02 Mk Carla Cnvrt

7

Click here to load reader

Transcript of 02 Mk Carla Cnvrt

Page 1: 02 Mk Carla Cnvrt

120 � Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 14, No. 3 September 2011

Carla R. Marchira: Integrasi Kesehatan Jiwa

INTEGRASI KESEHATAN JIWA PADA PELAYANAN PRIMER DI INDONESIA:SEBUAH TANTANGAN DI MASA SEKARANG

INTEGRATION OF MENTAL HEALTH INTO COMMUNITY HEALTH CARE IN INDONESIA:A REVIEW OF THE CURRENT CHALLENGES

Carla R. MarchiraBagian Jiwa, Fakultas Kedokteran,

Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

ABSTRACTDeveloping countries often encounter difficulties integratingmental health into community health care, and Indonesia is noexception. With an estimated population of 240 million, but withvery limited human resources in health care, especially mentalhealth care, Indonesia struggles to maintain an effective men-tal health program. This review describes the changing pro-cess in Indonesian governmental policies concerning mentalhealth, the current status and challenges of mental health incommunity health care, and suggestions toward minimizingthe problems. Suggestions include training health workers,waging a national campaign against stigma, and develop themental health program accomodated with the need assess-ment of the area.

Keywords: integration, mental health, community health care

ABSTRAKNegara-negara berkembang, sering menemukan kesulitan da-lam mengintegrasikan kesehatan jiwa ke dalam pelayanan pri-mer, seperti juga Indonesia. Jumlah penduduk yang diperkirakansebanyak 240 juta jiwa, namun dengan terbatasnya sumberdaya manusia dalam bidang kesehatan, terutama tenagakesehatan jiwa, Indonesia masih berjuang untuk menciptakanprogram kesehatan jiwa yang efektif. Review ini menjelaskanperubahan kebijakan pemerintah mengenai pelayanan kesehat-an jiwa, tantangan dalam mengintegrasikan kesehatan jiwapada pelayanan primer dan beberapa saran untuk mengatasipermasalahan yang timbul. Saran-saran di sini termasukpelatihan pekerja kesehatan, kampanye nasional anti stigma,dan pengembangan program kesehatan jiwa sesuai kebutuhandaerah setempat.

Kata Kunci: integrasi, kesehatan jiwa, pelayanan primer

PENGANTARSejak tahun 2000, Kementrian Kesehatan In-

donesia mengalami reorganisasi administratif.Direktur Jenderal Kesehatan Jiwa (Dirjen Keswa)berada di bawah Dirjen Kesehatan Komunitas, danorientasi Kementrian Kesehatan telah berubah darikesehatan jiwa berbasis rujukan (pasien gangguanjiwa dirujuk ke Rumah Sakit Jiwa (RSJ) menujukesehatan jiwa komunitas dasar (pasien gangguanjiwa dapat dirawat di komunitas atau di pelayananprimer)1, sehingga pelayanan kesehatan jiwa yang

sebelumnya disediakan di RSJ maupun Rumah SakitUmum (RSU) dapat dilakukan berbasis komunitasdi pelayanan primer. Menurut Kementrian Kesehatanada empat perubahan dasar pada kebijakankesehatan jiwa: 1) sistem berbasis rumah sakitmenjadi berbasis komunitas, 2) pasien gangguanjiwa dapat dirawat pada seluruh pelayanankesehatan, 3) pasien gangguan jiwa dapat dirawatsebagai pasien rawat jalan (tidak harus dirawat dibangsal), 4) pasien gangguan jiwa didukung untukmandiri.4 Sebagai tambahan, selain adanyaperubahan pada kebijakan administratif, terdapatperubahan pada sistem pembiayaan atau finansialpada tahun 2001 yaitu desentralisasi dan regulasiotonomi daerah yang merubah aturan pembiayaandari pusat ke pemerintahan provinsi dan kabupaten.Perubahan ini membuat aktivitas kesehatan menjaditanggung jawab pemerintah provinsi dan kabupaten,termasuk di dalamnya kesehatan jiwa.

