Post on 24-Apr-2015
Clinical Science Session
SINUSITIS DENGAN KOMPLIKASI ORBITA
Oleh :
Ira Camelia Fitri 07120143
Richard Santosa 0810313176
Lorensia Fitra Dwita 0810313205
Preseptor :
dr. Effy Huriyati, Sp. THT-KL
BAGIAN ILMU PENYAKIT TELINGA HIDUNG TENGGOROKAN
BEDAH KEPALA DAN LEHER
RSUP Dr. M. DJAMIL PADANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah mencurahkan rahmat dan hidayahNya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Sinusitis Dengan Komplikasi
Orbita ”. Referat ini ditujukan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik
di bagian Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung dan Tenggorok RSUP DR M Djamil Padang.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. Effy Huriyati SpTHT-KL sebagai preseptor
yang telah membantu dalam penyelesaian penulisan referat ini. Penulis menyadari bahwa referat
ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua
pihak yang membaca demi kesempurnaan makalah ini. Penulis juga berharap makalah ini dapat
memberikan dan meningkatkan pengetahuan serta pemahaman tentang “Sinusitis Dengan
Komplikasi Orbita” terutama bagi penulis sendiri dan bagi rekan-rekan sejawat lainnya.
Padang, Maret 2012
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR………………………………………………………. i
DAFTAR ISI………………………………………………………………… ii
DAFTAR GAMBAR………………………………………………………… iii
DAFTAR TABEL……………………………………………………………. iv
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………… 1
1.1 Latar Belakang……………………………………………………….. 1
1.2 Batasan Masalah………………………………………………………. 2
1.3 Tujuan Penulisan……………………………………………………… 2
1.4 Metode Penulisan……………………………………………………... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………… 3
2.1 Definisi ……………………………………………………………….. 3
2.2 Anatomi Sinus Paranasal…………………………………………….... 3
2.3 Epidemiologi ………………………………………...……………….. 10
2.4 Etiologi………………………………………...……………………… 10
2.5 Patogenesis ……………………………………………………………. 11
2.6 Manifestasi Klinis……………………………………………………… 13
2.7 Diagnosis………………………………………….…………………… 14
2.8 Penatalaksanaan……………………………………………………….. 17
2.9 Prognosis……………………………………………………………... 18
BAB III PENUTUP…………………………………………………………… 19
3.1 Kesimpulan……………………………………………………………. 19
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………. 20
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Tulang-tulang Pembentuk dinding Lateral Hidung …………………… 4
Gambar 2 Meatus pada dinding Lateral Hidung……………………………… …. 5
Gambar 3 Struktur di balik Konka …………………………..…………………… 5
Gambar 4 Aliran Sekresi Sinus ……………….……………………………… …. 6
Gambar 5 Anatomi Sinus Paranasal …………………………..………………..… 6
Gambar 6 Anatomi Sinus Paranasal (tampak samping).……………………… …. 8
Gambar 7 Kompleks Osteomeatal …………………………..…………………… 9
Gambar 8 Klasifikasi Komplikasi Sinusitis pada Orbita……………………… …. 12
Gambar 9 Selulitis Preorbita …………………………..…………………… ……. 14
Gambar 10 Selulitis Orbita.. ……………….……………………………… …….... 14
Gambar 11 Abses Preorbita …………………………..…………………… ……. .. 14
Gambar 12 Contoh Pemeriksaan CT-Scan pada Sinusitis……………………… …. 16
Gambar 13 Nasal Endoskopi …………………………..…………………… ……. 16
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Manifestasi klinis yang terjadi sesuai dengan komplikasi …………...……… 13
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Sinusitis menjadi masalah kesehatan yang penting hampir di semua Negara dan angka
prevalensinya makin meningkat tiap tahunnya. Sinusitis paling sering dijumpai dan termasuk 10
penyakit termahal, karena membutuhkan biaya pengobatan cukup besar. Prevalensi sinusitis di
Indonesia cukup tinggi. Data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung
dan sinus berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar 102.817
penderita rawat jalan di rumah sakit. Data dari Divisi Rinologi Departemen THT RSCM Januari-
Agustus 2005 menyebutkan jumlah pasien rinologi pada kurun waktu tersebut adalah 435 pasien,
69%nya adalah sinusitis1.
Gejala-gejala sinusitis ditandai dengan hidung tersumbat, nyeri tekanan pada wajah,
ingus purulent, gangguan penciuman, sakit kepala, demam dan gejala-gejala sistemik lainnya.
Komplikasi akibat sinusitis sangat bervariasi, baik lokal, intraorbital maupun intrakranial.
Komplikasi intrakranial berupa abses serebri, empiema subdural, meningitis dan osteomielitis.
