Post on 01-Jul-2015
DINAMIKA PSIKOLOGIS TERJADINYA PERCERAIAN
PADA PEREMPUAN BERCERAI
Reny Dyah Pujiastuti 1
Sri Lestari 2
Moordiningsih 3
1.2.3 Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta
Abstract. This research aims to find out the psychological dynamics and the psychological factors of divorcement in divorced woman. The data was collected with interview and observation method of fivedivorced women in purposive sampling. The results of this study indicate that the psychological factors of divorcement are 1) from the previous process of marriage, which contaib wrong mate-selection, parents agreement, and forced marriage, (2)negative self concept t- as a weak woman, (3) the lack ability to communicate desires and feelings to husband, (4) the lack ability of recognizing problem and problem solving skill, (5) the loss of trust to the partner and (6) the desire of free from suffer and get a well-fare life. Women that involved in this research, experienced an otoritary parenting style with Javanese philosophy cultivation, that make them becoming ‘a weak woman’ self concept and tend to lay on their rights and desires in a weak bargaining position from others.
Keyword : divorce, psychological dynamics, and psychological factor of divorcement.
Abstraksi. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dinamika psikologis terjadinya perceraian dan faktor-faktor psikologis perceraian pada perempuan bercerai. Pengumpulan data melalui wawancara dan observasi pada 5 perempuan bercerai yang ditentukan dengan purposive sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor psikologis penyebab perceraian adalah (1) awal perkawinan yang kurang baik yaitu salah memilih pasangan, restu orang tua, dan keterpaksaan perkawinan, (2) konsep diri negatif sebagai perempuan yang lemah, (3) kurangnya kemampuan mengkomunikasikan keinginan dan perasaan kepada orang suami, (4) kurangnya kemampuan dalam mengenali dan keterampilan dalam menyelesaikan masalah, (5) hilangnya rasa kepercayaan pada pasangan dan (6) keingian terbebas dari penderitaan dan mendapat ketenangan hidup. Perempuan yang terlibat dalam penelitian ini, mengalami pola asuh orang tua yang cenderung otoriter dengan adanya penanaman falsafah jawa sehingga menjadikan perempuan jawa memiliki konsep diri ‘perempuan lemah’ dan cenderung selalu memposisikan diri dalam posisi tawar yang lemah untuk mempertahankan hak dan keinginan diri.
Kata kunci : perceraian, dinamika psikologis, dan faktor psikologis perceraian
Perceraian terkadang dipandang
sebagai jalan keluar terbaik bagi
permasalahan rumah tangga. Namun
demikian, kelanggengan perkawinan
dalam keluarga yang bahagia dan
sejahtera tetap diharapkan sebagai
bentuk kehidupan yang akan dijalani
oleh para penerus dari manusia itu
sendiri. Segala apa yang terjadi dalam
kehidupan keluarga setiap individu akan
tersimpan dalam memori dan
teraktualkan ke dalam perilaku
kesehariannya. Kehancuran keluarga
akan berdampak gangguan kepribadian
dan gangguan kejiwaan pada generasi
berikutnya (Gottman & Silver, 2001)
Sebuah penelitian yang di
lakukan Ono (2006) terhadap
meningkatnya angka perceraian di
Jepang menemukan bahwa salah satu
faktor penyebabnya adalah adanya
perbandingan terbalik antara stabilitas
perkawinan dan persamaan jender. Hal
ini berhubungan erat dengan adanya
emansipasi wanita yang berujung
adanya kemandirian ekonomi
perempuan yang menjadi penyebab
banyaknya perceraian (Naqiyah, 2005).
Sementara di Indonesia, pola
pikir perempuan (khususnya perempuan
Jawa) terhadap perkawinan dan
perceraian telah mengalami perubahan
besar. Falsafah hidup perempuan jawa
seperti “suwargo nunut, neraka katut”,
yang berarti istri harus tunduk patuh
pada suami, sekarang ini tidak lagi
menjadi prinsip utama berkeluarga.
