Post on 11-Mar-2019
1
MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
(Belajar dari Prof. Dr. H. Abdul Malik Fadjar., M.Sc)
Oleh: Maddais, S.Pd.I., MA1
Abstract:
Development of education is not a simple affair, but rather matters of
various parties, the various aspects and dimensions with its very dynamic, complex,
deep, and wide. Education is also not something that is instant, but takes a long time
from a long process. Therefore, it requires perseverance and seriousness in
handling through good management.
Islamic education is education that balance in preparing students, the
students are not only able to develop intellectual creativity and imagination
independently, but it also has a spiritual mental endurance and be able to adapt and
respond to the problems faced within the framework of the basic teachings of Islam.
On this basis it is not surprising that at this time, more people interested to educate
their children in schools that have the advantage according to the teachings of
Islam.
Key words: Management, Education, Islamic Education
Intisari:
Pembangunan pendidikan bukanlah urusan yang sederhana, melainkan
urusan yang menyangkut berbagai pihak, berbagai aspek dan dimensi dengan
sifatnya yang sangat dinamis, kompleks, mendalam, dan luas. Pendidikan juga
bukanlah sesuatu yang bersifat instant, melainkan membutuhkan waktu yang lama
dari proses yang panjang. Oleh karena itu, memerlukan ketekunan dan
kesungguhan dalam penanganannya melalui manajemen yang baik.
Pendidikan Islam adalah pendidikan yang balance dalam mempersiapkan
anak didik, yaitu anak didik yang tidak hanya mampu mengembangkan kreativitas
intelektual dan imajinasi secara mandiri, tetapi juga memiliki ketahanan mental
spiritual serta mampu beradaptasi dan merespon problematika yang dihadapinya
sesuai kerangka dasar ajaran Islam. Atas dasar ini tidaklah mengherankan jika
pada saat ini, masyarakat lebih banyak menaruh minat untuk mendidik anak-
anaknya pada sekolah-sekolah yang memiliki keunggulan sesuai ajaran Islam.
Key words: Manajemen, Pendidikan, Pendidikan Islam
2
PENDAHULUAN
Pendidikan saat ini pada umumnya terlalu mendewakan model pendidikan
Barat yang bercorak atheistik, sekularistik, materialistik, rasionalistik, empiris dan
skeptis. Sebagai akibat dari pandangan filosofis yang demikian itu, maka lulusan
dunia pendidikan saat ini cenderung berubah orientasi dan pola hidupnya ke arah
yang lebih bercorak materialistik, hedonistik, sekularistik dan individualistik.
Pandangan filosofis yang melandasi dunia pendidikan yang demikian itu
sejatinya segera diganti dengan pandangan hidup Islami yang disesuaikan dengan
nilai-nilai luhur budaya bangsa Indonesia. Hal ini sesuai dengan pandangan ahli
pendidikan yang mengatakan bahwa sistem serta tujuan pendidikan bagi suatu
masyarakat atau negara tidak dapat di impor atau di ekspor dari atau ke suatu negara
atau masyarakat. Ia harus timbul dari dalam masyarakat itu sendiri. Ia adalah
“pakaian” yang harus diukur dan dijahit sesuai dengan bentuk dan ukuran
pemakaiannya, berdasarkan identitas, pandangan hidup (way of life), serta nilai-nilai
yang terdapat dalam masyarakat atau negara tersebut.2
Pendidikan Barat itu hanya mentransfer tiga hal: transfer of knowledge
(mentransfer pengetahuan, intelektualitas), transfer of value (transfer nilai), dan
transfer of skill (transfer keterampilan).3 Sementara, transfer of worship (transfer
keyakinan) tidak dibicarakan dalam pendidikan Barat. Padahal ada ajaran dalam
Islam, yang menjadikan anak Majusi atau Nashrani itu abawāhu, dua orang tuanya.
Itu berarti ada kewajiban mentransfer keyakinan kepada anak.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Manajemen Pendidikan Islam
Manajemen sangat berkait erat dengan persoalan kepemimpinan,4 karena
manajemen sendiri jika dirunut dari etimologinya berasal dari sebuah kata
manage atau manus (latin) yang berarti memimpin, menangani, mengatur, dan
(atau) membimbing.5
Secara khusus, istilah manajemen tidak terdapat dalam al-Qur‟an, akan
tetapi ada kata dalam bahasa Arab yang erat kaitannya dengan manajemen, yaitu
,yang artinya memikirkan, mengatur, mengerahkan, melaksanakan ”يدب ر“
mengelola, rekayasa, mengurus, membuat rencana, berusaha, mengawasi. Kata-
kata (fi‟il mudlari‟) يدب ر yang terkandung dalam al-Qur‟an antara lain termuat
dalam surat as-Sajdah [32]: 5,
3
Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik
pada-Nya dalam saat yang kadarnya (lamanya) adalah seribu tahun
menurut perhitunganmu. (QS. al-Sajdah [32]: 5)
Secara terminologis, arti manajemen didefinisikan oleh pakarnya sebagai
“mengerjakan sesuatu yang telah ditentukan oleh organisasi sebagai suatu tujuan,
melalui orang lain yang bekerjasama di dalam suatu kordinasi dan
kepemimpinan.”6 Jadi, setiap manajer, mau tak mau haruslah orang yang mampu
membina hubungan baik dengan orang lain.7
Menurut George R Terry, manajemen dapat diartikan sebagai sebuah
proses khas, yang terdiri dari tindakan-tindakan; perencanaan (Planning),
pengorganisasian (Organizing), penggiatan (Actuating), dan juga pengawasan
(Controlling), yang lebih popular dengan istilah POAC.8 Ini semua dilakukan
untuk menentukan atau mencapai sasaran-sasaran yang telah ditetapkan melalui
sumber daya manusia (SDM), dan juga sumber-sumber lainnya.
Pendidikan merupakan suatu usaha untuk mendewasakan manusia, baik
dewasa secara jasmani maupun rohani. Dan menurut ketentuan umum, Bab I
pasal I Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No 20 Tahun 2003,
menjelaskan bahwa: Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan akhlak mulia serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.9
Pendidikan Islam berbeda dengan pendidikan umum, meskipun boleh
jadi terdapat beberapa persamaan. Perbedaan-perbedaan itu tidak menjadikan
pendidikan Islam lebih rendah bila dibandingkan dengan pendidikan umum,
tetapi justru perbedaan-perbedaan itu membentuk karakteristik yang kemudian
menjadi identitas dirinya.
Menurut Azyumardi Azra, yang membedakan pendidikan umum dengan
pendidikan Islam adalah lebih kepada nilai-nilai yang dipindahkan. Dalam
pendidikan umum, nilai-nilai yang dipindahkannya merupakan nilai-niali
budaya dari satu generasi kepada generasi berikutnya. Sedangkan, dalam
pendidikan Islam nilai-nilai yang dipindahkan itu berasal dari sumber-sumber
nilai Islam yakni al-Qur‟an, Sunnah, dan Ijtihad.10
Nilai-nilai itulah yang
diusahakan pendidikan Islam untuk dipindahkan dari satu generasi kepada
generasi selanjutnya, sehingga terjadi kesinambungan ajaran-ajaran Islam di
tengah masyarakat.
4
Dalam dunia pendidikan, manajamen mempunyai peran strategis,
terutama terhadap pembaharuan, pengembangan, peningkatan dan perbaikan
pendidikan. Hal tersebut harus dilakukan secara simultan dan holistik serta tidak
boleh parsial. Pembaharuan dalam sektor tujuan pendidikan, kurikulum,
pendidik, peserta didik, dan sebagainya tidak akan terlalu membawa perubahan
signifikan jika tidak disertai dengan perbaikan pola dan kultur manajemen yang
mendukung pembaharuan tersebut.11
B. Potret Pendidikan
Pendidikan di Indonesia sejatinya harus didasarkan pada demand
mainded atau kebutuhan yang ada di lapangan bukan berpijak atas dasar
production mainded (certificate mainded). Pendidikan jangan hanya dapat
melahirkan angka-angka yang tinggi dalam laporan pendidikan atau menghitung
jumlah lulusan semata tanpa memerhatikan kualitas dari lulusan dan mutu
dibalik angka-angka tersebut. Demikian disampaikan Prof. Dr-Ing. Wardiman
Djojonegoro pada sebuah ceramah bertajuk “Politik Pendidikan di Indonesia” di
Kampus Bumi Siliwangi, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), 19 April
2004.12
Menurut Wardiman untuk dapat melihat potret pendidikan secara utuh,
kita harus seperti melihat kemacetan lalu lintas dari udara. Potret pendidikan
secara utuh terbagi atas empat bagian, yakni persoalan pendidikan dasar,
pendidikan menengah, pendidikan tinggi, pendidikan non formal atau ber-
kelanjutan. Pendidikan dasar harus diarahkan pada tuntasnya program wajib
belajar (wajar) sembilan tahun.13
Oleh karena itu, segala kemampuan harus
diarahkan pada program ini, termasuk anggaran pendidikan 20 % dari APBN/
APBD. Lulusan SD/MI dan SMP/MTs merupakan dasar bagi keber-langsungan
pendidikan di SMU/MA dan PT. Bagaimana mungkin kualitas SMU/MA dan
PT akan baik, apabila lulusan SD/MI dan SMP/MTs tidak diperhatikan?14
Sementara itu, dampak pendidikan yang diterima oleh siswa hanya
sekitar 30 % saja. Selebihnya siswa berinteraksi dengan lingkungannya.
Beragam lingkungan akan berpengaruh terhadap perkembangan prilaku siswa.