Komplikasi pada orbita berupa edema, selulitis orbita, abses subperiosteal, abses orbital, dan
thrombosis sinus kavernosus.2
Komplikasi ke orbita merupakan komplikasi yang paling sering ditemukan karena
keistimewaan anatominya. Komplikasi ke orbital terjadi disebabkan secara anatomi sinus
ethmoidalis, maksila, dan frontal berhubungan dengan rongga orbita mata. Gejalanya bervariasi
dari tanda-tanda inflamasi, proptosis, kehilangan motilitas okuler dan kebutaan. Sinusitis dengan
komplikasi intra orbita ini adalah penyakit yang berpotensi fatal yang telah dikenal sejak zaman
Hippocrates. Sebelum munculnya terapi antibiotik, prevalensi komplikasi orbita pasca
rinosinusitis cukup tinggi sekitar 17-19 % dan prevalensi kebutaan sekitar 20-33%. Saat ini
setelah terapi antibiotic diperkenalkan, sekuel tersebut mencapai sekitar 5 % dari kasus. 3
Sejak dipublikasikan pertama kali oleh Hubert pada tahun 1973 hingga saat ini, banyak
perbedaan konsepsi dan kebingungan ditemukan mengenai manifestasi klinis dan korelasinya
dengan komplikasi. Salah satu perbedaan yang dimaksud adalah mengenai apakah trombosis
sinus kavernosus juga diklasifikasikan sebagai komplikasi orbital atau komplikasi intrakranial.
Dari sisi klinis juga sulit untuk membedakan abses dan phlegmon dari hasil Computerized
Tommography Scan.4
Dengan demikian banyak hal mengenai sinusitis dengan komplikasi orbita yang masih
menjadi masalah saat ini. Ditambah lagi komplikasi sinusitis ke orbita menimbulkan komplikasi
yang mengancam jiwa karena diikuti secara kolektif oleh semua komplikasi intracranial, maka
harus diperlakukan sebagai darurat medis dan diobati secara agresif. Oleh sebab itu, diagnosis
dini dan intervensi bedah agresif dalam hubungannya dengan antibiotik spektrum luas
merupakan kunci keberhasilan pengelolaan. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka penulis
merasa perlu untuk menulis referat mengenai sinusitis dengan komplikasi orbita.
1.2 Batasan Penulisan
Penulisan referat ini dibatasi mengenai sinusitis dengan komplikas orbita, mencakup
definisi, anatomi, epidemiologi, patogenesis, manifestasi klinis, diagnosis, dan tata laksana.
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan referat ini adalah membahas sinusitis dengan komplikas orbita
mencakup definisi, anatomi, epidemiologi, patogenesis, manifestasi klinis, diagnosis, tata
laksana.
1.4 Metode Penulisan
Metode penulisan referat ini adalah berdasarkan tinjauan kepustakaan dari berbagai
literatur.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Sinusitis merupakan masalah kesehatan yang cukup sering dijumpai pada praktik sehari-
hari dokter umum maupun dokter spesialis THT. Menurut American Academy of
Otolaryngology - Head & Neck Surger 1996, istilah sinusitis lebih tepat diganti dengan
rinosinusitis karena dianggap lebih akurat dengan alasan:
(1) secara embriologis mukosa sinus merupakan lanjutan mukosa hidung,
(2) sinusitis hampir selalu didahului dengan rinitis, dan
(3) gejala-gejala obstruksi nasi, rinore dan hiposmia dijumpai pada rinitis ataupun sinusitis.5
Sinusitis dapat dibedakan menjadi dua yaitu sinusitis akut dan kronis. Penyebab terjadinya
sinusitis akut dan kronis pun berbeda. Untuk sinusitis akut itu biasanya terjadi karena rhinitis
akut, faringitis, tonsilitis akut dan lain-lain. Gangguan drainase, perubahan mukosa, dan
pengobatan merupakan penyebab terjadinya sinusitis kronis 5
2.2 Anatomi Sinus Paranasal
Ada empat pasang sinus paranasal, empat buah pada masing-masing sisi hidung sinus frontal
kanan dan kiri, sinus etmoid kanan dan kiri (anterior dan posterior), sinus maksila kanan dan kiri
(atrium highmore) dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Semua sinus ini dilapisi oleh mukosa yang
merupakan lanjutan mukosa hidung, berisi udara dan semua bermuara di rongga hidung melalui
ostium masing-masing. 6
Sinus-sinus ini pada dasarnya adalah rongga-rongga udara yang berlapis mukosa di dalam
tulang wajah dan tengkorak. Pembentukannya dimulai sejak dalam kandungan. Sinus paranasal
terbentuk pada fetus usia bulan ketiga atau menjelang bulan keempat dan tetap berkembang
selama masa kanak-kanak, akan tetapi hanya ditemukan dua sinus ketika baru lahir yaitu sinus
maksila dan etmoid. Sinus frontal mulai berkembang dari sinus etmoid anterior pada usia sekitar
8 tahun dan menjadi penting secara klinis menjelang usia 13 tahun, terus berkembang hingga
usia 25 tahun. Pada sekitar 20% populasi, sinus frontal tidak ditemukan atau rudimenter dan
tidak memiliki makna klinis. Sinus sfenoidalis mulai mengalami pneumatisasi sekitar usia 8
hingga 10 tahun dan terus berkembang hingga akhir usia belasan atau dua puluhan.7
Dinding lateral nasal mulai sebagai struktur rata yang belum berdiferensiasi. Pertumbuhan
pertama yaitu pembentukan maxilloturbinal yang kemudian akan menjadi konkha inferior.
