berbeda pada interaksi antara bahan baku dan suhu ekstraksi menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05). ns adalah tidak berbeda nyata.
126
Gambar 19. Pengaruh perlakuan suhu dan waktu ekstraksi terhadap Viskositas (cP) gelatin kulit dan tulang ikan gabus
Hubungan interaksi antara bahan baku dengan suhu ekstraksi
menunjukkan ada perbedaan viskositas perlakuan tulang pada suhu
ekstraksi 50 °C dengan perlakuan yang lain (P<0,05). Perlakuan kulit pada
suhu ekstraksi 70 °C dengan tulang pada suhu 60 °C, kulit pada suhu 60
°C dan suhu 50 °C, tidak menunjukkan adanya perbedaan (P>0,05).
Perlakuan kulit pada suhu 60 °C dan 50 °C juga tidak berbeda nyata dengan
perlakuan tulang pada suhu 70 °C (P>0,05). Interaksi antara kulit terhadap
suhu estraksi menunjukkan adanya kecenderungan semakin rendah suhu
ekstraksi maka viskositas semakin tinggi, sebaliknya pada tulang
cenderung meningkat seiring dengan bertambahnya suhu ekstraksi.
Viskositas gelatin secara umum dipengaruhi suhu dan waktu
ekstraksi. Hasil analisis menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu ekstraksi
pada kulit ikan gabus, viskositas cenderung semakin menurun. Sebaliknya
pada tulang ikan, ada kecenderungan semakin bertambah suhu ekstraksi
5.976.07
6.28
6.886.68
6.58
6.366.56
6.92 6.8 6.82
6.5
6.86.95 6.94
6.726.54
6.28
5.45.65.8
66.26.46.66.8
77.2
50 ºC 60 ºC 70 ºC 50 ºC 60 ºC 70 ºC
Tulang Kulit
Visk
osita
s (c
P)
12 jam 18 jam 24 jam
127
maka viskositas relatif meningkat. Viskositas gelatin pada kulit dapat
dikaitkan dengan terjadinya denaturasi kolagen selama proses ekstraksi,
tingginya suhu ekstraksi mengakibatkan terjadinya pelepasan ikatan
hydrogen, dimana diketahui ikatan ini berfungsi dalam mempertahankan
kestabilan struktur triple heliks kolagen (Giménez et al., 2005). Fenomena
ini mungkin mengakibatkan terjadinya pemutusan untaian protein kolagen
menjadi tunggal atau double heliks, akibatnya rantai heliks menjadi acak
sehingga mempengaruhi viskositas gelatin. Berbeda keadaannya dengan
gelatin tulang selama pemanasan. Hal yang tidak dapat diabaikan adalah
bahwa tulang memiliki struktur yang lebih kompak dan padat, dimana
struktur tulang sendiri terdiri dari komposit mineral dan kolagen (Olszta et
al., 2007). Meskipun proses demineralisasi telah dilakukan (Muyonga et al.,
2004a; Muyonga et al., 2004b) tetapi adanya kemungkinan faktor belum
sempurnanya proses demineralisasi mengakibatkan tautan antara mineral
dan kolagen masih berlangsung, dimana mineral mengambil tempat di
antara serat kolagen (Eriksen, 2010). Hal ini yang mengakibatkan proses
ekstraksi pada suhu tinggi belum memberi pengaruh terhadap struktur triple
heliks kolagen tulang sehingga proses pemutusan ikatan hydrogen belum
dapat menyebabkan terjadinya ketidakstabilan pada triple helix dibanding
pada kulit. Pyridoline yang terbentuk pada tulang juga merupakan faktor
penyebab tulang relatif stabil terhadap pemanasan, menyebabkan proses
hidrolisis melambat. Hal ini dapat mengakibatkan viskositas gelatin tulang
relatif lebih tinggi dibanding viskositas kulit pada suhu yang sama.
128
Hal yang sama dijumpai pada pengaruh waktu ekstraksi terhadap
viskositas. Semakin lama waktu ekstraksi, viskositas pada gelatin tulang
ikan gabus cenderung meningkat, meskipun secara statistik lama ekstraksi
18 jam tidak berbeda dengan 24 jam, dan sebaliknya pada gelatin kulit ikan
gabus cenderung menurun. Untuk mencapai viskositas yang relatif sama,
maka dibutuhkan waktu ekstraksi 24 jam pada tulang dan 12 jam pada kulit.
Keadaan ini mengindikasikan bahwa terjadinya proses hidrolisis pada
tulang lebih lambat dibanding pada kulit, sebagai faktor perbedaan
karakteristik dari kedua jenis bahan baku.
Komposisi asam amino juga berkontribusi terhadap perbedaan
viskositas termasuk hidroksiprolin dan alanin, tetapi dijelaskan bahwa
bahwa asam amino ini tidak sepenuhnya berkontribusi terhadap viskositas
gelatin (Giménez et al., 2005). Susunan rantai asam amino yang panjang
dapat meningkatkan viskositas gelatin. Suhu yang tinggi maupun waktu
ekstraksi yang cukup lama mungkin secara efektif dapat memutus rantai
peptide menjadi fragmen yang lebih pendek, tetapi jika proses pemutusan
ikatan rantai polipeptida pada ikatan yang tepat maka viskositas mungkin
bisa lebih meningkat (Said, 2013). Asumsi yang sama dinyatakan oleh
Nurilmala dkk. (2006) bahwa pemanasan yang tinggi mengakibatkan
terjadinya hidrolisis lanjutan pada gelatin sehingga akan memutuskan
rangkaian asam amino yang berdampak pada rendahnya viskositas.
Vskositas tulang ikan gabus adalah 5,97 ± 0,13 sampai 6,96 ± 0,22 cP,
sedangkan pada kulit ikan gabus yaitu 6,28 ± 0,04 sampai 6,88 ± 0,09 cP,
129
lebih tinggi dibanding yang diperoleh pada Oreochromis nilotica (3,20 ± 0,00
cP) dan sebanding dengan gelatin dari Oreochromis mossambicus (7,12 ±
0,26 cP) (Jamilah dan Harvinder, 2002).
2.1.4 pH Gelatin
Secara umum pH kulit relatif sedikit lebih tinggi dibanding pH tulang.
Lamanya waktu ekstraksi dan semakin tingginya suhu ekstraksi
mengakibatkan terjadinya peningkatan terhadap pH gelatin.
Hasil analisis varian menunjukkan bahwa bahan baku, suhu dan
waktu secara independen berpengaruh (P<0,05) terhadap pH gelatin.
Terdapat pengaruh (P<0,05) interaksi antara bahan baku dengan suhu
ekstraksi, dan bahan baku dengan waktu ekstraksi. Interaksi antara suhu
dan waktu ekstraksi, serta interaksi antara bahan baku, suhu, dan waktu
ekstraksi berpengaruh (P<0,05) terhadap pH.
Uji Duncan pengaruh suhu dan waktu ekstraksi terhadap jenis bahan
baku menunjukkan ada perbedaan pH antara kulit dan tulang ikan gabus
(P<0,05), pH kulit lebih tinggi dibanding pH tulang. pH gelatin menunjukkan
adanya perbedaan dengan berbedanya suhu ekstraksi (P<0,05), yaitu
semakin tinggi suhu maka pH cenderung semakin meningkat. Hal yang
sama pada pH yang disebabkan oleh perbedaan waktu ekstraksi, yaitu
semakin lama waktu ekstraksi maka pH gelatin cenderung semakin
meningkat (P<0,05).
Interaksi perlakuan antara bahan baku dengan suhu ekstraksi
menunjukkan terdapat perbedaan pH di antara perlakuan (P<0,05), tetapi
130
antara perlakuan kulit pada suhu 70 °C tidak berbeda dengan perlakuan
pada suhu 60 °C dan 50 °C (P>0,05). Interaksi antara bahan baku dengan
waktu ekstraksi ada perbedaan pH di antara perlakuan (P<0,05), tetapi
antara perlakuan kulit dengan lama ekstraksi 18 jam dan 24 jam tidak
berbeda nyata (P>0,05), demikian juga perlakuan antara kulit dengan lama
ekstraksi 24 jam dan 12 jam tidak berbeda nyata (P>0,05). Interaksi antara
suhu dan waktu ekstraksi menunjukkan tidak ada perbedaan (P>0,05)
antara perlakuan pada suhu 50 °C dan 60 °C selama 12 jam, perlakuan
suhu 50 °C dan 60 °C selama 18 jam, perlakuan suhu 50 °C selama 24 jam,
70 °C selama 12 jam dan 70 °C selama 18 jam, dan perlakuan 70 °C selama
18 jam, 60 °C selama 24 jam dan 70 °C selama 24 jam.
131
Tabel 7. Pengaruh perlakuan jenis bahan baku, suhu, dan waktu ekstraksi terhadap pH Gelatin ikan gabus
Bahan baku Suhu (°C) Waktu (Jam)
Sub rata-rata Rata-rata total 12 18 24
50 3,55 ± 0,04I 3,87 ± 0,04J 4,27 ± 0,02L 3,90 ± 0,31f Tulang 60 3,55 ± 0,33I 4,09 ± 0,06K 4,54 ± 0,10MN 4,06 ± 0,46g 4,16 ± 0,42a
70 4,30 ± 0,10L 4,51 ± 0,05M 4,71 ± 0,05N 4,51 ± 0,19h
Sub rata-rata 3,80 ± 0,41D 4,16 ± 0,29E 4,51 ± 0,20F
50 4,78 ± 0,03N 4,72 ± 0,12N 4,78 ± 0,07N 4,76 ± 0,08i Kulit 60 4,87 ± 0,05N 4,65 ± 0,07MN 4,78 ± 0,87N 4,77 ± 0,11i 4,73 ± 0,09b
70 4,78 ± 0,01N 4,59 ± 0,03MN 4,65 ± 0,07MN 4,67 ± 0,09i
Sub rata-rata 4,81 ± 0,06H 4,66 ± 0,09G 4,74 ± 0,09GH
Sub rata-rata 4,17 ± 0,68j 4,30 ± 0,47k 4,53 ± 0,28l
(waktu * suhu) 4,21 ± 0,75jk 4,37 ± 0,32k 4,66 ± 0,15m
4,54 ± 0,27l 4,55 ± 0,06lm 4,68 ± 0,06m
Sub rata-rata 4,33 ± 0,50c
(suhu) 4,42 ± 0,49d
4,59 ± 0,17e
Total rata-rata 4,31 ± 0,60A 4,41 ± 0,33B 4,62 ± 0,19C Keterangan: a-b Huruf yang berbeda antara bahan baku berbeda menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05). A-C Huruf kapital yang berbeda pada waktu ekstraksi berbeda menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05). c-e Huruf yang berbeda pada suhu ekstraksi berbeda menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05). D-H Huruf kapital yang berbeda pada interaksi antara bahan baku dan waktu berbeda menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05). f-i Huruf yang berbeda pada interaksi antara bahan baku dan suhu ekstraksi menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05). j-m Huruf yang berbeda pada interaksi antara suhu dan waktu ekstraksi menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05).
I-N Huruf yang berbeda pada interaksi bahan baku, suhu dan waktu berbeda menunjukkkan berbeda nyata (P<0,05).
132
Gambar 20. Pengaruh perlakuan suhu dan waktu ekstraksi terhadap pH gelatin ikan gabus
Interaksi antara perlakuan bahan baku, suhu dan waktu ekstraksi
menunjukkan ada perbedaan nyata di antara perlakuan (P<0,05), tetapi
perlakuan ekstraksi antara tulang suhu 50 °C dan 60 °C selama 12 jam tidak
berbeda nyata (P>0,05); perlakuan esktraksi pada tulang suhu 50 °C
selama 24 jam tidak berbeda dengan tulang suhu 70 °C selama 12 jam
(P>0,05); perlakuan ekstraksi tulang pada suhu 70 °C selama 18 jam;
tulang pada suhu 60 °C selama 24 jam; kulit suhu 70 °C selama 18 dan 24
jam; dan kulit suhu 60 °C selama 18 jam menunjukkan tidak berbeda nyata
(P<0,05). Perlakuan ekstraksi tulang suhu 60 °C selama 24 jam; kulit suhu
70 °C suhu 18 dan 24 jam; kulit suhu 60 °C selama 18 jam; tulang suhu 70
°C selama 24 jam; kulit suhu 50 °C selama 24, 18 dan 12 jam; kulit suhu 70
°C selama 12 jam, dan kulit suhu 60 °C selama 24 dan 12 jam menunjukkan
tidak ada perbedaan pH antara perlakuan (P>0,05).
3.553.87
4.274.78 4.72 4.78
3.55 4.094.54
4.87 4.654.78
4.3 4.514.71 4.98
4.59 4.65
0
1
2
3
4
5
6
50 ºC 60 ºC 70 ºC 50 ºC 60 ºC 70 ºC
Tulang Kulit
pH
12 jam 18 jam 24 jam
133
Derajat keasaman (potential Hydrogen, pH) gelatin pada dasarnya
dipengaruhi oleh proses perlakuan selama berlangsungnya perubahan
kolagen menjadi gelatin (Alfaro et al, 2015; Alfaro et al., 2013). Tahap awal
proses ekstraksi menggunakan larutan pre-treatment, terutama pada
proses perendaman dengan larutan asam sitrat telah memberi efek
perubahan bahan baku hingga menjadi gelatin. Sebagaimana Ockerman
dan Hansen (2000) bahwa saat proses perendaman dengan asam
dilakukan, serabut kolagen kulit akan mengalami pembengkakan (swelling),
sehingga terjadi penurunan sifat kohesi internal dari serabut kulit tersebut.
Ketika proses swelling berlangsung, struktur asam amino molekul kolagen
mengalami pembukaan akibatnya larutan asam terperangkap di antara
ikatan tersebut (Said, 2011), mengakibatkan larutan asam yang tidak larut
selama pencucian akan mempengaruhi pH akhir gelatin yang dihasilkan.
Penggunaan asam cenderung menyebabkan pH menjadi relatif rendah. Hal
lain yang diduga memberi andil terhadap tingkat keasaman gelatin adalah
keberadaan asam-asam amino bersifat asam yaitu asam aspartate dan
asam glutamate, dimana kedua asam amino ini dijumpai cenderung lebih
tinggi pada tulang dibanding kulit (Tabel 2). Proses denaturasi kolagen
menjadi gelatin pada suhu dan waktu berbeda menyebabkan adanya
variasi dalam nilai pH yang cenderung semakin meningkat dengan
meningkatnya suhu esktraksi dan lama ekstraksi pada tulang tetapi
sebaliknya, cenderung cenderung menurun pada kulit.
134
Interaksi antara bahan baku dan lama ekstraksi menyebabkan pH
cenderung meningkat pada tulang, tetapi relatif menurun pada kulit.
Demikian halnya interaksi bahan baku dengan suhu eksktraksi
menunjukkan semakin lama waktu ekstraksi pH kulit cenderung menurun
dan sebaliknya pada tulang relatif semakin meningkat. Keadaan ini mungkin
dapat dikaitkan dengan terjadinya reaksi pemutusan rantai polipeptida
((Kolodziejska et al., 2004). Keadaan dimana pH berada pada kisaran pH
di bawah 5 mungkin akan berimplikasi pada sifat fungsional gelatin, antara
lain pada berkurangnya kekuatan gel (Raja Mohd Hafidz et al., 2011;
Gudmundsson dan Hafsteinsson, 1997), termasuk viskositas gelatin (Haug
et al., 2004) akibat terjadinyan degradasi dan proliferasi peptide dengan
berat molekul rendah (Gómez-Guillén dan Montero, 2001). Hal ini
dinyatakan oleh Haug et al. (2004) sebagai akibat yang mungkin
disebabkan oleh peningkatan muatan positif pada rantai, sehingga
menghambat pembentukan zona persimpangan dan karenanya
menyebabkan kekakuan gel menurun.
Meskipun dari hasil Tabel 7 menunjukkan interaksi antara suhu dan
waktu ekstraksi maupun interaksi antara bahan baku, suhu dan waktu ada
perbedaan antara perlakuan satu dengan lainnya, tetapi perbedaan
peningakatan pH setiap perlakuan tidak menunjukkan peningkatan yang
terlalu besar dan masih berada pada kisaran pH yang direkomendasikan
oleh Gelatin Manufacturers Institute of America yaitu 3,8-5,5. PH gelatin
kulit ikan gabus adalah antara 4,59 ± 0,03 sampai 4,87 ± 0,05 dan pada
135
gelatin tulang ikan gabus antara 3,55 ± 0,04 sampai 4,71 ± 0,05, lebih tinggi
dari pH yang dilaporkan oleh Jamilah dan Harvinder (2002) pada gelatin
kulit ikan Oreochromis mossambicus dan Oreochromis nilotica, yaitu
berturut-turut 3,81 dan 3,05 dan yang dilaporkan oleh Alfaro et al. (2009)
pada tulang ikan Macrodon ancylodon yaitu 3,85-4,38.
2.2 Karakteristik Gelatin Ikan Gabus Dibandingkan dengan Gelatin
Komersial Penelitan dengan mengamati metode ekstraksi terbaik telah
dilakukan dengan menggunakan kombinasi suhu dan waktu terhadap
karakteristik penting gelatin kulit dan tulang ikan gabus. Hasil terbaik
menunjukkan bahwa gelatin dengan perlakuan suhu 60°C selama 12 jam
menghasilkan kekuatan gel tertinggi pada kulit ikan gabus (278,37 ± 22,23
g), dan perlakuan suhu 60 °C selama 24 jam pada tulang ikan gabus
(239,53 ± 20,68 g).
2.2.1 Komposisi Kimia Gelatin Ikan Gabus
Komposisi kimia gelatin kulit ikan gabus (GKG) dan tulang ikan
gabus (GTG) ikan gabus dibandingkan dengan gelatin komersial bovine
(GKB) ditunjukkan pada Tabel 8. Analisis sidik ragam menunjukkan jenis
gelatin berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kadar air, kadar protein, kadar
lemak dan kadar abu.
Kadar air ketiga jenis gelatin menunjukkan ada perbedaan nyata
(P<0,05), dimana kadar air GTG lebih rendah dari GKG maupun GKB.
136
Adanya perbedaan pada kadar air gelatin ini dipengaruhi oleh perbedaan
bahan baku dan proses ekstraksi yang gunakan. Tingkat maksimum kadar
air gelatin berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI, 1995) adalah
16%, sementara British Standard Institution (BSI, 1975) mengatur kadar air
maksimal antara 13-14%. Berdasarkan hal tersebut, gelatin ikan gabus ini
telah meemenuhi peraturan standard yang berlaku.
Tabel 8. Komposisi kimia gelatin kulit ikan gabus (KGK) dan tulang ikan gabus (GTG) dari proses ekstraksi mengggunakan suhu dan waktu ekstraksi terbaik dan dibandingkan dengan gelatin komersial (GKB)
Kadar air Protein Lemak Abu GKG 7,46 ± 0,28b 83,41 ± 0,56b 0,31 ± 0,01b 1,14 ± 0,04a GTG 3,50 ± 0,20a 93,12 ± 0,50c 1,05 ± 0,05c 1,33 ± 0,07b GKB 13,70 ± 0,40c 76,99 ± 0,93a 0,03 ± 0,00a 1,93 ± 0,04c
Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05). Rata-rata ± SEM (n=3).
Kadar protein gelatin yang diamati menunjukkan GKB lebih rendah
dibanding GTG dan GKG (P<0,05). Perbedaan ini ada kaitannya dengan
kadar air yang cenderung relatif rendah pada GTG. Kadar protein menurut
Pranoto et al. (2011) dapat dijadikan tolok ukur untuk mengevaluasi
kemurnian gelatin. Kadar protein pada gelatin tidak memiliki standard, tetapi
kadarnya bisa berbeda-beda tergantung pada sumber bahan baku yang
digunakan, dan berbedanya metode ekstraksi maupun pre-treatmen akan
mempengaruhi kandungan protein yang diperoleh. Kadar protein GTG lebih
tinggi dari GKG, secara kontras berbeda dengan hasil penelitian Muyonga
et al. (2004a; 2004b) pada kulit dan tulang (Lates niloticus) yang
menghasilkan kisaran protein lebih tinggi pada kulit (87,4 ± 5,6 sampai 88,7
137
± 2,4) dibanding tulang (82,0 ± 2,1 sampai 82,9 ± 4,3) maupun penelitian
Wulandari dkk. (2015) dan Ratnasari et al. (2013) pada kulit ikan gabus
dengan kisaran protein berturut-turut 96,21% dan 87,27 ± 0,78, meskipun
See et al. (2011) juga hanya mampu menghasilkan gelatin kulit ikan gabus
dengan kadar protein yang lebih rendah, yaitu 75,63 ± 1,05. Berbedanya
kadar protein dapat dipengaruhi oleh faktor jenis bahan baku, proses pre-
treatmen maupun metode ekstraksi (Gómez-Guillén et al., 2011; Jamilah
dan Harvider, 2002; Muralidharan et al., 2012).
Komposisi kimia gelatin penting lainnya adalah lemak dan abu.
Kadar lemak GTG adalah yang tertinggi yaitu 1,05 ± 0,05%. Relatif
tingginya kadar lemak pada GTG dibanding GKG dapat dikaitkan dengan
kadar lemak bahan baku, dimana lemak tulang ikan gabus lebih tinggi
dibanding lemak pada kulitnya (Gambar 11). Tidak ada standard yang
menetapkan berapa kadar minimum lemak gelatin, tetapi mungkin tingginya
kadar lemak dapat mempengaruhi kualitas gelatin, terutama masa simpan.
Kadar lemak gelatin kulit bovine komersial adalah 0,23% (Pranoto et al.,
2011), nilai ini lebih rendah dari kadar lemak GKG, tetapi relatif lebih tinggi
dari kadar lemak GKB.
Kadar abu gelatin hasil penelitian menunjukkan nilai yang cukup
rendah dari standard yang ditetapkan oleh SNI (1995) yaitu kurang dari
3,25%, sedangkan menurut standard GMIA (2012) untuk gelatin tipe A yaitu
sekitar 0,3-2%. Kadar abu GKG lebih rendah dibanding GTG dan GKB
secara berturut-turut (P<0,05). Kadar abu kulit ikan gabus pada bahan
138
bakunya memang relatif rendah dibanding kadar abu pada tulangnya
(Gambar 12). Tetapi proses demineralisasi sebelum proses ekstraksi
secara efektif telah menurunkan kadar abu pada GTG yang dihasilkan.
Variasi komposisi kimia di antara gelatin terjadi terutama karena
perbedaan metode yang digunakan dalam proses perubahan kolagen
menjadi gelatin (Gómez-Guillén et al., 2011), kandungan protein pada
bahan baku, termasuk kadar kolagen, jumlah komponen terlarut dalam kulit,
perlakuan awal dan proses pencucian serta metode ekstraksi yang
dilakukan (Jamilah dan Harvider, 2002). Adapun menurut Irwandi et al.
(2009) komposisi kimia gelatin yang dihasilkan dapat dikaitkan dengan
lingkungan hidup dan jenis pakan ikan
2.2.2 Warna Gelatin Ikan Gabus
Warna gelatin diukur menggunakan colorimeter, dan menunjukkan
gelatin yang berbeda menghasilkan warna yang signifikan (P<0,05) pada
tingkat kecerahan (L), kemerahan (a*) dan kekuningan (b*) gelatin, tetapi
tidak ada pengaruh pada total warna yang dihasilkan oleh seluruh gelatin
(P>0,05).
Tabel 9. Nilai warna gelatin kulit (GKG) dan tulang ikan gabus (GTG) dari proses ekstraksi mengggunakan suhu dan waktu ekstraksi terbaik dan dibandingkan dengan gelatin komersial (GKB)
L a* b* ΔA GKG 84,83±2,26b 1,67±2,48a 37,20±0,76b 35,76±1,09a GTG 67,47±1,46a 14,67±4,64b 26,48±4,72a 38,71±4,61a GKB 64,86±0,52a -1,07±0,28a 21,11±0,90a 34,12±1,70a
Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05). Rata-rata ± SEM (n=3).
139
Gelatin kulit (GKG) memiliki nilai kecerahan (L) lebih tinggi dibanding
pada GTG maupun GKB (P<0,05). Nilai a* sebagai simbol intensitas warna
kemerahan menunjukkan nilai tertinggi pada GTG. Intensitas nilai b* yang
diindikasikan oleh warna kekuningan terlihat lebih tinggi pada GKB
dibanding GTG dan GKB secara berturut-turut. Total warna (ΔA) GTG
menunjukkan intensitas yang lebih tinggi dibanding GKG dan GKB secara
berturut-turut. Perbedaan warna gelatin sebagaimana Tabel 9
mengindikasikan bahwa metode ekstraksi dapat memberi pengaruh
terhadap warna gelatin yang dihasilkan, tetapi tidak mempengaruhi sifat
fungsional gelatin yang lain. Warna terang pada gelatin menurut Amizah
dan Sitti Aishah (2011) lebih disukai karena tidak menghasilkan warna kuat
pada produk yang dihasilkan. Nilai ΔA menunjukkan nilai kecerahan, dan
berdasarkan (Ockerman dan Hansen, 2000) nilai ΔA yang rendah lebih
disukai.
a b c Gambar 21. Perbedaan warna gelatin kulit ikan gabus (a), tulang ikan
gabus (b) dan gelatin komersial (c)
Selain waktu dan lama ekstraksi dapat mempengaruhi warna gelatin,
proses pre-treatment juga memberi andil terhadap perbedaan warna
140
gelatin. Zhang et al. (2007) dan Boran dan Regenstein (2009)
mengemukakan bahwa warna gelatin bisa menjadi gelap akibat perlakuan
asam, dan sangat nyata terlihat pada gelatin tulang (Lampiran 6)
2.2.3 Profil Asam Amino Gelatin
Komposisi asam amino yang terkandung pada gelatin kulit (GKG)
dan tulang ikan gabus (GTG) dibandingkan dengan gelatin komersial (GKB)
disajikan pada Gambar 10. Antara ketiga jenis gelatin menunjukkan
terdapat perbedaan pada total kandungan asam amino (Lampiran 7). Glisin
dan prolin adalah dua jenis asam amino utama (Jamilah dan Harvinder,
2002) dan secara berturut-turut merupakan asam amino tertinggi yang
terkandung pada semua jenis gelatin yang diamati. Kadar glisin pada GKB
lebih tinggi (29,07 residu/100 residu) dibanding GTG (27,71 residu/100
residu) dan GKG (27,10 residu/100 residu), sebagaimana hasil yang
ditemukan pada gelatin mamalia pada umumnya (Herpandi at al., 2011).
Kadar prolin juga ditemukan lebih tinggi pada GKB (14,01 residu/100
residu) dibanding pada GKG (13,31 residu/100 residu) dan GTG (12,13
residu/100 residu). Sejumlah penelitian menunjukkan kandungan glisin dan
prolin adalah yang tertinggi, yaitu secara berturut-turut 197,00 ± 0,21 dan
123,71 ± 2,73 pada Oreochromis nilotica, 204,13 ± 15,68 dan 122,65 ± 9,94
pada Clarias batrachus, dan 209,80 ± 9,32 dan 136,13 ± 5,31 pada
Pangasius sutchi fowler (Jamilah et al., 2011); gelatin tulang ikan (Clarias
gariepinus) berturut-turut 212 dan 90 (residu/1000 residu), dan pada
141
Rachycentron canadum berutur-turut 321 dan 96 (residu/1000 residu)
(Sanaei et al., 2013).
Keterangan: Kadar hidroksiprolin tidak dianalisis
Gambar 22. Komposisi asam amino dari gelatin kulit ikan gabus (GKG), tulang ikan gabus (GTG) dan gelatin komersial bovine (GKB).
Gelatin adalah derivat dari kolagen, dan ciri khas dari kolagen dan
turunannya adalah, dijumpainya asam amino glisin dan prolin dalam kadar
yang cukup tinggi dibanding asam amino lain (Muralidharan et al., 2012),
dan glisin adalah asam amino utama (Irwandi et al, 2009) dengan kadar
sekitar 1/3 dari komponen asam amino (Balti et al., 2011). Berdasarkan Li
dan Wu (2017), total asam amino adalah glisin, prolin dan hidroksiprolin
yang merupakan asam amino penyusun utama kolagen, dan diperkirakan
dapat mencapai sekitar 57%. Kadler et al. (2007) menyebutkan bahwa
struktur primer kolagen terbentuk dari urutan ‘sequence triplet’ Gly-X-Y,
dimana X dan Y umumnya disifatkan sebagai prolin dan hidroksiprolin, dan
tingginya kandungan kedua asam amino tersebut menunjukkan adanya
kolagen dan atau turunannya (Vázquez-Ortíz et al., 2004).
0
5
10
15
20
25
30
35
His Thr Pro Tyr Leu AsAsp
Lys Gly Arg Ala Val Ile Phe As.glu
Ser Met Cys
Re
sidu
/ re
sidu
100
GKG GTG GKB
142
Secara khusus, adanya prolin dan hidroksiprolin menjadi penentu
utama kualitas gelatin terkait dengan kekuatan gel, sayangnya
hidroksiprolin gelatin tidak dianalisis, tetapi dengan adanya prolin yang
tinggi mengindikasikan gelatin tersebut cenderung memiliki kekuatan gel
yang tinggi. Sebagaimana pernyataan Haug et al. (2004) bahwa kandungan
asam imino prolin dan hidroksiprolin yang terkandung dalam gelatin ikan
berbeda dengan gelatin mamalia, dan kedua asam amino ini yang berfungsi
menstabilkan konformasi gelatin selama proses pembentukan gel, dan
pada Gambar 20 menunjukkan kadar prolin GKB sedikit lebih tinggi
dibanding GKG dan GTG.
Gautieri, et al. (2009) menyatakan bahwa glisin adalah asam amino
yang paling berperan dalam menstabilkan struktur molekul tersier protein
kolagen, dan menurut Pranoto et al. (2007) tingginya persentase glisin
dapat mempengaruhi sifat mengikat air gelatin dan mengarah pada
tingginya nilai kekuatan gel dan dan viskositas. Semakin tinggi suhu dan
semakin lama waktu ekstraksi berpengaruh terhadap kekuatan gel, maka
diduga keadaan ini akibat asam-asam amino mengalami pembelahan pada
rantai peptidanya dan disaat yang sama terjadi degradasi selama
berlangsungya proses hidrolisis asam (Darragh et al., 1996).
Asam glutamate dan alanin menunjukkan kadar yang tidak begitu
berbeda jauh, dan tampaknya kadar kedua asam amino ini lebih tinggi
berturut-turut pada GKG (11,01 dan 11,13 residu/100 residu) dibanding
GTG (10,64 dan 9,90 residu/100 residu) dan GKB (10,36 dan 9,44
143
residu/100 residu). Asam amino arginine juga ditemukan cukup berlimpah
pada ketiga jenis gelatin tetapi kadar tertinggi ditemukan pada GTG (9,51
residu/100 residu), dan tidak berbeda jauh antara GKG (8,61 residu/100
residu) dengan GKB (8,62 residu/100 residu). Tingginya kadar ketiga asam
amino ini pada gelatin ikan gabus mungkin dapat dikaitkan dengan sumber
bahan baku gelatin yang kaya dengan asam-asam amino tersebut (Tabel
4). Adapun asam-asam amino lain seperti serin, asam aspartate,
fenilalanin, threonine, leusin, isoleusin, metionin, tirosin, valin, dan histidin
menunjukkan rata-rata kurang dari 5 residu/100 residu. Sistein dan triptofan
tidak ditemukan pada gelatin (Haug dan Draget, 2009), selain karena kedua
asam amino itu terdapat dalam jumlah yang cukup sedikit pada bahan
bakunya, juga diduga asam amino ini rentan mengalami kerusakan selama
proses hidrolisis.
Asam amino merupakan bahan organik yang bersifat bipolar oleh
adanya gugus amina (-NH2+) dan karboksil (-COOH-), dan kelompok rantai
samping (-R) yang bersifat spesifik dan menentukan tingkat reaktivitas
asam amino. Perbedaan rantai samping menyebabkan perbedaan pada
sifat fisikokimia suatu protein (Aftabuddin dan Kundu, 2007). Asam amino
dikelompokkan sesuai dengan jenis rantai sampingnya berdasarkan tingkat
kelarutannya dalam air, yiatu asam amino hidrofilik dan hidrofobik (Barrett
dan Elmore, 2004). Asam amino gelatin dengan rantai samping bersifat
hidrofobik adalah alanin, leusin, valin, isoleusin, metionin, dan fenil alanine,
dan rantai samping hidrofilik yaitu glisin, asam glutamate, lisin, serin,
144
treonin, tirosin, histidin, prolin, arginine dan aspartate. Persentase total
kelompok asam amino berdasarkan kelarutannya dalam air ini tersaji pada
Gambar 23.
Gambar 23. Perbandingan total asam amino hidrofilik dan hidrofobik (%) dari gelatin kulit ikan gabus (GKG), gelatin tulang ikan gabus (GTG) dan gelatin komersial bovine (GKB).
Asam amino hidrofilik GKB sedikit lebih tinggi dibanding asam
amino pada GKG dan GTG, dan sebaliknya pada asam amino hidrofobik
GKG dan GTG relatif sedikit lebih tinggi dibanding asam amino hidrofiliknya.
Aftabuddin dan Kundu (2007) menyatakan bahwa tingkat rata-rata simpul
hidrofobik cenderung lebih besar daripada nodus hidrofilik. Konsekuensinya
kemampuan asam-asam amino ini berikatan dengan lemak lebih besar
dibanding kemampuannya menarik air. Berbeda dibanding GKB yang
memiliki asam amino hidrofilik relatif lebih besar dibanding asam-asam
amino hidrofobiknya, maka akan berdampak pada kemampuan menarik air
yang lebih besar dari kemampuannya mengikat lemak.
Antara GKG dan GTG cenderung menunjukkan perbedaan yang
tidak begitu mencolok dalam kadar asam aminonya. Tetapi perbedaan yang
51.17
50.37
49.64
48.83
49.63
50.36
47.00
48.00
49.00
50.00
51.00
52.00
GKG GTG GKBTota
l asa
m a
min
o (%
)
Hidrofobik Hidrofilik
145
relatif kecil ini tetap memberi pengaruh terhadap karakteristik fungsional
kedua jenis gelatin, sebagaimana juga yang dilaporkan pada gelatin kulit
dan tulang ikan Lates niloticus (Muyonga et al., 2004a; Muyonga et al.,
2004b). Metode ekstraksi, dan jenis bahan baku berbeda dapat
mengakibatkan perbedaan pada komposisi asam amino antara ketiga jenis
gelatin yang diamati.
2.2.4 Indeks Aktivitas Emulsi (IAE) dan Stabilitas Emulsi (ISE)
Gelatin adalah salah satu jenis hidrokoloid yang telah banyak
digunakan sebagai bahan pengemulsi dalam berbagai bidang indsutri,
termasuk pangan, farmasi, obat-obatan, maupun aplikasi teknis lainnya,
karena memiliki sifat aktif permukaan (surface-active properties) (Jellouli et
al., 2011). Sifat aktif permukaan adalah fungsi dari kemampuan suatu
surfaktan untuk bersifat hidrofilik dan lipofilik sekaligus, sehingga dapat
menurunkan tegangan permukaan yang ditimbulkan akibat pencampuran
antara minyak dan air. Gelatin merupakan salah satu jenis surfaktan alami,
sebagai fungsi dari asam-asam aminonya.