Oleh karena itu, di tanah air terjadinya prilaku destruktif yang dilakukan siswa,
seperti tawuran (bullying) antarpelajar tidak semata-mata disebabkan oleh
ketidak-berhasilan pendidikan. Terlalu banyak faktor di luar sekolah yang ikut
menentukan prilaku siswa. Dengan demikian, memandang berbagai gejolak
sosial dan prilaku siswa tidak bisa hanya dari satu sisi, sisi pendidikan, tetapi
harus holistik dari berbagai sisi agar pendidikan tidak dikambing-hitamkan. Ujar
mantan Mendikbud era Presiden Soeharto ini.15
Selanjutnya, (masih) menurut Wardiman untuk mengatasi persoalan
bangsa khususnya bidang pendidikan dalam rangka menghadapi era globalisasi,
terutama berkait dengan masalah pengangguran yang mencapai 40 juta jiwa
diperlukan sistem pendidikan yang benar-benar menjawab kebutuhan lapangan
5
kerja (link and match). Perubahan paradigma (mindset) tersebut meliputi:
perubahan dari wawasan memproduksi (supply minded) ke wawasan demand
minded yang berarti pendidikan diselenggarakan berdasarkan permintaan pihak
luar; perubahan dari wawasan memberi ijazah (certificate minded) ke wawasan
yang memiliki kompetensi dan pengetahuan (competence and knowledge
minded); dari sistem pendidikan yang kaku ke sistem pendidikan yang
lentur/luwes; dari sekolah yang berdiri sendiri menjadi sekolah yang berintegrasi
dengan dunia luar; dari orientasi ke dalam menjadi orientasi ke luar; dan tidak
diadakan perbedaan pengertian antara pendidikan dan pelatihan, yang penting
keduanya memiliki nilai tambah kepada siswa/mahasiswa.16
C. Sistem Pendidikan Pesantren dan Madrasah
Dalam perjalanan sejarah, pada permulaan abad XX sistem pengajaran
di Pondok Pesantren17
mengalami perubahan menjadi madrasah, yaitu sistem
pengajaran yang memakai jenjang, ada ujian, ada absensi, ada rapor, dan
sebagainya. Sudah barang tentu dilihat dari segi pengajaran, sistem madrasah
jauh lebih baik daripada sistem wetonan18
dan sorogan.19
Karena pengajaran
dengan sistem madrasah itu berjenjang dan kecakapan santri dapat diukur dan
diketahui.
Saya kira sistem pendidikan dan pengajaran agama Islam di Indonesia
ini yang paling baik adalah sistem pendidikan yang mengikuti sistem Pondok
Pesantren, sedangkan sistem pengajaran yang mengikuti sistem madrasah,
jelasnya bahwa madrasah dalam Pondok Pesantren adalah bentuk sistem
pengajaran dan pendidikan agama Islam yang paling baik di Indonesia ini.
Demikian kata Prof. Dr. H. A. Mukti Ali.20
Bila Prof. Dr. H. A. Mukti Ali mengatakan bahwa Pondok Pesantren
adalah Pondok Pesantren,21
Prof. Dr. H. A. Malik Fadjar, M.Sc mengatakan
madrasah ya madrasah.22
Menurut A. Malik Fadjar madrasah hanya akan berdaya guna bagi
masyarakatnya apabila madrasah mampu mengakomodasikan pertimbangan
pertimbangan masyarakat modern dalam memilih jenis lembaga pendidikan.23
Madrasah harus dikelola secara profesional, yakni kepala madrasah dan unsur
pimpinan lainnya harus memiliki kemampuan teknis dalam pendidikan dan
memiliki keterampilan manajerial, sehingga bisa memberikan layanan terbaik
bagi clien-nya. Apalagi dalam konteks peningkatan performa sekolah yang tidak
cukup dengan mempermegah sarana fisik, serta konsep kurikulum yang baik,
tapi juga harus diimbangi dengan manajemen yang visioner, inovatif, dan terus-
menerus dalam perbaikan secara bertahap menuju kualitas ideal. Manajemen
manusia membutuhkan kerja sungguh-sungguh yang sustainable, bukan instant
dan dalam kurun waktu yang singkat. Akhirnya, manajemen adalah kunci utama
kesuksesan diri dan sosial manusia.24
6
D. Manajemen Pendidikan Madrasah
Salah satu perubahan mendasar dari reformasi pendidikan dalam era
reformasi ini adalah lahirnya UU No. 22 tahun 1999, serta Undang-Undang
nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).25
Kedua
Undang-Undang tersebut membawa perspektif baru yang amat revolusioner
dalam konteks perbaikan sektor pendidikan, yang mendorong pendidikan
sebagai urusan publik dan urusan masyarakat secara umum dengan mengurangi
otoritas pemerintah baik dalam kebijakan kurikulum, manajemen maupun
berbagai kebijakan pengembangan institusi pendidikan itu sendiri.
Menurut Prof. Dr. Husni Rahim pembenahan madrasah harus diawali
dengan tekad untuk mewujudkan madrasah sebagai “sekolah unggulan” yang
mampu memadukan kekuatan iptek dan imtak. Salah satu ciri umat Islam
Indonesia yang sering dikumandangkan oleh para pemimpin umat menjelang
kemerdekaan adalah adanya lembaga pendidikan yang mampu menyiapkan
“calon ulama yang cendekia dan cendekia yang ulama”.26
Dengan istilah lain
menyiapkan anak didik yang dapat memadukan iptek dan imtak.
۞ Peningkatan Mutu Pendidikan Madrasah
Langkah-langkah untuk penyempurnaan dan peningkatan mutu
pendidikan madrasah meliputi: penataan kelembagaan, peningkatan sarana dan
prasarana, kurikulum dan tenaga guru.27
a. Penataan Kelembagaan
Persoalan memilih jenis lembaga pendidikan itu sebenarnya tidak
sederhana. Banyak pertimbangan, baik strategis, politis, ekonomis, maupun
agama. Paling tidak ada tiga hal yang menjadi pertimbangan masyarakat
dalam memilih suatu lembaga pendidikan bagi anak-anak mereka, yaitu:
Cita-cita dan gambaran hidup masa depan; Posisi dan status sosial; serta
Agama.28
Semakin terpelajar masyarakat semakin banyak aspek yang menjadi
pertimbangan dalam memilih lembaga pendidikan. Dan sebaliknya, semakin
awam masyarakat semakin sederhana pertimbangan-pertimbangannya dalam
memilih lembaga pendidikan atau barangkali, bahkan hanya sekadar
menjadi makmum dengan kepercayaannya.
Bagi masyarakat terpelajar, ketiga aspek tersebut dapat
dipertimbangkan secara objektif. Tetapi kalau tidak terpenuhi ketiganya,
misalnya pendidikan agamanya dinilai kurang, niscaya mereka akan mencari
cara lain, misalnya dengan mengundang guru agama privat. Akan tetapi,
masyarakat awam biasanya tidak memiliki pertimbangan yang jelas. Boleh
jadi semata-mata karena faktor agama, yaitu agar anaknya berbudi pekerti
luhur atau faktor biaya pendidikannya terjangkau, dan sebagainya.
7
Pernyataan tersebut dibuktikan oleh kenyataan di masyarakat,
bahwa ketika ada lembaga lembaga pendidikan “Islam” yang memenuhi
ketiga kriteria di atas, akan semakin diminati oleh masyarakat terutama
masyarakat terpelajar.29
Terhadap lembaga pendidikan seperti itu ternyata "daya beli"
masyarakat tinggi walaupun biaya pendidikannya cukup tinggi. Dan
pemerintah tampaknya tidak berkeberatan dan tidak membatasi upaya-upaya
pengembangan lembaga-lembaga pendidikan yang menyandang ciri-ciri
khas itu. Bahkan pemerintah merekomendasi sekolah tersebut sebagai salah
satu model "sekolah unggul".
b. Peningkatan Sarana dan Prasarana (Sarpras)
Persoalan kedua adalah mengenai sarana dan prasarana. Ber-
dasarkan pengamatan diperoleh kesan bahwa sarana fisik dan fasilitas yang
dimiliki madrasah (MI, MTs, MA) di berbagai tempat memang kurang
memadai, baik secara kuantitas maupun kualitas. Hal ini antara lain
disebabkan oleh kenyataan bahwa sebagian besar madrasah berstatus swasta
dan berada di pedesaan. Bahkan pemerintah membiarkan madrasah berstatus
swasta atau swadaya. Kenyataannya, sebagian besar madrasah yang ada
dibangun di atas tanah wakaf, bahan bangunannya sebagian besar
ditanggung oleh perseorangan dan dikerjakan oleh masyarakat secara
bersama-sama (swadaya).
c. Kurikulum
Persosalan ketiga adalah masalah kurikulum. Karena Pendidikan
merupakan sebuah pergumulan yang tidak akan pernah usai dan selalu
dilihat bersama dengan zamannya. Agama berpesan, "Didiklah anakmu
sesuai dengan era nya karena dia dilahirkan bukan pada era mu!"
Oleh karena itu, saya merasa heran kalau ada orang yang bertanya
tentang kurikulum yang selalu berubah. Harus disadari bahwa kurikulum
bukanlah suatu naskah mati yang harus dipegang selamanya. Kurikulum
harus terus dikembangkan sesuai dengan tuntutan zaman demi kemajuan
pendidikan.30
d. Tenaga Guru
Dalam bidang manajemen, selama ini tampak bahwa sebagian besar
madrasah (MI, MTs, MA) belum dikelola secara memadai untuk
mengadakan perbaikan atau upaya dan profesionalisme masih sangat
rendah. Semua itu tentu akan sangat memengaruhi proses belajar-mengajar
8
di dalam kelas. Di kalangan pengelola madrasah sendiri, penerapan prinsip-
prinsip manajemen modern tampaknya masih merupakan barang mewah.
