221-437-1-SM.pdf

99
 Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya  II-1 2.1. LAHAN DAN HUTAN Kawasan hutan di Sumatera Barat lebih kurang 56,287 % dari total luas provinsi seluas 4.229.730 Ha. Tercatat 2.380.791 Ha telah ditunjuk sebagai kawasan hutan, sedangkan 43,713 % digunakan untuk kegiatan lainnya dalam bentuk Areal Pengguaan Lain (APL) seluas 1.848.939 juta Ha. Isu utama terkait dengan lahan dan hutan Sumatera Barat dalam kurun waktu 5 (lima) tahun terakhir tidak mengalami perubahan, yaitu : 1.  Alih fungsi lahan (okupasi)/ pemanfaatan kawasan hutan untuk kegiatan non kehutanan serta kaitannya dengan penurunan gas rumah kaca (GRK). 2. Lahan kritis yang cukup luas di beberapa daerah yang belum diikuti upaya rehabilitasi yang signifikan yaitu Kabupaten Kepulauan Mentawai, Kabupaten Pesisir Selatan, Kabupaten Pasaman Barat. 3. Kerusakan hutan pada kabupaten/kota.  Analisis terhadap isu hutan dan lahan melalui pendekatan  pendekatan sebagai berikut: 1.  Analisis terhadap obyek dan lokasi dilakukan dengan melihat keterwakilan masalah, bukan keseluruhan daerah kabupaten/kota. 2.  Analisis dilakukan untuk melihat kecendrungan dengan membandingkan antar lokasi, antar waktu dan trend kerusakan yang terjadi berdasarkan nilai maksimun kondisi terburuk.  Analisis perbandingan dengan baku mutu hanya diterapkan terhadap bahasan kerusakan tanah. Baku mutu mengacu kepada Peraturan Pemerintah Nomor 150 Tahun 2000 tentang Pengendalian Kerusakan Tanah Untuk Produksi Biomassa. 3. Selain pendekatan analisis sebagaimana disebutkan pada point 2 (dua), pendekatan analisis juga didasarkan pada Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) untuk parameter tutupan lahan serta kontribusi dari lahan dan hutan terhadap adaptasi perubahan iklim/pemanasan global (Gas Rumah Kaca). 2.1.1.  Kondisi Lahan dan Hutan serta Kecendrungannya 2.1.1.1. Luas Wilayah Menurut Penggunaan Lahan/Tutupan Lahan (Lahan Utama) Setelah terbitnya Keputusan Menteri Kehutanan No.SK.35/Menhut-II/2013 Tanggal 15 Januari 2013, topografi daerah Sumatera Barat yang didominasi oleh perbukitan mengakibatkan sebagian besar kawasan hutan di Sumatera Barat berstatus kawasan lindung, baik berupa hutan lindung maupun hutan konservasi. Hutan terluas berada di Kabupaten Kepulauan Mentawai seluas 517.853,00 Ha, sedangkan kota yang memiliki hutan terkecil luasnya adalah

Transcript of 221-437-1-SM.pdf

 
lebih kurang 56,287 % dari total luas
provinsi seluas 4.229.730 Ha. Tercatat
2.380.791 Ha telah ditunjuk sebagai
kawasan hutan, sedangkan 43,713 %
bentuk Areal Pengguaan Lain (APL) seluas
1.848.939 juta Ha. Isu utama terkait dengan
lahan dan hutan Sumatera Barat dalam
kurun waktu 5 (lima) tahun terakhir tidak
mengalami perubahan, yaitu :
pemanfaatan kawasan hutan untuk
kegiatan non kehutanan serta
kaitannya dengan penurunan gas
beberapa daerah yang belum diikuti
upaya rehabilitasi yang signifikan yaitu
Kabupaten Kepulauan Mentawai,
 Analisis terhadap isu hutan dan lahan
melalui pendekatan –pendekatan sebagai
dilakukan dengan melihat keterwakilan
masalah, bukan keseluruhan daerah
kecendrungan dengan membandingkan
kerusakan yang terjadi berdasarkan
nilai maksimun kondisi terburuk.
 Analisis perbandingan dengan baku
mutu hanya diterapkan terhadap
mengacu kepada Peraturan
tentang Pengendalian Kerusakan
(dua), pendekatan analisis juga
didasarkan pada Indeks Kualitas
Lingkungan Hidup (IKLH) untuk
parameter tutupan lahan serta
terhadap adaptasi perubahan
Kecendrungannya 
Lahan/Tutupan Lahan (Lahan Utama) 
Sumatera Barat yang didominasi oleh
perbukitan mengakibatkan sebagian besar
maupun hutan konservasi. Hutan terluas
berada di Kabupaten Kepulauan Mentawai
seluas 517.853,00 Ha, sedangkan kota
yang memiliki hutan terkecil luasnya adalah
 
 
hutan kota.
sangat luas yaitu seluas 35.521 Ha
sedangan lahan sawah yang terkecil pada
Kota Bukittinggi seluas 666 Ha (sumber:
Tabel SD-1, Buku Data SLHD Sumatera
Barat, 2013). Untuk kawasan perkebunan,
terluas berada di Kabupaten Pasaman Barat
yaitu 188.955 Ha, lahan perkebunan terkecil
berada di Kota Solok seluas 138 Ha.
Sedangkan daerah yang tidak memiliki lahan
perkebunan adalah Kota Payakumbuh, Kota
Bukittinggi dan Kota Padang Panjang.
Secara persentase, penggunaan
hutan yang berjumlah ± 60,49 %, sedangkan
sisanya adalah penggunaan untuk non
pertanian ± 1,92 %, sawah 6,63 %, lahan
kering11,63 %, perkebunan ± 17,80 %,
0,92 %. Distribusi penggunaan lahan di
Sumatera Barat dapat dilihat pada Gambar
2.1.
Gambar 2.1. Persentase Penggunaan Lahan/Tutupan Lahan Sumatera Barat Tahun 2013
Sumber : Olahan Tabel SD-1 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2013
2.1.1.2.  Luas Kawasan Hutan Menurut
Fungsi/Statusnya
Barat berdasarkan Keputusan Menteri
 Alam/Suaka Margasatwa/Taman
791.671 Ha, Hutan Produksi (HP) seluas
360.608 Ha, Hutan Produksi Terbatas (HPT)
seluas 233.210 Ha, dan Hutan Produksi
yang dapat Dikonversi (HPK) seluas
187.629 Ha (sumber : Tabel SD-2, Buku
Data SLHD Sumatera Barat, 2013). Luas
kawasan hutan menurut fungsi/statusnya
 
 
Gambar. 2.2 Luas Kawasan Hutan Menurut Fungsi/Statusnya 
Sumber: Olahan Tabel SD-2 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2013  
Perubahan luas kawasan hutan di
Sumatera Barat secara signifikan ditandai
dengan terjadinya perubahan luas kawasan
hutan lindung. Pada tahun 2011, terjadi
perubahan luas kawasan hutan lindung yang
berkurang sebesar 200.000 Ha. Sedangkan
pada tahun 2012 tidak ada perubahan luas
kawasan lindung. Perubahan terjadi lagi
pada tahun 2013, dimana berdasarkan
Keputusan Menteri Kehutanan
No.SK.35/Menhut-II/2013 Tanggal 15
lindung seluas 443 ha. Untuk lebih jelasnya
perbandingan perubahan luas kawasan
2013 dapat dilihat pada Gambar 2.3 dan
Gambar 2.4.
 
 
II-4 
Gambar 2.4. Perubahan Luas Kawasan Hutan di 5 (Lima) Kabupaten/Kota Tahun 2010 - 2013
Sumber : Olahan Tabel SD-2E Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2013
2.1.1.3.  Luas Kawasan Lindung Berdasarkan
RTRW dan Tutupan Lahannya
dimaksimalkan penggunaannya hanya
adalah kawasan lindung. (sumber : Tabel
SD-3 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera
Barat, 2013 dan RTRW Sumatera Barat
2012-2032 ). Dari total kawasan lindung
terdapat hutan lindung dengan luasan
23,68% , hutan suaka alam dan pelestarian
alam 57,56 %, dan 16,39% kawasan lindung
berada di hutan produksi, hutan produksi
terbatas dan hutan konversi serta 0,52%
kawasan lindung berada di luar hutan.
(Sumber : RTRW Sumatera Barat 2012-
2032 )  
Ha, diikuti Kabupaten Pesisir Selatan seluas
271.523,4 Ha berupa Taman Nasional
(Taman Nasional Kerinci Seblat) dan Suaka
 Alam. Taman Nasional Kerinci Seblat
merupakan taman nasional lintas provinsi
yaitu Provinsi Sumatera Barat, Provinsi
Jambi, Provinsi Bengkulu dan Provinsi
Sumatera Selatan. Untuk segmen Sumatera
Barat meliputi Kabupaten Pesisir Selatan,
Kabupaten Solok Selatan, Kabupaten Solok
dan Kabupaten Sijunjung (sumber : RTRW
Sumatera Barat 2012-2032 ).
untuk pertanian. Areal pertanian terbesar
berada di Kabupaten Pasaman Barat yaitu
164.373 Ha dan terkecil di Kota Bukittinggi
598 Ha (sumber : RTRW Sumatera Barat
2012-2032 ). Badan Pertanahan Nasional
sawah ke depannya akan dikonversi secara
 
 
Hutan
kawasan hutan dinyatakan dengan luas
kawasan Hutan Tetap (HT) dan kawasan
Hutan Produksi Konversi (HPK) serta Areal
Penggunaan Lain (APL). Hutan Tetap (HT)
merupakan jumlah luasan dari kawasan
Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam
(KSA-KPA), Hutan Lindung (HL), Hutan
Produksi Terbatas (HPT) dan Hutan
Produksi (HP). Gambar 2.5 menggambarkan
bahwa dari 12 kabupaten/kota yang memiliki
luas penutupan lahan berupa Hutan Tetap
terluas adalah Kabupaten Kepulauan
 Areal Penggunaan Lain terluas berada di
Kabupaten Pesisir Selatan yaitu seluas
177.559,00 Ha.
menunjukan bahwa terjadi penurunan jumlah
penutupan lahan baik dalam dan luar
kawasan hutan.
Gambar 2.5. Perbandingan Luas Penutupan Lahan Dalam dan Luar Kawasan Hutan Tahun 2012 dan Tahun 2013 
Sumber : Olahan Tabel SD-4 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2013
2.1.1.5.  Luas Lahan Kritis
 
sebesar 97.417,57 Ha, diikuti Kabupaten
Sijunjung seluas 75.517,92 Ha dan
Kabupaten Pasaman seluas 69.718,35 Ha.
Kabupaten Padang Pariaman merupakan
seluas 2.517,32 Ha. Sedangkan untuk
tingkat kota, lahan kritis terluas adalah Kota
Sawahlunto yaitu 23.706,40 Ha dan Kota
Bukittinggi memiliki luas lahan kritis terkecil
yaitu seluas 104,19 Ha.
Barat mengalami penurunan pada tahun
2013 dibandingkan tahun 2012. Bila dilihat
dari kategori lahan kritis yang dibagi
berdasarkan potensial kritis, agak kritis, kritis
dan sangat kritis, maka pada tahun 2013
terjadi penurunan lahan kritis. Untuk lebih
 jelasnya dapat dilihat pada Gambar
2.6.berikut  
Gambar 2.6. Perbandingan Lahan Kritis di Sumatera Barat Berdasarkan Kategori Tahun 2012 dan 2013
Sumber : Olahan Tabel SD-5 Buku Data SLHD Provinsi.Sumatera Barat , 2013
2.1.1.6.  Evaluasi Kerusakan Tanah di Lahan
Kering Akibat Erosi Air
akibat erosi air tahun 2013 dapat
digambarkan di 5 (lima) kabupaten/kota yaitu
Kota Bukittinggi dengan status laju erosi baik
untuk semua ketebalan tanah, Kota Padang
Panjang, dengan laju erosi ±1,5 mm/10
tahun (melebihi ambang batas kritis erosi)
untuk tebal tanah kurang dari 20 cm;±4,2
mm/10 tahun (melebihi ambang batas kritis
erosi) untuk tebal tanah 20 s/d < 50 cm dan
9,1 m/10 tahun (melebihi ambang batas
kritis erosi) untuk tebal tanah antara 50 s/d
< 100 cm, Kabupaten Pasaman dengan laju
erosi ±3,46 mm/10 tahun (melebihi ambang
batas kritis erosi) untuk tebal tanah kurang
dari 20 cm; ± 4,96 mm/10 tahun (melebihi
 
 
laju erosi ±1,4 mm/10 tahun (melebihi
ambang batas kritis erosi) untuk tebal tanah
kurang dari 20 cm;± 4,1 mm/10 tahun
(melebihi ambang batas kritis erosi) untuk
tebal tanah 20 s/d < 50 cm. Sedangkan
besaran erosi yang mengakibatkan
Kabupaten Pesisir Selatan dan Kabupaten
Dharmasraya pada semua ketebalan tanah
tidak melebihi ambang batas kritis erosi.
Secara umum kerusakan tanah akibat
erosi terjadi pada ketebalan tanah kurang
dari 20 cm, tebal tanah antara 20 s/d <50 cm
dan 50 s/d < 100 cm. Kerusakan tanah di
lahan kering akibat erosi air mengalami
kecenderungan tetap di tahun 2013 ini. Di
Kabupaten Pesisir Selatan, erosi yang
mengakibatkan kerusakan tanah di lahan
kering masih memenuhi ambang kritis erosi
(PP 150 Tahun 2000). Gambar 2.7.
memperlihatkan perbandingan kerusakan
Kabupaten Pesisir Selatan.
Gambar 2.7. Perbandingan Kerusakan Tanah di Lahan Kering Akibat Erosi Air di Kabupaten Pesisir Selatan Tahun 2011 – 2013
Sumber : Olahan Tabel SD-5.A Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2013  
2.1.1.7.  Kerusakan Tanah di Lahan Kering
Hasil evaluasi kerusakan tanah di
lahan kering di 10 (sepuluh) kabupaten/kota
secara umum hasil pemantauan masih dapat
digolongkan dengan status tidak melebihi
baku mutu, namun masih terdapat parameter
baku mutu yaitu parameter Daya Hantar
Listrik, Derajat Pelulusan Air, Redoks dan
Porositas Total. Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat sebagaimana Tabel 2.1.
 