Selanjutnya, pembentukan ethmoturbinal, yang akan menjadi konka media, superior dan
supreme dengan cara terbagi menjadi ethmoturbinal pertama dan kedua. Pertumbuhan ini diikuti
dengan pertumbuhan sel-sel ager nasi, prosesus uncinatus, dan infundibulum etmoid. Sinus-sinus
kemudian mulai berkembang. Rangkaian rongga, depresi, ostium dan prosesus yang dihasilkan
merupakan struktur yang kompleks yang perlu dipahami secara detail dalam penanganan
sinusitis, terutama sebelum tindakan bedah. 7 Tulang-tulang pembentuk dinding lateral hidung
dijelaskan dalam gambar 1.
Gambar .1. Tulang-tulang pembentuk dinding lateral hidung 8
(1. Nasal; 2. Frontal; 3. Etmoid; 4. Sfenoid; 5. Maksila; 6. Prosesus palatina horizontal;
7.Konka superior (etmoid); 8. Konka media (etmoid); 9. Konka inferior;10. Foramene sfenopalatina; 11. Lempeng
pterigoid media; 13.Hamulus pterigoid media)
Dari struktur di atas, dapat dilihat atap kavum nasi dibentuk oleh tulang-tulang nasal,
frontal, etmoid, sfenoid dan dasar kavum nasi dibentuk oleh maksila dan prosesus palatina,
palatina dan prosesus horizontal. Gambar 1 menunjukkan anatomi tulang-tulang pembentuk
dinding nasal bagian lateral. Tiga hingga empat konka menonjol dari tulang etmoid, konka
supreme, superior, dan media. Konka inferior dipertimbangkan sebagai struktur independen.7
Masing-masing struktur ini melingkupi ruang di baliknya di bagian lateral yang disebut meatus,
seperti terlihat pada gambar 2.
Gambar 2. Meatus pada dinding lateral hidung8
Sebuah lapisan tulang kecil menonjol dari tulang etmoid yang menutupi muara sinus
maksila di sebelah lateral dan membentuk sebuah jalur di belakang konka media. Bagian tulang
kecil ini dikenal sebagai prosesus unsinatus. Jika konka media diangkat, maka akan tampak
hiatus semilunaris dan bulla etmoid seperti tampak pada gambar 3. Dinding lateral nasal bagian
superior terdiri dari sel-sel sinus etmoid yang ke arah lateral berbatasan dengan epitel olfaktori
dan lamina kribrosa yang halus. Superoanterior dari sel-sel etmoid terdapat sinus frontal. Aspek
postero-superior dari dinding lateral nasal merupakan dinding anterior dari sinus sfenoid yang
terletak di bawah sela tursika dan sinus kavernosa.7
Gambar 3. Struktur di balik konka 8
Sinus paranasal dalam kondisi normal mengalirkan sekresi dari mukosa ke daerah yang
berbeda dalam kavum nasi seperti terlihat dalam gambar 4. Aliran sekresi sinus sfenoid menuju
resesus sfenoetmoid, sinus frontal menuju infundibulum meatus media, sinus etmoid anterior
menuju meatus media, sinus etmoid media menuju bulla etmoid dan sinus maksila menuju
meatus media. Struktur lain yang mengalirkan sekresi ke kavum nasi adalah duktus
nasolakrimalis yang berada kavum nasi bagian anterior. 7
Gambar 4. Aliran sekresi sinus 8
Pada meatus medius yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka inferior
rongga hidung terdapat suatu celah sempit yaitu hiatus semilunaris yakni muara dari sinus
maksila, sinus frontalis dan etmoid anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang
diantara konka superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus
sfenoid. 6.
Gambar 5. Anatomi Sinus Paranasal 9
a. Sinus Maksila 10
Terbentuk pada usia fetus 3-4 bulan yang terbentuk dari prosesus maksilaris arkus I.
Sinus maksila berbentuk piramid, dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os
maksila yang disebut fosa kanina. Dinding posteriornya adalah permukaan infra temporal
maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya
ialah dasar orbita dan dinding inferiornya adalah prosesus alveolaris dan palatum.
Merupakan sinus terbesar dengan volume kurang lebih 15 cc pada orang dewasa, saat
lahir sinus maksila bervolume 6-8 cc.
Sinus maksilaris berhubungan dengan :
Kavum orbita, dibatasi oleh dinding tipis (berisi n. infra orbitalis) sehingga jika
dindingnya rusak maka dapat menjalar ke mata.
Gigi, dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu premolar
(P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring dan gigi molar (M3),
bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus.
Duktus nasolakrimalis, terdapat di dinding kavum nasi.
b. Sinus Etmoid 10
Terbentuk pada fetus usia 4 bulan .