Dilihat dari aspek gurunya, kondisi sebagian besar madrasah,
khususnya di pedesaan atau pinggiran kota masih sangat memprihatinkan.
Dari segi kuantitas, masih belum ada keseimbangan rasio jumlah guru dan
murid. Atau, kalaupun sudah berimbang, guru tidak bekerja full-time. Dari
segi kualitas, kondisi madrasah malah lebih memprihatinkan. Mereka
umumnya berlatar belakang pendidikan non-keguruan, di samping
keadaannya pun tidak homogen. Kebanyakan mereka mengajar di madrasah
bukan karena atas dasar profesi, melainkan dengan berbagai macam motif
lain. Ada yang semata-mata untuk dakwah, mengisi waktu luang, menanti
pengangkatan sebagai pegawai negeri, menanti nikah, dan ada yang
memang pegawai negeri. Oleh karena itu, tidak terlalu salah kalau lantas
masyarakat meragukan kemampuan para guru ini, baik kapasitas keilmuan
maupun metodologi. Tidak terlalu salah pula kalau masyarakat juga enggan
menyekolahkan anaknya di madrasah walaupun sebenarnya mereka sangat
menginginkan hal itu.
Dari segi konsentrasi guru dalam mengajar, keadaan madrasah pada
umumnya juga kurang menggembirakan. Madrasah, sering berganti-ganti
(bongkar pasang) guru disebabkan mereka mengajar sebagai pekerjaan
sambilan (ngamen, ngojek) atau sekedar waktu penantian. Guru sering
bergantian karena masih terbatasnya guru tetap, baik negeri maupun swasta.
Keberadaan guru yang kurang menguntungkan ini menyebabkan proses
belajar mengajar tidak dapat berjalan dengan baik.
Rendahnya mutu pendidikan menyebabkan kepercayaan masyarakat
terhadap madrasah menurun sehingga jumlah siswa yang belajar di
dalamnya menjadi sedikit. Secara sosiologis, sekolah yang kurang bermutu
biasanya hanya akan dimasuki oleh kalangan sosial ekonomi menengah ke
bawah. Siswa yang jumlahnya sedikit dan dari keluarga menengah ke bawah
biasanya sulit dibina, apalagi yang membina (baca: guru) pun kurang
bersemangat (minder). Padahal guru yang baik berdasarkan hadis Nabi saw
berikut adalah guru yang membina bukan yang membinasakan.
أىلوفان ت اعة)رواهالبخارى(إذاوسداألمرإلغي ظرالس
Apabila suatu urusan diserahkan bukan pada ahlinya, maka
tunggulah saat kehancurannya. (HR. Bukhari)
Makna hadis tersebut menurut Hasan Langgulung maksudnya
"Sesungguhnya Allah mencintai seseorang yang apabila mengerjakan
sesuatu ia mengerjakannya dengan baik dan berkualitas".31
Menurut A. Malik Fadjar, hadis tersebut menjadi dasar agar
lembaga pendidikan Islam (madrasah) menggunakan manajemen yang jujur
9
dan adil, serta mengisi jabatan sesuai dengan kemampuan orangnya atau
profesionalitas.32
Wibawa guru (personal branding) dan wibawa sekolah
(institusional branding) adalah dua hal yang sukar dipisahkan. Sekolah yang
berwibawa akan membuat guru-gurunya turut disegani masyarakat. Wibawa
sekolah meningkatkan wibawa guru. Sebaliknya, satu atau dua orang guru
yang oleh masyarakat dipandang sebagai tokoh-tokoh berwibawa akan
membuat sebuah sekolah menjadi lembaga yang lebih disegani masyarakat.
Jadi, wibawa guru memengaruhi wibawa sekolah.33
Kemerosotan wibawa guru dan wibawa sekolah ini kalau dibiarkan
terus berlangsung akan membawa kita pada situasi yang sangat berbahaya.
Tanpa wibawa, sekolah tidak akan mampu melahirkan proses pendidikan
yang membimbing para siswa ke kesadaran akan nilai-nilai dan ketaatan
secara suka rela terhadap nilai-nilai. Karena itu, proses pertumbuhan
kesadaran dan penataan nilai-nilai ini akhirnya terjadi di berbagai lingkugan
di luar sekolah.
Apa yang dapat dilakukan agar guru berwibawa?
Yang perlu kita sadari bersama dalam hubungan ini ialah bahwa
wibawa tidak dapat dituntut. Wibawa datang berkat pengakuan masyarakat
akan kemampuan guru untuk merintis jalan (tracee) baru dalam kehidupan
bangsa. Untuk ini pada dasarnya ketentuan-ketentuan lama tentang sifat-
sifat yang seyogianya dimiliki guru masih tetap berlaku, tetapi harus
diwujudkan dalam perilaku yang sesuai dengan watak zaman.
Guru seyogianya adalah orang yang cukup berpengetahuan. Dalam
zaman kita sekarang ini sifat “yang cukup berpengetahuan” ini tidak
mungkin diwujud-kan dalam bentuk guru yang tahu segala-galanya. Yang
harus dikejar guru zaman sekarang ialah menjadi orang yang memiliki
“daya belajar” (learning capability) dan memiliki "kepribadian luwes"
(flexible personality).34
Di masa depan, dengan tantangan zaman yang begitu kompleks,
kemajuan zaman yang begitu cepat, dan juga situasi pendidikan yang tidak
mudah, jelas dibutuhkan guru-guru yang lebih profesional dan bermutu. Di
lapangan, keluhan terhadap lulusan pendidikan guru adalah kurangnya
penguasaan bidang ilmu dan kurang profesional ketika mengajar di kelas.
Banyak guru, terutama yang baru lulus dari Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah
(STIT/FITK/FKIP), tidak menguasai bahan yang diajarkan dan mengajarkan
secara salah. Selain itu, banyak juga keluhan bahwa mereka belum
kompeten dalam mengajarkan bahan ajar kepada siswa. Bahkan, beberapa
lulusan takut dan grogi (gurubak-gurubuk) berdiri di depan kelas sehingga
proses pembelajaran menjadi kacau. Mereka juga kurang lihai menyikapi
siswa-siswa yang sering mengganggu. Maka, kompetensi dalam bidang ilmu
pengetahuan dan pembelajaran sangat penting.
10
Secara umum profesionalitas itu terwujud dalam penguasaan bahan
ajar secara benar dan tepat, dalam kemahiran menyampaikan bahan kepada
siswa sehingga siswa semakin mau belajar dan menjadi berkompeten. Guru
juga diharapkan mengembangkan kepribadiannya sebagai pengajar dan
pendidik yang bertanggung jawab, yang mengerti keadaan siswa, dan dapat
berkomunikasi secara baik dengan siswa. Karena, guru juga sebagai
pendidik, maka dia harus dapat menjadi teladan dalam hal nilai kehidupan.
Dalam praktik di lapangan, masih banyak guru yang tidak dapat menjadi
teladan kehidupan bagi siswanya, misalnya, ada guru agama yang justru
melakukan pelecehan terhadap siswanya. Di sinilah kepribadian guru harus
dikembangkan sehingga dapat berprofesi sebagai guru secara tepat. Dalam
kerangka mengarahkan profesi inilah perlu dikembangkan etika profesi
guru. Kemampuan kepribadian – dalam hal ini moralitas guru perlu
dikedepankan jika persoalan guru di negeri ini ingin dibenahi. Sehebat apa
pun kurikulum, sarana pembinaan, dan kesejahteraan guru, tanpa moralitas
yang baik akan sia-sia.
E. Manajemen Sekolah Islam Unggulan
Dewasa ini ada kecenderungan baru di kalangan kelas menengah
muslim di kota-kota besar untuk memasukkan anak-anaknya ke sekolah
Islam/madrasah yang berkualitas. Pilihan ini sangat rasional karena sekolah-
sekolah umum dirasakan kurang memenuhi keinginan mereka untuk mendidik
anak-anaknya. Kecenderungan ini tentu menjadi tantangan pihak sekolah
Islam/madrasah untuk menawarkan pendidikan alternatif yang sesuai dengan
tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Dan itu terletak pada peningkatan kualitas.
Menurut Azyumardi Azra, “sekolah unggul” atau “sekolah Islam
unggulan” dapat dikatakan sebagai “sekolah elit” Islam karena sejumlah alasan.
Alasan pertama ialah bahwa sekolah-sekolah itu bersifat elit dari sudut
akademis; dalam beberapa kasus, hanya siswa-siswa terbaik yang dapat diterima
oleh sekolah-sekolah itu melalui ujian masuk yang sangat kompetitif. Guru-guru
yang mengajar di sekolah-sekolah tersebut juga telah diseleksi secara
kompetitif; hanya mereka yang memenuhi persyaratan yang dapat diterima
untuk mengajar. Sekolah-sekolah itu juga memiliki berbagai sarana pendidikan
yang jauh lebih baik dan lebih lengkap, seperti perpustakaan, laboratorium,
bengkel kerja, ruang komputer, masjid dan sarana olah raga. Semua itu membuat
siswa dari sekolah-sekolah tersebut jauh lebih baik secara akademis
dibandingkan tidak hanya dengan sekolah-sekolah Islam lainnya, melainkan
juga dengan sekolah umum yang dikelola oleh pemerintah.35
11
√ Madrasah Pembangunan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Di antara contoh sekolah/madrasah unggulan yang paling populer
adalah Madrasah Pembangunan IAIN Jakarta. Madrasah ini mulanya merupakan
sekolah laboratorium bagi Fakultas Tarbiyah IAIN Jakarta (sekarang menjadi
UIN Jakarta), dalam beberapa tahun terakhir telah menjadi madrasah favorit di
kalangan orangtua di Tangerang Selatan, kendati mereka harus mengeluarkan
biaya sepuluh kali lipat lebih besar daripada biaya yang mereka harus bayar
untuk madrasah dan sekolah umum. Madrasah pembangunan merupakan salah
satu lembaga pendidikan terbaik di Tangerang Selatan, tidak hanya di antara
madrasah, melainkan juga di antara sekolah yang ada. Banyak di antara
lulusannya yang diterima di sekolah-sekolah terbaik di wilayah tersebut. Bila
kita membaca AL’Ashri, jurnal Madrasah Pembangunan, dapat diketahui
berbagai prestasi yang telah dicapai oleh siswa-siswi madrasah ini.
