Post on 18-Jan-2021
PENGARUH SUHU PENYIMPANAN DAN PENGKONDISIAN KEMBALI TERHADAP KUALITAS UMBI KENTANG (Solanum tuberosum Linn)
SEBAGAI BAHAN BAKU POTATO CHIPS
Dilla Elviana*, Dr. Ali Asgar Ir., MP**, Dra. Ela Turmala Sutrisno Ir., Msc**
ABSTRACT
This research aims to study the effect of storage temperature and conditioning back to the quality of potato tubers as raw material for potato chips. The results are also expected to give hints on the potato tuber raw materials for the manufacture of potato chips better so will enhance the economic value of potato tubers and encourages farmers to increase the amount of production of high-quality potatoes each year so expect the welfare of the farmers will get better.
The method used in this study is two-factor with 3 levels and 4 levels in a randomized block design with three replications thus obtained 36 experimental plots. Response variable in this study is the analysis of water content, starch content, reducing sugar content, violence tubers, weight loss, tuber rot and organoleptic tests for color, flavor, crispness and appearance of potato chips.The results showed that the storage temperature treatment and conditioning back and their interaction was not significantly different to the water content and starch content.
Interaction between storage temperature and conditioning back significantly different potato tuber reducing sugar. Reducing sugar content of potato tubers s1p4 treatment is 0.81%, ie 0.95% s2p2, s2p3 are 0.88%, 0.77% s2p4 ie, s3p1 are 0.89%, 0.79% s3p2, s3p3 0 , ie 76% and 0.75% s3p4. So it can be concluded that the above treatments potato tubers can be accepted by the potato processing industry chips.Perlakuan storage temperature and conditioning back significantly different potato tuber texture. Violence best for making potato chips was 2.33 seconds on the treatment mm/100gram/10 p1 (conditioning at room temperature for 9 days). Interaction between storage temperature and conditioning back significantly different potato tuber weight loss. Weight loss of potato tubers that are the 2,49% s1p4 treatment, storage and conditioning treatment back temperatures and their interaction was not significantly different to the tuber rot. Storage temperature and conditioning treatments significantly different back color and appearance of potato chips based preference level panelists. The most preferred color panelists namely s3 treatment (storage temperature of 10 ° C) and p4 (conditioning back in the room temperature at 9 days) are 2.56 and 2.73. Sightings are most panelists favored treatment s3 (storage temperature of 10 ° C) and p4 (conditioning back in 9 days at room temperature), namely 2.66 and 2.79. Conditioning treatment of potato tubers back significantly affect the flavor and crispness of potato chips based preference level panelists. The most favored flavor panelists are on p2 treatment (conditioning back in 3 days at room temperature) is 2.48. The most preferred crispness panelist on p3 treatment (conditioning back in 6 days at room temperature) is 2.30.
I PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang PenelitianKentang (Solanum tuberosum
Linn) merupakan salah satu jenis tanaman
hortikultura yang dikonsumsi umbinya,
yang di kalangan masyarakat dikenal
sebagai sayuran umbi. Kentang banyak
mengandung karbohidrat yang sangat
bermanfaat bagi tubuh kita. Tingginya
kandungan karbohidrat menyebabkan
kentang dikenal sebagai bahan pangan
yang dapat mensubstitusi (menggantikan)
bahan pangan karbohidrat lain yang
berasal dari beras, jagung, dan gandum.
Selain dikonsumsi dalam keadaan segar,
sekarang ini kentang dapat dimanfaatkan
menjadi produk-produk olahan di berbagai
industri pangan di seluruh dunia seperti
kentang goreng (french fries) dan keripik
kentang (potato chips) dan jumlahnya
setiap tahun terus meningkat (Sibarani,
1988).
Hasil penelitian yang dilakukan
oleh Ali Asgar dan Asandhi (1990)
menunjukkan bahwa kehilangan hasil
panen pada saat panen sampai dengan
lama penyimpanan 2 bulan yang
dilakukan petani kentang di daerah
Pangelangan Jawa Barat mencapai 25%.
Hasil penelitian berikutnya yang dilakukan
di Garut menunjukkan kehilangan hasil
20% (Ali Asgar dan Asandhi, 1993). Salah
satu cara pengawetan yang banyak
dilakukan adalah mengeringkan kentang
menjadi keripik kentang.
Pengolahan kentang menjadi
keripik merupakan tahapan pasca panen
yang ditempuh untuk pengembangan
diversifikasi produk dan peningkatan nilai
tambah. Di Indonesia, dua jenis produk
olahan kentang yang menunjukkan
kecenderungan semakin populer dalam
pola konsumsi masyarakat adalah
kentang goreng (french fries) dan keripik
kentang (potato chips) (Adiyoga et al.,
1999).
Menurut SNI, (1996), Keripik
kentang adalah makanan yang terbuat
dari kentang (Solanum tuberosum) segar
berbentuk irisan tipis yang digoreng
dengan penambahan bahan makanan dan
atau tanpa bahan makanan lain yang
diizinkan. Keripik kentang yang baik
berasal dari umbi kentang yang
mempunyai kadar air dan gula rendah
serta kadar pati tinggi (Asandhi dan
Kusdibyo, 2004).
Varietas kentang yang umum
digunakan dalam pembuatan keripik
kentang adalah Atlantik. Kentang varietas
Atlantik ini mengandung kadar gula
reduksi sebesar 0,70%, daging umbi
berwarna putih dan kadar air rendah
sehingga sangat menarik apabila kentang
Atlantik digunakan sebagai salah satu
bahan olahan yang berupa keripik
kentang. Varietas ini memiliki beberapa
kelemahan antara lain: produksinya
rendah, tidak tahan layu, tidak tahan
busuk daun dan tidak tahan nematoda
akar (Prahardini dan Pratomo, 2004).
Menurut Wibowo (2006), kadar
bahan kering kentang Granola yang
dibudidiayakan di Jatinangor berkisar
antara 14-17,5%, sehingga berdasarkan
penkelasan kadar bahan kering, kentang
tersebut termasuk dalam kategori rendah.
Kentang yang cocok untuk industri keripik
harus mempunyai kandungan gula
<0,05%, bobot kering >20%, kandungan
bahan padatnya tinggi (≥16,7%), bentuk
umbi baik, dan permukaan rata. Sifat-sifat
ini dimiliki dua varietas unggul baru
kentang yang dilepas oleh Kementrian
Pertanian, yaitu Margahayu dan Kikondo.
Margahayu dan Kikondo mempunyai
potensi hasil 18-23 t/ha, umur panen
antara 90-100 hari dan mempunyai daya
simpan pada suhu kamar antara 2,5-3
bulan. Kentang ini cocok sebagai kentang
olahan terutama keripik (chips).
Penyimpanan yang baik pada suhu
tertentu merupakan salah satu cara untuk
mendapatkan kadar gula reduksi, kadar
pati dan kadar air yang memenuhi syarat
dalam pembuatan keripik kentang.
Kentang yang di simpan pada suhu
rendah, misalnya 4°C akan menyebabkan
terjadinya akumulasi gula meliputi glukosa
dan fruktosa sehingga rasanya akan
manis, hal ini diisebabkan oleh relatif
rendahnya aktifitas respirasi dan akan
menyebabkan terbentuknya warna gelap
pada irisan kentang yang secara komersil
tidak dapat diterima, reconditioning
kentang pada suhu 21°C selama 2-3
minggu menaikkan kecepatan respirasi
dan sebagian besar gula akan teroksidasi
menjadi karbondioksida
(Tranggono dan Sutardi, 1990).
Kentang yang disimpan dibawah
suhu kritis yaitu 10°C, kecepatan respirasi
dan perubahan gula menjadi pati menurun
dan gula terakumulasi di dalam jaringan.
Selama dalam penyimpanan umbi
kentang akan mengalami proses
metabolisme, yaitu suatu proses
perombakan pati menjadi gula-gula
sederhana dan proses tersebut
dipengaruhi oleh tingkat laju respirasi,
semakin tinggi laju respirasi perubahan
pati menjadi gula-gula sederhana akan
semakin cepat dan secara stimular gula-
gula sederhana akan digunakan sebagai
energi dalam proses respirasi (Tranggono
dan Sutardi, 1990).
Menurut Asandhi dan Kusdibyo,
(2004), Penyimpanan dalam suhu 10°C
selama 8 hari mengakibatkan kenaikan
kadar gula reduksi tertinggi yaitu berkisar
antara 0,096 – 0,109%.
Kentang sebaiknya disimpan di
tempat yang sejuk dan gelap dengan
sirkulasi udara yang baik. Suhu ideal
tempat penyimpanan adalah 7 sampai
10°C (Sunarjono, 2007).
Berdasarkan latar belakang
tersebut, maka perlu dicari suhu
penyimpanan yang tepat dan
pengkondisian kembalikentang dengan
suhu ruang yang tepat dimana kandungan
gula reduksinya rendah sehingga dapat
menekan terjadinya perubahan nutrisi dan
mutu umbi kentang dapat dipertahankan.
Diduga bahwa umbi kentang yang
disimpan dalam suhu dingin selama
beberapa bulan dilanjutkan disimpan
dalam ruang dengan suhu kamar
(reconditioning) maka akan
mempengaruhi kandungan gula reduksi,
kandungan pati dan kandungan airnya
(Asandhi dan Kusdibyo, 2004).
1.2. Identifikasi MasalahBerdasarkan uraian dalam latar
belakang penelitian, maka dapat
diidentifikasikan masalah-masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaruh suhu
penyimpanan terhadap kualitas umbi
kentang sebagai bahan baku potato
chips?
2. Bagaimana pengaruh pengkondisian
kembali terhadap kualitas umbi
kentang sebagai bahan baku potato
chips?
3. Bagaimana pengaruh interaksi suhu
penyimpanan dan pengkondisian
kembali terhadap kualitas umbi
kentang sebagai bahan baku potato
chips?
1.3.Tujuan PenelitianTujuan penelitian ini adalah untuk
mempelajari pengaruh suhu penyimpanan
dan pengkondisian kembali terhadap
kualitas umbi kentang sebagai bahan
baku potato chips.
1.4.Manfaat PenelitianPenelitian ini memberikan
manfaat, yaitu dapat mengetahui kualitas
umbi kentang yang paling baik
berdasarkan suhu penyimpanan dan
pengkondisian kembali terhadap potato
chips yang dihasilkan sehingga akan
mempertinggi nilai ekonomi dari umbi
kentang dan sekaligus mendorong petani
untuk meningkatkan jumlah produksi
kentang yang berkualitas tinggi setiap
tahunnya sehingga diharapkan
kesejahteraan hidup para petani akan
semakin baik dan meningkatkan mutu
produk kentang olahan terutama potato
chips sehingga dapat mengurangi
ketergantungan import kentang sebagai
bahan baku potato chips.
1.5.Kerangka PemikiranMenurut Sunarjono, (2007),
produktivitas kentang dipengaruhi oleh
varietas kentang yang ditanam,
pemeliharaan, kesehatan tanaman, serta
tempat bertanam. Kentang sering
mengalami kerusakan baik dalam
pertanaman, pemanenan maupun
penyimpanan. Perubahan nutrisi umbi
kentang olahan selama dalam
penyimpanan dipengaruhi oleh kondisi
lingkungan penyimpanannya terutama
temperatur. Penyimpanan umbi kentang
pada suhu ruang dapat mengalami
penurunan kandungan pati yang lebih
besar apabila dibandingkan dengan
peningkatan kandungan gulanya, karena
gula hasil perombakan dari pati secara
stimular digunakan sebagai energi dalam
proses respirasi.
Menurut Rubatzky et al., (1998),
kualitas umbi yang paling penting adalah
penampilan luar, ukuran, bentuk, tekstur
dan warna kulit, warna daging, kedalaman
dan jumlah mata tunas, ada tidaknya
cacat, dan kandungan bahan kering.
Umumnya umbi yang kandungan bahan
keringnya tinggi, perbandingan amilosa
terhadap amilopektinnya tinggi, ukuran
selnya kecil, dan kandungan gulanya
rendah, disukai untuk bahan olahan dan
untuk dipanggang atau digoreng. Jenis
kentang ini jika direbus cenderung
mengelupas, dan memiliki tekstur pangan
yang baik. Kentang yang kandungan
bahan keringnya rendah paling baik untuk
direbus karena cenderung tetap lekat.