 
Pariaman
1 Derajat Pelulusan air < 0,7 cm/jam; > 8,0 cm/jam 11,37 Melebihi
2 Daya Hantar Listrik /DHL > 4,0 mS/cm 8,7 Melebihi
3 Jumlah Mikroba < 10 2 cfu/g tanah 2,6 x 10
6   Melebihi
C. Kabupaten Solok Selatan
1 Derajat Pelulusan air < 0,7 cm/jam; > 8,0 cm/jam 11,52 Melebihi
Padang Pariaman
D. Solok
2 Derajat Pelulusan air < 0,7 cm/jam; > 8,0 cm/jam 14.92 Melebihi
3 Daya Hantar Listrik /DHL > 4,0 mS/cm 166,3 µ  Melebihi
E. Pasaman
F. Agam
> 80 % pasir kuarsitik - -
3 Redoks < 200 mV 205mv Melebihi
Sumber : Olahan Tabel SD-7 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2013
Untuk perbandingan antara tahun
tersebut tidak mengalami perubahan yang
signifikan dimana hasil pemantauan secara
umum masih memenuhi Ambang Kritis
sebagaimana PP 150 Tahun 2000.
Tabel 2.2. Evaluasi Kerusakan Tanah di Lahan Kering Kabupaten Pesisir Selatan Tahun 2011, Tahun 2012 dan Tahun 2013
No. Parameter Ambang Kritis Hasil Pengamatan
2011 2012 2013
1 2 3 4 5 6
1 Ketebalan Solum < 20 cm 39 cm 39 cm 39 cm
2 Kebatuan Permukaan > 40 % 25% 25% 25%
 
 
3 Komposisi Fraksi < 18 % koloid; 20% 20% 23%
> 80 % pasir kuarsitik 68% 68% 58%
4 Berat Isi > 1,4 g/cm 3   1,1 g/cm3 1,1 g/cm
3   2,1 g/cm
6 Derajat Pelulusan Air < 0,7 cm/jam ; > 8,0
cm/jam 5 cm/jam 5 cm/jam 5 cm/jam
7 pH (H2O) 1 : 2,5 < 4,5 ; > 8,5 4,63 4.63 4,77
8 Daya Hantar Listrik /DHL > 4,0 mS/cm 6 mS/cm 6 mS/cm 105 mS/cm
9 Redoks < 200 mV 321 mV 321 mV 321 mV
10 Jumlah Mikroba < 10 2 cfu/g tanah 15 cfu/ g tanah 15 cfu/ g tanah 27,8 cfu/ g tanah
Sumber : Olahan Tabel SD-7.A Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2013
2.1.1.8.  Evaluasi Kerusakan Tanah di Lahan
Basah
lahan basah pada 5 (lima) kabupaten/kota di
Sumatera Barat secara umum belum terjadi
kerusakan tanah di lahan basah (masih
memenuhi baku mutu PP 150 Tahun 2000).
Kerusakan tanah di lahan basah dapat
digambarkan bahwa tidak terjadi perbedaan
antara tahun 2011 - tahun 2013. 
2.1.1.9.  Perkiraan Luas Kerusakan Hutan
Menurut Penyebabnya
berpindah, penebangan liar, perambahan
62.535,12 Ha. Penyebab kerusakan hutan
terbesar adalah perambahan hutan seluas
39.393,31 Ha (63,99%), ladang berpindah
seluas 16.653 ha (26,63 %), penebangan liar
seluas 4.882,31 ha (7,18 %), dan terakhir
akibat kebakaran hutan seluas 1.606,50 Ha
(2,57 %). Berdasarkan luas kerusakan hutan
antar daerah, maka kerusakan hutan
terbesar terdapat di Kabupaten Pasaman
Barat (66.700 Ha) dan Kabupaten
Dharmasraya (5.551,55 Ha) yang
disebabkan oleh perambahan hutan,
termasuk dimanfaatkannya kawasan hutan
Gambar 2.8 berikut
 
Gambar 2.8. Perkiraan Persentase Luas Kerusakan Hutan Menurut Penyebabnya
Sumber : Olahan Tabel SD-9 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2013
Pada tahun 2013 dapat digambarkan
bahwa terjadi penurunan kerusakan hutan
secara total dibandingkan tahun 2012 karena
kerusakan hutan akibat penebangan liar
mengalami penurunan yang sangat
Sedangkan akibat perambahan hutan
seluas 37.598 Ha menjadi 39.393,31 Ha.
Namun bila dilihat secara parsial di masing-
masing kabupaten/kota, terdapat
Payakumbuh. Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat pada Gambar 2.9. dan Gambar 2.10.
Salah satu isu pada lahan dan hutan
sebagaimana yang telah disampaikan di
awal adalah terjadinya kerusakan hutan
pada daerah-daerah yang sedang diusulkan
untuk perubahan fungsi kawasan hutan ke
Menteri Kehutanan. Dengan adanya
memungkinkan bagi daerah untuk
mengembangkan kawasan hutan tersebut
fakta ditemui bahwa keberadaan
 
 
Gambar 2.9. Perkiraan Luas Kerusakan Hutan Menurut Penyebabnya
Sumber :Olahan Tabel SD-9 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat , 2013
Gambar 2.10. Perbandingan Perkiraan Luas Kerusakan Hutan
Menurut Penyebabnya Tahun 2011 - Tahun 2013 
Sumber :Olahan Tabel SD-9B Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2013
2.1.1.10.  Pelepasan Kawasan Hutan Yang
Dapat Dikonversi Menurut
konversi kawasan hutan ke areal
penggunaan lain seperti pemukiman,
yang paling banyak pada tahun 2013 adalah
kegiatan perkebunan sebesar 57.04 % dan
pertambangan sebesar 20.10 %. Untuk lebih
 
 
terjadi di Kabupaten Sijunjung seluas
90.484,55 Ha yang dikonversi untuk
perkebunan, selanjutnya Kabupaten
saat ini masih dalam tahapan usaha
eksplorasi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat
pada Gambar 2.12.
Kecenderungan konversi hutan
tahun 2011 menjadi 51.221,83 Ha di tahun
2012 namun pada tahun 2013 mengalami
peningkatan konversi menjadi 158.436,43
masing kabupaten/kota yang mengalami
peningkatan yaitu Kabupaten Pasaman,
dilihat pada Gambar 2.13.
Gambar 2.11. Konversi Hutan Tahun 2013
Sumber : Olahan Tabel SD-10 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2013
Gambar 2.12. Konversi Hutan di 8 (Delapan) Kabupaten/Kota Tahun 2013 
 
 
Gambar 2.13. 8 (Delapan) Kabupaten/Kota yang Melakukan Konversi Hutan Terluas Tahun 2011 - Tahun 2013
Sumber: Olahan Tabel SD-10 B Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2013
2.1.2 Indeks Kualitas Lingkungan Hidup
Tutupan Hutan dan Lahan
hutan dan lahan secara cepat adalah
dengan menggunakan Indeks Kualitas
dengan luas kawasan hutan berdasarkan
Keputusan Menteri Kehutanan.
buku data SLHD Provinsi Sumatera Barat, telah
dilakukan perhitungan Indeks Tutupan Hutan dan
Lahan dengan hasil perhitungan menunjukkan
bahwa tutupan hutan dan lahan di Sumatera
Barat masih berkategori baik. Untuk lebih
 jelasnya dapat dilihat pada Tabel 2.3 berikut.
Tabel 2.3. Indeks Tutupan Hutan dan Lahan Provinsi Sumatera Barat
No. Jenis Hutan Luas Tutupan (Ha) Luas Kawasan Hutan/LKH (Ha)
Indeks Tutupan Hutan dan Lahan
(ITH)
Kategori
Total 1.979.363 2.380.057,32
Sumber : Olahan Tabel SD-1B Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2013
2.2.  KEANEKARAGAMAN HAYATI
Keanekaragaman hayati merupakan
dan peran-peranan ekologisnya yang meliputi
keanekaragaman ekosistem, keanekaragaman
 
yang dimiliki daerah tersebut dan merupakan
satu kesatuan yang utuh.
Keanekaragaman hayati memiliki nilai-
yang penting. Karena itu, keanekaragaman
hayati suatu daerah akan turut membentuk
kebudayaan dan sosiologi masyarakat suatu
daerah. Selain itu, sesuai dengan perkembangan
zaman, maka keanekaragaman hayati juga bisa
mempengaruhi aktivitas perekonomian kelompok
Berikut analisis keanekaragaman
didasarkan pada statusnya, jenis
sebaran spesies.
Fauna yang dilindungi dari jenis
reptilia ada 7 spesies dengan status endemik
yaitu : ajag/anjing hutan, beruang madu
(Helarctos malayanus), binturong ( Artictis
binturong ), harimau sumatera (Phantera
(Hylobates syndactylus), dan landak
sumatera (Hystric sumatrae). Sedangkan
endemik dimana 5 (lima) jenis diantaranya
dalam status terancam yaitu sempidan
sumatera, ciung mungkal sumatera, cucak
mutiara, paok scheinder dan tokhtor sunda.
Sedangkan burung ciung batu sumatera,
cucak sumatera, merabu/bangau tong-tong
 jenis aves yaitu Beluk Jambuk dan itik
liar/mentok rimba.
Dari jenis reptilia ada 3 (tiga)
spesies dalam kondisi terancam yaitu Baning
coklat, kura-kura pipi putih dan kuyu batok.
Sedangkan spesies yang dilindungi yaitu
Bulus/labi-labi, kura-kura duri dan labi-labu
hutan. Dari jenis amphibi terdapat Rana, sp 
atau yang lebih dikenal dengan katak
merupakan spesies dengan status endemik,
terancam dan berlimpah. Sedangkan kodok
sawah (Fejervarya cancrivora) dan katak
pohon (Hyla versicolor ) merupakan spesies
dalam status terancam. Jenis amphibi
Klasifikasi
 
melanotictos)
keong mas dan siput dalam status
berlimpah. Kupu-kupu Bidadari (Chetosia
myrina), kupu-kupu sayap surga
yang terancam dari jenis insecta, dua jenis
spesies lainnya yang terancam yaitu
kumbang dan belalang sembah sedangkan
spesies yang keberadaannya berlimpah
Flora yang terancam
(Pinus merkusii ), bunga bangkai
( Amorphopalus titanium), kantong semar
(Nepenthes, sp.), tengkawang (Shorea
stenopten), anggrek hitam (Coelogne
Pandurata),rumput laut (Euchema cottonii ),
Rhizhantes (Rhizhantes sp). Sedangkan
(Rafflesia arnoldi ) Kantong Semar
 pandurata).
Bunga Bangkai (Amorphopalus titanium) 2.2.2.  Jumlah dan Jenis Spesies Fauna
yang Dilindungi
terbanyak yaitu dari jenis hewan menyusui
sebanyak 30 jenis yang terdapat di
Kabupaten Solok Selatan diantaranya
Beruang madu (Helarctos malayanus),
Harimau dahan (Neofelis nebulosa),
Harimau sumatera (Panthera tigris
sumatrae), kucing hutan/Meong congkok
(Felis bengelensis) dan Menjangan/Rusa
 
 
yaitu dari jenis burung sebanyak 16 spesies
masih di wilayah Kabupaten Solok Selatan
diantaranya Alap-alap putih/alap-alap tikus
religiosa robusta), Rangkong Gading
yaitu dari jenis Amphibi yaitu sebanyak 15
spesies yang terdapat di Kabupaten Solok.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
Gambar 2.16.
Gambar 2.16. Jumlah dan Jenis Spesies Fauna yang Dilindungi di Kabupaten/Kota
Sumber : Olahan Tabel SD 11 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2013 
2.2.3.  Jumlah dan Jenis Spesies Flora dan
Fauna yang Endemik
yang endemik terbanyak menurut data dari
Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Barat
tahun 2013 terdapat di Kota Padang dengan
klasifikasi hewan menyusui sebanyak 8
(delapan) jenis, Burung sebanyak 5 (lima)
 jenis, Reptil sebanyak 13 jenis, Amphibi 1
(satu) jenis dan tumbuh-tumbuhan sebanyak
7 (tujuh) jenis. Diketahui juga di Kota
Sawahlunto terdapat 4 (empat) jenis spesies
yang endemik dan di Kabupaten Pasaman
sebanyak 9 (sembilan) jenis spesies.
 Adapun perbandingan jumlah da spesies
antar daerah dapat dilihat pada Gambar
2.17.
 