√ MIN 1 Malang
Contoh terkemuka lainnya tentang madrasah elite adalah Madrasah
Ibtidaiyah Negeri (MIN) I Malang, Jawa Timur. Seperti dapat diketahui dari
namanya, ini merupakan madrasah tingkat dasar. Madrasah ini pada mulanya
didirikan pada tahun1962 sebagai sebuah “sekolah pelatihan swasta” bagi siswa-
siswa Pendidikan Guru Agama (PGA). Namun, pada tahun 1979 Departemen
Agama setempat memutuskan untuk menjadikannya sebuah madrasah negeri
tersendiri. Sejak saat itu, MIN I Malang memperbaiki dirinya sendiri. Dengan
kerjasama yang baik serta dukungan dari POMG (Persatuan Orangtua Murid dan
Guru), madrasah ini kini mampu menyediakan pendidikan yang berkualitas.
Sekarang, karena terkenal dengan prestasi akademiknya, MIN I Malang
merupakan Madrasah terbaik di Jawa Timur. MIN I Malang telah menjadi
proyek percontohan dan sekolah model di Indonesia. Mengingat prestasinya,
tidak mengherankan bila MIN I Malang menjadi madrasah favorit di kalangan
orangtua Muslim dalam beberapa tahun terakhir, kendati ia merupakan
madrasah termahal tidak hanya di antara madrasah, tetapi juga di antara sekolah-
sekolah di Malang. Seperti sekolah dan madrasah favorit lainnya, hanya
keluarga Muslim yang kaya yang dapat mengirimkan anaknya ke MIN I
Malang.
Tidak diragukan bahwa kisah sukses36
madrasah-madrasah elite tersebut
telah mendorong Departemen Agama (sekarang Kementerian Agama) untuk
mengembangkan “madrasah-madrasah model”. Selain itu, ada kecenderungan
lain yang penting, yaitu bahwa madrasah memperoleh momentum baru.
Terdapat sejumlah SD yang ditutup karena banyak dari siswa-siswanya yang
pindah ke madrasah. Semua perkembangan itu menyebabkan para pejabat
Departemen Agama dan para ahli pendidikan Islam mulai percaya bahwa
kualitas pendidikan madrasah dapat ditingkatkan.
12
√ Sekolah Al-Azhar Jakarta, SMU Muhammadiyah 1 Yogyakarta, dan
Madania Boarding School
Selain Madrasah Pembangunan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan
MIN 1 Malang, contoh sekolah unggul/elit Islam lainnya adalah sekolah-sekolah
pada perguruan Al-Azhar di Jakarta, SMU Muhammadiyah 1 Yogyakarta, dan
Madania Boarding School.37
√ SMA Islam al-Azhar Jakarta, SMA Plus Muthahari Bandung, SMA
Muhammadiyah 1 Yogyakarta, SMA Unggul Darul Ulum Jombang, SMA
Plus al-Azhar Medan, SMA Islam Athirah Makasar, dan SMA Dwiwarna
Parung
Contoh Sekolah Islam unggulan lainnya adalah tujuh SMA Islam
Unggulan sebagaimana yang diteliti oleh Halfian Lubis38
dalam Disertasi-nya
Pertumbuhan SMA Islam Unggulan di Indonesia: Studi Tentang Strategi
Peningkatan Kualitas Pendidikan yaitu SMA Islam al-Azhar Jakarta, SMA Plus
Muthahari Bandung, SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta, SMA Unggul Darul
Ulum Jombang, SMA Plus al-Azhar Medan, SMA Islam Athirah Makasar, dan
SMA Dwiwarna Parung.39
Terhadap lembaga pendidikan seperti itu ternyata "daya beli"
masyarakat tinggi walaupun biaya pendidikannya cukup tinggi. Dan pemerintah
tampaknya tidak berkeberatan dan tidak membatasi upaya-upaya pengembangan
lembaga-lembaga pendidikan yang menyandang ciri-ciri khas itu. Bahkan
pemerintah merekomendasi sekolah tersebut sebagai salah satu model "sekolah
unggul".
F. Manajemen Pendidikan Tinggi Islam (Belajar dari Abdul Malik Fadjar)
Memaknai saran dan usaha A. Malik Fadjar40
dalam mengelola
Pendidikan Tinggi (PT), hemat penulis layak untuk memperoleh apresiasi dan
layak diterapkan dalam mengelola lembaga pendidikan Islam (pesantren,
madrasah, dan sekolah).
Dalam pandangan A. Malik Fadjar bahwa yang dimaksud dengan
lembaga pendidikan, khususnya Pendidikan Tinggi Islam, bukan sekedar
lembaga pendidikan tinggi yang berlabelkan Islam, seperti Muhammadiyah,
Mathla‟ul Anwar (MA), Nahdlatul Ulama (NU), atau yang mengidentifikasi
dengan tokoh-tokoh Islam seperti K.H. Ahmad Dahlan, K.H. Mas
Abdurrahman, K.H. Hasyim Asy'ari, dan lain-lain. Juga bukan sekedar lembaga
pendidikan tinggi yang di dalamnya menyajikan studi tentang keislaman.
Lebih dari itu, selain berlabelkan Islam dan di dalamnya menyajikan
studi tentang keislaman, pendidikan tinggi tersebut dalam gerak langkah dan
nafasnya selalu dijiwai oleh roh dan nilai-nilai yang terpancar dari ajaran Islam.
13
Misalnya menggunakan manajemen yang adil dan jujur, mengisi jabatan sesuai
kemampuan orangnya atau profesionalitas. Dasarnya adalah sabda Nabi
Muhammad saw:
Apabila suatu urusan diserahkan bukan pada ahlinya, maka tunggulah
saat kehancurannya. (HR. Bukhari)
Pandangan A. Malik Fadjar tersebut lebih mengedepankan subtansi
Islam, meskipun tanpa harus dikemas dengan diformalkan atau dilabel dengan
Islam. Pemikiran-pemikiran tersebut yang akan dijalankan olehnya dalam
mewujudkan lembaga pendidikan Islam yang respresentatif dan memadai.
Dalam upaya tersebut, A. Malik Fadjar sangat senang ketika diajak untuk
membantu dalam membesarkan UMM dan UMS karena melihatnya sebagai
peluang untuk merealisasikan pemikirannya dalam memajukan lembaga
pendidikan khususnya pendidikann tinggi Islam.
Singkat kata, setelah memahami kompleksitas persoalan yang dihadapi
Universitas Muhammadiyah Malang (UMM),41
A. Malik Fadjar melakukan
langkah terobosan ke depan. Ia membangun cita-cita besar untuk menjadikan
UMM sebagai lembaga pendidikan tinggi Islam yang hebat, berwibawa
(berprestasi) dan bergengsi (berprestise).
Tentu saja, untuk meraih cita-cita besar tersebut tak bisa dikerjakan
dalam waktu singkat. Langkah pertama yang dilakukan A. Malik Fadjar adalah
merumuskan gagasan-gagasan atau cita-cita besar yang berdimensi jauh ke
depan, menyangkut persoalan mau kemana UMM dibawa?
Saat memulai menjadi rektor UMM, kondisi lembaga pendidikan tinggi
ini sangat menyedihkan meski sudah berusia hampir 20 tahun. "Hidup segan
mati tak mau," kata A. Malik Fadjar, melukiskan kondisi UMM saat itu.42
Maka, saat itu muncul julukan bernada sinis, UMM bukan merupakan
akronim dari Universitas Muhammadiyah Malang, melainkan "Universitas
Morat Marit", Universitas yang tidak karuan, baik proses akademik maupun
manajemennya. Ada juga yang menyebutnya sebagai "Universitas Mondar
Mandir", lantaran pegawai dan dosen yang bekerja di UMM juga bekerja di
tempat lain. Bahkan tak sedikit yang pekerjaannya di UMM sekadar sebagai
sambilan saja untuk mencari nafkah tambahan. Walaupun tambahan dari UMM
sebenarnya tidak seberapa. Ada juga yang menyebutnya "Universitas Maju
Mundur", lantas "Universitas Murah Meriah". Selain itu, ada juga yang
menyebutnya "Universitas Makin Maju." Berarti ada pengakuan masyarakat
bahwa UMM terus bergerak maju.43
Apa yang diusahakan A. Malik Fadjar dalam memajukan UMM (1983-
2000) dan UMS (1992-1997) kiranya salah satu nilai yang bisa dibanggakan.44
Dari sebuah PT yang tidak pernah dilirik orang menjadi PT yang menarik
kerumunan umat untuk memasukkan anak-anaknya ke sana. Dari kampus yang
tak memiliki gedung sendiri dan terkesan kumuh sampai kini menjadi kampus
14
paling megah dan elite bila disandingkan dengan kampus-kampus di sekitarnya.