Ali Asgar dan Marpaung (1998)
melaporkan bahwa umbi kentang Granola
yang disimpan selama 5 hari penurunan
kandungan patinya maksimal 0,98%,
sedangkan peningkatan kandungan
gulanya maksimal 0,36%. Sedangkan
penyimpanan umbi kentang pada suhu
dingin dapat terjadi akumulasi kadar gula
reduksi yang disebabkan oleh relatif
tingginya aktivitas enzim fosforilase yang
merombak pati menjadi gula reduksi.
Pantastico (1975) menyatakan bahwa
umbi kentang yang disimpan pada suhu
dingin hasil olahannya berwarna coklat,
karena kadar gulanya tinggi.
Kentang dengan kadar gula tinggi
mempunyai tekstur yang kurang baik dan
rasanya manis bila direbus dan bila
digoreng warnanya menjadi coklat akibat
karamelisasi dan reaksi antara asam
amino dan gula (reaksi mailard).
Akumulasi gula dalam kentang yang
disimpan pada suhu rendah dapat
sebagian dikembalikan atau dibalikkan
dengan menaikkan suhu penyimpanan
sampai 10°C atau lebih. Meskipun pada
umumnya dapat diterima bahwa kadar
gula kembali ke hampir normal selama 1
minggu pada suhu 15-20°C, pengalaman
menunjukkan bahwa penurunan gula
reduksi mungkin berlangsung pada laju
yang lebih lambat (Tranggono dan
Sutardi, 1990).
Kentang bila disimpan pada suhu
rendah akan mengalami kenaikan gula
pereduksi sehingga rasanya akan manis.
Pada umumnya kentang tidak manis
rasanya, karena itu adanya kentang manis
merupakan suatu penyimpangan. Untuk
keperluan industri, kentang-kentang yang
manis tidak dikehendaki, karena gula
pereduksi yang dikandungnya dapat
menyebabkan terjadinya “browning
reaction”. Karena itu agar mendapatkan
hasil yang baik, kentang-kentang yang
disimpan di ruang pendingin harus
dibiarkan dulu pada suhu kamar atau
diruang kamar beberapa waktu lamanya
sebelum diolah agar kandungan gula
pereduksinya menurun (Winarno dan
Aman, 1981).
Menurut Asandhi dan Kusdibyo,
(2004), Penyimpanan umbi kentang dalam
ruangan dengan suhu 10° C selama 8 hari
dapat mempertahankan kandungan air
sehingga secara visual umbi kentang
tetap segar seperti baru di panen.
Penyimpanan dalam suhu 10°C selama 8
hari mengakibatkan kenaikan kadar gula
reduksi tertinggi yaitu berkisar antara
0,096 – 0,109%. Penyimpanan umbi
kentang yang dilakukan selama 4 hari
dalam suhu 10°C kemudian dilakukan
pengkondisian kembali pada suhu ruang
(18°C–21°C) selama 4 hari dan
pengkondisian kembali selama 8 hari
dalam suhu ruang (18°C–21°C) ternyata
dapat mengakibatkan penurunan kadar air
antara 0,81% - 1,98%.
Penyimpanan kentang pada suhu
4°C akan mengaktifkan enzim fosforilase
yang berperan penting dalam penimbunan
gula reduksi sehingga perlu dilakukan
pengkondisian kembali pada suhu ruang
yang dapat mengaktifkan enzim amilase
yang berperan dalam penimbunan pati
(Tranggono dan Sutardi, 1990).
Fosforilase adalah enzim yang
penting peranannya dalam penyimpanan
kentang pada suhu dingin dan terbukti
memiliki aktivitas yang tinggi pada
kentang yang disimpan pada suhu 4°C.
Enzim tersebut sudah barang tentu
merupakan faktor penting yang
berpengaruh pada penimbunan gula
dalam kentang, jadi akan menentukan
kualitas kentang potongnya (Tranggono
dan Sutardi, 1990).
Enzim amilase tidak aktif dalam
suhu 4°C tetapi sebaliknya fosforilase aktif
pada suhu ini sehingga mempunyai
peranan penting dalam perubahan pati
menjadi gula pada kentang yang disimpan
pada suhu ini. Enzim amilase ternyata
aktifitasnya meningkat bersamaan dengan
terjadinya pertunasan dimana hal ini
diperlukan untuk metabolisme karbohidrat
untuk diangkut ke tunas yang beru tumbuh
(Tranggono dan Sutardi, 1990).
Hasil penggorengan potato chips
yang disimpan dalam suhu 10°C selama 8
hari menghasilkan warna coklat,
sedangkan penyimpanan selama 4 hari
dalam suhu 10°C yang kemudian
dilakukan pengkondisian kembali pada
suhu ruang selama 4 hari masih
menghasilkan warna keripik belum cerah
seperti hasil gorengan pada saat baru
dipanen. Sedangkan pengkondisian
kembali dalam suhu ruang selama 8 hari
masih dapat menghasilkan keripik kentang
yang berwarna cerah (Asandhi dan
Kusdibyo, 2004).
Selama penyimpanan, kentang
akan tetap mengalami proses
metabolisme termasuk respirasi sehingga
komposisi kimianya akan mengakibatkan
penurunan mutu. Salah satu cara
pengawetan yang banyak dilakukan
khususnya di Thailand adalah
mengeringkan kentang menjadi keripik
(dehydrated potato chips) pada ketebalan
2-3 mm (Tantidham et al., 1994)
Salah satu persyaratan mutu umbi
kentang olahan adalah ukuran diameter
umbi. Indofood satu-satunya industri
Chips di Indonesia telah menentukan
ukuran umbi yang dapat diterima sebagai
bahan baku chips adalah umbi kentang
dengan diameter 5-7 cm kadar bahan
kering minimal16,7% .
Jenis umbi kentang untuk
keperluan industri seperti keripik kentang
memiliki syarat yaitu bentuknya mulus
(tidak bergelombang), mata dangkal dan
terutama kandungan bahan keringnya
harus tinggi yang dicirikan dalam berat
jenis umbinya.
Varietas yang cocok untuk
pengolahan harus mempunyai mutu yang
memuaskan baik pada waktu pemanenan
maupun setelah disimpan. Varietas yang
mempunyai kandungan gula pereduksi
yang tinggi tidak dapat dianjurkan untuk
diolah. Kandungan gula terutama gula
pereduksi dalam umbi kentang sangat
menentukan mutu warna keripik yang
dihasilkan. Kandungan gula reduksi yang
diterima oleh industri pengolahan keripik
kentang yaitu 1% (Pantastico, 1975).
Varietas kentang yang mengandung gula
reduksi rendah antara lain Atlantik, Latif
dan Granola yaitu berkisar antara 0,05-
0,06% (Ali Asgar dan Kusdibyo,1997).
Berbagai varietas kentang juga berbeda
sebagai bahan baku untuk beberapa
produk seperti keripik, kentang goreng
rajangan (french fries) dan produk-produk
lain yang dikeringkan.
Menurut Sahat et al., (1989),
kentang variatas Granola, bila digunakan
untuk industri keripik kentang, akan
menghasilkan keripik yang tidak renyah
dan warna yang kurang menarik (kuning
kecoklatan sampai coklat), dibandingkan
dengan varietas Vanda, Atlantik, dan
Hertha.
Hasil penelitian Balitsa Lembang
menyebutkan bahwa varietas kentang
yang sesuai untuk olahan memerlukan
beberapa kriteria antara lain dilihat dari :
ukuran (5-7) cm, spesific gravity (min
1.067), kadar air (±75%) dengan
appearance max (16%) (Kusmana et al,
2004).
Tahun 2008, BALITSA Lembang
mengeluarkan varietas kentang baru yaitu
Margahayu yang merupakan persilangan
dari beberapa varietas kentang. Kentang
ini cocok untuk kentang olahan terutama
kripik/chips karena mengandung
karbohidrat sebesar 3,17%, kadar
pati3,17%, spesifik gravity0,020% dan
gula reduksi1,08% dan berat kering
16,44% (Sahat dan Kardjadi, 2008).
Menurut Wibowo et al, (2004),
keripik kentang merupakan makanan
ringan (snack food) yang lebih
mengutamakan kenampakan
(appereance), kerenyahan (texture) dan
warna dibandingkan kandungan gizinya,
sehingga peningkatan kualitas keripik
kentang sebaiknya diarahkan pada
peningkatan kerenyahan dan perbaikan
warna agar lebih menarik
Kerenyahan keripik kentang
sangat berbeda tergantung dari tebal
irisan. Hubungan kadar pati dengan
kerenyahan irisan kentang mempunyai
korelasi yang tinggi karena kentang yang
mempunyai kadar pati tinggi maka irisan
kentang yang diperoleh akan menjadi
lebih baik. Kerenyahan dari keripik
diperoleh dari kandungan polisakarida
yang tinggi seperti pati, pektin, selulosa,
dan hemiselulosa (Nur Hartuti dan Sinaga,
1998).
1.6.Hipotesa Penelitian
Suhu penyimpanan dan
pengkondisian kembali bahan baku
kentang serta interaksinya diperkirakan
berpengaruh terhadap kualitas umbi
kentang sebagai bahan baku potato chips.
1.7.Waktu dan Tempat PenelitianWaktu penelitian yaitu dari bulan
Juni sampai bulan Agustus 2012.
Penelitian dilakukan di Laboratorium
Pasca Panen Balai Penelitian Tanaman
Sayuran, Jalan Tangkuban Perahu Nomor
517, Lembang, Bandung.
II METODOLOGI PENELITIAN
2.1. Bahan dan Alat yang Digunakan2.1.1. Bahan yang Digunakan
Bahan baku yang digunakan
dalam penelitian ini adalah kentang segar
yang didapat langsung dari petani di
Pangalengan dengan varietas Margahayu,
umur panen 90-100 hari, berat umbi 65-
130 g dan diameter 4-7 cm.
Bahan kimia yang digunakan
untuk analisa kadar pati di antaranya
adalah air suling, Asam Asetat / Asam
Klorida 2 N, Asam Klorida 3% (HCl 3%),
Asam Sulfat 25% (H2S04 25%), Kalium
Iodida20% (KI 20%), Na2S2O3, larutan
kanji 10%, larutan Luff Schoorl,larutan
Natrium Tiosulfat 0,1 N, Natrium
Hidroksida 20% ( NaOH 20%), dan larutan
blanko.
Bahan kimia yang digunakan
untuk analisa kadar gula reduksidi
antaranya adalah air suling, bubur
alumina/ larutan Pb-asetat, H2SO4 25%,
Kalium Oksalat / Natrium Karbonat
(Na2CO3) anhidrat/ Natrium Phospat 8%,
batu didih, KI 20%, larutan Luff Schoorl,
Na2S2O3 0,1 N, dan sampel.
2.1.2. Alat yang Digunakan
Alat-alat yang digunakan untuk
analisa kimia dan fisik dalam penelitian ini
diantaranya adalah neraca analitik,
eksikator, botol timbang bertutup, oven,
batu didih, labu erlenmeyer, labu ukur,
pemanas, penangas air, corong gelas,
pipet ukur, buret, stopwatch,kertas saring,
ball kondensor, klep, statif, pipet tetes,
pendingin reflux, kasa asbes, kertas pH,
mortar dan alu.
Alat-alat yang digunakan untuk
analisa fisik adalah timbangan digital,
termometer dan penetrometer.
Alat-alat yang digunakan untuk
pembuatan potato chips adalah pisau
stainless steel, perajang sederhana,
timbangan, baskom, ember, baki,
penyaringan, kompor, wajan, plastik dan
cold storage.
2.2. Metode PenelitianMetode penelitian yang dilakukan
meliputi 1 tahap penelitian, yaitu:
1. Sortasi dan grading umbi kentang
pasca panen.
2. Penyimpanan umbi kentang pada suhu
4°C, 7°C dan 10°C selama 2 bulan.
