10E00135

89
Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010. ANALISIS SOSIOLOGIS TERHADAP KEHIDUPAN GEISHA DALAM NOVEL THE DEMON IN THE TEA HOUSE KARYA DOROTHY & THOMAS HOOBLER DOROTHY & THOMAS HOOBLER NO SAKUHIN “THE DEMON IN THE TEA HOUSE” TO IU SHOUSETSU NO GEISHA NO SEIKATSU O SHAKAI GAKU TEKI NA BUNSEKI NI TSUITE SKRIPSI Skripsi ini diajukan kepapada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang. OLEH : AISYAH NIM : 050708001 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA PROGRAM STUDI S-1 SASTRA JEPANG MEDAN 2009

description

FPG Data

Transcript of 10E00135

  • Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

    ANALISIS SOSIOLOGIS TERHADAP KEHIDUPAN GEISHA DALAM NOVEL THE DEMON IN THE TEA HOUSE KARYA DOROTHY &

    THOMAS HOOBLER

    DOROTHY & THOMAS HOOBLER NO SAKUHIN THE DEMON IN THE TEA HOUSE TO IU SHOUSETSU NO GEISHA NO SEIKATSU O SHAKAI

    GAKU TEKI NA BUNSEKI NI TSUITE

    SKRIPSI Skripsi ini diajukan kepapada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang.

    OLEH :

    AISYAH NIM : 050708001

    UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA

    PROGRAM STUDI S-1 SASTRA JEPANG MEDAN

    2009

  • Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

    ANALISIS SOSIOLOGIS TERHADAP KEHIDUPAN GEISHA DALAM

    NOVEL THE DEMON IN THE TEA HOUSE KARYA DOROTHY & THOMAS HOOBLER

    DOROTHY & THOMAS HOOBLER NO SAKUHIN THE DEMON IN THE TEA HOUSE TO IU SHOUSETSU NO GEISHA NO SEIKATSU O SHAKAI

    GAKU TEKI NA BUNSEKI NI TSUITE

    SKRIPSI Skripsi ini diajukan kepapada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang.

    OLEH :

    AISYAH NIM : 050708001

    Pembimbing I Pembimbing II Drs. Eman Kusdiyana, M,Hum

    Prof. Drs. Hamzon Situmorang, M.S.Ph.D NIP.19600919 198803 1 001 NIP. 19580704 198412 1 001

    UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA

    PROGRAM STUDI S-1 SASTRA JEPANG MEDAN

    2009

  • Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

    Disetujui,

    Fakultas Sastra

    Universitas Sumatera Utara

    Medan

    Program Studi S-1 Sastra Jepang Ketua Program Studi

    Prof. Drs. Hamzon Situmorang, M.S.Ph.D NIP. 19580704 198412 1 001 Medan, November 2009

  • Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

    KATA PENGANTAR

    Puji dan syukur yang tak terhingga penulis hanturkan kepada Allah SWT, atas

    segala rahmat, karunia, kasih saying, dan ridho-Nya atas apa yang telah dan akan

    terjadi, sehingga penulisan skripsi ini dapat selesai. Dan tak lupa salawat beriring

    salam kepada junjungan dan panutan penulis, Nabi Besar Muhammad SAW, yang

    telah memberikan suri tauladan kepada seluruh umat manusia.

    Penulisan skripsi yang berjudul ANALISIS SOSIOLOGIS TERHADAP

    KEHIDUPAN GEISHA DALAM NOVEL THE DEMON IN THE TEA HOUSE KARYA

    DOROTHY & THOMAS HOOBLER. ini diajukan untuk memenuhi persyaratan dalam

    mencapai kesarjanaan di Fakultas Sastra Program Studi Strata-1 Sastra Jepang

    Universitas Sumatera Utara.

    Dalam pelaksanaan penyelesaian studi dan skripsi ini, penulis banyak

    menerima bantuan dan bimbingan moril dan materil dari beerbagai pihak. untuk itu,

    pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan

    yang setinggi-tingginya kepada :

    1. Bapak Drs. Syaifuddin, M.A.,Ph.D, selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas

    Sumatera Utara.

    2. Bapak Prof. Drs. Hamzon Situmorang M.S.,Ph.D, selaku Ketua Program

    Studi S-1 Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara, dan juga selaku dosen

    Pembimbing II, yang telah menyisihkan waktunya untuk memeriksa dan

    memberikan saran dalam rangka perbaikan dan penyempurnaan skripsi ini.

    3. Bapak Drs. Eman Kusdiyana, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I, yang

    dalam kesibukannya sebagai pengajar telah menyediakan banyak waktu,

  • Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

    pikiran dan tenaga dalam membimbing, mengarahkan, dan memeriksa skripsi

    ini, dari awal hingga ujian akhir skripsi ini selesai.

    4. Dosen Penguji Ujuan Skripsi yang telah menyediakan waktu membaca dan

    menguji skripsi ini. Tak lupa penulis sampaikan kepada seluruh staf pengajar

    Program Studi S-1 Sastra Jepang, Pak Nandi, Pak puji, Pak Yudi, Pak Amin,

    Pak Ali, Pak Narita, Pak Erizal, Bu Adriana, Bu Rospita, Bu Hani, Bu Rani,

    Bu Muhibah, yang telah memberikan banyak ilmu kepada penulis sebagai

    bekal masa depan dari tahun pertama hingga dapat menyelesaikan

    perkuliahan dengan baik. Semoga semua ilmu yang diberikan bermanfaat

    bagi banyak orang.

    5. Yang tak tergantikan di dunia dan akhirat, dan yang paling berpengaruh,

    tentulah ibuku, Rusmawati dan ayahku, Suwandi, untuk semua kasih sayang,

    kessabaran, doa untuk kebahagian dan keberhasilan anak-anaknya, keringat

    dan air mata serta dukungan materil yang tak terhingga untuk pendidikan

    anak-anaknya semoga Allah membalas semua kebaikan mereka. Dan,

    Kakakku tersayang Rismayanti, serta Adikku Muhammad Arif, terima kasih

    atas segala dukungannya.

    6. Untuk teman-temanku, Liza, Dian Eka, Refina, Rahmadiah, Ellys, Gunawan

    (friendship forever), dan buat Aa Dede terima kasih atas sokongan berupa

    semangat yang telah diberikan kepadaku serta teman-teman angkatan 2005

    Sastra Jepang S-1 yang namanya tidak dapat disebutkan satu persatu (

    ........!!!!)

    7. Dan, Kepada semua pihak yang telah membantu hingga selesainya skripsi ini.

  • Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

    Akhirnya kepada Allah SWT penulis kembalikan segala persoalan serta berserah

    diri dan selalu meminta petunjuk agar senantiasa dalam lindunganNya dan penulis

    menyadari bahwa tulisan ilmiah ini kemungkinan masih banyak terdapat

    kekurangannya oleh karena itu penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

    Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi penulis, bagi dunia pendidikan dan bagi

    maasyarakat luas pada umunnya khususnya mahasiswa sastra Jepang.

    Medan, 15 Oktober 2009

    Penulis,

    AISYAH

  • Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

    DAFTAR ISI

    KATA PENGANTAR i

    DAFTAR ISI ..iv

    BAB I PENDAHULUAN ...1

    Latar Belakang Masalah ..1

    Perumusan Masalah 6

    Ruang Lingkup Pembahasan ...7

    Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori ..8

    Tujuan dan Manfaat Penelit ian 12

    Metode Penelit ian.14

    BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEHIDUPAN GEISHA DAN

    NOVEL THE DEMON IN THE TEA HOUSE KARYA DOROTHY

    & THOMAS HOOBLER

    2.1. Defenisi Geisha ...15

    2.2. Sejarah Geisha 16

    2.3. Perkembangan Geisha di Jepang..18

    2.4. Masyarakat dan Geisha ...24

    2.5. Kehidupan Geisha ...27

    2.5.1 Kehidupan Geisha dalam Keluarga ......

    2.5.2 Kehidupan Geisha dalam Politik Pemerintahan ...

    2.5.3 Kehidupan Geisha dalam Ekonomi...29

    2.5.4 Kehidupan Geisha dalam Sosial Budaya 31

    2.6. Defenisi Novel dan Setting The Demon in The Tea House.37

    2.6.1 Defenisi Novel.

    2.6.2. Setting dalam Novel The Demon in The Tea House karya

    Dorothy dan Thomas Hoobler....38

    2.7. Biografi Pengarang ...42

    2.8. Sosiologi Sastra 47

  • Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

    BAB III ANALISIS KEHIDUPAN GEISHA DALAM NOVEL THE DEMON

    IN THE TEA HOUSE KARYA DOROTHY & THOMAS HOOBLER.

    3.1 Sinopsis Cerita .49

    3.2 Analisis Kehidupan Geisha dalan Novel The Demon in The Tea

    House

    3.2.1. Kehidupan Geisha dan keluarga.51

    3.2.2. Berhubungan dengan Politik dan Pemerintahan ...55

    3.2.3. Berhubungan dengan Ekonomi .58

    3.2.4. Berhubungan dengan Sosial Budaya ..63

    BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

    4.1 Kesimpulan .70

    4.2 Saran 72

    DAFTAR PUSTAKA

    ABSTRAK

  • Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

    BAB 1

    PENDAHULUAN

    1.1. Latar Belakang Masalah

    Sastra adalah karya seni yang dikarang menurut standar bahasa kesusastraan,

    penggunaan kata-kata yang indah, gaya bahasa dan gaya cerita yang menarik

    (Zainuddin, 1992 : 99). Sedangkan menurut Rene Wellek dalam Badrun (1983 : 16),

    Berpendapat bahwa sastra hendaknya dibatasi pada seni sastra yang bersifat

    imajinatif. Artinya, segenap kejadian atau peristiwa yang sesungguhnya merupakan

    sesuatu yang dibayangkan saja.

    Sesungguhnya sastra yang merupakan sebuah karya seni adalah berupa hasil

    ciptaan yang berasal dari imajinasi seorang penulis untuk dapat dipahami oleh para

    pembaca sehingga dalam sastra diketahui bahwasannya ada cerita yang bersifat fiksi

    dan non fiksi. Karya sastra yang bersifat fiksi adalah merupakan karya nyata

    berdasarkan atas sumber atau objektifitas baik yang terjadi oleh sipengarang langsung

    atau tidak. Sedangkan untuk karya sastra yang bersifat non fiksi merupakan karya seni

    yang berupa imajinasi sipengarang yang dituangkan kedalam karya tulis baik novel

    maupun cerpen dengan tujuan agar dapat dipahami oleh pemabaca.

    Sastra dalam studi nya terdiri atas, puisi, prosa, drama. Dalam hal ini prosa

    yang merupakan jenis karya sastra yang erat sekali hubungannya dengan unsur seperti

    cerpen ( cerita pendek), novel dan roman. Hal ini dikarenakan prosa memiliki banyak

    keterkaitannya dengan unsur-unsur sosial dan paling banyak mengekspresikan

    kehidupan sosial suatu masyarakat sehingga secara fungsinya dapat menjabarkan

    masalah-masalah sosial yang terjadi baik dimasa sekarang maupun lampau.

  • Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

    Novel itu sendiri menurut Henry Guntur mengutip dalam (The American

    College Dictionary, 1993:164) adalah suatu cerita prosa yang fiktif dalam panjang

    tertentu, yang melukiskan para tokoh, gerak serta adegan kehidupan yang nyata yang

    resperentif dalam suatu alur atau suatu keadaan yang agak kacau atau kusut. Hal ini

    lah yang lebih menegaskan lagi bahwa novel berceritakan tentang kisah nyata suatu

    keadaan yang terjadi dalam masyarakat

    Dengan demikian, novel yang merupakan salah satu genre sastra sangat

    menarik untuk dijadikan objek penelitian. Salah satu novel yang menarik untuk

    dibahas adalah The Demon in The Tea House karya Dorothy dan Thomas Hoobler

    yang banyak menggambarkan suasana Jepang abad ke-18 zaman Tokugawa. Dorothy

    sendiri adalah sejarawan serta penulis lebih dari 60 buku, baik fiksi maupun non fiksi,

    yang kebanyakan untuk pembaca muda.

    Novel yang berjudul The Demon in The Tea House karya Dorothy dan

    Thomas Hoobler mengandung unsur pengungkapan misteri, dengan mengambil latar

    belakang cerita yang eksotis, dan plot yang cepat sehingga akan dapat menyenangkan

    pembacanya.

    Didalam novel ini dikisahkan mengenai seorang geisha yang menjadi sorotan

    publik dikarenakan kecantikannya, geisha tersebut bernama Umae. Dimana

    mengingat bahwa geisha ini merupakan salah satu kelas paling bawah yang tidak

    mungkin menjadikannya setara dengan kehidupan kelas atas. Namun kenyataannya

    berkata lain kehidupan geisha bernama Umae bak seorang puteri bangsawan sehingga

    menimbulkan persepsi yang berbeda dikalangan masyarakat bahwa dengan menjadi

    seorang geisha hidup pasti akan terjamin. Padahal kenyataan tidak demikian,

    melainkan yang terjadi ialah menjadi seorang geisha itu merupakan pilihan akhir dari

    kerasnya kehidupan khususnya pada zaman Edo dibawah kekuasaan rezim Tokugawa.

  • Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

    selain itu pandangan masyarakat akan citra buruk seorang geisha yang merupakan

    golongan kelas eta dan hinin. Eta yang meliputi penjagal, penyamak, dan pengurus

    makam, Sedangkan hinin bekerja sebagai penjaga kota, pembersih jalan, dan algojo.

    Y a n g l a i n n y a

    termasuk pengemis, penghibur, dan pelacur. Istilah eta secara bahasa diartikan

    sebagai dekil sedangkan hinin diartikan sebagai bukan manusia, sebuah

    cerminan jelas dari suatu sikap yang dimiliki kelas lain yang menganggap bahwa

    eta dan hinin sama sekali bukan manusia. Hinin hanya diperkenankan untuk tinggal

    di tempat-tempat khusus di kota. Salah satunya ialah kota terapung yang dikenal bagi

    istilah untuk kota Yoshiwara dimana merupakan rumah bagi para geisha yang

    termasuk dalam golongan hinin ( golongan paling rendah atau paling hina ).

    Orang-orang dari golongan atas dianggap sah secara hukum jika harus membunuh

    kaum hinin. Bahkan terkadang perkampungan kaum eta sengaja tidak dimasukkan ke

    dalam peta resmi oleh pemerintah. Setiap orang tidak memiliki hak pribadi di zaman

    Tokugawa ini. Keluarga merupakan keberadaan terkecil yang diakui, dan menjaga

    nama baik keluarga merupakan hal yang paling utama di tingkat masyarakat.

    Didalam novel ini juga dapat dilihat kehidupan masyarakat pada zaman itu,

    yaitu bagaimana pola hidup masyarakat yang disebabkan oleh pengaruh kekuasaan

    rezim Tokugawa. Dorothy dalam novel The Demon in The Tea House, mengatakan

    bahwa kisah ini memberikan kilasan sejarah Jepang dan pemahaman akan idealisasi

    citra diri manusia Jepang masa kini.

    Novel The Demon in The Tea House yang dikarang oleh Dorothy dan Thomas

    Hoobler ini ditulis berdasarkan catatan sejarah yang akurat dan dengan menambahkan

    beberapa karakter fiktif yang berasal dari hasil daya imajinasi pengarang. Maka tidak

    lah berlebihan apabila kisah dalam novel ini disebut kisah kehidupaan geisha bernama

  • Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

    Umae, dibalik wajah cantik seorang gadis bernama Umae sebenarnya tersimpan suatu

    keinginan untuk dapat hidup normal bak seorang rakyat biasa. Karena ia juga

    memiliki naluri dan hati serta cinta sehingga ia juga mengalami tekanan yang sangat

    berat dalam hidup yang sedang dijalaninya khususnya dalam kehidupan keluarga,

    keterlibatan mereka dalam politik, usaha mereka dalam membantu pertumbuhan

    ekonomi dan usaha mereka dalam mempertahankan budaya Jepang akan seni,

    sehingga Dorothy sebagai penulis ingin meyakini pembaca bahwa cerita yang

    disajikannya ini tak lain adalah sebuah cerita yang ingin diyakini kebenaranya. Serta

    menyajikan bagaimana perjuangan seorang kaum bawah untuk dapat mempunyai

    tempat dimata kaum atas meski pun tak setara dengan mereka tapi perjuangan seorang

    geisha bernama Umae yang menjadikannya abadi menjadi seorang geisha

    menghantarkannya sampai keakhir hidupnya. Impian yang dimiliki serta cinta yang ia

    punya hanya dapat dirasakan oleh hatinya sendiri.

    Dengan kombinasi aksi dan penilaian filosofis yang menarik mengenai

    berbagai karakter yang dilakukan oleh pengarang, sehingga pembaca tidak pernah

    dibuat kecewa atau bosan. Dengan latar belakang historis, yaitu pada zaman Edo,

    yang dipimpin oleh Tokugawa, dan tokoh minor yang dapat ditemui disepanjang

    cerita sama menariknya dengan tantangan hidup seorang geisha yang seumur

    hidupnya hanya menjadi pelayan para bangsawan yang kesepian.

    Oleh sebab itu, untuk membahas secara lebih terperinci lagi mengenai yang

    ada dalam karya sastra tersebut melalui pendekatan sosiologis sastra dan historis

    penulis mencoba mengkaji novel The Demon in The Tea House karya Dorothy dan

    Thomas Hoobler.. Oleh sebab itu dalam novel The demon In The Tea House yang

    diambil setting cerita sebagai pegangan penulis untuk dapat menghubungkannya

    dengan kaitannya terhadap sosiologi sastra, maka penulis beranggapan bahwa

  • Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

    penelitian sosiologi sastra lebih banyak memperbincangkan antara hubungan

    pengarang dengan kehidupan sosialnya. Sehingga aspek bentuk maupun isi karya

    sastra tersebut akan terbentuk oleh suasana lingkungan dan kekuatan sosial suatu

    periode tertentu.

    Berdasarkan hal tersebut diatas, maka setelah membaca novel ini, penulis

    menemukan permasalahannya yang membuat penulis tertarik untuk meneliti novel ini.

    Adapun permasalahan tersebut adalah bagaimana kondisi umum masyarakat Jepang

    pada zaman Edo tepatnya pada abad ke-18 dibawah kepemimpinan Tokugawa,

    bagaimana kehidupan geisha dalam kesehariannya pada zaman rezim Tokugawa

    tepatnya pada zaman Edo yang meliputi keluarga, kesetiaan, serta hubungan antar

    geisha dengan geisha, kaitannya geisha dengan politik, ekonomi, dan budaya sosial

    yang terdapat dalam Novel The Demon in The Tea House karya Dorothy &

    Thomas Hoobler, sehingga penulis akan membahasnya melalui skripsi yang berjudul :

    Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha dalam Novel The

    Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler.

    1.2. Perumusan Masalah

    Studi sosiologis didasarkan atas pengertian bahwa setiap fakta kultural lahir

    dan

    berkembang dalam kondisi sosiohistoris tertentu. Sistem produksi karya seni, karya

    sastra khususnya, dihasilkan melalui antar hubungan bermakna dalam hal ini subjek

    kreator dengan masyarakat(nyoman, 2003:11). Masyarakat adalah orang-orang yang

  • Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

    hidup dan menghasilkan kebudayaan. Sastrawan biasanya mengungkapkan kehidupan

    manusia dan masyarakat melalui emosi, secara subjektif, dan evaluatif. Sastra juga

    memanfaatkan pikiran, intelektualitas, tetapi tetap didominasi oleh emosionalitas.

    Begitu juga dengan karya sastra berupa novel The Demon in The Tea House karya

    Dorothy dan Thomas Hoobler. Didalam novel ini banyak menunjukkan kehidupan

    sosial masyarakat Jepang terutama pada zaman Edo, yaitu mengenai pola pikir

    masyarakat yang cenderung tertutup dan tidak terbuka atas keadaan lingkungan

    sekitar. Kesadaran masyarakat akan peran sendiri-sendiri dalam kehidupan selalu

    ditentukan oleh kewajiban. Sehingga ada kalanya seseorang akan merasa tidak puas

    akan takdir yang seakan digariskan padanya. Jika dihubungkan dengan kenyataan

    yang pernah terjadi, mustahil bagi seseorang geisha yang hanya merupakan kelas

    bawah untuk bisa mengimbangi kehidupan seorang bangsawan hanya dengan modal

    kecantikan saja. Dalam novel yang dibuat oleh Dorothy dan Thomas Hoobler ini

    terkisahkan dengan jelas bagaimana sebenarnya kondisi serta situasi kehidupan

    seorang geisha, dimulai dari kesehariannya yang penuh dengan kemewahan,

    kehidupan yang penuh dengan kekosongan, sehingga hampir tak memikirkan akan

    kesedihan, keterkaitan akan politik pemerintahan, ekonomi kerakyatan, dan juga

    budaya sosial. Karena bagi seorang geisha prinsip hidup merupakan hal yang paling

    penting yaitu menghibur tanpa ada hal lainnya. Tetapi sejatinya hidup seorang geisha

    itu banyak mengalami tekanan diantaranya, selain mereka harus membayar hutang

    keluarga serta adanya ikatan kontrak antar keluarga dengan pemilik rumah bordir.

    Namun melalui novel The Demon in The Tea House Dorothy mengingatkan,

    bahwa jangan sampai menggadaikan kehormatanmu dengan membiarkan hatimu

    mengikuti keinginan pribadi. Hal ini dimaksudkan karena kebanyakan geisha tergiur

    akan keglamoran, kemewahan, kekayaan serta kekuasaan.

  • Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

    Untuk itu masalah-masalah tersebut akan diuraikan dalam pertanyaan sebagai

    berikut:

    1. Bagaimana kondisi umum masyarakat Jepang pada zaman Edo tepatnya pada

    abad ke-18 dibawah kepemimpinan Tokugawa?

    2. Bagaimana kehidupan geisha dalam kesehariannya pada zaman rezim

    Tokugawa tepatnya pada zaman Edo dan kaitannya dengan ekonomi, politik,

    dan budaya ?

    1.3. Ruang Lingkup Pembahasan

    Dari permasalahan-permasalahan yang ada maka penulis membatasi

    permasalahan, yaitu pada hal yang berkaitan dengan masyarakat pada abad ke 18

    zaman Edo yang meliputi keshogunan, daimyo, samurai, geisha , seni, dan hubungan

    sosial antar masyarakat.