Menjadi seorang janda sekarang ini jauh
berbeda nilainya dengan pada jaman
dahulu. Sekarang predikat ‘janda’ bukan
lagi aib yang tak tertolerir bagi
perempuan atau pun bagi keluarga besar
janda itu sendiri.
Angka perceraian di Indonesia
yang tercatat sah secara hukum cukup
tinggi yaitu hampir 10 % dari angka
perkawinan (Badan Pusat Statistik) dan
Media Indonesia Online (2006)
menyebutkan bahwa perceraian yang
terjadi di Indonesia, yang paling banyak
adalah gugatan cerai dari pihak istri.
Sebab-sebab perceraian
sangatlah beragam antara pasangan yang
satu dengan yang lainnya. Di beberapa
negara di dunia, faktor yang paling
sering menjadi penyebab terjadinya
perceraian adalah : kegagalan suami istri
dalam menjalankan kewajibannya,
lemahnya dasar keagamaan,
keikutcampuran pihak ketiga, perbedaan
budaya, masalah seksual, masalah
keuangan, masalah karir, kurangnya
komitmen pada perkawinan, komunikasi
yang buruk, perubahan prioritas yang
dramatis, ketidaksetiaan, kegagalan
harapan, masalah kecanduan dan
penyalahgunaan obat-obatan, kekerasan
fisik, seksual dan emosional, serta
lemahnya kemampuan penyelesaian
konflik (www.divorceform.org, 2006)
Pada penelitian awal yang
penulis lakukan terhadap beberapa
pasangan yang bercerai dalam kurun
waktu 5 tahun pertama perkawinan,
diketahui bahwa perkawinan mereka
terkesan ‘dipaksakan’, sehingga
pasangan tersebut cenderung kurang
memiliki alasan yang kuat sebagai
pengikat. Diantaranya karena ingin
memenuhi kebutuhan biologisnya,
adanya kehamilan sebelum pernikahan,
dan karena merasa tidak nyaman dengan
pandangan lingkungan tentang
kedekatan dengan seorang lawan jenis
sebelum pernikahan.
Alasan gugatan perceraian dari
pihak istri yang dikabulkan di Kantor
Pengadilan Agama Surakarta pada tahun
2002, antara lain adalah sebagai berikut :
1) Suami tidak memberi nafkah baik
lahir maupun batin, 2) Suami tidak
bertanggung jawab, 3) Suami atau istri
pergi dari rumah tanpa ijin dan tidak ada
kabar, 4) Suami atau istri berselingkuh,
5) Suami sering mabok, 6) Suami sering
menyakiti secara lahir / ringan tangan, 7)
Suami sering pulang malam, 8) Suami
suka berkata kasar dan atau berkata
kotor, 9) Sering terjadi perbedaan
pendapat dan pertengkaran, 10) Suami
berjudi, 11) Suami tidak mau melayani
pasangannya, 12) Tidak ada komunikasi,
13) Suami tidak jujur kepada pasangan,
14) Istri tidak mau dimadu (tidak mau
suami ber-poligami), 15) Suami tidak
bekerja, dan 16) Istri tidak mencintai
suami (menikah karena dijodohkan)
Perceraian dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (1999) diartikan
sebagai peristiwa pemutusan ikatan
perkawinan secara hukum dan INPRES
No. 1 Th 1991 menjelaskan bahwa
perceraian adalah penyebab putusnya
perkawinan selain kematian dan putusan
pengadilan. Putusnya perkawinan yang
disebabkan karena perceraian dapat
terjadi karena talak atau berdasarkan
gugatan perceraian.
Harapan yang tidak sesuai
dengan kenyataan, kesenjangan
pemikiran dan mental, mengungkap aib
rumah tangga, adanya dorongan
keluarga dari kedua pihak, kurang
memperhatikan hakikat perkawinan,
perbedaan status sosial, dan
ketidakharmonisan rumah tangga dapat
menjadi penyebab terjadinya perceraian
(Al-Amili, 2001).
Ada empat keadaan psikologis
individu yang dapat menyebabkan
perceraian menurut Gerlach (2003) yaitu
luka psikologis dari masa lalu,
ketidaksadaran dan ketidakpedulian
terhadap hal yang tidak diketahui,
perasaan sedih yang dipendam serta
rancu dan kurang kuatnya alasan saat
menikah.
