3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ......Dalam perkembangan...

100

Transcript of 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ......Dalam perkembangan...

  • CuratorAsmudjo Jono Irianto

    Dinni Tresnadewi NfSuwarno Wisetrotomo

    Narrative Eddy Susanto

    TranslatorElly Kent

    HennyRolan

    Graphic DesignerEddy Susanto

    PhotographyArtist's documentation

    Kemala MontessaEddy Susanto

    ISBN 978-602-14347-4-1

    First Edition September 20151000 copies

    Printed in Yogyakarta, Cahaya Timur O�set

    LawangwangiCretive Space: Jl. Dago Giri 99, WarungCaringin, Mekarwangi, Bandung, Indonesia,

    Ph +62 22 250 4065, Fax +62 22 250 4105, [email protected]

    Published by ArtSociates© 2015, ArtSociates, Bandung

    Published in conjunction with the exhibition:

    JavaScriptNational Gallery of IndonesiaDate: 4 - 12 September 2015

    All rights reserved. No part of this publication may be reproduced, stored in a retrieval system, or transmitted, in any form or by any means, electronic, mechanical,

    photocopying or otherwise, without prior permission of the copyright holder. Copyright of artwork images belong to ArtSociates and their respective artists, and essays to the

    respective authors.

    3

  • Galeri Nasional Indonesia�Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan�menyambut baik penyelenggaraan Pameran Tunggal Eddy Susanto �JavaScript� yang diinisiasi oleh LawangwangiCreative Space bekerja sama dengan Galeri Nasional Indonesia. Pameran ini tentu akan menjadi pengalaman dan kesempatan berharga bagi Eddy Susanto untuk mempresentasikan pikiran, pandangan, dan ketertarikannya terhadap literasi budaya melalui media ekspresi senirupa.

    Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi tersendiri. Selama ini ia mengemas karya-karyanya dalam konsep linguistik mendalam dengan menyuguhkan korelasi kontemporer antara aksara�bahasa Jawa (Javanese script) dan bahasa pemograman (JavaScript).Salah satu karyanya yang berjudul Nagara Kertagama telah dikoleksi negara dan dipamerkan di Museum Kepresidenan �Balai Kirti�, Bogor. Secara keseluruhan, karya-karyanya tampak menunjukkan transformasi dan ekspresi sebagai seorang perupa yang intens berkarya.Dengan diselenggarakannya pameran ini, diharapkan bisa meningkatkan perluasan apresiasi masyarakat dalam mengenali berbagai hasil kreativitas para perupa Indonesia.Selain itu, pameran ini juga diharapkan bisa menjadi cara baru untuk memberikan inspirasi, motivasi, dan edukasi di bidang seni rupa agar tetap tumbuh rasa dan sikap kepedulian, serta kecintaan terhadap karya budaya bangsa, khususnya kekayaan literasi budaya Indonesia.

    Kami ucapkan terima kasih dan selamat kepada Eddy Susanto, LawangwangiCreative Space, para kurator, serta berbagai pihak yang telah bekerja sama dengan baik dan turut mendukung terselenggaranya pameran ini. Selamat berpameran dan selamat mengapresiasi!

    Jakarta, Agustus 2015Tubagus 'Andre' Sukmana

    The National Gallery of Indonesia - the Ministry for Education and Culture - welcomes organisers of Eddy Susanto's Solo Exhibition Javascript, initiated by Lawangwangi Creative Space in co-operation with the National Gallery of Indonesia. This exhibition will certainly be a valuable experience and an opportunity for Eddy Susanto to present his thoughts, perspectives and interests in cultural literacy through visual art as a medium of expression.

    Eddy Susanto's presence in recent developments in Indonesian art has garnered singular creative space and appreciation. His work is packaged in linguistic concepts through his treatment of contemporary correlations between Javanese script and programming language (JavaScript). One of his works, titled Nagara Kertagama, was collected by the state and exhibited in the Presidential Museum �Balai Kirti� in Bogor. As a whole, his work seems to reveal the transformations and expressions of an intensely prolific artist. By hosting this exhibition, we hope to broaden appreciation of the diverse creative output of Indonesian artists. We also hope the exhibition will be a new way to inspire, motivate and educate within the art world so that it will continue to develop a concern and love for national culture, especially the wealth of Indonesian literature.We express our thanks and congratulations to Eddy Susanto, Lawangwangi Creative Space, the curators, and all those who worked so well together to support the organisation of this exhibition. We hope you enjoy and appreciate it!

    Jakarta, August, 2015Tubagus 'Andre' Sukmana

    sambutan kepala galeri nasional indonesia _greetings from the head of the national gallery of indonesia _

    4

  • java script: korespondensi antar teks, bahasa, budaya, dan sejarah _

    Tahun 1989 bisa dikatakan menjadi salah satu cekpoin penting dalam perkembangan seni rupa kontemporer, terutama dalam kaitannya dengan persoalan diskursus poskolonial dan debat multikultur di tengah gerak globalisasi yang kian meluas. Kala itu di Pompidou Center, Paris, digelar pameran �Les Magicien De La Terre� yang melibatkan praktisi seni rupa kontemporer, dengan komposisi 50 % seniman Barat dan 50 % sisanya berasal dari wilayah non-Barat. Penyelenggaraan pameran yang berangkat dari pertanyaan kritis menyoal penyelenggaraan format biennial Paris�yang dianggap hanya melibatkan 20 % dari praktisi seni rupa kontemporer global�ini, di luar dugaan justru menuai bermacam kritikan dan perdebatan. Hal ini terjadi karena cara penyelenggara pameran menampilkan karya-karya seniman yang berasal dari negara-negara non-Amerika Serikat dan Eropa ini, cenderung menyeret sikap orientalis dan menempatkan para seniman dan corak berkaryanya sebagai the others yang sarat dengan aspek mistis dan primitif. Terlebih lagi partisipan dari negara-negara non-Barat yang terlibat bukanlah praktisi yang aktif terlibat dalam diskursus seni rupa kala itu, melainkan �gur-�gur dari budaya tradisional lokal.

    Dalam perkembangan selanjutnya�terutama setelah wacana poskolonialisme di masa pos-modern menjadi oposan yang menyeimbangkan pandangan bias orientalisme�hadir jargon �hibrid� di medan seni rupa global. Hibrid yang merupakan amalgamasi antar berbagai elemen kebudayaan tanpa adanya hierarki yang menunjuk mana kultur subjek dan kultur objek ini, tak lantas mengaburkan identitas nasion dan lokalitas para pelaku seni rupa dalam tataran global. Konsep hibriditas memang lahir sebagai implikasi dari kondisi dunia yang kian multikultural dan ada dalam satu kesatuan yang beragam (diverse). Namun demikian kondisi saling lebur antar ragam kebudayaan ini, di sisi lain juga mengakibatkan terjadinya penyeragaman pola pikir, karena semakin intensenya pergaulan antar kebudayaan yang terjadi dalam tataran global.

    Dengan demikian, saat ini kita berbagi subjektivitas dalam ruang pergaulan antar kultur yang kian terbuka. Dalam kondisi global village ini, hadir sensibilitas akan bercampurnya segala bentuk pengkutuban. Marsha Meskimon secara khusus melontarkan konsep cosmopolitan imagination,sebagai abstraksi dari kondisi serba lebur ini.

    �Cosmopolitan imagination generates conversations in a �eld of �esh, fully sensory, embodied processes of interrogation, critique and dialogue that can enable us to think of our homes and ourselves as open to change and alterity. Understanding ourselves as wholly embedded within the world, we can imagine people and things beyond our immediate experience and develop our ability to respond to very di�erent spaces, meanings and others.�

    Saat sekat lokalitas meluruh, pertemuan antar segmen kebudayaan memicu terjadinya pembandingan tata nilai yang berlaku antara tiap kelompok kebudayaan, meskipun tak bisa dina�kan jika budaya global tetap menginduk pada kultur Barat sebagai generator nilai yang diadopsi secara universal. Logika perbandingan ini dilakukan juga oleh Eddy Susanto, saat ia mengambil berbagai elemen kebudayaan lokal yang ia sandingkan (juktaposisi) dengan elemen-elemen dari kebudayaan lainnya dalam pameran �Java Script�.

    Dalam pameran ini, Eddy tak hanya membandingkan kebudayaan berdasarkan perbedaan lokasi saja (Barat dan Timur/Jawa), namun juga berdasarkan perbedaan dimensi waktu (Masa lalu dan masa kini), pola produksi (sainti�k/teknologi dan religius), karakter visual (teks dan pictorial), dan seterusnya. Namun yang menarik dari pembandingan ini, Eddy juga mengoperasikan aspek persamaan di antara dua elemen gagasan yang saling berbeda. Hal ini dapat dilihat misalnya saat Eddy membandingkan naskah-naskah kuno keagamaan dari dua kultur berbeda, antara teks religius Western (book of hours)

    5

  • java script: korespondensi antar teks, bahasa, budaya, dan sejarah _

    dengan teks keagamaan kultur Jawa seperti naskah kitab Negara Kartagama, Ramayana, Serat Chentini, dst. Eddy juga banyak menempatkan dua produk kebudayaan dari dimensi waktu yang berbeda, seperti yang bisa dilihat pada salah satu karya yang mengetengahkan pun (permainan kemiripan kata) antara javascript (bahasa pemrograman komputer) dengan aksara Jawa (Javanese text).

    Di sini Eddy mengaktivasi komponen teks sebagai instrumen utama karya-karyanya. Tak seperti karya Teks-Art lainnya yang lebih mengoperasikan teks dalam tataran konseptual yang kental, di pameran ini Eddy justru sering menggunakan teks (:aksara Jawa) sebagai modal piktorial kala mengkomposisikan berbagai citraan di atas bidang dua dimensi. Dan perlu disadari juga, meskipun penyajian aksara Jawa ini kentara masih mempertimbangkan aspek artistik-visual dengan proses kerja yang penuh dengan pertimbangan teknis, namun dalam tataran cerebral, Eddy juga melakukan upaya riset sebagai preliminary dalam menentukan cara kerja karyanya di tataran abstrak. Karenanya pemirsa pameran akan menemui banyak kelindan makna antar berbagai objek tekstual dalam karya-karya Eddy. Dengan demikian, pemirsa pameran sedikit banyak akan dituntut untuk melakukan penelusuran intelektual yang cukup rumit untuk mendapatkan korelasi yang koheren.

