Post on 26-Jun-2015
PENYELIPAN BAHASA INGGRIS: PENGABAIAN BUTIR KETIGA SUMPAH PEMUDA?
Musril Zahari*
Abstract
This writing is dealing with the code switching and code mixing of English to bahasa Indonesia used by Indonesians although there are still available Indonesian translation for those terms. Many leaders of this country do the code switching and the code mixing without considering whether the audiences understand the messages or not. This behavior violates the third point of the Youth declaration (Sumpah Pemuda) October 28, 1928 “menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia”. By reading the Republika morning news paper from June 12 to 18, 2006, I found 410 words, 321 phrases, 14 words with Indonesian affixes, 2 sentences, 210 special terms or name began with capital letters and 1 paragraph switch to English. It is said that the code switching and the code mixing happen in order to be regarded as educated people. This is very ironic.
Key words: bilingualism, code switching, code mixing, educated people, youth declaration, language nationalism
1. PENDAHULUAN
Hampir 78 tahun yang lalu, tepatnya tanggal 28 Oktober 1928, pemuda
Indonesia berkumpul untuk mengikrarkan Sumpah Pemuda yang menegaskan
(1) mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia (2) mengaku
berbangsa yang satu, bangsa Indonesia, dan (3) menjunjung bahasa persatuan,
bahasa Indonesia. Sampai saat ini, tanggal bersejarah ini diperingati setiap
tahun sebagai tonggak yang mempersatukan bangsa Indonesia dalam kesatuan
bangsa, kesatuan tanah air dan bahasa persatuan.
Kelihatannya kesepakatan yang telah diikrarkan oleh para pendahulu kita
tersebut telah diabaikan, khususnya butir ketiga yaitu menjunjung bahasa * Lektor Kepala pada Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Indonesia Jakarta
persatuan. Pengabaian itu terjadi mulai dari para pejabat pemerintahan sampai
rakyat jelata dan lebih menyedihkan lagi, itu dianggap sebagai wujud
keterpelajaran seseorang. Kondisi ini makin lama semakin menjadi-jadi sehingga
harus ada orang yang mengingatkan dengan harapan bangsa ini dapat
menyadari kekhilafan itu.
Menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia bukan berarti bahwa
bangsa ini tidak dibolehkan mempelajari dan menggunakan bahasa lain, baik
bahasa daerah maupun bahasa asing. Tetapi yang perlu diperhatikan bahwa
pemakaian bahasa Indonesia hendaknya jangan dicampuradukan dengan
bahasa daerah atau bahasa asing itu, karena apa yang disampaikan masih ada
padanan kata atau ungkapannya dalam bahasa Indonesia. Apalagi kalau
penggunaan kata asing itu mengaburkan makna atau pemakainya merasa
modern sebagai upaya untuk menpertotonkan derajatnya kepada khalayak.
Pencampuradukan bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris mungkin cerminan
dari ketidaksetiaan bangsa ini terhadap bahasa Indonesia dalam kehidupan
sehari-hari atau yang bersangkutan beranggapan bahwa segala sesuatu yang
berbau asing adalah yang lebih baik. Anggapan seperti ini sangat berbahaya
dalam membina kehidupan berbangsa dan bernegara.
Tulisan ini akan mencermati sejumlah pemakaian bahasa Inggris yang
diselipkan dalam berbahasa Indonesia, yang berupa kata, frasa, kalimat dan
bahkan paragraf. Selain itu juga ada penambahan awalan dan akhiran bahasa
Indonesia kepada bahasa Inggris. Data yang dibahas dalam tulisan ini diperoleh
dengan menggunakan metode simak yaitu memperoleh data dari koran harian
2
Republika terutama yang terbit tanggal 12 sampai 18 Juni 2006 dan wacana
lisan lainnya. Menyimak di sini bukan berarti hanya penggunaan bahasa secara
lisan, tetapi juga penggunaannya secara tertulis (Mahsun, 2005:90-91). Di
samping itu juga ada beberapa data berupa kalimat yang digunakan oleh
berbagai kalangan terpandang di Indonesia.
Contoh kalimat-kalimat yang mencampuradukan bahasa Inggris dengan
bahasa Indonesia selain dikutip dari Republika terbitan 12 sampai 18 Juni 2006
juga diambil dari terbitan tanggal lainnya dengan menyebutkan tanggal terbitnya
pada setiap kalimat itu. Sebelumnya, pemakaian bahasa Inggris yang campur
aduk dengan bahasa Indonesia ini telah dipertanyakan kepada sejumlah dosen
dan mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Indonesia Jakarta. Jadi,
pertanyaan lebih dahulu diajukan kepada para mahasiswa dan dosen dari pada
mengumpulkan data pemakaian bahasa Inggris yang diselip-selipkan dalam
bahasa Indonesia di harian Republika 12 sampai 18 Juni 2006 dan dari
pertanyaan-pertanyaan itulah munculnya minat untuk membuat tulisan.
