Post on 08-Jul-2016
description
[Oneshoot] Excessive Affection
Excessive Affection
Hey! Say! JUMP Yabu Kouta
Sato Miharu as Yabu Miharu
Hey! Say! JUMP Inoo Kei
Inoo Raura
By: Shield Via Yoichi and launyan
Main idea: launyan
Warning: Ini adalah Sato Miharu dan Inoo Raura POV. Miharu berwarna biru dan Raura
berwarna merah.
Big thanks to launyan, sudah percaya(?) pada saya untuk fanfic collab ini XD I love you~
*bergayaalayamadaryosuke* maafkan segala typo, karena saya ngeditnya dalam keadaan
setengah sadar(?).
“Kyaaa~ Ya ampun, dia senyum padaku!”
Aku melewati lorong kelas yang ada beberapa siswi di sana. Salah satu dari mereka wajahnya
merah padam. Ada apa? Aku hanya bingung saat melihat itu. Sementara teman-teman tampak
bersemangat memegang pundak gadis itu.
Aku menggeleng. Dasar aneh.
“Miharu-chan, mau ke perpustakaan lagi?” panggil seseorang. Pasti itu Yumi.
Aku tersenyum dan mengangguk, “Iya. Aku harus mengembalikan buku yang aku pinjam.”
“Oh, begitu. Bukan untuk melihat dia?”
Tanpa dia beri tahu siapa yang dia maksud, aku tahu siapa yang dia tuju.
“Apa sih, Yumi? Tidak kok!”
“Ahahaha.. Wajahmu memerah! Menggoda Miharu-chan adalah hal yang paling
menyenangkan!” Dia tertawa puas, terlihat wajahnya yang senang sekali.
Aku melangkah menjauh darinya, masih dengan tujuannya sama. Ke perpustakaan.
Apa kau tahu siapa yang Yumi maksud? Dia adalah Inoo Kei, siswa ramah itu cukup dikenal
oleh para siswi-siswi. Awalnya aku tidak mengenalnya, sama sekali tidak karena aku terlalu
fokus dengan belajar dan hobi membacaku. Aku mengenalnya saat dia menjemput
kembarannya, Inoo Raura yang sekelas denganku. Sementara dia sekelas dengan kakakku,
Yabu Kouta.
Awal melihatnya, sama sekali tidak ada rasa. Hanya rasa penasaranku yang beberapa persen
itu cukup terungkap. Namun, aku mulai ingin mengenalnya saat aku bertemu dengannya di
perpustakaan sendirian, padahal sudah jam pulang. Biasanya dia akan bersama Raura-san,
tapi tampaknya gadis itu sedang pergi entah kemana dan meninggalkan saudaranya sedang
berpusing ria dengan buku dan kertas-kertas tugas. Aku juga melihatnya entah kapan, dia
memberi makan kucing jalanan. Dia pemuda yang baik, itulah yang aku pikirkan.
Aku ingin bertanya pada Kouta tentangnya, tapi aku takut. Terlalu takut pada saudara
kembarku yang sering sekali bisa membaca isi hatiku. Bisa gawat kalau dia mengetahuinya.
Dia pasti akan terus menggodaku atau mungkin dia marah padaku.
Haruskah aku bertanya pada Raura-san? Pertanyaan itu selalu muncul di benakku. Namun
pertanyaan lain akan bermunculan seperti: Kalau aku bertanya, apa dia tidak merasa heran?;
Apa dia akan memberitahukan yang sesungguhnya?; atau, apa aku tidak terlihat aneh
bertanya tentang saudaranya?. Dan berbagai macam pertanyaan lainnya yang bernada sama.
Raura-san adalah siswi yang lumayan nakal, bagaimana bisa aku dekat dengannya? Akhirnya
aku memutuskan untuk bertanya pada Yumi—teman dekatku di kelas.
Dia rajin ke perpustakaan. Begitu kata sumber informasiku. Aku pun mencoba untuk datang
tiap hari ke perpustakaan. Dan benar, dia selalu berada atau akan masuk perpustakaan setelah
aku masuk ke ruangan yang penuh buku itu.
Aku mengambil sembarang buku dan duduk di sampingnya. Gugup, ini melebihi saat sedang
membaca puisi atau berpidato di depan kelas. Bahkan rasanya wajahku sudah terasa matang
saking panasnya. Aku melirik sedikit ke arah buku yang dia baca. Ya ampun, buku yang dia
baca terasa berat untuk menjadi sebuah bacaan untuk menghabiskan jam istirahat. Aku
mencoba membuka mulutku, hendak menyapanya sekedar berbasa-basi. Tapi tenggorokanku
terasa kering dan lidahku kaku. Akhirnya aku cuma bisa duduk di sampingnya selama jam
istirahat saat itu.
Dia pulang naik sepeda. Informasi lain dari Yumi. Benarkah? Rasanya ingin bel pulang
segera berbunyi dan melesat ke parkiran sepeda.
Saat pulang, aku sedikit melirik Raura-san. Kelihatannya dia jarang pulang bersama
saudaranya atau mungkin menyuruhnya untuk menunggu. Entahlah, yang penting adalah aku
bisa setidaknya berbicara padanya!
Aku segera berlari ke parkiran sepeda, meninggalkan Kouta yang melihatku aneh saat itu.
Aku menemukannya, aku melihatnya baru sampai di parkiran. Dengan cepat aku berjalan ke
sana dan tanpa sengaja aku menabraknya. Ah, Miharu bodoh!
“Daijoubu?” tanyanya sudah berbalik arah padaku dan berjongkok. Ya ampun, suaranya
lembut sekali!!
“A-ah, daijoubu desu..” Aku mencoba berdiri dan dia pun membantuku sambil memegang
bahuku.
“Benar kau tidak apa-apa?” Dia menatapku khawatir.
Aku mengangguk cepat, “Iya, aku baik-baik saja.”
“Hm…” Dia menatapku lekat. Aduh, jangan sampai wajahku memerah!!!
“K-kenapa?”
“Sepertinya aku pernah melihatmu.. dimana ya?” Dia meletakkan jari telunjuknya yang
ramping itu di dagunya.
“Perpustakaan.” jawabku. Aku benar-benar tidak bisa menahan gelojak di dadaku. Dia
mengenalku!!
“Ah, benar! Ternyata kita punya hobi yang sama!” serunya sedikit senang, “Aku akan
memperkenalkan diri. Inoo Kei desu. Yoroshiku!”
“A-ah..” Aku menelan ludah agar tidak gugup, “Yabu Miharu desu. Y-yoroshiku.”
Akhirnya aku bisa berbicara padanya, bisa berkenalan dengannya. Aku bertanya-tanya,
mimpi apa aku malam itu? Kenapa rasanya Dewi Fortuna sedang memihakku terus? Apapun
itu, aku senang bisa menjadi dekat dengannya! Perpustakaan pun menjadi tempat yang sangat
nyaman bagiku karena bisa melihat wajah seriusnya saat membaca dengan dekat.
***
Di dunia ini… aku tidak butuh siapapun. Aku hanya membutuhkan saudara kembarku
seorang. Hanya dia. Inoo Kei, yang selalu menyayangiku.
“Inoo-kun, ini novel yang kupinjam kemarin. Ceritanya menarik. Terima kasih banyak ya!”
ucap seorang teman sekelas Kei ketika aku dan Kei di dekat gerbang sekolah.
“Baguslah kalau menurutmu menarik,” Kei tersenyum sambil mengambil novel miliknya itu.
Aku… tidak menyukainya. Aku benci bila ada wanita yang mendekati Kei. aku tidak suka
ketika Kei memberikan senyumnya pada wanita lain. Senyuman itu hanya milikku. Hanya
aku yang boleh mendapat senyuman Kei. Bukan orang lain.
“Raura?”
“Eh? Ya?” panggilan Kei membuatku tersadar kembali dari pikiranku.
“Kenapa bengong begitu? Kamu sakit?” tanyanya sedikit khawatir.
“Tidak. Aku baik-baik saja, Kei. Ayo pulang!” Aku tersenyum padanya. setiap aku berada di
sisi Kei aku selalu menunjukkan raut ceria dan manja. karena memang setiap Kei ada di
sisiku aku selalu merasa bahagia.
***
“Raura, ayo kita pulang,” ajak Kei seusai semua pelajaran berakhir.
“Maaf Kei, kamu pulang duluan saja,” ucapku.