Tabel 10. Indeks Aktivitas Emulsi dan Stabilitas Emulsi gelatin kulit (GKG) dan tulang ikan gabus (GTG) dari proses ekstraksi mengggunakan suhu dan waktu ekstraksi terbaik dan dibandingkan dengan gelatin komersial (GKB).
Indeks aktivitas emulsi
(m2/g) Indeks stabilitas emulsi (menit)
GKG 32,49 ± 0,28b 26,25 ± 0,19c GTG 28,47 ± 0,36a 19,16 ± 0,18a GKB 28,92 ± 0,09a 25,42 ± 0,16b
Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05). Rata-rata ± SEM, n=3.
146
Indeks aktivitas emulsi dan indeks stabilitas emulsi GKG, GTG dan
GKB tersaji pada Tabel 9. Jenis gelatin kulit (GKG) dan tulang (GTG) ikan
gabus yang mendapat perlakuan suhu dan waktu ekstraksi terbaik dan
gelatin komersial (GKB) berpengaruh sangat nyata (P<0,05) terhadap
Indeks aktivitas emulsi.
Indeks aktivitas emulsi setiap jenis gelatin relatif berbeda. Indeks
aktivitas emulsi sebagaimana pada Tabel 9 menunjukkkan nilai GKG (32,49
± 0,28) lebih tinggi dibanding GKB (28,92 ± 0,09) dan GTG (28,47 ± 0,36),
tetapi antara GTG dan GKB tidak menunjukkan adanya perbedaan. Hasil
penelitian Jellouli et al. (2011) pada gelatin kulit grey triggerfish (Balistes
capriscus) menunjukkan nilai indeks aktivitas emulsi yang lebih rendah
(21,44 ± 0,09), dan yang dilaporkan oleh Jridi et al. (2013) pada gelatin kulit
cuttlefish (Sepia officinalis) dengan perlakuan pepsin berbeda (0, 5, 10 dan
15 UI/g), yaitu secara berturut-turut 25,97 ± 1,05, 25,42 ± 0,95, 27,64 ± 1,26
dan 27,65 ± 1,35.
Perbedaan indeks aktivitas emulsi gelatin dapat disebabkan oleh
perbedaan sumber bahan baku (Jellouli et al., 2011; Jridi et al., 2013; Zhang
et al., 2012) maupun proses ektraksi yang diterapkan (Kaewruang et al.,
2013; Ahmad dan Benjakul 2009), sehingga berimplikasi pada karakter
intrinsik gelatin (Khiari et al., 2013). Faktor intrinsik yang cukup penting yang
mempengaruhi aktivitas emulsi gelatin adalah kontribusi asam amino
penyusun protein gelatin. Asam-amino gelatin dengan rantai samping yang
aktif memberi kemampuan pada gelatin untuk bersifat hidrofilik (muatan
147
polar) dan bersifat hidrofobik (non-polar). Rantai peptide dari asam amino
hidrofobik berkontribusi terhadap sifat pengemulsi gelatin, karena adanya
sifat aktif permukaan, dimana semakin besar kandungan asam amino
hidrofobik maka aktivitas emulsi cenderung semakin tinggi (Karim dan Bhat,
2009). Lebih lanjut Ahmad dan Benjakul (2011) menjelaskan bahwa
aktivitas permukaan pada antarmuka (interface) air dan minyak pada
gelatin, memberi kemampuan memfasilitasi pembentukan dan stabilisasi
tetesan halus (droplet) selama dan setelah proses emulsi. Indeks aktivitas
emulsi berhubungan dengan luas antar permukaan, dimana semakin tinggi
nilai indeks aktivitas emulsi, maka semakin kecil ukuran globula lemak.
Indeks aktivitas emulsi menunjukkan kemampuan protein untuk
menstabilisasi antar-permukaan (interface) minyak dan air.
Pada Tabel 10 menunjukkan ada pengaruh nyata (P< 0,05) jenis
gelatin terhadap indeks stabilitas emulsi. Indeks stabilitas emulsi GTG lebih
kecil dibanding indeks stabilitas GKB dan GKG secara berurutan. Di antara
ketiga jenis gelatin tersebut, tampaknya GKG memperlihatkan tingkat
stabilitas emulsi yang lebih baik dibanding GKB dan GTG, tetapi stabilitas
emulsi GTG lebih baik dibanding GKB, dimana pada aktivitas emulsi yang
relatif sama GTG dapat mencapai stabilitasnya dalam jangka waktu lebih
singkat. Hal yang sama dilaporkan oleh Jellouli et al. (2011) pada grey
triggerfish (Balistes capriscus) yang memiliki stabilitas emulsi lebih baik
dibanding gelatin bovine. Pada beberapa penelitian sebelumnya
menunjukkan semakin tinggi indeks aktivitas emulsi, maka waktu yang
148
dibutuhkan untuk mencapai stabilitas emulsi (indeks stabilitas emulsi)
cenderung lebih singkat, sebagaimana pada gelatin tulang mackerel
(Scomber scombrus) dan blue whiting (Micromesistius poutassou) yang
dilaporkan oleh Khiari et al. (2013), dan gelatin kulit ikan unicorn
leatherjacket (Aluterus monoceros) oleh Ahmad dan Benjakul (2011).
Sifat pengemulsi gelatin digambarkan sebagai kapasitas emulsi atau
aktivitas emulsi, yang menunjukkan kemampuan gelatin membantu
pembentukan dan stabilisasi emulsi yang baru dibuat dan kemampuannya
memberi kekuatan pada emulsi untuk ketahanan terhadap tekanan (Zakaria
dan Bakar, 2015). Indeks aktivitas pengemulsi (emulizing activity index /
EAI) adalah pengukuran antarmuka area yang distabilkan di atas satuan
berat protein (m2 /g) yang berhubungan dengan kemampuan protein untuk
melapisi sebuah antarmuka (Pearce dan Kinsella, 1978). Indeks aktivitas
emulsi dipenguruhi oleh faktor intrinsik protein gelatin. Penambahan gelatin
dalam larutan emulsi minyak-air akan mempengaruhi antar muka minyak-
air. Sifat pengemulsi dihasilkan karena adanya daerah hidrofobik pada
rantai peptida (Karim dan Bhat, 2009). Sifat hidrofobik dari rantai samping
peptida asam amino gelatin akan berfungsi menurunkan tegangan
permukaan sehinggan stabilitas emulsi dapat tercapai. Tetapi ini tergantung
dari seberapa besar tingkat kemapuan hidrofobisitas gelatin; semakin tinggi
kadar asam amino hidrofobik, maka indeks aktivitas emulsi akan semakin
besar, dan indeks stabilitas emulsi relatif lebih singkat untuk mencapai
stabilitas emulsi. Bobot molekul menurut Jellouli et al. (2011), Ahmad dan
149
Benjakul (2011) juga dapat mempengaruhi kemampuan dispersi antara
minyak dan air, dimana tingkat stabilitas emulsi dari gelatin pada bobot
molekul tinggi lebih menghasilkan tingkat stabilitas yang lebih baik
dibanding gelatin dari bobot molekul lebih rendah.
2.2.5 Daya Mengikat Air Gelatin
Daya mengikat air dan daya mengikat lemak adalah sifat fungsional
yang terkait erat dengan tekstur produk pangan sebagai interaksi antara
komponen seperti air, minyak, dan komponen lainnya (Rawdkuen et al.,
2013). Hasil analisis pada Tabel 13 memperlihatkan bahwa jenis gelatin
berpengaruh sangat nyata (P<0,05) terhadap daya mengikat air gelatin.
Gelatin tulang ikan gabus (GTG) memiliki daya mengikat air yang paling
rendah, dan tertinggi pada GKB dan menyusul GKG. Perbedaan pada
metode ekstraksi, bahan baku dan spesies hewan merupakan faktor-faktor
yang diduga memberi pengaruh terhadap perbedaan berbagai karakteristik
gelatin. Perbedaan ini pula yang menyebabkan daya mengikat air ketiga
jenis gelatin cenderung berbeda.
Daya mengikat air hasil penelitian pada Tabel 11 menunjukkan
bahwa persentase daya mengikat air GKB relatif lebih tinggi dibanding dua
jenis gelatin dari ikan gabus (GKG dan GTG), tetapi persentase keduanya
masih relatif lebih tinggi dibanding dengan daya mengikat air kulit ikan cobia
(97,03 ± 1,53) (Amiza et al., 2015), Penelitian Balti et al. (2011) pada
cuttlefish (Sepia officinalis) menunjukkan persentase yang relatif sama
dengan daya mengikat air pada GKG dan GTG, yaitu sekitar 150-200%.
150
Tingginya daya mengikat air dapat dikaitkan dengan kandungan asam
amino hidrofilik gelatin (Nurul dan Sarbon, 2015) dan komponen kimia
utama gelatin, yaitu hidroksiprolin (Ninan et al., 2011; Zarai et al., 2012),
semakin tinggi persentase asam amino tersebut, kemampuan mengikat air
gelatin semakin tinggi (Jeya Syakila et al., 2012).
Tabel 11. Daya mengikat air (DMA) dan mengikat lemak (DML) gelatin kulit (GKG) dan tulang ikan gabus (GTG) dari proses ekstraksi mengggunakan suhu dan waktu ekstraksi terbaik dan dibandingkan dengan gelatin komersial bovine(GKB) (%)
Daya mengikat air (%) Daya mengikat lemak (%) GKG 192,53 ± 4,76b 223,97 ± 4,80a GTG 166,48 ± 2,87a 227,67 ± 3,28a GKB 298,85 ± 4,30c 219,10 ± 3,14a
Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05). Rata-rata ± SEM, n=3. Daya mengikat air merupakan salah satu sifat fungsional yang
penting dalam proses pengolahan karena fungsinya dalam memperbaiki
tekstur dan kekompakan produk pangan. Sifat ini menurut Zarai et al. (2012)
mengacu pada kemampuan protein untuk menyerap air dan
mempertahankannya terhadap gaya gravitasi dalam matriks protein. Lebih
lanjut Zarai et al. (2012) menjelaskan bahwa kapasitasnya mengikat air
membuat gelatin sesuai dan cocok diaplikasikan untuk berbagai produk
daging maupun ikan beku untuk mengurangi kehilangan air (drip loss)
selama proses pencairan atau pemasakan yang menyebabkan terjadinya
denaturasi protein sehingga terjadi kehilangan sebagian kapasitas
menahan airnya
151
2.2.6 Daya Mengikat Lemak Gelatin
Secara statisitk, tiga jenis gelatin yang diamati memperlihatkan tidak
ada perbedaan nyata (P>0,05) daya mengikat lemak di antara gelatin
tersebut, meskipun Tabel 10 menunjukkan daya mengikat lemak GTG
relatif sedikit lebih tinggi dibanding pada GKG dan GKB. Daya mengikat
lemak pada GKG dan GTG menunjukkan persentase yang lebih rendah
dibandingkan dengan daya mengikat lemak gelatin tulang ikan red snapper
(Lutjanus campechanus) dan brown spotted grouper (Epinephelus
chlorostigma), yaitu berturut-turut 493,90 ± 4,20 dan 429,57 ± 4,73. (Jeya
Shakila et al., 2012), tetapi lebih tinggi dibanding gelatin kulit ikan cobia
(Rachycentron canadum) yaitu 164,01 ((Amiza et al., 2015). Adanya
perbedaan dalam daya mengikat lemak gelatin tidak lepas dari karakteristik
gelatin itu sendiri, yang antara lain dipengaruhi oleh bahan baku dan
metode ekstraksi sehingga mungkin mengakibatkan adanya perbedaan
pada komposisi asam aminonya. Kemampuan gelatin dalam mengikat
lemak terutama difasilitasi oleh asam amino hidrofobik (Jellouli et al., 2011),
semakin besar kadarnya maka kemampuannya mengikat lemak cenderung
semakin tinggi. Asam-asam amino hidrofobik antara lain tirosin, isoleusin,
valin, leusin, prolin, fenilalanin, metionin dan alanine. Ninan (2009)
menyebutkan bahwa tingginya kadar tirosin diduga bertanggung jawab
terhadap kapasitas mengikat lemak pada gelatin. Total kadar asam amino
hidrofobik ketiga jenis gelatin (GKG, GTG dan GKB) berturut-turut adalah
51,17, 50,37, dan 49,64 residu/100 residu (Gambar 23).
152
2.2.7 Fourier Transform Infra Red (FTIR)
Analisis menggunakan spektroskopi fourier transform infra red
(FTIR) dilakukan untuk mengindetifikasi perubahan pada kelompok
fungsional dan struktur sekunder gelatin (Muyonga et al., 2004c)
berdasarkan pada spectra vibrasi yang dihasilkan oleh senyawa yang
terkandung didalamnya pada panjang gelombang tertentu. Spektrum FTIR
dari GKG dan GTG hasil ekstraksi terbaik dalam penelitian ini dibandingkan
dengan GKB, sebagai upaya untuk menjelaskan sifat fungsional dan
perubahan pada struktur sekunder yang terjadi selama konversi kolagen
menjadi gelatin. Said (2011) menyatakan bahwa gugus fungsional adalah
kelompok gugus khusus pada atom dalam molekul yang berperan dalam
memberi karakteristik reaksi kimia molekul tersebut. Tabel 14 menunjukkan
spektrum FTIR pita amida GKG dan GTG dibandingkan dengan GKB.
Gelatin adalah senyawa organik yang kinerjanya sangat ditentukan
dari proses ekstraksi yang dilakukan, dan dapat diketahui berdasarkan nilai
spektroskopi FTIR. Adanya perbedaan antara sampel yang diamati dapat
teridentifiksi melalui spektrum yang berbeda berdasarkan gugus
fungsionalnya pada wilayah pita amida. Gugus fungsional gelatin dapat
diamati terdistribusi pada daerah amida utama, yaitu amida A pada 3600-
3200 cm-1, amida B pada 3100-2300 cm-1, amida I pada 1656-1644 cm-1,
amida II pada 1560-1335 cm-1 dan amida III 1240-670 cm-1, sebagaimana
pada Tabel 12.
153
Gambar 24. Spektrum FTIR gelatin kulit ikan gabus (a), gelatin tulang ikan gabus (b), dan gelatin komersial (c)
a. GKG
b. GTG
c. GKB
Amida A Amida B Amida I Amida II Amida III
154
Tabel 12. Daerah serapan pita amida gelatin kulit ikan gabus (GKG), tulang ikan gabus (GTG) dan gelatin komersial (GKB) berdasarkan spektrum FTIR.
Amida Puncak Daerah serapan
(cm-1)* Bilangan gelombang (cm-1)
GKG GTG GKB A 3600-3200 3388,93 3383,14 3442,94 B 3100-2300 3080,32
2935,66 2881,65 2360,87 2335,80
3076,46 2929,87 2879,72 2360,87 2335,80
- 2956,87 2927,94 2360,87 2335.80
I 1656-1644 1653,00 1651,07 1653,00 II 1560-1335 1541,12
- 1450,47 1413,82 - -
1521,84 - - 1411,89 - -
1543,05 1517,98 1454,33 - 1396,46 1335,67
III 1240-670 1234,44 1197,79 - 1076,28 1028,06 970,19 923,90 873,75 -
1234,44 1197,79 1166,93 1074,35 1028,06 970,19 921,97 871,82
1238,30 1199,72 1163,08 1078,21 1031,92 - 923,90 875,68 673,16
* Muyonga et al. (2004c); Uriarte-Montoya et al. (2011); Jilie dan Shaoning (2007).
Nilai serapan gelatin ikan gabus (GKG dan GTG) dibandingkan
dengan GKB tersaji pada Gambar 15. Puncak amida A dari GKG, GTG dan
GKB berada pada wilayah serapan 3388,93 cm-1, 3383,14 cm-1 dan
3442,94 cm-1 secara berturut-turut. Nilai serapan GKB yang berada pada
kisaran di atas 3400 cm-1, menunjukkan bilangan gelombangnya berada
pada wilayah getaran peregangan NH bebas (Ahmad dan Benjakul, 2011;
Kittiphattanabawon et al., 2015; Sinthusamran et al., 2014). Wilayah
serapan GKG dan GTG menunjukkan bilangan gelombang yang sedikit
155
lebih rendah, yaitu pada wilayah serapan 3400-3200 cm-1, yang berarti
terjadi pergeseran bilangan gelombang ke frekuensi yang lebih rendah, hal
ini dikarenakan ada gugus NH dari peptida yang terlibat dengan ikatan
hidrogen (Ahmad dan Benjakul, 2011; Muyonga et al., 2004c).
Semakin rendah nilai serapan yang muncul pada spectra,
mengindikasikan rendahnya kelompok amina bebas, yang berarti juga
degradasi yang terjadi lebih sedikit. Wilayah amida A mengilustrasikan
proses ekstraksi kulit dan tulang ikan gabus menjadi gelatin pada suhu yang
sama (60 ºC) dan lama ekstraksi berbeda (12 dan 24 jam) menunjukkan
proses pelepasan NH (NH stretching) selama proses hidrolisis
berlangsung. Relatif tingginya bilangan gelombang GKG dibanding GTG
menunjukkan bahwa proses hidrolisis kulit ikan gabus pada suhu 60 ºC
selama 12 jam menyebabkan ikatan hydrogen yang terlepas relatif lebih
banyak dibanding ikatan hydrogen pada tulang yang terhidrolisis pada suhu
yang sama. Perbedaan pada bahan baku memiliki pengaruh signifikan
terhadap kemampuan keduanya melalui proses hidrolisis. Ini
mengindikasikan bahwa jenis bahan baku dan proses ektraksi relatif
mempengaruhi struktur sekunder protein gelatin, selain itu perbedaan ini
menurut Kittiphattanabawon et al. (2015) mungkin juga disebabkan oleh
perbedaan dalam komposisi dan urutan asam amino.
Wilayah amida B memiliki nilai serapan antara 3200-3000 cm-1,
ditandai dengan vibrasi peregangan pada puncak =CH2 dan -NH3 asimetris
(Ahmad dan Benjakul, 2011). Bilangan gelombang GKG dan GTG berada
156
pada kisaran 3080,32 cm-1 dan 3076,46 cm-1, secara berturut-turut, dan
tidak dijumpai pada GKB. Baik GKG ataupun GTG menunjukkan ada
interaksi antara kelompok -H3 di antara rantai peptida (Ahmad dan Benjakul,
2011; Muralidharan et al. (2012)), tetapi interaksi GTG lebih besar
dibanding GKG. Laporan yang sama ditemukan pada gelatin kulit ikan
Aluterus Monoceros (Ahmad dan Benjakul, 2011), kulit ikan Lates calcarifer
(Sinthusamran et al., 2014) dan Loligo formosana (Muralidharan et al,
2012). Menurut Muralidharan et al. (2012), Mad-Ali et al. (2016) bahwa
gelatin yang diekstraksi untuk waktu yang lebih lama memiliki bilangan
gelombang lebih rendah dibanding gelatin yang diesktrak dalam waktu yang
lebih singkat. Pada GKG, GTG dan GKB ditemukan terjadi peregangan
dengan kelompok –CH baik asimetris yaitu berturut-turut 2935,66 cm-1,
2929,87 cm-1 dan 2956,87 cm-1 maupun simetris yaitu berturut-turut
2881,65 cm-1, 2879,72 cm-1 dan 2927,94 cm-1. Nilai serapan pada wilayah
ini mewakili vibrasi regangan -CH dari kelompok =CH2.
Pita amida I sebagaimana pada Gambar 15 berada pada wilayah
serapan 1656-1644 cm-1 (Muyonga et al., 2004c; Uriarte-Montoya et al,
2011). Jilie dan Shaoning (2007) menyebutkan bahwa daerah ini
merupakan spectrum yang paling sensitive terhadap komponen struktural
protein sekunder, dan oleh Al-Saidi et al. (2012) digunakan untuk
mengamati hilangnya struktur sekunder protein dan pembentukan struktur
koil acak. Pita amida I ini diasosiasikan dengan vibrasi regangan C═O di
sepanjang backbone polipeptida dan puncaknya akan bergeser ke bilangan
157
gelombang bawah yang ditandai dengan adanya penurunan pada urutan
molekuler (Muyongan et al., 2004c; Payne dan Veis, 1988).
Pita amida I antara GKG dan GKB berada pada bilangan gelombang
yang sama, yang sedikit lebih tinggi dibandingkan GTG, yaitu berturut-turut
1653,00 cm-1 dan 1651,07 cm-1. Perbedaan jenis bahan baku dan metode
ekstraksi yang digunakan menyebabkan bilangan gelombang kedua jenis
gelatin ikan gabus ini berbeda. Sebagaimana telah dijelaskan pada sub-sub
pembahasan di atas, bahwa antara kulit dan tulang ikan gabus memberi
respon berbeda terhadap metode ekstraksi yang dilakukan. Pada suhu
yang sama (60 ºC) dengan waktu ekstraksi berbeda, bilangan gelombang
GTG (24 jam eksktraksi) sedikit lebih rendah dibanding GKG (12 jam
ekstraksi) menunjukkan tingkat reaktivitas C═O pada kulit mampu
membuka dan bekerja reaktif secara lebih cepat pada rantai-α-nya
dibanding pada tulang ikan gabus, sehingga keadaan ini menurut Jridi et al.
(2015a) berpotensi menyebabkan hilangnya triple heliks akibat hidrolisis
ikatan silang intermolekul yang berlebihan, sedangkan oleh Yu et al.(2014)
disinyalir menyebabkan hilangnya asam amino reaktif antara lain lisin,
hidroksilisin dan histidine yang berfungsi mempertahankan ikatan silang
inter dan antar molekul di wilayah telopeptida.
Pada pita amida II, puncak bilangan gelombang antara GKG, GTG
dan GKB menunjukkan nilai serapan secara berturut-turut 1541,12 cm-1,
1521,84 cm-1 dan 1543,05 cm-1. Wilayah amida II menunjukkan adanya
kelainan pada struktur molekul akibat transformasi α-heliks menjadi struktur
158
koil acak akibat proses hidrolisis parsial selama ekstraksi (Muyonga et al.,
2004c), yang ditandai oleh terjadinya vibrasi lentur N-H bergandengan
dengan vibrasi peregangan CN (Yu et al., 2014). Suhu dan lamanya waktu
ekstraksi dapat menyebabkan perubahan triple helix sebagai akibat
denaturasi kolagen menjadi gelatin (Muyonga et al., 2004c). Semakin kecil
bilangan gelombang, menunjukkan semakin kecil tingkat kerusakan triple
heliks.
Panjang gelombang GKG dan GTG pada wilayah puncak pita amida
III menunjukkan nilai serapan yang sama yaitu 1234,44 cm-1, sedangkan
GKB ada pada 1238,30 cm-1, menunjukkan adanya gangguan yang lebih
besar pada molekulnya, dan ini menurut Sinthusamran et al. (2014) terkait
dengan hilangnya struktur triple heliks. Wilayah amida III adalah wilayah
spektrum 1220-1320 cm-1 dan berhubungan dengan peregangan CN dan
deformasi NH serta adanya penyerapan yang timbul dari vibrasi kelompok
CH2 dari backbone glisin dan rantai samping prolin (Ahmad dan Benjakul,
2011).
Tahap III. Aplikasi gelatin ikan gabus dalam proses pembuatan sosis
berbasis meat by-product sapi 3.1 Komposisi dan Karakteristik Daging Pipi Sapi
Sangat sedikit informasi penelitian yang dilaporkan terkait komposisi
dan karakteristik daging pipi, kecuali yang dilaporkan oleh Talmant et al.
(1986); Vasudevan dan Venkataramanujam (2012). Secara visual, daging
pipi menyerupai daging skeletal pada umumnya, meskipun demikian daging
159
ini dikategorikan sebagai daging non-karkas karena posisi anatomisnya
terletak pada bagian kepala. Hasil pengamatan peneliti menunjukkan
bahwa otot pipi adalah bagian dari otot rangka yang memiliki fungsi
anatomis tersendiri, tetapi karakteristik ototnya tidak berbeda jauh dengan
otot-otot pada bagian tubuh lainnya.
Gambar 25. Daging pipi (Musculus massetter)
Daging pipi tersusun atas komposit serat otot, jaringan ikat, adipose,
vascular dan saraf, sebagaimana daging skeletal pada umumnya (Listrat et
al., 2016). Pada hampir seluruh permukaan daging pipi terdapat penebalan
jaringan ikat yang cukup padat. Jaringan ikat yang padat ini mungkin ada
hubungannya dengan fungsi kerja dari otot yang banyak melakukan
aktivitas bergerak ketika hewan mengunyah/memamah biak (Purslow,
2005), akibatnya otot mengalami penebalan jaringan ikat di sekitar berkas
otot. Keadaan ini akan dapat mempengaruhi sifat fisiko-kimianya (Hoffman
et al., 2012). Ada beberapa sifat fisiko-kimia daging pipi yang diamati,
dengan demikian, meskipun informasi yang disajikan terbatas, penelitian ini
160
akan membantu dalam mendeskripsikan otot pipi sapi sebagai informasi
untuk penelitian selanjutnya.
3.1.1 Komposisi Kimia Daging Pipi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa komposisi kimia daging pipi
pada dasarnya menyerupai daging skeletal pada umumnya (Huff-Lonergan,
2010; Onyango et al., 1998; Williams, 2007). Tabel 13 menunjukkan kadar
air, protein, lemak, abu dan karbohidrat daging pipi. Kadar air daging pipi
berkisar pada 75,75 ± 0,25%, tidak berbeda dari yang dilaporkan Rotta et
al. (2009) pada otot Longissimus dari sapi Nellore, yaitu 75,1 ± 0,38%.
Huff-Lonergan (2010) mengemukakan bahwa di dalam otot, air
merupakan komponen utama cairan ektrakseluler, sedangkan di dalam sel
sebagai cairan sitoplasma yang berperan dalam proses termoregulasi,
media dalam proses seluler sel, dan untuk transportasi nutrisi. Air yang
dikandung dan tertahan di dalam otot adalah air yang terdapat di dalam
myofibril, antara myofibril dan selaput sel (sarcolemma), antara sel otot dan
antara kumpulan otot (Offer dan Cousins, 1992). Air di dalam otot terbagi
atas tiga bagian sebagaimana Abustam (2012), yaitu air terikat secara
kimiawi oleh protein otot, air ini tidak mudah mengalami pergerakan; air
yang terikat agak lemah (air yang terperangkap), yaitu air yang tertahan
dalam struktur otot tetapi tidak terikat oleh protein, dan air ini akan terikat
oleh protein jika tekanan uap air meningkat; dan air bebas, yaitu air yang
mengalir dari jaringan tanpa hambatan. Huff-Lonergan dan Lonergan
(2005) menyatakan bahwa air yang berperan dalam proses konversi otot
161
menjadi daging adalah jenis air yang terperangkap. Dalam proses
pengolahan, air menjadi salah satu parameter penting yang sangat
dipertimbangkan karena mempengaruhi karakteristik akhir dari produk.
Tabel 13. Komposisi kimia daging pipi Nilai Air (%) Protein (%) Lemak (%) Karbohirat (%) Abu (%)
75,75 ± 0,25 22,25 ± 0,35 0,31 ± 0,02 0,99 ± 0,23 0,99 ± 0,05
Rata-rata ± standard deviasi (n=3)
Protein daging pipi sekitar 22,25 ± 0,35%, dan merupakan komponen
terbesar kedua otot setelah air. Protein pada otot dapat bervariasi antara
16-22% (Huff-Lonergan, 2010), sebagaimana juga yang dilaporkan oleh
Hoffman et al. (2012) pada beberapa jenis otot bangsa sapi South African,
bahkan dapat mencapai 24.0% (Rotta et al., 2009). Protein adalah
representasi kadar asam amino yang merupakan sumber nutrisi penting
pangan konsumsi manusia. Pada otot sendiri, protein terdiri atas protein
terlarut (protein sarkoplasma), yaitu protein yang terlibat dalam proses
pensinyalan seluler dan enzim yang penting dalam metabolisme dan
degradasi protein; dan protein tidak mudah larut (kecuali pada kekuatan ion
yang lebih tinggi), adalah protein yang terlibat langsung dalam proses
pergerakan (protein kontraktil, protein miofibrilar), dan protein yang
mengatur interaksi antara protein kontraktil (Huff-Lonergen, 2010). Lebih
lanjut disebutkan bahwa protein otot mempunyai fungsi yang beragam, dan
fungsi utama protein diperankan oleh miofibrilar dengan komponen aktin
162
dan miosinnya dan sejumlah organel lain yang terlibat dalam proses
kontraksi-relaksasi otot.
Kadar lemak pada daging pipi cukup rendah yaitu sekitar 0,31 ±
0,02% dibandingkan dengan kadar lemak yang dilaporkan pada jenis otot
skeletal yang lain, yaitu lebih dari 1% (Hoffman et al., 2012; Rotta et al.,
2009), tetapi bisa bervariasi tergantung pada usia hewan, tingkat gizi
hewan, dan jenis otot (Huff-Lonergan, 2010). Rendahnya kadar lemak ini
mungkin ada kaitannya dengan intensitas aktivitas otot pipi, dimana
aktivitas mengunyah menyebabkan tidak tersisanya cadangan energi yang
dapat dirombak menjadi deposit lemak akibat penggunaan energi yang
berjalan efektif sepanjang waktu. Otot pipi menurut Hertog‐Meischke et al.
(1997), termasuk jenis otot dengan tingkat metabolism tinggi. Kadar
karbohidrat pada daging pipi adalah sekitar 0,99%. Cobos dan Diaz (2014)
menyebutkan bahwa kadar karbohidrat otot berkisar antara 0,5-1,5%, yang
terutama merupakan cadangan glikogen dengan fungsi sebagai sumber
energi bagi otot, terutama ketika konversi otot menjadi daging. Kadar
glikogen yang terkandung dalam otot adalah salah satu indikator yang
menentukan kualitas daging. Glikogen merupakan substrat utama dalam
proses metabolik yang akan menghasilkan asam laktat pada konversi otot
menjadi daging, menyebabkan terjadinya penurunan pada pH dan
berimplikasi terhadap karaktristik daging yang lain, di antaranya daya
mengikat air dan warna daging (Aberle et al, 2001; Abustam, 2012). Kadar
abu yang dikandung daging pipi adalah 0,99% dan tidak berbeda nyata
163
dengan kadar abu otot longissimus sapi Simmental muda (Ćirić et al.,
2017).
3.1.2 Karakteristik Daging Pipi
Karakteristik daging pipi sapi tersaji pada Tabel 14. Hasil
pengamatan pH daging pipi sapi sekitar 6 jam postmortem adalah sekitar
5,83 ± 0,07 lebih rendah dari pH 24 jam yang dilaporkan oleh Talmant dan
Monim (1986) pada daging pipi sapi yaitu sekitar 6,20 dan Vasudevan dan
Venkataramanujam (2012) pada daging pipi kerbau yaitu 6,46 ± 0,02. pH
daging pipi hasil penelitian relatif sedikit agak tinggi (0,21 poin) dibanding
pH-ultimat normal daging sapi (5,3-5,7) (Aberle et al., 2001).
Tabel 14. Karakteristik daging pipi (M. masseter) Nilai pH 5,83 ± 0,11 mg H2O 42,24 ± 7,60 Susut masak (%) 31,57 ± 3,36 Daya putus daging (kg/cm2) 3,12 ± 0,33 Warna L a* b*
39,12 ± 3,67 22,97 ± 2,69 2,57 ± 1,11
Rata-rata ± standard deviasi (n=5)
Potential hydrogen (pH) daging pipi pada 6 jam postmortem masih
relatif tinggi dari pH normal. Keadaan ini ada kaitannya dengan kondisi
ternak antemortem. Cadangan glikogen berkurang akibat aktivitas otot
maupun faktor lain yang berpotensi menyebabkan stress (kekurangan
pakan, cekaman panas, transportasi dan sebagainya) yang terus
berlangsung sesaat sebelum ternak disembelih. Tidak ada catatan maupun
164
informasi latar belakang sapi Bali yang disembelih baik jenis kelamin, pakan
maupun aktivitas lain sebelum penyembelihan, kecuali umur (3,5-5 tahun),
sehingga diasumsikan bahwa sapi yang disembelih berada pada kondisi
yang relatif sama. Henckel et al. (2000) berpendapat bahwa penurunan pH
setelah hewan mati dipengaruhi oleh kondisi fisiologis otot dan ini
berhubungan dengan produksi asam laktat maupun kapasitas produksi
energi otot dalam bentuk ATP. Terjadinya penurunan pH ini disinyalir akibat
berkurangnya oksigen dalam darah dalam waktu yang singkat setelah
postmortem sehingga proses oksidasi terhenti dan beralih pada proses
glikolisis yang menghasilkan asam laktat, yang pada gilirannya menurut
Puolanne et al. (2002) ditujukan untuk mempertahankan kadar ATP dalam
tingkat yang normal (homeostasis).
Rata-rata daya mengikat air (DMA) daging pipi yang direfleksikan
sebagai mg H2O per gram sampel yang terlepas dari otot adalah sekitar
42,24 ± 7,60 mg air sebagaimana pada Tabel 14. Hasil analisis koefisien
korelasi (r) menunjukkan ada hubungan negatif yang sangat kuat antara pH
dan DMA, yaitu r = -0,93, yang berarti bahwa semakin rendah pH maka
kemampuan otot dalam melepaskan air semakin tinggi. Berdasarakan
persamaan garis menunjukkan bahwa setiap penurunan pH sebesar 1 poin
akan menyebabkan daging pipi melepaskan air sebesar 65,79 mg dengan
koefisien determinasi (R2) = 0,85. Koefisien determinasi sebesar 0,85 yang
berarti sekitar 85,33% daya mengikat air dipengaruhi oleh pH, adapun
sisanya (14,67%) dipengaruhi oleh faktor lain.
165
Tabel 15. Hubungan antara pH dengan parameter lain (DMA, susut masak, sherat force nilai L, a* dan b*) berdasarkan analisis uji korelasi Pearson (r).
Item 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. • pH 1 • mg H2O -0,925* 1 • Susut masak -0,836 0,974** 1 • Shear force 0,659 -0,374 -0,222 1 • L -0,623 0,659 0,525 -0,257 1 • a* -0,710 0,510 0,302 -0,723 0,798 1 • b* -0,564 0,415 0,215 -0,434 0,849 0,929* 1
* (P<0,05) ** (P<0,01)
Tidak ada standard yang menunjukkan nilai besaran daya mengikat
air daging, tetapi secara umum telah diilustrasikan oleh Abustam (2012)
dalam bukunya; adapun Kenney (1995) menyebutkan bahwa kemampuan
mengikat air daging pipi berada pada kisaran sedang (intermediate binding
capacity) sebagaimana yang dikuatkan oleh penelitian Komariah dkk.
(2009) terhadap DMA otot longissimus dorsi sapi yang lebih tinggi dibanding
nilai DMA daging pipi hasil penelitian.