Saat lahir berupa 2-3 sellulae (ruang-ruang kecil), saat dewasa terdiri dari 7-15 sellulae,
dindingnya tipis.
Bentuk sinus etmoid seperti piramid berongga-rongga seperti sarang tawon, terletak di
dalam massa bagian lateral os etmoid yang terletak di antara konka media dan dinding
medial orbita.
Sinus etmoidalis berhubungan dengan :
Fosa kranii anterior yang dibatasi oleh dinding tipis yaitu lamina kribrosa. Jika terjadi
infeksi pada daerah sinus mudah menjalar ke daerah kranial (meningitis, ensefalitis dsb).
Orbita, dilapisi dinding tipis yakni lamina papirasea. Jika melakukan operasi pada sinus
ini kemudian dindingnya pecah maka darah masuk ke daerah orbita sehingga terjadi Brill
Hematom.
Nervus Optikus.
Nervus, arteri dan vena etmoidalis anterior dan posterior.
c. Sinus Frontalis 10
Sinus ini dapat terbentuk atau tidak, tidak simetri kanan dan kiri, terletak di os frontalis.
Volume pada orang dewasa ± 7cc.
Bermuara ke infundibulum (meatus nasi media).
Berhubungan dengan :
Fosa kranii anterior, dibatasi oleh tulang kompakta.
Orbita, dibatasi oleh tulang kompakta.
Dibatasi oleh periosteum, kulit, tulang diploik.
d. Sinus Sfenoidalis 10
Terbentuk pada fetus usia bulan ke-3.
Terletak pada korpus, alas dan prosesus os sfenoidalis.
Volume pada orang dewasa ± 7 cc.
Berhubungan dengan :
Sinus kavernosus pada dasar kavum kranii.
Glandula pituitari, kiasma n.optikum.
Traktus olfaktorius.
Arteri basillaris batang otak
Gambar 6. Anatomi Sinus Paranasal (tampak samping) 9
Fungsi sinus paranasal adalah : 6
Membentuk pertumbuhan wajah karena di dalam sinus terdapat rongga udara sehingga
bisa untuk perluasan. Jika tidak terdapat sinus maka pertumbuhan tulang akan terdesak.
Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning).
Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur kelembaban
udara.
Penahan suhu (thermal insulators)
Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas, melindungi orbita dan fosa
serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah.
Membantu keseimbangan kepala.
Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka.
Sebagai peredam perubahan tekanan udara
Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak, misalnya pada
waktu bersin atau membuang ingus.
Membantu produksi mukus
Resonansi suara.
Kompleks Osteo-Meatal
Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus medius ada muara-muara
saluran dari sinus maksila, sinus frontal, dan sinus ethmoid anterior. Daerah ini rumit dan sempit,
terdiri dari infundibulum ethmoid yang terdapat di belakang processus uncinatus, resesus
frontalis, bula ethmoid, dan sel-sel ethmoid anterior dengan ostiumnya dan ostium sinus
maksila.6
Gambar 7. Kompleks Osteo-Meatal 9
2.3 Epidemiologi
Frekuensi komplikasi orbita dari infeksi sinus berkisar dari 0,5% sampai 3,9%, namun
kejadian abses orbital atau periorbital sangat bervariasi dari 0% sampai 25%. Sebuah studi yang
jauh lebih besar dari Hospital for Sick Children di Toronto (6770 pasien) melaporkan bahwa 159
diantaranya telah mengalami komplikasi pada orbita (2,3%); dan 17 (10,7%) diantaranya
mengalami pembentukan abses. Di antara 158 pasien yang dirawat di Children's Hospital
National Medical Center dengan preseptal atau orbital selulitis, 20,8% diantaranya telah
mengalami pembentukan abses orbital atau periorbital. Di antara kasus-kasus dengan komplikasi
orbital pada penyakit sinus lainnya, insiden pembentukan abses bervariasi dari 6,25% sampai
20% hingga 78,6%. 11
Saat antibiotik sudah tersedia, 1,9% pasien dengan selulitis orbital dapat berkembang
menjadi meningitis, meskipun pengobatan yang tepat adalah dengan antibiotik sistemik.