    Melakukan kilas balik terhadap sejarah penggunaan teks dalam seni rupa sendiri, kita akan menemukan banyaknya trajektori dan metode saat seniman memfungsikan teks sebagai instrumen berkarya. Satu hal yang pasti, penggunaan teks dalam praktik seni rupa pada mulanya berangkat dari kejenuhan modernisme, sehingga seniman-seniman di periode tahun 1960-an mulai mempertanyakan aspek gagasan (idea) karya, alih-alih melanjutkan penggalian esensialis karya di ranah formalisme. Dengan demikian penggunaan teks, yang ditandai dengan lahirnya Seni Konseptual, bisa dilihat sebagai representasi dari praktik berkarya rupa yang lebih mempertimbangkan kedalaman berpikir dengan moda intelektualitas yang lebih signi�kan daripada corak berkarya yang selama ini bersifat visual dan piktorial. Jargon �linguistic turn� yang berkembang kala itu menjadi tawaran yang masuk akal bagi metode penelusuran karya rupa baru, karena meskipun seni rupa pada hakikatnya bergulat di ranah visual, namun sebagai moda pemroduksi pengetahuan, seni juga tetap menghasilkan pemikiran yang erat kaitannya dengan aspek bahasa dan teks. Namun demikian posisi �Art as Idea� ini tak lantas menggeser fungsi Art sebagai produsen objek kebudayaan yang menimbang sensibilitas artistik dan estetik. Kondisi �linguistic turn� ini justru membuka kemungkinan baru dalam tubuh Seni untuk memiliki aspek diskursif yang lebih mendalam.

    �Indeed, the potential for an artwork to be established through the tought processes and notional forms of linguistic metodhology not only challenge the formalist processes of modernist art , but invested art with anew potential: An openness, discursiveness, and currency in which art was something to be thought about, imagined, theorised, rather than explained away.�

    Eddy Susanto mungkin tak memberlakukan teks secara rigour layaknya para seniman konseptual di tahun 60-an bereksperimen dengan potensi linguistik seni dalam mengenerate gagasan. Namun tetap hadir logika �linguistic turn� dalam karya-karya Eddy. Pelibatan berbagai teks kuno yang berisi pengetahuan dan kebijakan religius, sedikit banyak memancing para pemirsa karya-karyanya untuk sekadar mengenal hakikat dan historisitas dari naskah yang ia angkat. Namun penggunaan aksara Jawa juga memberikan attitude tersendiri bagi karya Eddy. Sebagai sistem bahasa tulis yang tak terlampau dikenal oleh kalangan umum, aksara Jawa yang ia ketengahkan tak lantas melaksanakan fungsinya secara linguistik. Eddy di satu sisi, sebagaimana bisa ditemui pada karya-karya sebelumnya, justru mengoperasikan aksara jawa lebih

    6

  • java script: korespondensi antar teks, bahasa, budaya, dan sejarah _

    pada tataran piktorial dan visual. Teks dan tradisi piktorial memang memiliki mekanisme komunikasi yang benar-benar berbeda. Teks dioperasikan melalui konstruksi kultural yang disepakati secara umum, sedangkan tradisi piktorial berangkat dari potensi kognisi manusia yang paling primal: visual cognition. Meskipun keduanya tentu saja merupakan instrumen perepresentasi gagasan manusia, namun keduanya berasal dari genus berpikir yang benar-benar berlainan. Eddy dalam hal ini tak terlalu mengindahkan aspek teks Jawa sebagai sistem pertandaan yang dapat dipahami (: dibaca) secara frontal oleh pemirsanya�meski tetap harus diingat Eddy tetap berupaya untuk menginformasikan perihal isi dan makna dari teks kanon yang angkat. Hal ini tentunya dilakukan sebagai indikator bagi kehadiran jalinan makna yang ia susun saat teks berelasi dengan teks/aspek lainnya yang hadir pada karya.

    Mengenai pengoperasian teks Jawa sebagai komponen piktorial (sebagaimana yang ia hadirkan di karya-karya lamanya), Eddy sedikit banyak turut mengangkat gagasan Stefan Themerson mengenai esensi teks yang lebih rapuh dibandingkan dengan gambar sebagai intrumen perepresentasi pikiran manusia. Themerson berpendapat bahwa ketika suatu teks diolah sedemikian rupa sehingga memiliki formasi piktorial tertentu, ia akan menghadirkan kontradiksi kompleks antara representasi visual dengan deskripsi linguistik teks, dan akan menyadarkan kita bahwa bahasa merupakan konstruksi yang rapuh dan tak logis, yang terikat pada subjeknya hanya oleh kesepakatan kultural semata. Meskipun dalam aplikasinya kita lebih sering taken for granted dalam mengkorelasikan suatu kata dengan makna yang ada di baliknya, harus disadari bahwa korelasi ini bukanlah berdasarkan kesamaan aktual (secara visual maupun perseptual) antara penanda dan petanda. Menengok penggunaaan aksara Jawa pada karya Eddy kita juga akan menamui kondisi serupa. Jalinan segmen demi segmen abugida Jawa yang hadir di kanvas Eddy cukup dapat dipastikan tak banyak yang dapat memahaminya secara frontal di ruang pamer, namun demikian ia dapat dioperasikan ke dalam beberapa fungsi. Sebagai komponen yang paling menonjol di pameran ini, Aksara Jawa bisa menjadi penanda bagi bagi identitas lokal Eddy sendiri. Berangkat dari kenyataan ini, Eddy memang dengan asyik memadu-padankan aksara Jawa dengan berbagai elemen kebudayaan lain, yang ia upayakan formulasi juktaposisinya sehingga memiliki benang merah yang masuk akal. Relasi yang kemudian terbentuk dari esensi aksara Jawa sebagai penanda corak dan tabiat kebudayaan Jawa ini menghasilkan efek tertentu, yang tentunya hendak disasar sang empu karya sedari awal. Salah satu contoh efek yang kentara dapat dirasakan pemirsa adalah saat Eddy mempermainkan logika pun (permainan kemiripan kata) antara Java Script dan Aksara Jawa. Yang disebut pertama adalah bahasa pemrograman komputer yang sering digunakan dalam pengaplikasian perangkat lunak browser. Dalam hemat Eddy, baik dalam Java Script maupun aksara Jawa, beroperasi mekanisme linguistik antara langue (bahasa) dan parole (makna), meskipun manifestasinya berbeda. Di luar konstruksi linguistik yang mirip, Eddy juga menghadirkan perbandingan kultural antara dua teks ini dalam karyanya. Setiap karya yang ditampilkan dengan elemen iluminasi�yang merupakan penggayaan visual bagi kitab-kitab religius di masa lalu�dikomposisikan sedemikian rupa sehingga termaktub beberapa indikator akan ciri khas halaman-halaman web ternama, seperti google.com, facebook, Baidu, dan lainnya. Familiaritas yang didapati para pemirsa saat melihat penggunaan warna, bentuk font, dan ikon-ikon tertentu yang memang ditemui mereka di kenyataan saat meggunakan browser, kian menjadikan posisi aksara Jawa sebagai objek tekstual yang semakin asing. Eddy dalam perkara ini tampaknya secara subtil hendak mengusung isu kritikal akan tabiat masyarakat kontemporer yang tak terlampau menaruh minat pada penggalian

    7

  • java script: korespondensi antar teks, bahasa, budaya, dan sejarah _

    kebijakan lokal dari kebudayaan di masalalu, dan lebih akrab dengan elemen visual asing yang didapat dari penggunaan teknologi informasi.

    Re�eksi kritis terhadap sikap masyarakat kontemporer pada kebijakan lokal dan masa lalu juga dapat ditemui pada karya Hymns of Dystopia. Yang menarik dari karya ini adalah hadirnya teks non verbal dalam bentuk simbol-simbol yang diwakili beberapa objek bertuah khas budaya Jawa. Eddy menampilkan patung seorang sinden yang tengah bersimpuh, yang terbuat dari pahatan batu merapi, dilengkapi dengan cukilan naskah Ronggowarsito pada sebilah kayu winong, dan sebuah mikrofon tua yang menembangkan syair-syair dalam bahasa Jawa. Eddy menyatakan bahwa karya ini secara tersirat hendak mengingatkan kita pada sejarah perkembangan khasanah sastra Jawa di masa lalu yang menggeser tradisi kakawin dalam bahasa Jawa Kawi menjadi kidung dalam bahasa Jawa Tengahan. Perkembangan ini menyiratkan optimisme akan kemajuan peradaban dan kehidupan. Namun pada kenyataannya ada kecanggungan antara cara pandang pengetahuan baru (terutama terlihat dalam pengaplikasian teknologi dalam tataran keseharian) dengan narasi budaya tradisional. Eddy memandang kenyataan ini sebagai sebuah kondisi dystopic, karenanya komposisi keseluruhan karya menyiratkan irama yang pesimistik dan ironis.

    Menyoal sorotan karya akan identitas Eddy Susanto sebagai bagian dari suku Jawa, kita akan menyadari bahwa tiap individu yang hidup di kawasan negara Indonesia�tak seperti mereka yang berasal dari negara yang lebih bercorak monokultural�memiliki dual identitas yang menunjukkan identitas lokus kultur dan nasion tempat kita tinggal. Kenyataan ini kentara terasa saat menyimak karya Eddy yang berjudul �De�ning the Nation�. Pada karya ini Eddy tak lagi menghadirkan komponen aksara Jawa, namun alih-alih justru menggunakan abjad latin sebagai elemen tekstual karya. Karya yang disusun dengan mencukil permukaaan kayu, sedemikian rupa, sehingga menghasilkan sisa cukilan berupa serpihan-serpihan abjad latin yang berserakan di lantai ini, menampilakan beberapa gambar �gur tokoh-tokoh nasional yang memiliki peranan signi�kan dalam pembentukan bangsa dan negara Indonesia. Figur-�gur yang muncul (Soekarno, Pramoedya Ananta Toer, dan Kartini) sengaja Eddy pilih untuk menghadirkan gagasan mengenai besarnya implikasi dari tulisan seseorang terhadap pembentukan karakter bangsa dan negara.

    Menyoroti persoalan dual identitas yang telah disebutkan sebelumnya, melalui pameran Eddy Susanto ini kita dapat memahami jika kondisi bangsa yang tampak krisis identitas�terutama saat berhadapan dengan derasnya transaksi budaya, yang lebih berpihak pada budaya dominan (: Barat)�kita dapat bre�eksi pada kenyataan bahwa kita secara given memang telah mengantungi ketidakjelasan jati diri sebagai bangsa multikultur yang terangkum dalam satu identitas nasion. Bisa dibilang ketidakakraban kita pada penggunaan aksara Jawa merupakan akibat dari keharusan untuk menggunakan langgam bahasa pemersatu bangsa, alih-alih penggunaan bahasa daerah. Melalui karya Eddy, setidaknya kita dapat menyadari bahwa warisan budaya lokal (salah satunya teks-teks kuna berbahasa Jawa) sesungguhnya memiliki potensi pendalaman yang bisa digali pemaknaannya.