Dari program akademik yang kurang menjanjikan masa depan sampai kepada
program akademik yang mampu melahirkan lulusan-lulusan yang memiliki
competitive advantage di era global. Kata kuncinya, demikian kata A. Malik
Fadjar, hanya "satu", yaitu angrem di kampus bagi pemimpin dan sivitas
akademikanya. "Jangan harap anak ayam akan menetas dengan baik jika induk
ayam tak mau mengerami dengan sungguh-sungguh," katanya.45
Sikap angrem (mengeram) ini hanya dimiliki oleh ayam kampung.
Pemimpin PT dan dosen harus selalu angrem (mengeram) di kampus jika ingin
melahirkan mahasiswa-mahasiswa yang siap menghadapi perubahan dan
persaingan global. Dosen misalnya, tidak cukup dengan hanya mengajar dan
menyampaikan ilmu kepada mahasiswa, sesudah itu lalu pulang dan tak peduli
dengan apa yang terjadi dengan mahasiswanya.46
Sikap angrem (mengeram) ini meniscayakan dosen harus selalu dan
tetap tinggal di kampus, dengan banyak memberikan pelayanan, bimbingan,
penyuluhan, dan bahkan kalau bisa menjadikan dirinya sebagai biro konsultan
bagi seluruh mahasiswa. Bimbingan mulai dari cara mahasiswa belajar di
kampus dengan baik sampai ia meraih gelar sarjana, bahkan kalau
memungkinkan sampai mereka memperoleh pekerjaan. Bimbingan mulai dari
sesuatu yang bersifat pribadi sampai pada sesuatu yang ada kaitannya dengan
hubungan sosial-global. Sikap angrem (mengeram) inilah yang banyak
dilakukan dan sering kali disuarakan A. Malik Fadjar dalam memajukan sebuah
Pendidikan Tinggi.
۞ Pentahapan dalam mengelola Pendidikan Tinggi
Setelah memperoleh gambaran yang cukup memadai tentang arah dan
cita-cita yang hendak dicapai UMM, A. Malik Fadjar kemudian melakukan
pentahapan dalam mengelola pendidikan tinggi ini, yaitu tahap konsolidasi,
pembangunan fisik dan pembangunan akademik.47
1. Tahap Konsolidasi
Tahap konsolidasi merupakan upaya untuk menata dan membangun
niat, pikiran dan mengkonsentrasikan seluruh potensi dan mengeliminir semua
tantangan dan hambatan dalam rangka mencapai tujuan yang dicita-citakan.
Tahap konsolidasi meliputi tiga aspek, yaitu konsolidasi ideal, structural, dan
personal.48
Konsolidasi ketiga aspek mendasar ini diikuti dengan penertiban di
bidang administrasi akademik, keuangan maupun operasional. Termasuk
menyatukan manajemen tunggal dari kampus I dan II, yang sebelumnya
berdiri sendiri. Tentu saja, pada awalnya A. Malik Fadjar menghadapi
15
tantangan berat, tapi dengan piawai ia akhirnya berhasil melewati masa-masa
kritis ini. Konsolidasi tiga aspek itu terus dilakukan dari waktu ke waktu,
terutama selama periode pertama kepemimpinannya, 1983-1986.
Tentu saja, keberhasilan A. Malik Fadjar dalam melewati babak-
babak awal yang begitu sulit dalam mengomandani UMM itu tak lepas dari
tipologi kepemimpinan yang dikembangkannya. Ia mengembangkan model
dan gaya kepemimpinan yang luwes, dialogis, dan menghilangkan sekat-sekat
birokrasi. Tetapi dia juga bisa keras. Terutama untuk melindungi kepentingan
dan keselamatan yang lebih luas. “Pak A. Malik Fadjar itu terkadang juga
bergaya keras. Malah sampai terkesan otoriter. Tetapi karena berhasil,
sehingga tidak mendapat kritikan,” kata Syafi‟i Ma‟arif, Ketua PP
Muhammadiyah, saat itu.
“Pak A. Malik Fadjar sangat keras terhadap orang yang tidak jujur.
Sebab menurut dia, UMM harus dibangun di atas kejujuran. Kerusakan dalam
suatu organisasi atau gerakan sering kali bermula dari ketidakjujuran. Kalau
para pemimpin sudah tidak jujur, tidak akan umat mempercayai lembaga yang
dipimpinnya,” kata Imam Suprayogo. Pembantu Rektor I UMM.
Dalam membangun citra UMM, A. Malik Fadjar juga keras. Maka dia
bisa marah bila ada perbuatan atau kejadian yang bisa merusak citra, karena
bagi A. Malik Fadjar, Citra itu modal. Dari citra itu dapat ditumbuhkan trust
atau kepercayaan masyarakat. Kalau trust sudah ada, maka akan mudah
memacu pertumbuhan. Ibaratnya, tanpa promosi dan kampanye pun
masyarakat akan bersimpati. Mahasiswa akan datang dengan sendirinya.49
Wakidi punya pengalaman. Saat itu dia menjabat sebagai Kepala Biro
Keuangan. Brangkas berisi uang Rp 10 juta dibobol maling. “Kebobolan itu
memang kesalahan saya. Malingnya orang dalam. Seorang petugas kebersihan
dan memang sering meminjam uang. Saking seringnya sampai dia tahu kalau
saya menyimpan kunci brangkas itu di laci saya. Saat itu, kunci brangkas di
laci dan kunci laci saya bawa. Laci saya dijebol untuk menemukan kunci
brangkas. Peristiwa itu masuk media masa. UMM dinilai ceroboh. Saya
dimarahi habis-habisan oleh Pak Malik. Bukan karena uang itu hilang, tetapi
citra lembaga yang tidak aman. Kecerobohan itu dinilai tidak baik untuk suatu
manajemen,” kata Wakidi yang bekerja di UMM mulai dari pekerja kasar.
Berbagai regulasi maupun rantaian birokrasi yang selama ini bisa
menyumbat tumbuh dan berkembangnya budaya akademik, dipangkasnya
sampai habis. Maka, tak mengherankan kalau A. Malik Fadjar memiliki
ruangan kantor di lantai paling bawah, dengan pintu selalu terbuka untuk
melayani siapa saja. Baik mahasiswa, dosen, karyawan, maupun tamu-tamu
dari luar kampus.
Kebijakan pintu selalu terbuka agar A. Malik Fadjar selalu dapat
mengikuti perkembangan aspirasi dari luar. Bisa mengetahui perkembangan
warganya secara langsung. Di samping itu, pintu terbuka itu lebih efisien.
Bayangkan, berapa waktu yang akan habis untuk dia melakukan buka tutup
16
pintu, jika menggunakan pintu tertutup. Di samping itu, dia tidak mau
menumbuhkan kesan sebagai pemimpin yang angker atau sombong. Kesan itu
akan menghambat keakraban pemimpin dengan yang dipimpin. Menghambat
seorang pemimpin mengetahui aspirasi yang berkembang di lingkungannya.
Mengurangi nilai egalitarian. Padahal Muhammadiyah itu dibangun dengan
nilai egalitarianisme.50
2. Tahap Pembangunan Fisik
Setelah A. Malik Fadjar berhasil melakukan tahap konsolidasi tiga
aspek di atas (konsolidasi ideal, structural, dan personal), berikutnya ia
melakukan langkah-langkah strategis untuk memacu pertumbuhan UMM
dengan memperbaiki tampilan fisik sarana dan prasarana pendidikannya,
meskipun dalam hadis disebutkan:
(مسلمرواه)واعمالكمق لوبكمالي نظرولكنوأموالكمصوركمالي نظرلاللنإSesungguhnya Allah tidak melihat (memandang) kepada bentuk rupa
(shuwar) mu dan harta kekayaan mu, tetapi Dia melihat kepada (niat
dan keikhlasan dalam) hati dan perbuatanmu. (HR. Muslim)
Menurut hadis tersebut, Allah la yandzuru ila shuwarikum_Allah
tidak melihat kepada rupa sesuatu, tetapi tidak dengan manusia. Manusia itu
pada umumnya yandzuru ila shuwarikum_manusia melihat kepada rupa
sesuatu. Rupa sesuatu (dalam hal ini, sarana pendidikan) sebagai daya tarik
sangat penting dalam kegiatan pendidikan.
A. Malik Fadjar menyadari bahwa ukuran-ukuran yang bersifat fisik,
mulai dari tampilan gedung yang megah, suasana perkuliahan yang nyaman,
dan status jurusan atau program studi, menjadi daya tarik utama bagi calon
mahasiswa baru. Karena itu, tahap pembangunan fisik dan pembangunan
akademik harus berjalan saling beriringan.51
Atas jasa pinjaman dari Bank,52
A. Malik Fadjar kemudian merombak
kampus I UMM di Jl. Bandung dari kampus yang sederhana, yang sebagian
dindingnya terbuat dari gedek, menjadi bangunan megah berlantai tiga.
Kampus I yang menempati posisi strategis ini sekarang dipakai untuk Program
Pascasarjana (PPs).
Berikutnya, A. Malik Fadjar memoles sekaligus memperluas
bangunan kampus II yang berdiri di Jl. Sumbersari, juga menjadi bangunan
berlantai tiga. Untuk memperluas kampus II itu mesti melakukan pem-
bebasan tanah warga sekitar. A. Malik Fadjar memiliki keinginan bagaimana
warga yang tanahnya dibebaskan tidak terpuruk, melainkan justru semakin
berkembang. Bagaimanapun rumah di sekitar kampus itu ada nilai
ekonomisnya yaitu untuk kos-kosan. Maka kalau rumahnya dibebaskan jangan
sampai sumber ekonominya hancur.