Gambar 26. Hubungan laju penurunan pH terhadap kemampuan daging pipi melepaskan air (mg).
y = -65.794x + 425.68R² = 0.8533
0
10
20
30
40
50
60
5.70 5.75 5.80 5.85 5.90 5.95 6.00
Air t
erle
pas
(mg)
pH
166
Kemampuan daging untuk mengikat air merupakan sifat kompleks
yang dipengaruhi oleh perubahan struktural dan biokimiawi yang terjadi
selama transformasi otot menjadi daging (Bowker dan Zhuang, 2015), tetapi
variasinya dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor antara lain pH, jenis ternak,
jenis otot, jenis kelamin, umur, pakan, transportasi, suhu dan perlakuan
sebelum dan setelah penyembelihan (Abustam, 2012). Penurunan kadar
air daging pipi sebagaimana pada daging secara umum menurut Joo et al.
(1995); Listrat et al. (2016) disebabkan oleh tingkat penurunan pH, dimana
perlakuan sebelum dan setelah penyembelihan maupun faktor intrinsik
ternak tercermin pada tingkat penurunan pH. Penurunan pH ini
menyebabkan asam laktat terakumulasi dalam otot, tetapi keadaan ini
tergantung pada kondisi ternak antemortem. Aksi asam laktat dalam otot
mengakibatkan terjadinya denaturasi protein otot, sebagaimana Schafer et
al. (2002) menjelaskan bahwa penurunan pH postmortem berakibat pada
perubahan terhadap tingkat molecular, seperti penyusutan pada kisi
miofilamen dan jembatan silang aktomiosin, penyusutan pada miofibrilar
dan kontraksi serta denaturasi myosin; terjadi perubahan struktural pada
serat dan serabut bundel sehingga memperluas ruang esktra selular; dan
terjadi perubahan permeabilitas terhadap air dalam sel dan membrane
basal.
Susut masak daging pipi pada 6 jam postmortem adalah 31,57 ±
3,36% (Tabel 14). Susut masak termasuk salah satu atribut kualitas daging
yang penting. Terdapat korelasi yang sangat kuat antara pH dan susut
167
masak, yaitu r = -0,84, menunjukkan bahwa semakin rendah pH daging,
maka susut masak semakin tinggi. Kondisi ini tergambar pada tingkat
linearitas persamaan garis hubungan laju antara pH dan susut masak
(Gambar 27). Dari persamaan tersebut menunjukkan bahwa terjadi
kenaikan persentase susut masak sebesar 26,32% setiap terjadinya
penurunan pH 1 poin. Hubungan positif antara susut masak dengan
kemampuan otot melepaskan airnya (mg H2O), menurut Ekiz et al. (2009)
diakibatkan oleh terjadinya penurunan pH.
Gambar 27. Hubungan laju penurunan pH dan susut masak daging pipi sapi Bali
Terjadinya peningkatan pada persentase susut masak sangat
berkaitan dengan DMA daging. Hal ini dapat dijelaskan berdasarkan
Gambar 26, dimana terdapat korelasi positif antara kenaikan persentase
susut masak dengan air yang dilepaskan oleh otot, dengan r = 0,97, yang
berarti ada hubungan yang sangat kuat antara susut masak dan DMA.
Berdasarkan persamaan linear menunjukkan bahwa setiap terjadi kenaikan
y = -26.315x + 184.94R² = 0.6979
05
10152025303540
5.70 5.75 5.80 5.85 5.90 5.95 6.00
Susu
t mas
ak (%
)
pH
168
persentase susut masak sebesar 0,43% menyebabkan terjadinya
pelepasan air otot sebesar 1 mg dengan R2 = 0,95, yang berarti pula bahwa
terdapat sekitar 94,86% susut masak dipengaruhi oleh DMA, dan sisanya
oleh faktor lain.
Daging pipi sapi pada penelitian ini termasuk tipe daging yang
memiliki susut masak sedang yaitu sekitar 31,57 ± 3,36% jika dibandingkan
hasil penelitian Komariah dkk. (2009) pada otot Longissimus ternak sapi
pada jam pengamatan yang sama, yaitu 41,40 ± 0,39%, tetapi lebih tinggi
dari daging domba (28,54 ± 0,92%) dan tidak berbeda dengan daging
kerbau (31,40 ± 0,38%). Menurut Lawrie et al. (2003) kisaran susut masak
dapat bervairiasi antara 1,5% sampai 54,5%. Perbedaan pada susut masak
ini dapat dipengaruhi oleh perbedaan letak otot dan jenis ternak.
Gambar 28. Hubungan antara laju terlepasnya air dan dan susut masak daging pipi sapi Bali.
Susut masak adalah salah satu parameter kualitas daging penting
yang terkait dengan kadar air daging, semakin rendah persentase susut
y = 0.4307x + 13.381R² = 0.9486
0
5
10
15
20
25
30
35
40
30 35 40 45 50 55
Susu
t mas
ak (%
)
Air terlepas (mg H2O)
169
masak menunjukkan semakin sedikit air yang lepas setelah pemanasan.
Hal ini menurut Aaslyng et al. (2003) mengindikasikan bahwa daging
tersebut memiliki kemampuan daya mengikat air yang tinggi. Shanks et al.
(2002) menjelaskan bahwa besarnya susut masak dipengaruhi oleh
banyaknya kerusakan pada membran seluler, banyaknya air yang keluar
dari daging, degradasi protein dan rendahnya kemampuan daging untuk
mengikat air.
Kualitas daging yang lain adalah keempukan. Keempukan dapat
diduga dengan mengukur daya putus daging. Hasil penelitian (Tabel 14)
menunjukkan kisaran daya putus daging pipi adalah 3,12 ± 0,33 kg/cm2.
Daya putus daging pipi menunjukkan nilai yang lebih tinggi dibanding hasil
penelitian Adha (2015) pada tiga jenis otot yang berbeda yaitu Longissimus,
Semitendinosus dan Infraspinatus yaitu berturut-turut 2,49, 3,04 dan 2,64
kg/cm2.
Gambar 29. Hubungan laju penurunan pH dan daya putus daging (kg/cm2)
y = 2.0059x - 8.5613R² = 0.4286
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
5.70 5.75 5.80 5.85 5.90 5.95 6.00
Daya
put
us (k
g/cm
2 )
pH
170
Uji korelasi Pearson menunjukkan ada hubungan yang kuat antara
pH dan daya putus daging yaitu r = 0,66 (Gambar 29), ini sebagaimana
pernyataan Coleman et al. (2016) bahwa ada korelasi pH ultimat dengan
keempukan. Analisis regresi menunjukkan terjadi penurunan daya putus
daging sebesar 0,20% jika terjadi penurunan pH 1 poin, dengan R2 = 0,43.
Rendahnya nilai R2 menunjukkan bahwa ada faktor lain selain pH yang
mempengaruhi daya putus daging, termasuk daya mengikat air, jaringan
ikat dan lemak intramuscular (Ablikim et al., 2015; Wyrwisz et al., 2012).
Terdapat korelasi negatif yang sangat kuat antara daya putus daging
dengan daya mengikat air yaitu r = -0,61 dan berdasarkan persamaan garis
(Gambar 30) menunjukkan bahwa jika terjadi penurunan air otot sebesar
14,15 mg maka akan berakibat pada meningkatnya daya putus daging
sebesar 1 kg/cm2 dengan R2 = 0,37. Koefisien determinasi ini
mengindikasikan bahwa daya mengikat air hanya memberi kontribusi
sekitar 37% terhadap sifat daya putus daging.
Gambar 30. Hubungan laju pelepasan air pada otot (mg) terhadap daya putus daging pipi sapi (kg/cm2).
y = -0.0161x + 3.8096R² = 0.1402
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
30 35 40 45 50 55
Day
a Pu
tus
dagi
ng (k
g/cm
2 )
mg H2O
171
Daya putus daging yang tinggi mengindikasikan bahwa daging
cenderung alot. Daya putus daging pipi terindikasi lebih tinggi dibanding
beberapa jenis otot seperti yang telah disebutkan di atas. Hal ini dapat
dihubungkan dengan sifat daging pipi yang hampir tidak mengandung
lemak, tetapi banyak mengandung jaringan ikat.
Gambar 31. Hubungan laju perubahan pH terhadap warna daging pipi sapi Bali.
Warna daging adalah salah satu atribut penting tingkat ketertarikan
konsumen dalam menilai daging. Hasil penelitian variasi pada warna daging
pipi ditampilkan pada Tabel 14. Warna daging pipi yang diukur
menggunakan colorimeter memiliki tingkat kecerahan, kemerahan dan
kekuningan yang disimbolkan dengan L, a* dan b*. Nilai notasi warna di
antara sampel daging pipi yang diamati menunjukkan nilai yang cukup
bervariasi, dan ini ada kaitannya dengan penurunan pH. Nilai L daging pipi
adalah sekitar 39,12 ± 3,44 dengan kofisien korelasi terhadap pH adalah r
= -0,62. nilai a* berkisar pada 22,97 ± 2,77 dan r = -0,71, dan nilai b* berada
pada kisaran 2,57 ± 1,27 dan r = -0,56. Warna daging pipi menunjukkan
y = -21.192x + 162.63R² = 0.38
y = -17.76x + 126.47R² = 0.4966
y = -5.8534x + 36.687R² = 0.3164
05
101520253035404550
5.70 5.75 5.80 5.85 5.90 5.95 6.00
War
na
pH
L a* b* Linear (L) Linear (a*) Linear (b*)
172
korelasi yang kuat dengan pH. Berdasarkan persamaan garis (Gambar 31)
menunjukkan penurunan pada tingkat kecerahan, kemerahan dan
kekuningan daging pipi secara berturut-turut yaitu sekitar 21,19 (R2 = 0,38),
17,76 (R2 = 0,50) dan 5,85 (R2 = 0,32) seiring terjadinya peningkatan
terhadap pH sebesar 1 poin.
Tingkat kecerahan (L) daging pipi relatif berada pada kisaran
sebagaimana yang dilaporkan oleh Coleman et al. (2016); Page et al.
(2001); Samootkwam et al. (2015) yaitu pada kisaran 37 sampai 41,
meskipun pH otot yang mereka laporkan sedikit lebih rendah dari hasil
penelitian, tetapi tingkat korelasinya sangat kuat. Nilai a* hasil penelitian
berada pada kisaran yang sedikit lebih rendah dari yang dilaporkan Page
et al. (2001) pada otot Longissimus beberapa jenis sapi yaitu berkisar pada
23,40 (sapi perah), 24,78 (heifer), 25,20 (steer) dan 25,17 (Brahman); dan
lebih tinggi dari yang dilaporkan oleh Coleman et al. (2016) pada otot
longissimus beberapa bangsa sapi persilangan. Otot sapi yang dilaporakan
tersebut memiliki pH yang berada pada kisaran pH normal (5,4 sampai 5,7),
dibanding hasil penelitian. Keragaman pada nilai a* dapat dihubungkan
dengan kadar myoglobin otot (Page et al., 2001). Warna daging yang
mengarah pada kekuningan dinotasikan sebagai b* menunjukkan nilai yang
cukup rendah dibanding nilai b* beberapa jenis otot yang dilaporkan (Diniz
et al., 2016; Page et al, 2001; Stadnik dan Dolatowsky, 2011; Wyrwisz et
al., 2012). Intensitas b* oleh Colemen et al (2016) lebih dikaitkan dengan
173
tingkat perlekatan lemak pada daging; atau mungkin jaringan ikat yang
banyak terdapat pada daging pipi (Wyrwisz et al., 2012).
Terdapat korelasi negatif antara pH dengan warna otot daging pipi.
Pasca penyembelihan, pH cenderung menurun akibat proses glikolisis, hal
ini menyebabkan warna daging menjadi lebih cerah. Sebaliknya pada pH di
atas pH normal, warna cenderung mengarah pada warna merah gelap.
Menurut Wyrwisz et al. (2012) ketika pH berada di atas pH normal, protein
menyerap air di otot sehingga serat otot lebih kencang, menyebabkan
dispersi cahaya ke permukaan menjadi berkurang, tetapi otot dengan pH
lebih rendah maka tingkat air bebasnya semakin banyak sehingga akan
banyak serabut otot yang membengkak, menyebabkan warna myoglobin
akan terpantul dan secara visual menghasilkan perpaduan intensitas warna
yang lebih terang. Warna merah cerah pada daging merupakan refleksi dari
kandungan myoglobin dalam daging (Suman dan Joseph, 2012). Ini
menunjukkan bahwa perbedaan jenis ternak, letak otot dan aktivitas otot
dapat menghasilkan perbedaan pada warna daging (Abustam, 2012).
4.3.2 Karakteristik Fisik dan Kimia Sosis Daging Pipi dengan
Penambahan Gelatin pada Level Berbeda 4.3.2.1 Komposisi Kimia Sosis
Karakteristik sosis berbasis daging pipi dengan penambahan gelatin
ikan gabus (GKG) pada level 1%, 2% dan 3% dibandingkan dengan level
gelatin komersial (GKB) 2% tersaji pada Tabel 16. Hasil analisis
menunjukkan bahwa level penambahan GKG dan GKB berpengaruh nyata
174
(P<0,05) terhadap kadar air sosis, tetapi tidak menunjukkan pengaruh nyata
(P>0,05) terhadap protein, kadar lemak, dan kadar abu sosis. Analisis lanjut
pada kadar air menunjukkan antara sosis dengan perlakuan kontrol, 1%
GKG dan 2% GKB tidak berbeda nyata (P>0,05), sedangkan perlakuan 1%,
2% GKB dengan 2% GKG dan 3% GKG menunjukkan perlakuan yang tidak
berbeda nyata (P>0,05).
Tabel 16. Karakteristik fisik sosis dengan penambahan gelatin sebagai binder
Karakteristik Kontrol 1% GKG 2% GKG 3% GKG 2% GKB
Proksimat (%)
Air
Protein
Lemak
Abu
60,43 ± 1,73a
17,48 ± 0,78a
2,41 ± 0,36a
2,06 ± 0,38a
62,09 ± 0,93ab
18,84 ± 1,93a
2,50 ± 0,29a
2,07 ± 0,12a
63,27 ± 0,72b
18,84 ± 1,04a
2,59 ± 0,16a
1,97 ± 0,24a
63,95 ± 1,07b
19,01 ± 0,67a
2,60 ± 0,19a
1,86 ± 0,27a
62,46 ± 1,15ab
18,69 ± 0,85a
2,57 ± 0,15a
2,07 ± 0,18a
Susut masak (%) 12,71 ± 3,18b 6,67 ± 0,87a 6,64 ±1,08a 3,87 ± 2,35a 5,87 ± 0,35a
Stabilitas Emulsi (%) S
AL
LL
16,30 ± 2,92c
11,53 ± 0,50b
4,77 ± 0,02a
11,43 ± 4,68bc
7,13 ± 2,73ab
4,30 ± 0,06a
8,66 ±3,21ab
5,12 ±1,72a
3,53 ±0,03a
5,73 ±0,88a
4,83 ±1,21a
0,90 ±0,01b
8,81 ±0,44ab
5,68 ±2,01ab
3,13 ±0,02a
(a, b, c) Superskrip pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05). Rata-rata ± SEM (n=3). GKG = gelatin kulit ikan gabus, GKB = gelatin komersial bersumber dari tulang bovine, S = supernatan, AL = air yang terlepas, LL = lemak yang lepas
Sosis berbasis daging pipi yang diberi perlakuan level gelatin
berbeda menunjukkan kadar air yang cenderung meningkat seiring dengan
bertambahnya level gelatin, yaitu 60,43 ± 1,73 sampai 63,95 ± 1,07%
tergantung dari level gelatin, dan kadar air sosis telah sesuai dengan
Standard Nasional Indonesia (SNI 01-3820-1995) yaitu di bawah maksimal
67%. Penambahan 1% GKG dalam formula sosis telah dapat
mempengaruhi peningkatan terhadap kadar air sosis dibandingkan
perlakuan kontrol. Hasil pengamatan Lee dan Chin (2016) terhadap
175
penambahan gelatin hingga 1,5% belum memberi pengaruh terhadap kadar
air sosis di antara perlakuan, tetapi sebaliknya pada hasil penelitian Yeo et
al. (2014) menunjukkan terjadi peningkatan terhadap kadar air sosis
dengan penambahan konsentrasi gelatin berbeda.
Perbedaan terhadap kadar air sosis ada kaitannya dengan
kemampuan adonan dalam mengikat air, dan ini tergantung dari jenis
gelatin dengan sifat hidrofilik dan kempuannya dalam membentuk gel
(Feiner, 2006), dan konsentrasi serta formulasi yang digunakan (Lee dan
Chin, 2016; Souissi et al., 2016; Yeo et al., 2014). Fungsi gelatin adalah
mengikat kelebihan air bebas yang terkandung dalam adonan, sehingga air
yang dapat terlepas ketika terjadi proses pemasakan relatif rendah
dibanding sosis tanpa penambahan gelatin (kontrol). Penelitian Schilling et
al. (2003) pada produk daging yang diberi penambahan kolagen babi
secara nyata mampu menurunkan kadar air dibanding kontrol.
Penambahan gelatin hingga 3% GKG dan 2% GKB tidak
berpengaruh terhadap kadar protein, lemak dan abu sosis sebagaimana
pada Tabel 16, tetapi telah memenuhi standard yang ditetapkan oleh SNI
01-3820-1995 yaitu minimal 13% untuk protein, maksimal 25% untuk lemak
dan maksimal 3% untuk abu. Kisaran kadar protein sosis berbasis daging
pipi adalah 17,48 ± 0,78% sampai 19,01 ± 0,67%.
Persentase protein sosis berbasis daging pipi tidak menunjukkan
perbedaan nyata di antara perlakuan (P>0,05), tetapi penambahan gelatin
cenderung dapat meningkatkan kadar protein sosis meskipun dalam jumlah
176
persentase yang sedikit. Rendahnya kenaikan kadar protein ini mungkin
karena penambahan gelatin dalam jumlah yang sedikit. Berbeda pada sosis
yang diberi level gelatin dalam jumlah yang relatif banyak, sebagaimana
penelitian Yeo et al. (2014) yang mengggunakan gelatin hingga 20% b/b.
Berbeda dengan hasil penelitian Souissi et al. (2016), menunjukkan adanya
peningkatan pada kadar protein sosis dari 17,58 ± 0,92 % menjadi 20,56 ±
1,07% pada penambahan gelatin hingga 1,5%. Hal ini mengindikasikan
bahwa selain level gelatin, jenis gelatin dapat mempengaruhi kadar protein
sosis yang dihasilkan (Pereira et al., 2011), dimana kandungan protein
gelatin berbeda-beda, tergantung dari sumber bahan bakunya.
Kadar lemak sosis berbasis daging pipi ini cenderung rendah yaitu
sekitar 2,41 ± 0,36% sampai 2,69 ± 0,14%. Rendahnya kadar lemak sosis
terkait dengan jumlah lemak yang ditambahkan dan kadar lemak bahan
baku sendiri, dimana daging pipi memiliki kadar lemak <1% (Tabel 15).
Secara keseluruhan, kadar lemak sosis menunjukkan nilai yang tinggi pada
sosis dengan perlakuan GKG 3% dan GKB 2%, dibandingkan pada
perlakuan kontrol maupun GKG 1% dan GKG 2%.
Kadar lemak yang tinggi seiring dengan bertambahnya level gelatin
mungkin saja terjadi karena kemampuan gelatin mengikat lemak lebih baik
dibandingkan pada level gelatin yang lebih rendah. Pada sosis dengan level
gelatin rendah terdapat sejumlah lemak yang tidak dapat berikatan secara
sempurna dengan protein, akibatnya terjadi pelarutan lemak bersama air
selama proses pemasakan. Lemak yang terikat secara longgar maupun
177
yang tidak terikat oleh protein akan menjadi lemak bebas di dalam adonan
dan dapat terlepas dengan mudah dalam air ketika proses perebusan.
Penambahan gelatin sebagai bahan aditif dapat mempengaruhi
karakteristik sosis, meskipun efek ini tergantung dari jenis bahan baku yang
digunakan (Cofrades et al., 2000; Pereira et al., 2011).
Kadar abu sosis berbasis daging pipi berada pada kisaran 1,86 ±
0,27% sampai 2,07 ± 0,18%, menunjukkan semakin tinggi level GKG maka
kadar abu semakin menurun. Tampaknya, kadar abu sosis dengan
perlakuan 2% GKB menunjukkan kadar abu yang relatif tinggi dibanding
kadar abu sosis GKG dengan level yang sama. Dugaan penulis sejauh ini
bahwa kadar abu lebih dipengaruhi oleh penambahan gelatin meskipun
pengaruhnya tidak signifikan, sehingga jika dianggap penting dan menarik,
maka penelitian lebih lanjut terkait kadar abu sosis dapat dilakukan untuk
mengamati fenomena tersebut.
3.2.2 Susut Masak
Hasil penelitian menunjukkan ada pengaruh nyata (P<0,05)
perlakuan terhadap susut masak sosis. Penambahan level gelatin 1%
sampai 3% GKG maupun 2% GKB memperlihatkan tidak ada perbedaan
terhadap susut masak (P>0,05), tetapi seiring meningkatnya level gelatin,
maka susut masak cenderung menurun. Susut masak berdasarkan level
gelatin berbeda tersaji pada Tabel 17.
Bertambahnya level gelatin, maka susut masak sosis cenderung
menurun, sebagaimana Pereira et al. (2016) yang menegaskan bahwa
178
binder dengan kadar protein yang lebih tinggi dapat membantu
memperbaiki stabilitas emulsi selama pemasakan. Gelatin adalah
hidrokoloid yang dapat dijadikan sebagai bahan aditif yang berfungsi
mengikat air dan lemak, dikarenakan gelatin mengandung protein tinggi
dengan asam-asam amino yang hampir lengkap (kecuali sistein dan
triptofan). Terjadinya pengikatan protein pada lemak dan air adalah fungsi
dari asam amino yang terkandung dalam gelatin. Sifat asam amino yang
bekerja sebagai hidrofilik dan hidrofobik memiliki peran besar dalam proses
terjadinya emulsifikasi pada adonan sosis. Asam-asam amino ini
merupakan protein aktif yang bekerja mengikat air pada sisi hidrofiliknya,
dan mengikat lemak pada sisi hidrofobiknya, sebagaimana Feiner (2006)
bahwa protein yang ditambahkan dapat bekerja secara aktif dengan
menghambat mobilisasi air dan mengemulsi lemak yang ditambahkan serta
menstabilkan air dan lemak dalam matriks tiga dimensi.
Penyusutan sosis terjadi disebabkan oleh pelepasan air dan lemak
yang tidak terikat dalam matriks adonan selama proses perebusan. Ketika
perebusan, baik air, lemak, maupun larutan gel (yang mungkin terbentuk)
yang bercampur bersama bahan lain dalam bentuk cairan supernatan dapat
merembes keluar menyebabkan terjadi penyusutan (Ranken, 2000),
semakin banyak air/lemak/gel yang terlepas maka susut masak semakin
tinggi. Semakin rendah susut masak, rendemen sosis akan semakin tinggi,
dan ini merupakan bagian penting dalam produksi pangan, karena
179
berkaitan dengan efisiensi pemanfaatan bahan dalam pengolahan pangan
tersebut (Cheng dan Sun, 2008; Pietrasik, 1999).
3.2.3 Stabilitas Emulsi Sosis
Hasil analisis yang tersaji pada Tabel 17 menunjukkan ada pengaruh
nyata (P<0,05) penambahan gelatin terhadap tingkat stabilitas emulsi sosis,
yang dinyatakan sebagai total cairan/supernatan yang lepas (S), air lepas
(AL) dan lemak lepas (LL). Pada analisis lanjut menunjukkan persentase
supernatan dengan penambahan 3% GKG adalah yang terbaik di antara
seluruh perlakuan, tetapi tidak berbeda dengan perlakuan 2% GKG dan 2%
GKB (P>0,05), sedangkan antara perlakuan 2% GKG, 2% GKB dan 1%
GKG tidak berbeda nyata (P>0,05), dan antara 1% dan kontrol juga
menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05). Semakin tinggi level GKG,
maka supernatan (S) yang dapat dilepaskan semakin sedikit, menunjukkan
efektivitas gelatin dalam mengikat lemak dan air semakin tinggi. Bagian dari
supernatan adalah air dan lemak.
Hasil analisis lanjut menunjukkan ada perbedaan perlakuan
terhadap persentase AL (P<0,05). Meskipun demikian, tidak ada perbedaan
yang nyata persentase AL antara perlakuan 3% GKG, 2% GKG, 2% GKB
dan 1% GKB (P>0,05); dan antara perlakuan 2% GKB, 1% GKG dan kontrol
(P>0,05). Penambahan gelatin terhadap kemapuan sosis melepaskan
lemak (LL) juga menunjukkan ada perbedaan nyata (P<0,05) di antara
perlakuan. Perlakuan 3% GKG berbeda nyata dengan perlakuan lainnya
(P<0,05), sedangkan perlakuan kontrol, 1% GKG, 2% GKG dan 2% GKB
180
tidak berbeda nyata (P>0,05). Penambahan sampai pada taraf 3% GKG
menunjukkan paling efektif meningkatkan jumlah lemak yang dapat diikat
oleh protein selama proses emulsifikasi.
Semakin tinggi kadar GKG, stabilitas emulsi sosis semakin baik.
Perlakuan GKG terhadap persentase AL dan LL mengindikasikan tidak ada
perbedaan dengan GKB pada taraf 2%, yang berarti efektivitas gelatin ikan
gabus tidak berbeda jauh dengan gelatin komersial dalam mempengaruhi
stabilitas emulsi sosis. Proses emulsifikasi untuk terjadinya stabilitas emulsi
mengikuti teori emulsi (Barbut, 1995) bahwa, lemak distabilkan dalam
adonan daging membentuk lapisan permukaaan protein (film protein
interfacial, IPF) di sekitar globular kecil lemak, yang mana film ini berfungsi
sebagai antarmuka di antara fase berair dan lemak serta mencegah air dan
lemak untuk berkoalesensi (membentuk partikel besar).
Secara umum stabilitas emulsi tidak semata-mata dipengaruhi oleh
gelatin. Pereira et al. (2016), Santhi et al. (2015) menyebutkan bahwa
stabilitas emulsi dapat dipengaruhi oleh jenis dan kadar lemak, kadar air
yang ditambakan, tipe serat, bahan aditif, konsentrasi garam, metode
pengolahan dan lain-lain. Stabilitas emulsi dalam penelitian ini erat
kaitannya dengan kemampuan gelatin melakukan pengikatan terhadap air
dan lemak, yang ditandai dengan adanya perbedaan yang sangat nyata
antara perlakuan dengan dan tanpa penambahan gelatin. Barbut (1995)
menekankan bahwa hal mendasar yang harus diminimalisir dalam proses
pemasakan produk daging adalah terjadinya pelepasan air dan lemak.
181
Dengan demikian, Rendahnya AL dan LL dengan semakin tingginya level
gelatin menunjukkan keefektifan gelatin dalam mengikat air dan lemak.
Stabilitas emulsi sangat penting untuk memperoleh sosis dengan
karakteristik yang kompak. Penambahan gelatin sebagai binder
dimaksudkan untuk membantu terjadinya pengikatan protein terhadap air
dan lemak yang ditambahkan dalam adonan sosis (Pereira et al., 2016).
Feiner (2006) menjelaskan bahwa tujuan pemasakan dalam pembuatan
sosis adalah untuk mengemulsikan lemak yang ditambahkan dan untuk
mengikat atau menonaktifkan air ketika ada penambahan air bersama
dengan protein aktif. Protein aktif yang dimaksud adalah gelatin yang
termasuk jenis hidrokolid hewani dengan asam-asam aminonya yang
berantai samping aktif, sebagaimana Ayadi et al. (2009) bahwa ini karena
protein memiliki zat aktif permukaan pada kedua sisinya yang bersifat
hidrofilik dan hidrofobik; dan dengan fungsinya tersebut dapat membantu
memperbaiki karakteristik produk, sebagaimana yang juga telah dibuktikan
oleh Kim et al. (2014), Lee dan Chin (2016), Souissi et al. (2016), Yeo et al.
(2014).
3.2.4 Profil Tekstur Sosis
Tekstur termasuk salah satu atribut penting dan cukup
diperhitungkan baik pada bahan pangan maupun produk akhirnya. Hasil
analisis pada Tabel 17 menunjukkan penambahan gelatin berpengaruh
nyata (P<0,05) terhadap sifat kekerasan (hardness), daya kohesif
(cohesiveness), elastisitas dan daya iris (cutting force) sosis.
182
Tabel 17. Profil tekstur sosis menggunakan level gelatin berbeda
Tekstur Kekerasan (g force)
Daya Kohesive Elastisitas (%)
Daya Iris (g force)
Kontrol 3012,90 ± 146,89a 0,41 ± 0,00a 75,87 ± 4,45a 10556,67 ± 1268,51b
1% GKG 3356,04± 645,98a 0,43 ± 0,03a 76,22 ± 5,18a 6833,00 ± 2022,28a 2% GKG 3457,70 ± 429,90a 0,43 ± 0,10a 81,14 ± 1,77ab 5899,00 ± 1000,75a
3% GKG 3795,10 ± 320,29ab 0,43 ± 0,04a 87,33 ± 2,16b 4747,67 ± 1264,16a 2% GKB 4302,70 ± 495,25b 0,60 ± 0,06b 85,96 ± 7,52b 5473,00 ± 493,21a
GKG = gelatin kulit ikan gabus, GKB = gelatin komersial bersumber dari tulang bovine. (a, b, c) Rata-rata ± SEM (n=3) pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)
Analisis lanjut menunjukkan kekerasan sosis cenderung dipengaruhi
oleh level gelatin (P<0,05). Tingkat kekerasan terendah ditunjukkan oleh
perlakuan kontrol, sebaliknya perlakuan 2% GKB merupakan representasi
tingkat kekerasan tertinggi pada sosis. Tidak ada perbedaan nyata antara
perlakuan 3% GKG dan 2% GKB (P>0,05), dan perlakuan 3% GKG, 2%
GKG, 1 % GKG dan kontrol menunjukkan tidak ada perbedaan (P>0,05)
terhadap kekerasan sosis. Meskipun demikian, semakin tinggi level GKG
maka tingkat kekerasan sosis cenderung semakin meningkat, dan
tampaknya 2% GKB memberi tingkat kekerasan sosis lebih baik dibanding
3% GKG. Ini mungkin dapat dikaitkan dengan kekuatan gel dan sifat
hidrofobik GKB yang lebih baik dibanding GKG.
Penambahan gelatin mempengaruhi tingkat kekerasan sosis,
semakin tinggi level gelatin maka kekerasan sosis semakin meningkat.
Sejumlah penelitian penambahan gelatin terhadap karakteristik kekerasan
sosis menunjukkan hal yang sama (Ch’ng et al., 2014; Chorbadzhiev et al.,
2017; Jridi et al., 2015b). Ch’ng et al., 2014 menjelaskan bahwa
meningkatnya kekerasan sosis pada level gelatin yang tinggi dapat
dikaitkan dengan ketersediaan air dan lemak serta kemampuan gelatin
183
sebagai binder dalam menyatu bersama bahan lain sehingga menghasilkan
tekstur produk yang homogen.
Tingkat kekerasan produk sosis tidak telepas dari dari jenis bahan
baku dalam formulasi (Santana et al., 2013; Singh et al., 1985). Tingkat
kekerasan pada sosis kontrol sekitar 3012,90 ± 146,89 g force, lebih rendah
dari sosis surimi ikan yang dilaporkan Santana et al. (2013), yaitu 4,15 ±
0,02 kg force, dan lebih tinggi dibanding sosis ayam yang dilaporkan Ch’ng
et al (2014), yaitu 230,7 ± 3,74 g force. Hal ini Mengindikasikan bahwa
bahan baku dapat mempengaruhi tingkat kekerasan sosis.
Daging pipi termasuk jenis daging dengan daya mengikat air relatif
sedang, kadar lemak sangat rendah, dengan nilai daya putus relatif tinggi
(Tabel 14), dan secara visual menunjukkan jaringan ikat yang cukup
banyak. Kemapuan adonan mempertahankan kadar air sebagai efek dari
penambahan gelatin selama proses pemasakan menyebababkan sosis
menjadi lebih padat dan kompak akibat terjadinya ikatan antara lemak, air
dan protein membentuk matriks tiga dimensi. Disaat bersamaan, ketika
pemanasan berlangsung terjadi kerusakan pada jaringan ikat, tetapi,
jaringan ikat terekstrak menyebabkan terbentuknya gel yang melebur
bersama air, dan kemudian ikut berikatan bersama lemak bebas dan protein
miofibrilar dalam adonan sehingga menyebabkan tercegahnya baik air
maupun lemak keluar dari adonan sosis. Terperangkapnya air dalam
adonan diduga menyebabkan tingkat kekerasan sosis relatif meningkat
seiring dengan semakin bertambahnya level gelatin. Hal ini telah dikaji
184
oleh Ayadi et al. (2009) pada tekstur daging kalkun dan menunjukkan
bahwa kandungan protein, sumber protein, perbedaan rasio antara lemak
dan air, dan rasio protein dan air berperan penting terhadap tekstur produk
yang dihasilkan. Tingkat kekerasan sosis dalam penelitian bervariasi antara
3012,90 ± 146,89 g force sampai 4302,70 ± 495,25 g force, tergantung dari
level dan jenis gelatin.
Pada analisis lanjut daya kohesif sosis menunjukkan ada perbedaan
nyata antara perlakuan (P<0,05). Penambahan 2% GKB menunjukkan
tingkat kohesif sosis lebih tinggi dibanding perlakuan lain (P<0,05). Daya
kohesif adalah ukuran derajat kesulitan dalam merusak struktur internal,
sebagaimana Chorbadzhiev et al. (2017) menyebutkan bahwa profil tekstur
ini bertangggung jawab terhadap integritas sosis. Daya kohesive sosis pada
perlakuan yang berbeda menunjukkan nilai yang berkisar antara 0.4 sampai
0.6. Semakin mendekati 1 maka integritas produk semakin baik.
Penambahan level GKG berbeda tidak memberi nilai kohesif
berbeda dengan kontrol, meskipun tingkat kohesif perlakuan kontrol lebih
rendah dibanding seluruh perlakuan GKG. Penambahan 2% GKB
menunjukkan tingkat kohesif lebih baik di antara seluruh perlakuan,
semakin rendah nilai kohesif mengindikasikan adanya disintegritas produk
yang dihasilkan, yang menurut Resurreccion (2004) terkait dengan produk
daging berkulitas rendah ataupun terjadinya cacat structural. Penambahan
binder semisal gelatin dapat membantu memperbaiki tekstur sosis, akibat
terjadinya peningkatan terhadap retensi air. Sousa et al (2016)
185
menjelaskannya bahwa penambahan kolagen akan mempertahankan
kandungan air secara kimiawi melalui matriks protein, dan menyebabkan
terjadinya pembengkakan akibat kontak dengan air.