Wolcot dan Hughes (1999)
dalam hasil penelitiannya di Australia
diketahui bahwa penyebab utama
perceraian adalah adanya tindak
kekerasan dalam perkawinan serta pada
dimensi afeksi yaitu meliputi
permasalahan komunikasi,
ketidakcocokan, perubahan hasrat gaya
hidup, dan masalah ketidaksetiaan.
Dominasi dari permasalahan relasional
tersebut merupakan gambaran semakin
tingginya harapan terhadap self-
fulfillment dalam perkawinan dan
menurunnya tingkat toleransi terhadap
hubungan yang tidak memuaskan.
Di sisi lain, ada beberapa faktor
yang dapat mempengaruhi keutuhan
perkawinan, yaitu usia dan kehamilan
pranikah, tingkat pendidikan,
pendapatan, jabatan, tingkat sosial dan
ekonomi, ras serta penularan dalam mata
rantai intergenerasi (Peck dan
Manocherian dalam Carter dan
McGoldrick, 1989). Hampir sama,
Conger (1987) menyatakan bahwa
faktor-faktor yang mempengaruhi
stabilitas perkawinan adalah usia saat
perkawinan, pencapaian pendidikan,
kehamilan pra perkawinan, perkenalan
pra perkawinan, pola berpacaran
sebelumnya, kepribadian dinamis,
motivasi perkawinan, status keluarga,
sikap orang tua pra perkawinan,
perkawinan pelarian, dasar ekonomi,
tempat tinggal, dan pandangan orang tua
pasca perkawinan.
Coleman dan Cressey (1987)
mengungkapkan, masalah-masalah yang
muncul dalam perkawinan antara lain :
1) kondisi ekonomi rumah tangga, 2)
kekerasan dalam rumah tangga, 3)
kehadiran dan pemeliharan serta
pendidikan anak, 4) istri yang bekerja,
5) intervensi dari keluarga baik pihak
suami maupun istri, 6)
ketidaksepahaman suami istri tentang
tugas-tugasnya sesuai peran masing-
masing, dan 7) ketidaksiapan suami istri
dengan perubahan peran dalam rumah
tangga.
Dana (2006) menyatakan,
konflik dapat diselesaikan dengan tiga
cara yaitu :
1. Dengan pertandingan kekuasaan,
yang berarti siapa yang kuat dia
yang menang.
2. Dengan pertandingan hak, yang
berarti adanya campur tangan pihak
ketiga sebagai otoritas untuk
mengadili hak siapa yang lebih sah.
3. Dengan rekonsiliasi kepentingan,
yang berujung pada pemenuhan
kepentingan masing – masing pihak
yang terlibat konflik.
Rekonsiliasi kepentingan adalah
cara paling tepat untuk menyelesaikan
konflik karena selain memenuhi
kepentingan masing – masing pihak juga
menjauhkan resiko adanya pembalasan
dendam. Lagi pula, perkawinan
seharusnya adalah tempat penyelesaian
konflik dengan cara rekonsiliasi
kepentingan.
Dana (2006), menyatakan bahwa
konflik perkawinan yang dipandang
sebagai sebuah pertandingan menang –
kalah akan memunculkan usaha – usaha
untuk menjatuhkan atau mengalahkan
pasangan, dan bukan kerjasama untuk
saling memenuhi kebutuhan masing –
masing pasangan. Artinya adalah dalam
rumah tangga tersebut akan semakin
sering timbul perseteruan atau
perselisihan antara suami istri.
Keadaan rumah tangga yang
tidak menyenangkan serta perubahan
cara komunikasi antara suami istri yang
berlangsung terus menerus ke arah
negatif akan dapat menimbulkan rasa
tidak nyaman pada suami atau istri.