3. Pengkondisian kembali umbi kentang
pada suhu kamar selama 0 hari, 3 hari,
6 hari dan 9 hari.
4. Analisa fisik yang dilakukan berupa
analisis jumlah umbi yang busuk, susut
bobot dan kekerasan umbi kentang.
Analisa kimia yang dilakukan setelah
pengkondisian kembali pada suhu
ruang ialah analisa kadar gula reduksi,
kadar pati dan kadar air.
2.2.1. Analisa Produk
Analisis produk yang dilakukan
adalah:
1. Setelah pengkondisian kembali umbi
kentang pada suhu ruang selama 0
hari, 3 hari, 6 hari dan 9 hari, dilakukan
pembuatan potato chips.
2. Produk yang diperoleh kemudian
dilakukan uji organoleptik yang meliputi
rasa, warna, penampakan dan
kerenyahan dengan menggunakan 15
panelis.
2.2.1.1. Rancangan Perlakuan
Dari uraian tujuan percobaan
maka dapat dibuat rancangan perlakuan
sebagai berikut: perlakuan terdiri dari 2
faktor, yaitu suhu penyimpanan (S) yang
terdiri dari tiga taraf dan Pengkondisian
kembali (P) yang terdiri dari empat taraf,
terhadap kualitas umbi kentang sebagai
bahan baku pembuatan potato chips.
Faktor perlakuan:
1. Suhu Penyimpanan (S), terdiri dari tiga
taraf, yaitu:
s1 = 4°C
s2 = 7°C
s3 = 10°C
2. Pengkondisian kembali (P) terdiri dari
empat taraf yaitu:
p1 = 0 hari
p2 = 3 hari
p3 = 6 hari
p4= 9 hari
2.2.1.2. Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah
Rancangan Acak kelompok (RAK) dengan
pola faktorial 3 x 4 dan ulangan sebanyak
tiga kali untuk setiap kombinasi perlakuan
sehingga diperoleh plot percobaan
sebanyak 36 plot percobaan. Pemilihan
rancangan ini didasarkan pada pendapat
Gaspersz (1995) yang menyatakan bahwa
penggunaan rancangan percobaan
faktorial dengan rancangan dasar RAK
cocok untuk unit-unit percobaan yang
tidak homogen dan jumlah perlakuan
terbatas. Model rancangan yang akan
digunakan pada penelitian ini dapat dilihat
pada Tabel 1.
Tabel 1. Rancangan faktorial 3 x4 dalam Rancangan Acak KelompokSuhu
Penyimpanan (S)
Pengkondisian Kembali (P)
0 hari (p1) 3 hari (p2) 6 hari (p3) 9 hari (p4)
4°C (s1) s1p1 s1p2 s1p3 s1p4
7°C (s2) s2p1 s2p2 s2p3 s2p4
10°C (s3) s3p1 s3p2 s3p3 s3p4
Untuk membuktikan adanya
perbedaan pengaruh perlakuan dan
interaksinya terhadap semua respon
variabel yang diamati, maka dilakukan
analisis data dengan menggunakan
persamaan rancangan percobaan sebagai
berikut:
Yijk = μ + K+ Si + Pj + (SP)ij + ε(ij)
Dimana:
i = Banyaknya variasi suhu
penyimpanan (s1, s2, s3)
j = Banyaknya variasi lama
pengkondisian kembali (p1, p2, p3, p4)
K = 1,2,3 untuk ulangan
percobaan
Yijk = Nilai pengamatan dari
kelompok ke-k yang
memperoleh taraf ke-i dari
faktor suhu penyimpanan,
taraf ke-j dari faktor lama
pengkondisian kembali dan
ulangan ke-k
μ = Nilai rata-rata sesungguhnya
Si = Pengaruh perlakuan suhu
penyimpanan pada taraf ke-i
faktor suhu penyimpanan
Pj = Pengaruh perlakuan lama
pengkondisian kembali pada
taraf ke-j faktor lama
pengkondisian kembali
(SP)ij = Pengaruh interaksi antara
taraf ke-i faktor suhu
penyimpanan dan taraf ke-j
lama pengkondisian kembali
ε (ij) = Pengaruh unit eksperimen
pada kelompok ke-k yang
memperoleh taraf ke-i dari
faktor suhu penyimpanan (S)
dan taraf ke-j dari faktor lama
pengkondisian kembali (P)
Berdasarkan rancangan yang ada
maka dapat dibuat denah (layout)
percobaan faktorial 3 x 4 yang dapat
dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Denah Rancangan Percobaan Faktorial 3 x 4Kelompok Ulangan I
1s1p3
2s2p2
3s1p2
4s3p4
5s2p3
6s2p4
7s3p1
8s3p2
9s1p1
10s1p4
11s3p3
12s2p1
Kelompok Ulangan II1
s3p4
2s1p3
3s3p3
4s3p2
5s3p1
6s1p4
7s1p1
8s2p1
9s2p3
10s1p2
11s2p4
12s2p2
Kelompok Ulangan III1
s2p3
2s1p4
3s3p3
4s3p1
5s2p1
6s1p2
7s3p2
8s3p4
9s2p1
10s2p2
11s2p4
12s1p3
Berdasarkan rancangan di atas dapat
dibuat analisis variasi (ANOVA), untuk
mendapatkan kesimpulan mengenai
pengaruh perlakuan. Selanjutnya
ditentukan daerah penolakan
hipotesisnya, yaitu:
- Hipotesis ditolak jika F hitung <F
tabel 5%
- Hipotesis diterima jika F hitung ≥
F tabel 5%
Tabel 3. Analisis Variasi (ANOVA)Sumber
keragamanDerajat bebas
Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah F hitung F tabel 5%
Kelompok r-1 JKK - - -
Perlakuan sp-1 JKP - - -
S s-1 JK(S) KT(S) KT(S)/KTG -
P p-1 JK(P) KT(P) KT(P)/KTG -
SP (s-1)(p-1) JK(SP) KT(SP) KT(SP)/KTG -
Galat (sp) (r-1) JKG KTG - -
Total spr-1 JKT - - -
Sumber: Gaspersz, (1995).
Sebagai kesimpulan hipotesis,
diterima jika ada beda nyata antara rata-
rata dari masing-masing perlakuan atau
disebut berbeda nyata. Bila hipotesis
ditolak jika tidak ada beda nyata antara
rata-rata dari masing-masing perlakuan
(Gaspersz, 1995).
2.2.1.3. Rancangan Analisis
Analisis yang dilakukan apabila
terdapat perbedaan nyata antara rata-rata
dari masing-masing perlakuan (F hitung ≥
F tabel) adalah dengan melakukan uji
jarak berganda Duncan untuk mengetahui
kelompok sampel yang memiliki
perbedaan mencolok (Gaspersz, 1995).
2.2.1.4. Rancangan Respon
Rancangan respon untuk
penelitian ini adalah analisa kimia, analisa
fisik dan uji organolpetik dengan beberapa
variabel yang diamati sebagai berikut:
2.2.1.4.1. Analisa kimia meliputi:
1. Analisa kadar air dengan
menggunakan metode Gravimetri
(AOAC, 1995).
2. Analisa kadar gula reduksi dengan
menggunakan metode Luff Schoorl
(AOAC, 1995).
3. Analisa kadar pati dengan
menggunakan metode Luff Schoorl
(AOAC, 1995).
2.2.1.4.2. Analisa fisik meliputi:
3. Analisa susut bobot dan perhitungan
jumlah umbi kentang yang busuk.
4. Kekerasan umbi kentang
menggunakan Penetrometer
(M.Baedhowie Dan Pranggonawati, S.,
1983).
2.2.1.4.3. Uji Organolpetik meliputi:
5. Warna, rasa, kerenyahan dan
penampakan dari potato chipsdengan
menggunakan metode Hedonik
(M.Baedhowie Dan Pranggonawati, S.,
1983).
Uji organoleptik dilakukan oleh 15
panelis dan kriteria penelitian yang
diberikan oleh panelis dapat dilihat pada
tabel 4.
Tabel 4. Kriteria Skala HedonikSkala hedonik Skala numerikSangat suka 1
Suka 2Biasa 3
Tidak suka 4Sangat tidak suka 5
Uji organoleptik dilakukan untuk
mengetahui tingkat kesukaan atau
penerimaan panelis terhadap potato chips
sehingga dapat diketahui apakah produk
disenangi dan diterima oleh panelis atau
tidak. Hasil penilaian dimasukkan kedalam
format pengisian (dapat dilihat pada
lampiran 3) dan dikumpulkan, lalu dihitung
secara statistik untuk dilakukan uji Sidik
Ragam (ANOVA). Selanjutnya dilakukan
Uji Rentang (Test Duncan) jika F hitung ≥
F tabel pada taraf nyata 5%. Hal ini berarti
hipotesa diterima.
2.3. Deskripsi PenelitianDeskripsi penelitian yang
dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Umbi kentang dipilih dengan ukuran
homogen (berat umbi 65-130 g) dan
diameter 4-7 cm.
2. Dilakukan penyimpanan pada suhu
rendah yaitu suhu 4°C, 7°C dan 10°C
selama 2 bulan.
3. Dilakukan pengkondisian kembali pada
suhu kamar selama 0 hari, 3 hari, 6
hari dan 9 hari.
4. Masing-masing unit percobaan diambil
contohnya untuk dianalisis kimia dan
fisik dan dilakukan pembuatan potato
chips setiap setelah 0 hari, 3 hari, 6
hari dan 9 hari.
5. Dilakukan pengujian organoleptik
potato chips kepada 15 panelis.
Winarto (1989), mengatakan
bahwa prosedur proses pembuatan potato
chips adalah sebagai berikut:
(1). Persiapan bahan baku
Kentang yang baru dipanen
dengan umur panen 100 hari
(Mulyaningsih, 1996), varietas margahayu
dan ukuran tertentu dipisahkan. Kentang
yang telah mengalami penyimpanan pada
suhu dingin sebelum diolah dinormalkan
dahulu pada suhu kamar selama 0, 3, 6
dan 9 hari.
(2). Pengupasan
Pengupasan dilakukan dengan
menggunakan pisau stainless steel. Hasil
kupasan direndam dalam air dan dijaga
agar selalu terendam dalam air, karena
akan menyebabkan warna biru atau
kehitaman bila kena udara. Demikian juga
bila pisau yang digunakan dari baja biasa.
(3). Pencucian
Pencucian dilakukan dengan air
mengalir yang bertujuan untuk
menghilangkan sisa-sisa kotoran setelah
proses penguapasan.
(4). Perendaman dalam air
Selama tenggang waktu antara
pengupasan dan penggorengan perlu
dilakuakan perendaman dalam air ± 3
menit. Ini dimaksudkan untuk membatasi
kontak antara O2 dengan jaringan
kentang.
(5). Pengirisan
Kentang yang telah dikupas
kemudian diiris tipis-tipis dengan
ketebalan 2-3 mm. Pengirisan ini
dilakukan secara manual menggunakan
perajang sederhana.
(6). Penggorengan
Penggorengan adalah proses
untuk mempersiapkan makanan dengan
pemanasan dalam ketel yang berisi
minyak. Dalam proses penggorengan,
minyak goreng berfungsi sebagai medium
penghantar panas, menambah rasa gurih
dan menambah nilai gizi atau kalori dalam
bahan pangan. Sistem penggorengan
yang digunakan adalah deep frying
(bahan pangan yang digoreng terendam
didalam minyak). Penggorengan dilakukan
dengan metode deep frying. Suhu
penggorengan pada deep frying biasanya
diatas 177°C selama ± 5 menit akan
memberikan efek blanch pada produk.
Proses blanching biasanya digunakan
untuk inaktivasi enzim, mengurangi udara
intraseluler, mengurangi volume dan
menghancurkan beberapa mikroorganisme (Shidiq, 2005).