2. KAJIAN TEORI
Dalam kajian kebahasaan terdapat bidang kedwibahasaan yang menurut
Abudarham (1987:1) penuh dengan istilah yang merujuk kepada gejala individu
dan masyarakat dengan dua bahasa, cara dua bahasa digunakan dan
bagaimana bahasa-bahasa itu dipelajari. Kedwibahasaan dalam Advanced
Learner’s Dictionary (2000) disebutkan sebagai kemampuan berbicara dalam
dua bahasa dengan sama baiknya karena seseorang telah menggunakannya
sejak masih sangat muda. Sementara itu, Hamers dan Blanc (1990:6)
3
menyebutkan bahwa kedwibahasaan itu adalah kemampuan untuk
menggunakan dua bahasa, baik secara sempurna keempat keterampilannya
maupun hanya satu keterampilan saja. Sementara itu, dwibahasawan yang tidak
memiliki kemampuan kontrol produktif terhadap kedua bahasa yang dimilikinya,
tetapi dia mengerti bila diucapkan, para ahli bahasa menyebutnya
kedwibahasaan pasif atau reseptif dan Hockett menamakannya dengan semi-
kedwibahasaan (Romaine, 1995:11).
Konsep yang dibahas dalam kajian kedwibahasaan antara lain peralihan
bahasa atau alih kode dan campur kode, seperti yang dikemukakan oleh
Gresjean (1982:116). Campur kode adalah penggunaan unsur-unsur suatu
bahasa pada saat menggunakan bahasa lainnya dan alih kode adalah
pergantian antara satu bahasa dengan bahasa lainnya dalam suatu pemakaian.
Unsur-unsur itu dapat saja leksikal, sintaktik atau semantik (Hamers dan Blanc,
1990:35). Secara lebih tegas Grosjean (1982:146) mengemukakan bahwa alih
kode itu dapat terjadi dalam kata, frasa, sebuah kalimat dan bahkan dapat tejadi
dalam beberapa kalimat. Grosjean (1982:157) menambahkan bahwa alih kode
seringkali digunakan sebagai strategi untuk menyampaikan informasi linguistik
dan sosial. Tulisan ini tidak mempersoalkan perbedaan dan kesamaan konsep
alih kode atau campur kode tetapi mencoba mengungkapkan mengapa orang
Indonesia suka dan senang menyelip-nyelipkan bahasa Inggris ketika berbicara
atau menulis dalam bahasanya sendiri baik itu alih kode maupun campur kode.
Sebagian besar dari campur kode terjadi pada tataran leksikal. Apabila
campur kode itu terjadi sebagai penerjemahan spontan maka hal itu tidak akan
4
menjadi masalah, tetapi apabila campur kode itu terjadi bukan terjemahan
mungkin akan membingungkan lawan bicara sebab belum tentu lawan bicara itu
mengerti kata asing yang digunakan. Di Indonesia, orang menggunakan bahasa
Inggris yang diselipkan dalam bahasa Indonesia sebagaimana aslinya lebih
banyak dari pada penerjemahan spontan atau penyerapan.
Dalam pandangan Grosjean (1982:149-155) ada empat alasan penyebab
terjadinya campur kode dan alih kode itu dan dia memberi contoh dengan
mengutip para ahli yang dalam tulisan ini tetap disebutkan juga sumbernya.
Pertama, orang kekurangan fasilitas dalam satu bahasa ketika membicarakan
topik tertentu. Orang akan beralih apabila dia tidak mendapatkan kata atau
ungkapan yang tepat, atau ketika bahasa itu digunakan tidak memiliki butir-butir
atau terjemahan yang tepat untuk kata yang diperlukan. Umpamanya, seorang
mahasiswa sebuah universitas di Nairobi secara spontan beralih dari bahasa
Kikuyu ke bahasa Inggris ketika membicarakan geometri dengan saudara laki-
lakinya:
”Atiriri angle niati has ina degree eighty; nayo this one ina mirongo itatu.”
Kedua, anggota yang ada dalam suatu masyarakat beralih kode secara
teratur ketika mendiskusikan topik tertentu, seperti apa yang dikemukakan oleh
Valdes Fallis (1976) dan Lance (1979) tentang orang Meksiko Amerika di Barat
Daya sering beralih dari bahasa Spanyol ke Bahasa Inggris ketika berbicara
tentang money. Misalnya: ”La consulta era (the visit cost) eight dollars” dan ini
barangkali terjadi karena sebagian besar kegiatan jual beli di tempat itu
menggunakan bahasa Inggris.