Adanya rasa tidak nyaman ini
merupakan pertanda bahaya bagi
perkawinan. Penyelesaian dari rasa tidak
nyaman ini adalah dengan mengakhiri
perkawinan (Gottman & Silver, 2001)
Berkaitan dengan penyelesaian
masalah, terapi perilaku yang
dikemukakan oleh Wolpe menyatakan
bahwa perilaku dapat diubah dan law of
effect –hukum akibat- dari Thorndike
juga menyatakan bahwa perilaku yang
diperkuat akan cenderung lebih sering
diulang lagi dan perilaku yang
diperlemah akan cenderung lebih jarang
diulang lagi (Durand dan Barlow, 2006).
Jamison (2001) menyatakan
bahwa perceraian akan berdampak bagi
anak dari pasangan bercerai yaitu
adanya perasaan menyalahkan diri
sendiri atas perceraian orang tuanya dan
merasa bertanggung jawab untuk
menyatukan kembali, rasa ketakutan
akan terabaikan, rasa sedih yang
terpendam karena kehilangan salah satu
dari orang tuanya, mudah cemas dan
menarik diri, atau menjadi agresif dan
nakal (tidak patuh). Semakin muda usia
anak pada saat perceraian orang tua
terjadi, maka semakin besar dampak
perceraian pada anak, karena anak
belum memiliki ketrampilan coping
yang diperlukan untuk menghadapi
perubahan-perubahan akibat perceraian.
Dinamika adalah kata benda
yang berasal dari kata sifat dinamis yang
artinya penuh semangat dan gerak (laju)
sehingga mengalami perkembangan
yang pesat (Handayani dan Suryani).
Dengan demikian dinamika dapat
diartikan sebagai suatu pergerakan.
Sementara psikologis dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (1999) adalah
berkenaan dengan psikologi, bersifat
kejiwaan. Kata perceraian seperti yang
telah disampaikan di muka adalah
putusnya atau berakhirnya perkawinan
yang sah secara hukum.
Suryabrata (1993) menyatakan,
dalam psikologi, ada tiga aliran yang
menjelaskan tentang faktor-faktor yang
mempengaruhi dinamika psikologis
individu yaitu :
a. Aliran nativisme, dengan tokoh
utama Schopenhauer. Berpendapat
bahwa dinamika psiklogis individu
ditentukan oleh sifat-sifat yang
sudah dibawa sejak lahir.
b. Aliran empirisme, dengan toko
utama John Locke. Berpendapat
bahwa dinamika psikologis individu
hanya tergantung faktor lingkungan
dan sifat-sifat bawaan tidak berperan
sama sekali.
c. Aliran konvergensi, dengan tokoh
utama W. Stern. Berpendapat
bahwa dinamika psikologis individu
merupakan perpaduan dari sifat-sifat
bawaan individu dan juga pengaruh
tempaan dari lingkungan yang
dialaminya.
Banyak permasalahan dalam
perkawinan yang dapat menyebabkan
retak dan hancurnya rumah tangga,
Namun ada pula pasangan yang
mempertahankan perkawinannya
meskipun mereka mengalami keadaan
yang sama.
Dari uraian-uraian tersebut,
timbul rumusan permasalahan sebagai
berikut : 1) Faktor-faktor psikologis
apakah yang dapat menyebabkan
perceraian, dan 2) Bagaimana dinamika
psikologis terjadinya perceraian pada
perempuan yang bercerai.
METODE PENELITIAN
Responden Penelitian.
Penelitian menggunakan prosedur
pengambilan sampel dengan sengaja
(purposive sampling) dan tidak
menekankan pada keterwakilan jumlah
sampel tetapi lebih pada kedalaman dan
keterlengkapan informasi. Penelitian ini
melibatkan lima orang responden
dengan karakteristik spesifik,
perempuan yang bercerai.
Gejala Penelitian. Gejala yang
diperhatikan dalam penelitian ini adalah
dinamika psikologis terjadinya
perceraian pada perempuan yang
bercerai.