Penambahan gelatin terhadap sifat elastisitas sosis menunjukkan
antara perlakuan 3% GKG, 2% GKB dan 2% GKG tidak berbeda nyata
(P>0,05), demikian halnya perlakuan 2% GKG, 1% GKG dan kontrol
(P>0,05). Elastisitas sosis menggunakan level gelatin berbeda
menunjukkan nilai yang cenderung meningkat seiring meningkatnya level
gelatin dibandingkan kontrol, dan antara perlakuan 2% GKG memiliki
tingkat elastisitas relatif lebih tinggi dibanding perlakuan 2% GKB.
Elastisitas adalah salah satu sifat reologi yang menggambarkan daya tahan
produk untuk lepas atau pecah akibat gaya tekan, dimana produk memiliki
kemampuan untuk kembali pada kondisi semula ketika tekanan
dihilangkan. Kondisi ini sangat dipengaruhi oleh retensi air akibat adanya
binder yang ditambahkan, sebagaimana pengamatan Prestes et al. (2012)
dalam penambahan kolagen hydrolisat pada produk ham masak (cooked
ham) daging kalkun menghasilkan produk dengan ketahanan yang lebih
tinggi terhadap kompresi. Semakin tinggi nilai elastisitas menunjukkan
tingkat kestabilan tekstur semakin baik.
Semakin tinggi level gelatin maka daya iris sosis semakin menurun,
tetapi secara statistik menunjukkan antara perlakuan 3% GKG, 2% GKB,
2% GKG dan 1% GKG adalah sama (P>0,05), dan berbeda dengan kontrol
(P<0,05). Daya iris sosis tertinggi dijumpai pada perlakuan kontrol, dan
186
terendah pada perlakuan 3% GKG. Hal yang sama dilaporkan oleh Prestes
et al. (2012) terhadap daya iris ham masak daging kalkun yang daya irisnya
lebih tinggi dibanding dengan yang diberi perlakuan colagen hirolisat.
Semakin tinggi level sosis, daya iris sosis relatif rendah.
Daya iris sosis berbasis daging pipi ini mungkin terkait dengan bahan
baku daging yang digunakan, dimana karakteristik daging pipi relatif alot,
akibat penebalan jaringan ikat yang cukup padat. Penambahan gelatin
memberi perbaikan terhadap nilai daya iris sosis. Semakin tinggi level
gelatin yang ditambahkan, maka daya iris sosis semakin rendah. Selain
faktor bahan baku, daya iris dapat dikaitkan dengan susut masak.
Sosis yang diberi perlakuan gelatin akan cenderung menjadi tender
dibanding yang tanpa gelatin, karena gelatin yang ditambahkan mampu
melakukan pengikatan terhadap air. Air yang ditambahkan dapat
menyebabkan retensi sosis terhadap air menjadi tinggi. Demikian halnya
penambahan gelatin menyebabkan terjadinya pengikatan pada lemak,
yang juga dapat memberi sifat tender pada produk akhir. Kombinasi kadar
air yang tinggi dengan lemak yang menyatu lebih sempurna pada produk
akan memberi sifat yang lebih tender. Sebaliknya pada perlakuan kontrol,
dimana air maupun lemak dapat secara bebas keluar dari matriks produk
selama proses pemanasan, yang ditandai dengan tingginya susut masak
menyebabkan produk sosis relatif kurang tender.
187
3.2.5 Mikrostruktur Sosis
Pengamatan terhadap mikrostruktur sosis ditujukan untuk
membandingkan penampang matriks sosis yang diberi perlakuan
penambahan gelatin terhadap tampilan struktur mikroskopis sosis. Proses
penggilingan daging, penambahan lemak, dan sejumlah bahan pengisi lain
disertai penambahan air akan menghasilkan adonan yang membentuk
emulsi.
Proses pengolahan seperti penggilingan akan menyebabkan
terjadinya kerusakan pada struktur bahan, terutama struktur myofibrilar
daging. Rusaknya myofibrilar ini menyebabkan terjadinya penurunan
terhadap retensi air daging. Penambahan lemak dan air untuk membentuk
sstem emulsi pada adonan dengan karakter struktur myofibril yang telah
rusak justru akan berakibat pada tekstur yang pecah dan kurang kompak
setelah terjadi proses pemanasan. Penambahan binder dalam formulasi
dapat membantu proses penyatuan antara protein myofibrilar, lemak dan
air.
Mikrostruktur sosis berdasarkan Gambar 32 di atas menunjukkan
adanya perbedaan pada penampang permukaan sosis secara jelas.
Gambar 32-A dan 32-B memperlihatkan struktur matriks sosis yang lebih
longgar dibanding struktur matriks sosis pada Gambar 32-C. Struktur yang
longgar mengakibatkan sosis menjadi kurang kompak, sedangkan Gambar
32-D dan 32-E memperlihatkan struktur sosis yang lebih kompak.
188
A B
C D
E
Gambar 32. Profil mikrostruktur sosis pada level berbeda (Perbesaran × 400). A= kontrol; B= 1% GKG, C = 2% GKG; D= 2% GKB; E= 3% GKG; a= mikroorganisme; b= lubang setengah lingkaran sebagai tempat deposisi lemak yang tidak terikat; c= lubang yang menyerupai pori akibat adanya air bebas; d= larutan gelatin; e= serat daging; f= permukaan sosis yang retak.
Struktur matriks sosis yang relatif longgar (Gambar 32-A)
disebabkan karena air-protein-lemak tidak mampu berikatan satu dengan
lainnya. Keadaan ini menyebabkan sosis tanpa penambahan gelatin
menjadi lebih mudah menyerap air di sekitarnya, sehingga kemungkinan
b
c
b a a
d
d d
d e e
e
f
189
mikroorganisme lebih mudah bertumbuh dan menghasilkan lapisan
permukaan yang tampak seperti molekul minyak (Gambar 32-a). Ini
berimplikasi pada lebih mudahnya sosis mengalami penurunan mutu
selama penyimpanan. Penambahan 1% GKG (Gambar 32-B) tampaknya
telah dapat membantu terjadinya penyatuan antara air-protein-lemak
meskipun belum optimal, yang ditandai oleh terdapatnya pori sebagai efek
dari air yang tidak terikat (Gambar 32-c), dan pola menyerupai setengah
lingkaran sebagai deposit lemak yang tidak terikat dengan komponen air
dan protein (Gambar 32-b).
Penambahan 2% GKG (Gambar 32-C) memperlihatkan struktur
penampang sosis lebih baik dibanding kontrol dan 1% GKG, dimana
terjadinya pengikatan air-protein-lemak menjadikan struktur matriks sosis
terlihat lebih menyatu dengan baik. Berbeda dengan penambahan 2% GKB
dan 3% GKG (Gambar 32-D dan 32-E), penampang permukaan sosis
tampak sangat padat tetapi menghasilkan kekuatan tarik yang lebih besar,
sehingga kondisi ini justru menghasilkan struktur sosis yang cenderung
seolah retak (Gambar 32-f).
3.3 Karakteristik Sosis Selama Penyimpanan
3.3.1 Daya Mengikat Air Sosis
Hasil analisis ragam pada perbedaan level gelatin memperlihatkan
adanya pengaruh nyata (P<0,05), sedangkan lama penyimpanan tidak
berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap air yang dilepaskan (mg H2O) sosis.
190
Gambar 33. Pengaruh penambahan level gelatin dan lama penyimpanan terhadap kadar air yang terlepas (mg H2O).
Penambahan level gelatin yang berbeda memberi pengaruh pada
daya mengikat air sosis, yang ditandai dengan relatif rendahnya air yang
terlepas (mg H2O) pada setiap gram sosis ketika dilakukan penekanan
dengan alat tekan (filter paper press) dibanding kontrol. Semakin tinggi level
gelatin maka air yang terlepas semakin sedikit (P<0,05). Sebagaimana
pada Gambar 33 menunjukkan antara perlakuan kontrol dan perlakuan
yang lain ada perbedaan nyata (P<0,05), tetapi perlakuan 2% GKG, 2%
GKB dan 3% GKG tidak berbeda nyata (P>0,05). Penambahan minimal 2%
GKG telah dapat memperbaiki kemampuan sosis dalam mengikat air sosis
berbasis daging pipi sapi, dan tampaknya semakin tinggi level gelatin yang
ditambahkan maka daya mengikat air cenderung semakin meningkat. Hasil
penelitian penggunaan jenis GKG dan GKB juga tidak memperlihatkan ada
perbedaan dalam kemampuannya mengikat air. Air terlepas dari sosis
yang diberi perlakuan kontrol adalah 38,57 ± 8,01 mg H2O/g lebih besar
10
15
20
25
30
35
40
45
50
0 7 1 4 2 1 2 8
Air
terle
pas
(mg
H2O
)
Lama penyimpanan (hari)
Kontrol 1%GKG 2%GKG 3%GKG 2%GKB
191
dibanding perlakuan 1% GKG yaitu 33,48 ± 5,86 mg H2O/g, dan perlakuan
2% GKG, 2%GKB dan 3% GKG yaitu masing-masing 27,28 ± 8,42, 24,06
± 7,57 dan 23,03 ± 4,98 mg H2O/g.
Lama penyimpanan tidak mempengaruhi kemampuan sosis dalam
mengikat air (P>0,05), semakin lama waktu penyimpanan maka
kemampuan sosis untuk melepaskan air relatif stabil. Banyaknya air yang
terlepas selama penyimpanan hingga 28 hari adalah antara 28,03 ± 7,10
sampai 29,68 ± 10,65 mg H2O/g sosis.
Semakin tinggi level gelatin, kemampuan sosis melepaskan air
semakin sedikit, atau dengan kata lain kemampuan mengikat airnya
semakin tinggi. Hal ini sejalan dengan penelitian Jridi et al. (2015b) pada
sosis kalkun yang memperlihatkan terjadinya peningkatan kemampuan
menahan air seiring dengan meningkatnya level gelatin. Darmanto et al.
(2014) mengemukakan kemampuan mengikat air merupakan indikator
kualitas protein, semakin tinggi kemampuan bahan dalam mengikat air,
maka kualitas proteinnya semakin baik.
Proses pengolahan terutama penggilingan mengakibatkan
terjadinya kerusakan pada struktur protein myofibril, akibatnya sifat myofibril
yang dapat mempertahankan air daging menjadi berkurang. Penambahan
gelatin mampu menggantikan fungsi protein myofibril menahan terlepasnya
air sekaligus dapat mengikat lemak yang ditambahkan ke dalam adonan
sehingga menghasilkan sosis dengan kemampuan mengikat air yang dapat
dipertahankan sampai penyimpanan 28 hari. Ini ditandai dengan
192
persentase air yang terlepas (mg/g) pada sosis cenderung lebih rendah
dibanding kontrol (Gambar 33). Jridi et al. (2015b) menjelaskan bahwa
penambahan gelatin mengakibatkan terjadinya ikatan silang dari rantai-α
gelatin secara kovalen menjadi bentuk matriks yang membengkak akibat
lingkungan yang mengandung air. Air dalam bentuk gel ini kemudian
tertahan bersama protein dalam adonan sebagai fungsi kerja asam amino
hidrofilik gelatin, dan tetap bertahan sebagaimana kondisi awalnya
manakala dilakukan penyimpanan suhu dingin.
3.3.2 pH Sosis
Penambahan level gelatin yang berbeda berpengaruh terhadap pH
sosis (P<0,05), demikian pula lama penyimpanan menyebabkan pH gelatin
mengalami perubahan (P<0,05), dan tidak ada interaksi antara level gelatin
dan lama penyimpanan terhadap pH sosis (P>0,05). Pengaruh
penambahan level gelatin dan lama penyimpanan terhadap pH sosis tersaji
pada Gambar 32.
Penambahan level gelatin antara 1% GKG, 2% GKG dan 2% GKB
menunjukkan tidak ada perbedaan nyata (P>0,05) terhadap pH sosis,
adapun pada perlakuan kontrol menunjukkan pH sosis yang lebih tinggi,
sedangkan penambahan level 3% GKG menghasilkan sosis dengan pH
yang lebih rendah (P<0,05).
193
Gambar 34. Pengaruh penambahan level gelatin dan lama penyimpanan terhadap pH
Level gelatin berbeda memperlihatkan perbedaan pH sosis.
Penambahan level gelatin baik GKG maupun GKB menghasilkan nilai
kisaran pH yang relatif sama, adapun pH perlakuan 3% GKG menghasilkan
sosis dengan pH yang relatif lebih rendah di antara semua perlakuan.
Perbedaan pH ini mungkin ada kaitannya dengan pH gelatin yang
digunakan.
Sosis tanpa penambahan gelatin memperlihatkan kisaran pH hingga
penyimpanan selama 28 jam relatif lebih tinggi dibanding pH perlakuan lain.
Menurut Ch’ng et al. (2014) hal ini ada kaitannya dengan adanya akumulasi
metabolit yang disebabkan oleh kerja mikroba pada protein dan asam
amino selama penyimpan.
5.50
6.00
6.50
7.00
7.50
0 7 1 4 2 1 2 8
pH
Lama penyimpanan (hari)
Kontrol 1%GKG 2%GKG 3%GKG 2%GKB
194
3.3.3 Aktivitas Antioksidan Sosis
Berdasarkan analisis keragaman menunjukkan baik level gelatin
maupun lama penyimpanan menunjukkan pengaruh sangat nyata (P<0,05)
terhadap aktivitas antioksidan gelatin pada sosis meat by-product, tetapi
tidak ada interaksi di antara keduanya (P>0,05). Gambar 35
memperlihatkan pengaruh penambahan level gelatin dan lama
penyimpanan terhadap aktivitas antioksidan pada sosis.
Penambahan gelatin pada level berbeda menunjukkan ada
perbedaan aktivitas antioksidan di antara perlakuan (P<0,05). Persentase
aktivitas antioksidan pada kontrol merupakan yang terendah di antara
perlakuan, sedangkan pada penambahan level 2% GKB menunjukkan
persentase yang tertinggi. Penambahan level 1% GKG dan 2% GKG tidak
berbeda nyata, demikian pula 2% GKG dan 3% GKG, dan antara 3% GKG
dan 2% GKB (P>0,05). Semakin besar level GKG yang ditambahkan maka
aktivitas antioksidan sosis semakin meningkat, dan penambahan 2% GKB
cenderung menunjukkan aktivitas yang lebih baik dibanding perlakuan 2%
GKG. Indikasi ini menunjukkan bahwa perbedaan jenis gelatin dapat
menghasilkan respon yang berbeda terhadap kemampuannya menangkal
radikal bebas, sebagaimana aktivitas antioksidan tiga jenis gelatin dari
sumber ikan berbeda, yang dilaporkan oleh Alemán et al. (2011) pada flying
squid (Dosidicus gigas), tuna (Thunnus spp.) dan halibut (Hypoglossus
spp.), dan Kittiphattanabawon et al. (2012a) pada gelatin kulit Chiloscyllium
punctatum dan Carcharhinus limbatus.
195
Gambar 35. Pengaruh penambahan level gelatin dan lama penyimpanan
terhadap aktivitas antioksidan (%) sosis
Semakin tinggi level gelatin dalam sosis maka aktivitas
aktioksidannya semakin meningkat. Hal ini ada kaitannya dengan
kemampuan sosis menahan air dan lemak yang lebih baik seiring semakin
tingginya level gelatin yang ditambahkan. Terjadinya pengikatan antara air-
protein-lemak yang dimediasi oleh gelatin, sebagaimana yang
divisualisasikan pada Gambar 36 menghasilkan struktur sosis yang
kompak, dimana air, protein (serat daging) dan lemak yang terperangkap
diantara larutan gelatin menghasilkan ikatan yang stabil dalam matriks tiga
dimensi air-protein-lemak. Kekuatan ikatan yang terbentuk ini dapat
menghambat terjadinya pembentukan radikal bebas sebagai akibat dari
adanya air atau lemak yang bergerak bebas. Formasi ikatan air-protein-
lemak yang terbentuk adalah barrier bagi terjadinya pembentukan radikal
bebas akibat oksidasi sejumlah molekul lemak atau protein. Mediasi yang
0
5
10
15
20
25
30
35
0 7 1 4 2 1 2 8
Akt
ivita
s a
ntio
ksid
an
(%)
Lama penyimpanan (hari)
Kontrol 1%GKG 2%GKG 3%GKG 2%GKB
196
dijalankan oleh gelatin tidak lepas dari fungsi asam-asam amino hidrolifik
dan hidrofobik, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam sub-sub
pembahasan di atas.
Sejauh ini penggunaan gelatin sebagai antioksidan alami hampir
tidak ditemukan, tetapi pengamatan Sae-Ieaw et al. (2015) dalam menguji
efektivitas kerja gelatin hidrolisat dengan konsentrasi berbeda
menggunakan assay DPPH menunjukkan korelasi positif konsentrasi
gelatin hidrolisat dengan efektivitasnya dalam menangkal radikal bebas.
Nikoo et al. (2015) menjelaskan bahwa rangkaian peptide asam amino
dalam gelatin bekerja menghambat mobilisasi molekul air ke dalam
kompartemen yang berbeda, dan keadaan ini dapat menyebabkan air tetap
dalam keadaan stabil sehingga proses oksidasi yang dapat melibatkan
protein dan lemak yang kemungkinan terjadi dalam waktu yang cepat dapat
diperpanjang.
Aktivitas gelatin sebagai antiosidan tidak terlepas dari fungsi asam
amino, yang menurut Matsui et al. (2017) diperankan oleh rantai aktifnya
dan menurut Jiang et al. (2018) ditentukan oleh sekuen asam aminonya.
Chi et al. (2015) menegaskan bahwa ukuran molekul yang lebih kecil,
keberadaan residu asam amino hidrofobik dan aromatik, serta sekuen asam
amino adalah faktor kunci yang menentukan aktivitas antioksidan dari
protein, hidrolisat dan peptida. Asam-asam amino ini bereaksi dengan
radikal bebas dan mengubahnya menjadi produk yang stabil. Belum
diketahui pasti jenis asam amino dalam GKG maupun GKB yang berpotensi
197
sebagai antioksidan, tetapi mungkin hampir semua asam amino dapat
mengambil peran dalam proses penghambatan terhadap kerja radikal
bebas pada sosis akibat oksidasi maupun proses pengolahan.
Sebagaimana Lobo et al. (2010) mengasumsikan dua mekanisme prinsip
kerja antioksidan yaitu terjadinya pemecahan rantai sehingga asam-asam
amino reaktif gelatin akan menyumbangkan elektronnya pada radikal
bebas; dan kerja antioksidan mengarahkan efeknya dengan melakukan
donor elektron, mengkelat ion logam, maupun bekerja sebagai ko-
antioksidan.
Gambar 36. Visualisasi ikatan antara air-protein-lemak yang dimediasi oleh gelatin. a= serat daging; b= gelatin sisi hidrofilik; c= molekul air; d= molekul lemak; dan e= gelatin sisi hidrofobik
Gelatin dapat bekerja sebagai antioksidan, meskipun efektivitas
kerjanya dalam menangkal radikal bebas relatif rendah dibanding gelatin
hidrolisat (Kittiphattanabawon et al., 2012b). Fungsi gelatin sebagai
a
b
c
d
e
198
antioksidan diperankan oleh sejumlah kombinasi asam amino dalam urutan
peptidanya. Peptida asam amino yang berkontribusi dalam menangkal
radikal bebas menurut Nikoo et al. (2015) adalah glisin dan prolin, adapun
menurut Jiang et al. (2018) leusin termasuk asam amino dengan aktivitas
antioksidan yang sangat kuat. Liu et al. (2016) menganggap tirosin, triptofan
dan fenilalanin dapat juga diperhitungkan sebagai penangkal radikal bebas.
Mungkin penelitian lebih lanjut tekait potensi gelatin hidrolisat ikan gabus
dan sekuen peptide asam amino yang terbentuk dalam hubungannya
dengan kinerja dan aktivitas antiokidannya dapat mendukung pernyataan
di atas.
Semakin lama masa penyimpanan maka persentase aktivitas
antioksidan semakin menurun. Proses penyimpanan dapat mengakibatkan
terjadinya reaksi oksidatif (Turgut et al., 2016). Penyimpanan selama 28
hari menunjukkan ada perbedaan dalam aktivitas antioksidan sosis dalam
menangkal radikal bebas (P<0,05). Hal ini terlihat dari menurunnya aktivitas
antioksidan disetiap selang tujuh hari pengamatan seiring bertambahnya
lama penyimpanan. Menurunnya aktivitas antioksidan gelatin pada sosis
selama penyimpanan suhu dingin tidak berbeda dengan yang terjadi pada
bakso yang diberi ekstrak buah delima (Turgut et al., 2016) dan tampaknya
penyimpanan suhu dingin lebih cepat menurunkan aktivitas anitoksidan
dibanding suhu pembekuan (Harun, 2017; Turgut et al., 2017).
199
3.3.4 Reaktivitas TBA Sosis
Hasil analisis keragaman memperlihatkan pengaruh nyata level
gelatin (P<0,05), dan lama penyimpanan yang menunjukkan pengaruh
nyata (P<0,05)) terhadap reaktivitas TBA sosis berbasis daging pipi sapi,
tetapi tidak ada interaksi di antara keduanya (P>0,05).
Gambar 37. Pengaruh penambahan level gelatin (%) dan lama
penyimpanan (hari) terhadap kadar reaktivitas TBA (mg/kg malonaldehyd) sosis daging pipi sapi.
Penambahan gelatin 3% menghasilkan reaktivitas TBA relatif lebih
rendah yaitu 1,91 mg/kg malonaldehid dibanding perlakuan lainnya
(P<0,05), adapun antara perlakuan kontrol hingga penambahan 2% GKG
dan 2% GKB tidak menunjukkan perbedaan nyata (P>0,05) dengan kisaran
2,18–2,25 mg/kg malonaldehid. Gelatin yang berfungsi sebagai binder
adalah sumber asam amino, terutama asam amino hidrofobik seperti
alanine, isoleusin, leusin prolin, phenilalanin, tirosin dan triptofan (Liu et al.,
2016), mereka bertindak sebagai pendonor hidrogen melalui sisi reaktifnya
-1.00
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
0 7 1 4 2 1 2 8
Kad
ar m
alo
na
lde
hyd
(m
g/k
g)
Lama penyimpanan (hari)
Kontrol 1%GKG 2%GKG 3%GKG 2%GKB
200
bagi radikal bebas sehingga oksidasi lipid dapat diperlambat (Sae-Ieaw et
al., 2015). Semakin tinggi kadar gelatin, oksidasi lemak yang ditunjukkan
oleh tingkat reaktivitas TBA yang terbentuk cenderung lebih rendah, yang
dinyatakan sebagai mg malonaldehid/kg sosis.
Penyimpanan dapat memicu oksidasi lemak. Pengamatan terhadap
sampel yang disimpan pada suhu dingin (4 ± 2 °C) mengalami peningkatan
kadar reaktivitas TBA seiring lama penyimpanan (P<0,05). Oksidasi adalah
penyebab kerusakan utama produk daging (Falowo et al, 2014; Gheisari,
2011), selama berlangsungnya proses-proses persiapan, pengolahan
hingga penyimpanan (Ch’ng et al., 2014) akibat terjadinya deplesi
antioksidan endogenous (Falowo et al., 2014). Oksidasi lipid yang terjadi
akibat penyimpanan dingin menyebabkan terbentuknya peroksidasi lemak
akibat adanya radikal bebas, dan selanjutnya mengalami dekomposisi
menjadi malonaldehid. Penambahan level gelatin membantu
mempertahankan masa simpan sosis hingga tingkat diperlambat.
Secara analisis proksimat, daging pipi dapat dikategorikan sebagai
daging lean (Tabel 14). Proses pengolahan daging pipi menjadi sosis
mengakibatkan sosis mengandung sejumlah lemak (Tabel 16). Lemak yang
terkandung dalam sosis secara kimia bukanlah lemak yang stabil,
penambahan bahan lain (non-meat ingredient) termasuk air es maupun
faktor pengolahan hingga penyimpanan adalah faktor kritis bagi terjadinya
perubahan dalam struktur dan kompartemen sosis, terutama oksidasi.
Ketidak-stabilan produk sosis akibat sejumlah kerusakan oleh oksidasi
201
berimplikasi pada terjadinya penurunan daya simpan, daya terima dan
nutrisi sosis (Falowo et al., 2014).
Tampaknya penggunaan gelatin tidak hanya potensial sebagai zat
aditif yang berfungsi memperbaiki karakteristik sosis, tetapi secara efektif
mampu berperan sebagai antioksidan yang relatif dapat mempertahankan
masa simpan. Meskipun tidak seefektif gelatin hidrolisat
(Kittiphattanabawon et al., 2012b), penambahan gelatin dalam produk sosis
efektif menunda kerusakan akibat oksidasi lipid dan mungkin kerusakan
akibat oksidasi protein. Penggunaan antioksidan alami memiliki potensi
untuk tidak hanya meningkatkan kualitas produk daging, tetapi dapat
menjadi pertimbangan bagi peningkatan kualitas kesehatan manusia.
202
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Komposisi kimia kulit dan tulang ikan gabus cenderung dipengaruhi
oleh pertambahan bobot badan meskipun antara bobot 600˗700
g/ekor sampai 900-1.000 g/ ekor adalah sama, sedangkan kadar
kolagen cenderung tidak berbeda diantara bobot yang diamati, dan
berdasarkan total protein menunjukkan kolagen tulang ikan gabus
lebih tinggi dibanding pada kulit ikan gabus.
2. Proses ekstraksi suhu 60 °C selama 12 jam pada kulit dan 60 °C
selama 24 jam pada tulang menghasilkan gelatin dengan kekuatan
gel terbaik dengan karakteristik yang sesuai untuk aplikasi sebagai
binder dalam pengolahan daging.
3. Sifat fungsional antara gelatin kulit ikan gabus, gelatin tulang ikan
gabus dan gelatin komersial menunjukkan adanya perbedaan
sebagai akibat dari jenis bahan baku dan metode ekstraksi yang
berbeda.
4. Gelatin kulit ikan gabus efektif dijadikan sebagai binder dengan level
optimal 2% cenderung tidak berbeda dengan gelatin komersial
dalam menghasilkan sosis dengan karakteristik fisiko-kimia yang
203
lebih baik, tetapi penyimpanan selama 28 hari mengindikasikan
bahwa gelatin kurang efektif dijadikan sebagai antioksidan.
5.2 Saran
1. Potensi kulit dan tulang ikan gabus sebagai sumber bahan baku
kolagen tidak menunjukkan perbedaan berarti dari bobot berbeda,
sehingga untuk memaksimalkan pemanfaatan bahan baku kulit dan
tulang sebagai sumber kolagen,maka faktor bobot badan dapat
menjadi hal yang diabaikan.
2. Potensi kulit ikan gabus lebih baik dalam memberikan rendemen dan
kualitas fungsional gelatin dibanding tulang ikan gabus, sehingga
mungkin diperlukan perlakuan pre-treatment berbeda dari yang
sebelumnya seperti lama demineralisasi dan konsentrasi HCL pada
tulang ikan gabus.
3. Proses produksi gelatin ikan gabus dengan metode ekstraksi
berbeda dari sebelumnya perlu dipertimbangkan untuk menilai
karakteristik fungsional gelatin dalam rangka memperbaiki sifat
fungsional gelatin maupun untuk pengembangan potensi bidang
pangan secara lebih luas.
204
DAFTAR PUSTAKA
Aaslyng, M. D., Bejerholm, C., Ertbjerg, P., Bertram, H. C., and Andersen, H. J., 2003. Cooking loss and juiciness of pork in relation to raw meat quality and cooking procedures. Food Quality and Preference, 14: 277-288. https://doi.org/10.1016/S0950-3293(02)00086-1
Abdel-Tawwab, M., Ahmed E. Hagras, A. E., Heba Allah M. Elbaghdady, H. A. M., and Monier, M. N. 2015. Effects of dissolved oxygen and fish size on Nile tilapia, Oreochromis niloticus (L.): growth performance, wholebody composition, and innate immunity. Aquacultur International. Vol. 23(5): 1261-1274. https://doi.org/10.1007/s10499-015-9882-y
Aberle, E.D., J.C. Forrest, Gerrard D.E. and Mills E.W. 2001. Principles of Meat Science. Iowa: Kendall/Hunt Publishing Company. 354 p.
Ablikim, B., Liu, Y., Kerim, A., Shen, P., Abdurerim, P., and Zhou, G. H. 2016. Effects of breed, muscle type, and frozen storage on physico-chemical characteristics of lamb meat and its relationship with tenderness. CyTA – Journal of Food, 14 (1): 109–116. http://dx.doi.org/10.1080/19476337.2015.1054885
Abustam E. 2012. Aspek produksi, Kimia, Biokimia dan Kualitas. Masagena Press, Makasar
Abustam, E., H.M. Ali, M. I. Said dan J. CH. Likadja. 2008. Sifat Fisik Gelatin Kulit Kaki Ayam Melalui Proses Denaturasi Asam, Alkali dan Enzim. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Hal. 724-729.
Adha, N. 2015. Karakteristik Fisik Daging Sapi Bali Hasil Penggemukan Menggunakan Pakan dengan Level Kulit Biji Kakao dan Otot Berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin
Aftabuddin, Md. and Kundu, S. 2007. Hydrophobic, Hydrophilic, and Charged Amino Acid Networks within Protein. Biophysical Journal, Vol. 93: 225–231. doi: 10.1529/biophysj.106.098004
Ahmad, M. and S. Benjakul. 2011. Characteristics of gelatin from the skin of unicorn leatherjacket (Aluterus monoceros) as influenced by acid pretreatment and extraction time. Food Hydrocolloids, 25: 381-388.
Aksnes A, Mundheim H, Toppe J, and Albrektsen S. (2008) The effect of dietary hydroxyproline supplementation on salmon (Salmo salar L.) fed high plant protein diets. Aquaculture 275 (1-4): 242–249. https://doi.org/10.1016/j.aquaculture.2007.12.031
Albaugh, V. L., Mukherjee, K., and Barbul, A. 2017. Proline Precursors and Collagen Synthesis: Biochemical Challenges of Nutrient.Supplementation and Wound Healing. The Journal of Nutrition. 1-7. https://doi.org/10.3945/jn.117.256404
Alfaro, A.D.T., Fonseca, G.G., Balbinot, E., Machado, A., & Prentice, C. 2013. Physical and chemical properties of wamil tilapia (Oreochromis urolepis hornorum) skin gelatin. Food Science and Technology,
205
Campinas, 33(3), 592-595. http://dx.doi.org/10.1590/S0101-20612013005000069
Alfaro, A. T., Balbinot, E., Weber, C.I., Tonial, I. B., and Machado-Lunkes, A. 2015. Fish Gelatin: characteristics, functional properties, application and future potentials. Food Engineering Reviews. Vol 7(1): 33 -44. https://doi.org/10.1007/s12393-014-9096-5
Alfaro, A. T., Fonsec, G. G., Balbinot, E., Machado, A., and Prentice, C. 2012. Physical and chemical properties of wami tilapia skin gelatin. Food Sci. Technol, Campinas, 33(3): 592-595.
Alfaro AT, Fonseca G.G., Costa C. S., and Prentice, C. (2009) Effect of extraction parameters on the properties of gelatin from King weakfish (Macrodon ancylodon) bones. Food Sci Technol Int, 15 (6): 553–562 https://doi.org/10.1177/1082013209352921
Alemán, A., Giménez, B., Montero, P., and Gómez-Guillén, M.C. 2011. Antioxidant activity of several marine skin gelatins. LWT - Food Science and Technology, 44: 407-413. https://doi.org/10.1016/j.lwt.2010.09.003
Al-Saidi, G. S., Al-Alawi, A., Rahman, M. S. and Guizani, N. 2012. Fourier transform infrared (FTIR) spectroscopic study of extracted gelatin from shaari (Lithrinus microdon) skin: effects of extraction conditions. International Food Research Journal, 19 (3): 1167-1173.
Amiza, M. A., and Siti Aishah, D. Effect of drying and freezing of Cobia (Rachycentron canadum) skin on its gelatin properties. International Food Research Journal 18: 159-166.
Amiza, M. A., Wan Maizatul Shima, W. M., Nor Hayati, I. and Nizaha Juhaida, M. 2015. Optimization of gelatin extraction conditions from Cobia (Rachycentron canadum) skin and its physicochemical characteristics as compared to bovine gelatin. International Food Research Journal 22(1): 213-224
Anonim. 2010. “Bagusnya” ikan gabus. Warta Pasarikan. No. 86 hal. 4–5. ------------. 1999. Safe Practices for Sausage Production: Distance Learning
Course Manual. Assosiation of Food and Drug Official. Version 1 Anusuya and Hemalatha, S. 2014. Nutritive c omposition of Channa striatus
fishes after 2,4-D pestiside treatment. Internet Journal of Food Safety. 16, 9-11.
Ama-Abasi, D. and Ogar, A. 2012. Proximate analysis of snakehead fish, Parachanna obscura (Gunther, 1861) of the Cross Rivers, Nigeria. Journal of Fisheries and Aquatic Science. 1-4. doi: 10.3923/jfas.2012.
Asmaa, A. A., W. Zzaman and A. Y. Tajul. 2014. Effect of Superheated Steam Cooking On Fat and Fatty Acid Composition of Chicken Sausage. International Food Research Journal. Vol. 22 (2): 598 – 602.
Assosiation of Official Analytical Chemists (AOAC). 1995. Official Methods of Analysis (16th ed.). Washington, DC.
206
Arma, N. R., Irmawati, M. I. Illijas, A. Tawali, M. Asfar and Mappanyiwi. 2014. Snakehead fish (Channa striata) in South Sulawesi: Current status and prospect. Proceeding 4th SUIJI International Symposium 2014, Hasanuddin University, Makassar, Indonesia. P024.
Atanasoff, A., Nikolov, G., Staykov, Y., Zhelyazkov, G., & Sirakov, I., (2013). Proximate and mineral analysis of Atlantic salmon (Salmo Salar) cultivated in Bulgaria. Biotechnol. Anim. Husb. 29, 571–579. doi:10.2298/BAH1303571A
Ayadi, M. A., Kechaou, A. Makni, I. and Attia, H. 2009. Influence of carrageenan addition on turkey meat sausages properties. Journal of Food Engineering, 93: 278–283. https://doi.org/10.1016/j.jfoodeng.2009.01.033
Bailey, A. J., Paul, R. G., & Knott, L. (1998). Mechanisms of maturation and aging of collagen. Mechanism of Aging and Development, 106, 1-56.
Balti, R., Jridi, M.,Sila A., Souissi, N., Nedjar-Arroume, N.,Guillochon, D. and Moncef Nasri, M. 2011. Extraction and functional properties of gelatin from the skin of cuttlefish (Sepia officinalis) using smooth hound crude acid protease-aided process. Food Hydrocolloids, 25, 943-950. doi:10.1016/j.foodhyd.2010.09.005
Barbut, S. 1995. Importance of fat emulsification and protein matrix characteristics in meat batter stability. Journal of Muscle Foods, 6(2):161–177. doi:10.1111/j.1745-4573. 1995.tb00564.x
Barrett, G. C and Elmore, D. T. 2004. Amino Acids and Peptides. Cambridge University Press, p. 224.