5
Ketiga, alih kode ke dalam bahasa minoritas dapat terjadi sebagai isyarat
solidaritas kelompok atau untuk mempersatukan kelompoknya karena merasa
jauh dari tanah airnya dan tidak berterima di tempat yang baru. Misalnya,
percakapan antara seorang perempuan dengan M. ”Well. I am glad that I met
you. O.K.? lalu dijawab oleh M ”Andale, pues (OK, swell), and do come again.
Mm? Kedua pembicara adalah orang Meksiko-Amerika, asing satu sama lain
dan baru pertama kali bertemu. Ungkapan Andale pues oleh lelaki itu seolah-
olah ingin mengatakan bahwa kita mempunyai latar belakang yang sama dan
harus kenal satu sama lain dengan baik.
Keempat, alih kode dapat juga membantu untuk memperkuat atau
menekankan suatu maksud. Alih kode pada akhir argumentasi membantu untuk
mengakhiri suatu interaksi atau cara untuk memperkuat pernyataan dan
sekaligus mengakhiri suatu argumentasi. Orang Puerto Rica di New Jersey,
memberi perintah kepada anaknya dalam bahasa Inggris, umpamanya ”Stop
that,” atau ”Don’t do that”. Sementara dalam kondisi lainnya mereka
mengutarakannya dalam bahasa Spanyol dan alih kode seperti ini pertanda bagi
si anak bahwa ibunya sedang marah.
Kelima, Alih kode digunakan untuk mengeluarkan seseorang dari bagian
tertentu suatu pembicaraan. Scotton dan Ury (1977) memberi contoh lima orang
lelaki Luyia sedang membicarakan pembentukan sebuah bisnis. Pembicara
pertama adalah pimpinan informal dari kelompok itu berbicara dalam bahasa
Kikuyu dan dia mengemukakan bahwa 2.000 shilling diperlukan untuk memulai
bisnis. Salah seorang anggotanya mengatakan bahwa itu terlalu banyak. Lantas
6
pimpinannya menjawab: Mumanye mapesa manyisi (kamu harus tahu bahwa
kita butuh banyak uang). Two thousand shillings should be a minimum.
Anyone who cannot contribute four hundred shillings shouldn’t be part of
this group. He should get out. Anggota yang mengatakan bahwa 400 shillings
is too much menanyakan dalam bahasa Kikuyu (dia tidak mengerti bahasa
Inggris), tetapi dia diabaikan saja dengan demikian sang ketua menggunakan
bahasa Inggris. Alih kode seperti ini dapat menjadi bumerang dan dapat
menimbulkan rasa malu apabila orang yang dikeluarkan dari pembicara tidak
diketahui dengan baik oleh lawan bicaranya, jangan-jangan dia mengerti bahasa
yang digunakan untuk memposisikannya di luar pembicaraan.
Keenam, alih kode dapat juga digunakan untuk banyak alasan seperti
mengutip apa yang dikatakan oleh seseorang, memastikan orang yang dituju,
memastikan apa yang dikatakan atau membicarakan tentang kejadian masa lalu.
Ada yang paling penting dari semua alasan ini yaitu seseorang melakukan alih
kode untuk meningkatkan statusnya dan memberinya otoritas atau keahlian
tambahan. Scotton dan Ury (1977) memberi contoh percakapan antara seorang
penumpang dan kondektur sebuah bis dalam bahasa Swahili untuk pertama
kalinya. Penumpang mengatakan bahwa dia ingin ke kantor pos dan kondektur
menjawab bahwa ongkosnya 50 sen. Penumpang memberikan uang satu shilling
dan kondektur minta penumpang untuk menunggu kembaliannya 50 sen. Ketika
bis sudah mendekati kantor pos, penumpang menjadi khawatir terhadap
kondektur tidak akan memberikan kembalian uangnya dan lalu berkata pada
kondektur. Penumpang: Nataka change yangu (Mana uang kembaliannya).
7
Kondektur: Change utapata, Bwana. (Tuan, saya akan berikan uang
kembaliannya). Penumpang: I am nearing my destination. Kondektur: Do you
think I could run away with your change? Penumpang beralih ke Bahasa
Inggris dalam usaha untuk mendapatkan otoritas, yang mengubah perannya dari
status yang sama dengan kondektur menjadi status yang lebih tinggi (bahasa
Inggris adalah bahasa elit terpelajar di Kenya) untuk memastikan bahwa dia
akan memperoleh kembaliannya sebelum turun. Kondektur mengimbangi
peralihan status ini dengan menjawab dalam bahasa Inggris pula, dengan
demikian kembali terbangun kesamaan. Menurut orang Kenya alih kode ke
bahasa Inggris adalah suatu usaha dari kondektur untuk mengubah status.