Ketika Kei akhirnya pergi sendiri, aku menyadari sesuatu saat baru saja mau mengemas
barang-barangku, teman sekelasku, Yabu Miharu, entah kenapa aku merasa dia selalu melihat
ke arahku ketika Kei datang. Atau mungkin lebih tepatnya dia memandangi Kei?
Mungkinkah dia menyukai Kei?
Tidak lama setelah Kei pergi, Yabu Miharu juga keluar kelas dengan terburu-buru. Aku
merasa aneh dengan dia. Tapi saat ini aku tidak punya waktu untuk memikirkannya. Ada hal
yang lebih penting yang harus kulakukan. Ya, memusnahkan segala serangga-serangga
menjijikkan yg mendekati Kei-ku. Semenjak aku dan Kei memulai kehidupan SMA kami,
aku memutuskan untuk menyingkirkan semua wanita yang berani mendekati Kei. Tanpa
siapapun ketahui, termasuk Kei, aku selalu mencelakakan wanita-wanita jalang yang pernah
mendekati Kei, menyentuh Kei, berakrab ria dengan Kei. Dan korbanku hari ini adalah
wanita yang mengembalikan novel Kei kemarin. Berani-beraninya wanita itu menyentuh
barang milik Kei dan apalagi dia mendapatkan senyuman Kei yang seharusnya hanya
untukku.
“Aku pulang duluan ya, bye bye!” aku melihat wanita itu baru saja keluar dari kelasnya. aku
mengikutinya dari belakang. Aku beruntung sekali di lantai dua tempat kami berada saat ini
sudah sepi hampir tidak ada orang. Ketika wanita itu melangkahkan kakinya di tangga, aku
mendorongnya.
“Kyaaaaa!!!”
BRAAK
Dia terjatuh. Aku tidak bisa menahan senyumku yang semakin melebar ketika melihat wanita
itu tergeletak di lantai bawah. Akhirnya satu serangga lagi telah musnah.
Aku segera menjauh dari tempat aku mendorong wanita itu. Namun, aku terhenti ketika
melihat ke luar jendela. Aku bisa melihat ke arah parkiran dari sini. Dan aku melihat Kei….
bersama Yabu Miharu. Melihat pemandangan itu membangkitkan amarah dalam diriku. Aku
mengepalkan tanganku sangat erat hingga dari tanganku menetes darah segar akibat kuku
jariku yang menekan telapak tanganku begitu kuat.
***
“Yabu-san, selamat pagi.” Aku memberikan senyum manisku pada Yabu Miharu. Saking
manisnya mungkin dia tidak tahu kalau itu adalah senyum palsu.
“Kenapa kau memanggilku dengan nama keluargaku?” Dia bertanya dengan wajah tidak
nyaman.
“Tidak bisa ya? Baiklah, Miharu-san.”
***
Aku menatap seorang gadis di hadapanku. Sebenarnya ini sangat mengejutkan, Inoo Raura
ada di depanku sekarang. Untuk apa dia berbicara denganku?
“Ada yang perlu aku bantu?” tanyaku setelah menutup buku bacaanku.
Dia masih mengembangkan senyumnya, “Aku hanya ingin… berteman denganmu. Bisa?”
“Eh?” Tentu saja aku terkejut. Ada apa sebenarnya? Ah, tidak penting. Mungkin saja aku bisa
bertanya tentang saudaranya jika dekat dengannya.
“Ya, kau tahu. Aku ingin juga seperti Kei yang suka membaca buku. Tapi aku selalu lebih
suka dengan komik. Mungkin saja kau bisa memberikanku rekomendasi bacaan ringan.”
jelasnya, “Bacaan Kei terlalu berat dan membosankan.”
Begitu ya? Aku pikir hanya aku yang merasa kalau bacaan untuk seorang Inoo Kei itu
membosankan.
“Baiklah. Aku akan memberikanmu judul-judul bacaan ringan untukmu.” kataku. Matanya
berbinar dan senyumnya merekah.
***
“Miharu-chan, ini bukumu! Menarik sekali!” katanya sambil memberikan sebuah buku tepat
di depan wajahku. Dia sudah beberapa kali meminjam bukuku. Kami sudah lumayan dekat
sekarang bahkan memanggil nama tidak lagi formal.
“Iya. Tapi aku kurang suka dengan akhir ceritanya.”
Dia tertawa. Ya, dia selalu tertawa setiap aku memberi respon pada setiap buku yang sudah
aku baca. Entah apa alasan dia tertawa. Kehadirannya membuatku senang namun juga
membuatku sedih. Setiap jam istirahat, dia akan mengajakku ke teras di atap. Padahal itu
adalah waktu dimana aku bisa melihat Inoo Kei dan dekat dengan pemuda itu. Namun dekat
dengan Raura juga memberi informasi tentang saudaranya padaku. Entah itu benar atau tidak,
tapi itu cukup untuk menghilangkan rasa rinduku pada Inoo Kei.
“Nanti kita pulang bersama ya?”
“Eh? Tidak bisa. Aku harus pulang bersama Kouta.”
“Kalau begitu, besok saja bagaimana?” Aku mengangguk senang. Kapan lagi aku bisa pulang
bersama teman—selain Yumi? Kouta juga pasti senang melihatku pulang bersama temanku.
***
Hahaha.. dasar bodoh!
Kau terlalu polos, Yabu Miharu. Siapa juga yang mau berteman dengan wanita aneh
sepertimu, huh?
“Raura, akhir-akhir ini kamu tampak ceria sekali. Selalu senyum-senyum.” tanya Kei selama
perjalanan kami pulang ke rumah. Tentu saja aku senyum-senyum terus. Aku terlalu senang
karena mendekati Miharu itu terlalu gampang. Dengan begini aku akan lebih mudah untuk
menyingkirkannya dari kehidupan Kei.
“Kau tahu? Akhir-akhir ini aku berteman akrab dengan salah seorang siswi di kelasku.” Aku
menjawab pertanyaan Kei tadi dengan semangat.
“Eh? Serius? Aku tidak menyangka akhirnya kamu berbicara tentang temanmu padaku.
Selama ini kamu tidak pernah membicarakan tentang temanmu sedikit pun, aku jadi khawatir
kalau kamu tidak mempunyai teman,”
“Hahahaha Kei aneh! Mana mungkin aku tidak punya teman!”
Aku tertawa. Tapi tentu saja kata-kata yang kuucapkan itu tidak benar. Untuk apa aku punya
teman jika aku sudah punya Kei? Tidak ada seorang pun yg kuanggap teman, termasuk
Miharu.
“Oh ya, siapa nama temanmu itu?”
“Yabu Miharu.”
“Miharu? Yabu Miharu? Ooooh…”
“Kenapa Kei? Kau mengenalnya?” tanyaku ketika melihat reaksi Kei.
“Tentu saja. Dia itu saudara kembar dari Yabu Kota, teman sekelasku.”
“Eh? Dia juga kembar? Aku tahu kalau dia punya saudara laki-laki, tapi aku baru tahu kalau
ternyata kembar.”
“Omong-omong aku juga sering ngobrol dengan Yabu Miharu setiap kami bertemu di
perpustakaan. Yah, tapi akhir-akhir ini dia lumayan jarang ke perpustakaan. Ternyata karena
kamu toh alasannya.” Kei menepuk kepalaku pelan. Walau begitu aku merasa tidak senang.
Ketika Kei mengatakan tentang Miharu, Kei terlihat seperti menaruh perhatian kepada
Miharu. Aku tidak mau Kei tertarik pada wanita manapun.
***
Pagi ini aku datang agak pagi. Aku memasuki gedung sekolah. Mataku terpaku pada sebuah
amplop hitam yang terselip di loker sepatuku. Amplop apa ini?, pikirku.
Aku menyimpannya di dalam tasku dan ketika aku mengganti sepatuku, aku merasakan sakit
yang menusuk pada telapak kakiku. Aku segera membuka sepatuku yang baru saja kuganti
ini dan betapa terkejutnya aku ketika aku menemukan sebuah paku di dalam sepatuku.
“Yabu-san?”
Aku mendengar suara yg familier di dekatku. Aku berbalik dan melihat sosok Inoo Kei, dan
Raura berdiri di belakangnya.
“Kakimu terluka! Kau baik-baik saja??” Raut cemas terlihat jelas di wajahnya, “Ayo kita ke
UKS!”
Dia menopangku agar aku bisa berjalan. Tapi sebelum kami pergi ke UKS, aku sempat
melihat ke arah Raura dan aura yg sangat menakutkan terasa ketika melihatnya diam berdiri
dengan tatapan yang sangat dingin yang tidak pernah kulihat selama ini.