 
II-17 
Sumber : Olahan Tabel SD-11B Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2013
2.2.4.  Jumlah dan Jenis Spesies Flora dan
Fauna yang Terancam
Kabupaten Solok Selatan yaitu sebanyak 28
spesies, sedangkan untuk spesies burung
terbanyak terdapat di Kota Padang sebanyak
21 spesies. Jenis reptil terbanyak juga
terdapat di Kota Padang sebanyak 15
spesies dan dari jenis tumbuhan sebanyak
10 jenis juga terdapat di Kota Padang. Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar
2.18.
 
Gambar 2.18. Jumlah dan Jenis Spesies Flora dan Fauna yang Terancam
Sumber  : Olahan Tabel SD-11C Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2013
2.2.5.  Jumlah dan Jenis Spesies Flora dan
Fauna yang Berlimpah
di Kota Padang terdapat 11 jenis ikan,
sedangkan di Kota Bukittinggi spesies
 
 
sebanyak 16 jenis. Di Kabupaten Solok
Selatan diketahui sebanyak 3 (tiga) jenis dan
dari burung 1 (satu) species. Di Kabupaten
Padang Pariaman diketahui dari jenis reptil
sebanyak 3 (tiga) jenis, dari amphibi 4
(empat) spesies dan dari keong 1 (satu)
spesies, sedangkan untuk tumbuhan ada 2
(dua) spesies. Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat pada Gambar 2.19
Gambar 2.19.Jumlah Jenis Spesies Flora dan Fauna yang Berlimpah
Sumber: Olahan Tabel SD-11D Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2013
2.3.  AIR Sumatera Barat memiliki lebih dari
3.303 anak sungai dan sungai utama yang
melintasi kabupaten/kota, terbagi dalam 8
 
 
sumberdaya air yang cukup besar, yakni
mencapai lebih kurang 50.950 juta m3/tahun
yang terdiri dari 36.393 juta m3/tahun air
permukaan dan 14.557 m3/tahun air tanah.
Berdasarkan Lampiran III.1
tentang Penetapan Wilayah Sungai, 8
(delapan) Wilayah Sungai (WS) dalam
Provinsi Sumatera Barat dapat dijabarkan
seperti Tabel 2.4. dan Gambar 2.20 berikut.
  Tabel.2.4. Kode dan Nama Wilayah Sungai (WS) Provinsi Sumatera Barat
No  Kode  Nama Wilayah Sungai  5 (lima) WS lintas provinsi 
1  01.18.A2  WS Rokan (Sumatera Utara, Sumatera Barat dan Riau); 
2  01.27.A2  WS Kampar (Sumatera Barat dan Riau) 
3  01.29.A2  WS Indragiri-Akuaman (Sumatera Barat dan Riau) 
4  01.37.A2  WS Batang Hari (Sumatera Barat dan Jambi) 
5  01.18.A2  WS Batang Natal-Batang Batahan (Sumatera Barat dan Sumatera Utara) 
2 (dua) WS lintas kabupaten/kota  6  01.21.B  Silaut Tarusan  7  01.19.B  Masang Pasaman 
1 (satu) WS dalam satu kabupaten/kota  8  01.20.C  Siberut – Pagai – Sipora
Sumber : Keputusan Presiden RI No. 12 Tahun 2012 tentang Penetapan Wilayah Sungai
Gambar 2.20. Peta Wilayah Sungai Sumatera Barat
Sumber : Keputusan Presiden RI No. 12 Tahun 2012 tentang Penetapan Wilayah Sungai
Berdasarkan data dari Dinas PSDA
Prov. Sumbar tahun 2011, luas catchment
area  untuk masing-masing Wilayah Sungai
(WS) Sumatera Barat adalah:
 
2.588,34 km2; WS Indragiri – Akuaman:
10.542,71 km2;
Natal-Batang Batahan: 379,549 km2;
Pasaman: 5.933,23 km2;
Kewenangan pengelolaan sumber air
pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan
pemerintah kabupaten/kota. Terhadap
Barat Tahun 2013 adalah masalah sumber
air, yang dapat dapat dirumuskan sebagai
berikut:
debit yang signifikan antara musim
kemarau dan musim hujan, yaitu
dengan telah terjadinya degradasi pada
sempadan, Daerah Aliran Sungai DAS)
dan Daerah Tangkapan Air (DTA).
b.  Kualitas sumber air, yaitu terjadinya
penurunan kualitas air permukaan sebagai
dampak dari aktifitas domestik (limbah),
pertanian, perikanan serta pertambangan.
baik dari industri skala besar maupun dari
usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).
Pendekatan analisis dilakukan pada
sungai-sungai target Standar Pelayanan
provinsi yang strategis.
prioritas
kunci dan parameter yang memperlihatkan
kecendrungan penurunan kualitasnya.
sekitar 606 buah sungai, baik skala besar
maupun kecil, dengan rincian sungai lintas
provinsi sebanyak 27 sungai besar dan sungai
kecil meliputi lintas Provinsi Sumatera Utara,
Riau, Jambi dan Bengkulu. Sungai Lintas
kabupaten/kota sebanyak 81 sungai dan sungai
dalam wilayah administrasi kabupaten/kota
Sungai lintas provinsi di Sumatera
Barat yang dijadikan sebagai sungai strategis
nasional yaitu Batang Hari (Provinsi Sumatera
Barat –Jambi), Batang Kampar (Provinsi
Sumatera Barat –Riau), dan Indragiri-Akuaman
(Provinsi Sumatera Barat –Riau), serta Sungai
Batang Kuantan. Hulu keempat sungai strategis
nasional tersebut berada di Sumatera Barat,
yaitu:
 
Batang Hari, Nagari Alahan Panjang Kec.
Lembah Gumanti, Kabupaten Solok.
Patamuan Nagari Muaro Sungai Lalo Kec.
Mapat Tunggul Selatan, Kabupaten
Kabupaten Tanah Datar.
Sijunjung dan hilir berada pada Kecamatan
Kamang Baru. Hulu sungai merupakan
pertemuan 2 sungai, yakni Batang Ombilin
dan Batang Palangki di Kabupaten
Sijunjung.
Hari adalah yang terpanjang di Sumatera Barat.
Total panjang Sungai Batang Hari 775 km,
sekitar 583 km berada di Propinsi Jambi dan 192
km berada di Provinsi Sumatera Barat (Sumber:
Dinas PSDA Provinsi Sumatera Barat, 2012 ),
melintasi Kabupaten Solok (17 km), Kab. Solok
Selatan (89 km), dan Kabupaten Dharmasraya
(60 km).
Barat berkisar antara 1 - 150 m, dan lebar dasar
sungai berkisar antara 0,5 m s/d 156 m. Bagian
rentang dan hilir sungai pada umumnya melebar
seiring bersatunya beberapa anak sungai ke
sungai utama. Kedalaman sungai juga bervariasi,
yaitu pada kisaran 0,12 m s/d 9 m. Perbedaan
kedalaman sungai sangat dipengaruhi oleh
intensitas curah hujan. Sungai terlebar adalah
Sungai Batang Hari (lebar permukaan mencapai
150 m). Beberapa sungai dengan kedalaman
mencapai 9 m adalah Sungai Batang Kampar
Kiri, Sungai Batang Angkis Gadang, serta Sungai
Batang Pinago, ketiga sungai tersebut terdapat di
Kabupaten Limapuluh Kota. Untuk nilai debit
sungai-sungai di Sumatera Barat, debit minimum
bervariasi antara 0,02 m3/detik (Sungai Batang
Painan, Kabupaten Pesisir Selatan) s/d 434,99
m3/detik (Sungai Batang Hari, Kabupaten Solok
Selatan), sedangkan debit maksimum berkisar
antara 0,1 m3/detik (Sungai Batang Batu
Gending, Kabupaten Solok Selatan) sampai
dengan 1.864,60 m3/detik (Sungai Batang Hari,
Kabupaten Dharmasraya).
debit sungai di Kota Padang cenderung
berfluktuasi cukup tinggi dengan rasio tertinggi
debit antara musim kemarau dan musim hujan
adalah Batang Latuang sebesar 742,62; Batang
Limau Manis yaitu : 702,32; dan Batang Arau
sebesar 128,57. Sungai lain adalah Batang
Gumanti (107,14) dan Sumani (120) yang berada
di Kabupaten Solok. Perbandingan rasio debit
maksimum/minimum sungai di Sumatera Barat
tahun 2011-2013 dapat dilihat pada Gambar
2.21.
Di Sumatera Barat Tahun 2011-2013
 
 
II-22 
Sumber : Olahan Tabel SD-12C Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2013. 
2.3.1.2  Inventarisasi Danau/Waduk/Situ/
danau/waduk/embung/telaga, baik skala besar
dalam kabupaten/kota se-Sumatera Barat,
Kabupaten Padang Pariaman (5); Kabupaten
Tanah Datar (63); Kabupaten Pesisir Selatan (8);
Kabuparten Sijunjung (12); Kabupaten Solok
(39); Kabupaten Dharmasraya (20); Kabupaten
Pasaman Barat (3); Kabupaten Agam (39); dan
Kabupaten Limapuluh Kota (55), sehingga total
248 buah danau/waduk/embung/telaga. Dari
besar, yaitu Danau Singkarak (Kabupaten Tanah
Datar dan Kabupaten Solok), Danau Maninjau
(Kabupaten Agam), Danau Diatas dan Danau
Dibawah (keduanya berada di Kabupaten Solok).
Danau Singkarak merupakan danau terbesar
kedua di Sumatera setelah Danau Toba
(Sumatera Utara), dengan luas mencapai 10.780
Ha dan kapasitas volume sebesar 16.100.000 
m3.
pariwisata. Danau Singkarak memiliki peran dan
fungsi yang sangat penting, baik dari segi
ekonomi-sosial-budaya, maupun menunjang
distribusi wilayah Sumatera Bagian Selatan
(Sumatera Barat, Riau, Jambi dan Sumatera
Selatan). Terdapat satu jenis ikan di Danau
Singkarak, satu-satunya di dunia, merupakan
ikan endemik Danau Singkarak , yaitu Ikan Bilih
(Mystacoleucus padangensis). Keberadaan ikan
ramah lingkungan.
 