17
A. Malik Fadjar pegang prinsip bahwa pembebasan tanah tidak boleh
ada paksaan sedikitpun. Dia belajar dari kisah Amru bin „Ash. Pada masa
pemerintahan Umar bin Khattab, Amru bin „Ash hendak membangun masjid
di Damaskus. Untuk keperluan itu, harus menggusur rumah seorang janda
Yahudi. Lantas janda itu mengadu ke Umar perihal tindakan Amru. Umar
menegur Amru dengan cara mengirim surat di atas tulang belulang.
Maksudnya Umar mengingatkan bahwa manusia akan menjadi tulang
belulang belaka. Dan tindakan itu tidak dibenarkan. Akhirnya Amru
mengembalikan rumah janda Yahudi itu. Melihat kebijaksanaan Umar,
akhirnya janda itu ikhlas mengamalkan rumah dan tanahnya untuk masjid. Di
samping tidak boleh ada paksaan, pembebasan tanah dilakukan dengan
penawaran harga di atas rata-rata. Menyalurkan keluarganya menjadi tenaga
kerja di UMM. Ternyata dalam perkembangannya, justru warga yang meminta
agar tanahnya dibebaskan.
Kampus II ini hanya berjarak sekitar satu kilometer sebelah barat
Kampus I. Letaknya berdekatan dengan Unibraw, IKIP Malang dan IAIN
Sunan Ampel. Tampilan fisik yang lumayan, lebih baik dari IAIN ini,
kemudian menjadikan UMM sebagai perguruan tinggi yang sebelumnya
nyaris tak pernah jadi perbincangan, mendadak menjadi buah bibir. A. Malik
Fadjar berhasil memikat calon mahasiswa baru.
3. Tahap Pembangunan Akademik
Berikutnya, A. Malik Fadjar menugaskan Imam Suprayogo selaku
Pembantu Rektor I untuk bekerja keras mengurusi perolehan status jurusan
maupun program studi dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sebab status ini sangat menentukan
dalam rangka menarik calon mahasiswa. Maka yang statusnya Terdaftar
ditingkatkan menjadi Diakui. Dan yang statusnya Diakui menjadi Disamakan.
Dan agar UMM mempunyai kewibawaan akademik, dibuatlah program
peningkatan mutu dosen dengan melakukan perekrutan dosen tetap.53
Menurut A. Malik Fadjar, pendidikan harus dikelola menurut
manajemen modern dan futuristik sebagai usaha mengantarkan peserta didik ke
posisi-posisi tertentu di masa depan. Yaitu, suatu manajemen yang berpretensi
membangun manusia profesional-intelektual dan skilled dalam hal bagaimana
mereka mampu bergaul di tengah-tengah komunitas global secara dinamis,
kreatif, dan inovatif.54
Manajemen A. Malik Fadjar adalah manajemen yang unik. Pada satu
sisi dia selalu menuntut profesionalitas jajarannya. Etos kerja keras, disiplin,
menggunakan ukuran-ukuran objektif. Tetapi, dia tidak mau profesional
seseorang dalam konteks jasa-uang sebagaimana ukuran yang dikembangkan
dalam dunia profesional bisnis. A. Malik Fadjar tetap menggunakan pengabdian
18
dan dedikasi sebagai ukuran. Bekerja di UMM harus dilandasi niat ibadah.
Tetap dalam bingkai ajaran KH. Ahmad Dahlan (1868-1923): Hidup-hidupilah
Muhammadiyah, dan jangan menumpang hidup di Muhammadiyah.55
Kalau
hanya mau mencari kekayaan dipersilahkan di luar UMM. UMM juga bukan
tempat untuk mendapatkan mobil atau jabatan, meskipun dalam dunia modern,
pengabdian atau ibadah lillahi ta’ala kerap kali dijadikan indikator amatirisme.56
PENUTUP
Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam harus berusaha mencapai
tingkat masukan (input) yang merata, keluaran (output) yang bermutu, kegairahan
dan motivasi belajar yang tinggi, semangat kerja yang besar, dan adanya
kepercayaan dari berbagai pihak. Penting bagi madrasah untuk mendapatkan
kepercayaan yang tinggi dari masyarakat. Karena hanya madrasah yang melakukan
perbaikan manajemen (kerja tuntas) yang mendapat kepercayaan masyarakat.
Uraian di atas membatasi pembahasan tentang bagaimana upgrade
pendidikan Islam lebih pada problem madrasah. Di luar itu, dunia pendidikan Islam
di Indonesia sebetulnya meliputi juga lembaga-lembaga lain, seperti: pesantren,
sekolah Islam dan pendidikan tinggi Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulrahim, Imaduddin. Sikap Tauhid dan Motivasi Kerja: Sebuah Relasi-Inovatif
Islam-Kerja dalam Nilai dan Makna Kerja dalam Islam, Firdaus Efendi
(ed). Jakarta: Nuansa Madani, 1999
Ali, A. Mukti. Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini. Jakarta: Rajawali Pers, 1981
Arifin, M. Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum). Jakarta: Bumi Aksara,
2000, cet. IV
Azra, Azyumardi. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium
Baru. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002, cet. IV
-------. Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 1998
Buchori, Mochtar. „Erosi Wibawa Guru dan Sekolah‟ dalam Majalah Basis No. 07 –
08, Tahun Ke-54, Juli – Agustus 2005
Djojonegoro, Wardiman. “Pendidikan harus Berdasarkan Demand Mainded,” Berita
Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), no. 231 (April 2004)
Echols, J.M dan Shadily, Hasan. Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: PT Gramedia,
2000, cet. XXIV
19
Fadjar, A. Malik. Holistika Pemikiran Pendidikan,Ahmad Barizi (ed.). Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2005
-------. Madrasah dan Tantangan Modernitas. Bandung: Mizan, 1999
-------. Visi Pembaruan Pendidikan Islam, Mustofa Syarif & Juanda Abubakar (ed.).
Jakarta: LP3NI, 1998
Fatah, Nanang. Landasan Manajemen Pendidikan. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2004, cet. VII
Halim, A. dkk. Manajemen Pesantren. Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005
Hudijono, Anwar dan Thayib, Anshari. Darah Guru Darah Muhammadiyah:
Perjalanan Hidup Abdul Malik Fadjar. Malang: UMM Press, 2009, cet. II
Kodir, Abdul. Sejarah Pendidikan Islam dari Masa Rasulullah hingga Reformasi di
Indonesia. Bandung: Pustaka Setia, 2015
Langgulung, Hasan. “Islamisasi Pendidikan dari Perspektif Metodologi". Makalah
dalam Seminar Internasional "Islamization of Knowladge: Meeting the
Challenge", Department of Education, International Islamic University,
Malaysia, 14-16 July 1998
Lubis, Halfian. Pertumbuhan SMA Islam Unggulan di Indonesia: Studi Tentang
Strategi Peningkatan Kualitas Pendidikan. Disertasi SPs UIN Syarif
Hidayatullah, 2008
Mas‟ud, Abdurrahman. Dari Haramain Ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek
Pesantren. Jakarta: Kencana, 2006
Nata, Abuddin Nata. Manajemen Pendidikan Mengatasai Kelemahan Pendidikan
Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2003
-------. Paradigma Pendidikan Islam. Jakarta: Garasindo, 2001
Rahim, Husni. Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Logos, 2001
Rosyada, Dede. Paradigma Pendidikan Demokratis; Sebuah Model Pelibatan
Masyarakat dalam Penyelengaraan Pendidikan. Jakarta: Kencana, 2004
Tanthowi, Jawahir. Unsur-unsur Manajemen Menurut Ajaran al-Qur’an. Jakarta:
Pustaka al-Husna, 1983
Thoha, Miftah. Kepemimpinan dalam Manajemen. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2006
Yusuf, M. Yunan, et. al. Ensiklopedi Muhammadiyah. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2005
http:kbbi.web.id/egalitarianism.
20
ENDNOTES
1Maddais, S.Pd.I., MA. NIK/NIDN. 510209203/2107057901 adalah Dosen Tetap
Sejarah Pendidikan Islam STIT YA‟MAL Tangerang dan Mahasiswa S-3 SPs UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Konsentrasi Pendidikan Islam, pernah menjadi Ketua STIT YA‟MAL
Tangerang Periode 12 Juni 2010 – 25 Juli 2012. 2Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan Mengatasai Kelemahan Pendidikan Islam
di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2003), 175. 3K.H. Tholhah Hasan: Pendidikan Kita Terlalu Mendewakan Model Barat, dalam
Majalah PENDIS, Edisi No. 1/Tahun I/2013, 54. 4Kepemimpinan (Leadership) diambil dari kata “to lead” yang berarti memimpin.
Leader adalah pemimpin, sedangkan leadership berarti pimpinan, yang seringkali di
terjemahkan pula sebagai kepemimpinan. Konsepsi mengenai leadership biasanya tidak
terlepas dari pengertian kekuasaan/ kemampuan (power). Dengan demikian, kepemimpinan
dapat diartikan sebagai kemampuan untuk memengaruhi dan mengarahkan orang-orang
dalam mencapai tujuan tertentu. Lihat, J.M Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris-
Indonesia (Jakarta: PT Gramedia, 2000), cet. XXIV, 351. Lihat juga, Miftah Thoha,
Kepemimpinan dalam Manajemen (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), 5. 5A. Halim, dkk, Manajemen Pesantren (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005), 71.
6Kepemimpinan dan manajemen seringkali disamakan pengertiannya oleh banyak
orang. Padahal di antara keduanya terdapat perbedaan yang penting untuk dipahami.