Kentang
Sortasi
Grading
Penimbangan
PenyimpananCool Storage 60 hari
Reconditioning
Penggorengan
Suhu Penyimpanan4°C7°C
10°C
Lama Reconditioning0 hari3 hari6 hari9 hari
Afkir
Cacat, Kulit hijau, Busuk
Minyak Goreng
Potato Chips
Gambar 1. Diagram Alir Penelitian Utama
III HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN
3.1. Penelitian UtamaPada penelitian utama akan
dibahas mengenai pengaruh perlakuan
suhu penyimpanan dan pengkondisian
kembali terhadap kualitas umbi kentang
untuk pembuatan potato chips dengan
analisa kimia, analisa fisika dan uji
organoleptik. Analisa kimia yang
dilakukan meliputi pengujian kadar air,
kadar pati dan kadar gula reduksi.
Analisa fisika meliputi pengujian tekstur
kentang, susut bobot dan jumlah umbi
busuk. Sedangkan uji organoleptik
meliputi pengujian warna, rasa,
kerenyahan dan penampakan.
3.1.1. Pengaruh Suhu Penyimpanan dan Pengkondisian Kembali Terhadap Hasil Analisa Kimia Umbi Kentang untuk Pembuatan Potato Chips.
Pengaruh Suhu Penyimpanan
dan Pengkondisian Kembali Terhadap
Hasil Analisa Kimia umbi kentang untuk
pembuatan potato chips.
(1). Kadar Air
Air merupakan komponen
penting dalam bahan pangan karena air
dapat mempengaruhi penampakan,
tekstur, dan citarasa dari produk yang
dihasilkan (Winarno, 1992). Air dalam
bahan pangan juga ikut menentukan
kesegaran dan daya tahan bahan
pangan tersebut. Sebagian besar
perubahan-perubahan bahan pangan
terjadi dalam media air yang
ditambahkan atau yang berasal dari
bahan pangan itu sendiri.
Kadar air dalam suatu bahan
pangan perlu ditetapkan karena makin
tinggi kadar air yang terdapat dalam
suatu bahan pangan makin besar pula
kemungkinan makanan atau bahan
pangan tersebut cepat rusak atau tidak
tahan lama. Data hasil pengamatan dan
perhitungan dapat dilihat pada tabel 5
Tabel 5. Pengaruh Interaksi Suhu Penyimpanan (S) dengan Pengkondisian Kembali (P) Terhadap Kadar Air Umbi Kentang (%)
Suhu Penyimpanan Pengkondisian Kembali (P)
(S) p1 p2 p3 p4
s1a a a a
84,32 84,18 84,01 84,79A A A A
s2a a a a
84,76 83,36 83,67 86,05A A A A
s3a a a a
84,65 84,96 83,67 85,27A A A A
KK (CV)% 1,29%Keterangan:- Setiap kolom dengan huruf besar yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada
taraf 5% dan setiap baris dengan huruf kecil yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5%.
- Notasi huruf kecil dibaca vertikal sedangkan notasi huruf besar dibaca horizontal.
Hasil Uji statistik menyebutkan
bahwa faktor suhu penyimpanan (S),
pengkondisian kembali di suhu ruang
(P), dan interaksi antara suhu
penyimpanan dan pengkondisian
kembali (SP) tidak berbeda nyata
terhadap kadar air umbi kentang untuk
pembuatan potato chips.
Menurut Teori, semakin lama
penyimpanan umbi kentang pada suhu
dingin dengan kelembaban yang
berkisar antara 95%-100%, maka
semakin tinggi kadar air dalam umbi
kentang tersebut karena kelembaban
udara yang tinggi yang dapat
menghambat air hasil respirasi dan
transpirasi umbi kentang menguap ke
udara dalam ruang pendingin. Air dalam
umbi cenderung untuk bergerak ke
daerah yang kelembaban udaranya
lebih kecil seperti udara di suhu kamar.
Oleh karena itu penurunan kadar air
umbi kentang yang disimpan pada suhu
kamar lebih cepat jika dibandingkan
dengan penurunan kadar air umbi
kentang yang disimpan pada suhu
dingin.
Hasil penelitian BALITSA
menyebutkan bahwa varietas kentang
yang sesuai untuk olahan adalah yang
memiliki kandungan air ± 75%.
Berdasarkan hasil uji statistik
dapat disimpulkan setiap perlakuan tidak
berbeda nyata dengan perlakuan
lainnya sehingga menurut kriteria ini
tidak ada perlakuanpenyimpanan umbi
kentang yang kadar airnya memenuhi
syarat untuk pembuatan potato chips.
(2). Kadar Pati
Pati merupakan senyawa yang
tersimpan dalam organ tanaman dan
menentukan sifat komoditas tersebut,
seperti pada beras, kentang dan lain
lain. Selama proses kemasakan buah
terjadi metabolisme yang berhubungan
dengan perubahan kandungan gula,
asam-asam organik, dan senyawa-
senyawa yang berperan penting dalam
perubahan warna, tekstur dan citarasa
(Subramanyam et. al, 1976).
Hasil analisis variansi pada tabel
6 menunjukkan bahwa tidak ada
perbedaan yang nyata pada perlakuan
suhu penyimpanan (S), pengkondisian
kembali di suhu ruang (P), dan interaksi
antara suhu penyimpanan dan
pengkondisian kembali (SP) terhadap
kadar pati umbi kentang.
Tabel 6. Pengaruh Interaksi Suhu Penyimpanan (S) dengan Pengkondisian Kembali (P) Terhadap Kadar Pati Umbi Kentang (%)
Suhu Penyimpanan Pengkondisian Kembali (P)
(S) p1 p2 p3 p4
s1a a a a
8,94 8,50 8,00 9,15A A A A
s2a a a a
9,56 8,22 8,47 8,87A A A A
s3a a a a
10,53 8,91 8,47 9,27A A A A
KK (CV)% 13,80%Keterangan:
- Setiap kolom dengan huruf besar yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5% dan setiap baris dengan huruf kecil yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5%.
- Notasi huruf kecil dibaca vertikal sedangkan notasi huruf besar dibaca horizontal.Tabel 6 menunjukkan bahwa
faktor suhu penyimpanan (S),
pengkondisian kembali di suhu ruang
(P), dan interaksi antara suhu
penyimpanan dan pengkondisian
kembali (SP) tidak berbeda nyata
terhadap kadar pati umbi kentang untuk
pembuatan potato chips.
Penyimpanan umbi kentang
pada suhu dingin 4°C akan mengubah
keseimbangan pati dan gula dalam
komoditi kentang. Kecepatan respirasi
dan perubahan gula menjadi pati
menurun dan gula terakumulasi di dalam
jaringan. Hal ini disebabkan karena
selama penyimpanan suhu dingin
kandungan pati yang terdapat dalam
umbi diubah menjadi gula oleh enzim
fosforilase. Oleh sebab itu kandungan
gula yang terdapat dalam umbi
merupakan kebalikan dari kandungan
pati yang terdapat dalam umbi.
Akumulasi gula yang tinggi dan pati
yang rendah tidak diinginkan untuk
pembuatan potato chips karena akan
mempengaruhi penampakan keripik
kentang sehingga tidak disukai
konsumen.
Berdasarkan standar PT.
Indofood dalam Basuki et al, (2005)
hasil konversi dengan tabel pada
Rastovski dan Van, (1981) (hal 43)
maka kadar pati yang memenuhi
standar untuk pembuatan keripik
kentang minimal 11,90%.
Hasil statistik menunjukkan
bahwa setiap perlakuan tidak berbeda
nyata dengan kadar pati umbi kentang
sehinga belum adanya kentang yang
kadar patinya memenuhi standar untuk
pembuatan keripik kentang.
(3). Kadar Gula Reduksi
Gula merupakan senyawa
organik dan termasuk karbohidrat yang
mempunyai kandungan nutrisi yaitu
sebagai sumber kalori. Gula ada dua
macam yaitu gula pereduksi dan gula
non-pereduksi.
Gula reduksi ialah senyawa
essensial dalam reaksi pencoklatan
karena akan memberikan gugus karbonil
yang diperlukan untuk interaksi dengan
gugus amino bebas.
Sifat pereduksi dari suatu
molekul gula ditentukan oleh ada atau
tidaknya gugus hidroksi asetal. Dimana
pada glukosa, hidroksi asetal aktif pada
rantai atom karbon nomor 1, sedangkan
fruktosa mempunyai gugus ketosa,
gugus aktif yang terletak pada atom
karbon nomor 2.
Hasil uji jarak berganda Duncan
untuk faktor pengaruh suhu penyimpanan,
pengkondisian kembali di suhu ruang dan
interaksi antara suhu penyimpanan dan
pengkondisian kembali dapat dilihat pada
tabel 7.
Tabel 7. Pengaruh Interaksi Suhu Penyimpanan (S) dengan Pengkondisian Kembali (P) Terhadap Kadar Gula Reduksi Umbi Kentang (%)
Suhu Penyimpanan Pengkondisian Kembali (P)
(S) p1 p2 p3 p4
s1B b b a
1,44 1,07 1,00 0,81C B B A
s2B b ab a
1,32 0,95 0,88 0,77C B AB A
s3A a a a
0,89 0,79 0,76 0,75A A A A
KK (CV)% 8,68%Keterangan:- Setiap kolom dengan huruf besar yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada
taraf 5% dan setiap baris dengan huruf kecil yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5%.
- Notasi huruf kecil dibaca vertikal sedangkan notasi huruf besar dibaca horizontal.
Berdasarkan hasil analisis terhadap
kadar gula reduksi umbi kentang
menunjukkan bahwa suhu penyimpanan,
pengkondisian kembali di suhu ruang dan
interaksi antara suhu penyimpanan dan
pengkondisian kembali berbeda nyata
terhadap kadar gula reduksi umbi kentang
untuk pembuatan potato chips.
Umbi kentang yang disimpan diatas
suhu kritis yaitu 10°C akan menyebabkan
tingginya aktivitas repirasi selama
penyimpanan sehingga perubahan gula
menjadi pati semakin rendah dan gula
akan terakumulasi didalam jaringan
kentang. Pengkondisian kembali umbi
kentang pada suhu ruang dilakukan agar
terjadi kenaikan aktivitas respirasi dalam
jangka waktu tertentu yang diikuti dengan
keseimbangan aktivitas respirasi yang
baru dan sebagian besar gula akan
teroksidasi menjadi karbondioksida dan
air sehingga kadar gula menjadi rendah.
Dalam penyimpanan umbi kentang pada
suhu dingin terjadinya akumulasi gula
adalah akibat secara relatif aktivitas enzim
lebih tinggi dibandingkan dengan
kecepatan penggunaan dalam respirasi.
Menurut Tranggono dan Sutardi
(1990), Kentang mengandung enzim
amilase dan fosforilase. Enzim amilase
tidak aktif pada suhu dingin 4°C tetapi
sebaliknya fosforilase aktif pada suhu
dingin ini sehingga berperan dalam
perubahan pati menjadi gula pada
kentang yang disimpan pada suhu ini.
Enzim fosforilase mampu memecah
ikatan 1,4-glukosidik pati dengan
bantuan asam atau ion fosfat,
sedangkan amilase memerlukan
molekul air. Fosforilase dapat memecah
amilosa secara tuntas. Sedangkan
enzim amilase ternyata aktivitasnya
meningkat bersamaan dengan
terjadinya pertunasan dimana hal ini
diperlukan untuk metabolisme
karbohidrat untuk diangkut ke tunas
yang baru tumbuh.
Menurut penelitian Pantastico
(1975) yang menyatakan bahwa
kandungan gula reduksi yang diterima
oleh industri pengolahan keripik kentang
yaitu 1%. Jadi dari hasil uji statistik
dapat disimpulkan kadar gula reduksi
yang dapat diterima industri pengolahan
potato chips adalah perlakuan s1p4
yaitu 0,81%, s2p2 yaitu 0,95%, s2p3
yaitu 0,88%, s2p4 yaitu 0,77%, s3p1
yaitu 0,89%, s3p2 0,79%, s3p3 0,76%
dan s3p4 yaitu 0,75%.
3.1.2. Pengaruh Suhu Penyimpanan dan Pengkondisian Kembali Terhadap Hasil Analisa Fisika Umbi Kentang untuk Pembuatan Potato Chips.
Pengaruh Suhu Penyimpanan
dan Pengkondisian Kembali Terhadap
Hasil Analisa Fisika umbi kentang untuk
pembuatan potato chips.