 
Gambar 2.23. Tepian Danau Singkarak Sebagai Ajang Tour De Singkarak
Gambar 2.22. Ikan bilih Danau Singkarak
Gambar 2.24. Ikan Khas Danau Singkarak (Ikan Bilih)
Di samping Danau Singkarak, Danau
Maninjau di Kabupaten Agam, juga digunakan
sebagai sumber energi listrik (PLTA). Masyarakat
sekitar memanfaatkan danau untuk budidaya
ikan melalui Keramba Jaring Apung (KJA). Data
umum kondisi terbesar di Sumatera Barat dapat
dilihat pada Tabel 2.5. berikut peta lokasi 4
(empat) danau terbesar di Sumatera Barat
seperti pada Gambar 2.25.
No Nama Danau
    t     A    r   e    a
    (    k    m
    (    k    m
    R    a
    3     )
    i   a    n
    k    a    a    n
1 Danau Singkarak
Danau Tektonik 1.078 130,0 20 6,5 268 16,1 363,5 LS : 0°36′44,17″ 
BT : 100°32′21,14″ 
2 Danau Maninjau
Danau Vulkanik 248 99,5 16 7 105 10,4 459,0 LS : 0°19′
BT : 100°12′ 
 
    t     A    r   e    a
    (    k    m
    (    k    m
    R    a
    3     )
    i   a    n
    k    a    a    n
3 Danau Diatas
Danau Tektonik 39 17,0 6,25 2,75 44 0,37 1.531,0 LS : 1°4′37″ 
BT : 100°45′17″ 
4 Danau Dibawah
Danau Tektonik 30 14,0 5,62 3 309 0,28 1.462,0 LS : 1°0′35″ 
BT : 100°43′51″ 
Kab. Solok
Sumber : Olahan Tabel SD-12 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2013
Gambar 2.25. Lokasi 4 (Empat) Danau Terbesar di Sumatera Barat 
Sumber : Google Earth, 2013
Di samping danau/telaga, di
Embung atau tandon air merupakan waduk
berukuran mikro di lahan pertanian (small
farm reservoir ) yang dibangun untuk
menampung kelebihan air hujan di musim
hujan. Di lahan rawa namanya pond yang
berfungsi sebagai tempat penampungan air
drainase saat kelebihan air di musim hujan
dan sebagai sumber air irigasi pada musim
kemarau.
Tanah Datar), Ampiang Parak (Kabupaten Pesisir
Selatan), Lubuk Mato Kucing (Kabupaten Pesisir
Selatan), Embung Gaung (Kabupaten Solok),
Embung Ngalau (Kabupaten Sijunjung), serta
Embung Lubuk Banio (Kabupaten Dharmasraya).
Pengembangan dan pembangunan
 
 
dan sumberdaya air yang terbatas,
pengembangan embung sangat cocok untuk
membantu pemecahan masalah kekurangan air
di musim kemarau. Pada beberapa kenagarian di
kabupaten-kabupaten tersebut dapat ditemui
masyarakat mengembangkannya untuk
tahun 1965 hingga tahun 2012 telah banyak
memberikan bantuan dalam pengembangan
cukup besar dan masih berfungsi di Sumatera
Barat dapat dilihat pada Tabel 2.6
Tabel 2.6. Beberapa Embung di Sumatera Barat 
No. Nama Embung Volume Tampungan (m3) Kabupaten
1   Amping Parak 3.000.000 Pesisir Selatan
2 Embung Danau Tuo 510.000 Solok
3  Embung Lubuk Pinawar 140.000 Limapuluh Kota
4  Embung Danau Tuo 510.000 Solok
5  Embung Sei Bawak 110.000 Agam
6  Embung Sijawi-jawi 50.000 Dharmasraya
Sumber : Olahan Tabel SD-13.A Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2013.
Gambar 2.26. Embung Teratak Paneh – Ampiang Parak, Sutera, Kabupaten Pesisir Selatan
Gambar 2.27. Pembabatan Hutan di Sempadan Sungai untuk Ditanami Karet
2.3.1.3.  Kualitas Air Sungai Kualitas air sungai dipengaruhi oleh
bagian hulunya dan juga kondisi DAS serta
 
di sempadan sungai ditemukan daerah/lahan
bukaan (land clearing ) yang akan digunakan
untuk perladangan (tanaman sawit, jagung, atau
karet).Pohon dan tanaman bekas land clearing
dibakar. Lahan bekas bukaan ini sangat rawan
mengalami erosi sebagai akibat dari tergerusnya
top soil oleh air hujan.
a.  Sungai Batang Hari
sangat memprihatinkan dimana tingkat
sungai. Tingginya tingkat kekeruhan air Sungai
Batang Hari diindikasi disebabkan karena
semakin meningkatnya aktifitas kegiatan
Kabupaten Solok Selatan hingga Kabupaten
Dharmasraya, adanya kegiatan land clearing  
untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit
dan masih terindikasi adanya kegiatan
perambahan hutan, sehingga tingkat erosi akibat
aliran air permukaan telah menimbulkan
sedimentasi yang cukup tinggi pada badan
Sungai Batang Hari.
Hari pada tahun 2013, dilakukan terhadap 6
(enam) titik sampling untuk sungai utama (Batang
Hari) dan 4 (empat) titik sampling untuk anak
sungai (yang bermuara) ke Batang Hari. Adapun
titik lokasi pemantauan dapat dilihat pada Tabel
2.7 dan Gambar 2.28. Dari hasil analisis
laboratorium, beberapa parameter yang diatas
baku mutu adalah pH, TSS, BOD, COD, Nitrit,
Total Phosphat, Raksa, Seng, serta parameter
bakteriologis (Fecal Coli dan Total Coliform).
Unsur Hg selain ditemukan pada sampel air, juga
ditemukan pada sampel sedimen yang diambil
(pada titik BH3, BH4, BH5), untuk periode
pemantauan kelima.
Sungai Batang Hari, diindikasikan
pada lahan pertanian/perladangan di
sepanjang sempadan Sungai Batang
bukaan lahan.
Tabel. 2.7. Lokasi Pemantauan Kualitas Air Sungai Batang Hari Tahun 2013
No Titik
Sampling Kode
LS BT
 
LS BT
 Aling Sangir
3 III BH3 Muaro Sangir
Kampung Baru Sangir Solok Selatan
01o12’03,4”  101o21’03,5” 
Sungai Dareh
00o57’46,1”  101o30’12,9” 
5 V BH5 Siguntur Siguntur Sitiung Dharmasraya 00o57’11,0”  101o33’23,2” 
6 VI BH6 Sungai
7 VII BH
Sangir Muaro Sangir
01o05’44,3”  101o46’49,7” 
10 X BH
Sumber : Bapedalda Provinsi Sumatera Barat, 2013.
Gambar 2.28. Peta Lokasi Titik Sampel Sungai Batanghari
Sumber : Bapedalda Provinsi Sumatera Barat, 2013.  
  Parameter TSS Pada hulu sungai (BH1), parameter TSS
masih berada di bawah Baku Mutu, karena.
 
 
aktifitas manusia yang dapat meningkatkan
kandungan TSS. Parameter TSS mengalami
peningkatan dari hulu ke hilir serta berada di
atas Baku Mutu, terutama saat pemantauan
bulan April dan Juni (kecuali titik BH5), pada
titik BH3 hingga BH6, termasuk pada anak
sungai. Tingginya nilai parameter TSS ini
diindikasikan akibat aktifitas penambangan
(PETI).Parameter TSS mengalami
Juli, dan Oktober 2013.
Gambar 2.29. Parameter TSS pada Sungai Batang Hari
Sumber : Olahan Tabel SD-14 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2013.
Gambar 2.30.Aktifitas Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) Di Sungai Batang Hari
Sumber : Hasil Pemantauan Bapedalda Provinsi Sumatera Barat, 2013
  Parameter BOD
mutu pada pemantauan periode bulan
 April dan Mei, kecuali untuk yaitu titik
BH1 dan BH Sipotar. Dari pemantauan
lapangan, bulan tersebut terkategori
rendah, pengaruh aktifitas domestik
 
Batang Hari.
Gambar 2.31. Parameter BOD pada Sungai Batang Hari
Sumber : Olahan Tabel SD-14 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2013.
  Parameter COD
beraturan dari hulu hingga ke hilir. Untuk
pemantauan pada bulan April, Juni, dan
Oktober, kandungan COD-nya sebagian
titik BH1 dan BH4 pada bulan April).
Tingginya parameter COD salah
satunya karena aktifitas domestik
(pemukiman). Hasil analisis memenuhi
 
 
II-30
Sumber : Olahan Tabel SD-14 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2013 
  Total Phospat (PO4)
Baku Mutu, kecuali titik BH1 dan BH
Pangian untuk pemantauan bulan Juni
yang berada di bawah Baku Mutu. PO4 
dipengaruhi oleh aktifitas pertanian dan
perladangan (penggunaan pestisida dan
Gambar 2.33. ParameterTotal Phospat Air Sungai Batang Hari
Sumber : Olahan Tabel SD-14 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2013.
  NO2 
bulan Mei pada titik pemantauan BH5,
BH Pangian dan BH Sangir. Sama
seperti PO4, NO2 juga dipengaruhi oleh
aktifitas pertanian dan perladangan
(penggunaan pestisida dan pupuk).
 
 
II-31
Sumber : Olahan data Tabel SD-14 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2013.
  Hg
dan BH4) dan Oktober (BH2, BH4, BH5,
BH6) berada di atas baku mutu. Dari
hulu ke hilir kandungan Hg cenderung
mengalami penurunan.Sedangkan untuk
ditemukan kandungan Hg.
Gambar 2.35. Parameter Hg Air Sungai Batang Hari
Sumber : Olahan Tabel SD-14 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2013. 
  Zn
Mei (BH4, BH6, BH Sipotar), Juni (BH
Sipotar), Oktober (BH2 dan BH
Momong) berada di atas baku mutu.
Gambar 2.36. Parameter Seng (Zn) Air Sungai Batang Hari
 
 
Mutu, demikian juga untuk parameter
Total Coliform lebih dominan berada di
atas Baku Mutu, kecuali untuk sampling
bulan Juni (BH4, BH5, BH6, BH
Pangian) dan bulan Oktober (BH1, BH2,
BH Sangir).
Gambar 2.37.ParameterFecal Coli Air Sungai Batang Hari
Sumber : Olahan Tabel SD-14 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2013.
Gambar 2.38. ParameterTotal Coliform Air Sungai Batang Hari
Sumber : Olahan Tabel SD-14 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2013.
  Sedimen
 
yang dilakukan adalah untuk parameter Hg,
Zn, Cu, Cd, Ni, Ag. Sampling untuk sedimen
dilakukan untuk 3 (tiga) titik (BH3, BH4, dan
BH5) pada pemantauan periode V (bulan
Oktober 2013). Berikut tabel hasil analisis
sedimen selama pemantauan tahun 2013.
Tabel 2.8. Hasil Analisis Laboratorium Sampel Sedimen
No  Parameter   Satuan  Baku Mutu
Kelas II*  Waktu Sampling 
BH3 
BH4 
BH5 
Sumber : Bapedalda Provinsi Sumatera Barat, 2013.  
b.  Sungai Batang Kampar
mencakup kawasan seluas 24.548 km² dan
terletak pada 100 º 10’- 103º 15’BT dan 0º 41’ LU
- 0º 35’ LS, dengan panjang 580 km dan lebar
100 - 300 m, serta kedalaman 6 - 10 m. Debit
sungai mencapai 49 - 2200 m³/detik dan debit
normal mencapai 500 - 700 m³/detik.
Sungai Batang Kampar terdiri dari 2 (dua)
anak sungai besar yaitu Sungai Kampar Kanan
dan Sungai Kampar Kiri. Kedua sungai ini
bertemu menjadi satu yaitu Sungai Batang
Kampar di sekitar Muaro Sako. Panjang Sungai
 
 
6 meter. Bagian hilir Sungai Batang Kampar
dipengaruhi oleh pasang surut dan saat awal
pasang diawali oleh munculnya gelombang besar
yang disebut oleh masyarakat sebagai “bono”. 
Saat ini air Sungai Batang Kampar (Sungai
Kampar Kanan) merupakan sumber air bagi
PLTA Kotopanjang. Di samping itu, air sungai
Kampar Kanan dimanfaatkan juga sebagai
sumber pemenuhan kebutuhan air minum, mandi
dan cuci (MCK) bagi masyarakat yang berdomisili
sepanjang sempadan dan DAS Kampar Kanan.
Sedangkan badan air dimanfaatkan sebagai
ladang penangkapan ikan, areal pemeliharaan
ikan dalam keramba, serta sarana transportasi,
industri pulp dan kertas, industri minyak kelapa
sawit, serta areal penambangan pasir, kerikil dan
bahan galian lainnya.
Kampar Kanan adalah 5.231 km², dengan hulu
sungai berada di Gunung Gadang Pegunungan
Bukit Barisan (Jorong Patamuan Nagari Sungai
Lolo Kec. Mapat Tunggul Selatan Kabupaten
Pasaman). Kapasitas tampung alur sungai di
bagian hulu (Bangkinang) 1.000 m³/detik,
sedangkan kapasitas tampung alur sungai bagian
hilir (Danau Bingkuang sampai Taratak Buluh)
sebesar 700 m³/detik.
Nama Sungai
Sungai Batang Kampar
BK 1 Titik I S 0 18 23.3 100 16 54.2
BK 2 Titik II S 0 20 27.5 100 18 4.3
BK 3 Titik III S 0 19 43.3 100 19 34.1
BK 4 Titik IV S 0 19 21.3 100 20 41.1
BK 5 Titik V S 0 21 29.7 100 21 42.5
BK 6 Titik VI S 0 23 18.5 100 23 19.3
Sungai Batang
Lolo BK Lolo Titik VII S 0 20 46.2 100 17 59
Sungai Batang Mongan
BK Mongan Titik VIII S 0 19 5.4 100 26 22.1
Sumber : Bapedalda Provinsi Sumatera Barat, 2013
Lokasi sampel sebagaimana Tabel 2.9 di
atas adalah lokasi sampel hulu sampai hilir
sungai yang berada di 2 (dua) wilayah
adminitrasi Provinsi Sumatera Barat dengan
rincian lokasi sebagai berikut :
 
Sungai Lolo, Kecamatan Mapat Tunggul
Selatan Kabupaten Pasaman)
Sungai Lolo, Kecamatan Mapat Tunggul
Selatan Kabupaten Pasaman)
Limapuluh Kota)
Kapur IX, Kabupaten Limapuluh Kota)
5.  Titik V (di Jorong Galugur, Nagari Galugur,
Kecamatan Kapur IX, Kabupaten Limapuluh
Kota)
Galugur, Kecamatan Kapur IX, Kabupaten
Limapuluh Kota)
Nagari Muaro Sungai Lolo, Kecamatan
Mapat Tunggul Selatan Kabupaten
Godang, Nagari Galugur, Kecamatan Kapur
IX, Kabupaten Limapuluh Kota)
Batang Kampar berdasarkan parameter kunci
dan spesifik.
pada bulan Mei, Agustus, dan
September. Sampling untuk bulan
Oktober hasil analisisnya memenuhi
Gambar 2.39. Parameter TSS Air Sungai Batang Kampar
Sumber : Olahan Tabel SD-14 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2013.
  BOD
Mutu, kecuali untuk yaitu titik BK1, BK2 dan
BK Mongan.
 