Menurut WHO2, satu di antara empat orang diseluruh dunia memiliki masalah kejiwaan. Di AsiaTenggara hampir sepertiga dari populasi suatu ketikaakan mengalami gangguan neuropsikiatrik.2 Seiringdengan meningkatnya kepedulian pada peningkatanprevalensi permasalahan kejiwaan, Dirjen Keswamenerbitkan Buku Pedoman untuk kesehatan jiwakomunitas, yang berisi pandangan mengenaisepuluh rekomendasi WHO pada kesehatan jiwa.1

Namun demikian beberapa pertanyaan penting masihperlu dipikirkan: Bagaimana status programkesehatan jiwa di pelayanan primer sejauh ini?Adakah perubahan berarti setelah adanya perubahanregulasi? Dapatkah pelayanan primer meng-akomodasi perubahan regulasi kesehatan jiwa yangbaru ini? Jawabannya tidaklah mudah karenabanyaknya permasalahan yang harus dipecahkan.Untuk menjawab pertanyaan pertama, kita perlumenelusuri sejarah dan perkembangan pelayananprimer di Indonesia.

JURNAL MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATANVOLUME 14 No. 03 September � 2011 Halaman 120 - 126

Makalah Kebijakan

Page 2: 02 Mk Carla Cnvrt

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 14, No. 3 September 2011 � 121

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

Sejarah dan perkembangan pelayanan primerdi Indonesia

Indonesia merupakan negara kepulauanterbesar di dunia dengan perkiraan penduduksebanyak 240 juta jiwa. Indonesia terdiri dari 33provinsi, setiap provinsi terbagi menjadi kabupatenatau kotamadia dan setiap kabupaten ataukotamadia terbagi menjadi kecamatan. Pada setiapkecamatan terdapat pelayanan primer yang disebutPusat Kesehatan Masyarakat atau Puskesmas,sebuah unit pelayanan kesehatan yang menyediakansistem pengobatan terintegrasi yang mudahdiakses.3 Konsep Puskesmas dikembangkanpertama kali pada tahun 1950, sebagai pelayanankesehatan terintegrasi untuk pengobatan, sanitasilingkungan, dan vaksinasi cacar air. Pusat pelayanankesehatan ini menjadi Pelayanan KesehatanNasional (master plan antara pemerintah Indonesiadengan UNICEF). Pada tahun 1968 terdapat 1.058Puskesmas dengan program utama pengobatan,kesehatan ibu dan anak (KIA), dan keluargaberencana (KB), pencegahan dan pengobatanpenyakit menular, kebersihan lingkungan, pendidikankesehatan komunitas, perawatan kesehatankomunitas dan survei data.4

Pada tahun 1973-1974 jumlah Puskesmasmeningkat lebih dari dua kali menjadi lebih dari 2.343,menjadikan rasio 1 Puskesmas per 50.000 orang diJawa dan Pulau Bali dan 1:95.000 untuk pulau yanglain. Pada tahun 1999 jumlah Puskesmas menjadi7.195, dan sekarang ini menjadi 7.243 (Gambar 1).Perkiraan jumlah Puskesmas pada tahun 1998 per100.000 penduduk di setiap provinsi digambarkanpada Gambar 2. Adanya peningkatan jumlah

Puskesmas memperlihatkan jika Puskesmasmerupakan elemen yang diperlukan dalam sistempelayanan kesehatan di Indonesia.4

6.8506.9006.9507.0007.0507.1007.1507.2007.250

1994 1996 1998 present

No. of CHC

Gambar 1. Jumlah Puskesmas di Indonesia1994-sekarang

Setiap Puskesmas biasanya dipimpin olehseorang dokter umum, dibantu oleh beberapaperawat, bidan, dan staf administrasi. Peran dokterumum di Puskesmas sangat penting baik sebagaimanajer juga sebagai klinisi. Namun demikian,jumlah dokter umum di setiap provinsi tidak sama.Tidak setiap Puskesmas memiliki dokter umum.Sebanyak 15 provinsi memiliki dokter di bawah rasionasional di tahun 1998. Sementara distribusipenduduk juga tidak merata di setiap provinsi danpulau. Pulau Jawa dihuni oleh kurang lebih 60%penduduk Indonesia5 sebagai konsekuensinyaaktivitas program kesehatan terkonsentrasi di PulauJawa. Sebagai tambahan, di Puskesmas terdapatkegiatan Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu), yangmerupakan usaha kesehatan dengan sumber dayadari masyarakat. Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu)

9.477.617.54

7.447.347.3

6.166.1

5.765.5

5.355.06

4.834.81

4.464.35

4.043.72

3.563.44

3.363.35

2.912.792.78

2.682.64

IrjaSultra

KaltengTimtim

MalukuBengkulu

KalselSulteng

KaltimNTT

D.I. AcehSulut

KalbarJambi

SumbarSulsel

D.I. YogyaBali

SumselDKI Jakarta

RiauSumut

NTBLampung

JatengJabarJatim

0 2 4 6 8 10 12

Nasional (3,55)

Gambar 2. Jumlah Puskesmas per 100.000 pendudukpada setiap provinsi di Indonesia di tahun 1998