Alat Pengumpul Data. Data
dalam penelitian ini diperoleh dengan
wawancara dan observasi. Teknik umum
yang digunakan dalam penelitian ini
adalah wawancara langsung, yaitu
peneliti langsung berhadapan dengan
subyek penelitian. Agar data yang
diperoleh sesuai dengan apa yang
disampaikan oleh informan, maka
pembicaraan selama wawancara peneliti
menggunakan alat perekam. Metode
wawancara yang digunakan dalam
penelitian ini adalah pendekatan
menggunakan petunjuk umum
wawancara, yaitu macam wawancara
yang mengharuskan pewawancara
membuat kerangka dan garis besar
pokok-pokok yang ditanyakan dalam
proses wawancara yang disebut dengan
petunjuk umum wawancara (Moelong,
2004) dengan petunjuk umum yang
bersifat fleksibel. Observasi dalam
penelitian ini dilaksanakan saat
berlangsungnya wawancara dan
dilakukan dengan cara mencatat ekspresi
atau gerakan nonverbal informan
sehingga memungkinkan peneliti untuk
melihat dan mengamati sendiri serta
untuk menjawab keragu-raguan peneliti
akan data yang diperoleh sebelumnya
(Moleong, 2004).
Metode Analisis Data. Metode
analisis yang digunakan adalah metode
analisis kualitatif yang dilakukan
berdasarkan dengan data,
mengorganisasikan data, memilah-
milahnya menjadi satuan yang dapat
dikelola, mensitesiskannya, mencari dan
menemukan pola, menemukan apa yang
penting dan apa yang dipelajari, dan
memutuskan apa yang dapat diceritakan
kepada orang lain. Adapun tahapan
analisis data kualitatif adalah (1)
Pemrosesan satuan yaitu pemrosesan
terhadap satuan informasi yang
berfungsi untuk menentukan atau
mendefinisikan kategori, (2)
Kategorisasi yaitu penyusunan kategori
(kelompok yang disusun atas dasar
pikiran, intuisi, pendapat, atau kriteria
tertentu), (3) Penafsiran data yaitu
pengubahan/ pentransformasian data
untuk mencapai teori substantif.
HASIL DAN BAHASAN
Berdasarkan hasil analisis data,
maka hasil dari penelitian ini
menunjukkan adanya suatu pola
psikologis yang cenderung sama, terjadi
pada perempuan bercerai, yaitu tentang
dinamika psikologis terjadinya
perceraian dan faktor-faktor psikologis
penyebab perceraian.
Dinamika psikologis terjadinya
perceraian
Seperti yang telah disampaikan
di awal, dinamika psikologis terjadinya
perceraian adalah pergerakan kejiwaan
yang mempengaruhi terjadinya
perceraian. Bila merujuk pada teori
konvergensi, maka faktor-faktor yang
mempengaruhi dinamika psikologis
adalah faktor bawaan dan faktor
lingkungan
Meskipun memudar, kehidupan
perempuan Jawa masih bernuansakan
nilai-nilai atau falsafah hidup jawa
seperti ”mikul dhuwur mendhem jero”
yang berarti kewajiban anak adalah
patuh dan mengangkat derajat orang tua,
”ojo sok gawe pepati” yang berarti jadi
orang jangan menyakiti orang lain
(meskipun pernah disakiti), ”wong
wadon iku suwargo nunut neraka katut
bojo” yang berarti istri wajib patuh
kepada suami, dan ”nrimo ing pandum”
yang berarti ikhlas dengan segala apa
yang didapat dan dialami.
Responden dalam penelitian ini
mengalami pola asuh orang tua yang
cenderung otoriter, yaitu wajib patuh
pada orang tua. Mereka kurang
mengenal dunia luar karena orang tua
dalam mendidik dengan membatasi
aktivitas anak, hanya belajar, istirahat
dan membantu orang tua jika ada waktu
luang. Demikian pula dalam pergaulan,
orang tua membatasinya sehingga
responden semakin kurang mengenal
dunia di luar keluarganya dan berprinsip
semua orang di dunia baik karena
berdasarkan pengalamannya semua
orang baik.