 
II-36
Sumber : Olahan Tabel SD-14 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2013.
  COD
berada diatas Baku Mutu yaitu pada
pemantauan bulan Mei (BK1 dan BK5) dan
 Agustus (BK1).
Gambar 2.41.Parameter COD Air Sungai Batang Kampar
Sumber : Olahan Tabel SD-14 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2013.
  NO2 
Gambar 2.42. Parameter NO2 Air Sungai Batang Kampar
 
 
II-37
Sumber : Olahan Tabel SD-14 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2013.
  Total Phospat
atas Baku Mutu kecuali titik BK Mongan
untuk pemantauan bulan Mei, yang di bawah
Baku Mutu dapat dilihat sebagaimana
Gambar 2.43.
Gambar 2.43. Parameter Total Phospat Air Sungai Batang Kampar
Sumber : Olahan Tabel SD-14 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2013.
  Seng (Zn)
Mutu, kecuali titik BK5 untuk
pemantauan bulan November yang di
atas Baku Mutu dapat dilihat pada
Gambar 2.44.
 
 
II-38
Sumber : Olahan Tabel SD-14 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2013.
  Fecal Coli/E. Coli
Coliform lebih dominan berada di atas Baku
Mutu, kecuali untuk sampling bulan
September (BK Lolo, BK Mongan) dan bulan
Oktober (BK1, BK3). 
Gambar 2.45. Parameter Fecal Coli Air Sungai Batang Kampar
Sumber : Olahan data Tabel SD-14 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2013.
Gambar 2.46. Parameter Total Coliform Air Sungai Batang Kampar
 
 
II-39
Sumber : Olahan Tabel SD-14 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2013.
c.  Sungai Batang Kuantan
Batang Kampar, Sungai Batang Kuantan juga
termasuk sungai strategis nasional lintas provinsi
(hulu berada di Sumatera Barat dan hilir berada
di Riau). Hulu sungai merupakan pertemuan 2
sungai, yakni Batang Ombilin dan Batang
Palangki di Kabupaten Sijunjung, dengan
panjang sungai di segmen Sumatera Barat
adalah + 54,08 km dan luas DAS +1.210,80 km2. 
Pemantauan dilakukan dengan lokasi
adminitrasi Provinsi Sumatera Barat dengan
rincian lokasi sebagai berikut :
Muaro, Kabupaten Sijunjung)
Muaro, Kabupaten Sijunjung setelah
pertemuan dengan Batang Kulampi)
Gadang, Kabupaten Sijunjung setelah
pertemuan dengan Batang Kako)
Padang Tarok, Kec.Kamang Baru,
Tarok, Kec.Kamang Baru, Kabupaten
Padang Tarok, Kec.Kamang Baru,
Nagari Aia Angek, Kabupaten Sijunjung)
8.  Titik VIII anak Sungai (di Jorong Koto Ilia
Nagari Durian Gadang, Kabupaten
Nagari Padang Tarok, Kec. Kamang Baru,
Kabupaten Sijunjung)
Nagari Padang Tarok, Kec. Kamang Baru,
Kabupaten Sijunjung)
Baku Mutu difokuskan terhadap parameter yang
melebihi baku mutu air sungai Kelas II, sebagai
berikut:
  TSS
Mutu, terutama pada sampling bulan
Oktober dan November. Sedangkan
September cenderung memenuhi baku
 
 
II-40
Sumber : Olahan Tabel SD-14 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2013.
  pH
Juli, September, Oktober dan
November, hasil analisisnya memenuhi
Juni, berada di luar range Baku Mutu,
yaitu untuk titik BKN1, BKN2, BKN3,
dan BKN Kako.
Gambar 2.48. Hasil Analisis Parameter pH Sungai Batang Kuantan
Sumber : Olahan Tabel SD-14 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2013
  BOD
atas Baku Mutu adalah pada titik BKN1
(Juni, November), BKN2 (Juni,
Gambar 2.49. Hasil Analisis Parameter BOD Sungai Batang Kuantan
 
 
II-41
Sumber : Olahan Tabel SD-14 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2013.
  COD
pemantauan bulan September (BKN2,
BKN2).
Gambar 2.50. Hasil Analisis COD Air Sungai Batang Kuantan
Sumber : Olahan Tabel SD-14 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2013.
  NO2 
Mutu untuk semua titik lokasi dan waktu
pemantauan.
 
 
II-42
Sumber : Olahan Tabel SD-14 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2013.
  Total Phospat
namun selama pemantauan tahun 2013,
dari hulu sampai hilir cenderung
mengalami penurunan ke arah
Gambar 2.52. Hasil Analisis Parameter Total Phospat Sungai Batang Kuantan
Sumber : Olahan Tabel SD-14 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2013.
  Sulfida (H2S)
Mutu kecuali untuk pemantauan bulan
Oktober lebih dominan di atas Baku
Mutu.
 
 
II-43
Sumber : Olahan Tabel SD-14 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2013.
  Fecal Coli/E. Coli dan Total Coliform
Parameter E.Coli untuk semua titik
dan waktu pemantauan berada di
atas Baku Mutu, demikian juga untuk
parameter Total Coliform lebih
kecuali untuk sampling bulan
September (BKN Lolo, BKN
BKN3).
Gambar 2.54. Hasil Analisis Parameter Fecal Coli Sungai Batang Kuantan
Sumber : Olahan Tabel SD-14 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2013.
 
 
II-44
Sumber : Olahan Tabel SD-14 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2013. 
Gambar 2.56.Penambangan PETI di Daerah Hulu Sungai Batang Kuantan di Kabupaten Sijunjung
Sumber : Hasil Pemantauan Bapedalda Provinsi Sumatera Barat, 2013
Gambar 2.57. Pengambilan Sampel Air Sungai Batang Kuantan di Kabupaten Sijunjung 
Sumber : Hasil Pemantauan Bapedalda Provinsi Sumatera Barat, 2013
d.  Sungai Batang Agam
Kota Bukittinggi, Kabupaten Limapuluh Kota dan
Kota Payakumbuh, dan termasuk kepada target
pemantauan dalam Rencana Pencapaian
Sumatera Barat
 Agam dilakukan sebanyak 2 (dua) periode,
mewakili musim hujan dan musim kemarau,
mulai dari hulu rentang hingga hilir, pada 10
(sepuluh) titik pemantauan yang sekaligus
 
 
dengan pembagian BA 1 s/d BA 8 tergolong
Kelas I, sedangkan BA 9 s/d BA 10 tergolong
Kelas II. Pembagian segementasi kelas ini sesuai
dengan Peraturan Gubernur Sumatera Barat
Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penetapan
Klasifikasi Mutu Air Sungai Batang Agam, Batang
Pangian, dan Batang Lembang. Berikut lokasi
dari 10 (sepuluh) titik sampling Batang Agam.
Tabel 2.10. Lokasi Sampling Pemantauan Kualitas Air Sungai Batang Agam
No. Kode
1 2 3 4
1. BA 1 Jorong Sawah Liek, Nagari Batipuah, Kecamatan Sungai Puar
Kabupaten Agam LS: 00°22’55”  BT: 100°22’40,1” 
2. BA 2 Nagari Taluak, Kecamatan Banuhampu
Kabupaten Agam LS: 00°19’28,9”  BT: 100°22’43,1” 
3. BA 3 Kel. Aur Tajungkang Tengah Sawah, Kec. Guguak Panjang
Kota Bukittinggi LS: 00°17’56,8”  BT: 100°22’18,1” 
4. BA 4 Jorong Joho, Nagari Kamang, Kec. Kamang Magek
Kabupaten Agam LS: 00°13’42,8”  BT: 100°25’44,4” 
5. BA 5 Nagari Padang Tarok, Kec. Baso
Kabupaten Agam LS: 00°15’49,5”  BT: 100°32’31,6” 
6. BA 6 Jorong Bumbung, Nagari Situjuh Batu, Kec. Situjuah V Nagari
Kabupaten Limapuluh Kota
7. BA 7 Kel. Balai Panjang, Kec. Payakumbuh Selatan
Kota Payakumbuh LS: 00°15’49,0”  BT: 100°36’53,1” 
8. BA 8 Kel. Ibuh, Kec. Payakumbuh Barat
Kota Payakumbuh LS: 00°13’43,1”  BT: 100°38’14,7” 
9. BA 9 Kel. Payobasuang, Kec. Payakumbuh Timur
Kota Payakumbuh LS: 00°11’59,9”  BT: 100°40’16.9” 
10. BA 10 Jorong Pintu Koto, Nagari Bukit Limbuku, Kecamatan Harau
Kabupaten Limapuluh Kota
Sumber : Bapedalda Provinsi Sumatera Barat, 2013.
 Analisis kualitas air Sungai Batang
 Agam difokuskan pada parameter yang melebihi
baku mutu dengan membandingkan antara dua
periode waktu pemantauan. Pembahasan
  TSS
pemantauan periode I maupun Periode II,
hasil analisisnya masih berada di bawah
Baku Mutu, kecuali untuk pemantauan
Periode II (Juli 2013) di titik BA4 yang di
atas baku mutu.
 
 
II-46
Sumber : Olahan Tabel SD-14 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2013.
  BOD
I hasil analisisnya berada diatas baku mutu,
kecuali untuk titik BA2, BA8 dan BA10
(masih memenuhi baku mutu). Pada
Periode II, hanya di titik BA1 dan BA7 yang
di bawah baku mutu, selebihnya di atas
baku mutu.
Gambar 2.59. HAsil Analisis Parameter BOD Sungai Batang Agam
Sumber : Olahan Tabel SD-14 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2013.
  COD
pemantauan periode I yaitu pada titik BA1,
BA3 s/d BA5 (Kriteria Mutu Air Kelas I).
Pada pemantauan Periode II, yang
memenuhi baku mutu adalah pada titik BA5
dan BA6 (Kriteria Mutu Air Kelas I), dan
pada BA9 dan BA10 masih memenuhi baku
mutu (Kriteria Mutu Air Kelas II).
Gambar 2.60. Hasil Analisis Parameter COD Sungai Batang Agam
 
 
II-47
Sumber : Olahan Tabel SD-14 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2013.
  Phospat
Kelas I maupun Kelas II, semua parameter
berada diatas baku mutu.
Gambar 2.61. Hasil Analisis Parameter Phospat Sungai Batang Agam 
Sumber : Olahan Tabel SD-14 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2013.
  Amoniak
kecuali di titik BA3 dan BA4. Sedangkan
untuk periode II, yang melebihi baku mutu
pada titik BA2 dan BA3.
Gambar 2.62. Hasil Analisis Parameter Amoniak Sungai Batang Agam
Sumber : Olahan Tabel SD-14 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2013.
  Sulfida
pemantauan periode II, nilai parameter
memenuhi baku mutu untuk semua titik
pemantauan.
 