Sumber: Indonesian Health Profile4

Page 3: 02 Mk Carla Cnvrt

122 � Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 14, No. 3 September 2011

Carla R. Marchira: Integrasi Kesehatan Jiwa

disupervisi oleh Puskesmas, mempunyai 5 programprioritas berupa KB, KIA, gizi, imunisasi, danpengobatan diare. Setiap Posyandu melayani 100balita (120 rumah tangga) atau disesuaikan dengankemampuan pekerja kesehatan di Puskesmas dansituasi lokal. Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu)memiliki kader yang direkrut secara sukarela darimasyarakat. Pekerjaan kader adalah membantupetugas kesehatan dari Puskesmas pada 5 programprioritas, termasuk menimbang bayi dan balita,menyediakan informasi mengenai 5 programtersebut, mendistribusikan obat, mengambil danmenyimpan data kesehatan. Aktivitas Posyandubiasanya dilakukan 1 bulan sekali secara rutin.

Dari tahun 1970 sampai sekarang jumlah pro-gram di Puskesmas bertambah dari 7 programmenjadi 18, termasuk program kesehatan jiwa (Tabel1), yang menjadi bagian dari program Puskesmassejak tahun 1974.6 Program yang menjadi prioritasdi Puskesmas tetap KIA, KB, dan pencegahan danpengobatan penyakit menular. Untuk program-pro-gram tersebut, pemerintah meluncurkan kampanyenasional besar-besaran. Poster, buklet, brosur dibuatuntuk program-program tersebut. Tidak pernah adakampanye nasional di bidang kesehatan jiwamaupun brosur dan poster tentang kesehatan jiwayang bisa ditemukan di Puskesmas. Apalagi jikadibandingkan dengan program-program KIA, KB, danpencegahan dan pengobatan penyakit menular, pro-gram kesehatan jiwa tidak menjadi prioritas.

Sejak awal, prioritas program di Puskesmasadalah kesehatan fisik. Meskipun program kese-hatan jiwa termasuk dalam 18 program Puskesmas,program kesehatan jiwa selalu menjadi prioritasakhir. Terdapat buku pedoman untuk setiap programdi Puskesmas, termasuk untuk program kesehatan

jiwa. Form laporan bulanan untuk gangguan jiwa jugadisediakan. Form laporan bulanan ini membedakangangguan jiwa menjadi psikotik, neurotic, retardasimental, gangguan jiwa pada anak dan remaja, sertagangguan jiwa yang tidak terinci.3 Namun demikiankarena kesehatan jiwa merupakan prioritas akhir,form laporan gangguan jiwa ini tidak begitu men-dapatkan perhatian seperti program-program prioritasyang lain. Di Posyandu, 5 program prioritas tidakpernah memasukkan program kesehatan jiwa. Padanegara berkembang angka kematian ibu dan bayimasih tinggi dan kesehatan jiwa belum dijadikanprioritas karena gangguan jiwa belum dihubungkandengan peningkatan angka kematian, beban darigangguan jiwa belum dianggap terlihat secara nyata.7Kita memang tidak bisa membandingkan bebangangguan jiwa dengan kematian ibu dan bayi, namunjika kita melihat Disability Adjusted Life Year (DALYs)atau hari-hari produktif yang hilang karena gangguanjiwa, akibat langsung yang ditimbulkan olehgangguan jiwa akan segera terlihat. Menurut TheWorld Bank8, DALYs dari masalah gangguan jiwamenyebabkan beban di seluruh dunia sebesar 8.1%dari beban penyakit global. Angka ini lebih besardari tuberkulosis, kanker, atau penyakit jantung(7,2%, 5,8%, 4,4% secara berurutan).8

Selama ini pendekatan perawatan pasiengangguan jiwa adalah dengan sistem rujukan yaitupuskesmas sebagai pusat pelayanan primer hanyamemeriksa pasien gangguan jiwa untuk kemudianmerujuk ke pasien tersebut ke rumah sakit. Sistemberbasis rujukan ini berakar dari Pemerintah KolonialBelanda sebelum perang dunia kedua pasien jiwaakut menjadi tanggung jawab kantor kesehatan, danpasien kronis menjadi tanggung jawab dinas sosial.Kebijakan pemerintah sejak awal tidak pernah

Tabel 1. Program di Puskesmas

1970 2002 1.2. 3. 4. 5 6. 7.

Pengobatan Kesehatan ibu dan anak – keluarga berencana Pencegahan dan pengobatan penyakit menular Kesehatan lingkungan Pendidikan kesehatan komunitas Perawatan kesehatan komunitas Survei data

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

10. 11. 12. 13. 14. 15.