“Nah! sampai sini saja ya, aku akan kembali ke kelasku.” ucap Kei setelah mengantarku ke
kelas.
“Miharu-chan! Kau tidak apa-apa? Kakimu baik-baik saja?” Raura langsung menghampiriku
ketika ia menyadari kehadiranku di kelas. Wajahnya tampak sangat khawatir. Ya, mungkin
tatapannya yang kulihat tadi pagi hanya perasaanku saja. Karena walaupun Raura jarang
berinteraksi dengan teman sekelas kami, aku tahu benar dia adalah orang yang ceria dan
sangat pengertian.
Aku duduk di kursiku ketika guru kami masuk ke kelas. Di tengah pelajaran, aku teringat
dengan amplop hitam yang kutemukan di lokerku pagi ini. aku diam-diam mengambil
amplop itu dan melihat isinya.
‘MATI’
Mataku langsung terbelalak dan aku segera menutup mulutku agar aku tidak mengeluarkan
suara apapun. Isi amplop misterius ini sungguh mengejutkanku. Isinya adalah selembar kertas
bertuliskan kata ‘MATI’ yang besar dan ada beberapa bercak berwarna merah seperti darah.
Siapa yang tega mengirim benda ini padaku?
Hal aneh terus terjadi sejak hari itu. Setiap hari aku selalu mendapati bunga mawar yang
membusuk di laci mejaku, buku-bukuku penuh dengan sayatan cutter, dan berbagai hal
lainnya. Aku tidak menceritakannya pada siapapun, baik Kouta maupun Raura. Aku hanya
berharap teror ini segera berakhir.
***
Kenapa wanita yang mendekati Kei tidak ada habisnya? Seberapa banyak pun orang-orang
yang kulukai kenapa masih ada saja yg berusaha merebut Kei dariku? Dan wanita itu…
berani-beraninya dia memanggil Kei dengan nama. Memangnya siapa dia? Sok akrab sekali
dengan Kei. Semoga dengan ini kau jera dan tidak akan pernah mendekati Kei lagi seumur
hidupmu.
Aku merusak rem sepeda wanita itu. Jika kau sampai pergi ke alam sana aku malah lebih
senang.
“Hei! Apa yg kau lakukan?” seru seseorang. Aku mendengar langkah kakinya mulai
mendekatiku. Tanpa melihat wajah orang itu aku langsung melarikan diri. Aku tidak tahu
apakah orang itu sempat melihat wajahku atau tidak.
***
“Kei, aku duluan ke kelas ya!” ucapku pada Kei yg masih mengganti sepatunya.
“Oke,” balasnya.
Sebelum aku berjalan lebih jauh, aku menyadari ada teman Kei yang menghampiri Kei
dengan membawa berita bagus. Ya, berita bagus untukku.
“Inoo! Kau tahu? Kemarin Mizuki dari kelas kita terkena kecelakaan. Katanya ketika
bersepeda di turunan, rem sepedanya rusak dan akhirnya ia tidak bisa berhenti dan kemudian
menabrak sebuah mobil.”
Aku tidak bisa menyembunyikan senyum lebarku. Ketika aku mau lanjut berjalan ke kelasku,
aku menyadari ada seorang pria berbadan kurus namun tinggi sedang menatapku dari jarak
beberapa meter dari posisiku. Aku menatapnya balik. Dan pancaran mata kami sama-sama
seperti sedang mengobservasi isi pikiran satu sama lain. Dan tidak lama, ia menghadapkan
punggungnya padaku dan pergi menjauh. Entah siapa pria aneh itu.
Jam istirahat. Tentu saja aku membawa Miharu ke atap lagi. Tidak mungkin aku
membiarkannya menghabiskan waktu dengan Kei.
“Ne, Raura-chan,”
“Hm?”
“Se-sebenarnya aku….”
“Ya?” Perkataannya… aku sudah tahu kemana perkataan ini menjurus. Dan aku berharap dia
tidak dengan bodohnya mengatakannya.
“Sebenarnya aku menyukai kembaranmu, Inoo Kei..”
Dia mengucapkannya. Dengan ini aku tidak akan segan-segan lagi memberikanmu pelajaran.
Kau memang bodoh sekali, Miharu.
“Raura-chan?”
“Eh? Aaah… jadi Miharu-chan memyukai Kei ya?”
“Apa-apaan dengan reaksi biasamu itu?” Ia mencubit tanganku pelan.
“Hahaha maaf. Habisnya seorang wanita jatuh cinta pada Kei itu hal yang wajar. Siapa sih
yang bisa menolak ketampanan Kei?” Kami tertawa bersama. Tapi bagiku, tentu saja aku
menertawai dirinya yang bodoh ini.
“Oh iya, Miharu-chan! Maaf hari ini kayaknya kita tidak bisa pulang bersama. Aku ada
keperluan mendadak.”
“Eeeeh?? Tapi Kouta kan lagi ada kegiatan klub, berarti aku harus pulang sendiri dong?”
“Maaf~ Maaf~”
***
“Aku pulang duluan ya, Raura-chan.”
Miharu mendahuluiku pergi. Ada urusan mendadak? Tentu saja itu bohong. Tidak lama sejak
Miharu keluar dari kelas, aku pun juga keluar kelas dan mengikutinya diam-diam dari
belakang. Aku mengikutinya sampai keluar area sekolah.
Situasi ini sempurna., pikirku ketika melihat posisiku dan Miharu. kami berada di pinggir
jalan raya menunggu lampu hijau untuk pejalan kaki menyala. Miharu berada paling dekat
dengan jalan raya dan di sekitar kami cukup ramai orang sehingga aksiku bisa tertutupi. Aku
perlahan mendekati Miharu dan mulai mengarahkan tanganku untuk mendorong Miharu.
Tapi…
“Apa yang mau kau lakukan?” Seseorang menggenggam tanganku yang mau kupakai untuk
mendorong Miharu ke jalan raya. Aku melihat wajah orang ini dan apa yang kulihat adalah
pria tinggi yang kulihat pada pagi ini.
Lampu hijau untuk pejalan kaki menyala. orang-orang di sekitarku mulai menyeberangi jalan
dan kini di sekitarku hanya terdapat aku, pria yang menghancurkan rencanaku, dan…
“Raura-chan?” Dan Yabu Miharu, “Bukannya kau ada urusan? Eh, Kouta? kenapa kau ada
disini?”
Aku membelalakkan mataku. Jadi dia kembaran Miharu yang selalu diceritakannya.
“Klubku diliburkan hari ini. Makanya aku pulang.”
Aku menundukkan kepalaku. Aku berusaha mengingat apa yang sepertinya aku lupakan. Aku
terdiam sejenak. Suara itu… Suara orang yang memergokiku ketika merusak rem sepeda
Mizuki. Suara yang sama persis… Yabu Kouta. Suara itu berasal darinya. Tidak salah lagi.
Jadi itu sebabnya kenapa dia menatapku pagi ini. Dan sekarang dia memergokiku terang-
terangan ketika aku mau mencelakai kembarannya. Aku ketahuan.
“Raura-chan, kau baik-baik saja?” tanya Miharu padaku.
Mana mungkin aku baik-baik saja. Sekarang ada orang yang sudah mengetahui apa yang
kulakukan. Aku takut. Aku harus bagaimana?
“Raura-chan?”
Diam.
Diam.
Diam.
Diam kau! Suaramu itu membuatku tambah kesal.
Aku merasakan tetesan air mata yg hangat lewat di pipiku. Kenapa aku menangis? Aku
segera menghempaskan tangan Yabu Kota yang menggenggam tanganku sedari tadi dan aku
pergi menjauh dari mereka tanpa menunjukkan mukaku.
***
“Kenapa dia menangis?” Aku masih melihat ke arah Raura pergi. Lalu melihat Kouta yang
tampak begitu waspada, “Kau kenal dia?”
“Lebih baik kau tidak berteman dengannya.”
“Kenapa?” Sejak kapan Kouta jadi seposesif ini? Apa salahnya aku berteman dengan Raura?
“Pokoknya aku bilang tidak, ya tidak!” Dia membentakku. Aku terkejut, beberapa pejalan
kaki sempat melihat ke arah kami karena besarnya suara Kouta, “Mulai besok, saat jam
istirahat dan saat pulang aku akan menjemputku ke kelas. Mengerti?”