Meskipun pengobatan agresif dilakukan dengan antibiotik dan pembedahan drainase, abses
orbital bisa dihancurkan. Dalam suatu kasus di mana hasil visualisasi akhir dilaporkan 7,1%
sampai 23,6% pasien menjadi buta.11
Selulitis orbita adalah penyakit yang terutama menyerang anak-anak dan remaja dengan
distribusi usia berkisar antara 0-15 tahun. Dalam suatu kasus dilaporkan, penyakit sinus menjadi
faktor predisposisi yang paling umum. Pada kelompok anak, 91% pasien dengan pemeriksaan
radiologis dikonfirmasi dengan penyakit sinus, umumnya pada sinus ethmoid dan sinus
maksilaris. Sinusitis ethmoidal telah dibuktikan sebagai sumber infeksi mulai dari 43% menjadi
75% pasien dalam berbagai kasus, tetapi biasanya datang dengan infeksi rahang atas pada sisi
yang sama.Infeksi sinus frontal juga telah sering diidentifikasi terutama di kasus dengan subjek
penelitian terdiri dari sejumlah besar remaja dan orang dewasa. 11
2.4 Etiologi
Mikroorganisme pathogen yang paling sering menyebabkan selulitis dan abses sama
dengan yang terdapat pada sinusitis akut dan kronis, tergantung pada lamanya dan etiologi dari
sinusitis primernya. Mikroorganisme tersebut adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus
influenzae, S. aureus dan bakteri anaerob (Prevotella, Porphyromonas, Fusobacterium dan
Peptostreptococcus spp.) 12
2.5 Patogenesis
Orbita rentan terhadap perpindahan infeksi dari sinus yang bersebelahan, karena
dikelilingi oleh sinus-sinus pada ke tiga sisinya. Hal ini lebih ditekankan pada anak-anak, karena
anak-anak mempunyai tulang septa dan dinding sinus yang lebih tipis, porositas tulang yang
lebih besar, garis sutura yang terbuka dan pembuluh darah foramen yang lebar. Orbita
dipisahkan dari sinus ethmoid dan sinus maksila oleh lempeng tulang tipis ( lamina papiracea )
saja, sehingga infeksi dapat menyebar langsung oleh penetrasi dari tuang tipis tersebut. 13
Infeksi juga dapat meluas secara langsung dengan melintasi foramen etmoidalis anterior
dan posterior, karena sistem pembuluh vena pada mata tidak mempunyai katup maka vena yang
melebar serta komunikasi limfatik antara sinus dan struktur sekitarnya memungkinkan aliran dua
arah yang dapat menyebabkan tromboflebitis dan penyebaran infeksi. 13
Komplikasi orbita telah dikategorikan oleh Chandler menjadi lima tahap yang terpisah
menurut tingkat keparahannya, yaitu 14
1. Udem inflamasi dan selulitis preseptal
Udem terjadi karena adanya tekanan inflamasi pada pembuluh darah etmoid yang menyebabkan
infeksi sehingga terjadi obstruksi vena. Pasien umumnya datang dengan tanda dan gejala
sinusitis yang berhubungan dengan udem dan eritema pada kelopak mata.
2. Selulitis orbita
Terjadi peradangan dan selulitis dari isi orbita dengan berbagai tingkat proptosis, kemosis dan
atau gangguan visual yang tergantung dari beratnya komplikasi. Keterlibatan orbita
menyebabkan udem difus dan infiltrasi bakteri pada jaringan adipose tetapi belum terjadi abses
3. Abses subperiosteal
Terjadi abses yang dapat menyebabkan keterbatasan gerakan dari bola mata. Selama infeksi
hanya terbatas di subperiosteal, maka tidak ada gangguan penglihatan yang terjadi. Pernglihatan
umumnya normal pada stadium awal namun dapat menjadi terganggu.
4. Abses orbita
Terjadi akumulasi pus dalam jaringan lunak orbita di belakang bola mata. Abses berkembang
karena terjadi perluasan infeksi ke lemak orbita yang berhubungan dengan proses inflamasi,
purulensi dan nekrosis lemak. Gangguan visual dapat terjadi karena tingginya tekanan dalam
orbita yang menyebabkan okusi arteri retina atau neuritis optic.
5. Thrombosis sinus kavernosus
Terjadi akibat perluasan dari infeksi orbita yang kemungkinan terjadi karena tidak adanya katup
pada pembuluh darah orbita yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Tahap ini adalah tahap
komplikasi yang mengancam jiwa yang ditandai dengan adanya ptosis, nyeri orbital, gangguan
berat ketajaman visual dan hilangnya penglihatan pada mata yang kontralateral. Persentase
terjadinya kebutaan dan kematian mencapai 20 persen.
Gambar 8 Klasifikasi Komplikasi Sinusitis pada Orbita 1
Pada tahun 1937, Hubert merupakan orang pertama yang mengklasifikasikan sejumlah
komplikasi orbital sinusitis menjadi lima kelompok (Kathmandu Universitas), klasifikasi ini
disempurnakan oleh Smith dan Spencer. Klasifikasi terbaru diperkenalkan oleh Chandler pada
tahun 1970 dan diterima dengan baik sampai hari ini. 12
Namun klasifikasi Chandler tidak mempertimbangkan karakteristik anatomi orbita dan
tidak sesuai lagi setelah adanya pengembangan CT-Scan. Penelitian yang dilakukan oleh
Antonio Augusto Velasco e Cruz dkk mengusulkan sebuah klasifikasi baru yang lebih objektif
untuk memandu dokter dalam menetapkan garis batas untuk setiap kasus3.