    Analisis difokuskan kepada bagaimana sesungguhnya kehidupan para geisha

    di tengah masyarakat khususnya masyarakat golongan kelas atas. Peran penting

    geisha itu sendiri dalam kehidupan. Mengingat geisha merupakan golongan kelas

    bawah namun dalam kenyataannya kehidupan seorang geisha bisa mengimbangi

    seorang bangsawan yang kaya raya. Serta dengan adanya kenyataan bahwa tidak

    mudah bagi seorang kelas bawah untuk berpindah kasta menjadi golongan atas. Hal

    ini dimaksudkan agar masalah penelitian tidak menjadi terlalu luas dan berkembang

    jauh, sehingga penulis dapat lebih terarah dan terfokus. Selain itu sebelum bab

    pembahasan (bab III) penulis berusaha menjabarkan mengenai defenisi dari geisha,

    sejarah geisha, perkembangan geisha di Jepang, dan kehidupan geisha itu sendiri.

    untuk mendukung pembahasan yang lebih jelas dan akurat akan dijelaskan juga

    tentang kondisi sosial masyarakat pada umumnya dizaman Edo, kondisi kehidupan

  • Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

    sosial geisha zaman Edo yang meliputi dari kondisi keluarga, kesetiaan, hubungan

    antar para geisha, keterlibatan mereka dalam politik Jepang tepatnya pada era

    Tokugawa, perekonomian masyarakat, dan memperkenalkan diri mereka terhadap

    dunia luar dalam fungsinya sebagai symbol Jepang pada waktu itu, serta setting teks

    novel The Demon in The Tea House karya Dorothy dan Thomas Hoobler dan juga

    riwayat hidup pengarang.

    1.4. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori

    1.4.1. Tinjauan Pustaka

    Menurut Soekanto(dalam Nur Illyani, 2008:6), bahwa objek sosiologi adalah

    masyarakat yang dilihat dari sudut antar manusia, dan proses yang timbale balik dari

    hubungan manusia didalam masyarakat. kalau dilihat dari tingkat struktur sosial ini

    bersifat abstrak, perhatiannya atau analisanya ditunjukan pada pola-pola tindakan,

    jaringan-jaringan interaksi yang teratur dan seragam dalam waktu dan ruang, posisi

    sosial dan peranan-peranan sosial. Menurut Munandar 1998:29 secara garis besar

    tingkat analisis struktur ini memandang struktur sosial (masyarakat) sebagai berikut:

    a. Masyarakat sebagai halnya organisme hidup.

    b. Masyarakat sebagai sistem sosial.

    c. Masyarakat sebagai tertib sosial.

    d. Masyarakat sebagai sub-stratum yang melahirkan konflik.

    Masalah sosial erat kaitannya dengan nilai-nilai,norma-norma, lembaga-

    lembaga kemasyarakatan, oleh karena itu masalah-masalah sosial adalah bersifat

    sosial, artinya masalah-masalah sosial itu berhubungan dengan aktivitas-aktivitas

    manusia itu sendiri. Pada masyarakat yang tergolong modern, tentu saja lebih sulit

  • Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

    mendapatkan suatu keseimbangan-keseimbangan sosial [equilibrium], bahkan dengan

    adanya perkembanngan diberbagai sektor, seperti industri, transportasi,

    telekomunikasi, budaya, teknologi dan sebagainya, dapat menimbulkan berbagai

    kepincangan, konflik-konflik dan masalah-masalah sosial lainya. Interprestasi

    masyarakat terhadap nilai-nilai moral menjadi berubah, dari nilai-nilai traditional

    yang tertib dan seimbang berganti menjadi nilai-nilai modern yang serba rumit dan

    tampak lebih dinamis.(Abdul Syani 1987:115).

    Peranan menurut Soekanto (dalam Nirmala, 2008:7) merupakan aspek dinamis

    kedudukan (status). apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai

    dengan kedudukannya maka dia menjalankan suatu peran. setiap orang mempunyai

    macam-macam peranan yang berasal dari pola kehidupannya.

    Di dalam novel The Demon in The Tea House dapat dilihat bagaimana

    kehidupan masyarakat setelah kekuasaan dipegang oleh Tokugawa, yang didapatnya

    melalui sebuah peperangan. Sehingga tidak dipungkiri lagi bahwa kehidupan

    masyarakat pun ikut mengalami perubahan diantaranya ialah adanya pembagian

    golongan berdasarkan kelas-kelas, perbedaan antara hak dan kewajiban dan lain

    sebagainya.

    Untuk itu tak jarang dalam penelitiannya pendekatan sosiologi ini akan

    cenderung mengarah pada moral seseorang hanya saja banyak yang beranggapan

    bahwa pendekatan sosiologi ini sama dengan pendekatan moral. Hal ini dapat dilihat

    bahwa keduanya sama-sama memiliki tujuan upaya memandang karya sastra sebagai

    karya yang mengandung nilai-nilai, pemikiran, dan falsafah hidup yang akan

    membawa manusia menuju kearah kehidupan yang lebih bermutu.

    1.4.2. Kerangka Teori

  • Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

    Penelitian kebudayaan ini dilakukan melalui novel yang merupakan sebuah

    karya sastra. Setiap penelitian memerlukan titik tolak atau landasan berpikir dalam

    memecahkan atau menyoroti masalahnya. Sosiologis sastra adalah penelitian yang

    terfokus pada masalah manusia.

    Pada prinsipnya, menurut Laurenson dan Swingewood ( dalam Suwardi,

    2008:79) terdapat tiga prespektif berkaitan dengan sosiologi sastra, yaitu: (1)

    penelitian yang memandang karya sastra sebagai dokumen sosial yang didalamnya

    merupakan refleksi situasi pada masa sastra tersebut diciptakan, (2) penelitian yang

    menggungkap sastra sebagai cermin situasi sosial penulisnya, dan (3) penelitian yang

    menangkap sastra sebagai menifestasi peristiwa sejarah dan keadaan sosial budaya.

    Hal ini seolah menegaskan bahwa karya sastra memang sering kali tampil terikat

    dengan momen khusus dalam sejarah masyarakat.

    Pendekatan sosiologis diarahkan pada telaah refleksi nilai. Hal ini berdasarkan

    pengertian bahwa karya satra akan menyajikan sejumlah nilai yang berkaitan dengan

    keadaan masyarakat masa teks ditulis. Secara implisit, karya sastra merefleksikan

    proposi bahwa manusia memiliki sisi kehidupan masa lampau, sekarang dan masa

    mendatang. Karena itu, nilai yang terdapat dalam karya sastra adalah nilai yang hidup

    dan dinamis.

    Karena didalam penelitian ini dibahas mengenai analisis sosiologis terhadap

    novel The Demon in The Tea House, maka teori yang digunakan adalah studi

    sosiologi. Dalam novel ini The Demon in The Tea House mempunyai latar belakang

    zaman Edo, maka dalam menganalisis novel ini juga menggunakan pendekatan

    historis.

  • Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

    Pendekatan historis pada umumnya lebih relevan dalam kerangka sejarah

    sastra tradisional, sejarah sastra dengan implikasi para pengarang karya sastra, dan

    periode-periode tertentu, dengan objek karya-karya individual. Kemudian, Pendekatan

    historis mempertimbangkan relevansi karya sastra sebagai dokumen sosial. Hakikat

    karya sastra adalah imajinasi yang memiliki konteks sosial dan sejarah. Dengan

    hakikat imajinasi karya sastra adalah wakil zamannya dan dengan demikian

    merupakan refleksi zamannya Nyoman(dalam Nur Illyani, 2008:8). dengan

    pendekatan diatas, melalui novel The Demon in The Tea House dapat dilihat

    kehidupan sosial masyarakat Jepang saat itu.

    Menurut Jan Van Luxemburg (1992:46) semiotik adalah ilmu yang

    mempelajari tanda-tanda, lambing dan proses perlambangan. Ilmu tentang semiotik

    ini menganggap bahwqa fenomena sosial maupun masyarakat dan kebudayaan itu

    merupakan tanda-tanda. Tanda-tanda tersebut dapat berupa gerakkan anggota badan,

    warna, bendera, pakaian, karya seni, serta bentuk dan potongan rumah. Kemudian

    tanda-tanda tersebut dihubungkan dengan konsep budaya sehingga pada kondisi ini

    karya sastra yang berbentuk komik akan dijadikan sebagai tanda untuk

    diinterprestasikan. Oleh sebab itu penulis menggunakan pendekatan semiotik untuk

    menjabarkan keadaan serta tanda-tanda yang terdapat dalam novel The Demon in The

    Tea House karya Dorothy dan Thomas Hoobler. Serta melalui teori semantik ini

    penulis juga berusaha menjabarkan bagaimana situasi dan keadaan sosial masyarakat

    pada zaman Edo khususnya kehidupan geisha serta tanda-tanda yang terdapat dalam

    kehidupan geisha dilihat dari novel The Demon in The Tea House.

    Oleh sebab itu melalui pendangan kerangka teori berpikir seperti diatas, maka

    didalam penelitian ini akan di tunjukkan mengenai Sejauh mana hubungan kekuasaan

    mempengaruhi kehidupan masyarakat dalam novel The Demon in The Tea House

  • Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

    sekitar abad ke 18, Bagaimana sesungguhnya kehidupan geisha pada rezim

    Tokugawa serta peran penting geisha ditengah masyarakat Jepang yang dapat dilihat

    melalui novel The Demon in The Tea House karya Dorothy dan Thomas Hoobler.

    1.5. Tujuan dan Manfaat Penelitian

    1.5.1. Tujuan Penelitian

    1. Untuk Mengetahui aspek-aspek kehidupan sosial yang terkadung dalam novel

    The Demon in The Tea House karya Dorothy dan Thomas Hobbler.

    2. Untuk Mengetahui masalah sosial geisha yang termasuk kaum bawah yang

    terjadi pada zaman Edo khususnya pada saat rezim Tokugawa. Sehingga

    dapat melihat perbedaan dengan masa sekarang dan mengetahui dampak dan

    akibat yang ditimbulkan.

    Adapun maksud dan tujuan penulis melakukan penelitian sosiologi sastra ini dilihat

    dari teks The Demon in The Tea House adalah :

    1. Memahami dan merasakan aspek-aspek kehidupan sosial yang terkadung

    dalam karya sastra tersebut.

    2. Memahami masalah sosial khususnya kaum geisha yang terjadi pada zaman

    Edo. Sehingga dapat melihat perbedaan dengan masa sekarang dan

    mengetahui dampak dan akibat yang ditimbulkan.

    Berdasarkan dari tujuan tersebut maka, penulis mulai mengkaji beberapa novel

    khususnya novel Jepang The Demon in The Tea House merupakan novel yang

    cocok untuk dijadikan bahan penelitian penulis selain banyak menyajikan masalah

    sosial juga menggambarkan secara kontras tentang masa dimana Shogun sangat

    memegang peran penting dalam pemerintahan Jepang pada abad ke- 18. Juga karya

  • Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

    yang dikarang oleh Dorothy dan Thomas Hoobler ini ditulis berdasarkan catatan

    sejarah yang akurat dan dengan menambahkan beberapa karakter fiktif yang berasal

    dari hasil imajinasi pengarang. Maka tidaklah berlebihan apabila kisah ini ingin

    diyakini kebenarannya. Oleh sebab itu selain mengenal sejarah Jepang maka kita juga

    dapat merasakan bagaimana situasi pada zaman tersebut.

    1.5.2. Manfaat Penelitian

    1. Dapat menambah wawasan dan pengetahuan tentang sejarah pada masa

    pemerintahan shogun.

    2. Dapat menambah wawasan mengenai sosiologi atau kehidupan masyarakat

    Jepang dan mengetahui kondisi sosial kehidupan masyarakat secara jelas

    melalui novel The Demon in The Tea House.