Kouta menatapku seakan tidak boleh dibantah. Aku menelan ludah, apa yang terjadi? Apa dia
tahu kalau ada orang yang menerorku? Lalu kenapa dia mencurigai Raura?
“Kau dengar kan, Miharu?”
“Iya..” jawabku pasrah. Dia langsung menarik tanganku dan sama sekali tidak melepaskan
genggaman tangannya sampai kami tiba di rumah.
Keesokan harinya, saat istirahat Kouta langsung saja masuk ke kelasku dan menarikku pergi.
Beberapa temanku melihat kami dengan tatapan aneh. Sementara Raura hanya melirik kami.
Sebenarnya, sejak kejadian kemarin. Dia sama sekali tidak melihatku. Saat aku memanggil
namanya, dia pura-pura tidak mendengar. Ketika aku mendekatinya, dia menghindar dan
pergi menjauhiku. Tapi saat Kouta datang, dia melirik kami. Entah itu melirikku atau Kouta.
“Kouta, kenapa kita duduk di tangga menuju atap?”
“Aku mau mengawasinya.”
“Siapa?”
“Dia.”
Apa maksudnya? Kouta, kenapa aku tidak bisa menjangkau pikiranmu?
Aku menghela napas, “Aku mau ke perpustakaan saja.” Aku beranjak pergi, namun
tangannya langsung menarikku.
“Jangan jauh dariku. Nanti kau bisa bahaya.”
“Apa sih, Kouta. Memangnya siapa yang akan mencelakakanku? Duduk disini hanya
menghabiskan waktu dengan percuma, aku mau ke perpustakaan dan melihat In—ah, tidak.
Maksudku membaca buku.” Bodoh, hampir saja keceplosan.
Dia menatapku menyelidik, “Kau menyukai Inoo-kun kan?”
“Kau bicara apa?”
“Dia pernah bercerita padaku kalau kalian sering bertemu di perpustakaan karena hobi
membaca kalian itu.”
Ah, sial. Kouta tahu tentang itu.
“Kami sehobi, wajar kalau kami dekat.” elakku.
“Masalahnya, setiap siswi yang dekat dengannya pasti celaka. Percaya padaku, dia membawa
sial.”
Aku menyerngit, “Aku tidak mengerti apa maumu.”
Aku berlari meninggalkannya. Dadaku terasa sesak. Apa-apaan Kouta berbicara seperti itu.
Dia mengejarku, aku kenal langkah kaki panjangnya itu. Enggan dihentikan oleh Kouta, aku
langsung berbelok ke toilet.
Di dalam sana aku melihat Raura sedang mencuci tangannya, dia tahu aku di sana.
“Raura-chan..” Dia tetap diam sambil terus menggosok telapak tangannya, “Kau baik-baik
saja kan? Aku khawatir.”
“Ya, aku baik-baik saja kok. Jangan khawatir.”
Dia tersenyum, sangat tipis. Dia mematikan kran airnya lalu pergi meninggalkan aku yang
masih melihat sampai tidak tampak lagi.
***
Aku pikir waktu itu kembarannya akan menghakimiku habis-habisan di sekolah dan
mengatakannya pada Kei. Sudah dua minggu sejak kejadian itu, tidak ada yang terjadi
padaku.
Sekarang saatnya aku mengatur strategi. Aku sudah tidak tahan! Miharu sudah bisa bebas
dekat dengan Kei. Sementara Yabu Kouta… entahlah. Waktu itu aku melihatnya menyeret
Miharu saat istirahat. Aku melihatnya, bukan. Meliriknya. Begitu juga mereka. Tapi mataku
hanya fokus pada Yabu Kouta, orang yang sudah memergokiku.
Sejak saat itu, hubungan mereka tampak tidak akur. Yabu Kouta selalu datang ke kelas kami
saat istirahat dan pulang tapi Miharu tampak menghindarinya. Pemuda itu pun akhirnya
selalu menitip pesan pada Yumi—teman dekat Miharu untuk menjaganya. Aku pikir ketika
itu sudah aman, aku tidak perlu berurusan dengan Yabu bersaudara itu lagi. Tapi pemikiran
itu seketika hilang saat aku melihat Miharu dan Kei pulang bersama. Kei membonceng
Miharu. Hei, aku yang saudaranya saja jarang bisa berboncengan dengan Kei!
Sial.
Sial.
Sial! Kubunuh kau, Miharu!!
Seketika aku merasa sedang diperhatikan. Aku pun mengedarkan pandanganku ke segala arah
dan menemukan Yabu Kouta melirikku tajam. Wajahnya memang tidak mengarahku tapi
pandangannya yang penuh dengan aura gelap tertuju padaku. Apa perlu aku singkirkan dia
juga?
Aku pun pergi meninggalkan sekolah dengan sepedaku, namun dia mengikutiku. Entah sejak
kapan dia juga menggunakan sepeda. Aku terus mengayuh sepedaku tanpa
mempedulikannya. Dia tetap mengikutiku padahal setahuku rumah kami beda arah.
Kesal, aku pun berhenti dan memutar sepedaku ke arahnya, “Apa maumu?”
Dia diam saja sambil terus menatapku tidak suka. Apa-apaan dengan matamu itu!
“Aku tidak ada urusan denganmu, Yabu-kun.” Aku tersenyum manis lalu mulai mengayuh
sepedaku lagi.
“Aku tidak akan melepas pandanganku darimu.”
Hah? Kau bicara apa? Kau seperti sedang menyatakan cinta, kau tahu?
“Apa maksudmu? Kau masih mengingat kejadian itu ya? Aku hanya iseng saat itu.”
“Iseng? Kau merusak sepeda orang itu iseng? Mendorong orang dari tangga juga? Tidak bisa
kupercay— hei! Kau mau lari ya?”
Aku segera mengayuh sepedaku dengan kencang dan masuk ke gang kecil yang bisa jadi
jalan pintas ke rumah. Jadi selama ini dia mengawasiku?
***
“Raura, makan malam sudah siap. Ayo makan.” sahut Kei dari balik pintu kamarku.
“Aku tidak lapar,”
Sejenak suasana mnjadi hening. Aku mengira Kei sudah pergi, tapi aku salah.
“Raura, kalau kau punya masalah, cerita saja padaku,”
“Aku tidak apa-apa Kei, tidak usah khawatir.”
“Tapi akhir-akhir ini kau jadi sedikit aneh. Bagaimana aku tidak khawatir?” Aku tidak
membalas kata-kata Kei lagi. Setelah beberapa menit, aku baru mendengar langkah kaki Kei
yang menjauh dari depan pintu.
Aku termenung di ruanganku yang gelap tanpa seberkas cahaya sedikitpun ini. Aku tidak
tahu kenapa tapi semenjak aku bertemu dengan Yabu Kouta itu emosiku jadi semakin tidak
stabil. Bahkan aku tidak bisa menunjukkan senyuman yang selalu kutampakkan setiap aku
berada bersama Kei. Yabu Kouta itu menjengkelkan. Dia lebih menjengkelkan dari wanita-
wanita jalang yang mendekati Kei selama ini. Yabu Miharu juga sama. Aku benci dengan dua
kembaran itu. Apa yang harus kulakukan?
Aku turun dari tempat tidurku dan menuju ke meja belajarku. Aku membuka lacinya dan
mengambil benda berhargaku yang ada di dalamnya, sebuah cutter yang ketajamannya
terlihat jelas dari kilauan indahnya.
***
Sejujurnya aku sudah bosan terus-menerus menyingkirkan hama yg mendekati Kei tanpa ada
habisnya. Tapi rasa sayangku terhadap Kei jauh lebih besar dari rasa bosan itu.
Mungkin Kei akan terkejut saat menyadari aku sudah tidak ada di kamarku dari pagi-pagi
sekali. Aku pergi ke sekolah lebih dulu tanpa menampakkan mukaku padanya. Aku
memasuki ruang kelasku yang sepi tidak ada orang dan langsung menuju meja seseorang
yang paling kubenci. Yabu Miharu.
Aku mengeluarkan cutter tersayangku dan siap untuk melakukan sesuatu terhadap meja Yabu
Miharu. Sayang, ujung mata cutter-ku bahkan belum menyentuh permukaan meja itu tapi
sudah ada saja pengganggu yang menghentikan tanganku.
“Apa yang mau kau lakukan kali ini, Inoo Raura?” Yabu Kota sialan ini lagi-lagi
menghancurkan rencanaku, “Aku tanya, apa yang mau kau lakukan kali ini di meja
kembaranku, huh?”