(1). Kekerasan Kentang
Kekerasan umbi kentang hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa
perlakuan suhu penyimpanan (S) dan
pengkondisian kembali di suhu ruang
(P) berbeda nyata terhadap kekerasan
umbi kentang. Sedangkan interaksi
antara suhu penyimpanan dan
pengkondisian kembali (SP) tidak
berbeda nyata. Data hasil pengamatan
dan perhitungan dapat dilihat pada tabel
8 dan 9.
Tabel 8. Pengaruh Suhu Penyimpanan (S) Terhadap Kekerasan Umbi Kentang Untuk Pembuatan Potato Chips.
Perlakuan Kekerasan (mm/100gram/10 detik)
7°C (s2) 2,43 a10°C (s3) 2,45 a4°C (s1) 2,61 a
KK (CV)% 5,54%Keterangan: - Nilai rata-rata yang ditandai dengan huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang
nyata pada taraf 5% menurut uji lanjut duncan.
Kadar pati yang rendah akan
mempengaruhi kemampuan masuknya
jarum penetrometer ke dalam umbi
kentang. Semakin lama penyimpanan
umbi kentang pada suhu dingin, maka
semakin rendah kadar patinya dan tinggi
gula reduksinya sehingga kekekerasan
semakin menurun (melunak) dan nilai
kekerasan menjadi lebih tinggi.
Sebaliknya semakin lama penyimpanan
umbi kentang pada suhu ruang, maka
semakin tinggi kadar patinya dan rendah
gula reduksinya sehinggaumbi kentang
semakin keras dan nilai kekerasan
menjadi lebih rendah.
Hasil penelitian pengaruh suhu
penyimpanan pada kadar pati
menunjukkan tidak berbeda nyata
sehingga menyebabkan kekerasaan
umbi kentang yang di pengaruhi oleh
suhu penyimpanan juga tidak berbeda
nyata. Ini dapat dilihat dari nilai taraf
nyata yang tidak perbedaan.
Tabel 9. Pengaruh Pengkondisian Kembali (P) Terhadap Kekerasan Umbi Kentang Untuk Pembuatan Potato Chips.
Perlakuan Kekerasan (mm/100gram/10 detik)
0 hari (p1) 2,33 a6 hari (p3) 2,49 ab3 hari (p2) 2,53 ab9 hari (p4) 2,64 b
KK (CV)% 5,54%Keterangan: - Nilai rata-rata yang ditandai dengan huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang
nyata pada taraf 5% menurut uji lanjut duncan.Hasil uji statistik terhadap
kekerasaan umbi kentang pada tabel 9
menunjukan bahwa kekerasan keripik
kentang perlakuan p1 tidak berbeda
nyata dengan kekerasan keripik
perlakuan p3 dan p2, tetapi berbeda
nyata dengan kekerasan keripik dari
perlakuan p4.
Kekerasan disebabkan adanya
granula-granula pati yang tersusun
dengan suatu kerapatan di dalam umbi
sehingga mempengaruhi kemampuan
masuknya jarum penetrometer ke dalam
umbi kentang. apabila kerapatan antar
granula tinggi maka jarum penetrometer
sulit untuk menembus masuk ke dalam
umbi. Semakin lama penyimpanan di
suhu dingin, maka kadar pati akan
semakin rendah. Kemudian dilakukan
penyimpanan di suhu kamar agar
kerapatan granula-granula pati akan
semakin tinggi sehingga akan sulit untuk
ditembus jarum penetrometer.
Perbedaan kekerasan
bergantung pada banyaknya total zat
padat, terutama kandungan patinya.
Kekerasan juga dipengaruhi oleh
ketegangan, keterikatan sel-sel, adanya
jaringan penunjang dan susunan
tanamannya. Ketegangan disebabkan
oleh adanya tekanan isi sel pada dinding
sel. Cairan isi sel yang mempunyai
jenjang energi kinetik lebih rendah
karena zat-zat yang terlarut didalamnya.
Sebagai akibatnya air berdifusi ke dalam
sel. Tekanan yang meningkat kemudian
mendorong sitoplasma dinding sel yang
menyebabkan sel menjadi tegar
(Pantastico,1975).
Menurut Sterling dan Betlhim
dalam Pantastico (1975) menyatakan
bahwa perbedaan kekerasan
disebabkan oleh perbedaan kandungan
pati dan senyawa pektin.
Dari uji statistik dapat
disimpulkan bahwa faktor pengkondisian
kembali (P) yang terpilih adalah p2
karena tidak berbeda nyata dengan p1
dan p3. Waktu pengkondisian yang
dibutuhkan p2 hanya 3 hari sehingga
bisa menghemat biaya produksi
pembuatan potato chips.
(2). Susut Bobot
Susut bobot ialah penyusutan
berat umbi kentang selama
penyimpanan di lapangan karena
mengalami proses respirasi dan
transpirasi. Hal ini dikarenakan selama
penyimpanan terjadi pengupan air dari
umbi kentang ke udara dan perombakan
zat-zat yang terdapat dalam umbi
kentang sehingga menyebabkan
berkurangnya berat umbi dari awal
setelah di panen. Untuk itu dilakukan
proses penyimpanan selama 2 bulan
pada suhu dingin untuk memperlambat
proses respirasi dan transpirasi.
Energi yang berasal dari
timbunan pati yang berubah menjadi
gula sederhana yang kemudian
digunakan dalam proses respirasi dan
bila penyimpanan lama digunakan untuk
pertunasan.
Data hasil pengamatan dan
perhitungan susut bobot umbi kentang
dapat dilihat pada tabel 10.
Tabel 10. Pengaruh Interaksi Suhu Penyimpanan (S) dengan Pengkondisian Kembali (P) Terhadap Susut Bobot Umbi Kentang (%)
Suhu Penyimpanan Pengkondisian Kembali (P)
(S) p1 p2 p3 p4
s1a a ab a
2,49 2,79 3,26 3,53A AB B B
s2b b b b
3,30 4,19 3,64 4,51A BC AB C
s3c a a c
4,20 3,44 2,82 5,58B A A C
KK (%) 11,19%Keterangan:- Setiap kolom dengan huruf besar yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada
taraf 5% dan setiap baris dengan huruf kecil yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5%.
- Notasi huruf kecil dibaca vertikal sedangkan notasi huruf besar dibaca horizontal.Berdasarkan pengamatan dan
uji statistik dapat dilihat bahwa
perlakuan suhu penyimpanan (S) dan
pengkondisian kembali di suhu ruang
(P) serta interaksi diantara keduanya
berpengaruh terhadap susut bobot umbi
kentanguntuk pembuatan potato chips.
Susut bobot berkisar antara 2,49-5,58%.
Ada kecenderungan bahwa semakin
lama umbi disimpan maka semakin
besar susut bobotnya, hasil penelitian ini
sesuai dengan hasil percobaan Ali
Asgar dan Asandhi (1992) bahwa
semakin lama umbi disimpan, semakin
besar susut bobotnya. Nilai tertinggi dari
persentase susut bobot selama
penyimpanan ialah perlakuan s3p4
(penyimpanan pada suhu 10°C
kemudian pengkondisian kembali di
suhu kamar selama 9 hari) yaitu 5,58%.
Hal ini karena kadar gula reduksi yang
terakumulasi selama penyimpanan suhu
dingin diubah menjadi pati dan terjadi
peningkatan proses respirasi dan
transpirasi sehingga umbi kentang
melepaskan air dan karbondioksida ke
udara dalam ruangan. Ini juga
menyebabkan berat umbi kentang
menjadi semakin berkurang. Sedangkan
susut bobot yang nilainya paling rendah
ialah perlakuan s1p1 (penyimpanan
pada suhu 4°C kemudian pengkondisian
kembali di suhu kamar 0hari) yaitu
2,49%. Ini dikarenakan selama
penyimpanan suhu dingin zat-zat pati
dalam kentang di ubah menjadi gula
reduksi yang menyebabkan
berkurangnya berat umbi kentang yang
disimpan pada suhu tersebut dan
pengkondisian kembali di suhu ruang
hanya 0 hari sehingga perubahan gula
reduksi menjadi pati tidak significant.
Maka dapat di ambil kesimpulan bahwa
bahan baku kentang terbaik yang
digunakan untuk pembuatan potato
chips adalah susut bobot terendah yaitu
pada perlakuan s1p1 dengan nilai
2,49%.
(3). Umbi busuk
Penyakit layu menyebabkan
busuk pada umbi kentang sehingga
mempengaruhi warna keripik yang
dihasilkan. Penyakit layu kentang
disebabkan oleh beberapa pathogen,
terutama adalah bakteri Ralstonia
solanacearum. Penyebab lainnya
diantaranya genus pseudomonas,
bacillus, dan clostridium. Bakteri layu
Ralstonia solanacearumsangat toleran
terhadap dingin dan sering ditemukan di
dataran tinggi maupun subtropika.
Tanaman kentang yang terserang
bakteri ini akan menunjukkan gejala layu
pada tanaman dan busuk coklat pada
ikatan vaskuler dengan virulensi yang
tinggi.
Data hasil pengamatan dan
perhitungan umbi busuk dapat dilihat
pada tabel 11.
Tabel 11. Pengaruh Interaksi Suhu Penyimpanan (S) dengan Pengkondisian Kembali (P) Terhadap Umbi Busuk Kentang (%)
Suhu Penyimpanan Pengkondisian Kembali (P)
(S) p1 p2 p3 p4
s1a a a a
0,71 0,71 0,71 0,71A A A A
s2a a a a
0,71 0,71 0,71 0,71A A A A
s3a a a a
0,71 0,71 0,71 0,79A A A A
KK (%) 5,58%Keterangan:- Setiap kolom dengan huruf besar yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada
taraf 5% dan setiap baris dengan huruf kecil yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5%.
- Notasi huruf kecil dibaca vertikal sedangkan notasi huruf besar dibaca horizontal.
Tabel 11 menunjukkan bahwa
faktor suhu penyimpanan (S),
pengkondisian kembali di suhu ruang
(P), dan interaksi antara suhu
penyimpanan dan pengkondisian
kembali (SP) tidak berbeda nyata
terhadap umi busuk kentang untuk
pembuatan potato chips.
Selama penyimpanan di suhu
dingin, banyak umbi yang mengalami
chilling injuring yaitu berupa sisi umbi
yang menjadi lunak terutama pada suhu
4°C karena penyimpanan umbi kentang
di bawah suhu kritisnya yaitu 10°C
menyebabkan umbi kentang tidak dapat
melakukan proses metabolismenya
secara sempurna di suhu ekstrim
tersebut tetapi dapat mencegah
kontaminasi mikroba yang akan masuk
ke dalam umbi. Kemudian setelah
dilakukan pengkondisian kembali di
suhu kamar, umbi yang mengalami
chilling injuring perlahan-lahan
mengalami pemulihan pada kulitnya dan
hampir kembali normal seperti semula.
Umbi yang disimpan disuhu
10°C kemudian dilakukan pengkondisian
kembali di suhu kamar 9 hari
menyebabkan 1 umbi yang busuk
karena selama penyimpanan di suhu
kritis 10°C aktivitas respirasi tetap terjadi
dan perombakan karbohidrat gula
reduksi cenderung menjadi pati
sehingga lebih mudah terkontaminasi
mikroba yaitu kapang. Hal ini sesuai
dalam Syarief dan Halid (1991)
meyatakan bahwa diantara polisakarida
yang dapat menjadi sumber karbon dari
energi untuk kapang terutama pati,
selulosa dan lignin.
3.1.3. Pengaruh Suhu Penyimpanan dan Pengkondisian Kembali Terhadap Uji Organoleptik potato chips.
Pengaruh Suhu Penyimpanan
dan Pengkondisian Kembali Terhadap
Uji Organoleptik potato chips.
(1). Warna
Penilaian uji organoleptik
dengan uji tingkat kesukaan dilakukan
terhadap warna potato chips untuk
mengetahui pengaruh suhu
penyimpanan dan pengkondisian
kembali umbi kentang sehingga dapat
diketahui penerimaan konsumen
terhadap produk tersebut.