3. NASIONALISME BAHASA
Pada tanggal 23 Maret 2006 Presiden Prancis, Jacques Chirac,
meninggalkan ruang pertemuan puncak 25 orang pemimpin Negara-negara
anggota Uni Eropa ketika warganegaranya, Ernest-Antoine Seiliesare, yang
menjabat presiden serikat pekerja Uni Eropa (UNICE), menyampaikan sambutan
singkatnya semula menggunakan bahasa Prancis kemudian diteruskannya
dalam bahasa Inggris. Tindakan Chirac ini juga diikuti segera oleh para anggota
kabinetnya yaitu Menteri Keuangan, Thierry Breton dan Menteri Luar Negeri,
Phillippe Douste-Blazy. Chirac baru kembali ke tempat duduknya saat Presiden
Bank Sentral Eropa (ECB), Jean-Claude Trichet yang juga orang Prancis
berpidato dalam bahasa Prancis (Republika, 25 Maret 2006).
Alih kode dari bahasa Perancis ke bahasa Inggris menyinggung rasa
nasional Chirac dan rombongannya hal itu diwujudkannya dengan meninggalkan
8
ruang pertemuan. Kejadian seperti ini adalah suatu contoh bagaimana
nasionalisme bahasa yang diperlihatkan oleh pemimpin dan pejabat negara
kepada khalayak dunia. Pertanyaan kita adalah bagaimana dengan bangsa
Indonesia yang sudah mengikrarkan bahasa persatuan atau bahasa nasional
serta mencantumkannya dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebagai bahasa
negara? Pertanyaan seperti ini jawabannya tidak enak di telinga, sebab
kenyataan sehari-hari makin tinggi posisi seseorang semakin senang dia
menyisipkan bahasa Inggris dalam bahasa Indonesia ketika sedang
berkomunikasi.
Sebetulnya, pengajaran bahasa Indonesia di perguruan tinggi di Indonesia
bertujuan agar para mahasiswa memiliki sikap yang positif terhadap bahasa
Indonesia. Sikap bahasa yang positif terhadap bahasa Indonesia dapat
diwujudkan dengan (1) kesetiaan bahasa, yang mendorong mahasiswa
memelihara bahasa nasional dan, apabila perlu, mencegah adanya pengaruh
bahasa asing, (2) Kebanggaan, yang mendorong mahasiswa mengutamakan
bahasanya dan menggunakannya sebagai identitas bangsanya, dan (3)
kesadaran akan adanya norma bahasa, yang mendorong mahasiswa
menggunakan bahasanya sesuai dengan kaidah dan aturan yang berlaku
(Amran dan Tasai, 2002:1).
Keterangan di atas bermakna bahwa para mahasiswa dan para lulusan
perguruan tinggi harus terampil menggunakan bahasa Indonesia dengan baik
dan benar, baik secara lisan maupun tulisan dalam mengungkapkan gagasan-
gagasan ilmiah. Harapan seperti ini seringkali menimbulkan kekecewan karena
9
banyak sekali di antara mereka menggunakan bahasa Indonesia secara tidak
benar dan baik. Begitu juga kita berharap bahwa para petinggi-petinggi negara
yang ada di eksekutif, legislatif, dan yudikatif memberi contoh dalam pemakaian
bahasa Indonesia yang baik dan benar, tetapi seringkali yang terjadi adalah
sebaliknya.
Sampai sekarang, para petinggi kita belum ada yang sanggup melakukan
seperti apa yang dicontohkan oleh Chirac. Dia telah memperlihatkan kesetiaan
dan kebanggaannya kepada bahasa nasional dan bahasa negaranya. Ada
kecenderungan di negara kita ini bahwa makin terhormat seseorang maka makin
banyak dia menyelip bahasa Inggris/asing ketika berbahasa Indonesia. Dengn
kata lain, makin tinggi jabatan seseorang maka makin berantakan bahasa
Indonesianya. Orang seperti ini merasakan statusnya terangkat apabila
mencampuradukan bahasa Inggis dengan bahasa Indonesia dalam wacananya.
Sebelum tahun enam puluhan, orang Indonesia suka menyelip-nyelikan bahasa
Belanda dan sekarang mereka merasa menjadi orang terhormat apabila
mencampuradukan bahasa Inggris dengan bahasa Indonesia.
4. PENYELIPAN BAHASA INGGRIS
Tabel di bawah ini adalah bahasa Inggris yang diselipkan dalam koran
Republika terbitan mulai dari Senin 12 Juni sampai dengan 18 Juni 2006 yang
dikelompokkan dalam kata, kata yang diberi afik, frasa, kalimat dan paragraf.