    Menengok bagaimana karya seni diproduksi dalam trayektori seni rupa kontemporer, sejak penyelenggaraan pameran-pameran seperti �Le Magicien De La Terre� (Paris, 1989) atau pameran �Primitivism in 21st century Art: A�nities of the Modern and the Tribal� (New York 1989), kesadaran akan identitas seniman memang mengalami pergeseran nilai. Implikasi awal dari kedua pameran yang cukup banyak menerima kritikan ini, adalah berkembangnya hibriditas sebagai identitas baru. Untuk memahami konsep hibrid ini, de�nisi yang ditelurkan oleh Rohini Malik dan Gavin Jantjes ini dapat memberikan pemahaman

    8

  • java script: korespondensi antar teks, bahasa, budaya, dan sejarah _

    yang cukup jernih: ��a state of being, arrive at through the innovative mixing and borrowing of ideas, languages and modes of practices.� Aktivitas mencampurkan dan meminjam secara inovatif ini dapat ditemui pada salah satu karya Eddy Susanto yang secara cermat menemukan kesamaan antara kebiasaan masyarakat kelas atas Eropa di tahun 1600an dengan praktik bangsawan Jawa di masa lalu. Kebiasaan yang dimaksud adalah kegemaran untuk menyimpan dan mengkoleksi berbagai benda yang dianggap memiliki nilai pengetahuan, sejarah, atau emosional bagi si pemiliknya. Karya yang berjudul Cabinet of Curiosity ini, diinspirasi oleh kebiasaan masyarakat Eropa untuk mengkoleksi berbagai benda�sebagian bahkan berupa benda organik yang diawetkan�dalam suatu museum pribadi. Di masyarakat Jawa masa lalu kebiasaan menyimpan objek klangenan memiliki dimensi spiritual yang berbeda dengan intensi orang eropa saat menyusun Cabinet of Curiosity. Namun praktik pengkoleksian ini berakar dari impuls manusiawi yang sama, yakni kebutuhan untuk mengawetkan ingatan dan pengalaman, yang diwakili oleh artefak atau benda-benda berharga.

    Menyimak kembali satu demi satu karya Eddy Susanto dalam pameran Java Script ini, sudah barang tentu ditemui beragam anasir yang terlibat di dalamnya. Namun demikian, kalaupun aspek bahasa dan teks menjadi pusat gagasan dan menjadi mesin abstrak yang lantas mengenerate sub-sub gagasan Eddy yang terjawantahkan secara artistik, namun para pemirsa pasti akan merasakan kehadiran satu tema besar yang menandai pameran ini secara kentara. Tema besar yang dimaksud adalah persoalan identitas, yang justru kian mengemuka saat pelbagai komponen kebudayaan saling silang bertransaksi dalam karya Eddy, dan menghasilkan simpulan-simpulan baru yang menarik untuk disimak dan disintesakan. Salah satunya adalah hadirnya harmonisasi antara identitas global dan identitas lokal. Java Script, meskipun secara metode melalui trayektori yang umum dilalui oleh para seniman kontemporer(seperti penggunaan new media, komposisi karya dalam bentuk instalasi, dst.), namun bisa dibilang menguarkan karakter yang cukup berbeda jika dibandingkan karya-karya perupa kontemporer lainnya. Persinggahan Eddy Susanto dengan berbagai elemen kebudayaan�di luar diskursus seni rupa kontemporer�menjadikan corak berkaryanya tidak terperosok dalam jebakan stereotipikal para praktisi seni rupa kontemporer kebanyakan. Trend wacana dan jargon tertentu, seperti urban lifestyle, isu LGBT, atau persoalan gender, yang belakangan menjadi isu sentral yang dianggap penting, tidak Eddy gubris dan malah menyibukkan diri dalam keasyikan menelusuri kemungkinan baru saat mengkorelasikan aspek teks, bahasa, budaya, dan sejarah. Melalui relasi-relasi yang Eddy susun inilah pemirsa pameran dapat memperoleh ketersadaran baru mengenai kemungkinan tanpa batas yang bisa didapat, saat komunikasi antar budaya dapat terjalin secara harmonis.

    Asmudjo Jono IriantoDinni Tresnadewi Nf

    9

  • java script: a correspondence between text, language, culture, and history _

    The year 1989 can be considered as an important milestone in the development of contemporary art, especially in relations to post-colonial discourses and multi-cultural debates within a burgeoning globalization. That year, at Pompidou Center in Paris, the exhibition Les Magiciens de la Terre, displayed works by a number of contemporary artists�half from Western countries and half from non-Western countries. The exhibition that began as a critical inquiry questioning the format of the earlier Paris Biennale�where non-Western artists only accounted for 20% of participating artists�unexpectedly sparked debates and counter-critiques, mostly against the way the organizers had presented works by non-American and non-European artists. Many saw the style of presentation as too Orientalist, placing non-Western artists and their works (and their working style) in the role of 'the Other', shrouding them in the mystical and the primitive. To compound it further, the invited non-Western participants had not been active participants of prevailing art discourses. Rather, they were practitioners of local traditions. In later developments�especially in the post-modern era where post-colonialism became the Opposition that balanced Orientalism�we were introduced to the term/jargon of �hybrid� in the global art world. That is, an amalgamation of various cultural elements without a hierarchy to identify either this subject's culture or that object's culture, which doesn't obscure the artist's national or locational identities on a global level. The concept of hybridity was born as an implication of an increasingly multicultural world, one that exists within a diverse union. On the other hand, a merging of cultures has, led to greater uniformity of viewpoints, especially as intercultural conversations become more intense on a global scale. Today, we share subjectivity within an increasingly-open transcultural conversation. In a global village, sensibilities comingle with all sorts of polarities. Marsha Meskimmon especially o�ers a concept of 'cosmopolitan imagination' as an abstraction of this condition. �Cosmopolitan imagination generates conversations in a �eld of �esh, fully sensory, embodied processes of interrogation, critique and dialogue that can enable us to think of our homes and ourselves as open to change and alterity. Understanding ourselves as wholly embedded within the world, we can imagine people and things beyond our immediate experience and develop our ability to respond to very di�erent spaces, meanings and others.�

    When localities fade away, encounters between various cultural segments may trigger a desire to make comparisons between the value systems at work in each of the cultural groups; although we cannot deny the fact that global culture is still greatly rooted in Western culture as generator of universally-adopted values. Eddy Susanto also practices a 'logic of comparison', by taking a local culture (in this case Javanese culture) and juxtaposing it against elements of other cultures. He presents them in the exhibition, Java Script.

    In this exhibition, Eddy is not merely comparing cultures based on localities (West and East/Java), but also based on temporal dimensions (past and present), production patterns (scienti�c and/or technological and religious), visual characters (text and pictorial), etc. Interestingly, Eddy is also making comparisons that draw on the similarities between two disparate elements. For instance, Eddy compares old religious texts of two cultures�the Book of Hours that represent Western culture, and Javanese texts such as Nagarakertagama, Ramayana, Serat Centhini, etc. Eddy also juxtaposes cultural products from di�erent eras/periods against one another�for instance, the pun-�lled example of javascript vs. Java's script.

    Here, Eddy is able to activate textual components and make them into the main instruments of his work. Unlike other Text Art

    10

  • works that use (or operate) text on a dense conceptual level, in this exhibition, Eddy uses text (in this case Javanese script) as a pictorial capital with which, or through which, he can compose his various images on two-dimensional media. We must also realize that although his presentation of Javanese script clearly demonstrates artistic-visual aspects of a highly technical working process, on a cerebral level, it is clear that Eddy has done preliminary research to formulate his working process on an abstract level as well. Because of this, the audience and visitors can discover interwoven meanings amongst the various textual objects in Eddy's works. In this way, the audience will also be required to conduct intellectual explorations that can be quite complicated at times. This is only so that they will be able to arrive at a coherent correlation. By �ashing back through the history of text as art, we can learn about the many trajectories and methods through which artists have used text as their creative instrument. One thing for sure, the use of text in art practice �rst began with a disillusionment with modernism, where artists in the 1960s began looking at the idea of art (works), rather than agonizing about an art's essence within formalist frameworks. In this way, the use of text, marked by the birth of Conceptual Art, can be seen as a representation of an artistic practice that values intellectual thinking that is deeper and more signi�cant than visual and pictorial artistic practice. The term/jargon �linguistic turn� that developed during this period became a sensible alternative that one can use to explore new works. It is true that art is essentially working on a visual �eld, but on the other hand, as a method of knowledge production, art also produces ideas that are strongly connected to language and text. Yet, the position of �art as idea� does not automatically remove art's function as a producer of cultural objects that considers artistic and aesthetic sensibilities. �Linguistic turn�, in fact, serves to open up new possibilities for art to achieve greater discursiveness. �Indeed, the potential for an artwork to be established through the thought processes and notional forms of linguistic methodology not only challenge the formalist processes of modernist art , but invested art with a new potential: An openness, discursiveness, and currency in which art was something to be thought about, imagined, theorised, rather than explained away.�

    Eddy Susanto does not, perhaps, work with, or operate, text as rigorously as the conceptual artists of the 1960s did, when they experimented with art's linguistic potential to generate ideas. However, the logic of a �linguistic turn� is still evident in Eddy's works. The use of old texts, which contain religious knowledge and wisdom, will help the audience recognize the nature and historicity behind those texts. However, the use of Javanese alphabet or script also lends a singularity�or a singular attitude�to Eddy's works. As a relatively unknown/unfamiliar writing system, Javanese script does not immediately ful�ll its linguistic function. On the one hand�and exempli�ed in his past works�Eddy operates Javanese script more on a pictorial and visual state. Pictorial traditions and texts have disparate mechanisms for communication. Text works through a generally-accepted cultural construction. Pictorial tradition, however, stems from the most primal kind of cognitive potential: visual cognition. Although both of them are instruments used to represent human ideas, they come from di�erent poles. In this case, Eddy is not too concerned (or not too preoccupied) with Javanese text as symbolisms that the audience can understand (:read)�although it is worth noting that Eddy is still very much determined to inform his audience about the contents and meaning of the texts he has highlighted. The aims is, of course, to indicate the presence of an interconnection of meanings that have been constructed using texts in relations to other texts or aspects as presented in Eddy's works.

    java script: a correspondence between text, language, culture, and history _

    11

  • java script: a correspondence between text, language, culture, and history _

    On how he operates Javanese texts as pictorial components (as seen in his earlier works), Eddy has, more or less, highlighted the idea �rst o�ered by Stefan Themerson regarding the fragility of text, especially when compared to pictures (or images) as instruments that represent the human mind. Themerson is of the opinion that if text is processed in such a way as to assume a particular pictorial formation, then it will present a complex contradiction between the text's linguistic description and its visual representation. It will open us to the knowledge that language is a fragile and illogical construction, which is only tied to its subjects through a cultural construction or agreement. Although, in reality, we tend to take a word and its meaning for granted, we must realize that the correlation is not based on actual (visual or perceptual) parallels between the signi�ers and the things being signi�ed. Looking at the use of Javanese script in Eddy's works, we will discover a similar condition. A large number of visitors will not have a frontal understanding of the linguistic connections woven through the Javanese abugida segments on Eddy's canvases; but they will still be able to see them as being connected on di�erent functions or levels. As the most visible component of the exhibition, Javanese script can be used as reference to Eddy's own local identity. Based on this reality, Eddy seems to be enjoying the practice of drawing correspondences between Javanese script and elements from other cultures. There's a clear e�ort to juxtapose these di�erent elements so that they do look like they have sensible and rational connections�the proverbial red thread. The relationships that follow out of the essence of Javanese script�as signi�er of the Javanese cultural attitudes and motifs�produce certain e�ects, which are what he wants.