Gambar 2.63. Hasil Analisis Parameter Sulfida Sungai Batang Agam
Sumber : Olahan Tabel SD-14 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2013.
  Besi (Fe)
memenuhi baku mutu.
Gambar 2.64. Hasil Analisis Parameter Besi Sungai Batang Agam 
Sumber : Olahan Tabel SD-14 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2013.
  E. Coli
 
dipersyaratkan, baik untuk kriteria mutu air
sungai Kelas I maupun Kelas II.
Gambar 2.65. Hasil Analisis Parameter E.Coli Sungai Batang Agam 
Sumber : Olahan Tabel SD-14 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2013.
  Total Coliform
baku mutu, kecuali pada titik
pemantauan BA5 (berada di bawah
Baku Mutu kualitas air sungai Kelas II).
Gambar 2.66. Hasil Anasisis Parameter Total Coliform Sungai Batang Agam 
Sumber : Olahan Tabel SD-14 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2013.
2.3.1.4.  Kualitas Air Danau/Waduk/Situ/
 
kualitas air danau di Kota Sawahlunto sangat
dipengaruhi oleh proses permbentukannya
aktifitas penambangan. Berdasarkan hasil
analisis laboratorium yang dilakukan
Kandi dan Danau Tandikek di Kota
Sawahlunto, hanya parameter Sulfida (H2S)
yang berada di atas baku mutu. Untuk di
Kota Pariaman, sampel air pada Talao
Manggung, Talao Pauh dan Talao Karan 
 Aur, kandungan COD melebihi baku mutu.
Demikian juga untuk Embung Pulau Belibis,
Embung Banda Panduang, dan Embung
Telaga Biruhun (ketiganya di Kota Solok),
parameter COD melebihi baku mutu.
Sedangkan untuk Embung Tanjung Paku
dan Telaga Ampang Kualo (Kota Solok),
serta Lubuk Bonta dan Tirta Alami (Kab.
Padang Pariaman), parameternya masih
 Agam, sampling air danau pada lokasi intake
PLTA Danau Maninjau, parameter TSS dan
BOD berada di atas baku mutu. Sedangkan
titik sampling di tengah danau Maninjau,
parameter yang melebihi baku mutu adalah
BOD, fecal coli dan total coli.
Penurunan kualitas air Danau
Maninjau disebabkan oleh pencemaran
posfat yang berasal dari air limbah industri,
penduduk, pertanian dan aktifitas perikanan
KJA (Keramba Jaring Apung). Tingkat
pencemaran danau yang diakibatkan
pencemaran amat sangat berat (hypertrophic
= penyuburan amat sangat berat),
pencemaran berat (eutrophic = penyuburan
(oligotrophic = penyuburan sedang), dan
Tabel 2.11. Parameter yang Melebihi Baku Mutu Beberapa Danau/Telaga/Embung di Sumatera Barat
No Danau/Telaga/Embung Kabupaten/Kota Parameter yang
Melebihi Baku Mutu *
Kota Sawahlunto Sulfida (H2S)
Kota Pariaman COD
3 Embung Pulau Belibis, Embung Banda Panduang, dan Embung Telaga Biruhun
Kota Solok COD
Kota Solok - 
5 Lubuk Bonta dan Tirta Alami Kab. Padang Pariaman - 
6 Danau Maninjau Kab. Agam TSS, BOD, fecal coli dan total coliform
 
 
melebihi baku mutu.
  Parameter BOD5 (Biochemical
Singkarak pada stasiun inlet muara Sungai
Sumani (3,50 mg/L), pasar Ombilin/Dam
Weir PLTA (1,95 mg/L), outlet Intake PLTA
Malalo (2,51 mg/L) dan inlet Sungai Sumpur
(3,18 mg/L)). Hasil pengukuran BOD di
perairan Danau Maninjau pada stasiun
sekitar Hotel Tandirih kadar BOD (2,74
mg/L), lokasi KJA di Jorong Pakan Rabaa
Nagari Koto Kaciek (3,50 mg/L), outlet
Intake PLTA Maninjau di Jorong Muko-Moko
(2,60 mg/L) dan lokasi yang jarang KJA di
Sigiran (2,95 mg/L).
BOD5 menunjukkan peningkatan konsumsi
nilai BOD berkisar antara 0,5-0,7 mg/L,
perairan dengan nilai BOD mencapai 10
mg/L dianggap telah mengalami
 Air Kelas 3 menurut Peraturan Pemerintah
Nomor 82 Tahun 2001 adalah minimal 6
mg/l. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa kondisi perairan danau Singkarak dan
Maninjau kurang mendukung untuk
perikanan, terutama untuk kegiatan
apung.
Singkarak pada stasiun inlet muara sungai
Sumani (43,26 mg/L), Pasar Ombilin/Dam
Weir PLTA (5,25 mg/L), outlet Intake PLTA
Malalo (9,49 mg/L) dan inlet Sungai Sumpur
(27,20 mg/L). Sedangkan hasil pengukuran
COD di perairan Danau Maninjau pada
stasiun sekitar Hotel Tandirih kadar BOD
(16,07 mg/L), lokasi KJA di Jorong Pakan
Rabaa Nagari Koto Kaciek (47,82 mg/L),
outlet Intake PLTA Maninjau di Jorong Muko-
Moko (8,94 mg/L) dan lokasi yang jarang
KJA di Sigiran (24,05 mg/L).
Berdasarkan kepada kriteria nilai COD,
bahwa di stasiun inlet Singkarak di muara
Sungai Sumani nilai COD 43,26 mg/L, maka
perairan tersebut dianggap sudah tercemar.
Demikian juga dengan perairan Danau
Maninjau terutama pada lokasi KJA perairan
sudah tercemar. Hal ini dapat disebabkan
pakan yang tidak termakan oleh ikan dan
hasil eksresi akan meningkatkan kadar
bahan organik di perairan. Dekomposisi
bahan organik menyebabkan peningkatan
menurunkan kadar oksigen terlarut (DO) dan
melepaskan unsur N dan P.
2)  Danau Dibawah dan Danau Diatas
 
 
dengan nilai BOD 10 mg/l dianggap telah
mengalami pencemaran. Hasil pengukuran
untuk kepentingan perikanan Baku Mutu
Kualitas Air Kelas 3 menurut Peraturan
Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 adalah
minimal 6 mg/l. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa kondisi perairan Batang
Danau Kembar kurang mendukung untuk
perikanan.
Diatas berkisar antara 6,34-20,11 mg/L dan
Danau Dibawah berkisar antara 22,40-26,81
mg/L. Kisaran tersebut mengindikasikan
kecil dari 20 mg/l, pada perairan tercemar
dapat melebihi 200 mg/l dan perairan yang
terkena limbah industri COD-nya dapat
mencapai 60.000 mg/l. Sedangkan menurut
NTAC (National Threat Assessment Centre),
kandungan CO2  bebas lebih dari 25 mg/l
sudah membahayakan kehidupan ikan.
2.3.1.5.  Kualitas Air Sumur
dipengaruhi aktifitas domestik. Di samping itu,
aktifitas manusia lainnya seperti
pertanian/perkebunan, peternakan, industri dan
pertambangan, juga dapat mempengaruhi
kandungan mineral bebatuan dan tanah, juga
turut andil mempengaruhi kualitas air sumur.
Dinas Energi Sumber Daya Mineral
(ESDM) Provinsi Sumatera Barat pada tahun
2013 melakukan pemantauan kualitas air sumur
di 6 (enam) kabupaten di Sumatera Barat. Dari
hasil analisis laboratorium, diperoleh data bahwa
dari semua parameter uji pemantauan, hanya
parameter Fe (besi)  yang terindikasi berada di
atas baku mutu (Peraturan Menteri Kesehatan
No. 416 Tahun 1990 tentang Syarat-syarat dan
Pengawasan Kualitas Air), antara lain di
Kabupaten Padang Pariaman (pada semua titik
sampling), Kabupaten Agam (pada 4 titik dari 10
titik lokasi sampling), Kabupaten Tanah Datar
(pada 2 titik dari 8 titik lokasi sampling),
Kabupaten Limapuluh Kota (pada 5 titik dari 8
titik lokasi sampling), Kabupaten Pesisir Selatan
(pada 1 titik dari 8 titik lokasi sampling),
Kabupaten Solok (pada 2 titik dari 8 titik lokasi
sampling), Kabupaten Sijunjung (pada 4 titik dari
8 titik lokasi sampling), Kabupaten Dharmasraya
(pada 2 titik dari 10 titik lokasi sampling).
(Sumber: olahan data Tabel SD-16 Buku Data
SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2013) 
2.3.2.  Bahasan Khusus
Sumatera Barat adalah masalah pencemaran
sungai dimana terdapatnya kandungan Merkuri
(Hg) pada Sungai Batang Hari, sebagai akibat
aktifitas pertambangan emas illegal (PETI). Dari
pemantauan tahun 2008 hingga tahun 2013
 
 
Kandungan merkuri mengalami
2013 rata-rata kandungan Hg sedikit berada di
atas baku mutu. Kandungan rata-rata Hg dari
tahun 2008 – 2013 dapat dilihat pada Tabel 2.12.
Gambar 2.67. Hasil Analisis Parameter Merkuri (Hg) Sungai Batang Hari Tahun 2008 – 2013
 
Tabel 2.12. Rata-Rata Kandungan Hg pada Sungai Batang Hari Tahun 2008 – 2013
No  Tahun  Kandungan Hg Rata-rata 
(mg/L) 
Sumber : Olahan Data Pemantauan Kualitas Air Sungai Skala Nasional, Bapedalda Provinsi Sumatera Barat, 2013
2.3.2.2. Indek Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) Air
Dengan mengacu kepada Keputusan
Mutu Air, dilakukan perhitungan IKLH air Sungai
Batang Hari, Batang Kampar, Batang Kuantan
pada segmen Sumatera Barat, serta Batang
 Agam yang dapat dilihat pada Tabel 2.13 berikut.
 
 
II-54
Tabel 2.13. Indeks Kualitas Air Sungai Batang Hari, Batang Kampar, Batang Kuantan dan Batang Agam Tahun 2013
NO PARAMETER INDEKS KUALITAS LINGKUNGAN HIDUP
BATANG HARI BATANG KAMPAR BATANG KUANTAN BATANG AGAM
1 Hulu
TSS Memenuhi Baku Mutu Memenuhi Baku Mutu Cemar Ringan Memenuhi Baku Mutu
DO Memenuhi Baku Mutu Memenuhi Baku Mutu Memenuhi Baku Mutu
Memenuhi Baku Mutu
Memenuhi Baku Mutu
BOD Memenuhi Baku Mutu Memenuhi Baku Mutu Cemar Ringan Memenuhi Baku Mutu
Fosfat Cemar Ringan Cemar Ringan Cemar Ringan Cemar Ringan
Fecal Coli Cemar Berat Cemar Berat Cemar Ringan Cemar Ringan
Total Coliform Cemar Sedang Cemar Berat Cemar Ringan Cemar Ringan
2 Rentang
TSS 87,5 % Cemar Ringan 72% Cemar ringan Memenuhi baku mutu
87,5% Memenuhi baku mutu
DO Memenuhi Baku Mutu Memenuhi baku mutu Memenuhi baku mutu
Memenuhi baku mutu
72% Memenuhi baku mutu
75% Memenuhi baku mutu
63% Memenuhi baku mutu
Fosfat Cemar ringan Cemar ringan 75% Cemar ringan 87,5% Cemar ringan
Fecal Coli 50% Cemar berat Cemar berat 75% Cemar ringan 50% Cemar ringan
Total Coliform 75% Cemar ringan 86% Cemar berat 63% Memenuhi baku mutu
37,5% Memenuhi baku mutu
Memenuhi Baku Mutu
DO Memenuhi Baku Mutu Memenuhi Baku Mutu Memenuhi Baku Mutu
Memenuhi Baku Mutu
COD Memenuhi Baku Mutu Memenuhi Baku Mutu Memenuhi Baku Mutu
Memenuhi Baku Mutu
BOD Memenuhi Baku Mutu Memenuhi Baku Mutu Memenuhi Baku Mutu
Memenuhi Baku Mutu
Cemar Ringan
Fecal Coli Cemar Sedang Cemat Berat Cemar Ringan Cemar Ringan
Total Coliform Cemar Ringan Cemar Berat Memenuhi Baku Mutu
Memenuhi Baku Mutu
Keterangan : Rentang terdiri dari 8 titik sampling   Sumber : Olahan Tabel SD-14 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2013.
2.4.  KUALITAS UDARA AMBIEN 
Kualitas udara sangat berhubungan
kegiatan pembangunan. Untuk menjelaskan
analisis dilakukan dengan pendekatan :
berdasarkan hasil pemantauan kualitas
2.  Daerah yang dipantau adalah 13 daerah
target Standar Pelayanan Minimal
(SPM) Bidang Lingkungan Hidup.
 