17.

Pengobatan Kesehatan ibu dan anak Keluarga berencana Pencegahan dan pengobatan penyakit menular Gizi Kesehatan lingkungan Perawatan kesehatan komunitas Usaha kesehatan sekolah Program kesehatan lansia Program kesehatan kerja Program kesehatan gigi Program kesehatan mata Pendidikan kesehatan komunitas Konseling Program kesehatan olah raga dan haji laboratorium dasar Program kesehatan jiwa

Page 4: 02 Mk Carla Cnvrt

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 14, No. 3 September 2011 � 123

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

mempertimbangkan pelayanan kesehatan jiwakomunitas.9 Sistem seperti ini tentu saja akan mem-batasi kapasitas Puskesmas untuk mengem-bangkan program kesehatan jiwa di komunitaskarena sejak awal Puskesmas tidak pernah diper-siapkan untuk menyediakan pelayanan kesehatanjiwa komunitas. Sejarah dan perkembanganpelayanan kesehatan primer di Indonesia telahdijelaskan, namun masih banyak pertanyaan yangharus dijawab. Adakah perubahan dalam programkesehatan jiwa di Puskesmas setelah adanyakebijakan pemerintah yang baru? Apa saja tantanganyang dihadapi untuk mengembangkan programkesehatan jiwa di Puskesmas? Hal ini akandidiskusikan lebih lanjut.

Kesehatan jiwa di pelayanan primer dantantangannya di masa sekarang

Sejak adanya regulasi baru yang berpengaruhpada sistem finansial dan kebijakan kesehatan jiwa,tidak ada perubahan yang berarti pada programkesehatan jiwa di Puskesmas. Bila kita melihatalokasi anggaran untuk Direktorat Kesehatan JiwaKomunitas dari Kementrian Kesehatan RI pada tahun2001, jumlahnya hanya sebesar 1,4 milyar rupiahdari total anggaran sebesar 1,2 trilyun rupiah untukprogram-program kesehatan.10 Jumlah ini kurang dari0,12% total anggaran untuk kesehatan. Hal iniberhubungan dengan rendahnya anggaran untuk pro-gram-program kesehatan dari pemerintah. Padanegara berkembang, sebagian besar alokasianggaran diperuntukkan bagi pengembangankonstruksi fisik.2 Di Indonesia alokasi anggaran untukprogram kesehatan hanya 3%-3,5% dari total alokasidana umum dan WHO menentukan jika seharusnyaminimum anggaran untuk program kesehatan adalahsebesar 5% dari total alokasi dana umum.

Permasalahan yang ada tidak hanyapermasalahan finansial. Hanya sekitar 1000 pulauyang dihuni dari lebih 17.000 pulau di Indonesiadengan perbedaan kepadatan penduduk di setiappulau (Pulau Jawa memiliki jumlah pendudukterbesar). Hal ini membuat pemerintah mengalamikesulitan untuk memonitor program-programkesehatan yang ada di Puskesmas, termasuk pro-gram kesehatan jiwa. Selain kesulitan dalamsupervisi program kesehatan jiwa di Puskesmas,minimnya sumber daya dan fasilitas kesehatan jiwasampai sekarang juga masih terjadi. Hanya adasekitar 600 psikiater di Indonesia dan 75% memilihbekerja di Pulau Jawa dan 86% dari jumlah tersebutbekerja di Jakarta.9 Dengan kata lain satu psikiateruntuk 400.000 penduduk Indonesia. Dibandingkan

dengan Indonesia, negara-negara di wilayah PasifikBarat memiliki rasio lebih baik untuk perbandinganpsikiater per penduduk. Australia memiliki 9,2psikiater per 100.000; Jepang memiliki 7,08 per100.000; dan Singapura 1,00 per 100.000.11

Jumlah rumah sakit jiwa di Indonesia jugaterbatas, hanya ada 5 rumah sakit jiwa pusat, 28rumah sakit jiwa provinsi, dan 16 rumah sakit jiwapribadi untuk melayani 240 juta penduduk. MenurutWHO2, pelayanan dan sumber daya kesehatan jiwadi negara berkembang memang masih jarang ada,sehingga pelayanan dan perawatan gangguan jiwaseharusnya dapat dilakukan oleh dokter umum danpekerja-pekerja kesehatan yang lain.2,12 Namununtuk dapat melakukan manajemen dan diagnosisdini kesehatan jiwa, dokter umum dan pekerja-pekerja kesehatan yang lain tersebut harus diberipelatihan tentang kesehatan jiwa.2