I. Selulitis Orbita
II. Abses Subperiosteal
III. Abses Orbita
Pada klasifikasi Chandler, thrombosis sinus cavernosus jelas bukan bentuk dari
komplikasi orbita, karena thrombosis sinus cavernosus merupakan komplikasi intrakranial. Pada
edema inflamasi dan preseptal selulitis secara tekstual ditegaskan hanya terjadi inflamasi dalam
sinus, hal ini membingungkan dengan inflamasi lainnya yang bukan disebabkan oleh sinusitis.3
2.6 Manifestasi Klinis
Komplikasi Orbital yang disebabkan oleh sinusitis ditemui lebih sering di sisi
kanan dibandingkan sisi kiri. Gejala yang paling umum ditemukan pertama kali adalah edema
dan eritema diikuti dengan proptosis , rinorea purulent, kehilangan motilitas okuler dan diplopia
serta gejala konstitusional seperti demam dan sakit kepala.12
Tabel 1. Manifestasi klinis yang terjadi sesuai dengan komplikasi 12
Grup 1
Udem inflamasi dan selulitis
preseptal (periorbita)
Karena drainase vena terbatas
akibat edema inflamasi
Pembengkakan kelopak mata
tidak nyeri tekan
Grup 2
Selulitis Orbita
Edema dan peradangan tanpa
pembentukan abses
Pembengkakan kelopak mata
dengan tanda-tanda proptosis
dan mobilitas meta berkurang
serta chemosis
Grup 3
Abses Subperiosteal
Pus terkumpul di ruang
antara tulang dan periosteum
Ditandai edema dan proptosis
yang lebih lanjut
Grup 4
Abses Orbita
Pus terkumpul di dalam
ruang orbita
Proptosis semakin
memburuk, opthalmoplegia
dengan kehilangan
penglihatan
Grup 5
Trombosis
Sinus Cavernosus
Demam, sakit kepala,
opthalmoplegia, kehilangan
penglihatan, kelumpuhan
saraf kranial
Gambar 9. Selulitis Periorbita 16 Gambar 10. Selulitis Orbita11
Gambar 11. Abses
Periosteal12
2.7 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan keluhan utama, gejala-gejala, dan pemeriksaan fisik.
Tanda-tanda dan gejala terdiri dari kriteria mayor dan minor. Kriteria mayor meliputi nyeri
wajah dan nyeri tekan wajah, hidung tersumbat dan terasa penuh, keluar cairan dari hidung,
drainase purulen dan berwarna dari hidung, hiposmia atau anosmia, dan demam (pada sinusitis
akut). Kriteria minor termasuk sakit kepala, demam, halitosis, kelelahan, sakit gigi, batuk, dan
nyeri, rasa tekan, dan rasa penuh pada telinga. Beberapa gejala ditemukan spesifik pada anak
anak seperti batuk dan iritasi. Diagnosis ditegakkan jika ditemukan dua kriteria mayor atau satu
mayor dan dua minor. 9.
Untuk menegakkan diagnosis, dokter akan mempelajari riwayat penyakit pasien,
menanyakan tentang durasi dan faktor lain yang berhubungan dengan alergi lingkungan,
pengobatan (termasuk penggunaan alat semprot dekongestan hidung yang tidak sesuai), trauma
hidung, dan operasi hidung sebelumnya. Tindakan selanjutnya adalah pemeriksaan fisik dengan
seksama, termasuk endoskopi hidung. Melalui pemeriksaan fisik yang menyeluruh, meliputi
hidung eksternal dan internal. 9
Untuk mendiagnosis sinusitis dengan komplikas orbita juga dimulai dengan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang sesuai dengan gejala-gejala pada
tiap tahapan komplikasi sinusitis ke orbita.
Pemeriksaan Penunjang
a. Transiluminasi
Transiluminasi menggunakan angka sebagai parameternya. Transiluminasi akan menunjukkan
angka 0 atau 1 apabila terjadi sinusitis (sinus penuh dengan cairan). 9
b. Rontgen sinus paranasalis
Sinusitis akan menunjukkan gambaran berupa 9
Penebalan mukosa
Opasifikasi sinus ( berkurangnya pneumatisasi)
Gambaran air fluid level yang khas akibat akumulasi pus yang dapat dilihat pada foto
waters.
Bagaimanapun juga, harus diingat bhwa foto SPN 3 posisi ini memiliki kekurangan dimana
kadang kadang bayangan bibir dapat dikacaukan dengan penebalan mukosa sinus9
c. CT Scan
CT Scan adalah pemeriksaan yang dapat memberikan gambaran yang paling baik akan adanya
kelainan pada mukosa dan variasi anatominya yang relevan untuk mendiagnosis komplikasi
sinusitis ke orbita. Walaupun demikian, harus diingat bahwa CT Scan menggunakan dosis radiasi
yang sangat besar yang berbahaya bagi mata. 9
Gambar 12. Contoh Pemeriksaan CT Scan pada Sinusitis17
d. Sinoscopy
Sinoscopy merupakan satu satunya cara yang memberikan informasi akurat tentang perubahan
mukosa sinus, jumlah sekret yang ada di dalam sinus, dan letak dan keadaan dari ostium sinus.