    One of the most noticeable e�ects can be seen in the pun that Eddy draws out from the words/concepts of javascript and Java['s] script. The former is, as we know, a computer programming language that is a familiar feature in a browser. Eddy sees that both javascript and Java's script embody a linguistic mechanism that connects langue (language) and parole (meaning), although in di�erent manifestations. Outside of the similarities between their linguistic constructions, Eddy presents a series of cultural comparisons between the two texts in his works. Each work is presented as an 'illuminated' work�a visual element found especially in Western religious texts of the Middle Ages. Eddy has composed them in such a way as to show the de�ning characteristics of well-known websites such as google.com, facebook, Baidu, etc. The familiar colors, fonts, and icons of the things we often encounter when we browse the web have simultaneously placed the Javanese script as an increasingly unfamiliar textual object. In this instance, it seems that Eddy is trying to subtly discuss contemporary society's neglect of local or ancestral wisdoms, even as they draw themselves much closer to foreign visual elements through the use of information technology. A critical re�ection against the attitudes of contemporary society toward local policies and ancestral wisdoms can also be found in Hymns of Dystopia. This work becomes interesting through the presence of non-verbal texts, in the forms of symbols represented by Javanese sacred objects. Eddy presents an image of a kneeling sinden (traditional verse singer) carved from volcanic rock, complete with Ronggowarsito's verses carved on a piece of winong wood, and an old microphone letting out verses in Javanese language. Eddy stated that this work tries to remind us of the development of Javanese literature that evolved from from Jawa Kawi-based kakawin (narrative poems using Sanskrit meters) to Central Javanese-based kidung (traditional poetry using Javanese meters). This development implies an optimism concerning the progress made by civilizations and life. Yet there is an awkwardness that belies the way new knowledge (especially in terms of the application of technology in daily life) views traditional cultural narratives. Eddy sees this reality as a dystopic condition, and it is evident in how his work implies pessimistic and ironic rhythms.

    12

  • java script: a correspondence between text, language, culture, and history _

    Through works that highlight Eddy Susanto's identity as part of the Javanese tribe, we are also made aware that each person living in Indonesia�unlike those who live in monocultural countries�has a dual identity: one that highlights their cultural locus and another that emphasizes upon the nation they live in. This reality is evident when we look at Eddy's De�ning the Nation. He doesn't use Javanese script in this particular work. Instead, he has chosen to use Latin script as the textual element. He has created a woodcut�whose cut fragments lie as pieces of Latin alphabets strewn on the �oor�that shows several people who played signi�cant roles in de�ning Indonesia as a country and as a nation. The �gures�Soekarno, Pramoedya Ananta Toer, and Kartini�have been deliberately chosen to convey the idea that a person's writings may have great implications on the creation and de�nition of a nation. Concerning dual identities, through Eddy Susanto's exhibition, we can begin to see or understand ourselves as a country struggling with its identity�especially when we enter into a Western-dominated cultural transaction. We can re�ect in the fact that our ambiguous identity is a given, seeing that we are actually existing as people of greatly diverse cultures encapsulated within one unifying national identity. We can say that our unfamiliarity with the Javanese script is also due to a need to use a unifying language that, in turn, supersedes our own need (or desire?) to use our regional language. Through Eddy's works, we can at least come to an understanding that local traditional heritage (one of them being old or classical Javanese texts) do have a deep potential for meaning making. As we look at how art is produced within the contemporary art trajectory�beginning with exhibitions such as Les Magiciens de la Terre (Paris, 1989) or Primitivism in 21st Century Art: A�nities of the Modern and the Tribal (New York, 1989)�we can clearly see the shift in the general awareness over an artist's identity. Those heavily-scrutinized exhibitions had led to a development of hybridity as a new identity. To understand this concept, we look to Rohini Malik and Gavin Jantjes, who de�ne hybridity as ��a state of being, arrived at through the innovative mixing and borrowing of ideas, languages, and modes of practices.� And so, the act of mixing and borrowing ideas [in an innovative way] can be found in one of Eddy Susanto's work that identi�es a similarity in the habits of 17th century European upper crust and Old Javanese aristocrats. The habit in question is the 'hobby' of keeping and/or collecting curios and other objects considered to have educational, historical, or emotional values. The work, Cabinet of Curiosity, is inspired by the European habit of collecting objects�even preserved organic objects�in a personal museum. The Old Javanese too had the habit of keeping klangenan, objects with a spiritual dimension. Despite the di�erence of intentions behind their respective 'cabinets of curiosities', the practice of collecting objects amongst the Europeans and Old Javanese is rooted in the same human impulse, i.e. the need to preserve memories and experiences, represented in tangible artefacts and precious items. Looking at each work shown here, at Java Script exhibition, we will de�nitely �nd various elements at play. Although we might not fully understand the linguistic- or textual aspects that are the main idea and motor of this exhibition�that also generates artistically-manifested sub-ideas�we may still discover an overarching theme that marks this exhibition in a noticeable way. The theme in question is 'identity', one that continues to push to the surface as various cultural components complete their transactions within 'the con�nes of' Eddy's works to create new connections that are interesting for us to see and synthesize. One example is: the harmonization between global- and local-identities. Despite methodologically travelling the same trajectory as most contemporary artists (such as through the use of new media, installation-style compositions, etc) Java Script is in possession of a unique characteristic that sets itself apart from those of

    13

  • java script: a correspondence between text, language, culture, and history _

    other contemporary artists. Eddy Susanto's forays into elements of diverse cultures�outside of contemporary art discourse�have led his artistic practices away from stereotypical contemporary art themes that we often see as of late. Common trends and jargons�e.g. urban lifestyle, LGBT issues, gender issues�that are considered important and central in recent years, seem to have escaped Eddy's attention. Instead, he seems happily preoccupied with his exploration of new possibilities that he has discovered through correlating texts, languages, cultures, and histories. Through the relationships and connections that he has constructed, visitors of the exhibition may discover a new understanding or awareness about the endless possibilities that can be obtained from a harmonious transcultural communication.

    1 Abugida: a writing system where consonants and vowels are written as a woven unit.

    i Marsha Meskimmon, Contemporary Art and the Cosmopolitan Imagination (Abingdon, Oxon: Routledge, 2011), 8.ii Aimee Selby, Ed. Art and Text (London: Black Dog Publishing, 2009), 7.iii Selby, 7.iv Will Hill, �The Schwitters Legacy: Language and Art in the Early Twentieth Century�in Art and Text, ed. Aimee Selby (London: Black Dog Publishing, 2009), 11.v Hal Foster et al., Art Since 1900: Modernism, Anti Modernism, Postmodernism (London: Thames & Hudson, 2011), 66.vi Jean Robertson and Craig Macdaniel, Themes of Contemporary Art: Visual Art after 1980 (New York: Oxford University Press, 2010), 48.

    14

  • kiblat papat, limo pancer(persilangan dan visualisasi manuskrip dalam karya-karya eddy susanto) _

    Ungkapan �masa lalu selalu aktual� oleh P. Swantoro, dan sekaligus dijadikan judul bukunya (Penerbit Buku Kompas, 2007), sangat penting dan relevan di sepanjang waktu. Mengapa relevan, karena pada setiap peristiwa, kapanpun, memiliki makna bagi apapun dan siapapun. Sebuah peristiwa menjadi pengalaman, sementara pengalaman adalah guru terbaik dalam kehidupan. Setiap penggal waktu selalu terdapat tokoh/sosok yang mewariskan nilai-nilai berupa pemikiran, perenungan, pencarian, atau tindakan, yang menginspirasi generasi berikutnya. �Dalam masa sekarang kita mendapati masa lalu, dalam masa sekarang kita juga mendapati apa yang akan datang� kata P. Swantoro seperti dikutip Sindhunata dalam Kata Pengantar buku tersebut. Namun demikian warisan semacam itu nyaris tak berkesinambungan, karena perubahan dan perkembangan teknologi informasi, gaya hidup, sosial budaya, yang memengaruhi pemikiran dan tindakan masyarakat pada setiap penggal waktu.

    Teknologi informasi, teknologi media dalam ragam komunikasi yang ringkas dan cepat seperti media sosial dalam segala bentuknya, memiliki andil besar dalam kemungkinan melupakan warisan berharga itu. Keserbamudahan dalam segala urusan kehidupan yang difasilitasi oleh teknologi, berpotensi membuat kehidupan serba pragmatis dan berpeluang pula mendorong cara berpikir, bersikap, serta bertindak serba dangkal. Menonton dan mendengar yang lebih mudah, bersifat instan, cepat dan mudah (hanya bermodalkan piranti gadget, digital, remote control dengan pilihan 'menu' yang bervariasi), berpotensi menggusur aktivitas membaca yang membutuhkan konsentrasi serta kerja otak lebih berat untuk memahami deretan kalimat, paragraf, dan keseluruhan teks/buku.

    Dampak dari ketiga aktivitas itu (menonton, mendengar, membaca) sudah bisa dibayangkan, atau bahkan kini sudah bisa dilihat di sekitar kita. Kedangkalan berpikir, wawasan, dan bertindak sebagian masyarakat, terlebih pada sebagian kaum muda, semakin menggejala. Ketekunan membaca, ketahanan meneliti, kesuntukan menguji di laboratorium yang melahirkan tawaran-tawaran pemikiran semakin jauh dari harapan atau bahkan dijauhi. Bahkan gejala yang sama juga terjadi di dunia akademi/ perguruan tinggi. Tak terkecuali realitas semacam itu juga melanda kehidupan seni rupa kita, yang berakibat terjadinya pendangkalan pemikiran dan kualitas karya seni rupa. Kesemuanya itu akan berujung pada pendangkalan kebudayaan.

    Di tengah situasi semacam itu, kerja kreatif perupa Eddy Susanto pantas diamati dan dicatat dengan seksama. Dalam konteks hari ini, Eddy Susanto adalah perupa dengan sejumlah anomali; berkarya dengan mengandalkan ketrampilan teknik yang optimal, bekerjasama (menggunakan) dengan tim riset, yang hasilnya dijadikan tumpuan dalam berkarya. Dengan modus semacam itu, maka karya-karyanya tidak berhenti pada persoalan artistik atau daya pukau semata. Akan tetapi di balik pesona visualnya, terdapat tawaran kemungkinan kepada publik/penonton untuk partisipasi dalam bentuk seperti mendengarkan 'sesuatu' (musik, suara, mantra, kata-kata) menggunakan head set speaker, dengan cara meraba, atau menggerakkan. Karya-karya Eddy juga memiliki kekuatan daya ganggu yang menggugah kesadaran intelektualitas, kesadaran identitas, dan kepekaan jiwa publik penontonnya sebagai warga global di tengah pergaulan antarbangsa.