Perkawinan memiliki makna
yang sangat sakral bagi masyarakat jawa
yakni ”urip pisan kawin pisan” sehingga
alur atau proses menuju perkawinan pun
adalah suatu hal yang penting, dimulai
dari pemilihan pasangan yang harus
memenuhi kriteria 5B yaitu babad
(riwayat hidup), bebet (kepandaian, tata
krama), bibit (keturunan), bobot
(kemampuan-ekonomi), bubut
(pergaulan). Kemudian dilengkapi
dengan mempertimbangkan restu/
keridhaan orang tua dan saudara
terutama saudara tua. Perempuan
bercerai yang terlibat dalam penelitian
ini mengalami proses awal perkawinan
yang cenderung sulit, sehingga
perkawinan mereka telah berpotensi
bermasalah sejak awal perkawinan.
Dinamika psikologis terjadinya
perceraian berawal dari pola asuh orang
tua yang otoriter serta adanya
penanaman falsafah hidup yang ternyata
membentuk karakter pribadi yang
memiliki posisi tawar lemah, hanya bisa
nrimo terhadap perbuatan dan keputusan
orang lain. Responden
mengaktualisasikan falsafah jawa dalam
perkawinannya dengan bersikap nrimo
( bersikap pasif, mengabaikan/
menganggap tidak ada masalah dan
diam memendam rasa ). Pada
kenyataannya sikap tersebut tidak
menyelesaikan permasalahan yang
dihadapi justru semakin meningkatkan
intensitas dan frekuensinya sehingga
permasalahan-permasalahan perkawinan
yang tidak terselesaikan semakin
bertambah banyak.
Dampaknya adalah perempuan,
dalam hal ini istri, semakin merasa
terbebani dengan perkawinannya karena
adanya residu psikologis yang selalu
bertambah dari hari ke hari yang
mempengaruhi gaya bahasa saling
menyrang ketika berkomunikasi dengan
suami. Selanjutnya, dengan besarnya
beban psikologis, diikuti dengan gaya
komunikasi dengan suami yang tidak
menyenangkan, menimbulkan rasa tidak
nyaman dan tidak aman bagi perempuan
jika berada di sisi suami yang berujung
pada keinginan keluar dari penderitaan
batin yaitu dengan bercerai dari suami.
Anak yang semula dapat menjadi
peredam keinginan bercerai tidak dapat
lagi digunakan menjadi alasan bertahan
karena kenyataan yang dijalani adalah
suami kurang bahkan tidak bersikap
bertanggungjawab pada anak sehingga
ada atau tidak ayah bagi anak akan sama
saja.
Selain masalah anak, dukungan
dari orang tua juga mempengaruhi
kesiapan dan kemantapan perempuan
untuk bercerai dari suami dan semakin
yakin bahwa perceraian akan membawa
ketenangan dan ketentraman hidup.
Faktor-faktor psikologis penyebab
perceraian
Dari hasil analisis data diketahui
bahwa perkawinan yang berakhir
dengan perceraian memiliki proses awal
perkawinan yang berpotensi bermasalah
meliputi salah memilih pasangan,
keterpaksaan restu orang tua dan
keterpaksaan perempuan melakukan
perkawinan. Faktor psikologis lain yang
menjadi penyebab perceraian adalah
sikap dan karakter pribadi perempuan
sebagai orang yang lemah yang hanya
bisa nrimo terhadap perlakuan dan
keputusan orang lain yang juga
dipengaruhi oleh minimnya ketrampilan
dalam mengenali dan menyelesaikan
permasalahan perkawinan yang
kemudian berdampak pada tidak
terselesaikannya permasalahan
perkawinan.
Tidak terselesaikannya
permasalahan tersebut menjadi residu
psikologis bagi perempuan berupa
kekecewaan dan kesedihan yang
dipendam dalam hati. Semakin hari
residu psikologis, semakin besar dan
menimbulkan rasa tidak nyaman dan
tidak aman di sisi suami yang mengikis
rasa cinta dan kasih sayang serta
menimbulkan perubahan gaya bahasa
menjadi saling menyerang sebagai
aktualisasi dari adanya kekecewaan dan
kesedihan yang terpendam.