Barry-Ryan, C., Z. Khiari, D. Rico, and A. Martin-Diana. 2013. Comparison between gelatines extracted from mackerel and blue whiting bones after different pre-treatments. J. Food Chemistry, Vol.139 (1-4): 347-354.
Benjakul, S., Oungbho, K., Visessanguan, W., Thiansilakul, Y. and Roytrakul, S. 2009. Characteristics of gelatin from the skins of bigeye snapper, Priacanthus tayenus and Priacanthus macracanthus. Food Chemistry 116 (2): 445-451
Bergman, I and R. Loxley. 1963. Two Improved and Simplified Methods for the Spectrophotometric Determination of Hydroxiproline. Anal. Chem. Vol 35 (12): 1961-1965.
Bigolin, J., C. I. Weber and Alfaro, A. da T. 2013. Lipid Oxidation in Mechanically Deboned Chicken Meat: Effect of the Addition of Different Agents. Food and Nutrition Sciences. Vol. 4: 219-223
Bilgen, G., G. Oktay, G., Tokgoz, Z., Guner, G. & Yalcin, Bergman, I and R. Loxley. 1963. Two Improved and Simplified Methods for the Spectrophotometric Determination of Hydroxiproline. Analitical Chemistry. Vol 35 (12): 1961-1965. DOI: 10.1021/ac60205a053
207
Bhattacharjee, A. and Bansal, M. 2005. Collagen structure: The Madras triple helix and the current scenario. IUBMB Life, 57(3):161-72. https://doi.org/10.1080/15216540500090710
Blanco, M., José Antonio Vázquez, J.A, Pérez-Martín, R.I., and Carmen G. Sotelo, C.G. Hydrolysates of Fish Skin Collagen: An Opportunity for Valorizing Fish Industry Byproducts. Marine Drugs. 131:1-15. doi:10.3390/md15050131
Breck, J. 2014. Body composition in fishes: Body size matters. Aquaculture, 433, 40–49. http://dx.doi.org/10.1016/j.aquaculture.2014.05.049
Boran, G., and Karaçam, H. 2011. Seasonal changes in the proximate composition of some fish species from the Black Sea. Turkish Journal of Fisheries and Aquatic Sciences, 11, 01-05. doi:10.4194/trjfas.2011.0101
Boran, G. and J. M. Regenstein. 2010. Chapter 5 – Fish Gelatin. Advances in Food and Nutrition Research, 60. pp. 119–143.
Bourtoom, J. 2008. Edible films and coating: characteristics and properties. International Food Research Journal. Vol. 15 (3): 1-12.
Bowker, B. and Zhuang, H. 2015. Relationship between water-holding capacity and protein denaturation in broiler breast meat. Poultry Science 94:1657–1664 http://dx.doi.org/10.3382/ps/pev120
BSI (British Standard Institution). 1975. Methods for sampling and testing gelatin (physical and chemical methods). London: BSI.
Catalina, M., G. Attenburrow, J. Cot, A.D. Covington and A. P. M. Antunes. 2008. Isolation and Characterization of Gelatin Obtain from Chrome-tanned Shavings. British School of Leather Technology. The University of Northampon, NN2 7AL. United Kingdom.
Cheng, Q and Sun, D. W. 2008. Factors affecting the water holding capacity of red meat products: a review of recent research advances. Critical Reviews in Food Science and Nutrition, 48, 137–159. https://doi.org/10.1080/10408390601177647
Ch’ng, S.E. Ng, M.D. W. Pindi, W., Kang, O.L. Abdullah, A., and Babji, A.S. 2014. Chicken Sausages Formulated with Gelatin from Different Sources: A Comparison of Sensory Acceptability and Storage Stability. World Applied Sciences Journal 31(12): 2062-2067. DOI: 10.5829/idosi.wasj.2014.31.12.658.
Chi, C. F., Hu, F., Y., Wang, B., Li, Z. R., and Luo, H. Y. 2015. Influence of amino acid compositions and peptide profiles on antioxidant capacities of two protein hydrolysates from skipjack tuna (Katsuwonus pelamis) dark muscle. Marine Drugs, 13(5): 2580–2601. doi: 10.3390/md13052580
Cheow, C. S, M.S. Norizah, Z.Y. Kyaw and N.K. Howell. 2007. Preparation and characterisation of gelatins from the skins of sin croaker (Johnius dussumieri) and shortfin scad (Decapterus macrosoma). Food Chemistry. Vol 101: 386–391.
Ćirić, J., Lukić, M., Radulović, S., Janjić, J., Glamočlija, N., Marković, R., and Baltić, M. Ž. 2017. The relationship between the carcass
208
characteristics and meat composition of young Simmental beef cattle. IOP Conf. Ser.: Earth Environ. Sci. 85 012061. doi :10.1088/1755-1315/85/1/012061
Cho, S. M., Y. S. Gu and S. B. Kim. 2005. Extracting optimization and physical properties of yellowfin tuna (Thunnus albacares) skin gelatin compared to mammalian gelatins. Food Hydrocolloids. Vol. 19: 221–229
Choi, S. S. and Regenstein, J. M. 2000. Physicochemical and sensory characteristics of fish gelatin. J. Food Sc. Vol. 65:194-199.
Cobos Á. and Díaz O. (2014) Chemical Composition of Meat and Meat Products. In: Cheung P. (eds) Handbook of Food Chemistry. Springer, Berlin, Heidelberg. https://doi.org/10.1007/978-3-642-41609-5_6-1
Cofrades, S., Guerra, M. A., Carballo, J., Fernández-Martín, F., and Colmenero, F. J. 2000. Plasma Protein and Soy Fiber Content Effect on Bologna Sausage Properties as Influenced by Fat Level. Journal of Food Science, 65 (2): 281-287. http://doi.wiley.com/10.1111/j.1365-2621.2000.tb15994.x
Coleman, L.W., Hickson, R.E., Schreurs, N.M., Martin, N. P., Kenyon, P. R., Lopez-Villalobos, N., and Morris, S. T. 2016. Carcass characteristics and meat quality of Hereford sired steers born to beef-cross-dairy and Angus breeding cows. Meat Science 121: 403–408. http://dx.doi.org/10.1016/j.meatsci.2016.07.011
Chorbadzhiev, P., G. Zsivanovits, D. Gradinarska, K. Danov and K. Valkova-Jorgova, 2017. Improvement of texture profi le attributes of cooked sausage type “krenvirsh”. Bulg. J. Agric. Sci., 23 (2): 338–347.
Cross, H. R., Z. L. Carpenter and G. C. Smith. 1973. Effect of intramuscular collagen and elastin on bovine muscle tenderness. J. Food Sci.Vol 38 (6): 998-1003.
Darmanto, Y. S., Agustini, T. W, Swastawati, F. and Al Bulushi, I. 2014. The effect of fish bone collagens in improving food quality. International Food Research Journal 21(3): 891-896
Darragh, A. J., Garrick, D. G., Moughan, P.J., and Hendriks, W. H. 1996 Correction for amino acid loss during acid hydrolysis of a purified protein. Analytical Biochemistry, 236: 199–207. https://doi.org/10.1006/abio.1996.0157
Diniz, F. B., Villela, S. D. J., Mourthé, M. H. P., Paulino, P. V. R., Boari, C. A., Ribeiro, J. S., Barroso, J. A., Pires, A. V., and Martins, P. G. M. A. 2016. Evaluation of carcass traits and meat characteristics of Guzerat-crossbred bulls. Meat Science, 112: 58–62. http://dx.doi.org/10.1016/j.meatsci.2015.10.014
Djabourov, M. J. Leblond and P. Papon. 1988. Gelation of aqueous gelatin solutions. I. Structural. Investigation. Journal de Physique. Vol 49 (2): 319-332. https://doi.org/10.1051/jphys:01988004902031900
209
Dyankova, S. and Solak, A. 2014. Biopolymer matrix system for incorporate of biologically active substances. Agricultural Science and Technology. Vol. 6 (1): 104-110.
Duan, R., Junjie Zhang, J., Du, X., Yao, X., and Konno, K. 2009. Properties of collagen from skin, scale and bone of carp (Cyprinus carpio). Food Chemistry, 112 (2009) 702–706. https://doi.org/10.1016/j.foodchem.2008.06.020
Duconseille, A., Astruc, T., Quintana, N., Meersman, F., Santé-Lhoutellier, V., Gelatin structure and composition linked to hard capsule dissolution: a review, Food Hydrocolloids (2014), doi: 10.1016/j.foodhyd.2014.06.006
Ekiz, B, Yilmaz, A., Ozcan, M., Kaptan, C. , Hanoglu H., Erdogan, I., and Yalcintan, H. 2009. Carcass measurements and meat quality of Turkish Merino, Ramlic, Kivircik, Chios and Imroz lambs raised under an intensive production system. Meat Science, 82: 64-70. https://doi.org/10.1016/j.meatsci.2008.12.001
Elgadir, M. A., M. E. S. Mirghani and A. Adam. 2013. Fish gelatin and its applications in selected pharmaceutical aspects as alternativesource to pork gelatin. Journal of Food, Agriculture & Environment, 11 (1): 73-79.
Elliot, D.G. (2011). Functional Morphology of the Integumentary System in Fishes. In: A.P. Farrel (Ed.), Encyclopedia of Fish Physiology: From Genome to Environment, Volume 1 (pp. 476-488). San Diego, Academic Press.
Etherington, D. J. and T. J. Sim. 1981. Detection and Estimation of Collagen. Journalof the Science of Food and Agricultural. 32(6): 539-546. https://doi.org/10.1002/jsfa.2740320603
Eriksen, H. 2010. Carboxyterminal Telopeptide Structures of Type I Collagen in Various Human Tissues. Dissertation. University of Oulu, Finland.
Essien, E. 2003. Sausage manufacture principles and practice. CRC Press. Eysturskarð, J. 2010. Mechanical Properties of Gelatin Gels; Effect of
Molecular Weight and Molecular Weight Distribution. Thesis of Phd. Dept. Of Biotechnology Norwegian University of Science and Technology .
Falowo, A. B., Fayemi, P. O., and Muchenje, V. 2014. Natural antioxidants against lipid–protein oxidative deterioration in meat and meat products: A review. Food Research International, 64: 171-181. http://dx.doi.org/10.1016/j.foodres.2014.06.022
Feiner, G. 2006. Meat Products Handbook: Practical Science and Technology. Woodhead Publishing Limited, Cambridge, England. pp 672.
Feng, X., S. Lai and H. Yang. 2014. Sustainable seafood processing: Utilisation of fish gelatin. Austin Journal of Nutrition and Food Sciences. Vol 2(1): 1-2
210
Fernandez-Diaz, M. D., Montero, P., & Gomez-Guillen, M. C. (2001). Gel properties of collagens from skins of cod (Gadus morhua) and hake (Merluccius merluccius) and their modification by the coenhancers magnesium sulphate, glycerol and transglutaminase. Food Chemistry, 74, 161-167. https://doi.org/10.1016/S0308-8146(01)00110-8
Flick, J. G. 2012. By-Product Utilization for Increased Profitability Part II: Gelatin. Global Aquaculture Advocate. Pp. 64-65.
Friess, W. 1998. Collagen – biomaterial for drug delivery. European Journal of Pharmaceutics and Biopharmaceutics, 45 (2) 113–136. https://doi.org/10.1016/S0939-6411(98)00017-4
Foegeding, E. A., T. C. Lanier, H.O. Hultin. 1996. Characteristics of edible muscle tissues. In: Food Chemistry, 3rd ed. (O.R. Fennema, Ed.). Marcel Dekker, New York. pp 879–942.
Gam, L.H., Leow, C.Y., & Baie, S. 2005. Amino acid composition of snakehead fish (Channa striatus) of various size obtained at different time of the year. Malaysian Journal of Pharmaceutical Science, 3(2), 19-30.
Gautieri, A., Buehler, M. J., and Redaelli, A. 2009. Deformation rate controls elasticity and unfolding pathway of single tropocollagen molecules. J Mech Behav Biomed Mater, 2(2): 130-137. https://doi.org/10.1016/j.jmbbm.2008.03.001
Getty, R. 1975. Sisson and Grossman’s The Anatomy of the Domestic Animals. Volume I (4th ed). W. B Saunders Company, Philadephia, London, Toronto.
Gheisari, H. R. 2011. Correlation between acid, TBA, peroxide and iodine values, catalase and glutathione peroxidase activities of chicken, cattle and camel meat during refrigerated storage. Veterinary World, 4(4):153-157. doi: 10.5455/vetworld.2011.153-157
Gelatin Manufacturers Institute of America (GMIA). 2012. Gelatin Handbook. Atlantic Gelatin / Kraft Foods Global Inc., GELITA North America, Nitta Gelatin Canada, Inc., PB Leiner, Rousselot, Inc. and Weishardt International – NA.
Gelatin Manufacturers Institute of America (GMIA). 2013. Standard Testing Methods for Edible Gelatin. Official Procedure of Gelatin Manufacturers Institute of America, Inc.
Gelse, K. E. Pöschl, E., and Aigner, T. 2003. Collagens—structure, function, and biosynthesis. Advanced Drug Delivery Reviews, 55: 1531–1546. doi:10.1016/j.addr.2003.08.002
Gilsenan, P. and S. Ross-Murphy. 2000. Rheological characterisation of gelatins from mammalian and marine sources. Food Hydrocolloids. Vol 14: 191-195.
Giménez, B., Turney, J., Lizarbe, M.A., Montero, P., and Gómez-Guillẻn, M.C. 2005. Use of lactic acid for extraction of fish skin gelatin. Food Hydrocolloid, 19, 941-950. http://dx.doi.org/10.1016/j.foodhyd.2004.09.011
211
Gómez-Estaca, J., Montero, P., Fernandéz-Martín, F. and Gómez-Guillén, M. C. 2009. Physico-chemical and film-forming properties of bovine –hide and tuna-skin gelatin: A comparative study. Journal of Food Engineering. Vol 90: 480 – 486.
Gómez-Guillén, M.C., B. Giménez, M.E. López-Caballero, M.P. Montero. 2011. Functional and bioactive properties of collagen and gelatin from alternative sources: A review. Food Hydrocolloids. Vol. 25: 1813-1827.
Gómez-Guillén, M. C., and Montero, M.P. 2001. Extraction of Gelatin from Megrim (Lepidorhombus boscii) Skins with Several Organic Acids. Journal of Food Science Vol. 66, No. 2, 213-216. DOI: 10.1111/j.1365-2621.2001.tb11319.x
Gómez-Guillẻn, M. C., Turnay, J. Fernảndez-Dỉaz, M. D. Ulmo, N., Lizaebe, M. A., and Montero, M. P. 2002. Structural and physical properties of gelatin extracted from different marine species. Food Hydrocolloids. Vol. 16: 25–34.
Grossman, S and M. Bergman. Jul. 07 1991, Inventors; Bar Ilan University, Ramat Gan, Israel, Assignee. Process for the production of gelatin from fish skins. E.P. Patent 0 436 266 A1.
Grossman, S and M. Bergman. Mar 03 1992, Inventors; Bar Ilan University, Ramat Gan, Israel, Assignee. Process for the production of gelatin from fish skins. BAR ILAN University. U.S. Patent 5,093,474Gudmundsson, M. and Hafsteinsson, H. 1997. Gelatin from cod skins as affected by chemical treatments. Journal of Food Science, 62: 37–39. DOI: 10.1111/j.1365-2621.1997.tb04363.x
Guiry, E. J., Szpak, P. and Richards, M. P. 2016. Effects of lipid extraction and ultrafiltration on stable carbon and nitrogen isotopic compositions of fish bone collagen. Rapid Communications in Mass Spectrometry, 30(13), 1591–1600. https://doi.org/10.1002/rcm.7590
Hamm, R. 1986. Functional properties of the myofibrillar system and their measurement. In: Muscle as Food. (Bechtel, P.J. ed.). Academic Press, New York. pp. 135–199.
Hashemi, A., & Jafarpour, A. (2016). Rheological and microstructural properties of beef sausage batter formulated with fish fillet mince. Journal of Food Science and Technology, 53(1), 601–610. https://doi.org/10.1007/s13197-015-2052-4
Haug, I. J., Draget, K. I., and Smidsrød, O. 2004. Physical and rheological properties of fish gelatin compared to mammalian gelatin. Food Hydrocolloids 18: 203–213. https://doi.org/10.1016/S0268-005X(03)00065-1
Haug, I. J., K. I. Draget. 2009. Gelatin. in: Handbook of Hydrocolloids. 2nd
ed. (editor: G. O. Phillips and P.A. Williams). CRC Press. pp. 141-163.
Hemung, B. O. 2013. Properties of Tilapia Bone Powder and Its Calcium Bioavailability Based on Transglutaminase Assay. International
212
Journal of Bioscience, Biochemistry and Bioinformatics, 3(4): 306-309. DOI: 10.7763/IJBBB.2013.V3.219
Haniffa, M. A. K., P. A. J. Sheela, K. Kavitha and A. M. M. Jais. 2014. Salutary value of haruan, the striped snakehead Channa striata - A Review. Asian Pacific Journal of Tropical Biomedicine. Vol. 4 (Suppl 1). Pp. S8-S15. https://doi.org/10.12980/APJTB.4.2014C1015
Hanjabam, M.D, Sathish, S.K., Karnei G., Kumar, J., & Chouksey, M.K., and Gudipati, V. 2015. Optimisation of gelatin extraction from Unicorn leatherjacket (Aluterus monoceros) skin waste: response surface approach. J Food Sci Technol. 52(2):976–983. DOI 10.1007/s13197-013-1075-y.
Harun, N. I. 2017. Pemanfaatan Ekstrak Kayu Secang (Caesalpinia Sappan L.) Bubuk Pada Pembuatan Bakso Daging Sapi. Thesis. Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin, Makassar.
Hema, G. S., K. Shyni, S. Mathew, R. Anandan, G. Ninan and P. T. Lakshmanan. 2013. A simple method for isolation of fish skin collagen-biochemical characterization of skin collagen extracted from albacore tuna (Thunnus alalunga), dog shark (Scoliodon sorrakowah) and rohu (Labeo rohita). Annal of Biological Research. Vol 4: 271-278.
Henckel P, Karlsson A, Oksbjerg N, Petersen JS. 2000. Control of Postmortem pH decrease in Pig muscle: Experimental desigen and Testing of Animal Models. Meat Sci, 55: 131-138. https://doi.org/10.1016/S0309-1740(99)00135-7
Henderson Jr., J.W. and A. Brooks. 2010. Improved Amino acid methods using Agilent ZORBAX Eclipse plus C18 colums for a variety of Agilent LC instrumentation and separation goals. Agilent Pub #5990-4547EN.
Henderson R. J. and Tocher, D. R. 1987. The lipid composition and biochemistry of fresh water fish. Progress in Lipid Research, 26(4): 281-347. https://doi.org/10.1016/0163-7827(87)90002-6
Hernández-Briones, A., Velazquez, G., Vázquez, M., and Ramírez de León, J. 2009. Effects of adding fish gelatin on Alaska pollock surimi gels. Food Hydrocolloids. 23. 2446-2449. Doi:10.1016/j.foodhyd.2009.07.002.
Herpandi, N. Huda and F. Adzitey. 2011. Fish bone and scale as potential source of halal gelatin. Journal of Fisheries and Aquatic Science. Vol 6 (4): 379 389.
Hertog‐Meischke, M.J.A. den, Laack, R.J.L.M. van, and Smulders, F.J.M. 1997. The water‐holding capacity of fresh meat. Veterinary Quarterly, 19(4): 175-181. http://dx.doi.org/10.1080/01652176.1997.9694767
Hill, F. 1966. The Solubility of Intramuscular collagen in Meat animals of various ages. J. Food Sci. Vol 31 (2): 161-166.
Hoffman, L.C., Vermaak, A., and Muller, N. 2012. Physical and chemical properties of selected beef muscles infused with a phosphate and
213
lactate blend. South African Journal of Animal Science, 42 (4): 317-340. http://dx.doi.org/10.4314/sajas.v42i4.1
Holzer, D. Jan. 16 1996, inventor. Gelatin Production. U. S. Patent 5,484,888
Howell, N. K and C. Kasase.2010. Bioactive Peptides and Proteins from Fish Muscle and Collagen.In: Bioactive Protein and Peptides as Functonal Foods and Nutraceuticals (Y. Mine, E. Li-Chan and B. Jiang: eds). Wiley-Blackwell and IFT Press. pp 203-224
Huff-Lonergan, E. and Lonergan, S. M. 2005. Mechanisms of water-holding capacity of meat: The role of postmortem biochemical and structural changes. Meat Science 71(1): 194–204. https://doi.org/10.1016/j.meatsci.2005.04.022
Huff-Lonergan, E. 2010. Chemistry and Biochemistry of Meat. In: Handbook of Meat Processing. Fidel Toldrá (ed). Wiley-Blackwell. Pp 5-24.
Irwandi, J., Faridayanti, S., Mohamed, E. S. M., Hamzah, M. S., Torla, H. H. and Che Man, Y. B. 2009. Extraction and characterization of gelatin from different marine fish species in Malaysia. International Food Research Journal 16: 381-389
Jakhar J. K., A. D. Reddy, S. Maharia, H. M. Devi, G. V. S. Reddy and G. Venkateshwarlu. 2012. Characterization of fish elatin from Blackspotted Croaker (Protonibea diacanthus). Archives of Applied Science Research, 4(3): 1353-1358
Jamaludin, M. A., Mohd Zaki, N. N., Ramli, M. A., Mohd Hashim, D. and Ab Rahman, S. 2011. Istihalah: Analysis on The Utilization of Gelatin in Food Products. IPEDR. Vol.17: 174-178
Jamilah, B. and K. G. Harvinder. 2002. Properties of gelatins from skins of fish-black tilapia (Oreochromis mossambicus) and red tilapia (Oreochromis nilotica). Food Chemistry Vol. 77: 81–84.
Jamilah, B., Tan, K.W., Umi Hartina, M.R., and Azizah A. 2011. Gelatins from three cultured freshwater fish skins obtained by liming process. Food Hydrocolloids 25, 1256-1260. doi:10.1016/j.foodhyd.2010.11.023
Jayathilakan, K.., K. Sultana K. Radhakrishna and A. S. Bawa. 2012. Utilization of byproducts and waste materials from meat, poultry and fish processing industries: a review. J Food Sci Technol. Vol. 49(3): 278–293
Jellouli K., Balti, R., Bougatef, A., Hmidet, N., Barkia, A., and Nasri, M. 2011. Chemical composition and characteristics of skin gelatin from grey triggerfish (Balistes capriscus). LWT - Food Science and Technology, Volume 44, Issue 9, 1965-1970. https://doi.org/10.1016/j.lwt.2011.05.005
Jeya Shakila, R., Jeevithan, E., Varatharajakumar, A., Jeyasekaran, G., and Sukumar, D. (2012). Functional characterization of gelatin extracted from bones of red snapper and grouper in comparison with
214
mammalian gelatin. LWT- Food Science and Technology, 48, 30–36. doi:10.1016/j.lwt.2012.03.007.
Jiang, Y., Zhanga, M., Lin, S., and Cheng, S., 2018. Contribution of specific amino acid and secondary structure to the antioxidant property of corn gluten proteins. Food Research International, 105: 836–844. https://doi.org/10.1016/j.foodres.2017.12.022
Jilie, K. and Shaoning, Y. 2007. Fourier Transform Infrared Spectroscopic Analysis of protein secondary structures. Acta Biochimica et Biophysica Sinica, 39(8): 549–559.
Jones, R. T. 2004. Gelatin: Manufacture and physico-chemical properties. In: Pharmaceutical Capsules (eds. F. Podczeck and B. E. Jones). 2nd edition. London: Pharmaceutical Press. pp. 23-60.
Joo, S-T., Kauffman. R. G., Kim, B-C, and Kim, C-J. The relationship between color and water‐holding capacity in postrigor porcine longissimus muscle. Journal of Muscle Foods, 6(3): 211-226. https://doi.org/10.1111/j.1745-4573.1995.tb00568.x
Jongjareonrak, A., Benjakul, S., Visessanguan, W. and Tanaka, M. 2006. Skin gelatin from bigeye snapper and brownstripe red snapper: Chemical compositions and effect of microbial transglutaminase on gel properties. Food Hydrocolloids, 20 (8): 1 https://doi.org/10.1016/j.foodhyd.2006.01.006
Jonsson, N and Jonsson B. 1998. Body composition and energy allocation in life-history stages of brown trout. Journal of Fish Biology, 53(6), 1306–1316. https://doi.org/10.1111/j.1095-8649.1998.tb00250.x
Jridi, M., Nasri, R. Lassoued, I., Souissi, N., Aïcha Mbarek , A., Barkia, A. and Nasri, M. 2013. Chemical and biophysical properties of gelatins extracted from alkali-pretreated skin of cuttlefish (Sepia officinalis) using pepsin. Food Research International 54: 1680–1687. http://dx.doi.org/10.1016/j.foodres.2013.09.026
Jridi, M., Nasri, R., Ben Slama, R., Lassoued, I., Barkia, A., Nasri, M., & Souissi, N. (2015a). Chemical and biophysical properties of gelatins extracted from the skin of octopus (Octopus vulgaris). LWT - Food Science and Technology. 60, (2 Part 1), 881-889 60.. https://doi.org/10.1016/j.lwt.2014.10.057
Jridi, M., Abdelhedi, O., Souissi, N., Kammoun, M., Nasri, M., and Ayadi, M.A. 2015b. Improvement of the physicochemical, textural and sensory properties of meat sausage by edible cuttlefish gelatin addition. Food Bioscience. https://doi.org/10.1016/j.fbio.2015.07.007
Junianto, K. Haetami dan I. Maulina. 2006. Produksi Gelatin Dari Tulang Ikan dan Pemanfaatannya Sebagai Bahan Dasar Pembuatan Cangkang Kapsul. Hibah Penelitian Dirjen Dikti. Fakultas Perikanan dan Imu Kelautan, Universitas Padjajaran.
Kadler, K. E., Baldock, C., Bella, J., and Boot-Handford, R. P. 2007. Collagens at a glance. J. Cell Sci., 120, 1955-1058. doi:10.1242/jcs.03453
215
Kaewruang, P., S. Benjakul and T. Prodpran. 2014. Effect of phosphorylation on gel properties of gelatin from the skin of unicorn leatherjacket. Food Hydrocolloids, 35: 694-699.
Kamble, R., S., Shrangdher S. T. and Koli J. M. 2014. Physico-cheical properties of gelatin extracted frocatla skin (catla catla) (Hamilton, 1822). Indian Journal of Fundamental and Applied Life Science. Vol 4 (4): 328-337.
Karim, A. A. and R. Bhat. 2008. Fish gelatin: properties, challenges and prospects as an alternative to mammalian gelatin. Food Hydrocolloid. Vol 3: 213 – 219.
Kenney, P. B. 1995. Optimizing Utility of Low Water-Holding Capacity Meats. Proceedings of the 48th Reciprocal Meat Conference, 76-80.
Khiari Z., Rico, D., Martin-Diana, A. B., and Barry-Ryan, C. 2013. Comparison between gelatines extracted from mackerel and blue whiting bones after different pre-treatments. Food Chemistry 139; 347–354. http://dx.doi.org/10.1016/j.foodchem.2013.01.017
Khiari, Z., Rico, D., Martin-Diana, A. B., and Barry-Ryan, C. 2011. The extraction of gelatine from mackerel (Scomber combrus) heads with the use of different organic acids. J Fisheries Sciences.com. 5(1): 52-63
Kim, H. W., Park, J. H., Yeo, E. J., Hwang, K. E., Song, D. H., Kim, Y. J., Ham, Y. K., Jeong, T. J., Choi, Y. S., and Kim, C. J. 2014. Effect of Duck Feet Gelatin Concentration on Physicochemical, Textural, and Sensory Properties of Duck Meat Jellies. Korean Journal for Food Science of Animal Resources, 34(3): 387-394. http://dx.doi.org/10.5851/kosfa.2014.34.3.387
Kittiphattanabawon, P., Benjakul, S., Visessanguan, W., Nagai, T., and Tanaka, M. 2005. Characterisation of acid-soluble collagen from skin and bone of bigeye snapper (Priacanthus tayenus). Food Chemistry, 89(3): 363–372. https://doi.org/10.1016/j.foodchem.2004.02.042
Kittiphattanabawon, P., Benjakul, S., Visessanguan, W., and Shahidi, F. 2012. Effect of Extraction Temperature on Functional Properties and Antioxidative Activities of Gelatin from Shark Skin. Food Bioprocess Technol, Vol 5, 2646–2654. DOI 10.1007/s11947-010-0427-0
Kittiphattanabawon, P., Nalinanon, S., Benjakul, S., and Kishimura, H. 2015. Characteristics of Pepsin-Solubilised Collagen from the Skin of Splendid Squid (Loligo formosana). Journal of Chemistry, Vol 2015, 1-8. http://dx.doi.org/10.1155/2015/482354
Komariah, Rahayu, S. dan Sarjito. 2009. Physical characteristics of beef, buffalo and lamb meat on different postmortem periods. Buletin Peternakan 33(3): 183-189. https://doi.org/10.21059/buletinpeternak.v33i3
Kolodziejska, I., Skierka, E., Sadowska, M., Kolodziejski, W., & Niecikowska, C. 2008. Effect of extracting time and on temperature to yield of gelatin from different fish offal. Food Chemistry, 107, 700-706. http://dx.doi.org/10.1016/j.foodchem.2007.08.071
216
Kumar, K., R. Kumar, S. Saurabh, M. Sahoo, A. K. Mohanty, P. L. Lalrinsanga, U. L. Mohanty, A. K. Sahu, and P. Jayasankar. 2012. Snakehead Fish Fact Sheets. Central Institute of Freshwater Aquaculture, Kausalyaganga, Bhubaneswar-751 002, Odisha, India.
Kuypers, R. and L.B. Kurth. 1995. Collagen’s contribution to meet texture. CSIRO Meat Industry Research Conference. Pp. 11B-1-11B-8
Lawrie, R.A. 2003. Meat Science. The 6th ed. Terjemahan. A. Paraksi dan A. Yudha. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.
Lee, C. H. and Chin, K.B. 2016. Effects of pork gelatin levels on the physicochemical and textural properties of model sausages at different fat levels, LWT - Food Science and Technology, 74: 325-330. doi: 10.1016/j.lwt.2016.07.032.
Li, P., Mai K.S., Trushenski J. and Wu, G. 2009. New developments in fish amino acid nutrition: towards functional and environmentally oriented aquafeeds. Amino Acids 37(1):43–53. https://doi.org/10.1007/s00726-008-0171-1
Li, X., Rezaei, R., Li, P., and Wu, G. 2011. Composition of amino acids in feed ingredients for animal diets. Amino Acids, 40:1159–1168.
Li, P. and Wu, G. 2017. Roles of dietary glycine, proline, and hydroxyproline in collagen synthesis and animal growth. Amino Acids. 1-10. https://doi.org/10.1007/s00726-017-2490-6
Listrat, A. and J. F. Hocquette. 2004. Analytical Limits of Total and Insoluble Collagen Content Measurements and of Type I and III Collagen Analysis by Electrophoresis in Bovine Muscle. Meat Science. Vol 68: 127 – 136.
Listrat, A., Lebret, B., Louveau, I., Astruc, T., Bonnet, M., Lefaucheur, L., Picard, B., and Bugeon, J. 2016. How Muscle Structure and Composition Influence Meat and Flesh Quality. The Scientific World Journal, 2016: 1-14. http://dx.doi.org/10.1155/2016/3182746
Liu Y, He G, Wang Q, Mai K, Xu W, Zhou H (2014) Hydroxyproline supplementation on the performances of high plant protein source based diets in turbot (Scophthalmus maximus L.). Aquaculture 433:476–480. https://doi.org/10.1016/j.aquaculture.2014.07.002
Liu, D., Wei, G., Li, T., Hu, J., Lu, N., Regenstein, J.M., Zhou, P. (2015) Effects of alkaline pretreatments and acid extraction conditions on the acid-soluble collagen from grass carp (Ctenopharyngodon idella) skin, Food Chemistry, 172 : 836-843 http://dx.doi.org/10.1016/j.foodchem.2014.09.147.
Liu, R., Xing, L., Fu, Q., Zhou, G., and Zhang, W. 2016. A Review of Antioxidant Peptides Derived from Meat Muscle and By-Products. Antioxidants, 5(3), 32; doi:10.3390/antiox5030032
Liu Y, Wang X, Hou Y, Yin Y, Qiu Y, Wu G, Hu CA (2017) Roles of amino acids in preventing and treating intestinal diseases: recent studies with pig models. Amino Acids 49:1277–1291. https://doi.org/10.1007/s00726-017-2450-1
217
Lobo, V., Patil, A., Phatak, A., and Chandra, N. 2010. Free radicals, antioxidants and functional foods: Impact on human health. Pharmacognosy Reviews. 4(8): 118-126. doi: 10.4103/0973-7847.70902
Mad-Ali, S., Benjakul, S., Prodpran, T., and Maqsood, S. 2016. Characteristics and Gel Properties of Gelatin from Goat Skin as Influenced by Alkaline-pretreatment Conditions. Asian-Australasian Journal of Animal Sciences. 29 (6): 845-854. http://dx.doi.org/10.5713/ajas.15.0784 .
Marianski, S and Marianski, A. 2011. Making Healthy Sausages. Bookmagic, LLC.
Mariod, A. A. and Adam, H. F. 2013. Review: Gelatin, Source, Extraction and Industrial Applications. Acta Sci. Pol., Technol. Aliment, 12(2): 135-147.
Marti, D. L., Johnson, R. J., and K. H. Mathews. 2011. Where’s the (Not) Meat?Byproducts From Beef and Pork Production. A Report from the Economic Research Service. USDA. www.ers.usda.gov.
Mat Jais, A.M., McCulloch, R., and Croft, K. 1994. Fatty acids and amino acids composition in Haruan as a potential role in wound healing. General Pharmacology, 25(5), 947-950. http://dx.doi.org/10.1016/0306-3623(94)90101-5
Matsui, R., Honda, R., Kanome, M., Hagiwara, A., Matsuda, Y., Togitani, T., Ikemoto, N., and Terashima, M. 2017. Designing antioxidant peptides based on the antioxidant properties of the amino acid side-chains. Food Chemistry. https://doi.org/10.1016/j.foodchem.2017.11.119
Mega, O. 2010. Pengaruh Substitusi Susu Skim oleh Tepung Kedelai sebagai Binder Terhadap Beberapa Sifat Fisik Sosis yang Berbahan Dasar Surimi-like Kerbau. Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 5 (1): 51-58.
Mohtar, N. F., C. O. Perera, and S. Y. Quek. 2011. Utilisation of gelatine from NZ hoki (Macruronus novaezelandiae) fish skins. International Food Research Journal.Vol.18(3): 1111-1115
Montero, P and M. C, Gomes-Guillen. 2000. Extracting conditions for megrim (Lepidorhombus boscii) skin collagen affect functional properties of the resulting gelatin. Journal of Food Science. Vol. (65): 434–438
Mustafa, A., Widodo, M.A., & Kristianto, Y. (2012). Albumin and zinc content of snakehead fish (Channa striata) extract and its role in health. IEESE International Journal of Science and Technology, 1(2), 1-8.