Ia mendekatkan mukanya padaku dan memperlihatkan muka tidak senangnya.
Aku melihat tepat di matanya tapi tidak memberikan jawaban apapun. Ia mengeratkan
genggamannya pada tanganku. Sakit, itu yang aku rasakan. Dia benar-benar marah karena
aku mengusik kembarannya. Tapi kembarannya itu, Miharu, juga mengusik kehidupanku!
Dia duluan yang berani-beraninya mendekati Kei! Aku hanya memberinya pelajaran! Apa
salahku??
Kei…
Hanya dengan mengingat Kei, air mataku mengalir dari mataku. Aku baru menyadari akhir-
akhir ini aku jarang melihat wajahnya. Jarang berbicara dengannya, hanya karena mengurusi
hama-hama ini.
“Lepaskan…” ucapku pelan.
“Tidak. Aku tidak akan melepaskanmu sebelum kau menjelaskan motifmu,”
“LEPASKAN BODOH!! KAU TIDAK AKAN MENGERTI BAGAIMANA
PERASAANKU!!!” Aku mendorongnya sehingga aku terlepas dari genggamannya.
Aku keluar meninggalkan Yabu Kouta yang memakai ekspresi kaget entah bingung. Aku
berlari menuju atap dan mengeluarkan emosiku yang kutahan sedari tadi. Aku duduk dengan
memeluk lututku dan menangis. Aku membenamkan kepalaku sehingga tidak ada siapapun
yang melihat air mataku.
“Tidak ada yang bisa mengerti perasaanku.”
“Memangnya perasaan seperti apa?”
Aku tersentak dan mengangkat kepalaku. Lalu mencari asal suara.
“Kenapa kau ada disini?” Aku melihat Yabu Kouta sudah di depanku. Dengan cepat aku
hapus airmataku. Aku tidak ingin dia berpikir kalau aku lemah.
“Aku disini karena kau mencoba melukai kembaranku!”
“Itu karena dia yang memintanya! Kenapa juga harus dekat-dekat dengan Kei? Dia pikir dia
siapa? Tidak ada yang bisa dekat dengan Kei selain aku!!” Tanpa sadar aku mengutarakan
perasaanku dan kembali menangis. Aku sudah tidak peduli dia akan melakukan apa padaku.
Persetan dengan rasa takut. Aku lelah karena selalu saja dia memergokiku.
“Jadi karena Miharu dekat dengan saudaramu?” tanyanya, “Dasar bodoh!”
“Apa maksudmu? Kau sama sekali tidak mengerti perasaanku!” jawabku.
Dia tertawa, “Kau pikir aku tidak cemburu melihat Miharu dekat dengan saudaramu?
Tersenyum padanya yang seharusnya hanya untukku, juga tertawa bersamanya. Itu kan yang
kau rasakan?”
Aku terdiam. Ada yang memiliki perasaan yang sama denganku. Perasaan memiliki pada
saudara kembar kami.
“Tapi aku tidak pernah melukai Inoo-kun. Apa pernah kau dengar keluhan darinya sejak
dekat dengan Miharu?” Dia duduk di sampingku. Aku melihatnya, dia tersenyum, “Miharu
itu… sejak dekat denganmu selalu saja terlihat ceria. Dia selalu menceritakanmu padaku
dengan penuh senyum, dia bahagia bisa berteman denganmu.”
“Itu karena aku menceritakan tentang Kei padanya.” elakku, masih berusaha tidak terbawa
suasana dan bersimpati pada Miharu.
“Haha… mungkin kau pikir begitu, tapi kau salah. Dia memang sangat-sangat-sangat senang
berteman denganmu,” Aku menatapnya dalam diam, “Bahkan saat aku menyuruhnya untuk
jauh darimu, dia protes.”
“Jujur saja, aku berteman dengan Miharu-chan karena ingin menjauhkannya dari Kei. Tidak
ada niatku yang lain selain itu.”
Dia mengangguk, “Aku tahu. Aku punya perasaan yang sama sepertimu, tapi aku tidak bisa
mencelakakan laki-laki yang pernah dekat dengan Miharu.”
Dia menatapmu kemudian tersenyum sampai matanya hilang. Lalu dia menyodorkan jari
kelingkingnya padaku.
“Apa?” tanyaku bingung.
Senyumnya langsung memudar dari wajahnya. Matanya menatapku dalam, matanya tidak
terlihat menakutkan lagi seperti waktu melihatku sedang berbuat tidak baik pada saudaranya,
melainkan terlihat sangat lembut dan menenangkan.
“Bagaimana kau kita menyetujui mereka berdua? Kau merelakan Inoo-kun untuk Miharu dan
aku merelakan Miharu untuknya. Kemudian berjanji untuk tidak melukai mereka berdua.”
***
Aku mencari Kouta di kelasnya, tapi nihil. Dia pergi pagi-pagi sekali dan meninggalkan
sarapan untukku. Walau aku masih tidak akur dengannya, aku tetap khawatir. Hanya dia
saudaraku yang paling mengerti.
“Yabu-san, kenapa disini?”
Aku berbalik ke arah suara dan menemukan Inoo Kei melihatku heran, “Aku mencari
Kouta.”
“Apa dia hilang juga pagi ini?”
Juga? Memangnya Kouta pernah hilang sebelumnya? Atau jangan-jangan…..
“Raura-chan juga?” Dia mengangguk.
“Aku cari di kelasmu, dia tidak ada.”
Benar, Raura tidak ada di kelas. Bahkan tasnya pun tidak ada. Hanya ada beberapa orang saja
yang baru datang.
“Bagaimana kalau kita cari bersama?” usulnya.
“Eh? Kemana?”
“Kita keliling sekolah saja dulu. Sudahlah, ayo!” Dia menarik tanganku untuk mengikutinya.
***
“….kemudian berjanji untuk tidak melukai mereka.”
Aku baru saja mau mengaitkan kelingkingku dengan kelingkingnya, tapi aku segera
mengurungkan niatku.
“Aku tidak mau,” ucapku.
“Apa? Kenapa??”
“Tidak sama. Kita tidak sama! Kau dan aku sama sekali berbeda!”
“Apanya yang beda, huh??”
Aku terdiam sejenak. Aku ragu mau mengatakannya atau tidak. Aku melihat ke arahnya. Ia
terus menatapku penasaran tetapi bercampur dg ekspresi yg sedikit kesal.
“Kau dan Miharu. Kalian masih mempunyai orangtua yang menyayangi kalian. Sedangkan
aku, sedari kecil aku selalu diperlakukan seperti sampah oleh kedua orangtuaku. Di bully oleh
teman-teman sekelasku di sekolah. Dan hanya Kei-lah satu-satunya orang yang selalu
menyayangiku,” Aku mengatakan kenangan pahitku tanpa memandang pria jangkung ini.
Mengingat pengalaman menyakitkan itu saja sudah membuatku seperti mau menangis lagi.
Aku menundukkan kepalaku dalam-dalam untuk menahan air mata yang mencoba kabur dari
mataku.
Seketika aku merasakan ada sepasang tangan yang melingkari tubuhku dengan lembut. Apa
dia mengasihaniku? Memang benar aku mengalami kepahitan. Tapi sekarang aku sudah
mendapatkan kebahagiaan bersama kei.
“Karena aku tidak lagi menderita setelah membunuh orangtuaku.” bisikku pelan.
“Eh?”
BRAK
Aku mndengar suara pintu atap terbuka.
“AAH KOUTA!!” Miharu berseru lega. “Eh? Ra—”
“Raura??” Sebuah suara memotong perkataan Miharu. Suara itu… Suara milik Kei. Apa yang
dilakukan Kei bersama Miharu? Kenapa mereka bisa berdua?
“Hei, kau apakan Raura!?” seru Kei pada Kouta saat melihat Kouta memelukku.
“Tunggu, tunggu, tunggu, jangan salah paham dulu!”
Yabu Kota melepaskan pelukannya, tapi aku masih membenamkan mukaku di dadanya. Aku
menggenggam kuat seragamnya untuk menahan emosiku, sangat kuat. Aku tidak mau
melihat pemandangan Kei berdiri bersebelahan dengan Miharu. Dan sepertinya Yabu Kota
mengerti isi pikiranku, “Maaf, bisa kalian tinggalkan kami berdua dulu? Ada sesuatu yang
mau kubicarakan dengan Raura-san.”
Untuk beberapa detik aku tidak mendengar suara apapun dari Kei dan Miharu. Mungkin
mereka khawatir melihat situasi kami yang tidak biasa ini.