Posisi tawar yang lemah
terhadap suami menjadikan perempuan
menggantungkan harapan bahwa suami
akan berubah menjadi lebih bertanggung
jawab baik kepada istri maupun
keluarga, namun kenyataannya adalah
suami semakin tidak bertanggung jawab.
Keadaan yang sama dari hari ke hari
semakin memudarkan kepercayaan
perempuan terhadap suami dan semakin
menimbulkan kekecewan terpendam
atas harapannya sehingga berujung pada
rasa menderita berada di sisi suami.
Perempuan cenderung
menjadikan kebahagiaan anak sebagai
alasan untuk bertahan dalam
perkawinan, namun suami tidak pula
bertanggung jawab kepada anak. Hal
tersebut semakin memudarkan
kepercayaan istri pada suami dan
menjadikan perempuan merasa sudah
tidak ada alasan untuk bertahan dan
semakin yakin bahwa perceraian adalah
jalan untuk keluar dari penderitaan yang
terbaik.
Berdasar hasil penelitian yang
telah mengurai faktor-faktor psikologis,
dirasa perlu adanya penelitian lanjutan
dengan memperkaya responden dengan
responden sekunder, sehingga
memungkinan kemunculan data yang
mungkin hanya dapat muncul dalam
wawancara dengan responden sekunder.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil pembahasan
dari penelitian pada perempuan yang
bercerai, maka dapat diambil
kesimpulan bahwa dinamika psikologis
terjadinya perceraian diwarnai oleh
karakter responden yang terbentuk dari
pola asuhnya.
Responden dengan etnis jawa,
menggunakan falsafah jawa dalam
hidupnya dengan pemahaman yang tidak
menyeluruh, sehingga sikap nrimo yang
diharapkan akan meredam
permasalahan, justru hanya membentuk
residu masalah yang semakin
meningkatkan intensitas dan frekuensi
permasalahan.
Dampaknya adalah perempuan,
dalam hal ini istri, semakin merasa
terbebani dengan perkawinannya karena
kekecewaan dan kesedihan yang
dipendam sehingga mempengaruhi gaya
bahasa, menjadi saling menyerang
ketika berkomunikasi dengan suami. Hal
ini lebih menimbulkan rasa tidak
nyaman dan tidak aman bagi perempuan
jika berada di sisi suami yang berujung
pada keinginan keluar dari penderitaan
batin dengan bercerai dari suami.
Adapun faktor-faktor psikologis
penyebab perceraian diidentifikasi
sebagai berikut :
a. Proses awal perkawinan yang
berpotensi bermasalah meliputi
salah memilih pasangan,
keterpaksaan restu orang tua dan
keterpaksan perkawinan
b. Konsep diri yang salah ( perempuan
= lemah)
c. Kurangnya kemampuan
mengkomunikasikan keinginan dan
perasaan kepada orang lain
d. Kurangnya kemampuan mengenali
masalah dan kurangnya
keterampilan dalam menghadapi
permasalahan perkawinan
e. Hilangnya kepercayaan terhadap
pasangan.
f. Keinginan terbebas dari penderitaan
dan mendapatkan ketenangan hidup.
SARAN
Berdasarkan data yang didapat,
maka disarankan :
a. Kepada perempuan yang belum dan
hendak menikah, sebaiknya
melakukan persiapan perkawinan
secara lebih matang, sehingga dapat
mengetahui kekurangan dan
kelebihan diri sendiri dan pasangan,
serta belajar untuk melakukan
komunikasi yang asertif bersama
calon pasangan, mengikuti pelatihan
pra perkawinan baik melalui
lembaga pemerintah maupun
lembaga swasta yang ada.
b. Kepada perempuan yang sudah
menikah, hendaknya dapat menjaga
keutuhan perkawinan dengan cara
memperkuat komitmen terhadap
pasangan, misalnya dengan berusaha
menciptakan momen yang jauh dari
luapan emosi dalam menghadapi
masalah, mengedepankan sikap
saling menghargai dan saling
menyayangi, dan melakukan usaha-
usaha penyelesaian masalah
misalnya dengan melakukan
konseling psikologi baik personal
maupun bersama-sama.
c. Kepada peneliti selanjutnya,
diharapkan bisa lebih
menyempurnakan hasil penelitian
ini dengan melakukan trianggulasi
baik dalam sumber data atau metode
pengumpulan data. Dapat juga
dengan melihat dan mengupas lebih
mendalam serta menyeluruh tentang
psikologi dan perceraian dengan
subyek dan pola sudut pandang yang
berbeda. Misalnya dinamika
psikologis perceraian pada laki-laki
dan atau berpasangan, penyebab
perceraian pada usia perkawinan 0-5
tahun, dampak psikologis perceraian
bagi perempuan atau dampak
psikologis akibat perceraian.