    1.6. Metode Penelitian

    Dalam penulisan suatu karya ilmiah harus menggunakan metode sebagai

    penunjang untuk mencapai tujuan. Penelitian merupakan suatu kegiatan yang

    dilandaskan pada analisis dan kontruksi. Analisis dan kontruksi dilakukan secara

    metodologis, sistematis, dan konsisten. Tujuannya ialah untuk mengungkap

    kebenaran sebagai salah satu manifestasi hasrat manusia untuk mengetahui apa yang

    dihadapinya dalam kehidupan (Soekanto, 2003:410).

    Berdasarkan tema dan permasalahan yang dianalisis dalam novel The Demon

    in The Tea House, maka penelitian ini menggunakan metode deskriftif dalam cakupan

    kualitatif. Menurut Koentjaraningrat(1976:30), bahwa penelitian yang bersifat

    deskriftif, yaitu penelitian yang menggambarkan secermat mungkin mengenai

    individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu. Metode deskriptif juga merupakan

  • Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

    suatu metode yang menggambarkan keadaan atau objek penelitian yang dilakukan

    pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya

    dan dipakai untuk memecahkan masalah dengan cara menggumpulkan, menyusun,

    mengklasifikasikan, mengkaji, dan menginterprestasikan data.

    Tehnik pengumpulan data yang digunakan adalah tinjauan pustaka, yaitu

    pengumpulan data yang dilakukan melalui studi pustaka dengan menggunakan buku-

    buku dab sumber-sumber lainnya yang ada hubungannya dengan penelitian. Dan data

    juga diperoleh dari berbagai jurnal, artikel, buku dan berbagai situs internet.

  • Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

    BAB II

    TINJAUAN UMUM TERHADAP KEHIDUPAN GEISHA DAN

    NOVEL THE DEMON IN THE TEA HOUSE KARYA DOROTHY &

    THOMAS HOOBLER

    2.1. Defenisi Geisha

    Geisha, yang dikenal juga dengan istilah geigi atau geiko, adalah sebutan bagi

    para penghibur tradisional wanita. Mereka menghibur dengan cara bernyanyi, menari,

    berbincang-bincang, bermain game(permainan bertanding), dan meladeni para tamu

    dirumah-rumah makan tradisional jenis tertentu, (Kondansha,1983:446). Dunia geisha

    pada umumnya disebut sebagai karyuukai (dunia bunga dan pohon yangliu/willow)

    Kata geisha dalam imaginasi di dunia Barat konotasikan secara keliru yaitu

    sebagai mitologi makhluk eksotis. Salah konsepsi tentang fantasi, pemikiran yang

    penuh harap, dan polos merupakan perlakuan atas fakta-fakta yang ada sehingga

    dalam bahasa Inggris untuk mengatakan kata geisha mengarah pada anggapan pada

    seorang wanita cantik yang patuh pada majikannya dan memenuhi semua nafsu dan

    keinginan majikannya. Kepribadiannya tidak diperlukan oleh para majikan dan geisha

    wajib melebur seperti halnya Madam Butterfly dari pada mengganggu para majikan.

    Fantasi seperti ini sulit ditemui pada wanita nyata namun mudah didapatkan di mitos.

    Geisha mempunyai perbedaan pada kedua sisi tersebut, antara legenda dan

    kenyataan, dan buku ini membantu mengklarifikasi perbedaan-perbedaan itu. Mitos

    secara alami, adalah sejarah dan individual transendental monolitik dimana realitas

    merupakan variasi komunitas geisha di daerah-daerah berbeda di Jepang, status

    hirarkinya dalam masyarakat dan tentu saja perbedaan-perbedaan secara individual di

    antara para geisha itu sendiri.

  • Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

    Hal ini tidak bermaksud untuk mengatakan geisha tidak eksotis. Wanita-

    wanita ini bahkan lebih misterius daripada yang mereka bayangkan sendiri di

    Jepang dan di luar Jepang, walaupun untuk alasan yang berbeda. Orang-orang Barat

    beranggapan bahwa geisha pastilah ahli dalam hal kepatuhan di negara seperti Jepang

    di mana wanita-wanita biasa harus mengedepankan urusan pria.

    2.2. Sejarah Geisha

    Geisha ( seniman) dalam bahasa jepang adalah seniman atau penghibur

    tradisional (entertainer) . Geisha sangat umum pada abad ke-18 dan abad ke-19, dan

    masih ada sampai sekarang ini, walaupun jumlahnya tidak banyak.

    Sejarah geisha dimulai dari awal pemerintahan Tokugawa, di mana Jepang

    memasuki masa damai dan tidak begitu disibukkan lagi dengan masalah-masalah

    perang. Seorang calon geisha harus menjalani pelatihan seni yang berat selagi usia

    dini. Berlatih alat musik petik shamizen yang membuat calon geisha harus merendam

    jarinya di air es. Berlatih alat musik lainnya juga seperti tetabuhan kecil hingga taiko.

    Berlatih seni tari yang menjadi kunci kesuksesan seorang geisha, karena geisha papan

    atas umumnya adalah penari, tari Topeng Noh yang sering dimainkan oleh geisha

    dihadirkan bagi masyarakat kelas atas berbeda segmennya dengan pertunjukkan

    Kabuki yang lebih disukai rakyat jelata. Geisha juga harus berlatih seni upacara

    minum teh, yang pada masa medieval dianggap sama pentingnya dengan seni perang.

    Dan berbagai latihan berat lain yang harus dijalani. Dan latihan itu masih terus

    dijalanisetiap geisha hingga akhir karirnya. Seorang calon geisha sedari awal

    menginjakkan kakinya ke rumah barunya , sudah memiliki hutang awal sebesar biaya

    yang dikeluarkan pemilik Okiya untuk membelinya. Sungguh Ironis. Hutang itu terus

    bertambah, Karena biaya pendidikan geisha, biaya perawatan kecantikan, biaya dokter

  • Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

    yang ditalangi oleh Okiya, nyatanya dibebankan balik sebagai hutang geisha. Geisha

    dengan level standar akan terus terikat hingga akhir hayatnya, berbeda dengan geisha

    sukses yang dapat menebus kembali kebebasannya sebelum mencapai usia 20

    tahunan.

    Syarat menjadi geisha sukses umumnya memiliki kakak angkat yang

    merupakan geisha senior sukses pula , sehingga dapat mengatrol popularitas si geisha

    magang. Sementara geisha senior yang sukses juga tidak mau sembarangan menerima

    adik angkat, karena menyangkut nama baik pula. Tetapi memiliki adik angkat yang

    sukses akan berarti keberuntungan pula bagi yang dirinya, seniornya dan okiya-nya,

    karena mereka sekian persen pendapatan si geisha muda tersebut.

    Selain itu geisha muda juga harus melelang keperawanan kepada penawar

    tertinggi, pendapatan dari lelang yang sukses itu dapat menebus sebagian hutang

    geisha muda tersebut. Setelah itu mereka harus mencari danna(suami) sekaya

    mungkin, agar dapat membiayai biaya hidup geisha yang tinggi, dan juga membayari

    sebagian hutang-hutang geisha tersebut terhadap majikan mereka. Geisha yang sukses

    dalam suatu okiya akan diadopsi oleh nyonya mereka, dan menggunakan nama

    keluarga dari nyonya tersebut dan mewarisi segala kekayaan seisi rumah tersebut.

    Lalu meneruskan tradisi geisha.

  • Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

    2.3.Perkembangan Geisha di Jepang

    Sistem geisha muncul di sekitar pertengahan Zaman Edo (1600-1868) geisha

    yang pertama-tama adalah laki-laki (juga di sebut dengan hkan atau taikomochi),

    jadi wanita yang pertama menjadi geisha disebut onna geisha (geisha wanita). Secara

    berangsur-angsur jenis hiburan ini menjadi pekerjaan wanita dimana sebutan geisha

    kemudian digunakan untuk menyebut geisha wanita dan otoko geisha(geisha pria)

    digunakan untuk menyebut geisha yang laki-laki. Pemakaian istilah geisha pertama

    kali tercata pada tahun 1751 di Kyoto dan tahun 1762 di Edo (sekarang Tokyo).

    Kemunculan geisha pria yang pertama kali adalah juga sekitar tahun 1600 an.

    Mereka memasuki pestaa-pesta yang diadakan para yjo (pelacur) dan tamu-tamunya

    dan menghiibur di sana. Geisha pria inilah yang sebenarnya pertama kali disebut

    dengan geisha. Mereka juga disebut dengan (hkan) atau pembawa gendang kecil

    tradisional jepang (taiko-mochi). Dengan lincah dan bersemangat mereka membuat

    para yjo dan tamu-tamunya tertawa dengan melontarkan lelucon-lelucon yang

    berbau porno. Selain bertindak sebagai pelawak dan musisi, para geisha pria ini

    menjadi teman menghibur yang baik dan serba bisa dalam pesta-pesta. Pada tahun

    1751, para pelanggan di tempat pelacuran shimabara di kejutkan oleh penampilan

    seorang wanita pembawa gendang (onna taiko-mochi) muncul di pesta mereka.

    Wanita-wanita ini dikenal sebagai geiko, istilah ini masih digunakan di Kyoto sebagai

    ganti geisha. Beberapa tahun kemudian, di Edo, penghibur wanita yang mirip dengan

    itu bermunculan. Mereka disebut dengan onna geisha, atau geisha wanita. Pada tahun

    1780, geisha wanita telah melebihi jumlah geisha pria, orang-orang kemudian mulai

    menyebut otoko geisha untuk menyebut geisha pria. Pada tahun 1800, seorang geisha,

    dan tidak tergantikan lagi, pastilah seorang wanita. (Dalby, 2005:58).

  • Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

    Pada tahun-tahun 1700-an profesi geisha dihubungkan dengan tempat-tempat

    pelacuran yang mendapat izin dari pemerintah atau ykaku. Ada berbagai jenis dari

    pelacur( yjo) di tempat ini, tetapi geisha adalah sebuah kelompok yang terpisah yang

    dipanggil untuk menghibur pelacur dan tanu-tamunya dengan menyanyi dan menari.

    Dengan tegas dikatakan bahwa geisha tidak diperbolehkan untuk bersaing dengan

    pelacur yang menyediakan pelayanan seksual, walaupun perbedaan diantara keduanya

    semakin lama semakin tak jelas. Pemerintah juga berusaha untuk membatasi

    kemewahan pakaian geisha, dan dengan sengaja sering sekali yang direkrut sebagai

    geisha adalah wanita-wanita yang sederhana atau lebih tua.

    Selain dari geisha yang berhubungan dengan tempat-tempat pelacuran, juga

    ada jenis geisha yang tidak terikat di tempat pelacuran yang mempunyai tempat

    sendiri. Tempat-tempat geisha(okabasho) ini lambat laun menjadi pustaka

    kebudayaan kota yang bersifat duniawi, dan geisha-geisha tersebut sering kali

    menjadi pelopor mode terbaru. Di Kyoto hanamachi kelas atas bernama gion yang

    merupaka distrik geisha yang pertama, dan di Tokyo distrik geisha yang terkenal

    adalah fukagawa, Yanagibashi dan Akasaka.

    Kebanyakan dari sastra, musik dan seni grafis dari zaman ini mengambil

    inspirasi dari geisha, yang sering digambarkan dengan tamu-tamu mereka di rumah-

    rumah minum teh atau perahu kecil beratap (yakata-bune) yang berada di sepanjang

    sungai-sungai di Edo (Tokyo).