Lingkungan Hidup.
pendekatan analisis statistik yang
analisis perbandingan antar lokasi dan baku
mutu. Sementara kecendrungan perubahan
tertentu.
Ambien
pantau Depan UKM Center, Kota Payakumbuh
dan Depan Mesjid Nurul Iman, Kota Padang
Panjang kandungan NO  telah melewati batas
baku mutu yang telah ditetapkan PP No. 41
tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran
Udara yaitu masing-masing sebesar 1.725
µg/Nm³ dan 1.014 µg/Nm³ dengan baku mutu
150 µg/Nm³. Dibandingkan tahun 2012, rata-rata
kualitas udara ambient di Sumatera Barat
cenderung mengalami perbaikan terutama untuk
parameter PM, TSP dan CO.
Hasil analisis laboratorium menunjukkan
(lima) diantaranya yaitu SO, CO, O, TSP dan
PM nilainya masih berada di bawah baku mutu.
Namun patut diwaspadai terutama untuk titik
Simpang Rumbio, Kota Solok dimana untuk
parameter CO dan TSP nilainya hampir
mendekati batas baku mutu yaitu untuk CO 9.526
µg/Nm³ dengan baku mutu 10.000 µg/Nm³ dan
TSP 215 µg/Nm³ dengan baku mutu 230
µg/Nm³. Demikian juga untuk titik depan
Terminal Aur Kuning, Kota Bukittinggi dimana
nilai CO di Kota Bukittinggi juga hampir
mendekati batas baku mutu yaitu 9.096 µg/Nm³
(baku mutu: 10.000 µg/Nm³) dan titik depan
Taman Segitiga, Kota Sawahlunto dengan
kandungan TSP yang hampir mendekati batas
baku mutu yaitu 215 µg/Nm³ (baku mutu: 230
µg/Nm³). Sementara itu untuk titik pantau Depan
UKM Center, Kota Payakumbuh dan Depan
Mesjid Nurul Iman, Kota Padang Panjang
kandungan NO  telah melewati batas baku mutu
yaitu masing-masing sebesar 1.725 µg/Nm³ dan
1.014 µg/Nm³ dengan baku mutu 150
µg/Nm³.Hal ini dapat dilihat jelas pada Gambar
2.68. 
(NO) pada titik sampel adalah emisi gas
buang kendaraan bermotor mengingat lokasi
merupakan daerah padat lalu lintas, dimana
pada jam-jam sibuk seperti pagi dan sore
hari kerap terjadi antrian kendaraan
bermotor. Nilai terendah ditemui di Depan
Taman Segitiga, Kota Sawahlunto dengan
nilai 9 µg/Nm³.
  di Kabupaten/Kota Tahun 2013
 
II-56
Sumber :Olahan Tabel SD-18, Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2013.
Gambar 2.69. Hasil Analisis Parameter Parameter SO  di Kabupaten/Kota Tahun 2013
Sumber :Olahan Tabel SD-18, Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2013.
Kandungan SO  tertinggi ditemui
pada titik Simpang Rumbio Kota Solok
dengan nilai 108,4 µg/Nm³ namun masih
berada di bawah baku mutu yaitu 365
µg/Nm³ diikuti pada titik Depan Pustu Ulu
Gadut, Kota Padang sebesar 95 µg/Nm³ dan
Depan Terminal Lubuk Alung, Kabupaten
Padang Pariaman dengan nilai 94,89
µg/Nm³. Sementara itu nilai SO  terendah
ditemui di titik Depan Taman Segitiga, Kota
Sawahlunto dengan nilai 17,7 µg/Nm³.
Untuk kadar CO tertinggi ditemui di
titik Depan Kantor Lurah Tanjung Saba
Pitameh, Kota Padang diikuti di Depan
Terminal Aur Kuning, Kota Bukittinggi
dengan nilai mendekati batas baku mutu
yaitu masing-masing 9.526 µg/Nm³ dan
 
 
Depan Mesjid Nurul Iman, Kota Padang
Panjang yaitu sebesar 36,86 µg/Nm³ dapat
dilihat sebagaimana Gambar 2.70.
Gambar 2.70. Hasil Analisis Parameter CO di Kabupaten/Kota Tahun 2013
Sumber :Olahan Tabel SD-18, Buku SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2013.
Kandungan O tertinggi ditemui pada
titik Depan Pustu Ulu Gadut, Kota Padang
dengan nilai 108,8 µg/Nm³ dan nilai
terendah pada titik Depan Kantor Wali
Nagari Sungai Antuan Mungka, Kabupaten
Limapuluh Kota sebesar 36,29 µg/Nm³,
dengan baku mutu 235 µg/Nm³
sebagaimana dapat dilihat pada Gambar
2.71.
 
 
Sumber :Olahan Tabel SD-18, Buku SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2013.
Untuk parameter TSP kandungan
dan Depan Taman Segitiga, Kota
Sawahlunto dengan nilai 215 µg/Nm³ dan
hampir mendekati batas baku mutu yaitu 230
µg/Nm³. Sementara kandungan terendah
diperoleh pada titik Depan PDAM Painan,
Kabupaten Pesisir Selatan yaitu 63 µg/Nm³
sebagaimana dapat dilihat pada Gambar
2.72. 
Sumber :Olahan Tabel SD-18, Buku SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2013.
Dari 3 (tiga) titik sampel pengukuran
PM, nilai tertinggi ditemui pada titik Depan
Mesjid Al Munawarah Siteba, Kota Padang
yaitu 58,79 µg/Nm³ sementara nilai terendah
 
 
 Antuan Mungka, Kabupaten Limapuluh Kota
sebesar 15,89 µg/Nm³ dapat dilihat pada
Gambar 2.73.
di Kabupaten/Kota Tahun 2013
Sumber :Olahan Tabel SD-18, Buku SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2013.
Dari hasil pengamatan lapangan,
kendaraan bermotor. Disamping itu diperoleh
informasi bahwa masih ditemuinya
pembakaran sampah oleh masyarakat.
udara di sekitar lokasi pemantauan.
2.4.2.  Analisis Kualitas Udara Ambien
Perbandingan Antar Lokasi dan Antar
Waktu
nilai rata-rata PM pada 3 (tiga) titik pantau
di Sumatera Barat di tahun 2013 mengalami
penurunan (terjadi perbaikan kualitas udara
ambien untuk parameter PM) yaitu dari
rata-rata 80,78 µg/Nm³ dan 56,57 µg/Nm³
menjadi 37,45 µg/Nm³. Namun lebih tinggi
 jika dibandingkan dengan data tahun 2010
yaitu 17,62 µg/Nm³.
penurunan nilai PM  lebih besar
dibandingkan lokasi lain yaitu sebesar 65
µg/Nm³. Sebaliknya untuk lokasi Pustu Ulu
Gadut, Padang, jika dibandingkan dengan
data tahun 2012 yang lalu, terjadi
peningkatan kadar PM  sebesar 9,67
µg/Nm³, namun masih berada dibawah baku
mutu yang telah ditetapkan (baku mutu
PM: 150 µg/Nm³). Sementara untuk titik
Depan Mesjid Al Munawarah Siteba,
Padang, dibandingkan tahun 2012 yang lalu
terjadi penurunan kadar PM sebesar 2,02
 
 
II-60
µg/Nm³ pada tahun 2013. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2.74.
Gambar 2.74. Perbandingan Kualitas Udara Ambien Provinsi Sumatera Barat Parameter PM
 
Sumber :Olahan Tabel SD-18, Buku SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2013.
  Parameter Debu (TSP)
terakhir terjadi penurunan rata-rata kadar
TSP yaitu 185,78 µg/Nm³ di tahun 2010
menjadi 168,65 µg/Nm³ di tahun 2011 dan
pada tahun 2012 mengalami sedikit
peningkatan menjadi 182,41 µg/Nm³ dan
kembali turun pada tahun 2013 menjadi
150,62 µg/Nm³. Dibandingkan tahun 2012
terjadi kenaikan kadar TSP udara ambien
pada beberapa titik pantau yaitu di Depan
Pustu Ulu Gadut Padang, Lapangan
Merdeka Pariaman, Simpang Padang Luar
Kabupaten. Agam, Depan UKM Center
Payakumbuh dan Simpang Rumbio Solok.
Kenaikan nilai TSP tertinggi tahun 2013
diperoleh pada Simpang Rumbio Solok yaitu
sebesar 43,1 µg/Nm³ jika dibandingkan
tahun 2012 lalu, namun masih dibawah
batas baku mutu yang telah ditetapkan (baku
mutu TSP: 230 µg/Nm³).
Sementara itu penurunan nilai TSP
tertinggi dibandingkan tahun 2012 lalu
diperoleh pada titik Simpang Empat Padang
Panjang dan Depan Terminal Aur Kuning
Bukittinggi yaitu masing-masing sebesar 176
µg/Nm³ dan 165,52 µg/Nm³. Hal ini
menyebabkan kadar TSP pada masing-
masing lokasi turun menjadi dibawah baku
mutu yang telah ditetapkan, dimana pada
tahun 2012 yang lalu nilainya telah melewati
batas baku mutu yang telah ditetapkan.
Lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar
2.75.
 
 
Sumber :Olahan Tabel SD-18, Buku SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2013.
  Parameter CO
pada beberapa titik pantau tahun 2013
mengalami penurunan dibandingkan tahun
2012, namun mengalami peningkatan
Dibandingkan tahun 2012, hasil pemantauan
untuk parameter CO pada tahun 2013 terjadi
penurunan kadar CO pada 8 (delapan) titik
yaitu Tanjung Saba Lubuk Begalung
Padang, Puskesmas Ulu Gadut Padang,
Nagari Sei Antuan Muko Kabupaten
Limapuluh Kota, Depan PDAM Painan
Kabupaten Pesisir Selatan, Simpang Padang
Panjang, Terminal Aur Kuning Bukittinggi,
Depan UKM Center Payakumbuh dan
Simpang Rumbio, Solok. Namun untuk titik
Tanjung Saba Lubeg Padang dan Terminal
 Aur Kuning Bukittinggi patut diwaspadai
karena kadar CO pada lokasi mendekati
batas baku mutu yang telah ditetapkan.
 
 
Sumber :Olahan Tabel SD-18, Buku SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2013.
Penurunan kadar CO tertinggi
Panjang yaitu sebesar 12.577,1 µg/Nm³ dan
menjadikan kandungan CO pada titik ini
yang sebelumnya berada diatas baku mutu
menjadi dib awah batas baku mutu yang
telah ditetapkan. Sementara itu kenaikan
nilai CO terjadi pada titik Depan Mesjid Al
Munawarah Siteba Padang, Lapangan
Kabupaten.Padang Pariaman dan Simpang
tertinggi terjadi pada titik Terminal Lubuk
 Alung Kabupaten Padang Pariaman yaitu
sebesar 3.797 µg/Nm³, namun nilainya
masih berada dibawah batas baku mutu
yang telah ditetapkan yaitu 10.000 µg/Nm³
sebagiamana gambar 2.76.
  Parameter O 
Sumatera Barat mengalami peningkatan jika
dibandingkan data yang diperoleh pada
tahun 2012 namun mengalami penurunan
 jika dibandingkan dengan data tahun 2010
dan 2011. Hasil pemantauan kualitas udara
ambien parameter O  terhadap 15 (lima
belas) titik pantau menunjukkan bahwa di
tahun 2013 kenaikan nilai O  tertinggi
berada di Depan Terminal Lubuk Alung
Kabupaten Padang Pariaman yaitu sebesar
59,1 µg/Nm³, diikuti Depan UKM Center
Payakumbuh; Simpang Padang Panjang;
 
 
masing sebesar 51 µg/Nm³; 46,2 µg/Nm³;
14,37 µg/Nm³; 4,03 µg/Nm³; 3,84 µg/Nm³
dan 3 µg/Nm³.
titik Sei Antuan Mungka Kabupaten Lima
Puluh Kota, diikuti Puskesmas Ulu Gadut
Padang, Simpang Rumbio Solok, Depan
Mesjid Al Munawarah Siteba Padang, dan
Tanjung Saba Pitameh Lubeg Padang
dengan nilai penurunan masing-masing
µg/Nm³; 8,07 µg/Nm³ dan 7,38 µg/Nm³
sebagaimana Gambar 2.77.
Gambar 2.77. Perbandingan Hasil Analisis Parameter O di Beberapa Lokasi Tahun 2010 – 2013
Sumber : Olahan Tabel SD-18 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2013.  
2.4.3.  Indeks Kualitas Udara
Penghitungan Indeks Kualitas Udara)
Kota Padang sebanyak 3 (tiga) lokasi/titik
mewakili kawasan padat lalu lintas, industri
dan permukiman; Kota Bukittinggi sebanyak
1 (satu) lokasi/titik mewakili kawasan padat
lalu lintas; Kota Payakumbuh sebanyak 1
(satu) lokasi/titik mewakili kawasan padat
lalu lintas; Kota Solok sebanyak 1 (satu)
lokasi/titik mewakili kawasan padat lalu
lintas; Kota Pariaman sebanyak 1 (satu)
lokasi/titik mewakili kawasan padat lalu
lintas; Kota Padang Panjang sebanyak 1
 
 
lalu lintas; Kota Sawahlunto sebanyak 1
(satu) lokasi/titik mewakili kawasan padat
lalu lintas; Kabupaten Padang Pariaman
sebanyak 1 (satu) lokasi/titik mewakili
kawasan padat lalu lintas; Kabupaten Agam
sebanyak 1 (satu) lokasi/titik mewakili
kawasan padat lalu lintas; Kabupaten
Pasaman Barat sebanyak 1 (satu) lokasi/titik
mewakili kawasan padat lalu lintas;
Kabupaten Lima Puluh Kota sebanyak 1
(satu) lokasi/titik mewakili kawasan
pemukiman; Kabupaten Pesisir Selatan
kawasan padat lalu lintas dan Kabupaten
Dharmasraya sebanyak 1 (satu) lokasi/titik
mewakili kawasan padat lalu lintas.
Gambar 2.78. Indeks Kualitas Udara di Bebeapa Lokasi Tahun 2013
Sumber :Olahan Tabel SD-18, Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2013.  
Dari Gambar 2.78. dapat dilihat
bahwa secara umum nilai Indeks Kualitas
Udara di Provinsi Sumatera Barat rata-rata
diatas nilai 90 dan hampir mendekati 100.
Hal tersebut menggambarkan bahwa
tergolong baik. Namun untuk titik di Simpang
Padang Panjang dan Depan UKM Center
Kota Payakumbuh nilainya termasuk kurang
hal ini disebabkan tingginya kandungan NO 
pada kedua lokasi dan nilainya telah
melewati batas baku mutu yang telah
ditetapkan.
kendaraan bermotor mengingat lokasi
pada jam-jam sibuk seperti pagi dan sore
 
 
bermotor pada lokasi.
(lima) Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera
Barat yaitu Kota Padang, Kabupaten Pesisir
Selatan, Kabupaten Padang Pariaman,
Kabupaten Dharmasraya dan Kabupaten
diketahui bahwa pH air hujan di Kota Padang
pada tahun 2013 rata-rata bernilai 6,62;
Kabupaten Padang Pariaman 8,4;
Dharmasraya 6,78. Nilai pH air hujan pada
masing-masing lokasi masih berada pada
range baku mutu berdasarkan Permenkes
No.416/MenKes/Per/IX/1990 tentang Syarat-
dimana baku mutu untuk ph berkisar 5,5 – 
9,0 dapat dilihat sebagaimana Gambar 2.79.
Gambar 2.79. Perbandingan Nilai pH Air Hujan pada 5 (Lima) Kabupaten/Kota Tahun 2013
Sumber : Olahan Tabel SD-24 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2013.
Disamping nilai pH, nilai DHL air
hujan Kabupaten Padang Pariaman juga
lebih tinggi dibandingkan nilai DHL daerah
lain yaitu 168,6 mmhos/em, diikuti
Kabupaten Tanah Datar 9,9 mmhos/em,
Kabupaten Pesisir Selatan 8,36 mmhos/em,
Kota Padang 0,048 mmhos/em dan
Kabupaten Dharmasraya 0,014 mmhos/em
sebagaimana Gambar 2.80.
 