DAFTAR RUJUKAN
Al-amili, Ali Husain Muhammad Makki. 2001. Perceraian Salah Siapa?: Bimbingan Dalam Mengatasi Problematika Rumah Tangga (Terjemahan : Muhdhor Ahmad Asegaf & Hasan Shaleh). Jakarta. Lentera.
Bungin, Burhan, Prof.Dr.Drs.MSi.. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitataif : Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Coleman, James William & Cressey, Donald Ray. 1987. Social Problems 3rd Edition. New York. Harper & Row Publishers Inc.
Conger, John Janeway. 1987. Adolescence And Youth Psychological Development In A Changing World. New York. Harper And Row Publishers Inc.
Dana, Daniel.. 2006. Resolusi Konflik (Terjemahan : Yustine
Djajapurusa). Jakarta : PT. Buana Ilmu Populer.
Durand, VM., & Barlow, DH.. 2006. Intisari Psikologi Abnormal Edisi 4 (Terjemahan : Drs. Helly PS, MA. & Dra. Sri Mulyani S.). Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Gerlach, Peter K., MSW.. 2003. Five Combined Reasons That Most U.S. Stepfamily Re/marriages Fail : Major Hazards To Avoid Together. Diperoleh dari http://sfhelp.org/5reasons.htm
______ . 2003. Perspective on the Meaning, Causes, and Effects of Divorce. Diperoleh dari http://sfhelp.org/meaning.htm
Gottman, John M. Ph.D, & Silver, Nan. 2001. Disayang Suami Sampai Mati : Tujuh Prinsip Melanggengkan Pernikahan Yang Dapat Dipelajari Suami dan Istri (Terjemahan Femmy Syahrani). Bandung. Kaifa.
Handayani, PT., & Suryani, PA.. Tanpa Tahun. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Praktis : Untuk SD, SLTP, SMU & Umum. Surabaya : Giri Utama.
Jamison, Lesley Foulkes, PhD. 2001. The Effects of Divorce on Children. Diperoleh dari http://CPANCF.com/effectdivorceonchildren.asp.htm
Kompilasi Hukum Islam Hokum Perkawinan Waris Perwakafan INPRES No 1 Tahun 1991 Berikut Penjelasan. Surabaya. Karya Anda.
Moleong, Lexy J, DR., M.A.. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : CV. Remadja Karya.
Peck, Judith Stern M.S.W. & Manocherian, Jennifer R M.S.. 1989. Carter, Betty M.S.W. & McGoldrick, Monica M.S.W. The Changing Family Life Cycle – A Framework For Family Therapy 2nd Edition. Toronto. Allyn And Bacon.
Pusat Pembinaan Bahasa Indonesia. 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.
Suryabrata, Sumadi, BA. Drs. M.A.Eds. PhD.. 1993. Psikologi Pendidikan. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Sutopo, HB.. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta : Sebelas Maret University Press.
Tanpa Nama. 2006. What Are The Most Common Causes Of Divorce. Diperoleh dari :
http://www.divorceform.org/cau.htm
Undang – Undang Perkawinan Penjelasan Dan Pelaksanaannya UU No 1 Tahun 1974 Dan PP No 9 Tahun 1975. Surabaya. Karya Anda.
Wolcot, Ilene & Hughes, Jody. 1999. Towards Understanding The Reason for Divorce. Working Paper No. 20 June 1999. Australian Institute of Family Studies. Diperoleh dari http://aifs.gov.au/institute/pubs/pubsmenu.html