“Baiklah, tapi aku tidak akan memaafkanmu jika terjadi sesuatu dengan Raura!”
“Kouta! Jangan berbuat yang aneh-aneh,ya dengan Raura-chan~” ucap Miharu dengan nada
menggoda.
Mereka akhirnya memutuskan untuk meninggalkan kami berdua.
“Hei,” Yabu Kota menahan pundakku dan menatap wajahku dengan ekspresi serius, “Apa
maksud perkataanmu tadi?”
Hah? Perkataanku yang mana? Memangnya tadi aku mengatakan apa?
“Apa maksudmu tentang kau membunuh orangtuamu??”
Eh? Mungkinkah tadi aku mengucapkan isi hatiku tanpa kusadari?
“Hei, jawab!”
Mana mau kujawab! Memangnya siapa kau sampai aku harus memberitahukan tentang
rahasia pribadiku!
“Jawab aku, Inoo Raura!” Dia mengangkat wajahku dan menatap wajahku dengan ekspresi
yang memaksaku untuk membuka mulut. Wajahnya begitu dekat dengan wajahku dan
matanya tidak pernah lepas dari menatap tepat di mataku.
Aku mendorongnya, tapi dia malah menggenggam erat tanganku.
“Jawab dulu pertanyaanku,”
“Aku tidak mau. Aku merasa tidak perlu mengatakannya kepada orang yang tidak ada
hubungannya sama sekali denganku,”
“ADA!” Aku terdiam mendengar suara lantang dari Yabu Kota. Apa yg dia maksudkan itu?
“Tentu saja ada! Kau sudah berkali-kali mencoba mencelakai kembaranku! Tentu saja ada
hubungannya denganku!” Aku masih diam menatapnya, aku baru saja mau membalas tetapi
dia melanjutkan perkataannya dengan nada yang lebih lembut.
“….dan karena aku peduli padamu,”
Hah? Omong kosong apa ini? Kenapa dia tiba-tiba berkata kalau dia peduli padaku? Aku kan
bukan siapa-siapa untuknya.
“Tidak usah sok peduli padaku!” Aku berusaha untuk berdiri tetapi dia malah mendorongku
jatuh hingga punggungku menempel dengan lantai dan kedua tanganku ditahan olehnya,
sedangkan ia berada di atasku.
“Aku tidak akan membiarkanmu lari sebelum semua ini selesai.”
Aku terus terdiam. Sedangkan ia terus menatapku yang berada di bawahnya. Dia benar-benar
memojokkanku. Aku tidak bisa lari lagi. tidak ada pilihan lagi bagiku.
“Kau tahu….” Akhirnya aku memutuskan untuk menceritakan masalahku pada pria jangkung
ini, “Aku dan Kei adalah yatim piatu dari kami masih bayi. Ketika kami berumur enam tahun,
ada sepasang suami istri yang mengangkat kami berdua jadi anak mereka. Tapi semenjak aku
tinggal dengan orangtua angkatku, mereka selalu memperlakukanku dengan buruk karena
mereka merasa jijik padaku yang tidak pernah berekspresi sedikit pun. Di mata mereka aku
hanya terlihat seperti boneka hidup, seperti tubuh yang kosong tidak berisi jiwa sama sekali.
Bagiku yang sudah yatim piatu dari bayi, tentu saja aku tidak mengerti arti kebahagiaan. Tapi
mereka bukannya mengajarkanku apa itu kebahagiaan, mereka malah memperlakukanku
seperti sampah. Bukannya memberikanku kasih sayang, mereka malah terus-menerus
memukuliku. Hanya Kei yang selalu membelaku.”
Aku memberi jeda sejenak untuk menarik nafas. Yabu Kota masih serius mendengarkan
ceritaku kata demi kata.
“Musim panas kelas dua SMP, aku membunuh mereka dengan tanganku sendiri. Kau tahu
cutter yang tadi pagi kubawa? Itulah senjata yang kupakai untuk memotong nadi mereka.
Mereka tergeletak di lantai dan darah merah berceceran dimana-mana. Itulah pertama kalinya
aku bisa membuat senyum bahagia. Senyuman atas kepuasan telah menyingkirkan mereka.
Hahahahaha… Tidak lama setelah itu, Kei pulang ke rumah. Jelas sekali dia shock melihat
pemandangan di depan matanya. Aku melihat dia bergegas menelpon ambulans. Kedua
orangtuaku segera dibawa ke rumah sakit. Ketika di rumah sakit menunggu kabar orangtua
kami, Kei tidak pernah melepaskanku dari pelukannya. Aku mulai mengerti bagaimana
membuat senyuman berkat kehangatan Kei. ‘Tidak apa-apa. tidak apa-apa,’ ucap Kei sambil
terus mengusap punggungku. Kei tau bahwa aku lah yang mencelakakan orangtua angkat
kami, tapi ia tetap menenangkanku dan menyayangiku. Hanya Kei satu-satunya yang
menyayangiku. Orangtuaku tidak mati, mereka masih hidup. Dan setelah itu mereka
memberikan rumahnya untuk kami sedangkan mereka tinggal di luar negeri. Mereka masih
membiayai kehidupan kami sehari-hari dan juga kebutuhan sekolah. Tapi mereka tidak
pernah lagi menampakkan diri mereka di hadapanku. Mungkin orangtuaku memang selamat
dari insiden itu, tapi bagiku mereka sudah mati. Hahahahahaha.. Hanya Kei lah satu-satunya
keluargaku dan orang kusayangi.”
Aku menceritakan semuanya pada Yabu Kota. Aku tertawa puas. Tapi entah mengapa ada air
mata yang mengalir dari mataku. Pria itu melepaskan genggamannya dari tanganku. ia
menyingkir dari atasku. Ia menarikku dari posisiku dan memelukku. Aku merasakan
kehangatan yang sama seperti Kei dan itu membuatku tenang.
Pin Pon Pan Pon.
Aku mendengar bel masuk berbunyi. tanpa berkata apa-apa, aku melepaskan diriku dari
pelukannya dan pergi ke kelas.
Sepanjang pelajaran berlangsung, aku tidak menatap maupun berbicara pada Miharu sama
sekali.
Pada jam istirahat, aku melihat Kei berjalan di koridor, dan tiba-tiba Miharu datang dan
menarik tangan Kei. Emosiku benar-benar meluap kali ini. Aku mencoba menahan emosiku
dengan mengepalkan tanganku sangat erat. Tapi emosiku tidak bisa tertahan lagi. Aku
melangkahkan kakiku ke arah mereka.
“Jangan!” Sebuah genggaman yang familier mencoba menahanku.
“Lepaskan!” Aku memberontak dan berhasil melepaskan tanganku dari genggamannya.
Aku hendak melanjutkan langkahku kembali tetapi Yabu Kota membalikkan badanku dengan
cepat, kedua tangannya memegang pipiku dan… Dia menyatukan bibirnya dengan bibirku.
Aku tidak bisa berkata-kata lagi. ini pertama kalinya aku dicium oleh seseorang. Badanku
terasa lemas dan jantungku berdetak tidak beraturan. Setelah beberapa lama, ia melepaskan
ciumannya. Ia menatap mataku. Wajahnya hanya beberapa milimeter dari wajahku.
“Aku mohon. Tolong hentikan semua ini. Jangan sakiti siapapun lagi.”
Ia meraih tanganku dan memegangnya. Tiba-tiba ia menyadari sesuatu dan melihat telapak
tanganku.
“Tanganmu… Berdarah…”
Ah…
“Kau selalu mengepalkan tanganmu kuat-kuat setiap kau menahan emosimu?”
Benar juga. Entah sejak kapan aku selalu terbiasa seperti itu dan aku juga sudah terbiasa
dengan rasa sakitnya sehingga aku tidak sadar aku masih melakukan kebiasaan seperti ini.
“Ayo kita obati tanganmu,”
Ia membawaku ke UKS dan mengobati sendiri lukaku. Ia membalutkan perban di kedua
tanganku. Setelah selesai mengobati, dia memegang tanganku lembut dan menatap wajahku.
Aku menatapnya balik tanpa berkata apa-apa.
“Aku mohon jangan gunakan tanganmu untuk menyakiti siapa-siapa lagi, termasuk dirimu
sendiri. Kau hanya melukai mereka karena bagimu hanya Inoo-kun yang satu-satunya
menyayangimu kan? Bagaimana kalau aku juga ikut menyayangimu? Berarti kau tidak punya
alasan untuk merasa kehilangan orang yang menyayangimu kan jika Inoo-kun tidak ada,”
Aku hanya berdiam diri. ia mendekatkan wajahnya dengan wajahku.