Muyonga, J. H., Cole, C. G. B., and Duodu, K. G. 2004a. Characterisation of acid soluble collagen from skins of young and adult Nile perch (Lates niloticus), Food Chemistry, 85(1), 81-89. http://dx.doi.org/10.1016/j.foodchem.2003.06.006
Muyonga, J. H., Cole, C. G. B., Duodu, K. G. 2004b. Extraction and physico-chemical characterisation of Nile perch (Lates niloticus) skin and
218
bone gelatin. Food Hydrocolloids, 18(4): 581-592. Doi: 10.1016/j.foodhyd.2003.08.009
Muyonga, J. H., Cole, C. G.B., Duodu, K. G. 2004c. Fourier transform infrared (FTIR) spectroscopic study of acid soluble collagen and gelatin from skins and bones of young and adult Nile perch (Lates niloticus). Food Chemistry, 86(3): 325-332. Doi: 10.1016/j.foodchem.2003.09.038
Muralidharan, N., Jeya Shakila, R., Sukumar, D., and Jeyasekaran, G. 2013. Skin, bone, and muscle collagen extraction from the trash fish, leather jacket (Odonus niger) and their characterization. J. Food Sci Techno. Vol 50 (6): 1106 -1113. https://doi.org/10.1007/s13197-011-0440-y
Muralidharan Nagarajan, M., Benjakul S, Thummanoon Prodpran, T., Songtipya, P, and Kishimura, H. 2012. Characteristics and functional properties of gelatin from splendid squid (Loligo formosana) skin as affected by extraction temperatures. Food Hydrocolloids 29 , 389-397. doi:10.1016/j.foodhyd.2012.04.001
Mutmainnah, D. 2013. Hubungan panjang berat dan faktor kondisi ikan gabus (Channa striata Bloch, 1793) yang dibesarkan di rawa lebak, Provinsi Sumatera Selatan. Depik, 2(3):184-190.
Naeem, M., Salam, A., and Zuburi, A. 2016. Proximate composition of freshwater in relation to body size and condition factor from Pakistan. Pakistan Journal of Agricultural Sciences, 53(2), 468-476. http://dx.doi.org/10.21162/PAKJAS/16.2653
Nahariah, A.M Legowo, E. Abustam, A.Hintono, P. Bintoro dan Y.B. Pramono. 2014. Endogeneous antioxidant activity in the egg whites of varioustypes of local poultry eggs in South Sulawesi, Indonesia. Int. J. Poultry Science. 13(1):21-25. DOI: 10.3923/ijps.2014.21.25
Neuman, R. E and M. A. Logan 1950. The Determination of Hydroxyproline. J. Biol Chem.Vol 184 (1): 299-306.
Nikoo, M., Benjakul, S., and Xu, X. 2015. Antioxidant and cryoprotective effects of Amur sturgeon skin gelatin hydrolysate in unwashed fish mince, Food Chemistry, 181: 295-303. https://doi.org/10.1016/j.foodchem.2015.02.095
Ninan, G., A. A. Zynudheen, C. G. Joshy and K. S. Yousuf. 2013. Physical, chemical and functional properties of gelatin extracted from the skin of rohu, Labeorohita and yellowfin tuna, Thunnus albacores. Indian J. Fish., Vol. 60 (2): 123-128
Ninan, G. 2009. Optimization of process parameters for the extraction of gelatin from the skin of freshwater fish and the evaluation of physical and chemical characteristics. Doctor of Phylosophy in Marine Science Cochin University of Science and Technology.
Ninan, G., Jose, J., & Abubacker, Z. 2011. Preparation and characterization of gelatin extracted from the skins of rohu (Labeo rohita) and common carp (Cyprinus carpio). Journal of Food Processing and Preservation, 35(2), 143-162.
219
Ninan, G. Optimization of process parameters for the extraction of gelatin from the skin of freshwater fish and the evaluation of physical and chemical characteristics. Doctor of Phylosophy in Marine Science Cochin University of Science and Technology.
Njinkoue, J. M., Gouado, I., Tchoumbougnang, F., Yanga Ngueguim, J. H., Ndinteh, D. T., Fomogne-Fodjo, C.Y. and Schweigert, F. J. 2016. Proximate composition, mineral content and fatty acid profile of two marine fishes from Cameroonian coast: Pseudotolithus typus (Bleeker, 1863) and Pseudotolithus elongatus (Bowdich, 1825). NFS Journal. 4, 27-31. http://dx.doi.org/10.1016/j.nfs.2016.07.002
Nollet, L.M.L. (1996). Handbook of Food Analysis. Vol 1. New York, USA, Marcel Dekker Inc., 1088 pp.
Normah, I., H. N. Ain and E. H. Effaniza. 2014. Physicochemical properties of silver catfish (Pangasiussutchi) skin gelatin produced as affected by different extraction time. Jurnal Intelek Vol 9 (1): 7-15.
Norziah, M. H. A. Al-Hassan, A. B. Khairulnizam, M. N. Mordi and M. Norita. 2008. Characterization of fish gelatin from surimi processing wastes: Thermalanalysis and effect of transglutaminase on gel properties. Food Hydrocolloids. Vol. 23: 1610–1616
Nugroho, G. 2014. International Hydrocolloid Conference 2014. http://nugrohogalih.wordpress.com/2014/05/21/international-hydrocolloid-conference-2014/ (diakses tgl 1 /06/2014)
Nurilmala M., Wahyuni, M. dan Wiratmaja, H. 2006. Perbaikan nilai tambah limbah tulang Ikan tuna (thunnus sp) menjadi gelatin serta analisis fisika-kimia. Buletin Teknologi Hasil Perikanan. Vol IX (2), 22-33.
Nurul , A. G. and Sarbon, N. M. 2015. Effects of pH on functional, rheological
and structural properties of eel (Monopterus sp.) skin gelatin compared to bovine gelatin. International Food Research Journal 22(2): 572-583
Ockerman, H. W. and C. L. 2000. Animal By-Product Processing and Utilization. CRC-Press, New York.
Offer, G., and Cousins, T. 1992. The mechanism of drip production –formation of 2 compartments of extracellular-space in muscle postmortem. Journal of the Science of Food and Agriculture, 58, 107–116. https://doi.org/10.1002/jsfa.2740580118
Olszta, M. J., Cheng, X Jee, S. S. Kumar, R. Kim, Y. Y. Kaufman, M. J., Elliot, P. D. and Gower, L. B. (2007). Bone Structure and Formation: A new Perspective. Materials Science and Engineering: R: Reports. 58. 77-116. doi:10.1016/j.mser.2007.05.001.
Onyango, C. A., Izumimoto, M., and Kutima, P. M. 1998. Comparison of physical and chemical properties of selected games meat. Mean Science, 49(1): 117-125. https://doi.org/10.1016/S0309-1740(97)00116-2
220
Page, J. K., Wulf, D. M., and Schwotzer, T. R. 2001. A survey of beef muscle color and pH. Journal of Animal Science, 79: 678–687. DOI: 10.2527/2001.793678x.
Pang, S, Y. Ping Chang and K. K. Woo. 2013. The Evaluation of the Suitability of Fish Wastes as a Source of Collagen. 2013 2nd International Conference on Nutrition and Food Sciences IPCBEE. Vol.53, pp. 77-81
Payne, K. J., & Veis, A. (1988). Fourier transform ir spectroscopy of collagen and gelatin solutions: Deconvolution of the amide I band for conformational studies. Biopolymers, 27(11), 1749-1760
Pasteris, J. D., Wopenka, B., and Valsami-Jones, E. 2008. Mineralization: Why Apatite? ELEMENTS, 4: 97–104. doi: 10.2113/GSELEMENTS.4.2.97
Phen, C., T. B. Thang, E. Baran and L. S. Vann. 2005. Biological Reviews Of Important Cambodian Fish Species, Based On Fishbase 2004. WorldFish Center and Inland Fisheries Research and Development Institute, Phnom Penh, Cambodia. Vol. 1: 127 p.
PRNewswire. 2013. Global Gelatin Market is Expected to Reach USD 2.79 Billion in 2018: Transparency Market Research. http://www.prnewswire.com/news-releases/global-gelatin-market-is-expected-to-reach-usd-279-billion-in-2018-transparency-market-research-213992871.html (diakses 05/06/2014)
Patrick Saoud, I., Batal, M., Ghanawi, J., & Lebbos, N. (2008). Seasonal evaluation of nutritional benefits of two fish species in the eastern Mediterranean Sea. International Journal of Food Science and Technology, 43, 538-542. http://dx.doi.org/10.1111/j.1365-2621.2006.01491.x
Paul, D. K., R. Islam and M. A. Sattar. 2013. Physico-chemical studies of lipids and nutrient contents of Channa striatus and Channa marulius. Turk. J. Fish. Aquat Sci. Vol 13, pp. 487-493.
Pearce, K. N., & Kinsella, J. E. (1978). Emulsifying properties of proteins. Evaluation of a turbidimetric method. Journal of Agricultural and Food Chemistry, 26, 716–721.
Pereira, A. G. T., Ramos, E. M., Teixeira, J. T., Cardoso, G. P., Ramos, A. L. S., and Fontes, P. R. (2011). Effects of the addition of mechanically deboned poultry meat and collagen fibers on quality characteristics of frankfurter-type sausages. Meat Science, 89, 519-525. https://doi.org/10.1016/j.meatsci.2011.05.022
Pereira, J. Zhou, G. H., and Zhang W 2016. Effects of Rice Flour on Emulsion Stability, Organoleptic Characteristics and Thermal Rheology of Emulsified Sausage. Journal of Food and Nutrition Research, 4 (4): 216-222. doi:10.12691/jfnr-4-4-4
Pietrasik, Z. 1999. Effect of content of protein, fat and modified starch on binding textural characteristics, and colour of comminuted scalded sausages. Meat Science, 51: 17-25. https://doi.org/10.1016/S0309-1740(98)00068-0
221
Pranoto, Y., D. W. Marseno and H. Rahmawati. 2011. Characteristics of gelatins extracted from fresh and sun-dried seawater fish skins in Indonesia. International Food Research Journal. Vol. 18(4): 1335-1341.
Prastini, A.I.dan S. B. Widjanarko. 2015. Pembuatan sosis ayam menggunakan gel porang (Amorphophallus mueleri Blume) sebagai bahan pengikat terhadap karakteristik sosis. Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 3 (4):1503-1511.
Prestes, R. C., Carneiro, E. B. B., & Demiate, I. M. (2012). Hydrolyzed collagen, modified starch and guar gum addition in turkey ham. Ciência Rural, 42(7), 1307–1313. https://doi.org/10.1590/S0103-84782012005000037
Prommajak, T. and P. Raviyan. 2013. Physical properties of gelatin extracted from skin of Thai Panga fish (Pangasius bocourti Sauvage). Food and Applied Bioscience Journal. Vol. 1 (3): 131-145.
Prommajak, T. and P. Ravlyan. 2012. Qualities of gelatin from Thai Panga fish skin as affected by skin pretreatment. As. J. Food Ag-Ind.Vol. 5(06): 512-520.
Puolanne, E., Pösö, A.R., Ruusunen, M.H., Sepponen, K.V., and Kylä-Puhju, M.S. 2002. Lactic acid in muscle and its effects on meat quality. Proceedings of the 55th Reciprocal Meat Conference. 57-62.
Purslow, P. P. 2005. Intramuscular connective tissue and its role in meat quality. Meat Science, 70 (3): 435–447. https://doi.org/10.1016/j.meatsci.2004.06.028
Puspawati, N. M., I. N. Simpen dan I. N. Sumerta Niwada. 2012. Isolasi gelatin dari kulit kaki ayam broiler dan karakterisasi gugus fungsinya dengan spektrofotometri FTIR. Jurnal Kimia. 6(1): 79 – 87.
Puwastien, P., Judprasong, K., Kettwan, E., Vasanachitt, K., Nakngamanong, Y., & Bhattacharjee, L. (1999). Proximate composition of raw and cooked Thai freshwater and marine fish. Journal of Food Composition and Analysis, 12(1), 9-16. http://dx.doi.org/10.1006/jfca.1998.0800
Ramadhan, W., J. Santoso dan W. Trilaksani. 2014. Pengaruh defatting, frekuensi pencucian dan jenis dry protectant terhadap mutu tepung surimi ikan lele kering beku. J. Teknol dan Industri Pangan. Vol. 25 (1): 47–56.
Ranken, M. D. 2000. Handbook of Meat Product Technology. Blackwell Science. 212 p.
Rawdkuen, S., Thitipramote, N., and Benjakul, S. 2013. Preparation and functional characterisation of fish skin gelatin and comparison with commercial gelatin. International Journal of Food Science and Technology, 48: 1093–1102. oi:10.1111/ijfs.12067
Raja Mohd Hafidz, R. N., Yaakob, C. M., Amin, I., and Noorfaizan, A. 2011. Chemical and functional properties of bovine and porcine skin gelatin. International Food Research Journal 18: 787-791
Ratnasari, I., S. S. Yuwono, H. Nusyam and S. B. Widjanarko. 2013. Extraction and characterization of gelatin from different fresh water
222
as alternative sources of gelatin. International Food Research Journal. Vol. 20(6): 3085-3091.
Reich, G., Walther, S. and Stather, F. 1962. The influence of the age of cattle and pigskin on the yield and the quality of the gelatins obtained after the acid conditioning process. Investigation of collagen and gelatin IV. FreiberglSA: Deutsche Lederinstitut. Pp. 24-30.
Resurreccion, A. V. A., 2004. Sensory aspects of consumer choices for meat and meat products. Meat Science, 66 (1): 11-20. https://doi.org/10.1016/S0309-1740(03)00021-4
Regenstein, J.M., Zhou, P., Wong, Y., & Boran, G. 2010. Fish Gelatin: An unmet opportunity. In: P. J. Bechtel and S. Smiley (Eds.). Proceedings of the Symposium on A Sustainable Future: Fish Processing Byproducts (pp. 27-40). Alaska Sea Grant Collage Program, University of Alaska Fairbanks, 340 pp. http://dx.doi.org/10.4027/sffpb.2010.03
Rivas, A., Pena-Rivas, L. Ortega, E., Lopez-Martinez, C., Olea-Serrano, F., & Lorenzo, M. L. (2014). Mineral elements contents in commercially valuable fish species in Spain. The Scientific World Journal. Scientific World Journal, 2014, 1-7. http://dx.doi.org/10.1155/2014/949364
Rotta, P.P., do Prado, I. N., do Prado, R. M., Moletta, J. L., Silva, R. R., and Perotto, D. 2009. Carcass Characteristics and Chemical Composition of the Longissimus Muscle of Nellore, Caracu and Holstein-friesian Bulls Finished in a Feedlot. Asian-Australasian Journal of Animal Sciences, 22 (4): 598-604. https://doi.org/10.5713/ajas.2009.80538
Sae-Leaw, T., O’Callaghan, Y. C., Benjakul, S., and O’Brien, N. M. 2016. Antioxidant activities and selected characteristics of gelatin hydrolysates from seabass (Lates calcarifer) skin as affected by production processes. Journal of Food Science Technology, 53(1):197–208. doi:10.1007/s13197-015-1989-7
Sahu, B. B., K. Kumar, A. K. Sahoo, R. Kumar, U. L. Mohanty, N. J. M. Sahoo and A. E. Eknath. 2012. Carcass characteristics of marketable size striped murrel, Channa striatus (Bloch, 1793). Journal of Applied Ichthyology, 28 (2): 258–260.
Said, M. I. 2013. Histological profile of collagen fibers on Bligon goat skin soaked in weak acids and bases solution at different concentration. Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak (JITEK), 8(1): 19-24. http://dx.doi.org/10.21776/ub.jitek.2013.008.01.3.
Said, M.I. 2011. Optimasi Proses Produksi Gelatin Kulit Kambing Sebagai Bahan Baku Edible Film Untuk Bahan Pengemas Obat (Kapsul). Disertasi. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Salam, A. and Davies, P. M. C. 1994. Body composition of northern Pike (Esox Lucius L.) in relation to body size and condition factor. Fisheries Research. Vol 19 (3-4), 193-204. https://doi.org/10.1016/0165-7836(94)90038-8
Sanaei, A.V., Mahmoodani, F., See, S.F., Yusop, S. M., and Babji A.S. 2013. Optimization of gelatin extraction and physico-chemical
223
properties of catfish (Clarias gariepinus) bone gelatin. International Food Research Journal, 20(1): 423-430
Santana, P., Huda N., and Yang, T. A. 2013. The Addition of Hydrocolloids (Carboxymethylcellulose, Alginate and Konjac) to Improve the Physicochemical Properties and Sensory Characteristics of Fish Sausage Formulated with Surimi Powder. Turkish Journal of Fisheries and Aquatic Sciences, 13:561-569. DOI:10.4194/1303-2712-v13_4_01
Santhi, D., Kalaikannana, A., and Sureshkumara, S. 2015. Factors Influencing Meat Emulsion Properties and Product Texture: A Review. Critical Reviews in Food Science and Nutrition. 57(10): 2021-2027. http://dx.doi.org/10.1080/10408398.2013.858027
Sarbon, N. M., F. Badii and N. K. Howell. 2012. Preparation and characterisation of chicken skin gelatin as an alternative to mammalian gelatin. Food Hydrocolloid, 30 (1):143-151.
Schafer, A., Rosenvold, K., Purslow, P. P., Andersen, H. J., & Henckel, P. 2002. Physiological and structural events postmortem of importance for drip loss in pork. Meat Science, 61: 355–366. doi: 10.1016/S0309-1740(01)00205-4
Schrieber, R., & Gareis, H. (2007). Gelatin Handbook: Theory and Industrial Practice. KGaA, Weinheim, Wiley-VCH Verlag GmbH and Co., 331 pp.
Schilling, M. W., Mink, L. E., Gochenour, P. S., Marriott, N. G., and Alvarado, C. Z. 2003. Utilization of pork collagen for functionality improvement of boneless cured ham manufactured from pale, soft, and exudative pork. Meat Science, 65 (1): 547–553. https://doi.org/10.1016/S0309-1740(02)00247-4
See, S. F., Hong, P. K., Ng, K. L., Wan Aida, W. M., and Babji, A. S. 2010. Physicochemical properties of gelatins extracted from skins of different freshwater fish species. International Food Research Journal, 17, 809-816.
Shanks, B. C., Wolf, D. M., and Maddock, R. J. 2002 Technical note: The effect of freezing on Warner Bratzler shear force values of beef longissimus steak across several postmortem aging periods. Journal of Animal Science, 80: 2122-2125. doi: 10.2527/2002.8082122x
Shim, K., Yoon, N., Lim, C., Kim, M., Kang, S., Choi, K., & Oh, T. (2017). The relationship between Seasonal Variations in Body and Proximate Compositions Chub Mackerel Scomber japonicus from the Korea Coast. Turkish Journal of Fisheries and Aquatic Sciences, 17, 735-744. doi:10.4194/1303-2712-v17_4_09
Singh, Y., Blaisdell, J. L., Herum, F. L., Stevens, K., And Cahill, V. 1985. Texture profile parameters of cooked frankfurter emulsions as influenced by cooking treatment. Journal of Texture Study, 16(2): 169-177. https://doi.org/10.1111/j.1745-4603.1985.tb00689.x
224
Silva, R. S. G., Bandeira, S. F., and Pinto, L. A. A. 2014. Characteristics and chemical composition of skin gelatin from Cobia (Rachycentron canadum). LWT-Food Science and Technology, 57(2): 580-585. https://doi.org/10.1016/j.lwt.2014.02.026
Silva, F. A. P., D. S. Amaral, I. C. D. Guerra, P. S. Dalmás, N. M. O. Arcanjo, T. K. A. Bezerra, E. M. Beltrão Filho, R. T. Moreira, M. S. Madruga. 2013. The chemical and sensory qualities of smoked blood sausage made with the edible by-products of goat slaughter. Meat Science Vol. 94: 34–38
Sims, J. T., & Bailey, A. J. (1992). Quantitative analysis of collagen and elastin crosslinks using a single-column system. Journal of Chromatography, 582, 49–55. https://doi.org/10.1016/0378-4347(92)80301-6
Sinthusamran, S., Benjakul, S., and Kishimura, H. 2014. Characteristics and gel properties of gelatin from skin of seabass (Lates calcarifer) as influenced by extraction conditions. Food Chemistry, 152: 276–284. http://dx.doi.org/10.1016/j.foodchem.2013.11.109
Sousa, S. C., Fragoso, S. P., Penna, C. R. A., Arcanjo, N. M.O., Silva, F. A. P. Ferreira, V. C. S., Barreto, M. D. S., and Araújo, I. B. S. 2017. Quality parameters of frankfurter-type sausages with partial replacement of fat by hydrolyzed collagen, LWT - Food Science and Technology, 76: 320-325. http://dx.doi.org/10.1016/j.lwt.2016.06.034
Souissi, N., Jridi M., Nasri, R., Slama, R., B., Njeh, M., and Nasri, M. Effects of the edible cuttlefish gelatin on textural, sensorial and physicochemical quality of octopus Sausage. LWT - Food Science and Technology, 65: 18–24. https://doi.org/10.1016/j.fbio.2015.07.007
Stadnik, J. and Dolatowski, J. Z. 2011. Influence of sonication on Warner-Bratzler shear force, colour and myoglobin of beef (m. semimembranosus). Eur Food Res Technol, 233:553–559. DOI 10.1007/s00217-011-1550-5
Stevens, P. 2010. Gelatin. In: Food Stabilisers, Thickeners and Gelling Agents (Alan Imeson, Ed). Wiley-Blackwell. Pp. 116-144.
Szpak, P. 2011. Fish bone chemistry and ultrastructure: Implications for taphonomy and stable isotope analysis. Journal of Archaeological Science, 38(12): 3358-3372. http://dx.doi.org/10.1016/j.jas.2011.07.022
Suárez, H., Gaitán, O., & Díaz, C. (2015). Microstructural and Physicochemical Analysis of Collagen in Intramuscular Pin Bones of Bocachico Fish (Prochilodus Sp.). Revista Colombiana de Ciencias Pecuarias, 28(2), 188-196. http://dx.doi.org/10.17533/udea.rccp.v28n2a08
Suman, S. P. and Poulson Joseph, P. 2013. Myoglobin chemistry and meat color. Annu. Rev. Food Sci. Technol. 4:79–99. doi:10.1146/annurev-food-030212-182623.
225
Surono, N., D. D. Budiyanto, Widarto, Ratnawati, Aji U.S., Suyini A. M. dan Sugiran. 1994. Penerapan Paket Teknologi Pengolahan Gelatin dari kulit cucut. Laporan BBPMHP. Jakarta.
Suseno, S. H., Syari, C., Zakiyah, E. R., Jacoeb, A. M., Izaki, A. F., Saraswati, and Hayati, S. 2014. Chemical Composition and Fatty Acid Profile of Small Pelagic Fish (Amblygaster sirm and Sardinella gibbosa) from Muara Angke, Indonesia. Oriental Journal of Chemistry, 30(3), 1153-1158. http://dx.doi.org/10.13005/ojc/300328
Suwandi, R., Nurjanah dan M. Winem. 2014. Proporsi bagian tubuh dan kadar proksimat ikan gabus pada berbagai ukuran, JPHPI,17 (1), hal. 22-28.
Songchotikunpan, P., J. Tattiyakul and P. Supaphol.2008. Extraction and electrospinning of gelatin from fish skin. International Journal of Biological Macromolecules. Vol. 42: 247-255.
Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-3820-1995. Sosis Daging. Badan Standardisasi Nasional.
Stryer, L. 1988. Biochemistry 3rd ed. WH Freeman, New York. Shyni, K., Hema, G.S., Ninan, G., Mathew, S., Joshy, C.G., & Lakshmanan,
P.T. (2014). Isolation and characterization of gelatin from the skins of skipjack tuna (Katsuwonus pelamis), dog shark (Scoliodon sorrokowah) and rohu (Labeo rohita). Food Hydrocolloids, 39, 68-76. http://dx.doi.org/10.1016/j.foodhyd.2013.12.008
Subba, D. 2001.Development of containing meat by-products and its nutritional evaluation. Tribhuvan University Journal. Vol. XXIII (1) : 44-49.
Samootkwama, K., Jaturasitha, S., Tipnate,B., Waritthitham, A., Wicke, M., and Kreuzer, M. 2015. Effect of Improving Lamphun Cattle with Black Angus on Carcass and Meat Quality. Agriculture and Agricultural Science Procedia 5: 145 – 150. https://doi.org/10.1016/j.aaspro.2015.08.022
Talmant, A., Monin, G., Briand, M., Dadet, M., and Briand, Y. 1986. Activities of metabolic and contractile enzymes in 18 bovine muscles. Meat Science, 18(1): 23-40. https://doi.org/10.1016/0309-1740(86)90064-1
Tan, B.H., & Azhar, M.E. (2014). Physicochemical properties and composition of Snakehead fish (Channa striatus) whole fillet powder prepared with pre-filleting freezing treatments. International Food Research Journal, 21(3), 1255-1260.
Tarladgis, B., Watts, B. M. and Yonathan, M. (1960) Distillation Method for Determination of Malonaldehyde in Rancid Food. Journal of American Oil Chemistry Society, 37: 44-48. http://dx.doi.org/10.1007/BF02630824
Tartẻ, R. and C.M. Amundson. 2006. Protein Interactions in Muscle Foods. In: Ingredient Interaction Effects on Food Quality. 2ed. (A.G. Goankar and A. McPherson, Eds). CRC Press. Pp. 195-282
226
Tawali, A.B., M. K. Roreng, M. Mahendradatta dan Suryani. 2012. Difusi Teknologi Produksi Konsentrat Protein dari Ikan Gabus Sebagai Food Supplement Di Jayapura. Prosiding InSINas. PG243-PG247.
Tavakolipour, H. 2011. Extraction and Evaluation of Gelatin from Silver Carp Waste.WolrdJournalof Fish and Marine Sciences. Vol 3 (1):10 – 15.
Toldrá, F., M. C. Aristoy , L. Mora and M. Reig. 2012. Innovations in value-addition of edible meat by-products. Meat Science.Vol. 92: 290-296.
Toppe, J., Albrektsen, S., Hope, B., & Aksnes, A. (2007). Chemical composition, mineral content and amino acid and lipid profiles in bones from various fish species. Comparative Biochemistry and Physiology, Part B 146, 395-401. http://dx.doi.org/10.1016/j.cbpb.2006.11.020
Tosh, M. S. A. G. Marangoni, F. R. Hallett and I. J. Britt. 2003. Aging dynamics in gelatin gel microstructure. Food Hydrocolloids. Vol. 17: 503-513.
Turgut S. S., Işıkçı, F., and Soyer, A. 2017. Antioxidant activity of pomegranate peel extract on lipid and protein oxidation in beef meatballs during frozen storage. Meat Science, 129: 111-119. https://doi.org/10.1016/j.meatsci.2017.02.019
Turgut, S. S., Soyer, A., and Işıkçı, F. 2016. Effect of pomegranate peel extract on lipid and protein oxidation in beef meatballs during refrigerated storage. Meat Science, 116: 126-132. https://doi.org/10.1016/j.meatsci.2016.02.011
Uriarte-Montoya, M. H., Santacruz-Ortega, H., Cinco-Moroyoqui, F. J., Rouzaud-Sández, O., Plascencia-Jatomea, M., and Ezquerra-Brauer, J. M. 2011. Giant squid skin gelatin: Chemical composition and biophysical characterization. Food Research International 44 (2011) 3243–3249. doi:10.1016/j.foodres.2011.08.018.
Vasudevan, V. N. and Venkataramanujam, V. 2012. Quality Characteristics of Buffalo Cheek Meat. Journal of Veterinary Animal Science, 43: 85-86.
Vázquez-Ortíz F., Moron F. O. E., and Gonzalez M. N. F. 2004. Hydroxyproline measurement by HPLC: improved method of total collagen determination in meat samples. J Liq Chromatogr Related Technol, Vol 27, 2771–2780.
War, M. K. Altaff, M. A. Haniffa. 2011. Growth and Survival of Larval Snakehead Channa striatus (Bloch, 1793). Fed Different Live Feed Organisms. Turkish Journal of Fisheries and Aquatic Science. Vol 11: 523-528Wu, G. 2009. Amino acids: Metabolism, functions, and nutrition. Amino Acids, 37, 1-17. Doi:10.1007/s00726-009-0269-0
Williams, P. G. 2007. Nutritional composition of red meat. Nutrition & Dietetics, 64 (Suppl. 4): S113–S119. http://dx.doi.org/10.1111/j.1747-0080.2007.00197.x
Wu, G, Bazer, F. W., Burghardt, R. C., Johnson, G. A., Kom, S. W., Knabe, D. A., Li, P., Li, X., McKnight, J. R., Satterfield, M. C., & Spencer, T. E. 2011. Proline and hydroxyproline metabolism: Implication for
227
animal and human nutrition. Amino Acids, 40(4), 1053-1063. http://dx.doi.org/10.1007/s00726-010-0715-z
Wu G, Wu ZL, Dai ZL, Yang Y, Wang WW, Liu C, Wang B, Wang JJ, Yin YL (2013) Dietary requirements of “nutritionally nonessential amino acids” by animals and humans. Amino Acids 44:1107–1113. doi: 10.1007/s00726-012-1444-2.
Wulandari, Suptijah, P., and Tarman, K. 2015. Efektivitas pretreatment alkali dan hidrolisis asam asetat terhadap karakteristik kolagen dari kulit ikan gabus. JPHPI, 18(3), 287-302. http://dx.doi.org/10.17844/jphpi.2015.18.3.287
Wulandari, A. Supriadi dan B. Purwanto. 2013. pengaruh defatting dan suhu ekstraksi terhadap karakteristik fisik gelatin tulang ikan gabus (Channa striata). Fishtech. Vol. II (1): 38-45
Wyrwisz, J., Półtorak, A., Zalewska, M., Zaremba, R., And Wierzbicka, A. 2012. Analysis of relationship between basic ompocsition, pH, and physical properties of selected bovine muscles. Bull Vet Inst Pulawy 56: 403-409. DOI: 10.2478/v10213-012-0071-8.
Xie S, Zhou W, Tian L, Niu J, Liu Y (2016) Effect of N-acetyl cysteine and glycine supplementation on growth performance, glutathione synthesis, anti-oxidative and immune ability of Nile tilapia, Oreochromis niloticus. Fish Shellfish Immunol, 55:233–24/ http://dx.doi.org/10.1016/j.fsi.2016.05.033
Yeannes, M. I., and Almandos, M.E. (2003). Estimation of fish proximate composition starting from water content. Food Composition and Analysis, 16(1), 81-92. http://dx.doi.org/10.1016/S0889-1575(02)00168-0
Yeo, E. J., Kim, H.-W., Hwang, K.-E., Song, D.-H., Kim, Y.-J., Ham, Y.-K., He, F-Y, Park J-H and Kim, C.-J. (2014). Effect of Duck Feet Gelatin on Physicochemical, Textural, and Sensory Properties of Low-fat Frankfurters. Korean Journal for Food Science of Animal Resources, 34(4): 415–422. http://doi.org/10.5851/kosfa.2014.34.4.415
Yu, D., Chi, C. F., Wang, B., Ding G. F., and Li, Z. R. 2014. Characterization of acid- and pepsin-soluble collagens from spines and skulls of skipjack tuna (Katsuwonus pelamis) [J]. Chinese Journal of Natural Medicines, 12(9): 712-720. https://doi.org/10.1016/S1875-5364(14)60110-2
Zakaria, S and Abu Bakar, N. H. 2015. Extraction and characterization gelatin from black tilapia (Oreochromis niloticus) scale and bone. Int'l Conf. on Advances in Science, Engg., Technology & Natural Resources (ICASETNR-15) Aug. 27-28, 2015 Kota Kinabalu (Malaysia).
Zhang, J, Duan, R., Wang, Y., Yan, B., & Xue, W. 2012. Seasonal differences in the properties of gelatins extracted from skin of silver carp (Hypophthalmichthys molitrix). Food Hydrocolloids. 29. 100–105. Doi.10.1016/j.foodhyd.2012.02.005.
228
Zhang, K., Mai, K., Xu, Wi., Zhou H., Liufu Z., Zhang, Y., Peng M., and Ai, Q. 2015. Proline with or without Hydroxyproline Influences Collagen Concentration and Regulates Prolyl 4-Hydroxylase α (I) Gene Expression in Juvenile Turbot (Scophthalmus maximus L.). J. Ocean Univ. China. 14 (3): 541-548. DOI 10.1007/s11802-015-2436-0
Zarai, Z. Balti, R., Hafedh Mejdoub, H., Gargouri, Y., and Sayari, A. 2012. Process for extracting gelatin from marine snail (Hexaplex trunculus): Chemical composition and functional properties. Process Biochemistry 47:1779–1784. http://dx.doi.org/10.1016/j.procbio.2012.06.007
Zhou, P. And J. M. Regenstein. 2005. Effect of alkaline and acid pretreatments on alaska pollock skin gelatin extraction. J. Food.Sci. Vol. 90: C392-C396.