    Mulai dari akhir Zaman Edo sampai sekarng ini, geisha telah mempunyai

    hubungan yang erat dengan dunia politik. Para samurai dari luar propinsi yang

    merupakan pendukung Restorasi Meizi pada tahun 1868 menemukan bahwa rumah-

    rumah minum teh di Kyoto merupakan tempat yang sangat mendukung bagi

    pertemuan-pertemuan mereka. Di sana mereka dapat membicarakan rencana-rencana

  • Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

    politiki mereka yang disamarkan dengan kegiatan pesta-pesta dan bersenang-senang

    yang bertujuan untuk memperkecil kecurigaan pemerintah keshogunan terhadap

    kegiatan mereka. Bersama dengan berdirinya pemerintahan Meiji di Tokyo, beberapa

    dari pemimpin pemimpin baru ini tetap berhubungan dengan para geisha, baik yang

    dari Yoshiwara( Edo) ataupun dari tempat lain, bahkan ada yang keemudian menikahi

    geisha yang setia kepada mereka( Dalby, 2000:64).

    Sejak itu, bagaimanapun juga, pada akhirnya geisha di Tokyolah yang

    kemudian paling banyak terlibat dengan para politisi, disebabkan karena pusat

    pemerintahan yang baru telah dipindahkan dari Kyoto ke Tokyo, sebagai pusat

    pemerintahan Meiji. Setiap golongan dari pemerintahan mempunyai distrik yang

    digemarinya, dimana, seringkali dengan dilatarbelakangi acara minum-minum sake

    dan suasana yang santai, ternyata merupakan tempat menyelesaikan negosiasi politik,

    sehingga jatuh bangunnya kesuksesan sebuah hanamachi ( distrik geisha ) terkadang

    tergantung dari golongan politik berkuasa mana yang melindunginya. Demi

    kelangsungan profesinya para geisha merasa berkewajiban untuk merahasiakan

    pembicaraan yang didengarnya selama pertemuan politik tersebut. Akibatnya rahasia

    rahasia politik para tamu tidak sampai bocor kepada lawan politiknya. Kendati

    demikian, demi keamanan rahasia politiknya, para lawan politik mereka tidak

    mempergunakan geisha yang sama ( Kondansha, 1983:15).

    Pada awal abad ke-17, tersebar pelacuran lelaki dan perempuan di seluruh

    bandar-bandar seperti Kyoto, Edo dan Osaka. Untuk mengatasi masalah ini,

    diperintahkan oleh Tokugawa Hidetada pemerintah Keshogunan Tokugawa mengatur

    pelacuran ke daerah bandar yang telah ditetapkan. Daerah-daerah ini ialah Shimabara

    bagi Kyoto (1640), Shinmachi bagi Osaka (16241644) dan Yoshiwara bagi Edo

    (1617). Alasan utama dibuatnya bandar-bandar tanpa malam ini ialah percobaan oleh

  • Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

    keshogunan Tokugawa untuk menghalang golongan yang semakin kaya-raya chnin

    (orang bandar) agar tidak terlibat dalam rancangan politik jahat.

    Yoshiwara dibina di dalam bandar Edo, terletak berdekatan dengan apa yang

    dikenali pada hari ini sebagai Nihonbashi, bersamaan dengan Tokaido yang sibuk itu

    di alihkan ke barat Kyoto di barat Jepang. Pada tahun 1656, disebabkan keperluan

    terhadap ruang kerana perkembangan bandar itu, pemerintahan mengambil keputusan

    untuk menempatkan semula Yoshiwara, dan perancangan-perancangan dibuat untuk

    memindahkan daerah tersebut ke lokasinya sekarang di utara Asakusa di pinggir

    bandar tersebut.

    Ironiknya, daerah Yoshiwara yang lama musnah terbakar dalam Kebakaran

    Meireki (1657) ia dibina kembali di lokasi baru yang dinamakan Shin Yoshiwara

    (Yoshiwara baru), lokasi lama dinamakan Moto Yoshiwara (Yoshiwara asal)

    akhirnya perkataan "shin" dibuang, dan daerah baru itu hanya dikenali sebagai

    Yoshiwara.

    Yoshiwara pernah menempatkan pelacur-pelacur sebanyak 1750 orang pada

    tahun 1700-an, dengan mencapai rekod sebanyak 3000 orang dari seluruh Jepang

    pada waktu itu. Kawasan itu dihuni lebih 9000 orang wanita, ramai antara mereka

    yang menghidap penyakit kelamin pada tahun 1893. Wanita-wanita ini kerap kali

    dijual ke rumah pelacuran oleh orang tua mereka pada usia 7 hingga 12 tahun.

    Sekiranya anak-anak gadis itu bernasib baik, dia dapat menjadi perantis bagi pelacur

    kelas atasan yang berpangkat tinggi. Apabila seorang gadis itu cukup tua dan

    berkesempatan menyelesaikan latihannya, dia sendiri dapat menjadi gundik dan

    berusaha untuk naik pangkat. Gadis-gadis itu kerap kali mempunyai kontrak dengan

    rumah pelacuran untuk 5 atau 10 tahun saja, tetapi hutang yang besar selalu mengikat

    mereka di rumah pelacuran seumur hidup mereka. Terdapat sedikit cara bagi gadis itu

  • Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

    untuk mebebaskan diri daripada ikatan rumah pelacuran yang disebabkan kerena

    semua hutangnya. Satu jalan keluar daripada Yoshiwara adalah dengan seorang

    lelaki kaya membeli kontraknya dari rumah pelacuran dan menyimpannya sebagai

    perempuan simpanan. Cara lain ialah sekiranya dia mampu membayar untuk

    kebebasan dirinya sendiri dengan melunasi semua hutang piutang terhadap rumah

    pelacuran. Bagaimana pun, perkara ini amat jarang berlaku.

    Kelas masyarakat tidak begitu dibahagi-bahagikan secara ketat di Yoshiwara.

    Seorang rakyat bawahan yang mempunyai uang cukup layak dilayani setaraf dengan

    samurai. Walaupun samurai tidak dibenarkan untuk memasuki kawasan Yoshiwara,

    bagaimana pun mereka kerap kali berbuat demikian. Mereka hanya dikehendaki

    meninggalkan senjata mereka di pintu masuk pekan tersebut. Juga ditetapkan oleh

    undang-undang, pemilik rumah pelacuran hanya dibenarkan bermalam selama sehari

    dan semalam pada satu-satu waktu.

    Yoshiwara juga menjadi kawasan komersial yang sangat terkenal. Fesyen-

    fesyen di pekan tersebut sering kali berubah, menciptakan permintaan besar terhadap

    golongan pedagang dan artis. Secara tradisi, pelacur-pelacur diperbolehkan memakai

    hanya jubah biru yang ringkas, tetapi masalah ini jarang sekali diberlakukan. Pelacur-

    pelacur berpangkat tinggi sering kali berpakaian menurut fesyen yang lagi trend pada

    waktu itu, dengan kimono sutera yang berwarna-warni dan terang serta hiasan kepala

    yang mahal dan halus buatannya. Fesyen amat penting di Yoshiwara sehinggakan ia

    sering kali menentukan trend fesyen bagi seluruh Jepang.

    Kawasan itu musnah dalam kebakaran besar pada tahun 1913, dan

    kemudiannya hampir disapu bersih oleh satu gempa bumi pada tahun 1923.

    Perniagaan di situ tidak lagi berjalan sehingga pelacuran dihapuskan oleh kekaisaran

    Jepang pada tahun 1958 setelah Perang Dunia Kedua.

  • Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

    Edo kini dikenali sebagai bandarnya Tokyo dan pelacuran merupakan masalah

    yang menyalahi undang-undang, walaupun masalah yang sepatutnya salah ini

    diperjelas dengan istilah yang lebih tegas (sebagai contoh, kata "pelacuran" bagi

    beberapa hal tidak meliput i "perjanjian peribadi" yang dicapai antara seorang wanita

    dan lelaki di rumah pelacuran). Kawasan yang dikenali sebagai Yoshiwara,

    berhampiran stesen Minowa pada Hibiya Line, kini dikenali sebagai Senzoku Yon-

    ch-me dan masih mempergunakan sejumlah besar soapland dan faades lain bagi

    yang membutuhkan seks.

    Pada awal tahun 1940-an pertunjukan geisha dilarang untuk umum dan

    kebanyakan wanita dipaksakan untuk bekerja di pabrik-pabrik untuk upaya perang.

    Pada akhir tahun 1970-an jumlah geisha hanya sekitar 17.000 orang, dan sekarang

    hanya ada kurang dari 1000 orang. Geisha masa kini juga belajar bahasa Inggris dan

    terkadang dipanggil untuk berpartisipasi untuk acara-acara khusus, baik itu di jepang

    maupun untuk tujuan Internasional.

    Salah satu alasan penurunan jumlah ini adalah karena munculnya hostes

    hostes bar- bar bergaya Barat. Banyak orang Jepang modern tidak mengenal lagi tata

    cara pertunjukan geisha dan merasa bahwa gadis-gadis bar lebih menyenangkan,

    praktis dan tarifnya murah. Dari sudut pandang wanita sendiri, adalah lebih mudah

    untuk menjadi seorang hostes dari pada geisha karena tidak membutuhkan pelatihan

    yang lama, disiplin yang tinggi, dan biaya untuk membeli kimono.

  • Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

    2.4. Masyarakat Dan Geisha Pada Zaman Edo

    Uraian mengenai kondisi masyarakat pada Zaman Edo dituliskan dalam bab

    ini karena pada Zaman Edo inilah sistem geisha mulai muncul dan mengalami

    perkembangan dalam dunia hiburan dan kebudayaan Jepang. Tujuan penulisan adalah

    untuk menguraikan secara umum dalam keadaan masyarakat yang seperti apa tempat

    muncul dan berkembangnya sistem geisha tersebut, yang meliputi bidang politik dan

    pemerintahan, ekonomi dan masyarakat serta sosial budaya.

    Zaman Edo ( 1603 1867 ) adalah zaman dimana Jepang diperintah oleh

    keluarga Tokugawa. Disebut Zaman Edo karena pemerintah keshogunan Tokugawa

    waktu itu berpusat di kota Edo ( sekarang disebut Tokyo ).

    Pemerintah Tokugawa berlangsung selama kira kira 264 tahun. Zaman ini

    disebut juga sebagai zaman yang damai bagi Jepang karena tidak adanya serangan

    terhadap bakufu dan tidak adanya keributan yang disebabkan perang antar daimyo.

    Geisha menganggap diri mereka sebagai seniman sejati( Cobb, 1997:23).

    ini menunjukkan bahwa geisha adalah lebih dari sebagai seorang peneliti dan pencipta

    seni bukan hanya sekedar bagian dari dirinya. Seorang geisha seninya mengandung di

    dalam dirinya sendiri, dan karena tubuhnya memiliki seni ini, hidupnya akan

    disimpan. Itulah kekuatan seni - keselamatan jiwa seseorang . Hal ini menunjukkan

    bahwa geisha adalah kampas dan pencipta seni daripada murni manifestasi dari itu; ia

    memberi seseorang pengalaman potensi untuk seni dan melalui pengalaman seni ini

    sifat keindahan sejati.( Cobb,1997 : 100 ). Gagasan tentang keindahan alami pada

    umumnya yang paling ampuh dalam apresiasi terhadap keindahan fisik: keindahan

    dirinya geisha serta penguasaan nya lagu, musik dan tarian. Hal ini juga menunjukkan

    aspek lain dari gaya hidup geisha; seni bukan hanya geisha ketertarikan atau

    kekhawatiran, Itu awalnya menggambarkan bentuk indah garis rambut di belakang

  • Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

    leher. Tetapi karena kita meletakkan makeup leher kita mirip dengan bentuk area

    genital, itu sekarang berarti geisha dengan area genital yang indah, sebuah 'tempat

    berjajar indah,' yang juga telah mengembangkan dirinya gei derajat yang tinggi. Ini

    adalah kombinasi sempurna erotis keindahan dan pencapaian artistik yang tinggi. Ini

    adalah apa yang kita inginkan. " ( Cobb, 1997 : 63 ). Kutipan ini menunjukkan

    kesulitan mengukur geisha dalam satu kategori, mereka adalah seniman dan mereka

    juga wanita kuat yang diinginkan oleh laki-laki.