    Empat Penjuru dan Satu Titik Pusat Kiblat Papat Limo Pancer � Empat Penjuru/Arah, Satu Titik Pusat � merupakan kosmogoni dalam agama Hindu. Bumi atau semesta di seluruh penjurunya (arah mata angin) dijaga oleh Dewa-Dewi, yang dalam masyarakat Bali disebut dengan istilah Dewata Nawa Sanga atau Pangider Bhuwana. Para Dewa penjaga di lima arah yang disebut Panca Dewata atau Panca Warna; masing-masing arah utara dijaga oleh Dewa Wisnu (dengan simbol warna hitam), arah selatan oleh Dewa Brahma (warna

    15

  • kiblat papat, limo pancer(persilangan dan visualisasi manuskrip dalam karya-karya eddy susanto) _

    merah), arah barat oleh Dewa Mahadewa (warna kuning), arah timur oleh Dewa Iswara (warna putih), penjaga tengah (pusat) oleh Dewa Syiwa (warna brumbun; terdiri atas keempat warna, dari hitam, putih, merah, dan kuning). Kemudian arah timur laut oleh Dewa Sambhu (dengan simbol warna abu-abu), arah tenggara oleh Dewa Maheswara (warna pink), arah barat daya oleh Dewa Rudra/Ludra (warna orange), dan arah barat laut oleh Dewa Sangkara (warna wilis atau hijau). Dalam kosmogoni Hindu, tidak hanya empat penjuru angin, tetapi delapan penjuru arah dan satu titik pusat. Jagad semesta menjadi seimbang karena masing-masing sudut bumi dijaga oleh para Dewa. Syiwa berada di pusat sebagai penjaga keseimbangan. Kosmogoni Hindu, terutama dalam masyarakat Bali menunjukkan pada kita, bagaimana dalam setiap titik semesta memiliki kesalingterhubungan, saling mengisi, saling menjaga, dan saling menciptakan keseimbangan.

    Kiblat Papat Limo Pancer dalam kaitan catatan ini saya maksudkan untuk menandai upaya Eddy Susanto dalam menggali dan merumuskan gagasan-gagasan untuk karya-karyanya. Eddy menjelajahi, menengarai, dan memaknai sumber-sumber dari empat arah (wilayah/spasial) penjuru mata angin; utara, selatan, barat, timur, sebagai penanda tempat tumbuh dan berpusatnya peradaban. Dalam percakapan sehari-hari di masyarakat atau oleh para elite, terkait ekonomi, politik, dan kebudayaan, utara dan selatan adalah penanda geo-politik, geo-sosial, geo-ekonomi, dan geo-budaya. Karena itu �utara� identik dengan negara-negara belahan Barat (Eropa, Amerika), dan �selatan� identik dengan gugusan Timur (Asia, Asia Pasi�k). Kita ingat misalnya aktivitas ekonomi, politik, dan kebudayaan yang mengatakan �pentingnya dialog utara-selatan, atau dialog selatan-selatan� dengan maksud pentingnya membangun komunikasi antara negara Barat dan wilayah Asia, dengan tujuan mempertegas kebedaan (distinction) sekaligus mencari peluang titik temu dan kerjasamanya.

    Dalam realitas sehari-hari, ketidakmampuan mencari kebedaan, akan berakibat terjadinya relasi yang tidak seimbang. Perspektif 'Barat� yang memosisikan dirinya lebih maju, dan melihat �Timur� sebagai yang sedang berkembang (mungkin terbelakang), yang mengondisikan Barat merasa superior, dan sebaliknya Timur menjadi inferior. Dalam dunia pasar bebas misalnya, akibat dari realitas dan psikologi semacam itu, akan terjadi peneguhan; yang Barat menjadi produsen, dan yang Timur menjadi konsumen. Setidaknya muncul stigma, bahwa Timur hanya sebagai pengguna, bukan pencipta.

    Dalam kaitan itu, Eddy Susanto berupaya melawan dan menumbangkan stigma tersebut. Ia mengerahkan daya kreatif sekaligus daya intelektualitasnya, melalui karya seni rupa yang berbasis riset terhadap manuskrip dan artefak-artefak lama, dan mencari relasinya dengan kehidupan masa kini. Tak sekadar memahami manuskrip-manuskrip tersebut, Eddy Susanto berupaya menemukan titik sambung dengan realitas hari ini. Eddy melihat bahwa manuskrip-manuskrip itu saling terhubung, dan menentukan di mana dan siapa yang berada sebagai titik pusat. Titik pusat dalam konteks penjelajahan Eddy Susanto adalah Jawa. Ia melihat persilangan sekaligus relasi pengetahuan antara �empat arah wilayah� dengan �titik pusat�. Titik pusat tersimpan dalam manuskrip-manuskrip Jawa dalam bentuk seperti Babad, Kakawin, Kidung, Serat, atau Suluk yang diposisikan sedemikian penting oleh masyarakat Jawa karena dianggap sebagai sumber pengetahuan dan panduan untuk meniti kehidupan yang baik dan benar. Dalam Babad Diponegoro misalnya, kita dapat mengikuti narasi panjang pengalaman seorang manusia yang melawan kesewenang-wenangan kolonialisme, yang akhirnya ditangkap oleh sang penjajah dan diasingkan, yang ditulis oleh sang pelaku (Pangeran Diponegoro). Dari babad itu dapat diserap dinamika pengalaman kemanusiaan dan spiritual seorang Pangeran yang berani. Bisa disebut lagi sebagai contoh, misalnya dalam Serat Wulangreh (Pakubuwana IV) penuh dengan ajaran kearifan hidup; Serat Wedhatama (KGPAA Mangkunegara IV) berisi ajaran kebaikan hidup; atau Serat Wirid Hidayat Jati (R. Ng. Ronggowarsito) yang berisi ajaran

    16

  • kiblat papat, limo pancer(persilangan dan visualisasi manuskrip dalam karya-karya eddy susanto) _

    tentang �lsafat hidup dan kehidupan.Karya-karya Eddy Susanto menyodorkan berbagai pertemuan budaya (manuskrip) dengan memesona; manuskrip Arjunawiwaha dipertemukan dengan karya klasik Albrecht Durer (1471-1528) �The Promenade�, karya kidung Asmaradana dipertemukan dengan karya Lambert Hopfer �The Conversion of St. Paul�, kitab Baratayudha dipertemukan dengan karya Albrecht Durer �The Four Horsemen of the Apocalypse�, kitab Nagarakertagama dipertemukan dengan karya Christoph Weigel �Biblia Ectypa�, kitab Pararaton dipertemkuakn dengan karya Albrecht Durer �Saint Anthony Reading�, termasuk kitab Joyoboyo, kitab Wedhatama, atau kitab Sutasoma. Kanvas Eddy dicitrakan seperti kitab yang tengah dibuka, terdiri dua halaman kanan dan kiri; halaman kiri digambar ulang karya-karya yang dianggap cocok dengan manuskrip yang diolah (karya Albrecht Durer, Christoph Weigel, Martin Schaongauer), sementara halaman kanan merupakan kutipan manuskrip-manuskrip (Arjunawiwaha, Baratayudha, Pararaton, Joyoboyo, Wedhatama, dan lain-lain) dalam huruf Jawa Kuno. Dilengkapi pula pada tepian halaman, ornamentasi khas kitab-kitab iluminasi (illuminations).

    Tak hanya menggunakan kanvas, Eddy juga menggunakan lembaran-lembaran kayu (akar) yang mencitrakan watak arkaik. Keindahan ornamentasi tidak menjadi perangkap hiasan yang genit, tetapi menjadi bagian penting yang harus hadir di atas kanvas. Karya-karya Eddy Susanto membuka sejumlah kesadaran baru; Pertama, kanvas cat, dan elemen-elemen lainnya kembali menemukan kekuatan dan konteksnya yang aktual serta relevan dengan persoalan sepanjang waktu. Eddy tak sekadar bekerja secara stereotipe, atau sekadar bersemangat mendaur ulang. Material dan elemen-elemen lainnya boleh 'usang', tetapi tetap aktual pesan-pesannya. Kedua, huruf/tipogra�, ornamentasi, potret, dan sejenisnya menghadirkan makna baru serta konteksnya yang baru, karena kekuatan tafsir dan upayanya mempertemukan dengan dengan anasir budaya serta teknologi dari ranah yang berbeda. Karya Potret Soekarno, Kartini, Bung Hatta, misalnya, yang dibentuk dari sekumpulan huruf, mengisyaratkan kekuatan sekaligus kelemahan narasi (historis) terhadap sosok-sosok penting dan istimewa tersebut. Ketiga, dalam pandangan saya, bahwa berkarya seni memerlukan sikap mental asketik, keteguhan total dalam menyelami dan menyusuri tema hingga ke substansinya, kemudian mencari relasinya dengan kehidupan hari ini. Karena itu karya-karya Eddy Susanto menghadirkan daya pukau sekaligus daya ganggu yang menantang pemaknaan lebih luas dan dalam. Manuskrip, data historis, data visual, imajinasi, menjadi kesatuan yang memikat dan memanggul pesan yang kuat.