Tabel : Alih kode pada Republika 12 – 18 Juni 2006
No. Jenis yang dialihkanTanggal Penerbitan
Jumlah12 13 14 15 16 17 18
10
1 Kata 64 53 49 51 52 84 57 410
2 Frasa 40 42 40 60 62 43 34 321
3 Kata yang diberi afik 2 1 3 1 3 - 4 14
4 Kalimat - 1 - 1 - 1 - 3
5 Kata atau frasa istilah/ nama dimulai huruf besar
22 34 14 29 19 64 28 210
6 Paragraf - 1 - - - - - 1
J u m l a h 126 132 106 143 136 192 113 959
Pada tabel ini terlihat bahwa pengalihan ke bahasa Inggris terbanyak
memang kata, diikuti oleh frasa, kemudian kata atau frasa yang berupa
istilah/nama yang dimulai dengan huruf besar. Di samping itu, ada hal yang
menarik, yaitu memberi awalan me-, di- dan kata ganti benda -nya pada kata
bahasa Inggris tanpa mengikuti aturan penyerapan yang ditetapkan. Berikut ini
merupakan contoh dari masing-masing unsur yang dikemukakan dalam tabel di
atas:
1. Perubahan strategi oleh pelatih Ilija Petrakopic dengan mengganti striker
Savo Milosevic dengan Nikola Zigic memberi gairah baru dalam
penyerangan.
Pada kalimat ini terlihat bahwa kata striker sebenarnya dapat
diterjemahkan secara baik ke dalam bahasa Indonesia dengan (pemain)
penyerang yang dapat dipahami dengan baik oleh setiap orang yang dapat
berbahasa Indonesia, baik yang senang sepak bola maupun yang tidak. Di
11
samping itu, pada kalimat ini juga terdapat kata bahasa Inggris yang telah
diserap ke dalam bahasa Indonesia, yaitu strategi=strategy dan bagi sebagian
orang juga tidak dipahami dengan baik maknanya.
2. “Lemahnya perlindungan konsumen juga tampak dari dibiarkannya produsen
obat antinyamuk untuk tidak mencantumkan petunjuk yang jelas atas
pengaruh obat tersebut dan public warning dalam kemasannya yang
menjelaskan bahwa produk itu mengandung racun yang berbahaya.”
Pada kalimat ini terlihat frasa public warning, yang sebenarnya dapat
diterjemahkan secara baik ke dalam bahasa Indonesia dengan peringatan
(umum) yang dapat dipahami dengan baik oleh setiap orang yang dapat
berbahasa Indonesia. Di samping itu, pada kalimat ini juga terdapat kata bahasa
Inggris yang telah diserap ke dalam bahasa Indonesia, yaitu
konsumen=consumer, produsen=producer dan produk=product.
3. ”Kami akan mencoba meng-copy paste pengalaman di 112 pilkada,
terutama 61 pilkada yang kami menangkan,” katanya.
4. “… dosen dapat menyampaikan secara on line yang dapat dipelajari dan di-
download oleh mahasiswa”.
Pada kalimat ini terlihat terdapat meng-copy paste= mempedomani dan
di-download=dipindahkan (ke komputernya), yang dapat dipahami dengan baik
oleh setiap orang yang dapat berbahasa Indonesia. Sementara itu juga terdapat
frasa on line.
12
5. ”Dia (Arjen Robben) terpilih sebagai Man of the Match bukan hanya karena
golnya, tetapi juga penampilannya yang berbeda,” kata Andy Roxbourgh,
anggota FIFA Technical Study Group.
Man of the Match pada kalimat ini dapat diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia Bintang Permainan/pertandingan dan FIFA Technical Study
Group dengan Kelompok Studi Teknik FIFA.
5. “How to achieve our ultimate motivation?”
Kalimat pertanyaan ini bukanlah kalimat yang tidak memiliki padanan
dalam bahasa Indonesia. Ini hanyalah kalimat yang sangat sederhana dan
padanannya dalam bahasa Indonesia sangat mudah mencarinya. Tentu timbul
pertanyaan kita, mengapa kalimat ini diungkapkan dalam bahasa Inggris,
padahal koran ini adalah sarana untuk menyampaikan informasi kepada semua
pembaca yang tentu semuanya dapat berbahasa Inggris. Akibatnya, informasi
yang disampaikan tidak mencapai sasaran.
6. “I really enjoy meeting with him. I read a lot more of his book during my flight
back to London, I am really impressed by what a wonderful job he has done
with it. Islam desperately needs a voice like Ary’s, that can present a modern,
open-minded, and inspiring vision of The Faith. I am learning a lot from his
book.”
Paragraf ini diikuti oleh terjemahan bahasa Indonesia, yang tentu saja
sangat dipahami oleh orang yang mampu berbahasa Indonesia. Pertanyaan
yang muncul adalah, apakah terjemahan bahasa Indonesia itu belum cukup
sehingga harus ditampilkan bahasa Inggrisnya? Apa benar menggunakan kata,
13
frasa, kalimat dan paragraf bahasa Inggris lebih membuat diri seseorang lebih
terpelajar? Pertanyaan seperti inimungkin banyak muncul pada masyarakat kita.
7. “Bagaimana mencoret kata ’model’-nya? Besarkan size-nya.”