Kepemimpinan mempunyai pengertian yang sedikit lebih luas dibandingkan dengan
manajemen karena kepemimpinan bisa digunakan setiap orang dan tidak terbatas dalam
suatu organisasi tertentu saja. Sedangkan manajemen merupakan kepemimpinan yang
dibatasi oleh tata karma birokrasi atau dikaitkan dengan pemikiran suatu kegiatan untuk
mencapai suatu tujuan organisasi. Menurut George R Terry, kepemimpinan adalah aktivitas
untuk memengaruhi orang-orang supaya diarahkan mencapai tujuan organisasi. Lihat, Miftah
Thoha, Kepemimpinan dalam Manajemen, 5-10. 7Imaduddin Abdulrahim, Sikap Tauhid dan Motivasi Kerja: Sebuah Relasi-Inovatif
Islam-Kerja dalam Nilai dan Makna Kerja dalam Islam, (ed) Firdaus Efendi (Jakarta:
Nuansa Madani, 1999), 3. 8Lihat, Jawahir Tanthowi, Unsur-unsur Manajemen Menurut Ajaran al-Qur’an
(Jakarta: Pustaka al-Husna, 1983), 10. Bandingkan dengan Nanang Fatah, Landasan
Manajemen Pendidikan (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), cet. VII, 49-107. 9UUSPN, Pelaksanaan dan Peraturannya (Jakarta: Tamita Utama, 2003), 4.
10Azyumardi Azra. Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam. Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 1998, 5. 11
Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis; Sebuah Model Pelibatan
Masyarakat dalam Penyelengaraan Pendidikan (Jakarta: Prenada Media, 2004), 225. 12
Wardiman Djojonegoro, “Pendidikan harus Berdasarkan Demand Mainded,”
Berita Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), no. 231 (April 2004), 19. 13
Program wajib belajar (wajar) 9 tahun di Indonesia telah dimulai tahun 1994.
Lihat, Abdul Kodir, Sejarah Pendidikan Islam dari Masa Rasulullah hingga Reformasi di
Indonesia (Bandung: Pustaka Setia, 2015), 225. 14
Wardiman Djojonegoro, “Pendidikan harus Berdasarkan Demand Mainded,” 19. 15
Wardiman Djojonegoro, “Pendidikan harus Berdasarkan Demand Mainded,” 19.
21
16
Wardiman Djojonegoro, “Pendidikan harus Berdasarkan Demand Mainded,” 19. 17
Pesantren adalah model pendidikan Islam tertua di Indonesia; karena itu, selain
identik dengan makna keislaman, pesantren juga identik dengan keaslian Indonesia
(indigeneous). Kata pesantren bukan berasal dari bahasa Arab, ia berasal dari bahasa Pali,
bahasa Tripitaka, dari kitab agama Budha. Lihat, Abdurrahman Mas‟ud, Dari Haramain Ke
Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek Pesantren (Jakarta: Kencana, 2006), xxv. 18
Wetonan: Kiai membaca suatu kitab dalam waktu tertentu, dan santri dengan
membawa kitab yang sama mendengarkan dan menyimak bacaan kiai itu. 19
Sorogan: Santri, dan biasanya yang pandai, menyorogkan sebuah kitab kepada
kiai untuk dibaca di hadapan kiai itu, dan kalau ada salahnya, kesalahan itu langsung
dibetulkan oleh kiai. 20
A. Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini (Jakarta: Rajawali Pers,
1981), 20. 21
A. Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini, 15. 22
Hubungan A. Malik Fadjar dengan A. Mukti Ali (menteri agama RI tahun 1972-
1977) dipelihara terus hingga A. Malik Fadjar menjabat sebagai Wakil Ketua PP
Muhammadiyah maupun menteri. Sering kali A. Malik Fadjar bertandang ke rumahnya di
Yogyakarta untuk mendiskusikan banyak hal. Apalagi ternyata A. Mukti Ali adalah tokoh
yang tak pernah berhenti berpikir. Dalam usia yang sudah lanjut pun masih mampu
menelorkan pemikiran-pemikiran yang brilian, orisinal dan segar. Saat A. Mukti Ali
meninggal tahun 2004, A. Malik Fadjar bertakziyah dan meneteskan air mata karena
kehilangan tokoh yang dikaguminya. Lihat, Anwar Hudijono dan Anshari Thayib, Darah
Guru Darah Muhammadiyah, 63-64 & 180. Lihat, A. Malik Fadjar, Holistika Pemikiran
Pendidikan, 183. Lihat juga, A. Malik Fadjar, Madrasah dan Tantangan Modernitas
(Bandung: Mizan, 1999), 53. 23
A. Malik Fadjar, Madrasah dan Tantangan Modernitas, xi 24
A. Malik Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan, Ahmad Barizi (ed.) (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2005), 44. 25
Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis, 12. 26
Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Logos, 2001),
142. 27
M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum) (Jakarta: Bumi Aksara,
2000), cet. IV, 108. 28
A. Malik Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan, 9 & 47. 29
A. Malik Fadjar, Madrasah dan Tantangan Modernitas, 10 & 58. Lihat juga, A.
Malik Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan, 247. 30
A. Malik Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan, 267. 31
Hasan Langgulung, “Islamisasi Pendidikan dari Perspektif Metodologi", Makalah
dalam Seminar Internasional "Islamization of Knowladge: Meeting the Challenge",
Department of Education, International Islamic University, Malaysia, 14-16 July 1998. 32
Anwar Hudijono dan Anshari Thayib, Darah Guru Darah Muhammadiyah:
Perjalanan Hidup Abdul Malik Fadjar (Malang: UMM Press, 2009), cet. II, 88. 33
Mochtar Buchori, „Erosi Wibawa Guru dan Sekolah‟ dalam Majalah Basis No. 07
– 08, Tahun Ke-54, Juli – Agustus 2005, 48. 34
Kalau dalam masyarakat kita sekarang ini guru dapat memperlihatkan bahwa ia
adalah orang yang mampu memahami hal-hal baru dan persoalan-persoalan baru (seperti
22
pengetahuan guru tentang makna dan realitas Pilkada dan Otonomi daerah), maka ia akan
dipandang masyarakat sebagai “orang yang berpengetahuan” atau memiliki daya belajar
(learning capability). Hal lain yang dapat dilakukan guru ialah belajar menjadi manusia yang
berkepribadian luwes (flexible personality). Manusia semacam ini mempunyai prinsip-
prinsip etika dan moralitas yang kokoh. Itu yang disebut “berkepribadian”. Tetapi tuntutan
lingkungan akan bentuk-bentuk perilaku untuk mengekspresikan prinsip-prinsip pribadi ini
juga harus diperhatikan. Ini yang disebut “luwes”. Lihat, Mochtar Buchori, „Erosi Wibawa
Guru dan Sekolah‟, 48. 35
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium
Baru (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002), cet. IV, 73. Atau lihat Abuddin Nata, Paradigma
Pendidikan Islam (Jakarta: Garasindo, 2001), 252. 36
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi, 78. 37
A. Malik Fadjar, Visi Pembaruan Pendidikan Islam, Mustofa Syarif & Juanda
Abubakar (editor), (Jakarta: LP3NI, 1998), 9. Lihat, A. Malik Fadjar, Madrasah dan
Tantangan Modernitas, 10 & 58. Lihat, A. Malik Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan,
247. Lihat juga, Anwar Hudijono dan Anshari Thayib, Darah Guru Darah Muhammadiyah,
253. 38
Halfian Lubis, Pertumbuhan SMA Islam Unggulan di Indonesia: Studi Tentang
Strategi Peningkatan Kualitas Pendidikan, Disertasi UIN Syarif Hidayatullah, 2008. Halfian
Lubis tercatat sebagai Mahasiswa SPs UIN Jakarta dengan NIM: 99.3.00.1.09.01.0104 dan
baru menyelesaikan studinya pada tahun 2008, ini artinya beliau menyelesaikan studi S.3-
nya selama 9 tahun, dengan disertasi setebal 486 halaman 39
Menurut Halfian Lubis, penyelenggaraan pendidikan pada SMA Islam Unggulan
di-landaskan pada empat pilar utama, yakni manajemen mutu, pengembangan sosio-kultural
sekolah yang bernuansa Islami, penguasaan di bidang ilmu pengetahuan, dan pemberdayaan
sistem pendidikan Islam dalam persaingan kualitas. Selain melakukan sistem seleksi untuk menjaring tenaga pengajar dan sisiwa-siswa
yang berkualitas, SMA Islam Unggulan juga melakukan rekonstruksi kurikulum dengan
menetapkan skala prioritas pada tiga bidang utama, yakni Pendidikan agama, sains, dan
bahasa asing (Arab dan Inggris). Model pengembangan kurikulum pendidikan agama dalam
setting outdoor terbukti mampu memberikan nuansa tertentu bagi terbentuknya religious
culture di lingkungan sosio-kultural kehidupan sekolah.
Salah satu dimensi keunggulan sekolah-sekolah Islam ini juga pada kelengkapan
sarana pendidikan mulai dari laboratorium IPA, laboratorium bahasa, perpustakaan, sarana
computer, masjid/mushalla dan sarana ibadah lainnya, media audiovisual, sarana olahraga,
sampai dengan asrama pelajar. Semua sarana ini dimaksudkan untuk mendukung pencapaian
kualitas pendidikan.