    Karya-karya Eddy Susanto memancarkan watak historisnya dengan kuat, sekaligus mendorong kesadaran terhadap identitas. Yang lokal menjadi global dan menjadi universal, serta memiliki potensi menginspirasi dunia. Jika selama ini kita � bangsa Indonesia � gelisah dengan sejumlah pertanyaan mendasar; �apa sumbangan kita, bangsa Indonesia, terhadap peradaban dan kebudayaan dunia?�, saya akan mengatakan bahwa karya-karya Eddy Susanto berpotensi memberikan jawaban dengan tepat. Eddy Susanto menunjukkan kandungan 'isyarat' atau 'sanepo' dalam sejumlah kitab atau manuskrip; seperti Wedhatama, Kalatidha, Sutasoma, Jayabaya, Arjunawiwaha, Negarakertagama, atau Centhini yang � dalam penelitian Eddy dan timnya, yang kemudian mewujud dalam karya-karya yang penuh daya itu � memiliki kode-kode yang bersambungan dengan teknologi komunikasi masa kini. Dengan kata lain, Eddy Susanto menunjukkan (sekaligus membangun kesadaran) bahwa kita � Indonesia � memiliki sejarah panjang dan kisah sukses, yang tertera dalam sejumlah artefak maha penting dalam bentuk manuksrip-manuskrip atau sejumlah benda lainnya. Pemahaman, pemaknaan, dan pembacaan yang belum banyak dilakukan, mengakibatkan sumber-sumber historis itu seperti mengalami pembekuan (dibekukan). Eddy Susanto melalui karya-karyanya seperti mengatakan

    17

  • kiblat papat, limo pancer(persilangan dan visualisasi manuskrip dalam karya-karya eddy susanto) _

    dengan pelan, tegas, dan indah, �bacalah, mengertilah, dan maknailah� setiap manuskrip, untuk menemukan pengetahuan yang tersembunyi, dan agar kita semua dapat berkontribusi pada dunia. Tuhan Yang Maha Esa juga ber�rman, �Iqra� (Bacalah; Iqra' Bismirobikalladhi kholaq � Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan; QS: 96) Yogyakarta, 17 Agustus 2015Suwarno WisetrotomoKurator/ Dosen di Fakultas Seni Rupa dan Pascasarjana ISI Yogyakarta

    18

  • four directions, one centre point(intersections and visualisations of manuscripts in eddy susanto's artwork) _

    P. Swantoro's expression, �the past is always real,� which is also the title of his book (published by Kompas Books, 2007), remains important and relevant across time. It is relevant because every event, whenever it occurs, can have meaning for anything and anyone. An event becomes an experience, and experience is the best teacher in life. Every period of time has �gures who impart values in the form of concepts, contemplation, quests or actions, inspiring subsequent generations. �In our present day we have a past, in the present we also have a future," said P. Swantoro, as quoted by Sindhunata in the foreword to the book. However, these kinds of inheritances are almost unsustainable, because of changes and development in information technology, lifestyles and socio-cultural contexts which in�uences the thoughts and behaviour of society in each era. Information technology, condensed and rapid forms of communication technology, such as all manner of social media, plays an enormous role in enabling us to forget these inheritances from times past. All these conveniences of life, facilitated by technology, have the potential to make our existence pragmatic, encouraging shallow thinking, attitudes, and actions. Watching and listening is easier, almost instant, fast and simple (requiring only a digital gadget, a remote control, and all their various 'menus'), potentially displacing reading, which requires concentration and weightier thinking to understand a string of sentences, paragraphs or a whole text/book. The impact of these three activities (watching, listening, and reading) is fathomable, and even now is evident around us. Shallow thinking, discourse and action in society, especially amongst young people, is increasingly evident. We no longer expect persistent reading, continual research or comprehensive laboratory testing to generate new ideas, or we avoid it altogether. The same symptoms even occur in the world of academia and tertiary education. The existence of the art world is no exception, resulting in shallow thinking and poor quality art work. All of this leads eventually to a shallow culture. In the midst of this situation, Eddy Susanto's creative work deserves close attention. In today's context, Eddy Susanto's practice is anomalous; his work relies on optimal technical skill and cooperation with a research team. The results are the basis of his work. Through this method, his work does not stop at mere artistry or attraction. Rather, behind the visual impressions, there is the possibility for the public/viewer to participate by listening to 'something' (music, vocals, mantras, words) using a headset, or through touch or movement. Eddy's work has the power to disturb and inspire the audience's intellectuality, self-awareness, and sensitivity as global citizens in the midst of international relations.

    Four Corners and One Centre Point Kiblat Papat Limo Pancer � Four Directions, One Centre Point - is a Hindu cosmogony theory. The world, or the universe and all its directions (the cardinal points) are guarded by the deities, who are known as Dewata Nawa Sanga or Pangider Bhuwana in Balinese culture. The deities who protect the �ve directions, which are called the Panca Dewata or the Panca Warna, are as follows: the north is protected by Vishnu (symbolised by the colour black), the south by Brahma (red), the west by Mahadewa (yellow), the east by Iswara (white), the centre by Shiva (a colour comprised of four colours, black, white, red and yellow). North-east is protected by Sambhun (symbolised by grey), south-east Maheswara (pink), south-west by Rudra/Ludra (orange), and north-west by Sangkara (teal or green). In Hindu cosmogony, there are not four cardinal points, but rather eight and a central point. The universe is balanced because every corner of the earth is protected by a deity. Shiva is in the centre as the protector of balance. Hindu cosmogony, especially amongst the Balinese, shows us how every point of the universe is mutually connected, and creates balance.

    19

  • four directions, one centre point(intersections and visualisations of manuscripts in eddy susanto's artwork) _

    I describe to Kiblat Papat Limo Pancer here in order to point to Eddy Susanto's e�orts in mining and formulating concepts for his work. Eddy explores, implies and imparts meaning to sources from the four cardinal (spatial/area) points � north, south, west, east � as symbols of the growth and centre of civilisation. In everyday conversation among the community or the elite, in discussions of the economy, politics, or culture, north and south are geo-political, geo-social, geo-economic and geo-cultural signs. Hence �north" is identi�ed with Western countries (Europe, America) and "south" with the Eastern group (Asia, Asia-Paci�c). We might note, for instance, political, economic and cultural activity which declares �the importance of north-south dialogue, or south-south dialogue". This refers to the importance of opening up communication between the West and the Asian region, with the goal of emphasising distinction and seeking meeting points for cooperation.

    In everyday reality, the inability to �nd these distinctions will result in unequal relationships. The �Western� perspective, which positions itself as more advanced and sees the �East� as under development (perhaps backwards), which conditions the West to feel superior and the East to feel inferior. There is con�rmation of this in the world of the free market, for example where consequently the West is the producer, the East is the consumer. There is at least a stigma that the East is a user, not a creator. In relation to this, Eddy Susanto attempts to resist and subvert this stigma. He directs his creative and intellectual energies to the research of old manuscripts and artefacts, and seeks out their relationship to present day life. Rather than merely understanding those manuscripts, Eddy Susanto attempts to �nd a connection with today. Eddy sees these manuscripts as mutually connected, and determines where and who is the central focus. The central point in the context of Eddy Susanto's exploration is Java. He sees intersections and relational knowledge between the "four directions" and the "central point." The central point is found in Javanese manuscripts such as histories, poems, songs, chronicles or mysticism, which are so important to Javanese society because they are seen to be the source of understanding and guidance in living a good and proper life. In the Diponegoro Histories, for example, we can follow the long narrative of one man's resistance to colonial authority, and his eventual arrest and exile by the colonisers, as written by himself (Prince Diponegoro). From these histories we can absorb the dynamics of human experience and the spirituality of a brave Prince. There are other examples we could give, for instance in the Wulangreh Chronicle (Pakubuwana IV), which is �lled with teachings for a wise life; the Wedhatama Chronicles (KGPAA Mangkunegara IV) contain teachings for a self-improvement, the Wirid Hidayat Jati Chronicle (R. Ng. Ronggowarsito) includes lessons in philosophy of life and existence.

    Eddy Susanto's work foregrounds several charming assemblies of culture (manuscripts); the Arjunawiwaha manuscript is brought together with Albrecht Durer's classic work The Promenade (1471-1528), the Asmaranda ballad is introduced to Lambert Hopfer's work The Conversation of St Paul, the book of the Baratayudha meets Albrecht Durer's The Four Horsemen of the Apocalypse, the Pararaton texts encounter Durer's Saint Anthony Reading, including Joyoboyo, the Wedhatama, or the Sutasoma tomes. Eddy's canvases are created like an open book, consisting of left and right pages; the left hand page is redrawn with artworks that �t with the manuscript at hand (the works of Albrecht Durer, Christopher Weigel, Martin Schaongauer), whilst the right hand page is formed with quotes from manuscripts (Arjunawiwaha, Baratayudha, Pararaton, Joyoboyo, Wedhatama and so on), in Ancient Javanese Script. This is complemented by ornamental illumination around the edges of the page. Eddy does not only use canvas, but sheets of wood (from roots) which imparts an archaic character. The beauty of the ornamentation is not mere decoration, but an important and integral part of the canvas.

    20

  • four directions, one centre point(intersections and visualisations of manuscripts in eddy susanto's artwork) _

    Eddy Susanto's work opens up new consciousness. Firstly, the paint and other elements are returned to authority, actual contexts and relevance to timeless issues. Eddy doesn't only work with stereotypes, or with the spirit of recycling. The materials and other elements might be 'obsolete', but they still carry actual messages. Secondly, letters/typography, ornamentation, portraits and the like bring new meaning and new contexts, because of the power of the interpretations and the work to bring together cultural and technological elements from di�erent worlds. The portraits of Soekarno, Kartini and Bung Hatta for instance, which are shaped with a collection of letters, hint at the power and weaknesses of (historical) narratives about these important and exceptional �gures. Thirdly, in my opinion, these works demand an aesthetic attitude, complete consistency in exploration through the theme and its substance, then a quest for its relationship to every day life. Because of this, Eddy Susanto's work has mesmerising and disturbing power which demands broader and deeper interpretation. Manuscripts, historical data, visual data and imagination are united to carry a strong and enticing message. Eddy Susanto's work exudes strong characteristics of historicity as well as encouraging consciousness around identity. The local becomes global and universal, with the potential to inspire the world. If all this time we � the Indonesian people � have been anxious about a number of basic questions; "what is our contribution to civilisation and world culture?" I would say that Eddy Susanto's work has the potential to provide the answer. Eddy Susanto reveals signs and allegories from numerous books or manuscripts; such as the Wedhatama, Kalatidha, Sutasoma, Jayabaya, Arjunawiwaha, Negarakertagama, and Centhini which � according to the research of Eddy and his team, and who later manifested this in these powerful works � carry codes that relate to current communications technology. In other words, Eddy Susanto shows how (as well as building awareness) we � Indonesia � are in possession of a long history and many success stories, which appear in a number of the most important artefacts, in manuscripts or other objects. A lack of understanding, interpretation and reading means these historical sources appear frozen. Through his work Eddy Susanto seems to be saying, slowly, clearly and beautifully, �read, understand and interpret� every manuscript, to �nd the hidden knowledge, so that we can all contribute to the world. The Almighty Lord also said �Iqra� (Read; Iqra' Bismirobikalladhi kholaq � Read and say the name of your God the creator; QS: 96) Yogyakarta, 17 August, 2015Suwarno WisetrotomoCurator/ Lecturer in the Faculty of Visual Arts and Postgraduate Studies, ISI Yogyakarta

    21

  • Aksara-bahasa menjadi salah satu media penyampai gagasan manusia, dibentuk oleh konstruksi sosial budaya, diawetkan dan langgeng oleh manusia beserta kebudayaan yang menopangnya. Aksara-bahasa mengalami perubahan berdasarkan kesepakatan serta pergantiannya bisa terjadi secara cepat dan singkat atau lama. Dan yang pasti memiliki fungsi sosio-kulturalnya. Menjadi kode dinamis, berkembang dan dikembangkan oleh sebuah komunitas. Aksara-bahasa Jawa menjadi contohnya. Dua hal itu (aksara dan bahasa Jawa) saling berkelindan, menyatu, meski tak selalu berjalan beriringan. Bermula dari Palawa dan Sanskerta yang sering termaktub dalam prasasti kuno. Tetapi penanda (signifier) tekstual lisan brahmin ini mulai dirubah di Jawadwipa. Fase arkais paling mula hilangnya aksara Palawa (di Jawa) – seperti catatan de Casparis dalam Indonesian Paleography – ditandai dengan adanya prasasti Plumpungan di Salatiga milik baginda raja Bhanu. Bongkahan batu andesit itu bertarik 750 Masehi dan telah menggunakan aksara Kawi (Jawa kuno). Sementara bahasa Kawi muncul paling mula dengan anggun – seperti catatan Zoetmulder dalam Kalangwan – pada nukilan sejarah sederhana tentang upacara yang dipimpin Ki Dhari dari Calanggi yang berhubungan dengan sebuah bendungan di sungai Harinjing. Catatan ini dikenal dalam inskripsi Sukabumi bertarik 804 Masehi dan ditemukan di Pare Kediri. Semua masih dalam bentuk prasasti batu atau juga pelat logam.