Sebetulnya, kata model telah diserap menjadi bahasa Indonesia tanpa ada
penambahan ataupun pengurangan. Mungkin lebih baik apabila ditulis dengan
tidak menempatkan tanda pemisah (-) antara kata model itu dengan kata ganti
benda -nya. Kata size memiliki padanan bahasa Indonesia ukuran,
umpamanya, Berapakah ukuran bajunya, M atau L? atau ukuran hurufnya 12.
8. “School is Cool with Fila (SCF).”
Kalimat singkat ini adalah tema sebuah program promosi yang dilakukan oleh
sebuah pabrik sepatu Fila dengan program Fila Nasional ”Back to School”.
Sebetulnya, program dan promosi seperti ini masih dapat, bahkan sangat munkin
dilakukan dalam bahasa Indonesia tetapi pengambil keputusan di pabrik sepatu
itu mungkin lebih yakin dan keren menggunakan bahasa Inggris dalam
mempromosikan produknya, meskipun konsumennya orang Indonesia yang
berbahasa Indonesia.
9. “Nonton yes, judi no.”
Ungkapan ini adalah bahasa lisan yang digunakan oleh banyak kalangan
di Indonesia. Ungkapan lain dengan maksud yang sama adalah ”Nonton O.K.,
judi no way”. Kelatahan bangsa kita menggunakan kata atau istilah asing/bahasa
Inggris yang dicampuradukan dengan bahasa Indonesia ini kelihatannya sudah
sangat marajalela.
14
5. ORANG TERPELAJAR
Bahasa Indonesia adalah bahasa nasional sesuai dengan Sumpah
Pemuda 28 Oktober 1928 dan bahasa negara sesuai dengan Undang-Undang
Dasar 1945. Sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi (1) lambang
kebanggaan kebangsaan, (2) lambang identitas, (3) alat perhubungan
antarwarga, antardaerah, dan antarbudaya, dan (4) alat yang memungkinkan
penyatuan berbagai suku bangsa dengan latar belakang sosial budaya dan
bahasanya masing-masing ke dalam kesatuan kebangsaan Indonesia.
Sementara itu, sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia berfungsi sebagai (1)
bahasa resmi kenegaraan, (2) bahasa pengantar dalam dunia pendidikan, (3)
alat perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan
pelaksanaan pembangunan, dan (4) alat pengembangan kebudayaan, ilmu
pengetahuan, dan teknologi (Arifin dan Tasai, 2002:10 -11).
Pemakaian bahasa Inggris yang dicampuradukan dengan bahasa
Indonesia ini kelihatannya, merupakan cerminan ketidakbanggaan bangsa ini
terhadap miliknya sendiri. Secara informal saya pernah mempertanyakan kepada
sejumlah dosen tentang pencampuradukan seperti ini dan mereka menjawab
bahwa hal itu terjadi hanyalah sebagai cerminan ketidakbanggaan terhadap
bahasa Indonesia, supaya dianggap orang terpelajar dan beberapa ungkapan
yang senada dengan itu. Mungkin ini adalah salah satu bentuk penjajahan yang
merupakan bagian dari penjajahan kebudayaan yang dapat mengaburkan
identitas suatu bangsa. Penjajahan ini disebut penjajahan bahasa dan
keterangan rinci dapat dilihat dalam TESL-EJ Forum Vol. 6 No. 1 June 2002.
15
Dilihat dari sisi kajian pragmatik, pencampuradukan bahasa Indonesia
dengan bahasa Inggris seharusnya tidak terjadi karena seringkali merintangi
kelancaran komunikasi. Pragmatik merupakan sebuah kajian tentang aturan-
aturan pemakaian bahasa, yaitu pemilihan bentuk bahasa dan penentuan
maknanya sehubungan dengan pembicara sesuai dengan konteks dan keadaan
(Nababan, 1987:3) dengan tujuan agar komunikasi tersebut berjalan dengan
lancar. Media masa, umpamanya, menyajikan tulisan, baik yang fakta maupun
opini, dimaksudkan untuk menyebarkan informasi kepada pembacanya. Apabila
pembaca tidak mengerti informasi dengan baik karena pemakaian bahasa tidak
sesuai dengan konteks pembacanya, tujuan dari penyebaran informasi lewat
media itu berarti telah gagal.
Bahasa Inggris, tidak dapat diingkari, paling tidak merupakan (1) bahasa
yang diajarkan dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi, (2) bahasa untuk
komunikasi resmi dengan negara-negara lain, dan (3) bahasa buku ilmu
pengetahuan yang dijadikan rujukan di perguruan tinggi. Meskipun demikian,
bukan berarti dalam mempergunakan bahasa Indonesia yang diaduk-aduk
dengan bahasa Inggris dapat dilakukan dengan sesuka hati (Zahari, 1995:11).