Warna penting bagi banyak
makanan, baik makanan yang tidak
diproses maupun bagi makanan yang
diproses. Warna memegang peranan
penting dalam penerimaan makanan.
Selain itu warna dapat memberikan
petunjuk mengenai perubahan kinia
dalam makanan, seperti pencoklatan
dan pengkaramelan. Warna merupakan
hasil dari indera mata yang bisa menjadi
pertimbangan dalam pemilihan suatu
produk. Menurut Winarno (1992), secara
visual faktor warna tampil lebih dahulu
dan kadang-kadang sangat menentukan
sebelum faktor lain dipertimbangkan.
Industri menginginkan varietas
yang apabila digoreng memberikan
warna yang baik. Warna kecoklatan
(browning) setelah digoreng tidak
dikehendaki karena menurunkan
kualitas terutama rasanya jadi pahit,
juga protein dan asam amino serta
bahan lainnya yang bermanfaat hilang
dari produk (Rastovski, 1981).
Hasil analisis variansi pada
lampiran 10 menunjukkan bahwa tingkat
kesukaan panelis terhadap warna potato
chips akibatsuhu penyimpanan (S) dan
pengkondisian kembali disuhu kamar (P)
adalah berbeda nyata. Sedangkan
interaksi antara suhu penyimpanan dan
pengkondisian kembali disuhu kamar
(SP) tidak berbeda nyata. Data hasil
pengamatan dan perhitungan dapat
dilihat pada tabel 12 dan 13.
Tabel 12. Pengaruh Suhu Penyimpanan (S) Terhadap Warna Keripik Kentang
Perlakuan Nilai Rata-rata Warna Keripik Kentang
10°C (s3) 2,56 a7°C (s2) 2,83 ab4°C (s1) 3,26 b
KK (CV)% 7,72%Keterangan: - Nilai rata-rata yang ditandai dengan huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang
nyata pada taraf 5% menurut uji lanjut duncan.Hasil uji organoleptik terhadap
warna potato chips pada tabel di atas
menunjukan bahwa warna keripik
kentang perlakuan s3 tidak berbeda
nyata dengan warna keripik perlakuan
s2, tetapi berbeda nyata dengan warna
keripik dari perlakuan s1. Warna keripik
kentang perlakuan s1 tidak berbeda
nyata dengan warna keripik perlakuan
s2, tetapi berbeda nyata dengan warna
keripik dari perlakuan s3. Ini berarti suhu
penyimpanan berpengaruh terhadap
warna potato chipsyang dihasilkan.
Keripik kentang diharapkan mempunyai
warna yang terang karena bila berwarna
gelap akan memberi kesan gosong yang
identik dengan rasa pahit.
Kentang yang disimpan lama
pada suhu dibawah suhu kritis (10°C)
akan memiliki kandungan gula tinggi dan
mempunyai kecenderungan berubah
warna menjadi gelap setelah
penggorengan.Warna kecoklatan pada
keripik merupakan hasil reaksi antara
karbohidrat, khususnya gula pereduksi
dengan gugus amina primer dari asam
amino, reaksi ini dikenal sebagai reaksi
mailard(Winarno, 1992). Kandungan
gula reduksi sangat berperan
menyebabkan timbulnya warna
kecoklatan pada keripik, tetapi
kandungan gula tidak mutlak
menyebabkan pencoklatan karena untuk
varietas yangberbeda dengan kadar
gula yang sama dapat memberikan hasil
warna keripik kentang yang sangat
berbeda (Roe dan Faulks, 1991).
Kandungan gula yang dapat ditolerir
untuk keripik kentang adalah 2,5-3 mg
perbahan segar (Asgar dan Chujoy,
1999).
Tabel 13. Pengaruh Pengkondisian Kembali (P) Terhadap Warna Keripik Kentang.
Perlakuan Nilai Rata-rata Warna Keripik Kentang
9 hari (p4) 2,73 a3 hari (p2) 2,73 a6 hari (p3) 2,81 a0 hari (p1) 3,27 a
KK (CV)% 7,72%Keterangan: - Nilai rata-rata yang ditandai dengan huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang
nyata pada taraf 5% menurut uji lanjut duncan.
Hasil uji organoleptik terhadap
warna potato chips pada tabel di atas
menunjukan bahwa perlakuan
pengkondisian kembali tidak berbeda
nyata dengan perlakuan lainnya..
Menurut teori, Penyimpanan
kentang pada suhu kamar dapat
menurunkan kadar gula reduksi
sehingga setelah penggorengan keripik
menjadi bewarna kuning terang.Warna
keripik pun dipengaruhi oleh suhu dan
waktu penggorengan. Meningkatnya
suhu dan waktu penggorengan
menyebabkan warna keripik semkain
gelap. Menurut Pantastico (1975),
kondensasi gula-gula pereduksi dengan
asam-asam amino yang merupakan
suatu proses yang dipercepat oleh
panas merupakan penyebab terjadinya
warna gelap.
Winarno (1992) menjelaskan
bahwa warna coklat tersebut diduga
terjadi karena proses pencoklatan
antara gula-gula reduksi dengan gugus
amino primer yang disebut reaksi
mailard. Selanjutnya dikatakan bahwa
reaksi Mailard ini merupakan reaksi
pencoklatan non enzimatis.
Gula reduksi yang tinggi dalam
kentang akan menghasilkan keripik
kentang yang bewarna kecoklatan
dikarenakan terjadinya reaksi mailard
antara gugus amino dari asam amino
atau protein dengan gugus karbonil dari
gula reduksi. Oleh sebab itu dilakukan
penyimpanan kembali di suhu kamar
agar gula reduksi menjadi rendah dan
keripik kentang yang dihasilkan memiliki
penampakan menarik dan tidak bewarna
cokelat sehingga di sukai konsumen.
Menurut Setiawan (1998) bahwa
hasil warna objektif dipengaruhi secara
nyata oleh komposisi bahan baku yaitu
warna awal bahan-bahan
penyusunannya. Reaksi kimia yang
terjadi selama proses pembuatan juga
dapat dipengaruhi nilai warna obyektif.
Bagian permukaan luar dari makanan
goreng berwarna coklat kekuningan
merupakan hasil reaksi pencoklatan luar
yang dipengaruhi oleh komposisi
makanan, suhu, dan lama
penggorengan (Muliawan, 1991).
(2). Rasa
Rasa merupakan faktor yang
penting dari suatu produk makanan
selain penampakan dan warna. Selain
itu tekstur dan konsistensi suatu bahan
akan mempengaruhi cita rasa yang
ditimbulkan oleh bahan tersebut.
Perubahan yang terjadi pada rasa
bahan pangan biasanya lebih kompleks
daripada yang terjadi pada warna bahan
pangan. Cita rasa suatu bahan pangan
biasanya tidak stabil, yaitu dapat
mengalami perubahan selama
penanganan, pengolahan dan
penyimpanan.
Rangsangan indera perasa ada
empat kelompok, yaitu manis, asin,
asam dan pahit (Soekarto, 1985). Oleh
sebab itu rasa ditimbulkan oleh
perasaan seseorang yang telah
menelan suatu makanan. Umumnya
rasa pada bahan pangan tidak terdiri
dari salah satu rasa saja, tetapi
merupakan gabungan dari berbagai
macam yang bersatu sehingga
menimbulkan cita rasa makanan yang
utuh.
Hasil uji organoleptik dapat
dilihat pada tabel 14 dan 15.
Tabel 14. Pengaruh Suhu Penyimpanan (S) Terhadap Rasa Keripik Kentang
Perlakuan Nilai Rata-rata Rasa Keripik Kentang
10°C (s3) 2,47 a7°C (s2) 2,69 a4°C (s1) 2,83 a
KK (CV)% 7,74%Keterangan: - Nilai rata-rata yang ditandai dengan huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang
nyata pada taraf 5% menurut uji lanjut duncan.
Tabel 14 menunjukkan setiap
perlakuan tidak berbeda nyata dengan
perlakuan lainnya. Penyimpanan
kentang disuhu rendah akan menaikkan
kandungan gula reduksinya. Rasa
kentang sangat bergantung dari
kandungan kadar gula atau
karbohidratnya. Bila kandungan
karbohidratnya rendah, jika direbus
umbinya tdak mengalami perubahan.
Struktur dagimgnya halus, bobot umbi
berat, dan dagingnya berair serta
lembek (Setiadi dan fitri, 2006).
Kriteria keripik yang baik adalah
rasanya pada umumnya gurih (Made
Astawan et al, 1991). Makanan yang
diproses dengan penggorengan menjadi
lebih gurih, berwarna lebih baik. Selain
berfungsi sebagai media pengahntar
panas, minyak goreng juga akan diserap
oleh bahan pangan (Aulianan, 2001)
Tabel 15. Pengaruh Pengkondisian Kembali (P) Terhadap Rasa Keripik Kentang.
Perlakuan Nilai Rata-rata Rasa Keripik Kentang
3 hari (p2) 2,48 a9 hari (p4) 2,56 a6 hari (p3) 2,63 a0 hari (p1) 2,99 b
KK (CV)% 7,74%Keterangan: - Nilai rata-rata yang ditandai dengan huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang
nyata pada taraf 5% menurut uji lanjut duncan.
Hasil uji organoleptik tingkat kesukaan
panelis terhadap rasa potato chips
menunjukkan Hasil Tabel 15 menunjukkan
bahwa rasa keripik kentang perlakuan p2
tidak berbeda nyata dengan kerenyahan
keripik perlakuan p4 dan perlakuan p3,
tetapi berbeda nyata dengan kerenyahan
keripik dari perlakuan p1. Rasa keripik
kentang perlakuan p1 berbeda nyata
dengan rasa keripik perlakuan p2, p4 dan
perlakuan p3. Perlakuan p2 ini memiliki
nilai terendah karena umbi kentang yang
disimpan pada suhu dingin dan
pengkondisian di suhu kamarnya hanya 3
hari sehingga umbi tersebut masih
mengandung gula reduksi yang tinggi dan
ketika dilakukan pembuatan potato chips
akan terasa manis. Bila dilihat dari hasil-
hasil yang diperoleh dalam dalam uju
organoleptik ini, maka nilai rasa potato
chips yang dihasilkanmasing-masing
perlakuan pengkondisian kembali di suhu
kamar tersebut pada umumnya masih
disukai oleh panelis.
Salah satu faktor yang
mempengaruhi penerimaan konsumen
terhadap rasa potato chips kentang
adalah senyawa penyusunnya, latar
belakang dan selera masing-masing
individu yang memberikan penilaian
(Winarno, 1992).
Rasa dinilai dengan adanya
tanggapan rangsangan kimiawi oleh
indrera pencicip (lidah), dimana akhirnya
keseluruhan interaksi antara sifat-sifat
aroma, rasa, dan tekstur merupakan
keseluruhan rasa makanan yang dinilai.
Cita rasa keripik kentang
dipengaruhi oleh berbagai faktor antara
lain varietas kentang yang dipergunakan
sebagai bahan baku, jenis minyak yang
digunakan untuk menggoreng, adanya
penambahan penyedap rasa, bahan
pengepakan yang dipergunakan untuk
mengemas keripik dan sebagainya.
Salah satu jenis minyak tertentu
menghasilkan mutu keripik kentang
yang lebih baik dibandingkan dengan
jenis minyak merk yang lain (Sinaga,
1992). Sedangkan menurut Plessis et al.
(1982) bahwa minyak biji kapas lebih
stabil dari pada minyak kacang tanah
dalam penggorengan keripik kentang
karena dapat menahan tokoferol.
Tokoferol merupakan sumber vitamin E
sangat aktif terhadap oksidasi sehingga
dapat digunakan sebagai antioksidan
(Winarno, 1992). Penilaian panelis
terhadap cita rasa dapat diartikan
sebagai penerimaannya terhadap
flavour atau cita rasa yang dihasilkan
oleh kombinasi bahan baku.