    Selama masa Tokugawa geisha diatur oleh Undang- Undang Kemewahan

    yang membatasi secara ketat apa saja yang dapat mereka gunakan. Undang Undang

    ini adalah satu usaha untuk memisahkan geisha dan pelacur, dimana pelacur memakai

    kimono yang berlapis lapis dan hiasan rambut yang banyak sementara geisha

    mengenakan kimono yang lebih sederhana dan hiasaan rambut sedikit. Pada masa

    Meiji, kepopuleran geisha bukan saja mempengaruhi bidang politik dan sosial di

    Jepang, tetapi juga sangat mempengaruhi mode dan gaya masyarakat terbaru. Wanita

    wanita di seluruh Jepang dengan cepat mengikuti mode pakaian yang digunakan

    geisha. Geisha bahkan yang pertama kali menggunakan beberapa pola kimono baru

    dan gaya dalam memakainya.

    Meski mode pakaian Barat masuk ke Jepang namun geisha tetap memutuskan

    untuk tetap tradisional, peran geisha dalam dunia mode telah menghilang, dimana

    sebelumnya geisha adalah pelopor mode kimono terbaru.

    Tak dipungkiri lagi geisha selalu mengembangkan hubungan yang akrab

    dengan tamu tamunya dalam hal ini khususnya kaum pria, karena tamu tamu para

    geisha pada umumnya laki laki, mulai dari hubungan antar geisha dan

    pelanggannya sampai menjadi danna atau bahkan kekasih dari geisha tersebut. Pria

    Jepang biasanya mempunyai dua wanita dalam hidupnya yaitu istrinya dan

  • Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

    kekasihnya. Hal ini dianggap normal bagi pria yang kaya dan berkuasa untuk

    memiliki hubungan dengan geisha. Keadaan tersebut didasari oleh kebiasaan bahwa

    hampir semua pernikahan di Jepang diatur oleh keluarga bukan karena keinginan

    sendiri. Kemudian kelak dalam kehidupannya nanti, mereka memisahkan apa yang

    menjadi hak istri dan apa yang menjadi kesenangan pribadinya ( Benedict,

    1982 :192 ).

    Hanya kaum pria dari kelas atas yang mampu mempunyai simpanan, tetapi

    kebanyakan pria pernah mengunjungi geisha atau pelacur. Orang Jepang juga

    memiliki kebiasaan tidak keluar rumah dengan istrinya atau keluarganya, kecuali pada

    hari libur pergi memancing atau piknik ke tempat rekreasi lain. Pada pertemuan

    pertemuan resmi biasanya orang Jepang tidak membawa istri, Dikarenakan oleh

    pengaruh Barat, sekarang ini sudah mulai ada orang Jepang datang ke resepsi atau

    perjamuan dengan istrinya ( Rosidi, 1981 : 35 ). Untuk menghormati tamu atau

    mengadakan pembicaraan penting, diadakan di restosan gaya Jepang atau tempat

    hiburan lain, juga tidak dengan istrinya. Disinilah muncul peran geisha didalam

    restoran yang bergaya Jepang, yakni menggantikan peran istri untuk menghibur dan

    melayani tamu-tamunya, sementara mereka makan dan berbicara ( Rosidi, 1981 : 76 ).

  • Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

    2.5. Kehidupan Geisha

    2.5.1 Kehidupan Geisha dalam Keluarga

    Seorang geisha biasanya dijual sebagai seorang gadis kecil ketika keluarganya

    tidak mampu membiayainya. Dia disebut sebagai seorang shikomi, seorang pelayan

    yang terikat yang mengerjakan pekerjaan kasar. Rumahnya dikendalikan oleh

    seseorangg yang disebut okasan (ibu), biasanya pensiunan geisha. Seorang shikomi

    harus memberikan perhatian khusus pada keperluan-keperluan seorang geisha penuh

    yang menghasilkan uang untuk rumah tersebut. Jika gadis itu menunjukkan tanda-

    tanda bahwa dia berbakat, dia mulai belajar tari dan musik di sekolah geisha dimulai

    kira-kira pada usia 7 tahun. Setelah menghabiskan setengah hari di sekolah, di waktu

    yang tersisa lainnya dia harus mempraktekkan selama berjam-jam dan harus juga

    menyelesaikan tugas-tugasnya.

    Rumah-rumah geisha ("Okiya") membawa gadis-gadis yang kebanyakan

    berasal dari keluarga miskin dan kemudian melatih mereka. Semasa kanak-kanak,

    geisha seringkali bekerja sebagai pembantu, kemudian sebagai geisha pemula (maiko)

    selama masa pelatihan.

    2.5.2 Kehidupan Geisha dalam Politik Sistem pemerintahan Edo disebut dengan bakuhan taisei ( sistem bakufu dan

    han ). Bakufu adalah pemerintahan keshogunan yang merupakan pemeritahan pusat

    untuk seluruh wilayah, dan han adalah wilayah pemerintahan kedaimyoan sebanyak

    kurang lebih 200 buah, wilayah daimyo pada Zaman Edo yang dianggap merupakan

    pemberian bakufu.

    Okada dalam Situmorang (1995:58-60) mengatakan bakuhan taisei

    mempunyai dua pengertian yaitu yang pertama, baik di bakufu maupun di daerah han,

  • Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

    ada penguasa administrasi feodal. Karena petani adalah dasar sistem feodal, maka

    ditetapkan sistem pembagian golongan masyarakat atas bushi( prajurit ), nmin

    ( petani ), kojin( tukang ), dan shnin ( pedagang ). Dan yang kedua adalah bahwa

    bakuhan taisei mempunyai pengertian sebagai sebuah keluarga, hubungan bakufu dan

    han sebagai orang tua dan anak dimana anak harus taat dan mengerjakan pekerjaan

    yang ditetapkan orang tua.

    Secara keseluruhan kelembagaan administratif pada Zaman Edo adalah

    sebagai berikut: keluarga, desa ( pemerintah wilayah ) kemudian bakufu

    ( keshogunan ). Dalam bidang pemujaan dewa juga mengenal hierarki yaitu: iegami

    ( dewa ie ), ujigami ( dewa uji ), dewa keshogunan ( toshogu ) dan yang tertinggi

    adalah Tenno sebagai dewa seluruh Jepang.

    Kelompok masyarakat selalu didasarkan pada ie, untuk memantapkan

    kedudukan dan golongan kelompok diwujudkan dalam cara berbahasa dan cara

    berpakaian. Golongan masyarakat pada Zaman Edo di terapkan sangat ketat. Setiap

    kelas / golongan tidak diperbolehkan pindah ke golongan masyarakat lainnya. Pada

    Zaman edo jumlah golongan bushi ( militer ) sebanyak 9,8 %, petani sebanyak 76,4 %

    sisanya adalah golongan pendeta, pedagang dan tukang ( Toyoda dalam Situmorang

    2006:19 ). Oleh karena itu Zaman Edo disebut juga sebagai zaman dimana

    masyarakat benar benar menyadari golongan. ( Situmorang, 1995:62 ).

    Berbeda dengan kehidupan geisha, dalam sistem geisha pembagian

    pembagian golongan tidak terjadi seperti pada keterangan diatas, melainkan hanya

    sebagai pembatasan antara geisha kelas atas yang disebut tayu dengan geisha

    penghibur (yujo), juga batasan antara geisha senior dengan geisha junior yang dalam

    prakteknya geisha saling terikat satu sama lain. Dan dalam sistemnya geisha tidak

    mengenal ie yang memantapkan kedudukan dan golongan kelompok yang

  • Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

    diwujudkan dalam cara berbahasa dan cara berpakaian. Selain menghibur, geisha

    juga memiliki banyak andil dalam pergolakan-pergolakan politik di Jepang, hal itu

    karena sebagian besar perundingan-perundingan politik mengambil tempat di kedai

    teh dimana geisha bekerja. Peran geisha dalam kenyataannya sangat penting

    mengingat geisha mengambil alih dalam usaha mereka sebagai jembatan lobi bisnis

    antara perusahaan perusahaan besar di Jepang. Mereka banyak mengetahui rahasia-

    rahasia politik dan ada juga yang turut andil dalam mempengaruhi keputusan seorang

    politikus pada masa itu. Hal ini juga menggambarkan bahwa cara seperti itu selalu

    dipakai untuk menjatuhkan pejabat pemerintahan. Pada masa Edo banyak pejabat

    pemerintahan yang terjatuh atau terjebak dalam masalah yang berkaitan dengan

    prostitusi di kedai-kedai teh kota khususnya di Yoshiwara. Sehingga keterlibatan

    geisha dalam politik selain membawa pengaruh negatif bagi para pejabat namun juga

    membawa dampak positif bagi kehidupan mereka serta status sosial. Oleh sebab itu

    geisha adalah satu-satunya profesi di Jepang yang menempatkan wanita pada posisi

    teratas. Profesi ini juga menjadikan wanita sebagai sosok yang dihargai dalam

    masyarakat Jepang yang konon menempatkan wanita selalu di bawah pria dan juga

    mengubah hukum menjadikan status Yujo dan pelacur menjadi rendah, yang hanya

    trampil dalam seni bercinta dan geisha yang trampil dalam bidang musik dan tari.

    2.5.3. Kehidupan Geisha dalam Ekonomi

    Kenyataan bahwa banyak diantara para geisha yang dulunya di jual ke okiya

    okiya oleh keluarga mereka atau kerabatnya sendiri dengan harga yang murah.

    Sejumlah uang yang akan dibayarkan kepada orang tua si anak sebagai tanda

    pembelian si anak oleh okiya yang menampungnya. Hal ini banyak disebabkan oleh

    kesulitan ekonomi dan kemiskinan orang tunya di tambah lagi pada masa tersebut

  • Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

    Jepang mengalami krisis sosial yang menutup akses bagi masuknya pengaruh barat

    kepada masyarakat Jepang. Penjualan anak di Jepang bukanlah menjadi hal yang

    besar, karena seorang anak dianggap mempunyai giri atau hutang budi kepada orang

    tua yang telah membesarkannya, sehingga bila dengan terpaksa mereka dijual baik itu

    ke rumah rumah geisha atau kerumah pelacuran sekalipun, hal itu dianggap wajar

    untuk membantu keadaan orang tua yang tidak mampu.

    Selain itu peran geisha dalam bidang ekonomi sangat penting, hal ini dapat

    dilihat bahwa mereka juga memberikan penghidupan bagi orang lain. Maksudnya,

    jasa orang orang yang terlibat dalam pekerjaan geisha juga harus dibayar dari

    pendapatannya. Karena bagi geisha hal yang sangat membanggakan bila dapat

    mengahasilkan untuk orang lain. Sehingga geisha yang seperti itu sangat dihargai oleh

    para geisha lainnya.