Telah ada beberapa aktivitas terintegrasi untukpelatihan dan konsultasi dari psikiater di rumah sakitjiwa kabupaten maupun provinsi pada dokterPuskesmas, namun kegiatan ini hanya terjadi padabeberapa provinsi dan kabupaten. Minimnyapelatihan dan pengetahuan pekerja kesehatan padakesehatan jiwa, akan membuat form pelaporangangguan jiwa diisi secara salah atau asal-asalanatau bahkan tidak diisi sama sekali. Hal ini akanmembuat sulitnya mendapatkan data yang akuratatau melakukan penelitian kesehatan jiwa diPuskesmas karena adanya stigma yang melekatpada gangguan jiwa. Stigma dari masyarakatmembuat pasien enggan untuk mengeluhkanadanya problem psikologis maupun psikiatris padadokter.12,13

Mengintegrasikan kesehatan jiwa di pelayananprimer seharusnya termasuk menyediakan obat-obatan yang adekuat dan dapat diandalkan. Macam-macam obat generik untuk kesehatan jiwa yangdisediakan pemerintah di Puskesmas dapat dilihatpada Tabel 2.14 Pada beberapa kasus, obat-obatanini tidak pernah dipakai, pada kasus yang lain obat-obatan ini kadang tidak tersedia.3 Ketersediaan obat-obatan ini berdasarkan permintaan dari Puskesmas,sehingga jika Puskesmas tidak pernah meminta obat-obatan ini juga tidak akan disediakan.

Penelitian menunjukkan jika pada negaraberkembang sistem kesehatan yang ada tidakmempertimbangkan kesehatan jiwa sebagaiprioritas7 dan biasanya kesehatan fisik dibedakandengan kesehatan jiwa. Kasus ini juga terjadi diPuskesmas, bahwa kesehatan jiwa tidak pernahdihubungkan dengan penyakit fisik. Selama inikesehatan jiwa menjadi program yang paling

Page 5: 02 Mk Carla Cnvrt

124 � Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 14, No. 3 September 2011

Carla R. Marchira: Integrasi Kesehatan Jiwa

terabaikan dari 18 program. Kementrian Kesehatanmemang mengembangkan kebijakan nasional untukkesehatan jiwa dengan bantuan WHO1,10 danmencoba membuat kesehatan jiwa sebagai programyang diperhitungkan pada Indonesia Sehat 2010.4

Namun dengan anggaran yang masih minim, sulitdikatakan jika kesehatan jiwa dikatakan menjadiprioritas.

Bila kita melihat jumlah Posyandu, usahakesehatan berbasis komunitas ini sebetulnya dapatmenjangkau seluruh masyarakat. Kader-kader yangada lebih mengetahui problem maupun masalah yangterjadi di wilayahnya. Informasi mengenai masalahkesehatan dapat disebarkan pada masyarakatmelalui kader Posyandu. Namun demikian, menurutKementrian Riset dan Teknologi penggunaan dankualitas pelayanan kesehatan di Posyandu rendahdan jumlah Posyandu yang aktif setelah adanyakrisis ekonomi berkurang 40%.5

Selama ini dokter dan pekerja kesehatan diPuskesmas menghadapi beban yang sangat beratdalam pekerjaannya. Pekerjaan dokter dan pekerjakesehatan di Puskesmas tidak hanya memeriksapasien namun harus menjalankan begitu banyakprogram. Untuk permasalahan ini, KementrianKesehatan meluncurkan paradigma baru untukPuskesmas4 di tahun 2003. Program di Puskesmasdiubah menjadi 6 program kesehatan dasar. Enamprogram kesehatan dasar ini terdiri dari promosikesehatan, kesehatan lingkungan, KIA termasuk KB,gizi, pencegahan dan pengobatan penyakit menular,

serta pengobatan. Enam program dasar ini adalahprogram minimal yang dilakukan di Puskesmas,sedangkan pengembangan program kesehatan yanglain diserahkan kepada pemerintah daerah danPuskesmas di area tersebut. Sisi positif darikebijakan ini adalah mengurangi beban dokter danpekerja kesehatan di Puskesmas, sehingga merekabisa fokus pada program-program ini. Namun hal inijuga bisa di jadikan alasan untuk tidakmengembangkan program lain selain 6 programkesehatan dasar. Sekali lagi, di manakah programkesehatan mental berada? Sepertinya keadaankembali ke tahun 1970 bahwa program kesehatanjiwa tidak ada sama sekali di Puskesmas. Apa yangharus dilakukan bila kita masih berharap untukmengintegrasikan kesehatan jiwa pada pelayananprimer atau Puskesmas?