Menurut Shelley (1985), flavour
dihasilkan dari kombinasi rasa, aroma,
dan tekstur. Flavour precursors yang
disintesis oleh tanaman terdapat dalam
bahan baku kentang dan terutama
mengandung gula, asam amino, RNA
dan lemak. Genotip tanaman,
lingkungan penanaman, dan lingkungan
penyimpanan mempengaruhi tingkat
campuran kandungan ini dan enzim
yang bereaksi dengannya meghasilkan
flavour. Selama pemasakan, flavour
precursors bereaksi dan menimbulkan
reaksi Mailard dan gula, lemak, serta
produk degradasi RNA yang
berkontribusi terhadap flavour.
Identifikasi flavour adalah penting bagi
breeder dalam seleksi bagi peningkatan
flavour.
(3). Kerenyahan
Kerenyahan keripik disebabkan
oleh adanya pengembangan keripik saat
dilakukan penggorengan, dimana
fenomena pengembangan keripik terjadi
disebabkan oleh terlepasnya air yang
terikat dalam gel pati pada saat
penggorengan. Air ini mula-mula menjadi
uap akibat meningkatnya suhu serta
mendesak pati untuk keluar sehingga
terjadi penggosongan yang membentuk
rongga-rongga udara pada keripik yang
telah digoreng. Rongga-rongga inilah yang
menyebabkan keripik menjadi renyah.
Perbedaan tingkat kekerasan dan
kerenyahan erat kaitannya dengan
perbedaan komposisi bahan dasarnya,
keberadaan pati penting dalam kentang
yang digunakan dalam pembuatan keripik,
peranan pati sebagai bagian utama bahan
kering untuk meningkatkan kualitas. Kadar
amilosa yang tinggi dapat meningkatkan
kerenayahan keripik yang dihasilkan, hal
ini karena amilosa dalam bahan akan
mampu membentuk ikatan hidrogen
dengan air dalam jumlah yang lebih
banyak. Akibatnya pada saat
penggorengan air akan menguap dan
meninggalkan ruang kosong dalam bahan
dan menjadikan keripik lebih renyah
(Surhaini et al, 2009).
Hasil uji organoleptik dapat
dilihat pada tabel 16 dan 17.
Tabel 16. Pengaruh Suhu Penyimpanan (S) Terhadap Kerenyahan Keripik Kentang
Perlakuan Nilai Rata-rata Kerenyahan Keripik Kentang
10°C (s3) 2,41 a7°C (s2) 2,68 a4°C (s1) 2,93 a
KK (CV)% 9,54%Keterangan: - Nilai rata-rata yang ditandai dengan huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang
nyata pada taraf 5% menurut uji lanjut duncan.
Hasil uji duncan menunjukkan
bahwa faktorsuhu penyimpanan tidak
berbeda nyata. terhadap perlakuan
lainnya. Kerenyahan salah satunya
ditentukan oleh kadar pati. Menurut hasil
statistik, perlakuan suhu penyimpanan
tidak berbeda nyata terhadap kadar pati
umbi kentang sehingga perlakuan suhu
penyimpanan juga tidak berbeda nyata
terhadap kerenyahan keripik kentang.
Tabel 17. Pengaruh Pengkondisian Kembali (P) Terhadap Kerenyahan Keripik Kentang.
Perlakuan Nilai Rata-rata Kerenyahan Keripik Kentang
6 hari (p3) 2,30 a3 hari (p2) 2,37 ab9 hari (p4) 2,81 ab0 hari (p1) 3,21 b
KK (CV)% 9,54%Keterangan:
- Nilai rata-rata yang ditandai dengan huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata pada taraf 5% menurut uji lanjut duncan.
Hasil Tabel 17
menunjukkan bahwa kerenyahan
keripik kentang perlakuan p3 tidak
berbeda nyata dengan
kerenyahan keripik perlakuan p2
dan perlakuan p4, tetapi berbeda
nyata dengan kerenyahan keripik
dari perlakuan p1. Kerenyahan
keripik kentang perlakuan p1 tidak
berbeda nyata dengan
kerenyahan keripik perlakuan p2
dan perlakuan p4, tetapi berbeda
nyata dengan kerenyahan keripik
dari perlakuan p3. Ini berarti
pengkondisian kembali di suhu
kamar berpengaruh terhadap
kerenyahan potato chips.
Penyimpanan umbi krntang pada
suhu dingin selama 60 hari dan
pengkondisian di suhu ruang
dapat meningkatkan kandungan
pati dalam umbi kentang sehingga
setelah digoreng menghasilkan
keripik yang renyah dan tidak alot.
Ini sesuai dengan hasil pengujian
Asandhi et al., (1989) yang
menyatakan bahwa kerenyahan
selain dipengaruhi oleh tebal
tipisnya bagian hati juga
dipengaruhi oleh kandungan pati
dalam bahan tersebut. Kadar pati
semakin tinggi dalam suatu bahan
pangan, maka kerenyahan dari
bahan pangan tersebut akan
semakin baik.
Perlakuan p2merupakan
perlakuan terpilih karena tidak berbeda
nyata dengan p3 dan p4. Perlakuan ini
membutuhkan waktu singkat yaitu 3 hari
untuk melakukan pengkondisian kembali
di suhu ruang sehingga bisa menghemat
cost produksi pembuatan keripik kentang.
(4). Penampakan
Sifat fisika bahan makanan akan
berubah secara signifikan selama
penggorengan. Perubahan sifat fisika ini
meliputi geometri (bentuk, ukuran, luas
permukaan, volume, densitas serta
polaritas), sifat termal (konduktifitas
termal, difusitas termal, panas spesifik,
koefisien transfer massa), sifat transfer
massa (difusitas uap, difusitas lemak,
koefisien transfer massa), sifat optis
(warna, tampilan permukaan) dan sifat
mekanis (kekerasan, kohesitas, viskositas,
daya lenting, daya rekat, tekstur). Faktor
yang mempengaruhi perubahan sifat fisika
dari gorengan adalah kandungan minyak
dan air dari bahan makanan, serta kondisi
proses penggorengan itu sendiri.
Analisis statistik yang dilakukan
menunjukkan adanya perbedaan yang
nyata dari pengaruh suhu penyimpanan
(S) dan pengkondisian kembali di suhu
kamar (P) terhadap panampakan potato
chips setelah digoreng, tetapi tidak
terdapat pengaruh yang nyata dari
interaksi antara suhu penyimpanan dan
pengkondisian kembali di suhu kamar
(SP). Hasil uji organoleptik dapat dilihat
pada tabel 18 dan 19
Tabel 18. Pengaruh Suhu Penyimpanan (S) Terhadap Penampakan Keripik Kentang
Perlakuan Nilai Rata-rata Penampakan Keripik Kentang
10°C (s3) 2,66 a7°C (s2) 2,82 ab4°C (s1) 3,30 b
KK (CV)% 6,14%Keterangan: - Nilai rata-rata yang ditandai dengan huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang
nyata pada taraf 5% menurut uji lanjut duncan.
Berdasarkan tabel 18 diatas
menunjukkan penampakan keripik kentang
perlakuan s3 tidak berbeda nyata dengan
penampakan keripik perlakuan s2, tetapi
berbeda nyata dengan penampakan
keripik dari perlakuan s1. Penampakan
keripik kentang perlakuan s2 tidak berbeda
nyata dengan penampakan keripik dari
perlakuan s3 dan perlakuan s1.
Penampakan keripik kentang perlakuan s1
tidak berbeda nyata dengan penampakan
keripik dari perlakuan s2, tetapi berbeda
nyata dengan penampakan keripik dari
perlakuan s3.
Tabel 19. Pengaruh Pengkondisian Kembali (P) Terhadap Penampakan Keripik Kentang.
Perlakuan Nilai Rata-rata Rasa PenampakanKentang
9 hari (p4) 2,79 a3 hari (p2) 2,80 a6 hari (p3) 2,87 a0 hari (p1) 3,24 a
KK (CV)% 6,14%Keterangan: - Nilai rata-rata yang ditandai dengan huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang
nyata pada taraf 5% menurut uji lanjut duncan.
Berdasarkan hasil uji organoleptik
terhadap penampakan potato chips
dengan faktor pengkondisian kembali di
suhu kamar menunjukkanpenampakan
keripik kentang perlakuan p4 tidak berbeda
nyata dengan penampakan keripik
perlakuan lainnya.
Penampakan adalah kehalusan
permukaan dan tampilan lainnya yang
menarik pada keripik dari segi warna dan
ukuran. Kadar air, pati, gula reduksi yang
tinggi akan mempengaruhi penampilan
dan kehilangan kerenyahan pada keripik
(Winarno,1997).
Perfomance adalah penilaian
gabungan dari beberapa kesan yang
ditangkap oleh beberapa indera baik
indera peraba, pengecap, penglihatan, dll.
IV KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. KesimpulanBerdasarkan hasil penelitian
pengaruh Suhu Penyimpanan Dan
Pengkondisian Kembali Terhadap Kualitas
Umbi Kentang Sebagai Bahan Baku
Potato Chips dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut:
1. Perlakuan suhu penyimpanan dan
pengkondisian kembali serta
interaksi keduanya tidak berbeda
nyata terhadap kadar air dan kadar
pati. Interaksi antara suhu
penyimpanan dan pengkondisian
kembali berbeda nyata terhadap
gula reduksi umbi kentang. Kadar
gula reduksi umbi kentang dari
perlakuan s1p4 yaitu 0,81%, s2p2
yaitu 0,95%, s2p3 yaitu 0,88%, s2p4
yaitu 0,77%, s3p1 yaitu 0,89%, s3p2
0,79%, s3p3 0,76% dan s3p4 yaitu
0,75%. Jadi dapat disimpulkan
bahwa perlakuan-perlakuan diatas
umbi kentang dapat diterima oleh
industri pengolahan potato chips.
2. Perlakuan suhu penyimpanan dan
pengkondisian kembali berbeda
nyata tekstur umbi kentang.
Kekerasaan terbaik untuk
pembuatan potato chips adalah 2,33
mm/100gram/10 detik pada
perlakuan p1 (pengkondisian di
suhu kamar selama 9 hari).Interaksi
antara suhu penyimpanan dan
pengkondisian kembali berbeda
nyata terhadap susut bobot umbi
kentang. Susut bobot terpilih yaitu
umbi kentang dari perlakuan s1p4
2,49%, Perlakuan suhu
penyimpanan dan pengkondisian
kembali serta interaksi keduanya
tidak berbeda nyata terhadap umbi
busuk.
3. Perlakuan suhu penyimpanan dan
pengkondisian kembali berbeda nyata
terhadap warna dan penampakan
keripik kentang berdasarkan tingkat
kesukaan panelis. Warna yang paling
disukai panelis yaitu perlakuan s3
(suhu penyimpanan 10°C) dan p4
(pengkondisian kembali di suhu
kamar pada 9 hari) yaitu 2,56 dan
2,73. Penampakan paling disukai
panelis yaitu perlakuan s3 (suhu
penyimpanan 10°C) dan p4
(pengkondisian kembali di suhu
kamar pada 9 hari) yaitu 2,66 dan
2,79.Perlakuan pengkondisian
kembali umbi kentang berpengaruh
nyata terhadap rasa dan kerenyahan
keripik kentang berdasarkan tingkat
kesukaan panelis. Rasa yang paling
disukai panelis yaitu pada perlakuan
p2 (pengkondisian kembali di suhu
kamar pada 3 hari) yaitu 2,48.
Kerenyahan paling disukai panelis
yaitu pada perlakuan p3
(pengkondisian kembali di suhu
kamar pada 6 hari) yaitu 2,30.
4.2. SaranDari hasil evaluasi terhadap
penelitian pengaruh Suhu Penyimpanan
Dan Pengkondisian Kembali Terhadap
Kualitas Umbi Kentang Sebagai Bahan
Baku Potato Chips, maka saran yang
diperlukan untuk penelitian selanjutnya
adalah:
1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan
memperpanjang pengkondisian
kembali umbi kentang di suhu kamar
agar kualitas umbi kentang yang
digunakan untuk potato chips lebih
memenuhi syarat pengolahan dan
potato chips yang dihasilkan lebih
cerah warnanya.
2. Perlu dilakukan penelitian lanjutan
mengenai varietas kentang terbaru
yang dapat digunakan untuk
pembuatan potato chips.