    Dari perannya sebagai geisha, mereka juga dapat membuka lapangan

    pekerjaan bagi orang lain seperti, adanya kedai teh, asosiasi geisha, piata pakaian,

    okiyanya, dan lain lain. Orang orang tersebut tentunya bergantung dari pendapatan

    yang dihasilkan para geisha yang mereka tangani. Selain itu geisha juga

    menyumbangkan bagi pembangunan Negara melalui pajak pajak yang harus mereka

    bayarkan. Karena profesi geisha merupakan jenis hiburan yang diizinkan oleh

    pemerintah karena itu pendapatan mereka dikenakan pajak yang dibayarkan melalui

    Kantor Pendaftaran. Hal ini dikarenakan bayaran geisha dibayar melalui sistem yang

    sama. Pelanggan menerima tagihan dari restoran untuk makanan, minuman, sewa

    ruangan, dan geisha. Dia akan membayar biaya restoran, yang terpisah dari bayaran

    geisha dan mengirimkan kwitansi dengan jumlah yang harus dibayarnya kepada

    kenban. Kenban kemudian menghitung besarnya pembayaran untuk setiap geisha,

    mengambil pajak (biasanya sekitar 10 persen), mengambil sedikit persenan (3 persen)

  • Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

    untuk biaya operasi, dan mengembalikan sisanya kepada geisha yang akan

    menerimanya dalam bentuk gaji satu atau dua kali sebulan.

    2.5.4 Kehidupan Geisha dalam Sosial Budaya

    Sepanjang zaman ini, Jepang semakin mempelajari teknik dan ilmu

    pengetahuan Barat (disebut rangaku, secara harfiah pengetahuan dari bangsa

    Belanda) melalui informasi dan buku-buku yang didapat dari para saudagar Belanda

    di Dejima. Subjek utama yang banyak dipelajari termasuk geografi, kedokteran, ilmu

    lam, astronomi seni, bahasa dan sastra, ilmu fisika seperti fenomena listrik, dan ilmu

    mekanik seperti yang diperlihatkan dengan Jepang dalam kemajuan mengembangkan

    jam atau wadokei, diilhami dari teknik yang dimiliki bangsa Barat.

    Pesatnya pertumbuhan Neo-Konfusianisme merupakan perkembangan

    intelektual yang paling terlihat di zaman Tokugawa. Ajaran Konfusianisme telah lama

    dibiarkan aktif di Jepang oleh para pendeta Buddha, namun selama zaman Tokugawa,

    Konfusianisme berada dalam kendali Buddha. Sistem meditasi ini menarik banyak

    perhatian bagi kalangan yang memiliki pandangan sekuler. humanisme etis,

    rasionalisme, dan pandangan historis terhadap doktrin neo-Konfusianisme terlihat

    menarik bagi masyarakat yang terbagi dalam beberapa kelas. Pada pertengahan abad

    17, ajaran neo-Konfusianisme menjadi filososi masyarakat Jepang yang digemari dan

    berkontribusi secara langsung pada perkembangan kokugaku (ilmu kenegaraan) di

    sekolah meditasi.

    Pembelajaran secara berkelanjutan dan pertumbuhan penerapan ajaran neo-

    Konfusianisme berkontribusi pada transisi kondisi sosial dan politik dari bentuk

    feodal ke bentuk penerapan yang berorientasi pada masyarakat luas. Aturan bagi

    masyarakat atau penganut Konfusianisme secara bertahap digantikan oleh kepastian

  • Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

    hukum. Hukum baru dikembangkan, dan perlengkapan administratif baru didirikan.

    Sebuah teori pemerintahan dan pandangan kemasyarakatan yang baru muncul sebagai

    pembenaran atas penguasaan yang lebih komprehensif oleh bakufu. Setiap orang

    memiliki tempat yang berbeda dalam masyarakat dan diharapkan dapat bekerja untuk

    memenuhi tugas mereka. Masyarakat harus menerima dengan lapang bahwa mereka

    harus dapat diperintah oleh mereka yang memang ditugaskan untuk memerintah

    mereka. Pemerintah bisa dianggap mahakuasa namun sangat perhatian dan

    bertanggung jawab. Meskipun sistem pembagian kelas ini dipengaruhi oleh ajaran

    neo-Konfusianisme, sistem ini sama sekali tidak sama dengan ajaran sesungguhnya.

    Sedangkan tentara dan petinggi agama berada di hierarki paling bawah dalam sistem

    yang sama di Cina, di Jepang, beberapa di kelas ini berperan penting dalam pendirian

    kekuasaan (ruling elite).

    Kaum samurai mempertahankan tradisi mereka dengan pembaharuan minat

    Dalam sejarah Jepang dan dalam penanaman tradisi pengajaran Konfusianisme,

    menghasilkan perkembangan dalam konsep bushido (jalan para samurai). Jalan hdup

    lainnya chnind juga muncul. Chnind ( , jalan para pedagang)

    merupakan budaya yang berbeda yang bangkit di kota-kota besar seperti Osaka,

    Kyoto, dan Edo. Hal ini mendorong harapan dalam peningkatan kualitas bushido

    kerajinan, kejujuran, kehormatan, kesetiaan, dan kesederhanaandengan

    mencampuradukkan ajaran Shinto, neo-Konfusianisme, dan Buddha. Peningkatan pun

    terjadi pada pembelajaran matematika, astronomi, kartografi, ilmu rancang-bangun,

    dan pengobatan. Penekanan ditempatkan pada kualitas pengerjaan, terutama dalam

    bidang seni. Untuk pertama kalinya, populasi di kota memiiki keinginan dan waktu

    untuk mendukung kebudayaan masyarakat yang baru. Keinginan mereka untuk

    mencari kesenangan kemudian dikenal sebagai ukiyo (, dunia yang mengapung),

  • Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

    dunia fashion yang ideal, pertunjukkan populer, dan penemuan kualitas estetik dalam

    objek dan kebiasaan hidup sehari-hari, termasuk seks (, shunga). Perempuan

    penghibur ( , geisha), musik, cerita terkenal, kabuki dan bunraku ( ,

    panggung wayang), syair, kesusastraan yang kaya, dan seni, yang tergambarkan

    dalam gambar kayu yang indah (dinamakan ukiyo-e), semua adalah bagian dari

    kebudayaan yang berkembang. Dunia sastra pun tumbuh seiring munculnya

    dramawan berbakat Chikamatsu Monzaemon (1653-1724) dan penyair haiku,

    pengarang esai, dan penulis catatan perjalanan Matsuo Bash (1644-1694).

    Cetakan ukiyo-e mulai diciptakan pada akhir abad 17, dan pada tahun 1764,

    Harunobu menciptakan cetakan polikrom yang pertama. Desainer generasi berikutnya,

    termasuk Torii Kiyonaga dan Utamaro, membuat lukisan tentang pelacur yang elegan

    dan terkadang terlalu vulgar. Pada abad 19, figur yang sering muncul adalah

    Hiroshige, seorang pelukis pemandangan yang sentimentil dan romantis. Sudut yang

    aneh dan bentuk yang sering diperlihatkan Hiroshige dalam lukisan pemandangannya

    dan karya-karya Kiyonaga dan Utamaro, dengan penekanan di atas bidang datar dan

    pada garis linier yang kuat, memiliki pengaruh kuat pada para pelukis Barat yang

    terkenal seperti Edgar Degas dan Vincent van Gogh di kemudian hari.

    Agama Buddha dan Shinto memiliki peranan penting di zaman Tokugawa.

    Buddha, yang digabungkan dengan neo-Konfusianisme, menciptakan sebuah standar

    tingkah laku sosial. Meskipun tidak memiliki kekuatan politik yang kuat seperti di

    masa lalu, Buddha banyak didukung oleh masyarakat kalangan atas. Pengasingan

    agama Kristen menguntungkan agama Buddha pada tahun 1640 ketika bakufu

    mengharuskan masyarakat mencatatkan diri ke kuil. Pemisahan masyarakat yang kaku

    di masa Tokugawa ke dalam han, desa, kabupaten, dan rukun warga turut menegaskan

    penanaman agama Shinto di daerah. Shinto memberikan penyegaran rohani ke dalam

  • Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

    situasi politik dan memiliki hubungan penting antara individu dan masyarakat. Shinto

    turut menjaga identitas nasional.

    Shinto dengan cepat mengasumsikan sebuah bentuk intelektual dari

    rasionalisme dan materialisme kaum neo-Konfusianisme. Gerakan kokugaku muncul

    dari interaksi kedua sistem kepercayaan ini. Kokugaku mendukung nasionalisme yang

    berpusat pada penguasa di Jepang modern dan kebangkitan kembali agama Shinto

    sebagai kepercayaan resmi negara di abad 18 dan 19. Kojiki, Nihongi, dan Man'ysh

    semuanya dipelajari kembali sebagai pencarian jiwa masyarakat Jepang. Beberapa

    pemeluk paham kemurnian dalam gerakan kokugaku, seperti Motoori Norinaga,

    bahkan mengritik pengaruh kaum Konfusianisme dan Buddhapada hakikatnya,

    pengaruh asingdalam menodai jalan hidup masyarakat Jepang. Jepang merupakan

    tanah para kami (, dewa) dan, demikianlah, memiliki takdir yang khusus.

    "Geisha" adalah sebuah kata yang berarti "orang yang praktek / kehidupan

    oleh gei (seni). Melalui definisi sederhana ini kita dapat menetapkan sejarah siapa

    geisha dan bagaimana mereka telah terlihat. Gei secara khusus mengacu pada seni

    memainkan shamisen (alat musik bersenar tiga), drum, tradisional menari dan

    menyanyi, upacara minum teh, kaligrafi, dan seni percakapan. Pembentukan geisha

    seperti sekarang ini diresmikan pada akhir 1800-an. Terdiri dari lingkungan yang

    disebut hanamachi di mana terdapat rumah minum teh, pengrajin, toko mie dan okiya

    - geisha rumah-rumah tempat tinggal. Di okiya kehidupan ada yang okamisan (

    "induk" yang mengelola rumah), bersama dengan keluarganya dan berbagai geisha,

    maiko dan Tamago's. Gadis-gadis muda diambil ke rumah di berbagai usia, dan

    melakukan berbagai pekerjaan sambil mengamati geisha dan maiko (geisha-dalam-

    pelatihan). Mereka disebut Tamago, yang berarti "telur" yang menandakan tingkat

    pelatihan mereka. .

  • Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

    Ketika mereka mencapai 17 mereka dapat menjadi maiko, dan memulai

    pelatihan dengan sungguh-sungguh untuk menjadi geisha. Para maiko mengambil

    pelajaran di shamisen, menari, dan seni lain dari geisha. . Mereka bisa pergi ke pesta

    geisha, tetapi tidak diharapkan akan siap secara sosial sebagai geisha. Maiko sangat

    dikenali oleh mereka yang rumit gaya rambut, riasan wajah putih dan bibir merah

    (maiko hanya memasukkan lipstik merah di bibir mereka yang lebih rendah). Ada

    tanda-tanda lain juga, yang berkaitan dengan bagaimana mereka memakai kimono

    dan dasi mereka obi mereka. Sekali maiko siap, sekitar umur 20, dia pergi melalui

    upacara erikae; erikae berarti "memutar kerah" dan mengacu pada salah satu bagian

    dari bagaimana gaunnya berubah ketika ia berubah dari maiko ke geisha.

    Sebelum "modernisasi" pengaruh mencapai Jepang, maiko juga mengalami

    mizu-umur, sebuah upacara yang berputar di sekitar mereka kehilangan keperawanan

    kepada penawar tertinggi. Sekarang ini dilarang. Ketika maiko menjadi geisha, rias

    mereka menjadi lebih halus, rambut mereka terikat dalam disanggul dan kimono

    mereka, sementara masih elegan, menjadi kurang berwarna-warni. Maiko dapat

    dibandingkan dengan cerah indah kupu-kupu; geisha kupu-kupu yang sama tetapi

    telah berkembang menjadi lebih elegan, berpengalaman, terdiri dan spesies halus.