Perubahan yang diperlukanWHO2 mengkategorikan aksi kesehatan jiwa

berdasarkan kenyataan ketersediaan sumber dayamenjadi tiga skenario. Skenario A adalah levelsumber daya yang rendah; B adalah level sumberdaya medium; dan C adalah level sumber daya yangtinggi. Indonesia memenuhi skenario B (level sumberdaya medium) dengan anggaran pemerintah untukkesehatan jiwa kurang dari 1% dari total anggarankesehatan, jumlah spesialis kesehatan jiwa yangkurang, dan pekerja kesehatan primer yang tidakterlatih. Untuk fasilitas rawat inap, Indonesia terma-suk dalam level A (sumber daya level rendah), dengankurang dari satu tempat per 10.000 penduduk.2

Banyaknya permasalahan yang dihadapi dalammenerapkan pelayanan kesehatan jiwa di Puskes-mas, kebijakan pemerintah akan sulit dilakukan jikatidak dilakukan perubahan-perubahan tertentu. Adabeberapa contoh dari negara berkembang yang laindan rekomendasi dari WHO dalam mengintegrasikanpelayanan kesehatan jiwa di pelayanan primer. Halyang paling realistis bagi negara dengan sumberdaya kesehatan jiwa yang minim adalah meng-integrasikan pelayanan kesehatan jiwa di pelayananprimer. Namun demikian menurut Cohen12 pada Na-tions for Mental Health, The Effectiveness of Men-tal Health Services in Primary Care: The View fromthe Developing World, kebijakan tersebut harusdilakukan secara hati-hati.12 Cohen12 menerangkanjika kebijakan tersebut akan dilakukan harusberdasarkan lingkungan psikososial dan budayaserta kebutuhan lokal.

Untuk mengetahui apa yang paling dibutuhkanoleh masyarakat, survei data kesehatan jiwa dimasyarakat perlu dilakukan. Apa pendapat masya-

Tabel 2. Obat-obatan generik untuk gangguan jiwayang terdapat di Puskesmas

Obat Dosis Anti depression Amitriptyline HCL Imipramine HCL Maprotiline HCL

Tab. 25mg Tab. 50 mg, 25 mg Tab. 50 mg, 25 mg

Anti Obsession Compulsion Chlomipramine

Tab. 25 mg

Antipsychotic Fluphenazine Decanoat Haloperidol Chlorpromazine HCL Perphenazine HCL Trifluoperazine

Inj. 25 mg/ml vial 1ml Tab 0.5 mg, 5mg, Inj i.m. 5 mg/ml Tab 25 mg, 100 mg, Inj. 25 mg/ml Tab 4 mg Tab 5 mg

Anti anxiety Diazepam Clobazam Alprazolam

Tab 2 mg, Tab 5 mg, Inj. 5 mg/ml Tab. 10 mg Tab. 0.25 mg. Tab. 1 mg

Anti epilepsy - anti convulsion Diazepam Phenitoin Phenobarbital

Tab 2 mg, Tab 5 mg, Inj. 5 mg/ml Cap 100 mg Tab 30 mg, Tab 100 mg, inj 50/ml

Page 6: 02 Mk Carla Cnvrt

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 14, No. 3 September 2011 � 125

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

rakat pada gangguan jiwa? Apakah keberadaanstigma gangguan jiwa di masyarakat masih melekatkuat? Siapa yang menjadi konsultan kesehatan jiwasebelum pasien datang ke Puskesmas, dan apayang membuat mereka akhirnya datang ke Pus-kesmas? Lebih lanjut, adalah melakukan studi untukmengetahui apa problem kesehatan jiwa yang seringterjadi di masyarakat. Sebuah studi dari direktoratkesehatan jiwa pada tahun 1985 di KecamatanTambora, Jakarta menunjukkan prevalensi psikotiksebesar 1,44 per 1000 penduduk, epilepsi sebesar0,26 per 1000 penduduk dan untuk retardasi mentaladalah 1,89 per 1000 penduduk.19 Studi proporsikesehatan jiwa pada 16 kota dari tahun 1996-2001menggunakan instrumen diagnostik Composite In-ternational Diagnostic Interview dari WHO terhadap1600 orang dewasa menunjukkan jumlah gangguancemas dan depresi sebesar 34%, sedangkan jumlahyang menderita psikotik sebesar 5,8%.10