Zuraini, A., Somchit, M.N., Solihah, M.H., Goh, Y.M., Arifah, A.K., Zakaria, M. S, Somchit, N., Rajion, M.A., Zakaria, Z.A., & Mat Jais, A.M. (2006). Fatty acid and amino acid composition of three local Malaysian Channa spp. fish. Food Chemistry, 97, 674-678. http://dx.doi.org/10.1016/j.foodchem.2005.04.031
http://cdn.yourarticlelibrary.com/wp-
content/uploads/2016/07/clip_image004_thumb-125.jpg (Diakses: 13/7/2018)
229
Lampiran 1. Univariate Analysis of Variance Komposisi Kimia kulit dan tulang ikan gabus
a. Kadar air
Descriptive Statistics
Jaringan Berat Mean Std. Deviation N
Kulit 300-400 77.8367 .52348 3 600-700 76.0633 1.92464 3 900-1000 74.3333 .14572 3
Total 76.0778 1.81693 9 tulang 300-400 46.6900 1.52568 3
600-700 43.1600 .07810 3 900-1000 42.4767 1.30424 3
Total 44.1089 2.20084 9 Total 300-400 62.2633 17.09021 6
600-700 59.6117 18.06303 6 900-1000 58.4050 17.46834 6
Total 60.0933 16.56397 18
Tests of Between-Subjects Effects
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig. Corrected Model 4648.135a 5 929.627 694.241 .000 Intercept 65001.757 1 65001.757 48542.987 .000
Jaringan 4599.044 1 4599.044 3434.543 .000 Berat 46.748 2 23.374 17.456 .000 Jaringan* Berat 2.343 2 1.171 .875 .442 Error 16.069 12 1.339 Total 69665.961 18 Corrected Total 4664.204 17 a. R Squared = .997 (Adjusted R Squared = .995)
Berat N Subset
1 2 Duncana,b 900-1000 6 58.4050
600-700 6 59.6117 300-400 6 62.2633 Sig. .096 1.000
230
b. Kadar Protein
Jaringan Berat Mean Std. Deviation N Kulit 300-400 16.3667 .60468 3
600-700 17.4900 1.64709 3 900-1000 18.4900 .58660 3 Total 17.4489 1.30459 9
tulang 300-400 15.0133 .80749 3 600-700 16.0933 .61647 3 900-1000 15.2367 .2940 3 Total 15.4478 .72346 9
Total 300-400 15.6900 .97802 6 600-700 16.7917 1.3500 6 900-1000 16.8633 1.8296 6 Total 16.4483 1.45163 18
Tests of Between-Subjects Effects
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig. Corrected Model 25.641a 5 5.128 6.044 .005 Intercept 4869.858 1 4869.858 5739.223 .000
Jaringan 18.020 1 18.020 21.237 .001 Berat 5.961 2 2.981 3.513 .063 Jaringan * Berat 1.660 2 .830 .978 .404 Error 10.182 12 .849 Total 4905.681 18 Corrected Total 35.823 17 a. R Squared = .716 (Adjusted R Squared = .597)
c. Kadar Lemak
Descriptive Statistics
Jaringan Berat Mean Std. Deviation N Kulit 300-400 .6733 .17010 3
600-700 3.3233 .53482 3 900-1000 2.9867 .41956 3
Total 2.3278 1.29756 9 tulang 300-400 2.5433 .01528 3
600-700 4.0467 .44377 3 900-1000 4.1867 .31390 3
Total 3.5922 .83453 9 Total 300-400 1.6083 1.02992 6
600-700 3.6850 .59173 6 900-1000 3.5867 .73609 6
Total 2.9600 1.24228 18
231
Tests of Between-Subjects Effects Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig. Corrected Model 24.662a 5 4.932 37.619 .000 Intercept 157.709 1 157.709 1202.813 .000 Jaringan 7.195 1 7.195 54.872 .000 Berat 16.472 2 8.236 62.814 .000 Jaringan * Berat .995 2 .498 3.796 .053 Error 1.573 12 .131 Total 183.944 18 Corrected Total 26.236 17 a. R Squared = .940 (Adjusted R Squared = .915)
Post hoc
Berat N Subset
1 2 Duncana,b 300-400 6 1.6083
900-1000 6 3.5867 600-700 6 3.6850
Sig. 1.000 .647
d. Kadar Abu
Descriptive Statistics Jaringan Berat Mean Std. Deviation N Kulit 300-400 .6033 .08505 3
600-700 .2200 .04583 3 900-1000 .2000 .09165 3 Total .3411 .20781 9
tulang 300-400 29.8167 .63066 3 600-700 31.8767 .45786 3 900-1000 32.0533 .51394 3 Total 31.2489 1.17370 9
Total 300-400 15.2100 16.00586 6 600-700 16.0483 17.34151 6 900-1000 16.1267 17.44991 6 Total 15.7950 15.92293 18
Tests of Between-Subjects Effects Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig. Corrected Model 4308.396a 5 861.679 5814.081 .000 Intercept 4490.676 1 4490.676 30300.325 .000 Jaringan 4298.808 1 4298.808 29005.716 .000 Berat 3.098 2 1.549 10.453 .002 Ikan * Berat 6.489 2 3.245 21.892 .000 Error 1.778 12 .148 Total 8800.851 18 Corrected Total 4310.174 17 a. R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = .999)
232
Post Hoc
Berat N Subset
1 2 Duncana,b 300-400 6 15.2100
600-700 6 16.0483 900-1000 6 16.1267 Sig. 1.000 .731
e. Hidroksiprolin
Descriptive Statistics Jaringan Umur Mean Std. Deviation N kulit 300-400 11.3733 .33486 3
600-700 11.6333 .60343 3 900-1000 11.9067 .21962 3 Total 11.6378 .42950 9
tulang 300-400 12.3433 .61076 3 600-700 11.0567 1.04510 3 900-1000 11.1267 .40526 3 Total 11.5089 .89441 9
Total 300-400 11.8583 .69017 6 600-700 11.3450 .82602 6 900-1000 11.5167 .51721 6 Total 11.5733 .68386 18
Tests of Between-Subjects Effects
Source Type III Sum of
Squares df Mean Square F Sig. Corrected Model 3.642a 5 .728 2.029 .146 Intercept 2410.957 1 2410.957 6715.757 .000 Jenis bahan .075 1 .075 .208 .656 Berat .819 2 .410 1.141 .352 Jenis bahan * Berat 2.748 2 1.374 3.827 .052 Error 4.308 12 .359 Total 2418.907 18 Corrected Total 7.950 17 a. R Squared = .458 (Adjusted R Squared = .232)
233
f. Kolagen
Bahan_Baku Bobot_Badan Mean Std. Deviation N
kulit 300-400g 9.0996 .26930 3
600-700g 9.3060 .48437 3
900-1000g 9.5247 .17686 3
Total 9.3101 .34423 9
tulang 300-400g 9.8759 .48708 3
600-700g 8.8460 .83792 3
900-1000g 8.9006 .32380 3
Total 9.2075 .71617 9
Total 300-400g 9.4878 .55199 6
600-700g 9.0760 .66193 6
900-1000g 9.2127 .41387 6
Total 9.2588 .54764 18
Descriptive Statistics
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig. Corrected Model 233.341a 5 46.668 2.025 .147 Intercept 154304.939 1 154304.939 6696.782 .000 Jenisbahan 4.723 1 4.723 .205 .659 Berat 52.837 2 26.418 1.147 .350 Jenisbahan * Berat 175.782 2 87.891 3.814 .052 Error 276.500 12 23.042 Total 154814.780 18 Corrected Total 509.841 17 a. R Squared = .458 (Adjusted R Squared = .232)
g. Kolagen basis protein kasar Bahan_Baku Bobot_Badan Mean Std. Deviation N
kulit 300-400g 55.6530 2.73022 3
600-700g 53.6572 7.31510 3
900-1000g 51.5445 1.75617 3
Total 53.6182 4.37929 9
tulang 300-400g 66.0094 6.48224 3
600-700g 55.0191 5.49959 3
900-1000g 58.4047 1.15076 3
Total 59.8111 6.49286 9
Total 300-400g 60.8312 7.20874 6
600-700g 54.3382 5.83601 6
900-1000g 54.9746 3.98526 6
Total 56.7147 6.24625 18
234
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 387.990a 5 77.598 3.383 .039
Intercept 57897.938 1 57897.938 2.524E3 .000
Bahan_Baku 172.583 1 172.583 7.523 .018
Bobot_Badan 153.730 2 76.865 3.351 .070
Bahan_Baku * Bobot_Badan 61.677 2 30.838 1.344 .297
Error 275.276 12 22.940 Total 58561.204 18 Corrected Total 663.266 17 a. R Squared = .585 (Adjusted R Squared = .412)
Post hoc
Duncan
Bobot_Badan N
Subset
1 2
600-700g 6 54.3382 900-1000g 6 54.9746 54.9746
300-400g 6 60.8312
Sig. .822 .056
235
Lampiran 2. Kadar asam amino kulit dan tulang ikan gabus pada bobot berbeda
a. Asam Amino pada Kulit
No. Asam amino (ppm) KL A % KLB % KLC %
1 L-Histidin 10820.47 1.18 12314.08 1.26 11706.20 1.19
2 L-Serin 37675.88 4.10 40128.37 4.10 38983.55 3.97
3 L-Arginin 77181.59 8.40 85257.58 8.70 81103.50 8.25
4 Glisin 225074.53 24.49 243274.19 24.83 234020.72 23.81
5 L-Asam aspartat 50205.99 5.46 52189.50 5.33 59179.42 6.02
6 L-Asam glutamat 100042.36 10.89 104066.33 10.62 114682.15 11.67
7 L-Threonin 32477.15 3.53 34197.35 3.49 33096.28 3.37
8 L-Alanin 90361.02 9.83 94496.14 9.64 99420.89 10.12
9 L-Prolin 117493.23 12.79 124030.08 12.66 121167.21 12.33
10 L-Sistin 457.93 0.05 439.27 0.04 324.19 0.03
11 L-Lisin HCL 52147.90 5.67 49845.54 5.09 53959.77 5.49
12 L-Tirosin 1041.39 0.11 10037.51 1.02 9418.87 0.96
13 L-Metionin 15107.18 1.64 16820.64 1.72 15502.23 1.58
14 L-Valin 28428.85 3.09 28304.77 2.89 27836.52 2.83
15 L-Isoleuin 19079.82 2.08 18748.35 1.91 18247.64 1.86
16 L-Leusin 33786.15 3.68 33469.78 3.42 32654.77 3.32
17 L-Phenilalanin 26614.83 2.90 31170.41 3.18 30600.50 3.11
18 Triptophan 945.75 0.10 1126.72 0.11 940.77 0.10
Total 918942.02 100.00 979916.61 100.00 982845.18 100.00
Keterangan: KLA = Kulit dari ikan gabus bobot 300-400 g KLB = Kulit dari ikan gabus bobot 600-700 g KLC = Kulit dari ikan gabus bobot 900-1000 g
236
b. Asam amino pada tulang ikan gabus
No. Asam amino (ppm) TL A %TLA TLB %TLB TLC %TLC
1 L-Histidin 6077.93 1.54 6984.05 1.48 6536.64 1.53
2 L-Serin 16547.99 4.18 19384.25 4.10 17804.02 4.16
3 L-Arginin 29507.80 7.46 34193.11 7.24 33275.93 7.78
4 Glisin 88925.33 22.48 100786.22 21.33 99852.15 23.34
5 L-Asam aspartat 24569.99 6.21 31938.30 6.76 24435.08 5.71
6 L-Asam glutamat 47597.73 12.03 60669.24 12.84 49189.09 11.50
7 L-Threonin 14221.31 3.60 16736.81 3.54 15665.17 3.66
8 L-Alanin 38260.64 9.67 46668.94 9.88 40939.89 9.57
9 L-Prolin 46845.58 11.84 54120.36 11.45 51862.21 12.12
10 L-Sistin 257.46 0.07 199.14 0.04 241.62 0.06
11 L-Lisin HCL 21787.31 5.51 27965.51 5.92 22344.91 5.22
12 L-Tirosin 5639.58 1.43 6739.24 1.43 6130.16 1.43
13 L-Metionin 5733.10 1.45 6639.71 1.41 6696.19 1.57
14 L-Valin 12858.69 3.25 15223.02 3.22 13645.97 3.19
15 L-Isoleuin 8635.14 2.18 10458.97 2.21 9173.40 2.14
16 L-Leusin 15353.72 3.88 18538.85 3.92 16418.87 3.84
17 L-Phenilalanin 12066.07 3.05 14672.61 3.10 13061.76 3.05
18 Triptophan 623.21 0.16 637.91 0.13 504.24 0.12
Total 395508.58 100.00 472556.24 100.00 427777.30 100.00
TLA = Tulang dari ikan gabus bobot 300-400 g TLB = Tulang dari ikan gabus bobot 600-700 g TLC = Tulang dari ikan gabus bobot 900-1000 g
237
Lampiran 3. Univariate Analysis of Variance Kualitas Gelatin Ikan Gabus
a. Rendemen Gelatin ikan gabus
Tests of Between-Subjects Effects
Source JK df KT F Sig. Perlakuan 1845.800a 17 108.576 234.480 .000 Faktor Koreksi 6496.873 1 6496.873 14030.552 .000 Perlakuan_A 1620.436 1 1620.436 3499.470 .000 Perlakuan_B 161.123 2 80.561 173.979 .000 Perlakuan_A * Perlakuan_B 27.013 2 13.507 29.169 .000 Perlakuan_C 28.387 2 14.193 30.652 .000 Perlakuan_B * Perlakuan_C 2.939 4 .735 1.587 .199 Perlakuan_A * Perlakuan_C 3.632 2 1.816 3.922 .029 Perlakuan_A * Perlakuan_B * Perlakuan_C
2.270 4 .567 1.225 .317
Galat 16.670 36 .463 Total 8359.342 54 Total Terkoreksi 1862.469 53 a. R Squared = .991 (Adjusted R Squared = .987)
Post hoc
Substrat Rendemen
I II
Tulang 5.490741
Kulit 16.44667
Suhu Rendemen
I II III
50 9.161111
60 10.44944
70 13.29556
Waktu Ekstraksi Rendemen
I II III
12 9.983889
18 11.21389
24 11.70833
238
Substrat Suhu Rendemen
I II III IV V
Tulang 50 2.797778
Tulang 60 5.011111
Tulang 70 8.663333
Kulit 50 15.52444
Kulit 60 15.88778
Kulit 70 17.92778
Substrat Waktu ekstraksi Rendemen
I II III IV
Tulang 12 4.844444
Tulang 18 5.444445
Tulang 24 6.183333
Kulit 12 15.12333
Kulit 18 16.98333
Kulit 24 17.23333
b. Kekuatan Gel
Source JK df KT F Sig. 297377.568a 17 17492.798 30.086 .000 Faktor Koreksi 1206614.519 1 1206614.519 2075.242 .000 Perlakuan_A 53682.347 1 53682.347 92.328 .000 Perlakuan_B 57856.225 2 28928.112 49.753 .000 Perlakuan_A * Perlakuan_B 14723.647 2 7361.824 12.662 .000 Perlakuan_C 6489.851 2 3244.926 5.581 .008 Perlakuan_B * Perlakuan_C 11268.835 4 2817.209 4.845 .003 Perlakuan_A * Perlakuan_C 125942.916 2 62971.458 108.304 .000 Perlakuan_A * Perlakuan_B * Perlakuan_C
27413.746 4 6853.437 11.787 .000
Galat 20931.593 36 581.433 Total 1524923.680 54 Total Terkoreksi 318309.161 53 a. R Squared = .934 (Adjusted R Squared = .903)
Substrat Kekuatan Gel
I II
Tulang 117.95
Kulit 181.01
239
Suhu Kekuatan Gel
I II
50 103.79
70 165.87
60 178.78
Waktu Kekuatan Gel
I II
24 133.98
18 157.23
12 157.24
Substrat Suhu Kekuatam Gel
I II III IV
Tulang 50 53.80
Tulang 60 144.10
Kulit 50 153.79 153.79
Tulang 70 155.96 155.96
Kulit 70 175.79
Kulit 60 213.46
Substrat Waktu
Ekstraksi Kekuatam Gel
I II III IV V
Tulang 12 64.53
Kulit 24 108.62
Tulang 18 129.99
Tulang 24 159.33
Kulit 18 184.47
Kulit 12 249.94
Suhu Waktu
Ekstraksi Kekuatam Gel
I II III IV
50 24 87.15
50 18 90.88
50 12 133.35
70 24 140.90 140.90
60 12 163.18 163.18
60 24 173.88 173.88
70 12 175.18 175.18
70 18 181.53 181.53
60 18 199.27
240
Substrat Suhu Waktu ekstraksi Kekuatam Gel
I II III IV V
Tulang 50 12 41.37
Tulang 60 12 48.00
Tulang 50 18 55.37
Tulang 50 24 64.67 64.67
Tulang 70 12 104.23
Kulit 70 24 108.00
Kulit 60 24 108.23
Kulit 50 24 109.63
Kulit 50 18 126.40
Tulang 60 18 144.77 144.77
Kulit 70 18 173.23
Tulang 70 24 173.80
Tulang 70 18 189.83 189.83
Kulit 50 12 225.33
Tulang 60 24 239.53
Kulit 70 12 246.13 246.13
Kulit 60 18 253.77 253.77
Kulit 60 12 278.37
c. Viskositas
Source JK df KT F Sig. Perlakuan 4.606a 17 .271 6.715 .000 Faktor Koreksi 2346.304 1 2346.304 58156.799 .000 Perlakuan_A .150 1 .150 3.728 .061 Perlakuan_B .921 2 .461 11.416 .000 Perlakuan_A * Perlakuan_B 2.226 2 1.113 27.588 .000 Perlakuan_C .005 2 .002 .057 .944 Perlakuan_B * Perlakuan_C .152 4 .038 .942 .451 Perlakuan_A * Perlakuan_C 1.065 2 .532 13.194 .000 Perlakuan_A * Perlakuan_B * Perlakuan_C
.087 4 .022 .538 .709
Galat 1.452 36 .040 Total 2352.362 54 Total Terkoreksi 6.058 53 a.R Squared = .760 (Adjusted R Squared = .647)
Suhu Viskositas
I II
50 6.41
60 6.66
70 6.71
241
Substrat Waktu Ekdtraksi Viskositas
I II
Tulang 12 6.38
Kulit 24 6.45
Tulang 18 6.53 6.53
Kulit 18 6.68
Tulang 24 6.71
Kulit 12 6.80
Substrat Suhu Viskositas
I II III
Tulang 50 6.10
Kulit 70 6.51
Tulang 60 6.61
Kulit 60 6.71 6.71
Kulit 50 6.71 6.71
Tulang 70 6.90
d. pH
Source JK df KT F Sig. Perlakuan 8.994a 17 .529 51.867 .000 Faktor Koreksi 1066.933 1 1066.933 104601.309 .000 Perlakuan_A 4.524 1 4.524 443.531 .000 Perlakuan_B .633 2 .316 31.015 .000 Perlakuan_A * Perlakuan_B 1.201 2 .600 58.857 .000 Perlakuan_C .937 2 .469 45.932 .000 Perlakuan_B * Perlakuan_C .151 4 .038 3.710 .013 Perlakuan_A * Perlakuan_C 1.412 2 .706 69.221 .000 Perlakuan_A * Perlakuan_B * Perlakuan_C
.136 4 .034 3.331 .020
Galat .367 36 .010 Total 1076.294 54 Total Terkoreksi 9.361 53 a.R Squared = .961 (Adjusted R Squared = .942)
Substrat pH
I II
Tulang 4.16
Kulit 4.73
Suhu pH
I II III
50 4.33
60 4.415
70 4.59
242
Waktu Ekstraksi pH
I II III
12 4.306667
18 4.406111
24 4.622222
Substrat suhu pH
I II III IV
Tulang 50 3.90
Tulang 60 4.06
Tulang 70 4.51
Kulit 70 4.67
Kulit 50 4.76
Kulit 60 4.77
Substrat Waktu
ekstraksi pH
I II III IV V
Tulang 12 3.80
Tulang 18 4.16
Tulang 24 4.51
Kulit 18 4.66
Kulit 24 4.74 4.74
Kulit 12 4.81
Suhu Waktu ekstraksi pH
I II III IV
50 12 4.17
60 12 4.21 4.21
50 18 4.30
60 18 4.37
50 24 4.53
70 12 4.54
70 18 4.55 4.55
60 24 4.66
70 24 4.68
243
Substrat Suhu Waktu
ekstraksi pH
I II III IV V VI
Tulang 50 12 3.55
Tulang 60 12 3.55
Tulang 50 18 3.87
Tulang 60 18 4.09
Tulang 50 24 4.27
Tulang 70 12 4.30
Tulang 70 18 4.51
Tulang 60 24 4.54 4.54
Kulit 70 18 4.59 4.59
Kulit 70 24 4.65 4.65
Kulit 60 18 4.65 4.65
Tulang 70 24 4.71
Kulit 50 18 4.72
Kulit 70 12 4.78
Kulit 50 24 4.78
Kulit 60 24 4.78
Kulit 50 12 4.78
Kulit 60 12 4.87 Lampiran 4. Data komposisi kimia gelatin
a. Kadar air gelatin
Descriptive Statistics
Jenis_Gelatin Mean Std. Deviation N
GKG 7.4633 .28113 3
GKB 13.7000 .48662 3
GTG 3.4967 .20306 3
Total 8.2200 4.46448 9
244
Tests of Between-Subjects Effects
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 158.738a 2 79.369 666.844 .000
Intercept 608.116 1 608.116 5.109E3 .000
Jenis_Gelatin 158.738 2 79.369 666.844 .000
Error .714 6 .119 Total 767.568 9 Corrected Total 159.453 8 a. R Squared = .996 (Adjusted R Squared = .994) Post Hoc
Duncan
Jenis_Gelatin N
Subset
1 2 3
GTG 3 3.4967 GKG 3 7.4633 GKB 3 13.7000
Sig. 1.000 1.000 1.000
b. Kadar Protein gelatin
Descriptive Statistics
Jenis_Gelatin Mean Std. Deviation N
GKG 83.4067 .56163 3
GKB 76.9933 1.13390 3
GTG 93.1233 .49662 3
Total 84.5078 7.06591 9
Tests of Between-Subjects Effects
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 395.721a 2 197.861 321.237 .000
Intercept 64274.081 1 64274.081 1.044E5 .000
Jenis_Gelatin 395.721 2 197.861 321.237 .000
Error 3.696 6 .616 Total 64673.498 9 Corrected Total 399.417 8 a. R Squared = .991 (Adjusted R Squared = .988)
245
Post Hoc
Duncan
Jenis_Gelatin N
Subset
1 2 3
GKB 3 76.9933 GKG 3 83.4067 GTG 3 93.1233
Sig. 1.000 1.000 1.000
c. Komposisi lemak gelatin
Descriptive Statistics
Jenis_Gelatin Mean Std. Deviation N
GKG .3100 .01000 3
GKB .0300 .00000 3
GTG 1.0533 .04933 3
Total .4644 .45870 9
Tests of Between-Subjects Effects
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 1.678a 2 .839 993.645 .000
Intercept 1.941 1 1.941 2.299E3 .000
Jenis_Gelatin 1.678 2 .839 993.645 .000
Error .005 6 .001 Total 3.625 9 Corrected Total 1.683 8 a. R Squared = .997 (Adjusted R Squared = .996) Post Hoc
Duncan
Jenis_Gelatin N
Subset
1 2 3
GKB 3 .0300 GKG 3 .3100 GTG 3 1.0533
Sig. 1.000 1.000 1.000
246
d. Kadar abu gelatin
Descriptive Statistics
Jenis_Gelatin Mean Std. Deviation N
GKG 1.1400 .03606 3
GKB 1.9333 .03786 3
GTG 1.3267 .06658 3
Total 1.4667 .36170 9
Tests of Between-Subjects Effects
Source Type III Sum of Squares df Mean
Square F Sig.
Corrected Model 1.032a 2 .516 216.056 .000
Intercept 19.360 1 19.360 8.104E3 .000
Jenis_Gelatin 1.032 2 .516 216.056 .000
Error .014 6 .002 Total 20.407 9 Corrected Total 1.047 8 a. R Squared = .986 (Adjusted R Squared = .982) Post Hoc
Duncan
Jenis_Gelatin N
Subset
1 2 3
GKG 3 1.1400 GTG 3 1.3267 GKB 3 1.9333
Sig. 1.000 1.000 1.000
Lampiran 5. Analisis Varian Warna gelatin
a. Kecerahan gelatin (L)
Descriptive Statistics
Jenis_Gelatin Mean Std. Deviation N
GKG 84.8333 2.25649 3
GKB 64.8567 .51733 3
GTG 67.4733 1.45552 3
Total 72.3878 9.50158 9
247
Tests of Between-Subjects Effects
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 707.284a 2 353.642 141.875 .000
Intercept 47159.913 1 47159.913 1.892E4 .000
Jenis_Gelatin 707.284 2 353.642 141.875 .000
Error 14.956 6 2.493 Total 47882.153 9 Corrected Total 722.240 8 a. R Squared = .979 (Adjusted R Squared = .972) Post Hoc
Duncan
Jenis_bahan N
Subset
1 2
GKB 3 64.8567 GTG 3 67.4733 GKG 3 84.8333
Sig. .089 1.000
b. Warna kemerahan gelatin (a*)
Descriptive Statistics
Jenis_Gelatin Mean Std. Deviation N
GKG 1.6700 2.48006 3
GKB -1.0733 .28024 3
GTG 14.6733 4.63761 3
Total 5.0900 7.74632 9
Tests of Between-Subjects Effects
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 424.570a 2 212.285 22.961 .002
Intercept 233.173 1 233.173 25.220 .002
Jenis_Gelatin 424.570 2 212.285 22.961 .002
Error 55.473 6 9.246 Total 713.216 9 Corrected Total 480.043 8 a. R Squared = .884 (Adjusted R Squared = .846)
248
Post Hoc
Duncan
Jenis_Gelatin N
Subset
1 2
GKB 3 -1.0733 GKG 3 1.6700 GTG 3 14.6733
Sig. .311 1.000
c. Warna kekuningan gelatin (b)
Descriptive Statistics
Jenis_Gelatin Mean Std. Deviation N
GKG 37.1967 .75745 3
GKB 21.1100 .90072 3
GTG 26.4767 4.71810 3
Total 28.2611 7.49826 9
Tests of Between-Subjects Effects
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 402.500a 2 201.250 25.533 .001
Intercept 7188.214 1 7188.214 911.999 .000
Jenis_Gelatin 402.500 2 201.250 25.533 .001
Error 47.291 6 7.882 Total 7638.005 9 Corrected Total 449.791 8 a. R Squared = .895 (Adjusted R Squared = .860) Post Hoc
Duncan
Jenis_Gelatin N
Subset
1 2
GKB 3 21.1100 GTG 3 26.4767 GKG 3 37.1967
Sig. .058 1.000
249
d. Total warna Gelatin (ΔA)
Descriptive Statistics
Jenis_Gelatin Mean Std. Deviation N
GKG 35.7567 1.09710 3
GKB 34.1200 1.69767 3
GTG 38.7133 4.61275 3
Total 36.1967 3.22579 9
Tests of Between-Subjects Effects
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 32.519a 2 16.260 1.923 .226
Intercept 11791.788 1 11791.788 1.395E3 .000
Jenis_Gelatin 32.519 2 16.260 1.923 .226
Error 50.726 6 8.454 Total 11875.034 9 Corrected Total 83.246 8 a. R Squared = .391 (Adjusted R Squared = .188)
250
Lampiran 6. Gambar Gelatin Hasil ekstraksi berdasarkan suhu dan waktu ekstraksi berbeda.
a. Gambar Gelatin Tulang yang diekstraksi pada suhu dan waktu
berbeda
Suhu (°C)
70
60
50
Waktu Ekstraksi (Jam) 12 18 24
251
b. Gambar Gelatin kulit yang diekstraksi pada suhu dan waktu berbeda
Suhu (°C)
70
60
50
Waktu Ekstraksi (Jam) 12 18 24
252
Lampiran 7. Asam amino Gelatin
a. Gelatin Kulit Ikan Gabus (GKG)
Asam Amino GKG 1 GKG 2 Rataan Residu/1000
L-Histidin 6102.6 6107.36 6104.98 0.85
L-Threonin 22052.7 21952.54 22002.62 3.08
L-Prolin 95276.53 94817.78 95047.155 13.31
L-Tirosin 3483.64 3468.66 3476.15 0.49
L-Leusin 18165.75 18075.08 18120.415 2.54
L-Asam Aspartat 33514.24 33374.12 33444.18 4.68
L-Lisin HCl 35460.1 35336.2 35398.15 4.96
Glisin 193918.31 193164.81 193541.56 27.10
L-Arginin 61562.75 61339.64 61451.195 8.61
L-Alanin 79635.2 79342.44 79488.82 11.13
L-Valin 16155.08 16095.07 16125.075 2.26
L-Isoleusin 9322.84 9281.77 9302.305 1.30
L-Fenilalanin 16794.43 16731 16762.715 2.35
L-Asam glutamat 78831.79 78400.2 78615.995 11.01
L-Serin 29889.44 29755.03 29822.235 4.18
L-Metionin 15393.16 15316.95 15355.055 2.15
L-Sistin Not
detected Not detected 0 0.00
714058.605 100.00
253
b. Gelatin Tulang Ikan Gabus
Asam Amino GTG 1 GTG 2 Rataan Residu/1000
L-Histidin 9544.81 9547.56 9546.185 1.21
L-Threonin 26176.99 26139.32 26158.155 3.31
L-Prolin 96055.17 95792.05 95923.61 12.13
L-Tirosin 6402.77 6427.83 6415.3 0.81
L-Leusin 21835.54 21710.32 21772.93 2.75
L-Asam Aspartat 36478.32 36423.97 36451.145 4.61
L-Lisin HCl 29952.51 29909.28 29930.895 3.79
Glisin 219313.69 218882.28 219097.985 27.71
L-Arginin 75249.50 75150.40 75199.95 9.51
L-Alanin 78382.96 78144.09 78263.525 9.90
L-Valin 18558.57 18708.55 18633.56 2.36
L-Isoleusin 11297.30 11264.65 11280.975 1.43
L-Fenilalanin 24777.04 24725.96 24751.5 3.13
L-Asam glutamat 84231.85 84001.90 84116.875 10.64
L-Serin 34471.13 34443.97 34457.55 4.36
L-Metionin 18545.77 18564.29 18555.03 2.35
L-Sistin 0 0 0 0.00
790555.17 100
254
c. Gelatin Komersial
Asam Amino GKB 1 GKB 2 Rataan Residu/1000
L-Histidin 4640.54 4664.46 4652.5 0.86 L-Threonin 12132.49 12177.37 12154.93 2.24 L-Prolin 76111.86 76202.73 76157.295 14.01 L-Tirosin 2502.59 2510.16 2506.375 0.46 L-Leusin 20536.35 20583.99 20560.17 3.78 L-Asam Aspartat 25605.8 25651.33 25628.565 4.71 L-Lisin HCl 25576.9 25610.81 25593.855 4.71 Glisin 157840.06 158201.91 158020.985 29.07 L-Arginin 46817 46933.63 46875.315 8.62 L-Alanin 51335.69 51335.96 51335.825 9.44 L-Valin 14894.85 14935.44 14915.145 2.74 L-Isoleusin 9466.76 9478.13 9472.445 1.74 L-Fenilalanin 13796.53 13823.35 13809.94 2.54 L-Asam glutamat 56287.08 56351.68 56319.38 10.36 L-Serin 19965.03 20004.7 19984.865 3.68 L-Metionin 5684.72 5695.19 5689.955 1.05 L-Sistin 0 0 0 0 543677.545 100
255
Lampiran 8. Indeks aktivitas emulsi (AEI) dan Indeks stabilitas emulsi (ISE)
Descriptive Statistics
Dependent Variable: AEI Jenis_gelatin Mean Std. Deviation N GKG 32.4900 .27495 3 GTG 28.4700 .36000 3 GKB 28.9200 .09000 3 Total 29.9600 1.92141 9
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: AEI
Source Type III Sum of
Squares df Mean Square F Sig. Corrected Model 29.108a 2 14.554 204.696 .000 Intercept 8078.414 1 8078.414 113620.456 .000 Jenis_gelatin 29.108 2 14.554 204.696 .000 Error .427 6 .071 Total 8107.949 9 Corrected Total 29.534 8 a. R Squared = .986 (Adjusted R Squared = .981)
AEI Duncana,b
Jenis_gelatin N Subset
1 2 GTG 3 28.4700 GKB 3 28.9200 GKG 3 32.4900 Sig. .084 1.000
Descriptive Statistics Dependent Variable: ISE Jenis_gelatin Mean Std. Deviation N GKG 26.2467 .19218 3 GTG 19.1600 .18083 3 GKB 25.4200 .15716 3 Total 23.6089 3.35932 9
256
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: ISE
Source Type III Sum of
Squares df Mean Square F Sig. Corrected Model 90.092a 2 45.046 1432.555 .000 Intercept 5016.417 1 5016.417 159532.687 .000 Jenis_gelatin 90.092 2 45.046 1432.555 .000 Error .189 6 .031 Total 5106.697 9 Corrected Total 90.280 8 a. R Squared = .998 (Adjusted R Squared = .997)
ISE
Duncana,b
Jenis_gelatin N Subset
1 2 3 GTG 3 19.1600 GKB 3 25.4200 GKG 3 26.2467 Sig. 1.000 1.000 1.000
Lampiran 9. Daya mengikat air (DMA) dan Daya mengikat Minyak
(DML) gelatin
Descriptive Statistics
Dependent Variable: DMA Jenis_gelatin Mean Std. Deviation N GKG 192.5296 4.75967 3 GTG 166.4750 2.86830 3 GKB 298.8514 4.30005 3 Total 219.2853 60.83321 9
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: DMA
Source Type III Sum of
Squares df Mean Square F Sig. Corrected Model 29506.695a 2 14753.347 896.460 .000 Intercept 432774.429 1 432774.429 26296.733 .000 Jenis_gelatin 29506.695 2 14753.347 896.460 .000 Error 98.744 6 16.457 Total 462379.868 9 Corrected Total 29605.439 8 a. R Squared = .997 (Adjusted R Squared = .996)
257
DMA Duncana,b
Jenis_gelatin N Subset
1 2 3 GTG 3 166.4750 GKG 3 192.5296 GKB 3 298.8514 Sig. 1.000 1.000 1.000
Descriptive Statistics
Dependent Variable: DML Jenis_gelatin Mean Std. Deviation N GKG 223.9650 4.80265 3 GTG 227.6663 3.27629 3 GKB 219.1033 3.14378 3 Total 223.5782 4.97526 9
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: DML
Source Type III Sum of
Squares df Mean Square F Sig. Corrected Model 110.660a 2 55.330 3.800 .086 Intercept 449884.978 1 449884.978 30896.679 .000 Jenis_gelatin 110.660 2 55.330 3.800 .086 Error 87.366 6 14.561 Total 450083.003 9 Corrected Total 198.025 8 a. R Squared = .559 (Adjusted R Squared = .412)
Resolution;
Date/Time; 11/7/2017 3:33:52 PMNo. of Scans;
Comment;Sampel GG
Apodization;
5007501000125015001750200025003000350040001/cm
30
45
60
75
90
105
%T37
24.5
4
3388
.93
3080
.32
2935
.66
2881
.65
2360
.87 23
35.8
0
1678
.07
1653
.00
1541
.12
1450
.47 14
13.8
2 1334
.74
1234
.44
1197
.79
1076
.28
1028
.06
970.
19
923.
9087
3.75
669.
3065
1.94 56
7.07
418.
5539
3.48
374.