    Geisha bekerja dengan mahal menjamu tamu di rumah minum teh, di mana mereka

    akan melakukan, menuangkan minuman, menceritakan lelucon dan cerita dan

    umumnya menjaga pesta. Kehadiran mereka mahal (perubahan modern; layanan

    mereka lebih murah di masa kejayaan mereka) dan mereka menghibur la creme de la

    creme dari masyarakat Jepang. Pendapatan utama mereka berasal dari kedai-kedai teh

    dan pelindung mereka. Satu hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa sementara

    waktu utama pelatihan dalam seni terjadi selama periode maiko, geisha terus

    memperbaiki keterampilan artistik mereka sepanjang karir profesional mereka. Hal ini

  • Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

    disebabkan tujuan mereka mewujudkan kesempurnaan dalam seni mereka dan juga

    untuk partisipasi mereka dalam pertunjukan tari tahunan. berpartisipasi dalam

    pertunjukan tari, yang biasanya biaya mereka banyak uang, untuk prestise dan cinta

    seni.

    Orang-orang ini memberikan geisha dengan kimono dan uang, dan sebagai

    imbalannya menerima lebih banyak perhatian khusus; apakah ini termasuk seksual

    adalah tergantung pada keinginan geisha. Akan bermanfaat untuk memberikan pesan

    singkat di sini tentang ekonomi menjadi geisha. Okiya harus memberikan dirinya

    dengan semua kimono dan pelajaran dan membayar biaya yang banyak-banyak ia

    incurs; lebih dari 80 tahun yang lalu salah satu dari biaya-biaya ini bisa saja biaya

    okiya memperoleh dirinya, baik melalui "pedagang budak" atau melalui membayar

    orangtuanya secara langsung. .

    Karena biaya ini pada saat seorang maiko telah menjadi geisha ia berutang

    okiya-nya sejumlah besar uang. Dia membayar off ini dengan bekerja sebagai geisha;

    demikian itu bekerja sebagai semacam sistem perbudakan. Jika ingin geisha pensiun,

    biasanya dia harus datang dengan sisa uang yang berutang okiya-nya. Dia biasanya

    bisa melakukannya dengan salah satu dari dua cara: dengan bekerja sebagai geisha

    selama bertahun-tahun atau dengan memiliki pelindung kaya "membeli keluar." Jika

    seorang geisha bekerja selama bertahun-tahun dia bisa mengatur untuk menyimpan

    cukup uang untuk membuka bisnis atau okiya.

  • Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

    2.6. Defenisi Novel dan Setting

    2.6.1 Defenisi Novel

    Sebutan novel berasal dari bahasa Italia, yakni novella yang secara harfiah

    berarti sebuah barang baru yang kecil dan kemudian diartikan sebagai cerita

    pendek dalam bentuk prosa ( Abrahams dalam Nurrgiyantoro, 1995 : 9 ). Dalam

    bahasa Jerman novel disebut dengan novella dan dalam bahasa Inggris disebut dengan

    novel, istilah yang kemudian masuk ke dalam bahasa Indonesia.

    Novel merupakan jenis dan genre prosa dalam karya sastra. Prosa dalam

    pengertian kesusasteraan juga disebut sebagai fiksi. karya fiksi menyaran pada suatu

    karya yang menciptakan sesuatu yang bersifat rekaan, khayalan, sesuatu yang ada dan

    terjadi sungguh sungguh sehingga tidak perlu dicari kebenaranya pada dunia nyata

    ( Nurgiyantoro, 1995 : 2). Tokoh peristiwa dan tempat yang disebut sebut dalam

    fiksi adalah tokoh, peristiwa, dan tempat yang bersifat imajiner.

    Menurut Jacob Sumardjo ( 1990: 11-12 ), novel adalah genre sastra yang

    berupa cerita, mudah di baca dan di cernakan, juga kebanyakan mengandung unsure

    suspense dalam alur ceritanya yang mudah menimbulkan sikap penasaran bagi

    pembacanya. dan menurut Takeo dalam Pujiono ( 2002 : 3 ), Novel merupakan

    sesuatu yang menggambarkan kehidupan sehari hari di dalam masyarakat meskipun

    kejadiaanya tidak nyata.

    Walau bersifat imajiner namun ada juga karya fiksi atau novel yang

    berdasarkan diri pada fakta. Karya fiksi yang demikian oleh Abrams dalam

    Nurgiyantoro ( 1995 : 4 ) digolongkan sebagai fiksi non fiksi ( Nonfiction fiction ),

    yang terbagi atas (1) fiksi histories ( historical fition ) atau novel histories, jika yang

    menjadi dasar penulisan fakta sejarah; (2) fiksi biografis ( biographical fiction ) atau

    novel biografis; jika yang menjadi dasar penulisan fakta biografis dan (3) fiksi sains

  • Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

    (science fiction ) atau novel sains, jika yang menjadi dasar penulisannya fakta ilmu

    pengetahuan.

    Dilihat dari penggolongannya, maka penulis memasukkan novel The Demon

    in The Tea House, yang merupakan objek penelitian ini, ke dalam novel historis

    karena terkait oleh fakta fakta yang dikumpulkan melalui penelitian dari berbagai

    sumber.

    2.6.2 Setting Dalam Novel The Demon in The Tea House

    Setting atau latar yang disebut juga sebagai landasan tumpu, menyaran pada

    pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya

    peristiwa peristiwa yang diceritakan ( Abrams dalam Nugiyantoro, 1995 : 216 ).

    Unsur unsur latar dapat dibedakan kedalam tiga unsur pokok, yaitu:

    1. Latar Tempat

    Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan

    dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat

    tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama

    jelas. Dalam novel The Demon in The Tea House mengambil latar tempat di

    kawasan yang dikenal dengan dunia terapung tepatnya di kota Yoshiwara.

    2. Latar Waktu

    Latar waktu berhubungan dengan masalah kapan terjadinya peristiwa

    peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah kapan tersebut biasanya

    dihubunggkan dengan waktu factual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan

    dengan peristiwa sejarah. Oleh sebab itu dalam kaitannya sebagai latar waktu maka

    dalam novel The Demon in The Tea House karya Dorothy dan Thomas Hoobler

  • Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

    mereka mengambil setting pada masa kekuasaan rezim tokugawa tepatnya pada abad

    -18.

    3. Latar Sosial

    Latar sosial menyaran kepada hal hal yang berhubungan dengan perilaku

    kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi

    maupun non fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat dapat berupa kebiasaan

    hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap,

    dan lain-lain. Latar sosial juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang

    bersangkutan, misalnya rendah, menengah, atau atas.

    Demikian juga dalam novel The Demon in The Tea House terdapat ruang

    lingkup, tempat, dan waktu sebagai waana para tokoh tokohnya mengalami berbagai

    pengalaman kehidupannya. Peristiwa peristiwa yang terdapat dalam novel The

    Demon in The Tea House terutama terjadi di dua tempat, yakni di Edo, dan

    Yoshiwara.

    Sekitar tiga abad yang lalu, kota terbesar di dunia adalah Edo, ibu kota militer

    Jepang. disana, dalam kastil batu raksasa, hidup Shogun Yoshimune, keluarga

    Tokugawa kedelapan yang memerintah Jepang. Shogun pertama dari Tokugawa,

    Ieyasu, menempati puncak kekuasaan setelah mengalahkan musuh musuhnya dalam

    peperangan. Para penerus Ieyasu menyadari ancaaman pada kekuasaan mereka jika

    membiarkan saingan saingan menjadi terlalu kuat. untuk itu Yoshiwara dibina di

    dalam bandar Edo, Alasan utama dibuatnya bandar-bandar tanpa malam ini ialah

    percobaan oleh keshogunan Tokugawa untuk menghalang golongan yang semakin

    kaya-raya chnin (orang bandar) agar tidak terlibat dalam rancangan politik jahat.

    terletak berdekatan dengan apa yang dikenali pada hari ini sebagai Nihonbashi,

  • Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

    bersamaan dengan Tokaido yang sibuk itu di alihkan ke barat Kyoto di barat Jepang.

    Pada tahun 1656, disebabkan keperluan terhadap ruang kerana perkembangan bandar

    itu, pemerintahan mengambil keputusan untuk menempatkan semula Yoshiwara, dan

    perancangan-perancangan dibuat untuk memindahkan daerah tersebut ke lokasinya

    sekarang di utara Asakusa di pinggir bandar tersebut.

    Yoshiwara pernah menempatkan pelacur-pelacur sebanyak 1750 orang pada

    tahun 1700-an, dengan mencapai rekod sebanyak 3000 orang dari seluruh Jepang

    pada waktu itu. Kawasan itu dihuni lebih 9000 orang wanita, ramai antara mereka

    yang menghidap penyakit kelamin pada tahun 1893. Wanita-wanita ini kerap kali

    dijual ke rumah pelacuran oleh orang tua mereka pada usia 7 hingga 12 tahun.

    Sekiranya anak-anak gadis itu bernasib baik, dia dapat menjadi perantis bagi pelacur

    kelas atasan yang berpangkat tinggi. Kelas masyarakat tidak begitu dibahagi-

    bahagikan secara ketat di Yoshiwara. Seorang rakyat bawahan yang mempunyai uang

    cukup layak dilayani setaraf dengan samurai. Walaupun samurai tidak dibenarkan

    untuk memasuki kawasan Yoshiwara.

    Orang Edo sangat takut pada api, melebihi ketakutan pada sepasukan samurai.

    Karena api datang tanpa peringatan, sering kali ketika kota sedang terlelap, dan

    menyebar lebih cepat dari pada kesatria berkuda. Edo sangat padat, dan banyak rumah

    dibangun dengan terburu buru. Rumah rumah mereka sangat rapuh, terbuat dari

    kayu tipis dengan jendela kertas. Sekali api berkobar tidak terkendali, ia bisa melahap

    satu baris rumah dalam sekejap. Hal ini berlaku di seluruh Jepang sehingga kawasan

    Yoshiwara ini pun tak luput dari kebakaran.

    Ironiknya, daerah Yoshiwara yang lama musnah terbakar dalam Kebakaran

    Meireki (1657) ia dibina kembali di lokasi baru yang dinamakan Shin Yoshiwara

  • Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

    (Yoshiwara baru), lokasi lama dinamakan Moto Yoshiwara (Yoshiwara asal)

    akhirnya perkataan "shin" dibuang, dan daerah baru itu hanya dikenali sebagai

    Yoshiwara. Kawasan itu musnah dalam kebakaran besar pada tahun 1913, dan

    kemudiannya hampir disapu bersih oleh satu gempa bumi pada tahun 1923.

    Perniagaan di situ tidak lagi berjalan sehingga pelacuran dihapuskan oleh kekaisaran

    Jepang pada tahun 1958 setelah Perang Dunia Kedua.

    Geisha pada dasarnya, hanyalah penghibur. Mereka hanya belajar bagaimana

    memuaskan pelanggan. Seorang geisha yang berusaha membunuh geisha lain akan

    bisa dengan mudah dikenali, Ia pastinya tidak punya peluang kerja di Yoshiwara.

    Orang orang di Edo masih tetap membicarakan betapa menakutkannya Great

    Furisode Fire ( api besar menggulung ). Geisha tidak suka jika kedai tidak

    memperlihatkan kelas tinggi. Bagi seorang geisha menjadi geisha itu merupakan jalan

    terbaik untuk mendapatkan uang yang banyak. hal ini berlaku di Yoshiwara

    kehidupan yang sangat sulit sehingga mengharuskan mereka menerima takdir untuk

    menjadi geisha.

    Ba