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, sumberdaya dan fasilitas kesehatan jiwa masih sangatjarang, dan sangat tidak dimungkinkan jika peme-rintah mampu menyediakan psikiater dan tenagakesehatan jiwa dalam waktu dekat. Cara yang bisadilakukan adalah dengan memperbanyak pelatihankesehatan jiwa pada pekerja kesehatan termasukdi pelayanan primer. Ada banyak model pelatihandari negara berkembang lain seperti India, Nepal,Pakistan, and Bangladesh.11,15 Walaupun tidak adamodel pelatihan yang sama untuk pelatihan danpelayanan kesehatan jiwa di pelayanan primer,beberapa prinsip umum dapat diterapkan. Ada duaketerampilan penting yang bisa diajarkan padapekerja kesehatan yaitu: a) keterampilan yangberhubungan dengan penyakit, dan b) keterampilanpsikososial.16,17 WHO juga menerangkan 10 prinsip-prinsip pelatihan, dan efektivitas dari programpelatihan untuk pekerja kesehatan sejauh ini dapatdipertanggungjawabkan jika prinsip-prinsip ini tetapdipegang.16,17,18 Diharapkan dengan pelatihan inipelayanan primer memiliki manajemen dan pelayan-an kesehatan jiwa yang lebih baik.

Sangat penting untuk menyediakan obat-obatanyang esensial bagi gangguan jiwa. Generasi terbarudari pengobatan gangguan jiwa telah tersedia. Obat-obatan ini, sebagai contoh antipsikotik atipikal untukskizofrenia dan Selective Serotonin Reuptake Inhibi-tor (SSRI) untuk depresi, memiliki efek samping yangminimal. Studi di India menunjukkan jika SSRI meru-pakan antidepresan yang terjangkau dan berhubung-an dengan peningkatan pada penampilan klinis danmenguntungkan secara ekonomis, terutama dalamjangka pendek.20 Pemerintah sebaiknya mempertim-

bangkan untuk menyediakan obat-obatan ini diPuskesmas.

Keberadaan Posyandu di Puskesmas tidakdapat dipandang sebelah mata karena bisa menjadihal yang menguntungkan. Selain program-programprioritas, kader-kader Posyandu dapat diminta untukmembantu memberikan informasi mengenai kese-hatan jiwa pada masyarakat. Masyarakat perludistimulasi untuk lebih terlibat dalam aktivitas Pos-yandu karena pada dasarnya kegiatan Posyanduadalah dari, oleh, dan untuk masyarakat.

Selain itu, tidak kalah penting adalah melibatkanperan anggota keluarga pasien gangguan jiwa diwilayah tersebut. Keluarga adalah yang palingterkena dampak dari sakitnya pasien, namun merekaadalah juga orang yang paling termotivasi sebagaiperawat pasien.21,22,23 Sebuah studi di Cina menun-jukkan peningkatan penampilan klinis pasien gang-guan jiwa melalui program perawatan di rumahdengan keluarga sebagai sumber daya utama.24 Halini membuktikan jika keluarga dari penderitagangguan jiwa memainkan peranan penting padakesembuhan pasien.

Beberapa opsi telah didiskusikan bila kita akanmengintegrasikan kesehatan jiwa pada pelayananprimer. Sebagian besar dapat dilakukan pada levelPuskesmas. Apa yang dapat dilakukan pada levelpemerintah? Perpindahan tanggung jawab daripemerintah pusat ke pemerintah daerah dapat men-ciptakan kesempatan bagi pemerintah daerah untukmenggali kearifan lokal dan mencari sumber dayapotensial di daerahnya masing-masing berdasarkansituasi, kondisi, permasalahan, dan kemampuanarea lokal. Sebagai contoh di Kabupaten Sleman,Yogyakarta, pemerintah kabupaten memiliki pro-gram untuk menempatkan psikolog di Puskesmas.Di Aceh setelah adanya tsunami, ada program untukmenempatkan perawat kesehatan jiwa komunitasdi masyarakat. Untuk pemerintah pusat, edukasipublik dan kampanye peduli sehat jiwa dan antistigma dapat dilakukan. World Health Organization(WHO) menyatakan jika tujuan utama kampanyesehat jiwa adalah mengurangi hambatan untukpengobatan jiwa dan meningkatkan kepedulian padakesehatan jiwa, serta memperhatikan hak azasi padapenderita gangguan jiwa.2

KESIMPULAN DAN SARANBagi negara berkembang seperti Indonesia

dengan sumber daya kesehatan jiwa yang terbatas,hal yang paling realistis adalah mengintegrasikanpelayanan kesehatan jiwa di pelayanan primer.Namun demikian kebijakan ini harus dilakukan

Page 7: 02 Mk Carla Cnvrt

126 � Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 14, No. 3 September 2011

Carla R. Marchira: Integrasi Kesehatan Jiwa

secara hati-hati dan berdasarkan lingkungan psiko-sosial, budaya serta kebutuhan lokal.