    Aksara dan bahasa Kawi mungkin menyatu dalam kalangon (sastra yang memperlihatkan keindahan) pada masa Dharmawangsa Teguh di Kadiri di akhir abad 10 Masehi. Kolofon dalam Wirataparwa Kawi mengabarkannya bahwa Duli baginda Dharmawangsa Teguh Anantawikramotunggadewa pada tahun 918 penanggalan Saka (996 Masehi) menitahkan untuk menyalin epos Mahabharata ke dalam Jawa kuno. Kala itu, pujangga dan prabu Dharmawangsa memang bersepakat untuk menerjemahkan parwa-parwa Mahabharata dalam aksara dan bahasa Kawi. Peristiwa ini menjadi penanda penting bahwa aksara-bahasa Jawi dipakai secara sistematis, penanda lisan tulisan itu diupacarai dan disepakati bersama. Catatan parwa itu juga telah tertulis dalam lontar-lontar pujangga keraton. Aksara dan bahasa terus berkembang, perubahan dan kesepakatan baru muncul. Kakawin-kakawin telah bergeser menjadi kidung-kidung, dimana bahasa Kawi telah berganti dengan bahasa Jawa Tengahan, aksara Kawi juga perlahan-lahan bergerak ke arah Jawa Baru. Negara-kerajaan Majapahit (abad 13-14 Masehi) menjadi lokus penting berkembangnya bahasa Jawa Tengahan. Tetapi kesepakatan aksara-bahasa secara kultural kembali berubah kala serat, babad dan primbon, yang mencapai titik kulminasi masa Mataram Islam (abad 17-18 Masehi), telah mewujud dalam aksara-bahasa Jawa baru. Aksara-bahasa baru ini lalu dikenal dengan aksara bahasa carakan (Hanacaraka). Aksara-bahasa Jawa yang mengalami perkembangan dan perubahan ini telah membentuk satu makna: bahwa perubahan itu bertaliaan erat dengan perubahan budaya masyarakat. Dalam perubahan-perubahan itu, tentu saja juga menunjukkan bagaimana tradisi menulis sesungguhnya lekat dengan orang-orang Jawa.

    illuminations of javascript _

    23

  • illuminations of javascript _

    Aksara-bahasa Jawa sebagai sebuah sistem tanda, layaknya aksara-bahasa lainnya, memiliki – apa yang disebut Saussure sebagai – �langue� dan �parole�. Tentang kaidah dan praktik bertutur dalam bahasa. Dalam paradigma ini maka karya Illumitaions of JavaScript menampilkan korelasi kontemporer atas pelbagai portal website terkenal di dunia – amazon.com, baidu.com, facebook.com, google.com, linkedin.com, live.com, qq.com, taobao.com, tmall.com, twitter.com, wikipedia.com, yahoo.com, youtube.com.

    Satu sisi berbentuk teks �siklus aksara-bahasa Jawa� – berkembang dari Palawa-Sansekerta, aksara-bahasa Jawi, hingga aksara-bahasa carakan – dan dituliskan dalam bentuk prasasti (media batu hingga plat logam), kakawin dan kidung (dalam media lontar) hingga serat babad atau primbon (dalam media kertas), di sisi lain dalam teks aksara-bahasa JavaScript dalam bahasa program digital yang ditempelkan pada kode HTML, bahasa ini digunakan untuk mengubah halaman website statis menjadi halaman dinamis dan interaktif. Meskipun satu sisi berkembang teraplikasi dalam dunia nyata dan satu sisi dalam dunia maya (internet), namun keduanya memiliki siklus pola pikir yang hampir sama dalam proses keberadaannya.

    Pada awal mulanya lahir dan dimanfaatkannya internet, terkenal suatu istilah semacam virtual world atau cyber world untuk menggambarkannya. Dunia maya ini dianggap sebagai sebuah arena interaksi antara mereka yang memiliki �hak eksklusif� penggunaan sistem komputer yang terhubung dalam sebuah jejaring raksasa (seperti halnya sakralitas naskah-naskah Jawa kuno). Peristiwa historis tersebut secara tidak langsung mewarnai pola pikir manusia di masa-masa awal perkembangan internet, yang mendikotomikan antara dunia nyata dengan dunia maya.

    Dalam konteks dikotomi inilah kemudian terbentuk suatu opini bahwa tidak adanya hubungan yang jelas dan tegas antara dua dunia ini. Masing-masing berdiri sendiri dan tidak saling mempengaruhi.

    Fenomena tersebut mengandung arti bahwa apa yang terjadi di dunia maya, tidak dapat dilepaskan begitu saja dengan kenyataan di dunia nyata, mengingat terjadinya kecenderungan keberhimpitan kedua dunia tersebut yang menampakkan irisan semakin lama semakin bertambah besar.

    JavaScript, layaknya aksara-bahasa Jawa, memiliki �langgage� (langue dan parole). Korelasi aksara-bahasa Jawa dan JavaScript menjadi sebuah sistem yang memiliki penanda atas petanda, yang lahir dari analogi pola pikir yang sama, satu sisi berkembang dalam dunia nyata dan satu sisi berkembang dalam dunia maya, tetapi keduanya (Javanese script dan JavaScript) menyatu dalam ikatan kata yang sama �JAVA� dan �aksara-bahasa�.

    24

  • Scripts are a media for the expression of human ideas, formed through socio-cultural constructions, preserved and maintained by people and the cultures they sustain. Scripts experience change based on agreements and exchanges that can occur quickly or over time. This certainly has a socio-cultural function. It is a dynamic code, developed and grown by a community.

    Javanese script is an example of this. These two matters (Javanese script and language) are both linked, unified although they don't always run alongside each other. Beginning with Palawa and Sanskrit that are often contained in ancient inscriptions. But the oral textual signifiers of the Brahmin were changed in Jawadwipa. The earliest archaic phase to lose the Palawa script (in Java) - as Casparis recorded in Indonesian Paleography � was signified by the presence of the Plumpungan inscription in Salatiga, owned by King Bhanu. Pieces of andesite stone were pulled up in 750 A.D and inscribed with Kawi script (Ancient Javanese). Meanwhile Kawi language first emerged with grace � as Zoetmulder recorded in Kalangwan � in simple descriptions of history, and ceremonies led by Ki Dhari from Calanggi, which were concerned with a dam in the Harinjing river. These records are found in the Sukabumi inscription, made in 804 A.D and found in Pare Kediri. All this is still in the form of stone inscription or even on metal plates.

    Kawi script and language were perhaps fused in the kalangon (literature that reveals beauty) in the Dharmawangsa Teguh in Kadiri at the end of the 10th century A.D. The colophone in the Wirataparwa stated that Duli Sir Dharmawangsa Teguh Anantawikramotunggadewa was ordered to transcribe the Mahabarata into Ancient Javanese in 918 A.D. At the time, the poet and King Dharmawangsa agreed to translate the verses of the Mahabharata into Kawi script and language. This event was an important signal that Jawi script was used systematically, the written oral markers were formalised and agreed on together. These recorded verses were also written on lontar paper sheets by palace poets.

    The script and language developed continuously, change and agreements emerged. Literature shifted towards ballads, where Kawi language was replaced by Central Javanese language, Kawi script also slowly shifted towards New Javanese. The kingdom-states of Majapahit (13th and 14th century A.D) became an important focus for the development of the central Javaese language. But the agreement on script again shifted culturally when the chronicles, histories and almanacs, which were the culminating point for the Islamic Mataram era (17-18 century A.D) manifested in New Javanese script. This new script was then known as the carakan language (Hanacaraka).

    The Javanese script that developed and changed then shaped meaning: that change (in language) was associated closely with change in society's culture. Within these changes, there were also, of course, indications of how written traditions were closely adherent to the Javanese.

    illuminations of javascript _

    25

  • illuminations of javascript _

    The Javanese scripts, as a system of signs like other scripts, had what Saussure would call �langue� and �parole� with regards to the rules and practices in the spoken language. Within this paradigm the work Illuminations of the Java Script shows contemporary correlations with many well known website portals in the world (amazon.com, baidu.com, facebook.com, google.com, linkedin.com, live.com, qq.com, taobao.com, tmall.com, twitter.com, wikipedia.com, yahoo.com, youtube.com).On the one hand they form a "Javanese script cycle" (developing out of Palawa-Sanskrit, Jawi script, and then carakan), written in the form of inscriptions (stone or metal plates), literature and ballads (on lontar palm sheets) through to historical chronicles or almanacs (on paper). On the other hand, the JavaScript language for digital programming that appears in HTML code is used to make websites more dynamic and interactive. Although one side of these developments is applied to the real world and the other to cyberspace (the internet), both have almost the same cycles of thinking in their processes.

    At its emergence and early application the phrases virtual world or cyber world were used to describe the internet. This cyberspace was seen as an arena for interaction amongst those who had "exclusive rights" to the use of a computer system that was connected to a giant network (as were the sacred manuscripts of ancient Java). Historical events indirectly coloured people's thinking at the beginning of the internet, dichotomising the real world and the cyber world.

    In this dichotomous context there formed an opinion that there was no clear or firm connection between these two worlds. Each stood separately and weren't mutually influential.

    This phenomena meant that what happened in the cyber world could not easily be separated from the real world, remembering the tendency for these worlds to collide, revealing increasingly large slices.

    JavaScript, like Javanese script, has "langage� (langue and parole). The correlation between Javanese and JavaScript is a system of signifiers, which are born from analogies between similar patterns of thinking, one developing in the real world and the other in the cyberspace, but both (Javanese script and JavaScript) united through the linking words "JAVA" and "script".