“Kau boleh melihat wajahku kalau kau masih emosi melihat mereka bersama.”
***
Aku menuruni tangga bersama Inoo Kei. Sejak melihat Kouta memeluk Raura, dia menutup
mulutnya rapat-rapat.
“Inoo-kun..”
“Hm?” Dia sama sekali tidak melihat ke arahku.
“Kouta.. Kouta tidak akan melukai Raura-chan. Percayalah padaku.” Aku tidak ingin dia
berpikiran macam-macam pada Kouta.
Dia berhenti melangkah, “Bukan itu yang aku khawatirkan.” Dia menggerakkan kepalanya,
melihatku dengan wajah serius, “Aku tidak berpikir akan ada laki-laki yang disukai Raura.”
“Eh?”
Dia bergerak duduk di salah satu anak tangga dan mengibaskan tangannya untuk menyuruhku
duduk di sampingnya. Aku pun mengikuti perintahnya.
Dia mulai bercerita, wajahnya terlihat lebih serius daripada saat dia membaca buku. Malah
lebih ke arah tegang. Namun sorot matanya terlihat sedih. Aku mendengar ceritanya tentang
Raura dengan setia.
“Raura itu sepenuhnya selalu bergantung padaku, makanya aku khawatir saat tahu kami beda
kelas. Janji ya, jangan bilang tentang ini pada Raura.” katanya setelah selesai bercerita. Aku
menatapnya lalu mengangguk mantap.
“Aku tidak akan menceritakan ini pada siapa pun. Aku janji.” Lalu mengeluarkan
kelingkingku dan mengarahkan padanya. Dia tersenyum lembut kemudian melingkarkan
kelingkingnya dengan kelingkingku.
Tanpa disadari, wajah kami begitu dekat. Matanya yang masih bertatapan denganku seakan
mencari sesuatu di mataku dengan tatapan sendu. Entah gerakan dari mana, aku mendekati
wajahku padanya dan membiarkan jarak kami semakin dekat dan tak berjarak lagi. Aku
menempelkan bibirku di bibir penuh miliknya itu. Dia masih terkejut saat aku melepaskan
ciumanku. Aku pun tersadar dengan apa yang aku lakukan.
“M-maaf… Aku…” Aku langsung meminta maaf padanya. Aku tidak sengaja menciumnya,
bagaimana ini?
“Aku tidak—”
Pin Pon Pan Pon.
Aku langsung melarikan diri saat bel masuk berbunyi dan meninggalkannya yang
kebingungan sambil memanggil-manggil namaku.
Di dalam kelas, aku tidak fokus dengan pelajaran yang sedang dijelaskan oleh guru.
Pikiranku hanya penuh dengan Inoo Kei. Bahkan aku sekarang sedang memegang bibirku,
mencoba mengingat betapa hangatnya bibirnya. Tapi setelah itu, aku mencoba
menghilangkan pikiran itu karena aku merasa wajahku panas sekali.
Kalau dipikir-pikir, aku menciumnya karena tidak ingin melihat tatapan sedihnya itu. Hatiku
sakit saat melihat matanya sedikit berair waktu bercerita tadi. Aku tidak ingin melihat orang
yang aku sayangi bersedih. Aku hanya ingin senyum bahagia yang keluar di wajahnya. Aku
ingin dia merasa senang, tapi aku sudah melakukan hal bodoh. Ah, bagaimana bisa aku
melihatnya lagi? Apakah dia marah karena aku menciumnya? Ah~ Miharu selalu saja
melakukan hal bodoh.
Sejenak aku melihat ke arah Raura. Dia diam saja, mendengar guru juga tidak. Dia hanya
melihat ke arah jendela, entah apa yang sedang dia pandangi. Dia memang penyendiri.
Sebelum dia mendekatiku, aku tidak pernah melihatnya mempunyai teman. Pantas saja kalau
Inoo Kei sangat khawatir padanya. Sama seperti aku khawatir saat tahu aku dan Kouta
berbeda kelas. Rasanya ada yang hilang dari hidupku karena aku selalu bergantung pada
Kouta dan Kouta pun begitu. Kami saling mengisi dan menjaga satu sama lain.
Jam istirahat pun tiba. Aku langsung keluar kelas namun baru saja aku tiba di pintu, aku
menemukan Inoo Kei sedang berjalan di lorong menuju ke kelasku. Tanpa pikir panjang, aku
langsung menarik tangannya. Tidak peduli dengan berbagai tatapan yang tertuju pada kami.
Setiba di atap, aku menarik napasku dalam. Lelah juga menariknya sampai kesini. Dia
menatapku. Aduh, apa yang harus aku katakan?
“Maaf.” Hanya itu yang bisa aku ucapkan. Dia menatapku semakin bingung, “Maaf sudah
menciummu. Aku tidak sengaja.”
Dia menutup mulutnya menahan tawa. Aku bisa melihat pundaknya bergetar dan satu
tangannya memegang perutnya. Setelah itu, dia mendekatiku, memegang puncak kepalaku
dan mendekatkan wajahnya yang mungkin kurang dari satu sentimeter dari wajahku. Dia
tersenyum sebelum menutup matanya dan menyentuhkan bibirnya di bibirku. Aku pun
menutup mataku, merasakan ciumannya yang lembut.
“Menciumku berkali-kali juga tidak masalah kalau Yabu Miharu yang melakukannya.”
bisiknya setelah menciumku. Aku yakin wajahku sudah seperti kepiting rebus sekarang.
“M-maksudmu?” tanyaku.
“Aku tidak akan mengatakan kalau aku menyukaimu karena itu terlalu klasik.” katanya, “Aku
ingin status pertemanan kita berubah menjadi cinta.”
Mataku membesar. Orang ini tahu bagaimana caranya membuat aku mati muda karena
jantungku yang berdegup kencang tak keruan mendengar kata-katanya tadi.
“Tapi sebelum kita pacaran, Raura harus tahu dulu dan menyetujui ini.”
“Begitu juga Kouta..”
***
“Kouta, ayo cepat!” Sekarang aku menarik Kouta ke atap. Kerjaku hari ini saat istirahat
adalah menarik pemuda ke atap, itu sangat melelahkan. Di sana sudah ada Inoo Kei dan
Raura.
Raura menatap kami tidak suka. Ralat, menatapku tidak suka. Tangannya mengepal dengan
sangat kencang, aku bisa melihat urat-urat tangannya keluar saking kencangnya kepalannya
padahal tangannya sedang diperban. Kouta yang juga melihat itu langsung menghampirinya.
“Apa yang kau lakukan? Sudah kubilang kan jangan melukai dirimu sendiri!” Raura melihat
wajah Kouta diam. Tak lama, dia memeluk Kouta dan Kouta mengelus rambutnya lembut.
“Eh?” seruku hampir bersamaan dengan Inoo Kei. Kaget, entah sejak kapan mereka jadi
seperti pacaran begitu.
“Maaf, Miharu dan Inoo-kun. Tapi Raura hanya akan tenang jika bersamaku.”
“Maksudmu… kalian pacaran?” Kouta diam sejenak lalu mengangguk.
“Eh? Kalian berpacaran dan kami juga. Ada apa ini?” tanya Inoo-kun heran.
Kouta membelalakkan matanya. Raura mengangkat kepalanya melihat Kouta lalu
memandang kami, “Terserah. Aku sudah tidak peduli.”
Aku tidak mengerti apa yang dikatakan Raura. Kouta tersenyum kecil lalu mengeratkan
pelukannya pada Raura.
“Benarkah kau tidak peduli?” tanya saudara Raura itu padanya. Raura menatapnya tidak
suka.
“Cinta kalian terlalu kuat, aku tidak bisa menghancurkannya dengan rasa sayangku untuk
Kei. Apalagi manusia satu ini selalu berkeliaran di dekatku seperti nyamuk.” katanya. Dia
memukul Kouta pelan dan mengurai pelukannya, “Tapi Miharu-chan…”
“I-iya?”
“Kei memang pacarmu tapi dia milikku, ingat?”
Apa-apaan dia?
“Kouta juga milikku walau dia pacarmu!” balasku. Dia sedikit menyeringai. Sementara
Kouta tersenyum manis sekali.
“Ambil saja dia.” Raura merangkul tangan kembarannya.