Saya mengajukan pertanyaan tentang pemakaian bahasa Inggris yang
dicampuradukan dengan bahasa Indonesia kepada mahasiswa STIE Indonesia
yang berjumlah 280 orang mahasiswa. Pertanyaan itu diajukan pada tanggal 3
Mei 2006 kepada 63 orang mahasiswa, 5 Mei 2006 kepada 134 orang, 8 Mei
2006 kepada 35 orang, dan 9 Mei 2006 kepada 48 orang. Jawaban mereka
menurut saya jujur dan jawaban itu disampaikan dalam sejumlah ungkapan,
16
yaitu (1) untuk gaya-gayaan atau gagah-gagahan, (2) supaya lebih gaul, (3)
supaya dianggap terpelajar,dan (4) supaya kelihatan berbobot dan keren.
Keperkasaan negara berbahasa Inggris dalam politik, ekonomi, militer
dan lain-lain, kelihatannya secara pelan tetapi pasti membuat negara lain yang
melakukan hubungan dengan negara berbahasa Inggris itu cenderung
menganggap bahasa Inggris sebagai bahasa orang terpelajar. Di samping itu,
Amerika Serikat dan negara-negara sekutunya cenderung memaksakan
kehendak kepada negara lain yang dianggap lemah atau banyak bergantung
kepadanya. Dalam kasus Indonesia, banyak orang Indonesia cenderung merasa
bangga dan terpelajar apabila menggunakan bahasa Inggris, meskipun
seringkali hanya menggunakan dengan menyelip-nyelipkan kosakatanya dalam
berbahasa Indonesia. Hal ini terutama terlihat pada pembesar-pembesar negara
ini, baik di eksekutif, legislatif maupun di yudikatif dan kondisi seperti ini akhirnya
ditiru pula oleh rakyat. Berikut ini adalah beberapa contoh kalimat yang
digunakan petinggi-petinggi di negara ini melalui berbagai media, umpamanya:
10.”Tapi penanganan flu burung harus tetap dilakukan secara all out.” (Mentan:
Republika, 21 Februari 2006).
Sebetulnya tidak ada sulitnya untuk mengatakan ”Tapi penanganan flu
burung harus tetap dilakukan sekuat tenaga/dengan sungguh-sungguh,” dan
kalimat seperti ini pasti sangat mudah dipahami oleh pembaca koran atau
pendengar yang terdiri dari berbagai lapisan masyarakat. Apakah menteri
Pertanian yang seorang Doktor dan dosen itu merasa dirinya berada di depan
17
mahasiswanya di kampus waktu mengungkapkan kalimat ini atau dia
menganggap semua rakyat Indonesia mengerti all out itu?
11. “Menneg BUMN, Sugiarto, menambahkan, opsi pembiayaan proyek belum
ditentukan. Meski, katanya, alternatif pendanaan bisa melalui government to
government, business to business, atau public-private partnership.”
(Republika, 19 April 2006).
Menteri negara BUMN menggunakan tiga frasa bahasa Inggris, di
samping itu yang bersangkutan juga menggunakan tiga kata bahasa Inggris
yang telah diserap ke dalam bahasa Indonesia. Penggunaan kata-kata bahasa
Inggris ini mungkin sudah menjadi kebiasaan dari yang bersangkutan sehingga
di tempat apapun tanpa sadar tetap menggunakan campuran bahasa Inggris
dengan bahasa Indonesia. Saya yakin, tentu tidak sukar bagi yang
bersangkutan menggunakan pemerintah ke pemerintah=government to
government, bisnis ke bisnis= business to business dan kerjasama publik
dengan swasta= public-private partnership.
Berikut ini adalah kalimat yang diungkapkan orang nomor satu di
Indonesia, kepala Negara dan kepala pemerintahan Republik Indonesia.
12. “Marilah kita ubah, dari economic growth menjadi economic development”
kata Presiden. (Republika, 22 April 2006.)
Penggunaan kata pertumbuhan ekonomi=economic growth dan pembangunan
ekonomi=economic development sebetulnya tidak sulit, tetapi inilah kenyataan
yang kita temui dalam menggunakan bahasa Indonesia yang kita junjung
sebagai bahasa persatuan.
18
13. “Secara terpisah, Ketua Umum PB NU KH Hasyim Muzadi, mengatakan,
selama ini persoalan perda antimaksiat memang disikapi secara apriori dan
over acting.” (Republika 23 Juni 2006)
Padanan bahasa Indonesia untuk over acting adalah tindakan berlebihan
yang sangat dipahami oleh penutur bahasa Indonesia. Petinggi NU sejak dulu
mengakui bahwa anggota organisasinya banyak berada di desa yang berbasis di
Pesantren. Mungkin KH Hasyim Muzadi ini lebih banyak di kelilingi oleh orang-
orang yang lebih senang menggunakan bahasa Inggris dari pada bahasa
Indonesia atau karena latar belakang pendidikannya dari Pesantren Gontor,
sehingga beliau terbiasa menggunakan bahasa Inggris dalam berbahasa
Indonesia.