Survei data kesehatan jiwa di masyarakat,pelatihan kesehatan jiwa, penyediaan obat-obatanesensial untuk gangguan jiwa, pengembangan pro-gram sesuai kebutuhan daerah setempat, peng-gunaan Posyandu, pemberdayaan keluarga pasiengangguan jiwa dan dukungan pemerintah baik lokalmau pun pusat baik dalam hal anggaran mau punkegiatan, adalah hal-hal yang harus dipertimbangkandalam mengintegrasikan pelayanan kesehatan jiwadi pelayanan primer.

KEPUSTAKAAN1. Ministry of Health. General guidance book for

steering and organizing committee on commu-nity mental health, 2001.

2. WHO. The World Health Report 2001. Mentalhealth: new understanding, New Hope, Geneva,2001.

3. Ministry of Health. Health center manual. Com-munity Health Center, 1991.

4. Indonesian Health Profile. 2002. www.depkes.go.id. Diakses tanggal 24 Maret 2003.

5. National Development Programs. 2002. www.ristek.go.id. Diakses tanggal 5 Mei 2003.

6. Hidayat, D. Mental Health Services in Commu-nity Health Center in Jakarta Special Province(two minutes method). Jiwa. 1991;XXIV(1).

7. Desjarlais R, Eisenberg L, Good B, Kleinman.A world mental health: problems and prioritiesin low-income countries. Oxford UniversityPress, New York, 1995.

8. World Bank. Global economic prospects andthe developing countries. Washington DC, 1993.

9. Trisnantoro L. The impact of decentralizationpolicy on public mental hospital in Indonesia: afinancial perspective, 2002.

10. New understanding, New Hope. Oct 12 2001.www.kompas.com. Diakses tanggal 21 Februari2003.

11. Yamamoto, K. Mental health services develop-ment in Okinawa and Japan. Paper presentedin expert course JSPS-NCD Seminar inYogyakarta, Indonesia, Nov. 1st 1999.

12. Cohen, A. Nations for mental health, the effec-tiveness of mental health services in commu-nity care: the view from the developing world.WHO, Geneva, 2001.

13. Crisp, A. The tendency to stigmatize. The Brit-ish Journal of Psychiatry, 2001;178 (March):197-9.

14. Indonesian Health Insurance, PT Persero. Es-sential Drugs List, Jakarta, 1999.

15. Murthy RS, Burns BJ. Proceedings of the Indo-US Symposium on community mental health.National Institute of Mental Health & Neuro Sci-ences, Bangalore, India, Oct. 27-30 1987.

16. Ignacio L. Mental health care in the commu-nity. Paper presented in expert course JSPS-NCD Seminar in Jakarta, Indonesia, March 13th

2000.17. Ignacio L. Pathways to mental health care in

the community: issues in training and the needfor Change. Paper presented in expert courseJSPS-NCD Seminar in Jakarta, Indonesia,March 13th 2000.

18. WHO. The introduction of a mental health com-ponent into community health care. Geneva,Switzerland, 1990.

19. Salan R. Prevalence of mental disorder in 3 vil-lages of Tambora, Jakarta, 1983. Ganesha Digi-tal Library. . Diakses tanggal 8 Maret 2003.

20. Patel V, Chisholm D, Rabe-Hasketh S, Dias-Saxena F, Andrew G, Mann A. Efficacy andcost-effectiveness of drug and psychologicaltreatments for common mental disorder in gen-eral health care in Goa, India: A randomized,controlled trial. The Lancet, 2003;361:33-9.

21. D. Davis & S. Harrel (Eds.). Chinese families inpost Mao era Berkeley, University of CaliforniaPress, 1993:277-306.

22. Phillips MR, West CL, Shen Q, Zheng Y.Comparation of schizophrenic patients’ familiesand normal families in china, using chine seversion of faces-ii and the family environmentscales. Fam Process. 1998;37(1): 95-106.

23. Irmansyah. Developing a family intervention pro-gram and an Indonesian family association forschizophrenia, to improve psychosocial reha-bilitation outcomes and positives attitude towardschizophrenia patients (unpublished), 2003.

24. Yucun, S. The Mental health home care pro-gram: Beijing’s Rural Haidian District. In Chi-nese Culture and Mental Health, Tseng WS, WuYHD (Eds) Academic Press, Orlando, 1985:357-66.