1935
2.97
Sampel GG
No. Peak Intensity Corr. Intensity Base (H) Base (L) Area Corr. Area1 352.97 87.469 13.211 368.4 341.4 0.799 0.8612 374.19 95.418 3.63 385.76 368.4 0.235 0.1423 393.48 96.647 1.765 410.84 385.76 0.256 0.1114 418.55 98.205 1.299 432.05 410.84 0.116 0.0755 567.07 81.906 0.763 572.86 432.05 7.43 1.2656 651.94 79.374 0.307 653.87 605.65 4.463 0.0097 669.3 78.326 2.985 827.46 655.8 9.404 1.0558 873.75 97.638 1.747 891.11 854.47 0.235 0.1399 923.9 98.445 1.126 948.98 906.54 0.181 0.11210 970.19 97.813 1.572 985.62 948.98 0.21 0.12311 1028.06 89.248 4.926 1045.42 985.62 1.794 0.60912 1076.28 89.267 5.993 1128.36 1045.42 1.941 0.55513 1197.79 88.436 2.172 1209.37 1128.36 2.798 0.81814 1234.44 85.244 6.635 1298.09 1209.37 3.746 1.35115 1334.74 93.329 5.646 1355.96 1298.09 0.965 0.72116 1413.82 89.348 1.449 1421.54 1355.96 2.137 0.42317 1450.47 85.867 8.674 1481.33 1421.54 2.749 1.29918 1541.12 70.448 16.758 1581.63 1483.26 11.002 5.85619 1653 57.297 1.839 1658.78 1583.56 14.093 1.2920 1678.07 57.099 3.007 1880.6 1664.57 26.054 -0.16221 2335.8 86.57 2.614 2343.51 2279.86 2.051 0.19922 2360.87 81.829 10.478 2391.73 2343.51 2.33 1.00523 2881.65 59.339 0.539 2887.44 2393.66 44.863 0.05724 2935.66 53.316 4.731 3005.1 2889.37 29.904 2.27825 3080.32 51.32 1.512 3107.32 3007.02 27.715 0.75926 3388.93 41.441 0.059 3406.29 3379.29 10.323 0.01127 3724.54 91.222 1.271 3786.27 3718.76 1.39 0.018
Resolution;
Date/Time; 11/7/2017 3:26:17 PMNo. of Scans;
Comment;Sampel GT
Apodization;
5007501000125015001750200025003000350040001/cm
20
40
60
80
100
%T33
83.1
4
3076
.46
2929
.87
2879
.72
2360
.87 23
35.8
0
1676
.14
1651
.07
1521
.84
1446
.61 14
11.8
9 1332
.81
1234
.44 11
97.7
911
66.9
3
1074
.35
1028
.06
970.
1992
1.97
871.
82
665.
44
597.
9355
7.43
401.
19 356.
83
Sampel GT
No. Peak Intensity Corr. Intensity Base (H) Base (L) Area Corr. Area1 356.83 94.269 5.281 368.4 343.33 0.405 0.352 401.19 91.169 0.849 405.05 383.83 0.73 0.0653 557.43 67.878 4.499 586.36 406.98 21.302 3.2864 597.93 68.605 0.173 611.43 588.29 3.773 0.0115 665.44 67.42 2.41 827.46 655.8 15.546 1.226 871.82 95.757 3.449 889.18 840.96 0.479 0.3257 921.97 95.773 4.071 948.98 889.18 0.607 0.5488 970.19 98.625 1.433 985.62 952.84 0.092 0.1019 1028.06 85.752 6.263 1045.42 985.62 2.339 0.79310 1074.35 85.846 8.195 1111 1045.42 2.645 1.05111 1166.93 85.802 2.46 1176.58 1111 1.834 -0.18812 1197.79 83.783 1.192 1209.37 1176.58 2.369 0.09313 1234.44 79.19 9.408 1296.16 1209.37 5.454 1.99914 1332.81 89.765 9.124 1357.89 1296.16 1.488 1.19515 1411.89 84.958 2.714 1421.54 1357.89 2.825 0.52116 1446.61 78.817 12.662 1479.4 1421.54 4.207 2.08617 1521.84 69.655 3.073 1525.69 1481.33 4.182 0.89318 1651.07 54.992 1.442 1653 1583.56 10.677 2.10319 1676.14 53.627 0.671 1680 1654.92 6.648 0.08520 2335.8 85.713 2.826 2343.51 2279.86 2.172 0.20221 2360.87 80.59 11.217 2391.73 2343.51 2.485 1.06422 2879.72 49.291 0.662 2885.51 2391.73 60.324 0.11723 2929.87 41.08 7.34 3005.1 2887.44 41.362 3.92824 3076.46 41.945 1.948 3109.25 3007.02 36.913 1.12325 3383.14 31.346 0.05 3404.36 3377.36 13.584 0.014
Resolution;
Date/Time; 11/7/2017 3:19:51 PMNo. of Scans;
Apodization;
5007501000125015001750200025003000350040001/cm
75
82.5
90
97.5
%T
3728
.40
3442
.94
2956
.87
2927
.94
2360
.87
2335
.80
2115
.91
1789
.94
1678
.07
1653
.00
1543
.05
1517
.98
1454
.33
1396
.46
1336
.67
1317
.38
1238
.30
1199
.72
1163
.08
1078
.21
1031
.92
923.
9087
5.68
673.
1665
1.94
599.
86 451.
3442
0.48
393.
4837
6.12
351.
04
Sampel GK
No. Peak Intensity Corr. Intensity Base (H) Base (L) Area Corr. Area1 351.04 77.818 20.487 368.4 343.33 1.534 1.3852 376.12 94.145 5.261 387.69 370.33 0.29 0.2153 393.48 96.591 1.756 410.84 387.69 0.223 0.1074 420.48 98.402 1.501 432.05 410.84 0.1 0.0915 451.34 98.813 0.492 459.06 432.05 0.1 0.0396 599.86 97.271 0.157 603.72 530.42 0.71 0.0777 651.94 94.522 0.768 655.8 623.01 0.599 0.0198 673.16 92.804 1.679 680.87 655.8 0.728 0.1329 875.68 99.528 0.398 894.97 839.03 0.062 0.04510 923.9 99.331 0.45 950.91 894.97 0.1 0.04811 1031.92 96.3 1.26 1047.35 985.62 0.61 0.1612 1078.21 96.209 1.72 1139.93 1049.28 0.962 0.36213 1163.08 99.212 0.719 1180.44 1139.93 0.071 0.06514 1199.72 99.1 0.306 1211.3 1180.44 0.093 0.02115 1238.3 98.108 1.288 1300.02 1211.3 0.438 0.24916 1317.38 98.979 0.478 1327.03 1300.02 0.086 0.03117 1336.67 98.713 0.847 1352.1 1327.03 0.094 0.05518 1396.46 97.469 1.085 1409.96 1352.1 0.354 0.11819 1454.33 96.9 1.542 1485.19 1442.75 0.346 0.13220 1517.98 94.087 0.551 1519.91 1485.19 0.506 0.04821 1543.05 92.84 0.456 1546.91 1529.55 0.522 0.02422 1653 88.055 1.738 1666.5 1589.34 3.385 0.42723 1678.07 88.558 1.052 1786.08 1668.43 3.719 0.26224 1789.94 98.209 0.114 1816.94 1788.01 0.147 0.00925 2115.91 98.849 0.032 2127.48 2102.41 0.125 0.00226 2335.8 81.915 3.473 2343.51 2279.86 2.712 0.36927 2360.87 76.087 12.781 2391.73 2345.44 3.171 1.26828 2927.94 86.657 0.903 2947.23 2393.66 14.34 0.10729 2956.87 87.09 0.14 3003.17 2949.16 3.155 0.01830 3442.94 80.118 0.243 3495.01 3433.29 5.82 0.04231 3728.4 95.87 1.531 3784.34 3714.9 0.63 0.166
261
Lampiran 11. Data komposisi kimia daging pipi
Ulangan Protein Air Lemak Abu KH 1 22.55 75.55 0.31 0.97 1.25 2 22.33 75.68 0.29 0.95 0.85 3 21.87 76.03 0.32 1.05 0.87
rata 22.25 75.75 0.31 0.99 0.99 sd 0.35 0.25 0.02 0.05 0.23
Lampiran 12. Data warna daging pipi
Sampel Warna L a* b*
A 43.13 23.19 0.80
B 37.73 18.29 2.94
C 41.97 23.94 2.55 D 38.94 24.78 2.73
E 33.86 24.63 3.85
rerata 39.12 22.97 2.57 SD 3.44 2.77 1.27
Lampiran 13. Daya mengikat air daging pipi
Sampel Luas area luar (mm)
Luas area dalam (mm)
Luas area basah (cm) mg H2O
A 547.36 122.21 4.25 36.85 B 642.03 155.64 4.86 43.31 C 869.91 304.56 5.65 51.64 D 483.81 98.52 3.85 32.64 E 622.51 103.38 5.19 46.76
Lampiran 14. Nilai pH
Sampel 1 2 3 Rataan SD A 5.99 5.87 5.95 5.94 0.06 B 5.81 5.71 5.72 5.75 0.06 C 5.71 5.73 5.75 5.73 0.02 D 6.02 5.90 5.93 5.95 0.06 E 5.81 5.75 5.77 5.78 0.03 F 6.01 6.04 5.98 6.01 0.03 G 5.88 5.86 5.78 5.84 0.05 5.86 0.11
262
Lampiran 15. Daya putus daging pipi (kg/cm2)
Sampel Nilai Daya putus daging (kg/cm2) A 2.78 3.53 B 2.11 2.68 C 2.33 2.96 D 2.49 3.16 E 2.61 3.31
mean 3.08 SD 0.36
Lampiran 16. Susut masak Sampel Berat awal (g) berat akhir (g) % susut masak
A 20.16 14.02 30.46 B 20.16 13.82 31.45 C 20.00 12.82 35.90 D 20.16 14.75 26.84 E 20.25 13.52 33.23
rerata 31.57 sd 3.36
263
Lampiran 17. Formulasi Sosis No. Bahan-bahan (%) Kontrol GKG 1% GKG 2% GKG 3% GKB 2%
1 Daging pipi 50 50 50 50 50 2 Lemak 10 10 10 10 10 3 Es 20 20 20 20 20 4 Bahan lain 20 20 20 20 20
- ISP 7,5 6,5 5,5 4,5 5,5 - Tapioka 7,225 7,225 7,225 7,225 7,225 - Gelatin 0 1 2 3 2 - Susu bubuk 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5 - Frankfurters seasoning 1,25 1,25 1,25 1,25 1,25 - Garam 1 1 1 1 1 - STTP 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 - Sendawa 0,015 0,015 0,015 0,015 0,015 - Bawang putih 0,25 0,25 0,25 0,25 0,25 - Merica 0,25 0,25 0,25 0,25 0,25 Total bahan lain 20 20 20 20 20 Total 100 100 100 100 100
264
Lampiran 18. Analisis Korelasi antara beberapa karakteristik daging pipi
Descriptive Statistics
Mean Std. Deviation N pH 5.8300 .10654 5 mg H2O 42.2386 7.60041 5 Susut_masak 31.5749 3.36124 5 Shear_force 3.1293 .32696 5 Warna_L 39.1260 3.66860 5 Warna_a 22.9660 2.68902 5 Warna_b 2.5740 1.11064 5
Correlations
pH mg H2O Susut_masak
Shear_force Warna_L Warna_a Warna_b
pH Pearson Correlation 1 -.925* -.836 .659 -.623 -.710 -.564 Sig. .024 .078 .226 .261 .179 .322
Mg H2O Pearson Correlation -.925* 1 .974** -.374 .659 .510 .415 Sig. .024 .005 .535 .226 .380 .487
Susutmasak
Pearson Correlation -.836 .974** 1 -.222 .525 .302 .215 Sig. .078 .005 .719 .364 .622 .728
Shear force
Pearson Correlation .659 -.374 -.222 1 -.257 -.723 -.434 Sig. .226 .535 .719 .676 .168 .465
Warna_L Pearson Correlation -.623 .659 .525 -.257 1 .798 .849 Sig. .261 .226 .364 .676 .106 .069
Warna_a Pearson Correlation -.710 .510 .302 -.723 .798 1 .929* Sig. .179 .380 .622 .168 .106 .023
Warna_b Pearson Correlation -.564 .415 .215 -.434 .849 .929* 1 Sig. .322 .487 .728 .465 .069 .023
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Lampiran 19. Univariate Analysis of Variance Profil Tekstur Analyser
Sosis
a. Hardness Descriptive Statistics
perlakuan Mean Std. Deviation N kontrol 3012.9000 146.89002 3 1%GG 3356.0433 645.98240 3 2%GG 3457.7000 429.90395 3 3%GG 3785.1000 320.28576 3 2%GK 4302.7000 495.24655 3 Total 3582.8887 585.30740 15
265
Tests of Between-Subjects Effects
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig. Corrected Model 2853107.600a 4 713276.900 3.671 .043 Intercept 192556367.966 1 192556367.966 990.986 .000 perlakuan 2853107.600 4 713276.900 3.671 .043 Error 1943078.920 10 194307.892 Total 197352554.486 15 Corrected Total 4796186.520 14 a. R Squared = .595 (Adjusted R Squared = .433)
Post Hoc Tests
perlakuan N
Subset 1 2
Duncana,b kontrol 3 3012.9000 1%GG 3 3356.0433 2%GG 3 3457.7000 3%GG 3 3785.1000 3785.1000 2%GK 3 4302.7000
Sig. .073 .181
b. Cohesiveness Descriptive Statistics
perlakuan Mean Std. Deviation N kontrol .4063 .00208 3 1%GG .4290 .02751 3 2%GG .4313 .09487 3 3%GG .4267 .04319 3 2%GK .6040 .06051 3 Total .4595 .08868 15
Tests of Between-Subjects Effects
Source Type III Sum of
Squares df Mean Square F Sig. Partial Eta Squared
Corrected Model .080a 4 .020 6.502 .008 .722 Intercept 3.167 1 3.167 1035.663 .000 .990 perlakuan .080 4 .020 6.502 .008 .722 Error .031 10 .003 Total 3.277 15 Corrected Total .110 14 a. R Squared = .722 (Adjusted R Squared = .611)
266
Post Hoc Tests Duncana,b
perlakuan N Subset
1 2 kontrol 3 .4063 3%GG 3 .4267 1%GG 3 .4290 2%GG 3 .4313 2%GK 3 .6040 Sig. .616 1.000
c. Elastisitas
Descriptive Statistics
perlakuan Mean Std. Deviation N kontrol 75.8700 4.44757 3 1%GG 76.2200 5.18439 3 2%GG 81.3923 1.77384 3 3%GG 87.2550 2.15923 3 2%GK 85.9600 7.52335 3 Total 81.3395 6.32199 15
Tests of Between-Subjects Effects
Source Type III Sum of
Squares df Mean Square F Sig. Partial Eta Squared
Corrected Model 337.409a 4 84.352 3.797 .040 .603 Intercept 99241.633 1 99241.633 4467.592 .000 .998 perlakuan 337.409 4 84.352 3.797 .040 .603 Error 222.137 10 22.214 Total 99801.178 15 Corrected Total 559.546 14 a. R Squared = .603 (Adjusted R Squared = .444)
Post Hoc Tests
Duncana,b
perlakuan N Subset
1 2 kontrol 3 75.8700 1%GG 3 76.2200 2%GG 3 81.3923 81.3923 2%GK 3 85.9600 3%GG 3 87.2550 Sig. .201 .176
267
d. Daya Iris sosis
Descriptive Statistics
Pendahuluan Mean Std. Deviation N kontrol 10556.6700 1268.50830 3 1%GG 6833.0000 2022.28368 3 2%GG 5899.0000 1999.75223 3 3%GG 4747.6700 1264.16415 3 2%GK 5473.0000 493.20840 3 Total 6701.8680 2473.12888 15
Tests of Between-Subjects Effects
Source Type III Sum of
Squares df Mean Square F Sig. Partial Eta Squared
Corrected Model 62550892.412a 4 15637723.103 6.776 .007 .730 Intercept 673725520.341 1 673725520.341 291.931 .000 .967 Pendahuluan 62550892.412 4 15637723.103 6.776 .007 .730 Error 23078238.203 10 2307823.820 Total 759354650.956 15 Corrected Total 85629130.615 14 a. R Squared = .730 (Adjusted R Squared = .623)
Post Hoc Tests
Duncana,b
Pendahuluan N Subset
1 2 3%GG 3 4747.6700 2%GK 3 5473.0000 2%GG 3 5899.0000 1%GG 3 6833.0000 kontrol 3 10556.6700 Sig. .148 1.000
Lampiran 20. Univariate Analysis of Variance proksimat sosis Air Prot Lemak Abu Kotrol 1 59.21 18.38 2.38 2.37 2 59.67 17.09 2.06 1.63 3 62.41 16.98 2.78 2.17 Rataan 60.43 17.48 2.41 2.06 SD 1.73 0.78 0.36 0.38
268
1%GG 1 61.71 18.98 2.44 2.20 2 61.40 20.70 2.81 2.06 3 63.15 16.84 2.24 1.96 Rataan 62.09 18.84 2.50 2.07 SD 0.93 1.93 0.29 0.12
2%GG 1 62.77 19.93 2.75 2.22 2 64.10 17.86 2.44 1.96 3 62.95 18.73 2.58 1.74 Rataan 63.27 18.84 2.59 1.97 SD 0.72 1.04 0.16 0.24
3%GG 1 65.07 18.55 2.41 1.56 2 63.86 18.70 2.78 1.98 3 62.93 19.78 2.62 2.05 Rataan 63.95 19.01 2.60 1.86 SD 1.07 0.67 0.19 0.27
2%GG 1 61.18 19.66 2.73 2.27 2 62.80 18.09 2.52 1.97 3 63.40 18.32 2.45 1.96 Rataan 62.46 18.69 2.57 2.07 SD 1.15 0.85 0.15 0.18
a. Kadar air sosis
Descriptive Statistics
Perlakuan Mean Std. Deviation N Kontrol 60.4300 1.73009 3 1%GG 62.0867 .93383 3 2%GG 63.2733 .72155 3 3%GG 63.9533 1.07305 3 2%GK 62.4600 1.14839 3 Total 62.4407 1.58480 15
269
Tests of Between-Subjects Effects
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig. Corrected Model 21.450a 4 5.362 3.911 .037 Intercept 58482.553 1 58482.553 42650.014 .000 Perlakuan 21.450 4 5.362 3.911 .037 Error 13.712 10 1.371 Total 58517.715 15 Corrected Total 35.162 14 a. R Squared = .610 (Adjusted R Squared = .454)
Duncana,b
Perlakuan N Subset
1 2 Kontrol 3 60.4300 1%GG 3 62.0867 62.0867 2%GK 3 62.4600 62.4600 2%GG 3 63.2733 3%GG 3 63.9533 Sig. .070 .099
c. Kadar protein sosis
Descriptive Statistics
Perlakuan Mean Std. Deviation N Kontrol 17.4833 .77848 3 1%GG 18.8400 1.93380 3 2%GG 18.8400 1.03937 3 3%GG 19.0100 .67104 3 2%GK 18.6900 .84788 3 Total 18.5727 1.12739 15
Tests of Between-Subjects Effects
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig. Corrected Model 4.604a 4 1.151 .873 .513 Intercept 5174.159 1 5174.159 3922.710 .000 Perlakuan 4.604 4 1.151 .873 .513 Error 13.190 10 1.319 Total 5191.953 15 Corrected Total 17.794 14 a. R Squared = .259 (Adjusted R Squared = -.038)
270
Duncana,b
Perlakuan N Subset
1 Kontrol 3 17.4833 2%GK 3 18.6900 1%GG 3 18.8400 2%GG 3 18.8400 3%GG 3 19.0100 Sig. .165
d. Kadar Lemak Sosis
Descriptive Statistics
Perlakuan Mean Std. Deviation N Kontrol 2.4067 .36074 3 1%GG 2.4967 .28919 3 2%GG 2.5900 .15524 3 3%GG 2.6033 .18556 3 2%GK 2.5667 .14572 3 Total 2.5327 .21825 15
Tests of Between-Subjects Effects
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig. Corrected Model .080a 4 .020 .340 .845 Intercept 96.216 1 96.216 1638.928 .000 Perlakuan .080 4 .020 .340 .845 Error .587 10 .059 Total 96.883 15 Corrected Total .667 14 a. R Squared = .120 (Adjusted R Squared = -.232)
Duncana,b
Perlakuan N Subset
1 Kontrol 3 2.4067 1%GG 3 2.4967 2%GK 3 2.5667 2%GG 3 2.5900 3%GG 3 2.6033 Sig. .380
271
e. Kadar Abu Sosis
Descriptive Statistics
Perlakuan Mean Std. Deviation N Kontrol 2.0567 .38280 3 1%GG 2.0733 .12055 3 2%GG 1.9733 .24028 3 3%GG 1.8633 .26502 3 2%GK 2.0667 .17616 3 Total 2.0067 .22940 15
Tests of Between-Subjects Effects
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig. Corrected Model .097a 4 .024 .377 .820 Intercept 60.401 1 60.401 943.564 .000 Perlakuan .097 4 .024 .377 .820 Error .640 10 .064 Total 61.137 15 Corrected Total .737 14 a. R Squared = .131 (Adjusted R Squared = -.216)
Duncana,b
Perlakuan N Subset
1 3%GG 3 1.8633 2%GG 3 1.9733 Kontrol 3 2.0567 2%GK 3 2.0667 1%GG 3 2.0733 Sig. .370
272
Lampiran 21. Data Nilai Susut masak, dan stabilitas emulsi (Supernatan, airlepas dan lemak lepas)
perlakuan ulangan Susut masak Supernatan Air Lepas
Lemak Lepas
1 16.25 14.49 11.19 3.30 2 10.11 14.73 9.33 5.40 Kontrol 3 11.76 19.68 14.08 5.60 Rataan 12.71 16.30 11.53 4.77 sd 3.18 2.92 2.39 1.27 1 5.95 15.68 12.58 3.10 2 7.63 12.19 7.29 4.90 1%GG 3 6.42 6.42 1.52 4.90 Rataan 6.67 11.43 7.13 4.30 sd 0.87 4.68 5.53 1.04 1 5.79 9.18 6.08 3.10 2 6.28 11.57 7.37 4.20 2%GG 3 7.85 5.22 1.92 3.30 Rataan 6.64 8.66 5.12 3.53 sd 1.08 3.21 2.85 0.59 1 6.51 6.18 5.98 0.20 2 3.07 6.29 5.29 1.00 3%GG 3 2.03 4.71 3.21 1.50 Rataan 3.87 5.73 4.83 0.90 sd 2.35 0.88 1.44 0.66 1 5.86 8.44 5.04 3.40 2 6.23 8.71 4.31 4.40 2%GK 3 5.53 9.30 7.70 1.60 Rataan 5.87 8.81 5.68 3.13 sd 0.35 0.44 1.78 1.42
273
a. Nilai susut masak sosis
Descriptive Statistics
Perlakuan Mean Std. Deviation N Kontrol 12.7067 3.17758 3 1%GG 6.6667 .86674 3 2%GG 6.6400 1.07615 3 3%GG 3.8700 2.34470 3 2%GK 5.8733 .35019 3 Total 7.1513 3.44890 15
Tests of Between-Subjects Effects
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig. Corrected Model 131.276a 4 32.819 9.309 .002 Intercept 767.124 1 767.124 217.604 .000 Perlakuan 131.276 4 32.819 9.309 .002 Error 35.253 10 3.525 Total 933.652 15 Corrected Total 166.529 14 a. R Squared = .788 (Adjusted R Squared = .704)
Duncana,b
Perlakuan N Subset
1 2 3%GG 3 3.8700 2%GK 3 5.8733 2%GG 3 6.6400 1%GG 3 6.6667 Kontrol 3 12.7067 Sig. .120 1.000
b. Nilai Supernatan Sosis
Descriptive Statistics
Perlakuan Mean Std. Deviation N Kontrol 16.3000 2.92962 3 1%GG 11.4300 4.67655 3 2%GG 8.6567 3.20718 3 3%GG 5.7267 .88218 3 2%GK 8.8167 .43981 3 Total 10.1860 4.41188 15
274
Tests of Between-Subjects Effects
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig. Corrected Model 189.084a 4 47.271 5.667 .012 Intercept 1556.319 1 1556.319 186.562 .000 Perlakuan 189.084 4 47.271 5.667 .012 Error 83.421 10 8.342 Total 1828.824 15 Corrected Total 272.505 14 a. R Squared = .694 (Adjusted R Squared = .571)
Duncana,b
Perlakuan N Subset
1 2 3 3%GG 3 5.7267 2%GG 3 8.6567 8.6567 2%GK 3 8.8167 8.8167 1%GG 3 11.4300 11.4300 Kontrol 3 16.3000 Sig. .239 .288 .066
c. Air lepas
Descriptive Statistics
Perlakuan Mean Std. Deviation N Kontrol 11.5333 2.39354 3 1%GG 7.1300 5.53174 3 2%GG 5.1233 2.84816 3 3%GG 4.8267 1.44195 3 2%GK 5.6833 1.78422 3 Total 6.8593 3.69122 15
Tests of Between-Subjects Effects
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig. Corrected Model 91.344a 4 22.836 2.297 .130 Intercept 705.757 1 705.757 70.996 .000 Perlakuan 91.344 4 22.836 2.297 .130 Error 99.408 10 9.941 Total 896.508 15 Corrected Total 190.751 14 a. R Squared = .479 (Adjusted R Squared = .270)
275
Duncana,b
Perlakuan N Subset
1 2 3%GG 3 4.8267 2%GG 3 5.1233 2%GK 3 5.6833 5.6833 1%GG 3 7.1300 7.1300 Kontrol 3 11.5333 Sig. .423 .055
d. Lemak lepas (LL)adonan sosis
Descriptive Statistics
Perlakuan Mean Std. Deviation N Kontrol 4.7667 1.27410 3 1%GG 4.3000 1.03923 3 2%GG 3.5333 .58595 3 3%GG .9000 .65574 3 2%GK 3.1333 1.41892 3 Total 3.3267 1.64641 15
Tests of Between-Subjects Effects
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig. Corrected Model 26.969a 4 6.742 6.141 .009 Intercept 166.001 1 166.001 151.185 .000 Perlakuan 26.969 4 6.742 6.141 .009 Error 10.980 10 1.098 Total 203.950 15 Corrected Total 37.949 14 a. R Squared = .711 (Adjusted R Squared = .595)
Duncana,b
Perlakuan N Subset
1 2 3%GG 3 .9000 2%GK 3 3.1333 2%GG 3 3.5333 1%GG 3 4.3000 Kontrol 3 4.7667 Sig. 1.000 .105
276
Lampiran 22. Analisis Varians Air Terlepas (mg H2O), pH, Nilai TBA dan Aktivitas antioksidan
a. Air terlepas (mg H2O)
277
Descriptive Statistics
Level_gelatin Lama_simpan Mean Std. Deviation N
kontrol 0 hari 32.6833 10.50240 3
7 hari 38.4067 6.97861 3
14 hari 38.7433 11.91982 3
21 hari 42.2700 3.10961 3
28 hari 45.7267 2.47419 3
Total 39.5660 8.09639 15
1%GG 0 hari 31.4533 6.62847 3
7 hari 31.3800 7.03390 3
14 hari 32.9133 3.19402 3
21 hari 36.3467 5.30306 3
28 hari 35.2833 8.83132 3
Total 33.4753 5.85773 15
2%GG 0 hari 27.1633 8.54935 3
7 hari 27.1233 7.72219 3
14 hari 27.2367 13.60887 3
21 hari 28.0833 13.16655 3
28 hari 26.6767 1.87602 3
Total 27.2567 8.42083 15
3%GG 0 hari 24.1333 .70316 3
7 hari 24.0667 8.78362 3
14 hari 22.7500 3.69891 3
21 hari 22.0467 4.64777 3
28 hari 22.1533 7.36510 3
Total 23.0300 4.97614 15
2%GK 0 hari 24.7267 5.91798 3
7 hari 24.3033 9.63095 3
14 hari 24.2867 4.24677 3
21 hari 23.9367 14.73033 3
28 hari 23.0400 5.98028 3
Total 24.0587 7.56850 15
Total 0 hari 28.0320 7.10307 15
7 hari 29.0560 8.81391 15
14 hari 29.1860 9.49356 15
21 hari 30.5367 11.27173 15
28 hari 30.5760 10.48537 15
Total 29.4773 9.33163 75
278
Tests of Between-Subjects Effects
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 3269.585a 24 136.233 2.146 .011
Intercept 65168.489 1 65168.489 1.027E3 .000
Level_gelatin 2904.399 4 726.100 11.437 .000
Lama_simpan 70.210 4 17.552 .276 .892
Level_gelatin * Lama_simpan
294.977 16 18.436 .290 .996
Error 3174.279 50 63.486 Total 71612.353 75 Corrected Total 6443.864 74 a. R Squared = .507 (Adjusted R Squared = .271) Post Hoc Test
Duncan
Level_gelatin N
Subset
1 2 3
3%GG 15 23.0300 2%GK 15 24.0587 2%GG 15 27.2567 1%GG 15 33.4753 kontrol 15 39.5660
Sig. .177 1.000 1.000
279
a. pH Sosis selama penyimpanan
Descriptive Statistics
Dependent Variable: pH Level_gelatin Lama_simpan Mean Std. Deviation N kontrol 0 6.9533 .19088 3
1 6.9400 .02646 3 2 6.8233 .06429 3 3 6.4700 .01000 3 4 6.3333 .10116 3 Total 6.7040 .27723 15
1%GG 0 6.8100 .09644 3 1 6.7933 .02082 3 2 6.8000 .26458 3 3 6.3800 .04000 3 4 6.0533 .10017 3 Total 6.5673 .33519 15
2%GG 0 6.8400 .13454 3 1 6.8133 .01528 3 2 6.7567 .13051 3 3 6.1967 .22591 3 4 6.0733 .09074 3 Total 6.5360 .36164 15
3%GG 0 6.5367 .02887 3 1 6.4300 .03606 3 2 6.2900 .19157 3 3 6.1400 .12166 3 4 5.9633 .11060 3 Total 6.2720 .23235 15
2%GK 0 6.9367 .07095 3 1 6.7300 .03000 3 2 6.6333 .14048 3 3 6.3933 .06028 3 4 6.2433 .10693 3 Total 6.5873 .26497 15
Total 0 6.8153 .18431 15 1 6.7413 .17736 15 2 6.6607 .24998 15 3 6.3160 .16461 15 4 6.1333 .16417 15 Total 6.5333 .32343 75
280
Tests of Between-Subjects Effects Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig. Corrected Model 7.053a 24 .294 21.344 .000 Intercept 3201.333 1 3201.333 232519.853 .000 Level_gelatin 1.523 4 .381 27.646 .000 Lama_simpan 5.194 4 1.298 94.304 .000 Level_gelatin * Lama_simpan .337 16 .021 1.528 .127 Error .688 50 .014 Total 3209.074 75 Corrected Total 7.741 74 a. R Squared = .911 (Adjusted R Squared = .868)
Duncana,b
Level_gelatin N Subset
1 2 3 3%GG 15 6.2720 2%GG 15 6.5360 1%GG 15 6.5673 2%GK 15 6.5873 kontrol 15 6.7040 Sig. 1.000 .265 1.000
pH Duncana,b
Lama_simpan N Subset
1 2 3 4 4 15 6.1333 3 15 6.3160 2 15 6.6607 1 15 6.7413 6.7413 0 15 6.8153 Sig. 1.000 1.000 .066 .090
281
b. Nilai TBA sosis selama penyimpanan Descriptive Statistics
Dependent Variable: Nilai TBA Level_gelatin Lama_simpan Mean Std. Deviation N kontrol 0 .0308 .01258 3
1 .5950 .04880 3 2 1.3950 .02250 3 3 4.0630 .16432 3 4 5.1433 .55398 3 Total 2.2454 2.08452 15
1%GG 0 .0325 .00250 3 1 .5125 .09377 3 2 1.4375 .05105 3 3 3.9275 .40572 3 4 5.1858 .22878 3 Total 2.2192 2.07934 15
2%GG 0 .0283 .02323 3 1 .4250 .04994 3 2 1.1750 .04994 3 3 3.4875 .62897 3 4 5.9025 .63614 3 Total 2.2037 2.30623 15
3%GG 0 .0358 .00804 3 1 .3900 .01299 3 2 .8400 .13686 3 3 3.2050 .02411 3 4 5.0950 .10449 3 Total 1.9132 2.00763 15
2%GK 0 .0217 .00577 3 1 .4235 .07918 3 2 1.2485 .18936 3 3 3.7392 .72827 3 4 5.4692 .36474 3 Total 2.1804 2.18753 15
Total 0 .0298 .01178 15 1 .4692 .09421 15 2 1.2192 .23843 15 3 3.6844 .51119 15 4 5.3592 .47636 15 Total 2.1524 2.08065 75
282
Tests of Between-Subjects Effects Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig. Corrected Model 316.140a 24 13.173 156.285 .000 Intercept 347.451 1 347.451 4122.338 .000 Level_gelatin 1.106 4 .277 3.282 .018 Lama_simpan 312.597 4 78.149 927.202 .000 Level_gelatin * Lama_simpan 2.437 16 .152 1.807 .057 Error 4.214 50 .084 Total 667.805 75 Corrected Total 320.354 74 a. R Squared = .987 (Adjusted R Squared = .981)
Duncana,b
Level_gelatin N Subset
1 2 3%GG 15 1.9132 2%GK 15 2.1804 2%GG 15 2.2037 1%GG 15 2.2192 kontrol 15 2.2454 Sig. 1.000 .583
Duncana,b
Lama_simpan N Subset
1 2 3 4 5 0 15 .0298 1 15 .4692 2 15 1.2192 3 15 3.6844 4 15 5.3592 Sig. 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000
283
c. Nilai aktivitas antioksidasi gelatin
Descriptive Statistics
Dependent Variable: DPPH Level_gelatin Lama_simpan Mean Std. Deviation N kontrol 0 24.4767 1.92225 3
1 21.2300 1.63018 3 2 17.0233 .68537 3 3 7.1533 .65577 3 4 3.4367 .95793 3 Total 14.6640 8.44576 15
1%GG 0 28.3933 1.71039 3 1 23.5000 1.56560 3 2 17.2267 1.13068 3 3 9.1200 .66340 3 4 3.8400 1.82748 3 Total 16.4160 9.40335 15
2%GG 0 28.4167 .90168 3 1 23.9600 .51730 3 2 17.2933 3.03554 3 3 10.2900 .85808 3 4 4.4133 1.72082 3 Total 16.8747 9.16008 15
3%GG 0 30.2133 1.60257 3 1 25.9000 1.32480 3 2 18.1467 .36556 3 3 10.6967 1.59099 3 4 4.0667 1.33167 3 Total 17.8047 9.97916 15
2%GK 0 31.8433 1.75745 3 1 26.9233 .27062 3 2 18.8933 .63003 3 3 10.5467 .67002 3 4 5.0467 .25929 3 Total 18.6507 10.30952 15
Total 0 28.6687 2.88730 15 1 24.3027 2.28780 15 2 17.7167 1.47345 15 3 9.5613 1.59296 15 4 4.1607 1.26977 15 Total 16.8820 9.32171 75
284
Tests of Between-Subjects Effects Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig. Corrected Model 6339.306a 24 264.138 145.342 .000 Intercept 21375.144 1 21375.144 11761.672 .000 Level_gelatin 136.743 4 34.186 18.811 .000 Lama_simpan 6151.694 4 1537.924 846.242 .000 Level_gelatin * Lama_simpan 50.868 16 3.179 1.749 .067 Error 90.868 50 1.817 Total 27805.318 75 Corrected Total 6430.174 74 a. R Squared = .986 (Adjusted R Squared = .979)
Duncana,b
Level_gelatin N Subset
1 2 3 4 kontrol 15 14.6640 1%GG 15 16.4160 2%GG 15 16.8747 16.8747 3%GG 15 17.8047 17.8047 2%GK 15 18.6507 Sig. 1.000 .356 .065 .092
Duncana,b
Lama_simpan N Subset
1 2 3 4 5 4 15 4.1607 3 15 9.5613 2 15 17.7167 1 15 24.3027 0 15 28.6687 Sig. 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000