DAFTAR PUSTAKAAdiyoga, W., S. Rachman, A. Ali, dan
Irfansyah, (1999), The Potato System in West Java, Indonesia: Production, Marketing, Processing, and Consumer Preferences for Potato Products, Research
Institute for Vegetables; Lembang,
Bandung.
Asgar A. dan A. A. Asandhi, (1990), Cara Penyimpanan dan Kehilangan Hasil Kentang Konsumsi di Pangalengan, Buletin Penelitian
Hortikultura, XX (1): 1-7.
Asgar A. dan A. A. Asandhi., (1992),
Perbaikan Sistem Produksi Bibit Untuk Menunjang
Peningkatan Produksi Dan Mutu Kentang, Pidato Pengukuhan Ahli
Penelit Utama Bidang Budidaya
Tanaman. Balai Penelitian
Hortikultura Lembang.
Asgar A. dan A. A. Asandhi., (1993),
Study on Storage Method and Weight Loss of Ware Potato in Pangalengan and Garut-West Java, Buletin Penelitian
Hortikultura, XXV (3): 44-49.
Asgar A. dan Kusdibyo, (1997),
Pengaruh Varietas dan Umur Panen Terhadap Kualitas Umbi Kentang (Solanum tuberosum, L.) sebagai bahan baku pembuatan kripik kentang, Balai
Penelitian Hortikultura, Lembang;
Bandung, hal 251-262.
Asgar A. dan E. Chujoy, (1999), Chipping Quality of 45 Potato Clones,
Potato Research in Indonesia.
Research result in a series
working papers. Col. Res.
Between RIV and CIP. Reserach
Institute for Vegetables, Bandung.
Asgar A. dan Kusdibyo, (1997),
Pengaruh Varietas dan Umur Panen Terhadap Kualitas Umbi Kentang (Solanum tuberosum, L.) sebagai bahan baku pembuatan kripik kentang, Balai
Penelitian Hortikultura, Lembang;
Bandung, hal 251-262.
Anonim, (2012), Kentang: Sejarah Hingga Olahan,
http://www.google.com, accesed 6
April 2012.
AOAC, (1995), Official Methods Of Analysis Of The Association Of Official Analytical Chemists;
Washington, D.C.
Asandhi A. A., Sastrosiswojo S., Abidin
Z., Subhan, (1989), Kentang,
Edisi Kedua, Balai Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Balai
Penelitian Hortikultura, Lembang;
Bandung.
Asandhi A. A dan Kusdibyo, (2004).
Waktu Panen Dan Penyimpanan Pasca Panen Untuk Mempertahankan Mutu Umbi Kentang Olahan, Jurnal Ilmu
Pertanian Vol. 11 No.1, 2004 : 51
– 62, Balai Penelitian Hortikultura,
Lembang; Bandung.
Astawan, (2004), Kentang : Sumber Vitamin C dan Pencegah Hipertensi, http://www.gizi.net, accesed 6 April 2012.
Aulianan, R., (2001), Gizi dan Pengolahan Pangan, Adicita
Karya Nusa, Yogyakarta, 103 hal.
BALITSA, (2008), Berita Resmi PVT,
Pendaftaran Varietas Hasil
Pemuliaan No. Publikasi:
020/BR/PVHP/8/2008.
Basuki, R. S, Kusmana, dan A. Dimyati,
(2005), Analisis Daya Hasil, Mutu, dan Respons Pengguna Terhadap Klon 380584.3, TS-2, FBA-4, I-1085, dan MF-II Sebagai Bahan Baku Keripik Kentang, Jurnal Hortikultura Vol
15 (3): 160-170.
Bouchon, P., Aguilera, J. M., & Pyle, D. L.,
(2003), Structure oilabsorption relationships during deep-fat frying, Journal of Food Science,
68, 2711–2716.
Gaspersz V., (1995), Metoda Perancangan Percobaan,
Cetakan Kedua, CV. Armico;
Bandung, hal: 54-60.
Hartus, T., (2001), Usaha Pembibitan Kentang Bebas Virus, Penebar
Swadaya, Edisi Baru, Jakarta Hal
136.
Ketaren S., (2008), Minyak dan Lemak Pangan, Cetakan Pertama,
Universitas Indonesia (UI-Press);
Jakarta, hal: 141-143.
Kolasa, K.M, (1993), The Potato and Human Nutrition, Am. Potato J.
70 (5): 375-383
Kusmana, R.S. Basuki dan Dimyati,
(2004),makalah usulan pelepasan varietas kentang Klon,380584.3, TS-2, FBA-4, I-
1085 dan MF-II sebagai bahan
baku kentang Olahan, hal 254-
259.
Made Astawan dan Mita Wahyuni
Astawan, (1991), Teknologi Pengolahan Pangan Nabati Tepat Guna, Marinih (2005),
Pembuatan Kripik Kimpul Bumbu Balado dengan Tingkat Pedas yang berbeda, Tugas
Akhir. Universitas Negri
Semarang, Semarang.
M. Baedhowie Dan Pranggonawati, S.,
(1983), Petunjuk Praktek Pengawasan Mutu Hasil Pertanian 1; Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 129
halaman.
Muliawan, (1991), Pengaruh Tingkat Kadar Air Terhadap Pengembangan Kerupuk Sagu Goreng, Skripsi Fateta IPB
Bogor.
Mulyaningsih Y., (1996), Pengaruh Umur Panen dan Lama Penyimpanan Terhadap Kualitas Umbi Kentang, Tugas Akhir Jurusan
Teknologi Pangan, Fakultas
Teknik, Universitas Pasundan;
Bandung.
Niederhauser, J.S., (1993), International Cooperation and the Role of the Rotation Feeding the World.
Am. Potato. J. 70 (5): 385-403.
Nur Hartuti, Sinaga R. M., (1998), Keripik Kentang, Balai Penelitian
Tanaman Sayuran, Lembang,
Bandung.
Pantastico, ER.B., (1975), Postharvest Physiology Handling and Utilization of Tropical and Subtropical Fruit and Vegetable,
Edited by ER. B. Pantastico.
Westport, Connecticut. The Avi
Publishing, Co., Inc, 15 halaman.
Plessis, L.M. du; Twisk, P. Van; Niekerk,
P.J. Van; Steyn, M., (1981),
Evaluation of peanut and cottonseed oils for deep frying,
J Amer. Oil Chem. Soc 58 (5):
575-578
Prahardini, P.E.R. dan Pratomo Al. G.,
(2004), Uji Adaptasi Varietas Dan Klon Kentang Olahan Pada Musim Kemarau Di Dataran Tinggi Beriklim Kering, hal: 1,
Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian Jawa Timur.
Rastovski, A. Van Es, (1981), Storage Of Potatoes, Post-Harvest Behaviour, Store Design, Storage Practice, Handling,
Centre for Agricultural Publishing
and Documentation Wageningen,
hal 20-97.
Roe. M.A. and R.M. Faulks, (1991), Color Develoopment in a Model System During Frying: Role of
Individual Amino Acid Sugar, Journal Food Science Vol. 36(6):
1711-1713.
Rubatzky, Vincent. E., dan Mas Yamaguchi,
(1998), Sayuran Dunia. Jilid I, Edisi
Baru Terjemahan Catur H. ITB Press,
Bandung, hal 313.
Robertson, (1967), The practise of deep fat frying, J. Food Tech, 21 (1): 34-36.
Sahat, S. D.D Widjajanto, I. Hidayat, dan
S. Kusumo, (1989), Pembibitan kentang, Dalam Asandhi, et al
(Eds), Kentang Edisi 2, Balitsa,
Lembang, 209 hal.
Sahat, S. dan Kardjadi. K. A, (2008),
Pendaftaran Varietas Hasil Pemuliaan,
http://www.google.com, accesed 6
Juni 2012.
Samadi B., (2007), Analisis Usaha Tani Kentang, Edisi Baru, Kanisius;
Yogyakarta, hal: 74-75.
Setiadi dan S. Fitri., (2006), Kentang Varietas dan pembudidayaan,
Penebar Swadaya, Jakarta, 89
hal.
Setiawan, (1998), Mempelajari Karakteristik Fisiko-Kimia Kerupuk Dari Berbagai Taraf Formulasi Tapioka, Tepung Kentang Dan Tepung Jagung.
Skripsi Fateta IPB Bogor.
Sibarani A., (1988), Pengaruh Penyimpanan Terhadap Kadar Glikoalkaloid Kentang (Solanum tuberosum,) Skripsi Fateta IPB,
Bogor.
Simek, J., (1980), Effect of Potato Composition on the Quality of French Fried Potatoes and Chips and Crisps, Vyzkummy
Intav Bramborasky. Havlikuv Brod,
Czechoslavakia. Vedeche Prace
Vyzkumneko Ustavu
Bramborarskeko Havlickove
Brode (5): 75-82.
Sinaga. R.M., (1992), Pengaruh Jenis Kemasan dan Minyak Goreng Terhadap Mutu Keripik Kentang (Solanum tuberosum L.), Buletin
Penelitian Hortikultura, XXII (1),
26-38.
Shelley, H.J., (1985), Potato Flavor, Am,
J. Potato Res. 87 (2): 209-217.
Sidiq, (2005), AplikasiCurtain Prying Sebagai Alternatif Pengganti Deep-Fat Frying Pada Proses Penggorengan Nugget Champ di PT. Charoen Pokhpand Indonesia-chicken Procesing, Skripsi Fateta IPB, Bogor.
Soekarto T. S., (1985), Penilaian Organoleptik Untuk Industri Pangan Dan Hasil Pertanian,
Edisi Baru, Bharata, Jakarta, 115
halaman.
Standar Nasional Indonesia, (1996), SNI 01-4031-1996 kripik kentang, http://www.google.com, accesed
12 Juli 2012.
Subramanyam, H., S. Gouri and S.
Krishnamurty, (1976), Ripening Behaviour of Mango Fruits Graded on Specific Gravity Basic, J. Food Sci. Tech.
Sunarjono H., (2007), Petunjuk Praktis Budidaya Kentang, Cetakan
Pertama, PT. Soeroengan,
Jakarta, hal: 9-12, 16-17, 19, 89
dan 94.
Sunarjono H dan Rismunandar, (1981),
Pengantar Pengetahuan Dasar Hortikultura II, Cetakan Pertama,
CV. Sinar Baru; Bandung.
Surhaini, Mursalin, Addion Nizori, (2009),
Teknologi Penggunaan Umbi Gadung Bebas Racun Menjadi Keripik Simulasi, Percikan Vol.
96 Edisi Januari: 69-73, ISSN:
0854-8986.
Syarief, R., dan Halid, H., (1991),
Teknologi Penyimpanan Pangan, Penerbit Arcan, Jakarta,
hal 126.
Tantidham, K., P. Jirathana and M.
Thongjiem, (1994), Thai Potato Recipes, published by Southeast
Asian Program for Potato
Research and Development, Los
Banos, Laguna, Philipines, hal:
41.
The International Potato Center, (2008),
Facts and Figures: 2008–The International Year of the Potato,
http://www.potato2008.org,
accesed 6 April 2012.
Tranggono dan Sutardi, (1990), Biokimia dan Teknologi Pasca Panen,
Pusat Antar Universitas-Pangan
Gizi, Universitas Gadjah Mada;
Yogyakarta, hal: 160-161.
Wibowo, C., E. Powelzik, E. Delgado,
Nurpilihan., (2004), Strengtening food security program by utilization of medium altitudes land on potato cultivation, J. of
Agriculture and Rural
Development in Tropics and
Subtropics 80:5360.
Wibowo, (2006), Peningkatan Kualitas Keripik Kentang Varietas Granola dengan Metode Pengolahan Sederhana, J. Akta
Agronesia. 9 (2): 102-109.
Winarno F.G. dan Aman, M., (1981),
Fisiologi Lepas Panen, Cetakan
Pertama, PT. Sastra Hudaya;
Jakarta Pusat, hal: 72-73.
Winarno F.G., (1992), Kimia Pangan dan Gizi, Cetakan Keenam, PT.
Gramedia; Jakarta, hal: 40-43.
Winarto A., (1989), Pembuatan Keripik
Kentang, Puslitbang Teknologi
Tepat Guna, API Indonesia;
Bandung.