“Hei, apa-apaan sih kalian? Raura, walau aku pacar Miharu aku ini tetap saudaramu. Aku
akan selalu ada untukmu.” Dia mengelus puncak kepala Raura sayang.
“Dengar tuh, Kouta!” Kouta tersentak kaget.
“Memangnya aku kenapa, huh?” Dia berjalan ke arahku. Tangannya sudah siap menjitakku,
mataku kututup rapat tapi ternyata tidak. Dia mengacak-acak rambutku.
“Karena kita pasangan kembar, kita tidak boleh saling cemburu. Bagaimana?” usul pemuda
yang sudah menjadi pacarku itu. Aku mengangguk menjawabnya, Kouta juga tapi tidak
dengan Raura. Wajahnya terlihat marah.
“Tidak setuju! Aku mau Kei hanya milikku!” Dia mempererat pegangannya pada
kembarannya, “Pokoknya dia milikku! Hanya mil—”
Kouta yang kesal langsung menarik Raura ke pelukannya dan menciumnya. Aku terkejut,
begitu juga pacarku.
“Bodoh. Kau boleh melihat wajahku kalau kau masih emosi melihat mereka bersama. Ingat?”
Raura mengangguk lemah.
Kei menarik tanganku menjauhi mereka. Aku meliriknya, wajahnya bersemu merah. Pasti
karena melihat Kouta berciuman dengan Raura.
“Miharu..”
“Iya?”
“Aku lega.” ucapnya, “Lega karena Raura akhirnya bisa menemukan cintanya. Aku pikir dia
akan selalu lengket denganku. Melihat Yabu-kun bisa mengerti dia juga membuatku lega.”
“Begitu ya..”
Dia merangkulku, aku meletakkan kepalaku di pundaknya, merasakan angin yang tertiup dan
menyentuh kulit dengan lembut. Kami saling beradu pandang dan mengulum senyum. Dan
sekali lagi aku merasakan ciuman hari ini.
Sejak hari itu, segala ancaman dan teror yang kudapatkan berhenti. Aku tidak tahu apa yang
Kouta katakan waktu itu benar atau tidak, tapi aku bersyukur keadaan sudah membaik
sekarang. Aku dan Kouta juga sudah kembali akur, sepertinya Kei dan Raura juga begitu.
Beginilah kisah cinta kami yang aneh. Raura akan selalu emosi saat melihat aku dan Kei
berbalas senyuman atau melakukan apapun bersama apalagi bermesraan dan dia akan
berhamburan ke pelukan Kouta setelahnya. Kouta akan selalu mengelus rambutnya sayang
atau mengecup bibirnya singkat untuk meredakan emosi Raura. Kejadian itu akan terus
berulang entah sampai kapan, mungkin hingga akhir waktu.
***
“Hei, sejak kapan kalian pacaran?” tanya Miharu saat mereka berempat berjalan pulang
bersama. Kouta dan Raura hanya diam saling berbalas tatapan mata. Miharu memasang muka
bingung dan juga penasaran.
“Oh, apa ketika aku dan Kei pertama kali memergoki kalian berpelukan di atap itu kalian
sudah pacaran?” tanya Miharu lagi.
“Belum,” jawab Kouta cepat. Miharu dan Kei terkejut mendengarnya.
“J-jadi kau berani-beraninya memeluk kembaran tersayangku sebelum kalian berstatus!?”
Kei akhirnya ikut dalam pembicaraan.
“Tapi aku dan Raura mulai resmi pacaran ketika jam istirahat pada hari itu, jadi tidak apa,
kan?” Kouta tersenyum sambil merangkul kekasihnya.
“Eh? Eh? Eh? Siapa yang menembak? Bagaimana menembaknya? Aah, tapi sudah pasti yang
menembak itu Kouta, ya.” Miharu memberikan pertanyaan bertubi-tubi.
“Kau boleh melihat wajahku kalau kau masih emosi melihat mereka bersama.”
Ucapan seorang Yabu Kota membuat Raura terheran.
“Hahahaha.. Lelucon apa ini? Untuk apa aku melihat wajahmu?”
Kouta tidak membalas kata-kata Raura, ia hanya memotong jarak diantara wajahnya dan
wajah gadis itu dan menangkap bibir merahnya yang lembut. Raura tidak membalas balik
ciuman dari Kouta, tetapi ketika Kouta melepaskan ciuman mereka yang berlangsung selama
beberapa menit itu, Kouta bisa melihat jelas betapa merah padamnya wajah gadis di
hadapannya itu. Kouta tersenyum.
“Aku menyukaimu,”
Ucapan Kouta mengejutkan Raura yang saat itu pikirannya sudah kacau karena ciuman dari
pria jangkung di depannya.
“Aku berjanji akan selalu mencintaimu, menyayangimu, dan tidak ada wanita lain selain
dirimu. Jadilah pacarku,”
Pikiran Raura semakin kacau. Ia tidak bisa berpikir jernih lagi. Ciuman dan ungkapan cinta
itu terlalu berat baginya. Ia tidak pernah mendapatkan ungkapan cinta dari pria manapun,
apalagi ciuman. Dan mendapatkan kedua hal itu sekaligus membuat jantungnya terasa akan
meledak karena tidak sanggup menahan luapan perasaannya.
“Aku tau saat ini kau belum mempunyai perasaan apapun padaku. Tetapi seiring
berjalannya waktu, aku pasti bisa mendapatkan hatimu dan membuatmu kehilangan emosimu
setiap melihat Inoo-kun bersama wanita.”
Raura merasakan kedua tangannya digenggam lagi oleh sepasang tangan yang hangat.
Kouta menempelkan dahinya dengan dahi Raura. Suasana di sekeliling mereka sangat sunyi
dan tenang, menambah manis aura cinta yang beterbangan di antara mereka berdua.
“Aku mau jadi pacarmu asalkan……………. kau menepati janji-janji yang kau sebutkan
tadi.”
Kouta hanya membalasnya dengan senyuman dan akhirnya untuk ke sekian kalinya ia
mencium bibir gadis yang sudah resmi menjadi pacarnya itu. Dan kali ini tentu saja Raura
membalas ciuman dari Kouta.
“Aku menembak Raura di UKS ketika mengobati tangannya,” jawab Kouta.
“Aaah sudah kuduga benar-benar Kouta,”
“Dia menciumku terlebih dahulu sebelum menyatakan cintanya,” ucap Raura yang sedari tadi
hanya diam, “Dan lagi, itu ciuman kedua darinya.”
“Eh? Uwaah.. Aku tidak menyangka ternyata Kouta orang yang seperti itu,” Miharu
menggoda kembarannya itu.
“Pagi-pagi kau memeluknya, dan kemudian setelah itu kau menciumnya dua kali!? Dan baru
kau menyatakan cinta? Apa tidak terbalik tuh?” ucap Kei ikut-ikutan.
“Cerewet! Memangnya aku tidak tahu soal kalian ciuman di tangga itu?” Miharu dan Kei
terkejut dan heran bagaimana Kouta bisa mengetahuinya. Dan saat ini muka mereka jadi
merah seperti gurita. “Lagipula, kalau aku tidak menciumnya dulu aku pasti tidak akan
mendapat jawaban positif darinya,” ucap pria tinggi itu sambil menatap wajah kekasihnya.
“Omong-omong apa yang kalian bicarakan di atap sekolah waktu itu?” tanya Miharu
mengembalikan ke topik semula.
“Kau ini sok ingin tahu sekali ya, Miharu. Aku saja tidak pernah menanyakan tentang
hubungan kalian.”
“Eeeh~ Tidak apa-apa kan? Habisnya kalian terlalu misterius. Aku bahkan tidak tahu sejak
kapan kalian saling kenal dan sejak kapan sampai seakrab itu hingga kalian jadi sepasang
kekasih. Padahal dulu Kouta kelihatan benci sekali sama Raura… Jadi apa yang kalian
bicarakan di atap pada hari itu?”
Kouta menempelkan pipinya dengan pipi gadis yang sedang dirangkulnya itu dan tersenyum
pada Miharu dan Kei, “Itu rahasia di antara kami berdua.”
Raura segera memalingkan mukanya dari tiga orang itu untuk menyembunyikan wajah
merahnya. Kouta membisikkan sesuatu pada Raura hingga gadis itu menolehkan wajahnya
kembali ke arah kekasihnya. Raura tersenyum dan membalas bisikan Kouta dengan bisikan
juga. Kouta tersenyum dan mencium bibir Raura.
Aku juga mencintaimu, Kouta.
The End