Selain prestasi akademis, SMA Islam Unggulan sangat konsen dalam
mengembangkan kecerdasan emosional (EQ), dan kecerdasan spiritual (SQ). Pembinaan
kecerdasan emosional dan spiritual dikembang-kan melalui ber-bagai program dan bertujuan
untuk meningkatkan kematangan emosional siswa, sekaligus menciptakan anak-anak yang
taat dalam melaksanakan ibadah agama, serta mampu berperilaku akhlaq al-karīmah dalam
kehidupannya sehari-hari. Lihat, Halfian Lubis, Pertumbuhan SMA Islam Unggulan di
Indonesia, 470-476. 40
A. Malik Fadjar memperoleh gelar Guru Besar (Profesor) dari Fakultas Tarbiyah
IAIN Sunan Ampel Malang tahun 1995 dan memperoleh gelar Doktor Honoris Causa dalam
23
bidang Kependidikan Islam dari IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2001. Pernah
menjabat sebagai Direktur Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama (BINBAGA) Islam
Departemen Agama, yang kemudian ditunjuk sebagai Menteri Agama RI pada Kabinet
Pembangunan Reformasi. Pernah menjadi Menkokesra pada Kabinet Gotong Royong dan
pernah menjadi Menteri Pendidikan Nasional pada Kabinet Indonesia Bersatau (KIB) I.
Periode pertama kepemimpinannya sebagai rektor UMM 1983-1986, sedangkan periode
terakhir kepemimpinannya 1996-2000. Lihat, Anwar Hudijono dan Anshari Thayib, Darah
Guru Darah Muhammadiyah, 98 & 115. Lihat, M. Yunan Yusuf et. al., Ensiklopedi
Muhammadiyah, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), 113. 41
UMM secara resmi didirikan pada awal 1965. Acara peresmiannya berlangsung di
Stadion Gajayana Malang. Pada awal didirikannya, UMM merupakan cabang dari
Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) dan pada tanggal 1 Juli 1968, UMM secara resmi
berdiri sendiri, memisahkan diri dari induknya, UMJ. Alasan pemisahan agar terjadi
akselerasi pertumbuhan, sebab kalau terus bergantung kepada UMJ, akan lambat
berkembang. Apalagi UMM yakin bisa berdiri sendiri. A. Malik Fadjar masuk UMM tahun
1976 sebagai tenaga dosen, dan pada awal 1983 ia menjadi Dekan Fakultas Ilmu Sosial Ilmu
Politik (FISIP) dan terpilih menjadi rektor UMM. Lihat, Anwar Hudijono dan Anshari
Thayib, Darah Guru Darah Muhammadiyah, 80 & 89. 42
Anwar Hudijono dan Anshari Thayib, Darah Guru Darah Muhammadiyah, 80 &
89. 43
Anwar Hudijono dan Anshari Thayib, Darah Guru Darah Muhammadiyah, 107. 44
A. Malik Fadjar adalah rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) ke-6
(1983-2000)44
setelah Mohammad Kasiram (1977-1983), Masyfuk Zuhdi (1975-1977),
Suyitno Hadisaputro (1970-1975), M. Ridlwan Hasyim (1968-1970), dan Sofyan Aman
(1965-1968). Di samping gencarnya membangun UMM, pada tahun 1992-1997 A. Malik
Fadjar ditugaskan PP Muhammadiyah untuk memimpin Universitas Muhammadiyah
Surakarta (UMS) agar selamat dari konflik internal berkepanjangan. Lihat, Anwar Hudijono
dan Anshari Thayib, Darah Guru Darah Muhammadiyah, 98 & 115. 45
A. Malik Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan, 43-44. 46
Kalau para staf pengajar (dosen) hanya mengajar, sebenarnya dia sudah nothing
bunuh diri tanpa disadarinya. Dia tidak lebih sebagai buruh, atau tukang. Sebab harus
disadari bahwa dosen itu guru, bukan tukang. Untuk itu, mereka (khususnya dosen tetap)
harus ikut menghayati seluruh aspek yang hidup dalam lingkungan dan proses pendidikan.
Lihat, A. Malik Fadjar, Visi Pembaruan Pendidikan Islam, 84 47
Anwar Hudijono dan Anshari Thayib, Darah Guru Darah Muhammadiyah, 96. 48
Pertama, Konsolidasi ideal merupakan upaya A. Malik Fadjar untuk
membangkitkan kesadaran bersama para civitas akademika UMM, terutama para
pimpinannya, untuk menyatukan pandangan, tekad, cita-cita, wawasan serta kesepakatan
secara terpadu akan makna pendidikan tinggi Muhammadiyah sebagai lembaga pendidikan
tinggi dan amal usaha Muhammadiyah. Membangun wawasan dan cita-cita besar dan
berdimensi jauh ke depan. Membangun kesepakatan terpadu dan kebulatan tekad.
Merumuskan tujuan UMM yang diembannya. Konsolidasi ideal juga berarti
mengembangkan dan menata kembali strategi perjuangan, sehingga kebijakan-kebijakan
yang diambil senantiasa bersifat strategis, efektif, dan efisien. Konsolidasi ideal ini sangat
penting karena sebagai ruh dari sebuah komitmen yang pada akhirnya melahirkan kerja yang
sungguh-sungguh dan berkualitas. Membentuk etos kerja. Membentuk suatu team work yang
24
kompak, solid, dan utuh. Tidak adanya idealisme dan cita-cita masa depan akan
menyebabkan UMM menjadi serba lamban dan tertinggal dari percaturan perkembangan
dunia Pendidikan Tinggi Islam maupun perkembangan pemikiran di bidang sosial, politik,
budaya, hukum, ekonomi, dan keagamaan. Demikian kata A. Malik Fadjar.
Kedua, Konsolidasi structural menyangkut perampingan organisasi sehingga
menjadi efektif dan efisien. Pos-pos yang bersifat formalitas dan memperpanjang rantai
birokrasi, yang bisa menghamburkan energi dan dana harus dipangkas. A. Malik Fadjar
melihat, salah satu kelemahan birokrasi UMM adalah yang melingkar-lingkar dan panjang.
Birokrasi bukan melayani tetapi malah minta dilayani. Bukan mempermudah bagaimana
suatu urusan diselesaikan, tetapi malah mempersulit urusan. Ada arogansi birokrasi.
Sedangkan yang ketiga, Konsolidasi personal terutama menyangkut pembentukan
disiplin, etos kerja, dan komitmen para pengelolanya pada semua level. “Pak A. Malik Fadjar
itu pekerja keras. Beliau bekerja mulai pagi sampai malam. Pak Malik juga melakukan ing
ngarso sung tuladha, memberi contoh teladan. Beliau tidak menyuruh koleganya bekerja
keras, tetapi memberi contoh kerja keras. Akhirnya bawahannya itu ikut,” kata Wakidi.
Kepala Biro Keuangan UMM. Mereka yang tak serempak dalam gerak langkah menuju ke
depan untuk meraih cita-cita UMM, terpaksa harus ditinggalkan. Lantaran inilah terkadang
A. Malik Fadjar dituduh diktator. Meninggalkan kawan lama. Seolah tidak menghargai
perjuangan orang-orang tua. Persoalannya adalah A. Malik Fadjar ingin gerak cepat, kalau
hal-hal yang menyerimpung dan menghambat, dia tinggal. Dia terkadang harus dihadapkan
pada pilihan untuk tidak mengindahkan hal-hal yang membuat kerja lambat. Apalagi ini era
globalisasi yang ditandai dengan perubahan yang sangat cepat. Lihat, Anwar Hudijono dan
Anshari Thayib, Darah Guru Darah Muhammadiyah, 97-98. 49
Anwar Hudijono dan Anshari Thayib, Darah Guru Darah Muhammadiyah, 99. 50
Arti egalitarianism, yaitu: 1. doktrin atau pandangan yang menyatakan bahwa
manusia itu ditakdirkan sama derajat; 2. asas pendirian yang menganggap bahwa kelas-kelas
sosial yang berbeda mempunyai bermacam-macam anggota, dari yang sangat pandai sampai
ke yang sangat bodoh dalam proporsi yang relatif sama. Lihat, http:kbbi.web.id/
egalitarianism. 51
Anwar Hudijono dan Anshari Thayib, Darah Guru Darah Muhammadiyah, 100. 52
Dengan didasari itikad yang baik, A. Malik Fadjar merasa tertantang dan ingin
secepatnya memperbaiki dan membangun UMM agar dapat disejajarkan dengan lembaga
pendidikan tinggi lainnya yang sudah baik. Untuk itu sebagai bagian dari pengorbanannya A.
Malik Fadjar mengagunkan sertifikat tanah dan ijazahnya kepada Bank agar mendapatkan
pinjaman untuk UMM. Niat dan tekad yang baik dalam memajukan UMM merupakan
motivasi yang terus memompa semangatnya untuk terus berjuang mewujudkan UMM
menjadi perguruan tinggi yang baik. Seperti dikatakan oleh Iin Nurmarini (anak ke dua A.
Malik Fadjar), bahwa Bapak memang ingin UMM menjadi besar. Bapak memiliki obsesi
UMM menjadi seperti California State University tempat bapak kuliah. Lihat, Anwar
Hudijono dan Anshari Thayib, Darah Guru Darah Muhammadiyah, 101. 53
Anwar Hudijono dan Anshari Thayib, Darah Guru Darah Muhammadiyah,102. 54
A. Malik Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan, ix. 55
Menjelang akhir kepemimpinan dan hayatnya (1923), K.H. Ahmad Dahlan
berwasiat Hidup-hiduplah Muhammadiyah, Jangan Mencari Hidup di Muhammadiyah.
Mengapa ada wasiat itu? Adakah sesuatu yang mengkhawatirkan? Bukankah Kiai cukup
paham arti pentingnya organisasi? Apa pula yang dimaksud dengan “jangan mencari hidup
25
di Muhammadiyah?”. Wasiat itu dinilai sangat mendasar dan mendalam. Lihat, A. Malik
Fadjar, “Wasiat KH Ahmad Dahlan,” Republika, 30 Juni 2010, 4. 56
Anwar Hudijono dan Anshari Thayib, Darah Guru Darah Muhammadiyah, 5.