Yang menjadi masalah adalah pemeriksaan sinoscopy memberikan suatu keadaan yang tidak
menyenangkan buat pasien. 9
Gambar 13. Nasal Endoskopi9
e. Pemeriksaan mikrobiologi
Biakan yang berasal dari hidung bagian posterior dan nasofaring biasanya lebih akurat
bila dibandingkan dengan biakan yang berasal dari hidung bagian anterior. Namun demikian,
pengambilan biakan hidung posterior juga lebih sulit. Biakan bakteri spesifik pada sinusitis
dilakukan dengan mengaspirasi pus dari inus yang terkena. Seringkali diberikan suatu antibiotik
yang sesuai untuk membasmi mikroorganisme yang lebih umum untuk penyakit ini. 9
Pada sinusitis akut dan kronik sering terlibat lebih dari satu jenis bakteri. Dengan demikian untuk
menentukan antibiotik yang tepat harus diketahui benar jenis bakterinya penyebab sinusitisnya.
Legent F dkk (Prancis, 1994) menemukan kuman penyebab sinusitis maksila kronis yang
terbanyak adalah Stafilokokus aureus, diikuti Hemofilus influenza, Streptokokus pneumonia.
Sedangkan Fombeur dkk (Paris, 1994) menemukan kuman Streptokokus pneumonia sebagai
penyebab terbanyak dari sinusitis maksila kronis, diikuti oleh Stafilokokus aureus dan Hemofilus
influenza, Moraksela kataralis dan Corynebacterium sp. 9
2.8 Penatalaksanaan
2.8.1 Medikamentosa
Pengobatan medis harus kuat dan agresif dari tahap awal selulitis periorbital. Jika hal ini
tidak dilakukan, infeksi dapat berkembang menjadi selulitis orbital dan abses. Hasil dari
manajemen medis sebagian besar tergantung pada durasi dan tahap keterlibatan orbital. Jika
dicurigai adanya orbital selulitis atau abses, maka harus dikonsultasikan ke dokter mata.
Diagnosis harus cepat dan tindakan terapeutik harus dilakukan tanpa menunda. 18
Pasien dengan edema inflamasi kelopak mata ringan atau preseptal selulitis (grup 1)
dapat diobati dengan antibiotik oral dan dekongestan. Yang paling efektif adalah Cefuroxime,
amoksisilin klavulanat. Antibiotik parenteral diberikan pada komplikasi yang melibatkan
postseptal (grup2-5). Antibiotik parenteral meliputi Ceftriaxone atau Cefotaxime ditambah
cakupan untuk bakteri anaerob (penambahan Metronidazole atau Klindamisin). Antibiotik
untuk methicillin-sensitif S. aureus serta bakteri aerob dan anaerob termasuk Cefoxitin,
Carbapenems, dan kombinasi dari Penisilin (misalnya Tikarsilin) dan inhibitor beta-laktamase
(misalnya Asam klavulanat). Metronidazol diberikan dalam kombinasi dengan agen efektif
melawan aerobik atau fakultatif Streptokokus dan S. aureus. Glycopeptide (Vankomisin
misalnya) harus diberikan dalam kasus dengan adanya atau dicurigai adanya Methicillin-
resistant S. aureus (MRSA)18
2.8.2 Pembedahan
Pembedahan diindikasikan pada keadaan seperti dibawah ini, yaitu: 19
Pasien grup III, IV, dan V (Klasifikasi Chandler)
Stadium I dan II jika kondisi pasien memburuk dalam 24-48 jam setelah pengobatan
antibiotik
Ketajaman visual semakin memburuk
Peningkatan level Proptosis dan oftalmoplegia
Adanya abses yang tampak pada CT scan
Intervensi yang dilakukan berupa insisi atau drainase abses orbital, antrostomy intranasal,
operasi sinus frontal dengan menggunakan trephine, dan ethmoidectomy. Deteksi dini
komplikasi sinusitis dan penanganan yang segera dapat mencegah perburukan penyakit.5
2.9 Prognosis
Diagnosis dini dan pengobatan yang adekuat dapat menghasilkan angka survival rate
70-75%. Namun gejala sisa permanen seperti kebutaan dan kelumpuhan saraf kranial lainnya
umumnya terjadi pada penderita 18. Meskipun pengobatan agresif dilakukan dengan antibiotik
dan pembedahan drainase, abses orbital bisa dihancurkan. Dalam suatu kasus di mana hasil
visualisasi akhir dilaporkan 7,1% sampai 23,6% pasien menjadi buta. 11
Perlu diingat bahwa angka kematian setelah thrombosis sinus kavernosus bisa mencapai
80 %. Pada penderita yang berhasil sembuh, angka morbiditas biasanya berkisar antara 60-80 %,
dimana gejala sisa thrombosis sinus kavernosus seringkali berupa atrofi optik. 7
.
BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
Sinusitis merupakan masalah kesehatan yang cukup sering dijumpai pada praktik sehari-
hari dokter umum maupun dokter spesialis THT. Gejala-gejala sinusitis ditandai dengan hidung
tersumbat, nyeri tekanan pada wajah, ingus purulent, gangguan penciuman, sakit kepala, demam
dan gejala-gejala sistemik lainnya. Komplikasi ke orbita merupakan komplikasi yang paling
sering ditemukan karena keistimewaan anatominya.