 
II-66
Sumber  : Olahan Tabel SD-24, Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2013.
Nilai SO  air hujan untuk Kota
Padang rata-rata 25,12 mg/L dan lebih tinggi
dibandingkan daerah lain. Sementara itu nilai
terendah diperoleh di Kabupaten Padang
Pariaman yaitu 5,34 mg/L. Untuk Kabupaten
Tanah Datar nilai SO air hujan rata-rata 10
mg/L, Kabupaten Pesisir Selatan 16,5 mg/L
dan Kabupaten Dharmasraya rata-rata 9,32
mg/L. Nilai SO pada masing-masing daerah
masih berada di bawah baku mutu yaitu 400
mg/L dapat dilihat sebagaiman Gambar 2.81. 
Gambar 2.81. Perbandingan Nilai SO Air Hujan di 5 (Lima) Kabupaten/Kota Tahun 2013
Sumber  : Olahan Tabel SD-24 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2013.
Pengukuran NO air hujan dilakukan
pada 4 (empat) kabupaten/kota yaitu Kota
Padang, Kabupaten Tanah Datar,
 
 
Padang lebih tinggi dibandingkan tiga daerah
lainnya yaitu 16 mg/L, diikuti Kabupaten
Tanah Datar 0,5 mg/L, Kabupaten Pesisir
Selatan 0,45 mg/L dan Kabupaten
Dharmasraya rata-rata berjumlah 0,032 mg/l
sebagaimana Gambar 2.82.

 Air Hujan di 4 (Empat) Kabupaten/Kota Tahun 2013
Sumber  : Olahan Tabel SD-24, Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2013.
Nilai Cr untuk 3 (tiga) kabupaten/kota
di Sumatera Barat masih berada dibawah
baku mutu berdasarkan Permenkes
hujannya rata-rata 0,01 mg/L, sedangkan
untuk Kabupaten Padang Pariaman
Kabupaten Dharmasraya rata-rata 0,002
2.83.
  Gambar 2.83.
Perbandingan Nilai Cr Air Hujan di 3 (Tiga) Kabupaten/Kota Tahun 2013
Sumber  : Olahan Tabel SD-24, Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2013.
Berdasarkan data yang diperoleh
untuk nilai Ca²+air hujan pada 3 (tiga) daerah
yang dipantau telah melewati batas baku
mutu berdasarkan Permenkes
 
air hujan tertinggi diperoleh di Kabupaten
Padang Pariaman yaitu sebesar 36 mg/L.
Hal ini diperkirakan mempengaruhi nilai pH
air hujan di Kabupaten Padang Pariaman,
dimana dengan tingginya kandungan Ca²+ 
menyebabkan nilai pH air hujan di
Kabupaten Padang Pariaman lebih tinggi
dibandingkan daerah lainnya. Sementara itu
untuk Kota Padang dan Kabupaten
Dharmasraya nilai rata-rata Ca²+  masing-
masing berjumlah 0,5 mg/L dan 0,83 mg/L
sebagaimana Gambar 2.84. berikut
  Gambar 2.84.
Perbandingan Nilai Ca²+ Air Hujan di 3 (Tiga) Kabupaten/Kota Tahun 2013
Sumber : Olahan Tabel SD-24, Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2013.
Dari 3 (tiga) daerah yang dipantau
kadar Mg²+nya, air hujan Kota Padang rata-
rata memiliki kadar Mg²+sebesar <0,23 mg/L
dan lebih tinggi dibandingkan 2 (dua) daerah
lainnya, yaitu Kabupaten Dharmasraya rata-
rata sebesar < 0,1 mg/L dan Kabupaten
Padang Pariaman berjumlah <0,01 mg/L
sebagaimana Gambar 2.85.
 
 
II-69
Sumber  : Olahan Tabel SD-24 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2013.
Pengukuran kandungan NH  air
hujan dilakukan pada 2 (dua) daerah yaitu
Kota Padang dan Kabupaten Dharmasraya.
Kadar rata-rata NH 
sementara di Kota Padang berjumlah 0,035
mg/L sebagaimana Gambar 2.86. berikut
Gambar 2.86. Perbandingan Nilai NH

 Air Hujan di 2 (Dua) Kabupaten/Kota Tahun 2013 
 
 
Kabupaten Pesisir Selatan hingga Kab.
Pasaman Barat dan Kabupaten Kepulauan
Mentawai. Garis pantai yang cukup panjang
selain dari Kabupaten Kepulauan Mentawai
adalah Kabupaten Pesisir Selatan dan diikuti
oleh Kabupaten Pasaman Barat, sedangkan
yang terpendek adalah garis pantai
Kabupaten Agam.
adalah :
Pesisir Selatan.
Padang.
kecamatan untuk membantu upaya
penyelamatan lingkungan. Analisis juga
lokasi dan baku mutu, khusus untuk kualitas
air.
Karang 
Selatan di Kecamatan Sutera pada tahun
2012 wilayah yang rusak mencapai 953,51
Ha dan pada tahun 2013 mengalami
penurunan menjadi 610,45 Ha, diikuti oleh
Kabupaten Padang Pariaman di Kec. Batang
 Anai dengan luas wilayah terumbu karang
yang rusak pada tahun 2013 mencapai 314
Ha. Pada tahun 2012 di Kota Padang
khususnya Pulau Bindalang luas wilayah
terumbu karang yang rusak mencapai
30,096 Ha dan pada tahun 2013 mengalami
penurunan menjadi 7,10 Ha sedangkan
untuk Kabupaten Agam di Kecamatan
Tanjung Mutiara pada tahun 2012 wilayah
terumbu karang yang rusak seluas 16,20 Ha
dan pada tahun berikutnya mengalami
kenaikan menjadi 33,00 Ha.
 
Gambar 2.87.Lokasi Terluas Kerusakan Terumbu Karang di 4 (empat) Kabupaten/Kota
Sumbar : Olahan Tabel SD-19A Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2013
Tutupan terumbu karang terluas
sebesar 61.042 Ha dengan luas 30,91 %
berada dalam kondisi sangat baik, 10,17 %
dalam kondisi baik, 26,50 % dalam kondisi
sedang dan sisanya 32,40 % berada dalam
keadaan rusak. Untuk Kota Padang luas
tutupan terumbu karang sebesar 153,10 Ha
dengan 28,4 % diantaranya dalam keadaan
rusak. Luas tutupan terumbu karang di Kota
Pariaman sebesar 39,5 Ha dengan 51%
diantaranya dalam kondisi baik dan 44,50
dalam kondisi sedang. Kabupaten Padang
Pariaman memiliki luas tutupan terumbu
karang 55,60 Ha dan 91,70% diantaranya
mengalami kerusakan sedangkan di
karang 33 Ha dan hampir seluruhnya
mengalami kerusakan. Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat pada Gambar 2.8 berikut.  
Gambar 2.88. Luas Tutupan dan Kondisi Terumbu Karang
 
 
Sumatera Barat memiliki luas 33.811,59 Ha
dengan kondisi 5,34% dalam kondisi sangat
baik, 10,54 dalam kondisi baik, 24,92 dalam
kondisi sedang dan 59,16 % diantaranya
dalam kondisi rusak sebagaimana dapat
dilihat pada Gambar 2.89. Rusaknya
terumbu karang di Sumatera Barat patut
menjadi perhatian serius bagi pemerintah
daerah setempat dan perlunya pengawasan
ke depannya terutama yang disebabkan oleh
pemanfaatan hasil laut yang tidak ramah
lingkungan seperti penangkapan ikan
galian secara illegal terutama pasir, batu dan
kerikil (sirtukil).
Gambar 2.89. Persentase Luas Terumbu Karang Sumatera Barat
Sumber : Olahan Tabel SD-19.A Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2013.
2.5.2.  Luas dan Kerusakan Padang Lamun
Padang Lamun adalah ekosistem
yang berhubungan dengan daratan dan
ekosistem terumbu karang yang
kehidupan darat maupun laut yang
merupakan mata rantai bagi kehidupan
akuatik. Karena itu, merusak dan
menghilangkan padang lamun berarti akan
memutus mata rantai kehidupan.
Ekosistem padang lamun juga
merupakan daerah pemijahan (spawning
gound ), pengasuhan (nursery graound ),
bagi biota laut lainnya. Padang lamun juga
merupakan indikator biologis di perairan
yang tercemar logam berat. Gambar 2.90
berikut menggambarkan kerusakan padang
 
 
Gambar 2.90 Luas dan Kerusakan Padang Lamun
Sumber : Olahan Tabel SD-20 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2013.
Seperti terlihat pada Gambar 2.90,
luas tutupan padang lamun tertinggi terdapat
di Kabupaten Kepulauan Mentawai seluas
35.218 Ha diikuti oleh Kabupaten Pesisir
Selatan dan kemudian Kota Padang.
Sementara kerusakan yang diketahui
padang lamun di Kabupaten Pesisir Selatan
terutama disebabkan oleh aktifitas
padang lamun tersebut.
Mangrove
proteksi terhadap abrasi, pengendali intrusi air
laut, mengurangi tiupan angin kencang,
mengurangi tinggi dan kecepatan arus
gelombang, rekreasi dan pembersih air dari
polutan. Fungsi- fungsi tersebut akan terus
berlanjut kalau keberadaan ekosistem mangrove
dapat dipertahankan.
bahwa dari segi luas tutupsn mangrove, Kota
Padang berada di peringkat paling atas
diikuti oleh Kabupaten Pesisir Selatan,
Kabupaten Agam dan terakhir Kota
Pariaman. Sedangkan dari kerapatan pohon,
Kota Pariaman memiliki ekosistem mangrove
yang paling tinggi kerapatan pohonnya.
 
 
Gambar 2.91. Luas dan Kerapatan Tutupan Mangrove
Sumber : Olahan Tabel SD-20 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2013.
2.5.4.  Kualitas Air Laut
industri maupun pariwisata sebagian besar
diantaranya bermuara di laut, tidak hanya
limbah domestik dari pemukiman
kegiatan pariwisata di daerah pesisir laut
 juga turut berkontribusi mencemari wilayah
pantai, sementara itu limbah cair maupun
padat yang berasal dari aktivitas kapal turut
memperparah kondisi perairan laut, terutama
di daerah pelabuhan. Berikut dapat kita lihat
data kualitas air laut dari beberapa lokasi
titik sampel :
Padang, merupakan salah satu pelabuhan
teramai yang berada dibawah wilayah
operasional Pelindo II dan menjadi pintu
gerbang perekonomian Indonesia bagian
berbagai kapal laut, baik itu kapal barang,
kapal penumpang, kapal nelayan dan lain-
lain.
Bayur dilakukan pada 2 (dua) titik yaitu
dengan jarak 50 m dari pelabuhan dengan
koordinat 00°59’57,1” Lintang Selatan dan
100°22’24,2” Bujur Timur serta 100 m dari
pelabuhan dengan koordinat 01°00’23,6”
Lintang Selatan dan 100°22’48,2” Bujur
Timur. Saat pengambilan sampel cuaca
cerah dan kondisi air