14. “Tap MPR ... Pasal ... sudah di-breakdown dalam Undang-Undang.”
Kalimat ini adalah dialog yang diucapkan oleh Khofifah Indar Parawansa
di TVRI tanggal 23 April 2006. Banyak lagi kata bahasa Inggris yang
digunakannya dalam dialog itu, umpamanya, confused, indicators, dan
measurable. Khofifah adalah anggota DPR dari Partai Kebangkitan Bangsa
(PKB) yang sebagian besar anggota tersebar di desa-desa di Jawa dan apakah
anggota partainya mengerti ungkapan bahasa Inggris yang disampaikan itu. Kita
percaya sekali bahwa anggota Dewan yang terhormat tentulah orang yang telah
teruji kesetiaannya kepada bahasa nasional dan bahasa negaranya. Barangkali
yang bersangkutan terbawa arus kebiasaan orang Indonesia yang sebetulnya
tidak sehat untuk pengembangan bahasa Indonesia sebagaimana yang
disepakati pada Kongres Bahasa Indonesia II di Medan tahun 1954.
19
6. PENUTUP
Apabila kita berpegang pada pepatah “bahasa cerminan bangsa” seperti
kata Hang Tuah, maka bangsa Indonesia telah dijajah secara bahasa sebab dari
hari hasil penghitungan penggunaan bahasa Inggris di koran harian Republika
sungguh mencengangkan. Bahasa bagian dari kebudayaan, maka dengan
sendirinya bangsa Indonesia juga sudah terjajah secara budaya. Sungguh
memalukan apabila melakukan campur kode hanya dengan alasan agar
dianggap terpelajar, keren, gaul dan ungkapan yang sejenis dengan itu, sebab
ukuran terpelajar seseorang bukan dilihat dari kemampuannya
mencampuradukan bahasa Indonesia dengan bahasa lain. Ini, bahkan, adalah
cerminan rasa tidak bangga dengan milik sendiri, bahasa sendiri, dengan
sendirinya tidak bangga dengan kebudayaannya.
Makin terpelajar seseorang, seharusnya semakin baik bahasa
Indonesianya dan makin bangga dia dengan bahasanya itu. Sudah selayaknya
kaum politisi, kaum terpelajar, dan pemimpin negara ini mempergunakan bahasa
Indonesia yang baik dan benar agar menjadi contoh bagi rakyat. Kita yakin
bahwa makin baik dan teratur seseorang berbahasa Indonesia maka semakin
jernih dan teratur pula cara berpikirnya. Kita tidak menghendaki para pejabat
negara memotori pencampuradukan bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris
yang membuat rakyat kecil bingung memahami pesan yang disampaikan.
Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan harus dijaga dan
dikembangkan. Kita mempunyai kewajiban untuk berbahasa Indonesia yang
20
sesuai dengan kaidah dan aturan yang telah dsepakati. Himbauan perlu
dilakukan agar para petinggi negara sampai kepada jajaran terendah, para
politisi, dan kaum terpelajar untuk tidak sembarangan melakukan alih kode atau
campur kode. Apabila masih ada padanannya dalam bahasa Indonesia,
seabiknya tidak melakukan campur atau alih kode.
DAFTAR PUSTKA
Abudarham, Samuel. 1987. “Terminology and Typology” dalam Bilingualism and The Bilingual: An Interdisciplinary Approach to Pedagical and Remedial Issues, edited by Samual Abudarham, Windsor, Berkshire: the NFER-NELSON Publishing Company Ltd.
Arifin, Zainal dan S. Amran Tasai. 2002. Cermat Berbahasa Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo.
Grosjean, Francois. 1982. Life with Two Language: An Introduction to Bilingualism, Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press.
Hamers, Josiane F and Michel H. A. Blanc. 1983. Bilinguality & Bilingualism. Cambridge: Cambridge University Press.
Mahsun, 2005. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Nababan. P.W.J. 1987. Ilmu Pragmatik (Teori dan Penerapannya), Jakarta: Debdikbud Dikti Proyek Pengembangan LPTK.
Romaine, Suzanne, 1995. Bilingualism, Second Edition, Oxford: Basil Blackwell Inc.
Stanley. Karen, Teaching English as a Second or Foreign Language. Vol. 6 No. 1 Juni 2002. atau http://66.249.93.104.../fl.html+language+imperialism&hl =en&gl=id&ct=clnk&cd=8&ie=utf.
Zahari, Musril. 1995. ”Menjunjung Bahasa Persatuan: Bahasa Indonesia”, Widya, Februari 1995/No. 113 Tahun XII.
21