Mikroorganisme pathogen yang paling sering menyebabkan selulitis dan abses sama
dengan yang terdapat pada sinusitis akut dan kronis, tergantung pada lamanya dan etiologi dari
sinusitis primernya. Orbita rentan terhadap perpindahan infeksi dari sinus yang bersebelahan,
karena dikelilingi oleh sinus-sinus pada ke tiga sisinya. Komplikasi orbita telah dikategorikan
oleh Chandler menjadi lima tahap yang terpisah menurut tingkat keparahannya, yaitu udem
inflamasi dan selulitis preseptal, selulitis orbita, abses subperiosteal, abses orbita dan thrombosis
sinus kavernosus.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan keluhan utama, gejala-gejala, dan pemeriksaan fisik.
Tanda-tanda dan gejala terdiri dari kriteria mayor dan minor. Kriteria mayor meliputi nyeri
wajah dan nyeri tekan wajah, hidung tersumbat dan terasa penuh, keluar cairan dari hidung,
drainase purulen dan berwarna dari hidung, hiposmia atau anosmia, dan demam (pada sinusitis
akut). Kriteria minor termasuk sakit kepala, demam, halitosis, kelelahan, sakit gigi, batuk, dan
nyeri, rasa tekan, dan rasa penuh pada telinga.
Pengobatan medis harus kuat dan agresif dari tahap awal komplikasi orbita. Hasil dari
manajemen medis sebagian besar tergantung pada durasi dan tahap keterlibatan orbita. Diagnosis
harus cepat dan tindakan terapeutik harus dilakukan tanpa menunda.
DAFTAR PUSTAKA
1. PERHATI. Fungsional endoscopic sinus surgery. HTAIndonesia. 2006. Hal 1-6
2. Neto LM, Mitsuda AV, Fava AS. Et. al. Acute Sinusitis in Children - A Retrospective
Study of Orbital Complications. Brazilian Journal of Otorhinolaryngology. 2007; 73 (1) :
81-5
3. Cruz AA, Demarco RC, Valera FC. Et.al. Orbital Complication of Acute Rhinosinusitis- A
new Classification. Brazilian Journal of Otorhinolaryngology. 2007; 73 (5) : 684-8
4. Voegels RL. Sinusitis Orbitary Complications Classification : Simple and Practical
Answers. Brazilian Journal Otorhinolaryngology 2007 : 73 (5) ; 578
5. Mangunkusumo E, Soetjipto D. Sinusitis. Dalam buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung
tenggorok kepala dan leher. FKUI. Jakarta 2007. Hal 150-3.
6. Mangunkusumo E, Soetjipto D. Sinus Paranasal. Dalam Soepardi EA, Iskandar N,
Bashiruddin J, Restuti RD [editor]. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung,
Tenggorokan, Kepala dan Leher. Edisi 6. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 2008 : h.145-
149.
7. Hilgher PA. Penyakit Sinus Paranasalis. Dalam: Adams, Boies, Higler. Buku Ajar
Penyakit THT Edisi 6. Jakarta: EGC; 1997. hal 240-53
8. Norman W. Nasal Cavity, Paranasal Sinuses, Maxillary Division of Trigeminal Nerve.
Maret 2012.Diunduh dari http://home.comcast.net/
9. Becker DG. Sinusitis. Jurnal of Long-Term Effects of Medical Implants. 2003 ; 13 (3) ;
175-194.
10. Pletcher SD, Golderg AN. 2003. The Diagnosis and Treatment of Sinusitis. In advanced
Studies in Medicine. Vol 3 no.9. PP. 495-505
11. Chaundry IA, Al-Rashed W, Arat Yo. The Hot Orbital : Orbital Cellulitis. Middle East
Afr J Ophthalmol. 2012. 19(1): 34–42.
12. Chavan SS. Et.al. Orbital Complication of Sinusitis-Case study. World Articles in Ear,
Nose, Throat. November 2010. Vol 3-1
13. Bailey JB. Sinusitis: In TextBook of Head and Neck Surgery- Otolaryngology Volume I
Ed 2.2006. p452
14. Zinreich Kennedy B. Orbital Complication: In TextBook Diseases of the Sinuses:
Diagnosis and Management. 2001: p169-170
15. Garryty James. Preceptal and Orbital Selullitis. Maret 2012. Diunduh dari
www.merckmanuals.com
16. Goldbert C. Periorbital Selullitis. 20 Maret 2012. Diunduh dari
www.meded.ucsd.edu.com
17. Elango S, Reddy TNK. Orbital Complications of Acute Sinusitis. Singapore Med J. 1990 ;
31 ; 341-344.
18. Brook Itzhak. Microbiology and anti Microba Treatment of Orbital and Intracranial
complications of Sinusitis in Children and their Management. International Journal of
Pediatric Otorhinolaryology. 2009 (73).1183-6
19. Shah NJ. Complication of Sinusitis. Bombay Hospital Journal. 1999