    26

  • illuminations of www.amazon.com _ acrylic on canvas, hemp rope, mini monitor _ 2014 _180 x 291 cm

    27

  • illuminations of www.baidu.com _ acrylic on canvas, hemp rope, mini monitor _ 2014 _180 x 291 cm

    28

  • illuminations of www.facebook.com _ acrylic on canvas, hemp rope, mini monitor _ 2014 _180 x 291 cm

    29

  • illuminations of www.google.com _ acrylic on canvas, hemp rope, mini monitor _ 2014 _180 x 291 cm

    30

  • illuminations of www.linkedin.com _ acrylic on canvas, hemp rope, mini monitor _ 2014 _180 x 291 cm

    31

  • illuminations of www.live.com _ acrylic on canvas, hemp rope, mini monitor _ 2014 _180 x 291 cm

    32

  • illuminations of www.qq.com _ acrylic on canvas, hemp rope, mini monitor _ 2014 _180 x 291 cm

    33

  • illuminations of www.taobao.com _ acrylic on canvas, hemp rope, mini monitor _ 2014 _180 x 291 cm

    34

  • illuminations of www.tmall.com _ acrylic on canvas, hemp rope, mini monitor _ 2014 _180 x 291 cm

    35

  • illuminations of www.twitter.com _ acrylic on canvas, hemp rope, mini monitor _ 2014 _180 x 291 cm

    36

  • illuminations of www.wikipedia.com _ acrylic on canvas, hemp rope, mini monitor _ 2014 _180 x 291 cm

    37

  • illuminations of www.yahoo.com _ acrylic on canvas, hemp rope, mini monitor _ 2014 _180 x 291 cm

    38

  • illuminations of www.youtube.com _ acrylic on canvas, hemp rope, mini monitor _ 2014 _180 x 291 cm

    39

  • Syair menjadi sebuah fenomena identitas diri, yang dikirim melalui berbagai bentuk dan keberadaannya di berbagai media. Salah satu bentuk paling umum dalam penggunaan identitas untuk mengungkapkan apa yang mungkin dapat digambarkan sebagai sebuah perasaan pengalaman bersama, yang memungkinkan pemirsa untuk membayangkan pengalaman dan emosi narasi tanpa banyak kendala.

    Bagai sebuah keajaiban, identitas syair yang digunakan untuk menentukan dirinya, juga menunjukkan kapasitasnya yang hampir merevolusi dalam setiap periode sejarah. Bahkan di Eropa barat munculnya budaya kontemplasi telah merevolusi selama lima belas abad. Kebudayaan ini tentang pengabdian pada kesedihan, untuk mendekatkan manusia dalam keilahian yang terkait dengan emosi dan dapat diakses melalui meditasi.

    Pada perkembangannya, diterbitkanlah kitab-kitab sebagai buku panduan perenungan (Book of Hours) yang digunakan individu secara pribadi untuk mengaktifkan emosi, dengan kata lain, memungkinkan pengalaman transendensi dalam menemukan pegangan subjektivitas mereka sebagai identitas manusia. Mungkin itu adalah refleksi yang mendalam dari subyektivitas modern pada saat itu.

    Di era sekarang ini, identitas sekali lagi menjadi awal sebuah gagasan besar tentang teknologi digital. Sebuah teknologi yang sangat akrab dengan kehidupan kita, salah satunya Mp3 Player (pemutar lagu digital).

    Mp3 Player dan Book of Hours abad pertengahan adalah dua teknologi yang seolah berkorelasi, memiliki dampak yang sama bagi setiap orang yang menggunakannya. Sebagai budaya yang lahir dari gagasan besar yang kemudian menjadi sangat populer dalam konteks sosial di mana teknologi ini berkembang. Sebagai teknologi yang sama-sama menggunakan kode-kode, tata aksara/bahasa dan sintaks untuk memungkinkan komunikasi informasi yang tanpa batas. Memiliki kekuatan skrip di sebuah zaman revolusioner yang potensial pada masanya serta diproduksi secara massive untuk dimiliki setiap individu.

    Book of Hours adalah perangkat teknologi, sebagai platform multi-media yang lahir pada abad ke-14. Teknologi komunikasi informasi yang juga menjadi sebuah literasi budaya.

    Seperti halnya syair dan doa dalam Book of Hours, teknologi aksara-bahasa Jawa sebagai sebuah sistem tanda juga merupakan literasi budaya yang berkembang pada masanya. Karya ini seolah gambaran korelasi antara Books of Hours dan Mp3 Player di Eropa secara imajinatif juga terjadi di ranah sejarah nusantara khususnya Jawa. Dimana manuskrip-manuskrip jawa (babad, kakawin, kidung, serat, suluk) menjadi semacam kitab yang sakral sebagai panduan pembelajaran dan perenungan identitas. Dalam perkembangannya, disyairkan sebagai pengalaman emosi narasi.

    book of hours dan mp3 player: teknologi kontemplasi _

    41

  • book of hours dan mp3 player: teknologi kontemplasi _

    Dalam catatan Mankind and Mother Earth Arnold Joseph Toynbee, seluruh Itali bukanlah satu-satunya tempat tumbuhnya budaya modern karena wilayah Flanders muncul dan menjadi magnet kedua dari bersinarnya kebudayaan barat (Eropa). Bahkan di antara laut Adriatik dan laut Utara, Nuremberg juga menjadi pusat budaya.

    Saat ini karya-karya besar tersebut (era renaisans) berkorelasi, diangkat kembali lalu ditafsirkan dalam sakralitas aksara, naskah – ARJUNAWIWAHA-Albrecth Durer �The Promenade�, ASMARADANA-Lambert Hopfer �The Conversion of St. Paul�, BARATHAYUDHA-Albrecth Durer �The Four Horsemen of the Apocalypse�, NAGARAKRTAGAMA-Christoph Weigel �Biblia Ectypa�, PARARATON-Albrecht Durer �Saint Anthony Reading�, RAMAYANA-Albrecth Durer �The Sea Monster�, CENTHINI-Albrecth Durer �Escape from Egypt�, JOYOBOYO- Albrecht Durer �Erasmus of Rotterdam�, KALATIDHA-Martin Schongauer �Five of the demons who tempted St. Anthony�, WEDHATAMA-�Figure de Levangeliste Sainct Matthieu� [This is an original 16th century], SUTASOMA-Albrecth Durer �St. Christopher Facing to The Right�, WANGBANG WIDEYA-Albrecth Durer �Dame with landsknecht� – dan pemahaman akan syair dalam lokalitas Jawa sehingga sakralitas Renaisans secara visual bermakna juga membuka pemahamaan makna sakralitas dalam kultur Jawa.

    42

  • Poetry is a phenomenon associated with self-identity, expressed through many forms and existing in diverse media. One of the most common of these is in the use of identity to express what might be described as shared emotional experience, which allows the viewer to imagine the experience and emotion of the narrative with few obstacles.

    By some miracle, the poetry of identity that is used to determine the self is also capable of undergoing a complete revolution in every period of history. Even in Western Europe there emerged a culture of contemplation that revolutionised over 15 centuries. This culture of dedication to sadness brought people closer to a divinity associated with emotion, and was accessed through meditation.

    As it developed, a bible was published as a guide to contemplation (Book of Hours), which individuals used to activate emotion; in other words it enabled transcendental experience through encounters with their own subjectivity as human beings. Perhaps it was a deep reflection on modern subjectivity at the time.

    In this era, identity has again become important in the discourse around digital technology. Technology is very familiar in our lives, including Mp3 players.

    Mp3 players and the Book of Hours from the middle ages are technologies that seem to correlate, having similar impacts on the people who use them. Both technologies are born out of larger cultural concepts that then become very popular in the social context. Both technologies use codes, syntax scripts and language arrangements to enable limitless communication of information. They have the power of script in a revolutionary era, the potential in its time is realised on a massive scale, so every individual can possess them.

    The Book of Hours technological device is a multi-media platform born in the 14th century; information communication technology that was also a form of cultural literacy.

    book of hours dan mp3 player: contemplative technology _

    43

  • book of hours dan mp3 player: contemplative technology _

    As with the poetry and prayers in the Book of Hours, the technology of Javanese script as a system of signs is also a kind of cultural literacy that flourished in its time. This work is a kind of imaginative description of the correlation between the Book of Hours and Mp3 players in Europe, which also occurred in the history of this archipelago's realm, especially in Java. Javanese manuscripts (histories, literature, songs, letters, poems) became a kind of sacred bible that guided study and the formulation of identity. As it developed, it was turned into a narrative of emotional experience.

    In his text Mankind and Mother Earth, Arnold Joseph Toynbee wrote that Italy was not the only place that modern culture developed, because Flanders region emerged and became a secondary magnet for the glow of western (European) culture. Between the Adriatic and North Seas, Nuremberg also became a culture centre. Now the major works of literature (from the Renaissance era) correlate, and are re-invoked as an interpretation of the sacred script; the narratives –ARJUNAWIWAHA-Albrecth Durer �The Promenade�, ASMARADANA-Lambert Hopfer �The Conversion of St. Paul�, BARATHAYUDHA-Albrecth Durer �The Four Horsemen of the Apocalypse�, NAGARAKRTAGAMA-Christoph Weigel �Biblia Ectypa�, PARARATON-Albrecht Durer �Saint Anthony Reading�, RAMAYANA-Albrecth Durer �The Sea Monster�, CENTHINI-Albrecth Durer �Escape from Egypt�, JOYOBOYO- Albrecht Durer �Erasmus of Rotterdam�, KALATIDHA-Martin Schongauer �Five of the demons who tempted St. Anthony�, WEDHATAMA-�Figure de Levangeliste Sainct Matthieu� [This is an original 16th century], SUTASOMA-Albrecth Durer �St. Christopher Facing to The Right�, WANGBANG WIDEYA-Albrecth Durer �Dame with landsknecht�– and understandings of poetry in Java and the visual sacrality of the Renaissance become meaningful in opening new understanding of sacrality in Javanese culture.

    44

  • the book of hours of centhini _ acrylic on canvas, wood, mp3 player _ 2014 _180 x 291 cm

    45

  • the book of hours of panji _ acrylic on canvas, wood, mp3 player _ 2014 _180 x 291 cm

    46

  • the book of hours of nagarakrtagama _ acrylic on canvas, wood, mp3 player _ 2014 _180 x 291 cm

    47

  • the book of hours of arjunawiwaha _ acrylic on canvas, wood, mp3 player _ 2014 _180 x 291 cm

    48

  • the book of hours of bharatayudha _ acrylic on canvas, wood, mp3 player _ 2014 _180 x 291 cm

    49

  • the book of hours of jangka jayabaya _ acrylic on canvas, wood, mp3 player _ 2014 _180 x 291 cm

    50

  • the book of hours of sutasoma _ acrylic on canvas, wood, mp3 player _ 2014 _180 x 291 cm

    51

  • the book of hours of kalatidha _ acrylic on canvas, wood, mp3 player _ 2014 _180 x 291 cm

    52

  • the book of hours of asmaradana _ acrylic on canvas, wood, mp3 player _ 2014 _180 x 291 cm

    53

  • the book of hours of wedhatama _ acrylic on canvas, wood, mp3 player _ 2014 _180 x 291 cm